Pengertian Pembuktian
Pembuktian dalam perkara perdata merupakan bagian yang sangat kompleks
dalam proses beracara di Pengadilan. Keadaan kompleksnya semakin rumit,
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam
proses peradilan perdata. Kesulitan ini disebabkan beberapa faktor yakni:
Pertama, sistem yang memberikan hak yang sama kepada para pihak yang
berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing dan saling
membantah (adviral sistem)
Kedua, pada prinsipnya kedudukan hakim pasif, Hakim Perdata dalam
menjalankan fungsi mencari kebenaran tidak bebas memilih sesuatu apabila
hakim dihadapkan dengan alat bukti yang sempurna dan mengikat seperti akta
otentik, pengakuan dan sumpah. Dalam hal ini meskipun diragukan
kebenarannya, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilainya.[1]
Ketiga, fakta dan bukti tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli. Bahkan terkadang
bukti keterangan yang disampaikan saksi mengandung unsur dengan persangkaan
dan kebohongan.
B. Prinsip Penerapan Pembuktian
Beberapa prinsip umum yang berlaku bagi sistem hukum pembuktian adalah
C. Beban Pembuktian
Penentuan beban pembuktian merupakan persoalan yang tidak mudah, karena
tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban
pembuktian. Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan
kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban
pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban
pembuktian, yaitu pasal 163 HIR – 283 RBG; Tetapi ketentuan pasal ini tidak
begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban
pembuktian itu ada pada penggugat atau tergugat.
Untuk menentukan beban pembuktian itu ada pada pihak mana, marilah kita teliti
ketentuan pasal tersebut menurut bunyi kalimatnya sebagai berikut:
1. Barang siapa yang mengatakan mempunyai hak, dia harus membuktikan adanya
hak itu. Biasanya penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka
penggugatlah yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu.
2. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, dia
harus membuktikan adanya peristiwa tersebut. Apabila yang menyebutkan
peristiwa itu penggugat, maka dialah yang harus membuktikan, beban
pembuktian ada pada penggugat. Tetapi apabila yang menyebutkan peristiwa itu
tergugat, maka dialah yang harus membuktikan adanya peristiwa itu, beban
pembuktian ada pada tergugat.
3. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah adanya hak
orang lain, dia harus membuktikan adanya peristiwa itu. Jika yang menyebutkan
peristiwa itu penggugat, beban pembuktian ada pada penggugat dan jika yang
menyebutkan peristiwa itu tergugat maka beban pembuktian ada pada tergugat.
Dari asas di atas bahwa beban pembuktian itu pertama-tama adalah kewajiban
Penggugat, dalam prakteknya hakim haruslah arif, adil, dan tidak berat
sebelah[2] dalam menjalankan ketentuan diatas. Seandainya ketentuan pasal 163
HIR – 283 RBG. ini dipegang teguh, maka dalam prakteknya bisa menimbulkan
beban yang sangat memberatkan bagi salah satu pihak yang disuruh
membuktikan, yang bisa merugikannya. Sebab jika ia tidak dapat
membuktikannya, ia akan menanggung resiko dikalahkan. Misalnya dalam soal
warisan penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat, bahwa harta warisan
belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak tergugat mengatakan, itu tidak
benar, karena harta warisan sudah dibagi. Apabila berpegang teguh pada pasal 163
HIR – 283 RBg penggugat harus membuktikan harta warisan itu belum dibagi.
Tentunya bagi penggugat sangat berat untuk membuktikan secara negatif bahwa
harta warisan belum dibagi.
Untuk itu ketentuan pasal 163 HIR – 283 RBG hanya dapat dipegang sebagai
pedoman saja bagi hakim dalam menentukan beban pembuktian. Beban
pembuktian (bewijslast, proof burden) memang merupakan problema yuridis
yang sulit dipecahkan, tidak hanya bagi hakim, melainkan juga bagi para
pengacara, sehingga merupakan alasan bagi hakim kasasi untuk membatalkan
putusan judex facti (hakim yang memeriksa fakta).[3]
Dalam hukum materiel, yaitu hukum perdata dan hukum dagang ada beberapa
pasal tertentu yang mengatur tentang beban pembuktian ini. Dalam pasal pasal
tersebut telah ditentukan bahwa beban pembuktian itu ada pada pihak debitur.
Dalam perkara perdata biasanya debitur itu menjadi pihak tergugat. Pasal pasal
tersebut misalnya: pasal 1244 KUH Perdata. tentang keadaan memaksa
(overmacht, force majeure, superior power) beban pembuktian ada pada debitur;
pasal 1365 KUH Perdata. tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad, illegal act) beban pembuktian ada pada sipelanggar; pasal 1394 KUH
Perdata. tentang sewa dan bunga yang harus dibayar beban pembuktian ada pada
debitur yang sudah membayar cicilan; pasal 1977 KUH Perdata. tentang bezit atas
benda bergerak (bezit, possession) beban pembuktian ada pada pemilik
sebenarnya (eigenaar, owner); pasal 468 ayat 2 KUHD tentang pengangkutan
(vervoer, transport) beban pembuktian ada pada pengangkut barang tersebut.[4]
D. Hal Hal Yang Harus dibuktikan dan Yang tidak Perlu Dibuktikan
1. Hal yang harus dibuktikan
Pembuktian yang dilakukan baik oleh Penggugat maupun Tergugat bukanlah
hukumnya, melainkan peristiwa atau hubungan hukumnya. Hukum Perdata
mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu diajukan atau dibuktikan
oelh pihak-pihak yang berperkara, karena hakim dianggap telah mengetahui
hukum yang akan ditetapkan. Tidak semua peristiwa-peristiwa yang dikemukakan
pihak-pihak yang berperkara. Hanya peristiwa yang penting dan relevan yang
harus dibuktikan.
2. Hal Yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam acara pembuktian dimuka sidang, ada hal-hal yang tidak perlu dibuktikan
seperti:
Organisasi Didirikan
B. Jenis Kuasa
1. Kuasa Umum diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata. Menurut pasal ini kuasa
umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk memberikan
kepentingan pemberi kuasa, yaitu; melakukan tindakan pengurusan harta
kekayaan pemberi kuasa, pengurusan yang biasa disebut beherder ini meliputi
segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta
kekayaannya.
2. Kuasa khusus diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata menjelaskan, pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam Pasal ini sah
sebagai surat kuasa khusus harus terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang
tertuang dalam Pasal 123 HIR
3. Kuasa Istimewa diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata dan Pasal 157 HIR dan
Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa
syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai
kuasa istimewa.
1. Kuasa secara Lisan Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR dan Pasal 120 HIR, bentuk
lisan terdiri dari; dinyatakan secara lisan oleh penggugat di hadapan Ketua
Pengadilan Negeri dan kuasa yang ditunjuk secara lisan di pengadilan. Hal ini
dilakukan apabila tergugat tidak pandai menulis. Penunjukan secara lisan ini
dilakukan dengan tegas, selanjutnya hakim menyuruh panitera mencatatnya di
berita acara sidang.
2. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR
(Pasal 147 ayat (1) RBg. Cara penunjukkan ini dikaitkan dengan Pasal 118 HIR
(Pasal 142 RBG) yaitu penggugat dapat langsung mencantumkan dan menunjuk
kuasa yang dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses pemeriksaan.
3. Surat Kuasa Khusus, Pasal 123 ayat (1) HIR menyatakan, selain kuasa secara
lisan atau kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberi kuasa dapat
diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus.
a. Syarat dan formulasi surat kuasa khusus menurut SEMA No. 6 tahun
1994, 14 Oktober 1994 yang juga telah dideskripsikan dalam pembahasan
SEMA No. 2 Tahun 1959 yaitu: pertama, menyebut dengan jelas spesifik
surat kuasa, untuk beracara dipengadilan; kedua, menyebut kompetensi
relative; ketiga, menyebut identitas dan kedudukan para pihak, dan;
keempat, menyebut secara ringkas dan kongkrit pokok dan objek sengketa
yang diperkarakan.
b. Bentuk formil surat kuasa khusus;
4. Akta Notaris
ii. Akta yang dibuat didepan Notaris, biasanya dibuat dihadapan Panitera PN
sesuai dengan kompetensi relatif
iii. Dilegalisir oleh ketua PN atau hakim
1. Akta di bawah tangan, keabsahan surat kuasa khusus yang berbentuk akta di
bawah tangan, tercipta terhitung sejak tanggal penandatanganan para pihak.
Tidak diperlukan legislasi dari pejabat manapun.
Pemberian kuasa dengan surat kuasa khusus, artinya menunjuk kepada macam
perkara tertentu dengan perincian isi kuasa yang diberikan itu. Yang dimaksud
dengan macam perkara itu menunjuk kepada materi perkara seperti soal warisan,
soal jual beli tanah, dan lain-lain.
Penerima kuasa dapat juga melimpahkan kuasa itu kepada pihak pengganti
penerima kuasa yang disebut hak substitusi. Hak substitusi ini perlu dicantumkan
dalam surat kuasa khusus. Apabila tidak dicantumkan dalam surat kuasa khusus
penerima kuasa tidak boleh menggunakan hak substitusi. Perlunya hak substitusi
ini dicantumkan dalam surat kuasa khusus ialah untuk menjaga kemungkinan
berhalangan penerima kuasa, misalnya karena berhalangan dinas keluar negeri,
berhalangan karena sakit dan lain-lain.
Meskipun pihak-pihak yang telah memberikan kuasa atau diwakilkan perkaranya
kepada orang lain, apabila hakim ragu-ragu tentang hak dan luasnya kuasa yang
diberikan kepada penerima kuasa, hakim dapat memerintahkan sipemberi kuasa
hadir sendiri kemuka pengadilan untuk menjelaskan apa isi yang dikuasakan. Hal
ini agar si pemberi kausa tidak dirugikan disamping itu terkadang hakim
menganggap perlu untuk langsung mendengar tentang suatu persoalan tersebut
dari si penggugat.
Adapun yang harus dimuat dalam surat kuasa khusus ialah:
1. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat
atau tempat tinggal
2. Apa yang menjadi pokok sengketa perdata. Hal ini menunjukkan kepada
kekhususan perkara, misalnya perkara Sengketa tanah, jual beli, uang jasa,
perceraian, dan sebagainya
3. Pertelaan isi kuasa yang diberikan. Ini menjelaskan tentang kekhususan isi kuasa,
dalam batas-batas tertentu, artinya apabila tidak disebutkan dalam pertelan itu,
penerima kuasa tidak berwenang. Pembatasan tersebut juga menjelaskan apakah
kuasa itu berlaku dimuka Pengadilan Negeri saja, atau termasuk juga naik
banding, atau termasuk juga permohonan kasasi.
4. Memuat hak substitusi. Hal ini perlu apabila penerima kuasa berhalangan. Untuk
mensubstitusikan suatu surat kuasa khusus haruslah dengan surat kuasa
substitusi dan tidak bisa hanya dengan membuat surat pernyataan saja.
Pencabutan kuasa secara intern tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak ketiga. Oleh karena itu, seandainya ada pencabutan surat kuasa, maka
surat pencabutan itu disampaikan kepada si kuasa, sedangkan tembusannya
disampaikan kepada Pengadilan dan lawan berperkara.
1. Pengertian
Kontentiosa atau contentiosa atau contentious berasal dari bahasa latin yang salah
s atu artinya penyelesaian sengketa perkara dengan penuh semangat bertanding
dan berpolemik.[1] Gugatan kontentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan
perdata dalam praktik. Dalam Pasal 118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah
gugatan perdata[2]
Gugatan kontentiosa ini terjadi apabila dalam suatu perkara, tidak dapat
diselesaikan oleh pihak-pihak secara damai, maka jalan terakhir yang dapat
ditempuh adalah melalui hakim (pengadilan). Untuk dapat menyelesaikan melalui
hakim, penggugat harus mengajukan permohonan gugatan kepada ketua
Pengadilan Negeri. Gugatan yang diajaukan kepada ketua Pengadilan Negeri
tersebut disebut perkara perdata (burgelijk vordering, civil suit). Yang
mengajukan permohonan gugatan disebut Penggugat (eischer, plaintif).
Sedangkan pihak yang digugat disebut Tergugat (gadaagde, dependent).
Permohonan gugatan itu dapat diajukan secara tertulis, dan dapat secara lisan,
apabila penggugat tidak dapat menulis. Pemohonan gugatan secara tertulis
disebut surat gugatan (schriftelijk vordering, written suit).
Prof. Sudikno Mertokusumo mempergunakan istilah gugatan, berupa tuntutan
perdata (burgelijke wordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan
pihak lain. Prof Subekti, mempergunakan sebutan gugatan yang dituangkan dalam
surat gugatan. Dalam praktiknya istilah gugatan selalu diidentikkan dengan
gugatan kontentiosa. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan gugatan perdata
adalah gugatan kontentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang
berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada
pengadilan.
2. Bentuk Gugatan
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan Undang-undang dalam praktik dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. bentuk lisan, hal ini diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang
menegaskan: “Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat
gugatan atau menyuruh mencatatnya.”
Mengenai pengajuan gugatan secara lisan disyaratkan bahwa penggugat tidak bisa
membaca dan menulis(buta aksara) dan diajukan sendiri oleh yang bersangkutan
(tidak boleh diwakilkan) kepada ketua Pengadilan dengan menjelaskan atau
menerangkan isi dan maksud gugatan.
b. Gugatan Tertulis
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG) yakni “gugatan
perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.” Memperhatikan ketentuan ini,
yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah
sebagai berikut:
penggugat sendiri
Pada dasarnya semua orang dan badan hukum mempunyai hak melakukan
perbuatan hukum,[3] maka surat gugatan dibuat dan ditandatangani sendiri.
Kebolehan ini tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, dengan demikian tidak
ada keharusan atau kewajiban bagi penggugat untuk menguasakan ataupun
memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan
kepada seseorang yang berpredikat pengacara, namun demikian hal ini tidak
mengurangi haknya untuk menunjuk seorang atau beberapa orang kuasa, yang
akan bertindak mengurus kepentingannya.[4]
Kuasa
Pasal 118 ayat (1) HIR juga memberikan hak dan kewenangan kepada kuasa atau
wakilnya untuk membuat dan menandatangani, mengajukan atau menyampaikan
surat gugatan ke Pengadilan Negeri
3. Formulasi Surat Gugatan
Menurut ketentuan Pasal 118 HIR – 142 R.Bg, yang mengatur tentang kompetensi
relatif Pengadilan Negeri, permohonan gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, atau jika tidak
diketahui tempat tinggal tergugat, tempat tinggal sesungguhnya. Jika terdapat
lebih dari seorang tergugat, yang tidak bertempat tinggal dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri yang sama, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat
menurut pilihannya. Jika antara tergugat itu ada hubungan sebagai orang yang
berhutang pertama dan penjamin, maka gugatan diajukan kepada ketua
Pengadilan Negeri yang derah hukumnya meliputi tempat tinggal orang yang
berhutang pertama atau salah seorang diantara mereka. Jika tergugat tidak
dikenal, maka gugatan diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat, atau salah seorang diantara
mereka, atau jika gugatan itu berhubungan dengan benda tetap, kepada ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu terletak. Jika
dipilih tempat tinggal dengan surat akta, maka penggugat bila menghendakinya
dapat mengajukan gugatannya kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih itu.
Surat gugatan itu diserahkan kepada panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Setelah panitera menerima surat gugatan itu, maka ketika itu juga
ia merencanakan berapa biaya yang diperlukan, jumlah mana dicantumkan
dengan disposisi bertanggal serta paraf. Kemudian diteruskan kepada bagian
keuangan untuk pembayaran jumlah biaya yang telah disetujuai oleh penitera,
serta membukukannya kedalam buku kas dan memberikan kwitansi kepada
penggugat. Kemudian surat gugatan itu didaftarkan dalam buku register, diberi
nomor perkara. Surat gugatan yang telah didaftarkan itu lalu diteruskan kepada
ketua Pengadilan Negeri untuk ditetapkan pemeriksaannya.
Dalam perkara hal- hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan gugatan ke
Pengadilan Negeri, yaitu:
Dalam hal Penggugat atau Tergugatnya adalah suatu badan hukum, maka harus
secara tegas disebutkan dan siapa yang berhak mewakilinya menurut anggaran
dasar atau peraturan yang berlaku. Atau adakalanya kedudukan sebagai Penggugat
atau Tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan hukum itu, maka harus jelas
disebutkan mengenai identitas badan hukum tersebut. Misalnya, jika kita
menggugat seorang Walikota, maka identitasnya ini harus dibuat sebagai berikut:
Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta, cq, Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia di Jakarta, cq. Gubernur Tk I …………………….. di …………………, aq.
Walikota Tk II ………………….., di ……………………….., yang dalam hal ini diwakili
oleh Walikota.
Dalam surat gugatan, dasar gugatan itu harus jelas dan mendukung apa yang
dimohonkan atau dituntut oleh penggugat. Dengan demikian mudah dimengerti
dan dapat diterima oleh pengadilan. Artinya setiap peristiwa atau kejadian yang
mendukung adanya hubungan hukum dilukiskan secara kronologis dan sistematis,
sehingga mudah menentukan isi dari petitum. Hal yang demikian memudahkan
hakim untuk menilai apakah dasar gugatan itu merupakan sebab yang menjadi
alasan penggugat untuk memintakan supaya dikabulkan isi tuntutan (petitum) itu.
Isi petitum itu juga diuraikan secara jelas, kronologis dan sistematis, sehingga
setiap kalimat petitum itu diharapkan dapat diterima oleh hakim.
Sehubungan dengan dasar gugatan tersebut yang dibuat secara tertulis timbul
pertanyaan, sampai berapa jauh peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan
itu harus diperinci? Dalam ilmu hukum dikenal dua macam teori tentang
penyusunan surat gugatan yaitu;
4. Pendaftaran Gugatan
Surat Gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berkompeten
sesuai Pasal 118 dan 121 HIR/Pasal 142 dan 145 RBg harus didaftarkan di
kepaniteraan perdata dimana Surat Gugatan itu ditujukan. Pendaftaran gugatan
disertai dengan membayar sejumlah uang. Perkiraan mengenai jumlah panjar
biaya perkara ini dengan mempertimbangkan keadaan perkara, pemberitahuan
yang diwajibkan kepada kedua belah pihak, dan harga materai. Dalam prakteknya
panjar perkara yang diasa disebut POP (Persekot Ongkos Perkara) ini akan
berbeda-beda untuk setiap Pengadilan Negeri.
Pasal 182 HIR/ Pasal 193 RBg menyebutkan:
Dalam Pasal 183 HIR/ Pasal 194 RBg menentukan bahwa dalam suatu putusan
harus disebutkan banyaknya ongkos yang harus dibayar oleh pihak yang kalah
berperkara.
[1] K. Prent, dkk, Kamus Latin Indonesia, (Jakarta: Kanius, 1969), hal. 188
[2] R. Soesilo, RIB/HIR dengan penjelasan, (Bogor:Politea, 1985)
[3] Tentunya diluar orang-orang yang belum dewasa dan orang yang berada
dibawah pengampuan dan anak di bawah umur dalam perkara harus diwakili oleh
walinya
[4] Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hal. 11 lihat juga
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1998) hal, 11
[5] AT. Hamid, Kamus Yurisprudensi dan Beberapa Pengertian Tentang Hukum
(Acara) Perdata, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984) hal. 111
[6] Putusan Mahkamah Agung 17 April 1979 Reg. No. 1149 K/Sip/ 1979
menentukan bila tidak jelas batas-batas tanah sengketa maka gugatan tidak dapat
diterima Demikian juga putusan Mahkamah Agung tanggal 21 Agustus 1974 Reg.
No. 565 K/Sip/ 1973, mengatakan kalau objek gugatan tidak jelas, maka gugatan
tidak dapat diterima
[7] Lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung 13 Mei 1975, Reg. No. 67 K/Sip/ 1975
[8] Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 januari 1972 Reg. No. 556 K/Sip/1971
lihat juga Putusan Mahkamah Agung No. 339 K/Sip/ 1969
[9] Menurut Yuriprudensi bunga maksimum sebesar 6% pertahun sedangkan
dalam prakteknya bunga moratoir dihitung sebesar 10% pertahun
[10] Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 791 K/Sip/ 1972
[11] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata (Kuliah Kerja), (Yogyakarta:
Gadjah Mada, 1964), hal. 5
KUALIFIKASI GUGATAN
A. ONRECHTMATIGE DAAD
1. Pengertian
Dalam praktek, kebanyakan gugatan perdata ke Pengadilan adalah gugatan
tentang perbuatan melawan hukum, disamping gugatan yang berdasarkan
kontrak/perjanjian, dan lainnya. Onrechtmatige Daad diatur dalam Pasal 1365
BW, yang oleh beberapa ahli diterjemahkan sebagai “Perbuatan melawan hukum”.
Perbuatan melawan hukum disini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan
melawan hukum bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan melawan
hukum pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah ”perbuatan pidana”.
Perbuatan melawan hukum di dalam prakteknya dapat bersifat aktif ataupun pasif.
Bersifat aktif berarti bilamana seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Sedangkan bersifat pasif berarti bahwa
seseorang itu tidak berbuat sesuatu, yang akibatnya menimbulkan kerugian-
kerugian pada orang lain.
Pasal 1365 BW merumuskan perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan
melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya itu mengganti kerugian yang timbul tersebut.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) katagori dari perbuatan melawan hukum,
yaitu:
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari sipelaku.
Perbuatan yang dimaksudkan disini ialah berbuat dan tidak berbuat. Artinya baik
berbuat sesuatau dalam arti aktif maupun tidak berbuat sesuatu dalam arti pasif
padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana
yang timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari
suatu kontrak). Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur
”causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak[1]
e. Ada kerugian
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa adanya kerugian bagi korban juga
merupakan syarat perbuatan melawan hukum. Akibat perbuatan itu timbul
kerugian yang diderita orang lain. Berbeda dengan wanprestasi yang hanya
mengenal kerugian materil, Dalam Onrechtmatige Daad kerugian itu dapat
berupa kerugian materiel atau moril. Kerugian materiel adalah kerugian berupa
materi, seperti rusaknya barang, tidak diperolehnya keuntungan, hilangnya
benda/barang, dan lain-lain. Sedangkan kerugian moril menyangkut kehormatan,
harga diri, dan lain-lain dan ditaksir nilainya dengan uang sesuai status sosial
Penggugat. Kerugian tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang.
f. Adanya hubungan causal Antara Perbuatan dengan Kerugian
Untuk dapat menuntut ganti kerugian haruslah ada hubungan causal antara
perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian yang diderita Penggugat.
Hubungan itu harus jelas, dapat dibuktikan untuk dikabulkan. Untuk hubungan
sebab akibat ini ada dua teori yaitu:
Teori hubungan faktual yang hanya merupakan masalah fakta atau apa yang
secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya
kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual
Teori penyebab kira-kira (proximate cause) yang merupakan bagian paling
membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum
tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-kadang untuk penyebab jenis ini
disebut juga istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.
C. WANPRESTASI
Dalam membicaran wanprestasi (ingkar janji) kita tidak bisa lepas dari suatu per-
ikatan atau perjanjian antara pihak dan kelalaian. Baik perikatan itu didasarkan
atas perjanjian sesuai Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1341 KUHPerdata maupun
perjanjian yang bersumber pada undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1352
sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Apabila salah satu pihak ingkar janji,
maka itu menjadi alasan bagi pihak lainnya untuk mengajukan gugatan. Demikian
juga tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian menjadi alasan untuk batal atau dapat dibatalkannya
suatu persetujuan/perjanjian melalui gugatan.
Pernyataan lalai dapat berbentuk surat perintah, dapat juga berdasarkan kekuatan
perjanjian yang telah ditetapkan, dan jika tegoran kelalaian sudah dilakukan
barulah menyusul peringatan atau somasi atau anmaning[8]. Dalam hal terjadi
wanprestasi maka untuk membuktikannya harus ada somatie atau peringatan dari
kreditur kepada debitur untuk memenuhi prestasinya. Pasal 238 KUHPerdata
menyatakan, debitur adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri ialah
jika ia menetapkan bahwa debitur akan harus dianggap lalai dengan sampainya
saat waktu yang ditentukan.
Menurut ketentuan ini maka wanprestasi itu baru ada bila debitur telah di-
somatie, tetapi tidak melaksanakannya atau karena perikatan (perjanjian) sendiri
menentukan suatu tenggang waktu pemenuhan prestasi tersebut, yang ternyata
tidak dapat dipenuhi oleh debitur. Dalam hal tidak pernah
dilakukan somatie, tetapi kreditur terus mengajukan gugatan ke Pengadilan, maka
debitur baru dianggap melakukan wanprestasi sejak gugatan didaftarkan di
Pengadilan, bukan sejak ia lalai melaksanakan prestasi tersebut.
Pasal 1239 KUHPerdata mengatakan, bahwa apabila ada wanprestasi (lalai)
berupa berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu; maka debitur dapat digugat
tentang penggantian biaya kerugian yang timbul dan diderita oleh kreditur dan
membayar bunga. Wanprestasi (ingkar janji) itu dapat berupa:
Dalam hal terjadi wanprestasi yang menimbulkan kerugian bagi kreditur maka
kreditur tersebut dapat menuntut (menurut Pasal 1266 KUHPerdata) yaitu:
1. Pemenuhan perikatan;
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
3. Ganti rugi;
4. Pembatalan persetujuan timbal balik;
5. Pembatalan dengan ganti rugi.
Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah keharusan atau kemestian bagi debitur
membayar ganti rugi/scadevergoeding. Atau dengan adanya wanprestasi oleh satu
pihak, pihak yang lain dapat menuntut “pembatalan perjanjian”[10] Sebab dengan
tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban “tidak tepat waktu” atau “tak
layak”, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang
lain berarti merupakan perbuatan melawan hukum. Maka dapat dikatakan hampir
serupa perbuatan melawan hukum dengan wanprestasi, dan wanprestasi adalah
merupakan ”genus spesifik” dari perbuatan melawan hukum.[11]