Anda di halaman 1dari 22

A.

Pengertian Pembuktian
Pembuktian dalam perkara perdata merupakan bagian yang sangat kompleks
dalam proses beracara di Pengadilan. Keadaan kompleksnya semakin rumit,
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam
proses peradilan perdata. Kesulitan ini disebabkan beberapa faktor yakni:
Pertama, sistem yang memberikan hak yang sama kepada para pihak yang
berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing dan saling
membantah (adviral sistem)
Kedua, pada prinsipnya kedudukan hakim pasif, Hakim Perdata dalam
menjalankan fungsi mencari kebenaran tidak bebas memilih sesuatu apabila
hakim dihadapkan dengan alat bukti yang sempurna dan mengikat seperti akta
otentik, pengakuan dan sumpah. Dalam hal ini meskipun diragukan
kebenarannya, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilainya.[1]
Ketiga, fakta dan bukti tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli. Bahkan terkadang
bukti keterangan yang disampaikan saksi mengandung unsur dengan persangkaan
dan kebohongan.
B. Prinsip Penerapan Pembuktian
Beberapa prinsip umum yang berlaku bagi sistem hukum pembuktian adalah

1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil, perlu diperhatikan


beberapa prinsip yakni, 1) tugas dan peran hakim bersifat pasif, namun pada
belakangan ini muncul aliran baru yang berpendapat bahwa hakim harus diberi
peran aktif secara argumentatif, 2) Putusan berdasarkan pembuktian fakta,
2. Pengakuan Mengakhiri Perkara, beberapa patokan yang harus diperhatikan ; 1)
Pengakuan yang diberikan tanpa  syarat, 2) tidak menyangkal dengan berdiam
diri, 3) menyangkal tanpa alasan yang cukup.
3. Pembuktian Perkara Tidak Bersifat Logis, perlu dipahami bahwa; 1) hukum
pembuktian dalam perkara tidak selogis pembuktian ilmu pasti, 2) kebenaran
yang diwujudkan bersifat kemasyarakatan
4. Fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan, beberapa patokannya adalah; 1) hukum
positif, 2) fakta yang umum, 3) fakta yang tidak dibantah, 4) fakta yang
ditemukan selama proses persidangan.

C. Beban Pembuktian
Penentuan beban pembuktian merupakan persoalan yang tidak mudah, karena
tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban
pembuktian. Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan
kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban
pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban
pembuktian, yaitu pasal 163 HIR – 283 RBG; Tetapi ketentuan pasal ini tidak
begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban
pembuktian itu ada pada penggugat atau tergugat.
Untuk menentukan beban pembuktian itu ada pada pihak mana, marilah kita teliti
ketentuan pasal tersebut menurut bunyi kalimatnya sebagai berikut:
1. Barang siapa yang mengatakan mempunyai hak, dia harus membuktikan adanya
hak itu. Biasanya penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka
penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu.
2. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, dia
harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila yang menyebutkan
peristiwa itu penggugat, maka dialah yang harus membuktikan, beban
pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila yang menyebutkan peristiwa itu
tergugat, maka dialah yang harus membuktikan adanya peristiwa itu, beban
pembuktian ada pada tergugat.
3. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah adanya hak
orang lain, dia harus membuktikan adanya peristiwa itu. Jika yang menyebutkan
peristiwa itu penggugat, beban pembuktian ada pada penggugat dan jika yang
menyebutkan peristiwa itu tergugat maka beban pembuktian ada pada tergugat.

Dari asas di atas bahwa beban pembuktian itu pertama-tama adalah kewajiban
Penggugat, dalam prakteknya hakim haruslah arif, adil, dan tidak berat
sebelah[2] dalam menjalankan ketentuan diatas.  Seandainya ketentuan pasal 163
HIR – 283 RBG. ini dipegang teguh, maka dalam prakteknya bisa menimbulkan
beban yang sangat memberatkan bagi salah satu pihak yang disuruh
membuktikan, yang bisa merugikannya. Sebab jika ia tidak dapat
membuktikannya, ia akan menanggung resiko dikalahkan. Misalnya dalam soal
warisan penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat, bahwa harta warisan
belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak tergugat mengatakan, itu tidak
benar, karena harta warisan sudah dibagi. Apabila berpegang teguh pada pasal 163
HIR – 283 RBg penggugat harus membuktikan harta warisan itu belum dibagi.
Tentunya bagi penggugat sangat berat untuk membuktikan secara negatif bahwa
harta warisan belum dibagi.
Untuk itu ketentuan pasal 163 HIR – 283 RBG hanya dapat dipegang sebagai
pedoman saja bagi hakim dalam menentukan beban pembuktian. Beban
pembuktian (bewijslast, proof  burden) memang merupakan problema yuridis
yang sulit dipecahkan, tidak hanya bagi hakim, melainkan juga bagi para
pengacara, sehingga merupakan alasan bagi hakim kasasi untuk membatalkan
putusan judex facti (hakim yang memeriksa fakta).[3]
Dalam hukum materiel, yaitu hukum perdata dan hukum dagang ada beberapa
pasal tertentu yang mengatur tentang beban pembuktian ini. Dalam pasal pasal
tersebut telah ditentukan bahwa beban pembuktian itu ada pada pihak debitur.
Dalam perkara perdata biasanya debitur itu menjadi pihak tergugat. Pasal pasal
tersebut misalnya: pasal 1244 KUH Perdata. tentang keadaan memaksa
(overmacht,  force majeure, superior power) beban pembuktian ada pada debitur;
pasal 1365 KUH Perdata. tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad, illegal act) beban pembuktian ada pada sipelanggar; pasal 1394 KUH
Perdata. tentang sewa dan bunga yang harus dibayar beban pembuktian ada pada
debitur yang sudah membayar cicilan; pasal 1977 KUH Perdata. tentang bezit atas
benda bergerak (bezit, possession) beban pembuktian ada pada pemilik
sebenarnya (eigenaar, owner); pasal 468 ayat 2 KUHD tentang pengangkutan
(vervoer, transport) beban pembuktian ada pada pengangkut barang tersebut.[4]
D. Hal Hal Yang Harus dibuktikan dan Yang tidak Perlu Dibuktikan
1. Hal yang harus dibuktikan
Pembuktian yang dilakukan baik oleh Penggugat maupun Tergugat bukanlah
hukumnya, melainkan peristiwa atau hubungan hukumnya. Hukum Perdata
mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu diajukan atau dibuktikan
oelh pihak-pihak yang berperkara, karena hakim dianggap telah mengetahui
hukum yang akan ditetapkan. Tidak semua peristiwa-peristiwa yang dikemukakan
pihak-pihak yang berperkara. Hanya peristiwa yang penting dan relevan yang
harus dibuktikan.
2. Hal Yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka sidang, ada hal-hal yang tidak perlu dibuktikan
seperti:

 Segala sesuatu yang telah diatur dalam hukum positif.


 Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh lawan
 Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan sidang pengadilan.
 Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umum[5]
 Segala sesuatu yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya sendiri

[1] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1987), hal. 9


[2] Subekti, Ib.Id., hal 15
[3] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1981), hal. 148
[4] Ib.Id
[5] Dalam hukum acara pidana, hal ini diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP
yang berbunyi: hal yang secara  umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
A. Kuasa pada umumnya
1. Pengertian Secara Umum
Pasal 1792 KUHPerdata menyatakan “pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Pemberian dan penerimaan surat kuasa itu dapat dilakukan dalam suatu akta
umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, dalam bentuk sepucuk surat ataupun
lisan.
Dari definisi di atas maka kedudukan selaku Penggugat atau Tergugat dapat
diwakili oleh Kuasa. Undang-undang tidak mewajibkan untuk memakai kuasa,
juga tidak melarangnya, tetapi mengatur tentang pemberian kuasa tersebut. Kuasa
berarti wewenang, jadi pemberian kuasa berarti pemberian/pelimpahan
wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, untuk mewakili
kepentingannya
Pemberian surat kuasa dapat dilakukan secara khusus atau secara umum. Surat
kuasa khusus berarti hanya menyangkut 1 (satu) kepentingan saja; sedangkan
surat kuasa umum meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Pemberian
kuasa secara umum hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan (Pasal 1796
BW).
Dalam prakteknya untuk mewakili kepentingan para pihak (Penggugat Tergugat)
di Pengadilan haruslah dengan surat kuasa khusus. Demikian juga untuk
memindahtangankan benda-benda, meletakkan hak tanggungan, untuk membuat
suatu perbuatan perdamaian, atau suatu perbuatan lain yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan surat kuasa khusus. Penerima kuasa
tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apa pun yang melampaui kuasanya.
Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh seseorang penerima
kuasa hanya terbatas pada hal-hal yang dikuasakan kepadanya. Pasal 1797 BW
menentukan seorang kuasa yang diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu
urusan dengan jalan perdamaian, tidak dibenarkan menyerahkan perkaranya
kepada wasit (arbitrase).
2. Sifat Pemberian Kuasa
Menurut sifatnya, pemberian kuasa adalah sebagai berikut:

1. Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan


sebaliknya;
2. Si kuasa tidak dibolehkan melakukan sesuatu apa pun yang melampaui kuasanya;
dan
3. Si pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa si kuasa
telah bertindak dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan
persetujuannya.

3. Sifat Perjanjian Kuasa

1. Penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa


2. pemberian kuasa bersifat konsensual
3. berkarakteristik garansi kontrak
4. Berakhirnya Kuasa  (Pasal 1813)

1. pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak


1. salah satu pihak meninggal, pengampuan, dan pailitnya salah satu pihak
2. Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama menyebabkan
ditariknya kuasa pertama

5. Yang Berhak Menerima Kuasa


Pasal 123 ayat (1) HIR/Pasal 147 ayat (1) RBg, tidak menentukan siapa yang dapat
bertindak sebagai kuasa. Pasal tersebut hanya menentukan syarat untuk bertindak
sebagai kuasa atau wakil dari Penggugat adalah sebagai berikut:

1. Harus mempunyai surat kuasa;


2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat;
3. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila gugatan
diajukan secara lisan;
4. Ditunjuk oleh Penggugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan.

Dari ketentuan pasal tersebut ternyata bukan hanya advokat/pengacara yang


dapat menjadi kuasa atau wakil, melainkan juga setiap orang. Akan tetapi,
menurut Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor 1 Tahun 1965, tanggal 28 Mei
1965 Jo. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. J.P. 14/2/11, tanggal 28 Oktober
1965 tentang Pokrol, maka orang yang dapat mewakili pemberi kuasa di
persidangan adalah: Telah terdaftar sebagai Advokat dan Telah terdaftar sebagai
Pokrol;
Dalam perkembangannya seorang kuasa dengan dikeluarkannnya UU Advokat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  18   Tahun 2003 Tentang Advokat,
tidak setiap orang dapat menjadi kuasa hukum, akan tetapi hanya yang mendapat
izin resmi dari negara, yaitu seorang advokat dengan ketentuan memenuhi
perssyaratan-persyaratan yang termaktub dalam UU No. 18 Tahun 2003
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Advokat. Undang-Undang Advokat membedakan antara Advokat
Indonesia dan Advokat Asing, dimana yang dimaksud dengan Advokat Indonesia
adalah Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang
telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat terbit, sedangkan yang
dimaksud Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang
menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan
persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilarang membukat
kantor di Indonesia
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 dalam Pasal 3 ayat (1) mengamanahkan
Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :

1. warga negara Republik Indonesia;


2. bertempat tinggal di Indonesia;
3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang
tinggi

Undang-Undang Advokat mendelegasikan kepada 8(delapan) organisasi yang


didirikan sebelum Undang-Undang Advokat, yaitu untuk sementara secara
bersama-sama menjalankan tugas dan wewenang Organisasi Advokat sampai
dengan terbentuknya Organisasi Advokat, dalam jangka waktu 2(dua) tahun
terhitung sejak terbitnya Undang-Undang Advokat tanggal 5 April 2003 s/d
tanggal 5 April 2004. Dimana 8(delapan) organisasi tersebut masing-masing
didirikan pada tahun yang berbeda perhatikan tabel di bawah ini.

Organisasi Didirikan

Ikatan Advokat 1985 di Jakarta


Indonesia (IKADIN)

Asosiasi Advokat 27 Juli 1990 di


Indonesia (AAI) Jakarta

Ikatan Penasihat 9 Mei 1987 di


Hukum Indonesia Surabaya
(IPHI)

Asosiasi Konsultan 1988 di Jakarta


Hukum Indonesia
(AKHI)

Himpunan Konsultan 4 April 1989 di


Hukum Pasar Modal Jakarta
(HKHPM)

Serikat Pengacara 10 Desember


Indonesia (SPI) 1997 di Jakarta

Himpunan Advokat Juli 1993 di


dan Pengacara Jakarta
Indonesia (HAPI)
Asosiasi Pengacara 18 Februari
Syariah Indonesia 2003 di
(APSI) Semarang

Tabel: Pendirian Organisasi Advokat sebelum Undang-Undang Advokat


Dengan demikian 8 (delapan) organisasi advokat tersebut adalah:

 organisasi yang diakui oleh Undang-Undang Advokat sebagai organisasi yang


didirikan sebelum Undang-Undang Advokat tersebut terbit,
o berhak menjalankan tugas dan wewenang sebagai organisasi advokat yang
diberikan oleh Undang-Undang Advokat tersebut yang sifatnya sementara
yaitu sampai dengan terbentuknya organisasi advokat berdasarkan
Undang-Undang Advokat,     
o tidak diberi kewenangan untuk menyesuaikan atau membentuk
Organisasi Advokat karena yang berhak untuk menjadi anggota advokat
adalah setiap advokat bukan organisasi advokat,
o para advokat yang berhak untuk menentukan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga organisasi,
o suatu isyarat oleh Undang-Undang Advokat namun tidak secara tegas,
yaitu untuk mengkonsulidasikan anggota-anggotanya untuk membentuk
organisasi advokat yang diamanahkan Undang-undang Advokat, karena
mau tidak mau, suka tidak suka pada tanggal 5 April 2005, tugas dan
wewenang organisasi advokat tidak dapat lagi dijalankan dan mengatur
organisasi advokat

Pada perkembangan selanjutnya, pada tanggal 6 September 2003 bertempat di


Hotel Marcopolo Bandar Lampung, telah diadakan musyawarah Advokat se
Propinsi Lampung telah menyetujui untuk membentuk wadah tunggal organisasi
advokat dan membentuk Tim Formatur untuk menyusun anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga. Tim Formatur telah berhasil menyelesaikan anggaran
dasar dan memberi nama organisasi advokat tersebut dengan nama Persaturan
Advokat Indonesia (Peradin). Anggaran Dasar tersebut dinyatakan dalam akta
Notaris Soekarno, SH di Bandar Lampung tanggal 15 Nopember 2003, dan
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 9 Januari 2204
Nomor 3, dimuat dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2004.
Walaupun Peradin telah terbentuk, tetapi dalam kenyataannya belum dapat
menyatukan seluruh para advokat di Indonesia. Hal ini dikarenakan 8 organisasi
advokat yang disebut dalam Undang-Undang Advokat melalui forumnya yang
dinamakan Komite Kerja Advokat Indonesia, sementara masih menjalankan tugas
dan wewenangnya sebagai organisasi advokat dan belum memotivasi seluruh
advokat di Indonesia untuk menerima Peradin sebagai wadah tunggal organisasi
advokat, bahkan ada keinginan yang cenderung untuk membentuk organisasi
advokat dengan bentuk federasi.

B. Jenis Kuasa

1. Kuasa Umum diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menurut pasal ini kuasa
umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk memberikan
kepentingan pemberi kuasa, yaitu; melakukan tindakan pengurusan harta
kekayaan pemberi kuasa, pengurusan yang biasa disebut beherder ini meliputi
segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta
kekayaannya.
2. Kuasa khusus diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata menjelaskan, pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam Pasal ini sah
sebagai surat kuasa khusus harus terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang
tertuang dalam Pasal 123 HIR
3. Kuasa Istimewa diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata dan Pasal 157 HIR dan
Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai
kuasa istimewa.

1. bersifat limitatif yaitu; untuk memindahkan tangankan benda-benda milik


pemberi kuasa, atau meletakkan hak tanggungan diatas benda tersebut. Untuk
membuat perdamaian dengan pihak ketiga dan untuk mengucapkan sumpah
penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan
ketentuan Pasal 157 HIR/ 184 RBg.
2. Harus berbentuk akta otentik (Pasal 123 HIR)
3. Kuasa Perantara yang disebut juga agen (agent) berdasarkan Pasal  1792
KUHPerdata, dalam pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen perdagangan
(commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker yang lazim disebut
“perwakilan dagang”
4. Kuasa Menurut Hukum, yaitu undang-undang sendiri telah menetapkan
seseorang atau badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak
mewakili orang atau badan hukum tanpa memerlukan surat kuasa. Misalnya;
Wali terhadap Anak di bawah umur, Orang tua terhadap anak yang belum
dewasa, curator terhadap orang yang tidak waras

C. Bentuk Kuasa didepan Pengadilan

1. Kuasa secara Lisan Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR  dan Pasal 120 HIR, bentuk
lisan terdiri dari; dinyatakan secara lisan oleh penggugat di hadapan Ketua
Pengadilan Negeri dan kuasa yang ditunjuk secara lisan di pengadilan. Hal ini
dilakukan apabila tergugat tidak pandai menulis. Penunjukan secara lisan ini
dilakukan dengan tegas, selanjutnya hakim menyuruh panitera mencatatnya di
berita acara sidang.
2. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR
(Pasal 147 ayat (1) RBg. Cara penunjukkan ini dikaitkan dengan Pasal 118 HIR
(Pasal 142 RBG) yaitu penggugat dapat langsung mencantumkan dan menunjuk
kuasa yang dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses pemeriksaan.
3. Surat Kuasa Khusus, Pasal 123 ayat (1) HIR  menyatakan, selain kuasa secara
lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat
diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus.
a. Syarat dan formulasi surat kuasa khusus  menurut SEMA No. 6 tahun
1994, 14 Oktober 1994 yang juga telah dideskripsikan dalam pembahasan
SEMA No. 2 Tahun 1959 yaitu: pertama, menyebut dengan jelas spesifik
surat kuasa, untuk beracara dipengadilan; kedua, menyebut kompetensi
relative; ketiga, menyebut identitas dan kedudukan para pihak, dan;
keempat, menyebut secara ringkas dan kongkrit pokok dan objek sengketa
yang diperkarakan.
b. Bentuk formil surat kuasa khusus;
4. Akta Notaris

ii. Akta yang dibuat didepan Notaris, biasanya dibuat dihadapan Panitera PN
sesuai dengan kompetensi relatif
iii. Dilegalisir oleh ketua PN atau hakim

1. Akta di bawah tangan, keabsahan surat kuasa khusus yang berbentuk akta di
bawah tangan, tercipta terhitung sejak tanggal penandatanganan para pihak.
Tidak diperlukan legislasi dari pejabat manapun.

Pemberian kuasa dengan surat kuasa khusus, artinya menunjuk kepada macam
perkara tertentu dengan perincian isi kuasa yang diberikan itu. Yang dimaksud
dengan macam perkara itu menunjuk kepada materi perkara seperti soal warisan,
soal jual beli tanah, dan lain-lain.
Penerima kuasa dapat juga melimpahkan kuasa itu kepada pihak pengganti
penerima kuasa yang disebut hak substitusi. Hak substitusi ini perlu dicantumkan
dalam surat kuasa khusus. Apabila tidak dicantumkan dalam surat kuasa khusus
penerima kuasa tidak boleh menggunakan hak substitusi. Perlunya hak substitusi
ini dicantumkan dalam surat kuasa khusus ialah untuk menjaga kemungkinan
berhalangan penerima kuasa, misalnya karena berhalangan dinas keluar negeri,
berhalangan karena sakit dan lain-lain.
Meskipun pihak-pihak yang telah memberikan kuasa atau diwakilkan perkaranya
kepada orang lain, apabila hakim ragu-ragu tentang hak dan luasnya kuasa yang
diberikan kepada penerima kuasa, hakim dapat memerintahkan sipemberi kuasa
hadir sendiri kemuka pengadilan untuk menjelaskan apa isi yang dikuasakan. Hal
ini agar si pemberi kausa tidak dirugikan disamping itu terkadang hakim
menganggap perlu untuk langsung mendengar tentang suatu persoalan tersebut
dari si penggugat.
Adapun yang harus dimuat dalam surat kuasa khusus ialah:

1. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat
atau tempat tinggal
2. Apa yang menjadi pokok sengketa perdata. Hal ini menunjukkan kepada
kekhususan perkara, misalnya perkara Sengketa tanah, jual beli, uang jasa,
perceraian, dan sebagainya
3. Pertelaan isi kuasa yang diberikan. Ini menjelaskan tentang kekhususan isi kuasa,
dalam batas-batas tertentu, artinya apabila tidak disebutkan dalam pertelan itu,
penerima kuasa tidak berwenang. Pembatasan tersebut juga menjelaskan apakah
kuasa itu berlaku dimuka Pengadilan Negeri saja, atau termasuk juga naik
banding, atau termasuk juga permohonan kasasi.
4. Memuat hak substitusi. Hal ini perlu apabila penerima kuasa berhalangan. Untuk
mensubstitusikan suatu surat kuasa khusus haruslah dengan surat kuasa
substitusi dan tidak bisa hanya dengan membuat surat pernyataan saja.
Pencabutan kuasa secara intern tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak ketiga. Oleh karena itu, seandainya ada pencabutan surat kuasa, maka
surat pencabutan itu disampaikan kepada si kuasa, sedangkan tembusannya
disampaikan kepada Pengadilan dan lawan berperkara.

D. Kewajiban si Kuasa dan Penerima Kuasa


1. Kewajiban Si Kuasa
Kewajiban si kuasa diatur dalam Pasal 1800 sampai dengan Pasal 1806 BW, yaitu
sebagai berikut:

1. Melaksanakan kuasanya; yaitu menanggung segala biaya; menanggung kerugian;


dan menanggung segala bunga yang dapat timbul karena tidak dilaksanakannya
kuasa itu;
2. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi
kuasa meninggal;
3. Bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja;
4. Bertanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam
menjalankan kuasanya;
5. Memberi laporan tentang apa yang telah diperbuatnya;
6. Memberikan perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang telah
diterimanya berdasarkan kuasa
7. Bertanggung jawab untuk kuasa substitusinya:
8. Dalam hal kuasa lebih dari 1 (satu) orang, maka mereka tidak tanggung-
menanggung;
9. Membayar bunga atau uang-uang pokok yang dipakainya guna keperluan sendiri;
10. Tidak bertanggung jawab tentang apa yang terjadi di luar batas kuasa itu, kecuali
jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.

2. Kewajiban Pemberi Kuasa


Kewajiban pemberi kuasa diatur dalam Pasal 1807 sampai dengan Pasal 1812 BW
sebagai berikut:

1. Memenuhi perikatan-perikatan yang diperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan


yang telah diberikan kepadanya;
2. Terikat dengan apa yang diperbuat oleh kuasanya di luar yang dikuasakan
kepadanya, asal hal itu telah disetujuinya secara tegas atau secara diam-diam;
3. Mengembalikan kepada kuasa persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah
dikeluarkan oleh kuasa untuk melaksanakan kuasanya;
4. Membayar upah kuasa yang telah diperjanjikan;
5. Memberi ganti-rugi kepada si kuasa tentang kerugian-kerugian yang diderita
sewaktu menjalankan kuasanya;
6. Membayar bunga atau persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh kuasa,
terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot-persekot itu;
7. Dalam hal pemberi kuasa secara kolektif, maka masing-masing pemberi kuasa
bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap si kuasa mengenai segala akibat
dari pemberian kuasa itu (renteng);
8. Si kuasa berhak menahan segala kepunyaan si pemberi kuasa yang berada di
tangannya, sampai dibayar lunas segala hak-hak si kuasa (hak retensi).[1]
Ruang Lingkup Permasalahan Gugatan Kontentiosa

1. Pengertian
Kontentiosa atau contentiosa atau contentious berasal dari bahasa latin yang salah
s     atu artinya penyelesaian sengketa perkara dengan penuh semangat bertanding
dan berpolemik.[1]  Gugatan kontentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan
perdata dalam praktik. Dalam Pasal 118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah
gugatan perdata[2]
Gugatan kontentiosa ini terjadi apabila dalam suatu perkara, tidak dapat
diselesaikan oleh pihak-pihak secara damai, maka jalan terakhir yang dapat
ditempuh adalah melalui hakim (pengadilan). Untuk dapat menyelesaikan melalui
hakim, penggugat harus mengajukan permohonan gugatan kepada ketua
Pengadilan Negeri. Gugatan yang diajaukan kepada ketua Pengadilan Negeri
tersebut disebut perkara perdata (burgelijk vordering, civil suit). Yang
mengajukan permohonan gugatan disebut Penggugat (eischer, plaintif).
Sedangkan pihak yang digugat disebut Tergugat (gadaagde, dependent).
Permohonan gugatan itu dapat diajukan secara tertulis, dan dapat secara lisan,
apabila penggugat tidak dapat menulis. Pemohonan gugatan secara tertulis
disebut surat gugatan (schriftelijk vordering, written suit).
Prof. Sudikno Mertokusumo mempergunakan istilah gugatan, berupa tuntutan
perdata (burgelijke wordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan
pihak lain. Prof Subekti, mempergunakan sebutan gugatan yang dituangkan dalam
surat gugatan. Dalam praktiknya istilah gugatan selalu diidentikkan dengan
gugatan kontentiosa. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan gugatan perdata
adalah gugatan kontentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang
berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada
pengadilan.
2. Bentuk Gugatan
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan Undang-undang dalam praktik dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. bentuk lisan, hal ini diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang
menegaskan: “Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat
gugatan atau menyuruh mencatatnya.”

Mengenai pengajuan gugatan secara lisan disyaratkan bahwa penggugat tidak bisa
membaca dan menulis(buta aksara) dan diajukan sendiri oleh yang bersangkutan
(tidak boleh diwakilkan) kepada ketua Pengadilan dengan menjelaskan atau
menerangkan isi dan maksud gugatan.
b.  Gugatan Tertulis
Hal  ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG) yakni “gugatan
perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan  yang
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.” Memperhatikan ketentuan ini,
yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah
sebagai berikut:
 penggugat sendiri

Pada dasarnya semua orang dan badan hukum mempunyai hak melakukan
perbuatan hukum,[3] maka surat gugatan dibuat dan ditandatangani sendiri.
Kebolehan ini tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, dengan demikian tidak
ada keharusan atau kewajiban bagi penggugat untuk menguasakan ataupun
memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan
kepada seseorang yang berpredikat pengacara, namun demikian hal ini tidak
mengurangi haknya untuk menunjuk seorang atau beberapa orang kuasa, yang
akan bertindak mengurus kepentingannya.[4]

 Kuasa

Pasal 118 ayat (1) HIR juga memberikan hak dan kewenangan kepada kuasa atau
wakilnya untuk membuat dan menandatangani, mengajukan atau menyampaikan
surat gugatan ke Pengadilan Negeri
3. Formulasi Surat Gugatan
Menurut ketentuan Pasal 118 HIR – 142 R.Bg, yang mengatur tentang kompetensi
relatif Pengadilan Negeri, permohonan gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, atau jika tidak
diketahui tempat tinggal tergugat, tempat tinggal sesungguhnya.  Jika terdapat
lebih dari seorang tergugat, yang tidak bertempat tinggal dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri yang sama, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat
menurut pilihannya. Jika antara tergugat itu ada hubungan sebagai orang yang
berhutang pertama dan penjamin, maka gugatan diajukan kepada ketua
Pengadilan Negeri yang derah hukumnya meliputi tempat tinggal orang yang
berhutang pertama atau salah seorang diantara mereka. Jika tergugat tidak
dikenal, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat, atau salah seorang diantara
mereka, atau jika gugatan itu  berhubungan dengan benda tetap, kepada ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu terletak. Jika
dipilih tempat tinggal dengan surat akta, maka penggugat bila menghendakinya
dapat mengajukan gugatannya kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih itu.
Surat gugatan itu diserahkan kepada panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Setelah panitera menerima surat gugatan itu, maka ketika itu juga
ia merencanakan berapa biaya yang diperlukan, jumlah mana dicantumkan
dengan disposisi bertanggal serta paraf. Kemudian diteruskan kepada bagian
keuangan untuk pembayaran jumlah biaya yang telah disetujuai oleh penitera,
serta membukukannya kedalam buku kas dan memberikan kwitansi kepada
penggugat. Kemudian surat gugatan itu didaftarkan dalam buku register, diberi
nomor perkara. Surat gugatan yang telah didaftarkan itu lalu diteruskan kepada
ketua Pengadilan Negeri untuk ditetapkan pemeriksaannya.
Dalam perkara hal- hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan gugatan ke
Pengadilan Negeri, yaitu:

1. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan


2. Materai, suatu gugatan yang tidak bermaterai  tidaklah mengakibatkan gugatan
tersebut menjadi batal akan tetapi dikembalikan untuk diberi materai Pada
materai itu kemudian diberi tanggal, bulan, dan tahun pembuatannya atau
didaftarkannya gugatan di Pengadilan Negeri
3. Tanda Tangan; suatu gugatan haruslah ditanda tangani  oleh Penggugat sendiri
atau oleh kuasanya.
4. Keterangan lengkap dari pihak yang berperkara, yaitu tentang nama, alamat,
umur, pekerjaan, dan agama. Untuk mengajukan suatu gugatan, maka terlebih
dahulu diperiksa apakah para pihak dalam gugatan itu telah lengkap atau belum.
Suatu gugatan yang diajukan oleh orang yang tidak berhak tidak dapat
diterima[5]

Dalam hal Penggugat atau Tergugatnya adalah suatu badan hukum, maka harus
secara tegas disebutkan dan siapa yang berhak mewakilinya menurut anggaran
dasar atau peraturan yang berlaku. Atau adakalanya kedudukan sebagai Penggugat
atau Tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan hukum itu, maka harus jelas
disebutkan mengenai identitas badan hukum tersebut. Misalnya, jika kita
menggugat seorang Walikota, maka identitasnya ini harus dibuat sebagai berikut:
Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta, cq, Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia di Jakarta, cq. Gubernur  Tk I …………………….. di …………………, aq.
Walikota Tk II ………………….., di ……………………….., yang dalam hal ini diwakili
oleh Walikota.

 Dasar gugatan (fundamentum petendi) yang memuat uraian tentang kejadian


atau fakta/peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan
hukum yang terjadi antara penggugat dan tergugat atau penjelasan fakta-fakta
yang langsung berkaitan dengan dasar hukum  atau hubungan hukum yang
didalilkan penggugat. (fetelijke gronden, factual grounds), dan uraian tentang
dasar hukum yaitu adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar
yuridis dari gugatan itu (recht-gronden, legal grounds). Untuk lebih jelasnya
akan diuraikan sebagai berikut:
o objek perkara misalnya menyangkut sengketa hak atas tanah, sengketa
perkawinan, sengketa merk dagang, dan lain-lain. Objek perkara ini harus
dirinci secara jelas dan serinci mungkin.[6]
o Fakta-fakta Hukum yaitu uraian mengenai hal-hal yang menyebabkan
timbulnya sengketa.
o Kualifikasi Perbuatan Tergugat yaitu suatu perumusan mengenai
perbuatan material maupun formal dari tergugat yang dapat berupa
perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad), perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh penguasa (Onrechtmatige Overheids daads),
wanprestasi, dan sebagainya.
o Uraian kerugian yaitu suatu rincian mengenai kerugian yang diderita
Penggugat, sebagai akibat perbuatan Tergugat. Kerugian tersebut dapat
berupa kerugian materil maupun moril. Kerugian tersebut haruslah dapat
ditaksir dengan jumlah uang. Uraian ini harus diuraikan secara terinci,
satu persatu unsur-unsurnya dari kerugian yang timbul dan harus  pula
dilengkapi dan didukung dengan bukti-bukti tertulis. Sedangkan kerugian
moril jumlahnya hanya ditaksir saja menurut kedudukan dan status
seseorang di dalam masyarakat.
o Hubungan posita dengan petitum; posita adalah dasar untuk membuat
petitum Oleh sebab itu hal-hal  yang tidak dikemukakan dalam posita
tidak dapat dimohonkan dalam petitum[7] Petitum tidak boleh
bertentangan dengan posita. Petitum tidak boleh melebihi posita,
sebaliknya petitum dapat kurang dari posita. Hakim pada prinsipnya tidak
boleh mengabulkan lebih daripada apa yang dimohonkan dalam petitum,
akan tetapi hal ini dapat dilakukan asal sudah pernah dikemukakan dalam
posita, artinya putusan yang mengabulkan lebih daripada apa yang
dituntut, diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan keadaan material,
dan tidak menyimpang dari apa yang dituntut.[8]
o Bunga; dalam posita terkadang juga perlu disinggung tentang bunga
apabila hal itu akan dimintakan dalam petitum. Untuk itu harus 
dikemukakan dengan alasan-alasannya, misalnya apakah bunga tersebut
sudah diperjanjikan sebelumnya, atau karena penggugat tidak dapat
mengusahakan atau menggunakan uang tersebut.  Selain itu ada yang
dikenal dengan bunga moratoir yaitu suatu keuntungan yang dapat
diharapkan diperoleh apabila uang dipergunakan atau diusahakan 
tergugat. [9]
o Dwangsom yaitu uang paksa yang ditetapkan sebagai denda yang harus
dibayar karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian. Permintaan tentang
dwangsom dapat didasarkan pada Pasal 225 HIR/ Pasal 259 RBg. Akan
tetapi dwangsom tidak berlaku atau tidak dapat dituntut terhadap
tindakan untuk membayar uang[10]
 Apa yang dimohonkan atau dituntut oleh penggugat supaya diputuskan oleh
hakim (petitum, petition). Yang dituntut itu dapat dirinci menjadi dua yaitu;
tuntutan primair yang merupakan tututan pokok, dan tuntutan subsidair yang
merupakan tuntuan pengganti apabila tuntuan pokok ditolak hakim. Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
o Tuntutan primer berisikan  :
 menerima gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau mengabulkan gugatan
Penggugat untuk seluruhnya
 menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan atau yang
dimohonkan
 Menyatakan sah dan berharga perjanjian yang telah dibuat atau objek perkara
adalah sah milik penggugat
 Menghukum tergugat untuk menyerahkan barang yang sudah dibeli atau
menyerahkan objek perkara dalam keadaan kosong, atau membayar ganti rugi,
dan sebagainya
 Menyatakan putusan serta merta dapat dilaksanakan walaupun ada banding atau
kasasi dari Tergugat
 Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara
ini.
o tuntuan subsider misalnya dirumuskan dengan “mohon putusan yang
seadil-adilnya” (Ex Aequo Et Bono)

Dalam surat gugatan, dasar gugatan itu harus jelas dan mendukung apa yang
dimohonkan atau dituntut oleh penggugat. Dengan demikian mudah dimengerti
dan dapat diterima oleh pengadilan. Artinya setiap peristiwa atau kejadian yang
mendukung adanya hubungan hukum dilukiskan secara kronologis dan sistematis,
sehingga mudah menentukan isi dari petitum. Hal yang demikian memudahkan
hakim untuk menilai apakah dasar gugatan itu merupakan sebab yang menjadi
alasan penggugat untuk memintakan supaya dikabulkan isi tuntutan (petitum) itu.
Isi petitum itu juga diuraikan secara jelas, kronologis dan sistematis, sehingga
setiap kalimat petitum itu diharapkan dapat diterima oleh hakim.
Sehubungan dengan dasar gugatan tersebut yang dibuat secara tertulis timbul
pertanyaan, sampai berapa jauh peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan
itu harus diperinci? Dalam ilmu hukum dikenal dua macam teori tentang
penyusunan surat gugatan yaitu;

1. Subtantieringstheorie, yang menyatakan bahwa dalam surat gugatan harus


disebutkan dan diuaraikan rentetan kejadian yang nyata yang mendahului yang
menjadi dasar gugatan itu. Misalnya tidak cukup hanya menyebutkan “penggugat
adalah pemilik barang” melainkan harus disebutkan juga penggugat memiliki
barang itu karena telah membelinya, atau telah mewarisinya dari orang tua
almarhum, atau karena mendapat hibah, hadiah dan sebagainya.
2. Individualiseringstheorie, yang menyatakan bahwa kejadian yang disebutkan
dalam surat gugatan cukup menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi
dasar tuntutan sedangkan sejarah terjadinya tidak perlu disebutkan sekaligus
dalam surat gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam sidang dengan
pembuktiannya.[11]

4. Pendaftaran Gugatan
Surat Gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berkompeten
sesuai Pasal 118 dan 121 HIR/Pasal 142 dan 145 RBg harus didaftarkan di
kepaniteraan perdata dimana Surat Gugatan itu ditujukan. Pendaftaran gugatan
disertai dengan membayar sejumlah uang. Perkiraan mengenai jumlah panjar
biaya perkara ini dengan mempertimbangkan keadaan perkara, pemberitahuan
yang diwajibkan kepada kedua belah pihak, dan harga materai. Dalam prakteknya
panjar perkara yang diasa disebut POP (Persekot Ongkos Perkara) ini akan
berbeda-beda untuk setiap Pengadilan Negeri.
Pasal 182  HIR/ Pasal 193 RBg menyebutkan:

1. ongkos perkara Pengadilan dan ongkos materai


2. ongkos saksi, saksi ahli, dan juru bahasa, terhitung juga sumpah mereka
3. ongkos pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
4. gaji pejabat yang disuruh melakukan pemanggilan, pemberitahuan dan segala
surat juru sita yang lain
5. ongkos surat keterangan alat bukti yang disebabkan oleh perkara.

Dalam Pasal 183 HIR/ Pasal 194 RBg menentukan bahwa dalam suatu putusan
harus disebutkan banyaknya ongkos yang harus dibayar oleh pihak yang kalah
berperkara.

[1] K. Prent, dkk, Kamus Latin Indonesia, (Jakarta: Kanius, 1969), hal. 188
[2] R. Soesilo, RIB/HIR dengan penjelasan, (Bogor:Politea, 1985)
[3] Tentunya diluar orang-orang yang belum dewasa dan orang yang berada
dibawah pengampuan dan anak di bawah umur dalam perkara harus diwakili oleh
walinya
[4] Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hal. 11 lihat juga
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1998) hal, 11
[5] AT. Hamid, Kamus Yurisprudensi dan Beberapa Pengertian Tentang Hukum
(Acara) Perdata, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984) hal. 111
[6] Putusan Mahkamah Agung 17 April 1979 Reg. No. 1149 K/Sip/ 1979
menentukan bila tidak jelas batas-batas tanah sengketa maka gugatan tidak dapat
diterima Demikian juga putusan Mahkamah Agung tanggal 21 Agustus 1974 Reg.
No. 565 K/Sip/ 1973, mengatakan kalau objek gugatan tidak jelas, maka gugatan
tidak dapat diterima
[7] Lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung 13 Mei 1975, Reg. No. 67 K/Sip/ 1975
[8] Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 januari 1972 Reg. No. 556 K/Sip/1971
lihat juga Putusan Mahkamah Agung No. 339 K/Sip/ 1969
[9] Menurut Yuriprudensi bunga maksimum sebesar 6% pertahun sedangkan
dalam prakteknya bunga moratoir dihitung sebesar 10% pertahun
[10] Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 791 K/Sip/ 1972
[11] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata (Kuliah Kerja), (Yogyakarta:
Gadjah Mada, 1964), hal. 5
KUALIFIKASI GUGATAN

A. ONRECHTMATIGE DAAD

1.       Pengertian
Dalam praktek, kebanyakan gugatan perdata ke Pengadilan adalah gugatan
tentang perbuatan melawan hukum, disamping gugatan yang berdasarkan
kontrak/perjanjian, dan lainnya.  Onrechtmatige Daad  diatur dalam Pasal 1365
BW, yang oleh beberapa ahli diterjemahkan sebagai “Perbuatan melawan hukum”.
Perbuatan melawan hukum disini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan
melawan hukum bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan melawan
hukum pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah ”perbuatan pidana”.
Perbuatan melawan hukum di dalam prakteknya dapat bersifat aktif ataupun pasif.
Bersifat aktif berarti bilamana seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Sedangkan bersifat pasif berarti bahwa
seseorang itu tidak berbuat sesuatu, yang akibatnya menimbulkan kerugian-
kerugian pada orang lain.
Pasal 1365 BW merumuskan perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya itu mengganti kerugian yang timbul tersebut.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) katagori dari perbuatan melawan hukum,
yaitu:

1. perbuatan melawan hukum karena kesengajaan, diatur dalam Pasal 1365


2. perbuatan melawan hukum karena kelalaian  1366
3. perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian) diatur dalam pasal 1367

2. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum


Dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan hukum
haruslah mengandung unsur unsur sebagai berikut

1. Adanya suatu perbuatan

Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari sipelaku.
Perbuatan yang dimaksudkan disini ialah berbuat dan tidak berbuat. Artinya baik
berbuat sesuatau dalam arti aktif maupun tidak berbuat sesuatu dalam arti pasif
padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana
yang timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari
suatu kontrak). Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur
”causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak[1]

  Perbuatan melawan hukum

Sebelum tahun 1919 pengertian melawan hukum itu hanyalah menyangkut


perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain atau bertentangan dengan
kewajiban si pembuat sendiri[2]. Atau dengan kata lain, melawan hukum
ditafsirkan sebagai melawan undang-undang saja. Pandangan ini dipengaruhi oleh
ajaran legisme yang berpendapat: tidak ada hukum di luar undang-undang. Sejak
tahun 1919, unsur melawan hukum ditafsirkan dalam arti seluas-luasnya, yakni
meliputi hal-hal sebagai berikut:

 Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku


 Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum
 Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
 Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
 Perbuatan yang bertentangan dengan sikap baik dalam bermasyarakat untuk
memperhatikan kepentingan orang lain.

c. Melanggar hak subjektif orang lain


Hak subjektif orang lain adalah suatu hak/wewenang khusus yang
diberikan/dijamin hukum kepada seseorang untuk digunakan bagi
kepentingannya. Adapun hak-hak subjektif adalah sebagai berikut:

1. Hak-hak perorangan, seperti kebebasan, kehormatan, nama baik, dan lain-lain.


Termasuk dalam pelanggaran hak subjektif orang lain adalah perbuatan fitnah,
menyebarkan kabar bohong, dan lain-lain.
1. Hak-hak atas harta kekayaan, misalnya hak-hak kebendaan dan hak
mutlak lainnya.

d. Ada kesalahan (Schuld)


Perbuatan yang dilakukan itu haruslah perbuatan yang salah, yang dapat berupa
kealpaan (onachtzaamheid)  dan kesengajaan. Karena itu tanggung jawab tanpa
kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab dalam Pasal 1365
KUHPerdata. Kesengajaan sudah cukup bilamana pada waktu melakukan perbuat-
an atau melalaikan kewajibannya itu sudah mengetahui atau dapat memikirkan,
bahwa akibat perbuatannya itu pasti akan timbul[3]
Kesalahan yang berupa kesengajaan, misalnya adalah si pelaku berbuat lain
daripada apa yang seharusnya dilakukannya. Sedangkan kealpaan berarti tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya atau melalaikan kewajibannya.
Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga
dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:

 Ada unsur kesengajaan, atau


 Ada unsur kelalaian dan
 Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf seperti keadaan overmacht,
membela diri, orang gila dan sebagainya

e. Ada kerugian
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa adanya kerugian bagi korban juga
merupakan syarat  perbuatan melawan hukum. Akibat perbuatan itu timbul
kerugian yang diderita orang lain. Berbeda dengan wanprestasi yang hanya
mengenal kerugian materil, Dalam Onrechtmatige Daad kerugian itu dapat
berupa kerugian materiel atau moril. Kerugian materiel adalah kerugian berupa
materi, seperti rusaknya barang, tidak diperolehnya keuntungan, hilangnya
benda/barang, dan lain-lain. Sedangkan kerugian moril menyangkut kehormatan,
harga diri, dan lain-lain dan ditaksir nilainya dengan uang sesuai status sosial
Penggugat. Kerugian tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang.
f. Adanya hubungan causal Antara Perbuatan dengan Kerugian
Untuk dapat menuntut ganti kerugian haruslah ada hubungan causal  antara
perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian yang diderita Penggugat.
Hubungan itu harus jelas, dapat dibuktikan untuk dikabulkan. Untuk hubungan
sebab akibat ini ada dua teori yaitu:

 Teori hubungan faktual yang hanya merupakan masalah fakta atau apa yang
secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya
kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual
 Teori penyebab kira-kira (proximate cause) yang merupakan bagian paling
membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum
tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-kadang untuk penyebab jenis ini
disebut juga istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.

B. ONRECHTMATIGE OVERHEIDS DAAD

Perbuatan melawan hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheids


Daad,)  dalam praktek khususnya mengenai perbuatan lembaga eksekutif atau
alat-alat pemerintahan atau administrasi. Hai ini terjadi sebagai konsekuensi
kekuasaan eksekutif yang sedemikian besar dan kerap kali berbenturan dengan
hak-hak pribadi para warga negara.
Dalam negara hukum warga negara harus dilindungi dari hal-hal:

1. Salah penerapan undang-undang,


2. Pelampauan kewenangan
3. Penyalahgunaan kekuasaan dan
4. Kesewenang-wenangan oleh penguasa.[4]

Kewenangan peradilan umum untuk mengadili tuntutan kepada penguasa yang


melakukan perbuatan melawan hukum pada pokoknya didasarkan pada Pasal 2
RO (Rechterlijke Organisatie).  Arrest Hoge Raad 18 Agustus 1944 (NJ 1944/45,
589) yang lebih dikenal dengan Arrest Kotapraja Alkmaar melawan N. Holland,
menetapkan bahwa Pengadilan umum berwenang mengadili tuntutan kepada
penguasa atas dasar perbuatan melawan hukum. Baik perbuatan itu mengenai
ganti rugi, perintah atau larangan perbuatan di kemudian hari. Adapun
pertimbangannya, antara lain bahwa Pasal 1401 Ned – BW (Pasal 1365
KUHPerdata) memberi hak atas ganti rugi. Jadi, tuntutan piutang berdasarkan
Pasal-pasal 2 RO memberi kewenangan kepada hakim untuk mengadilinya, baik
piutang itu mengenai hukum publik maupun hukum privat[5]
Adapun perbuatan melawan hukum oleh penguasa itu dapat dirinci sebagai
berikut:[6]
1. Melanggar Hak Subjektif Orang Lain
Tindakan/perbuatan penguasa yang dikualifikasi sebagai melanggar hak subjektif
orang lain adalah tindakan/perbuatan-perbuatan:

1. Tidak/kurang mengindahkan hak milik orang lain. Misalnya, tindakan


membongkar bangunan tanpa prosedur hukum, menumpahkan dagangan
pedagang yang berjualan di tepi jalan, dan sebagainya.
2. Melanggar norma kepantasan dalam pemerintahan. Tindakan yang dianggap
melanggar norma kepantasan dalam pemerintahan, seperti membiarkan sungai
di tengah kota tertimbun sampah dan mengeluarkan bau busuk; membiarkan
pencemaran lingkungan yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan
penduduk di sekitar, dan membiarkan lubang di tengah jalan tidak tertutup
sehingga mencelakakan pemakai jalan raya.
3. Menyebabkan orang lain mati/cedera ketika menjalankan tugas secara kurang
hati-hati Misalnya, karena kurang hati-hati dalam menjalankan tugas sehingga
orang lain menderita cedera atau mati. Akibatnya, timbul kerugian bagi orang
tersebut atau keluarganya.
4. Memberi ganti-rugi yang lebih rendah dari harga sepantasnya. Tindakan
penguasa yang memberikan ganti rugi atas harta benda warganya lebih rendah
dari harga yang pantas jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Baik itu
misalnya pembebasan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau Pemerintah
ataupun untuk kepentingan pihak swasta yang membutuhkannya.

2. Lalai Melaksanakan Kewajiban


Penguasa lalai melaksanakan kewajibannya apabila:

1. Lalai mengerjakan, memelihara, menyelenggarakan apa yang menjadi


kewajibannya. Misalnya, kewajiban menjaga dan memelihara sarana-sarana
umum, seperti jalan, listrik (PLN), air (PAM), dan lain-lain agar tetap terpelihara
atau terselenggara dan terlaksana sebagaimana mestinya, agar tidak menimbul-
kan kerugian bagi para warganya.
2. Tidak melakukan pengamanan/tidak memberi tanda-tanda bahaya pada tempat-
tempat umum yang dapat menimbulkan bahaya bagi orang atau barang, seperti
adanya lubang di tengah jalan, gorong-gorong yang terbuka, dan lain-lain.
3. Berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya

3. Bertindak sewenang-wenang, misalnya:

1. bertindak melampau batas kekuasaannya seperti mengambil alih sesuatu milik


warganya tanpa prosedur hukum, dll
2. Melanggar hak penguasaan orang lain Misalnya, tindakan pejabat yang semena-
mena memisahkan seseorang warga dari harta bendanya yang selama ini di-
kuasainya, tanpa melalui prosedur hukum yang benar.
3. Menyerahkan milik seseorang warga kepada orang lain tanpa persetujuan
pemiliknya.

1. Membuat peraturan yang bukan menjadi wewenangnya.


2. Melakukan tindakan-tindakan yang tidak cukup anasir-anasir kepentingan
negara[7]. Misalnya, dalam tindakan-tindakan penggusuran atau pembebasan
tanah.
3. Melakukan pembongkaran bangunan-bangunan tanpa prosedur hukum.

C. WANPRESTASI
Dalam membicaran wanprestasi (ingkar janji) kita tidak bisa lepas dari suatu per-
ikatan atau perjanjian antara pihak dan kelalaian. Baik perikatan itu didasarkan
atas perjanjian sesuai Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1341 KUHPerdata maupun
perjanjian yang bersumber pada undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1352
sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Apabila salah satu pihak ingkar janji,
maka itu menjadi alasan bagi pihak lainnya untuk mengajukan gugatan. Demikian
juga tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian menjadi alasan untuk batal atau dapat dibatalkannya
suatu persetujuan/perjanjian melalui gugatan.
Pernyataan lalai dapat berbentuk surat perintah, dapat juga berdasarkan kekuatan
perjanjian yang telah ditetapkan, dan jika tegoran kelalaian sudah dilakukan  
barulah menyusul peringatan atau somasi atau anmaning[8]. Dalam hal terjadi
wanprestasi maka untuk membuktikannya harus ada somatie  atau peringatan dari
kreditur kepada debitur untuk memenuhi prestasinya. Pasal 238 KUHPerdata
menyatakan, debitur adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri ialah
jika ia menetapkan bahwa debitur akan harus dianggap lalai dengan sampainya
saat waktu yang ditentukan.
Menurut ketentuan ini maka wanprestasi itu baru ada bila debitur telah di-
somatie,  tetapi tidak melaksanakannya atau karena perikatan (perjanjian) sendiri
menentukan suatu tenggang waktu pemenuhan prestasi tersebut, yang ternyata
tidak dapat dipenuhi oleh debitur. Dalam hal tidak pernah
dilakukan somatie,  tetapi kreditur terus mengajukan gugatan ke Pengadilan, maka
debitur baru dianggap melakukan wanprestasi sejak gugatan didaftarkan di
Pengadilan, bukan sejak ia lalai melaksanakan prestasi tersebut.
Pasal 1239 KUHPerdata mengatakan, bahwa apabila ada wanprestasi (lalai)
berupa berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu; maka debitur dapat digugat
tentang penggantian biaya kerugian yang timbul dan diderita oleh kreditur dan
membayar bunga. Wanprestasi (ingkar janji) itu dapat berupa:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;


1. Memenuhi prestasi secara salah/tidak baik.
2. Terlambat memenuhi prestasi; [9]

Dalam hal terjadi wanprestasi yang menimbulkan kerugian bagi kreditur maka
kreditur tersebut dapat menuntut (menurut Pasal 1266 KUHPerdata) yaitu:

1. Pemenuhan perikatan;
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
3. Ganti rugi;
4. Pembatalan persetujuan timbal balik;
5. Pembatalan dengan ganti rugi.

Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah keharusan  atau kemestian bagi debitur
membayar ganti rugi/scadevergoeding. Atau dengan adanya wanprestasi oleh satu
pihak, pihak yang lain dapat menuntut “pembatalan perjanjian”[10] Sebab dengan
tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban “tidak tepat waktu” atau “tak
layak”, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang
lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Maka dapat dikatakan hampir
serupa perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi, dan wanprestasi adalah
merupakan ”genus spesifik” dari perbuatan melawan hukum.[11]

[1] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer,


(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal.11
[2] R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal.
76
[3] MA Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta:Pradya
Paramita, 1982), hal. 66
[4] Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Perkara Perdata,
(Bandung: Citra Adita Bakti, 2002), hal 105
[5] RM. Suryodiningrat, Asas-asas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito,1982),
hal. 52
[6] Darwan Prinst, Op.Cit., hal 106, 107
[7] Putusan Mahkamah Agung Reg. No.: 66 WSip/1952
[8] Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni,  1986) hal 62
[9] J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Alumni,
1999), hal 122
[10] Dalam Yurisprudensi Indonesia, Mahkamah Agung RI 1974 halaman 250
menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak
melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat
menuntut pembatalan jual beli.
[11] J. Satrio, Op.Cit, hal. 124

Anda mungkin juga menyukai