Anda di halaman 1dari 3

Nama : Syifa Anggita Ahimsa Putri

Kelas : E

NPM : 10040020061

Contoh persekutuan hukum genealogis

Persekutuan hukum genealogis adalah persekutuan hukum yang menitik beratkan pada
faktor keturunan atau pertalian darah, anggota dari persekutuan hukum ini harus berdasarkan
keturunan atau pertalian darah dari anggota tersebut. Persekutuan hukum genealogis dibedakan
menjadi masyarakat unilateral, masyarakat bilateral, dan masyarakat alternerend. Persekutuan
genealogis masih ada sampai sekarang di Indoneisa.

Contohnya ada di masyarakat Kerinci. Kerinci berada di Provinsi Jambi. Masyarakat


Kerinci menarik garis keturunan secara matrilineal. Masyarakat Kerinci mengadopsi sistem
matrilineal dari adat daerah Minangkabau. Hal ini terjadi karena adanya hubungan historis dan
kultural antara masyarakat Minangkabau dan Kerinci. Menurut Prof. Van Vollenhonven dan
Prof. B. Ter Haar bahwa adat yang berlaku di Kerinci termasuk lingkungan hukum adat
Minangkabau.

Matrilineal termasuk dalam masyarakat unilateral, yaitu masyarakat yang anggotanya


menarik garis keturunan hanya dari salah satu pihak saja, baik dari pihak ayah saja ataupun dari
pihak ibu saja. Sedangkan matrilineal adalah menarik garis keturunan hanya dari pihak Ibu saja
atau nasab ibu, terus menerus secara vertikal dan berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka
berasal dari seorang Ibu Asal. Sistem matrilineal berlaku pada pola tempat tinggal dan penentuan
kelompok kerabat sehingga masyarakat Kerinci bertempat tinggal secara berkelompok menurut
garis keturunan Ibu. Mitrilineal menghitung kekerabatan melalui perempuan saja, sehingga
mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kerabat ibunya masuk dalam
batas hubungan kekerabatannya sedangkan kaum dari kerabat ayahnya berada di luar batas itu.
Hubungan kekerabatannya memiliki rasa kekeluargaan yang mendalam, rasa soial,
gotongroyong, dan tolong menolong yang sudah tertanam dalam jiwa masyarakat Kerinci.
Dalam kesehariannya, masyarakat Kerinci menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai
dengan adat dan aturan yang berlaku sesuai dengan garis keturunan pihak Ibu. Masyarakat
Kerinci menjalankan persekutuan hukum yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum adat
sebagai sebagai aturan yang dianutnya. Suami akan mengikuti persekutuan hukum istrinya.
Suami harus tunduk dan taat pada tenganai rumah, yaitu saudara laki-laki dan istrinya. Begitupun
keturunanya, akan mengikuti persekutuan hukum dari pihak ibu. Masyarakat matrilineal
menempatkan perempuan secara adat berada di posisi tersubordinasi dari laki-laki. Perempuan di
Kerinci sangat diistimewakan, dihormati, dan disegani. Karena etika beradat perempuan Kerinci
selalu diterapkan dalam kehidupannya, sehingga perempuan Kerinci terkenal dengan sifatnya
yang lemah lembut.

Masyarakat Kerinci dalam kehidupan sehari-harinya terdapat struktur kesatuan


masyarakat Kerinci dari besar hingga kecil, yaitu kemendapoan, dusun, kalbu, perut, pintu, dan
sikat. Sehingga saat musyawarah, masyarakat memiliki tingkatan musyawarah adat,
pertimbangan, dan hukum adat. Namun perbedaan kelas dalam masyarakat Kerinci tidak begitu
menyolok. Karena stratifikasi sosial masyarakat Kerinci hanya berlaku dalam kesatuan dusun
atau antara dusun pecahan dusun induk.

Masyarakat Kerinci menjalankan perkawinan menurut dengan adat istiadat setempat dan
disesuaikan dengan agama Islam. Meskipun suami harus mengikuti persekutuan hukum
berdasarkan pihak istri. Istri di Kerinci tetap menghargai suaminya. Suami dan Istri menjalankan
hidupnya dengan damai dan tentram.

Selain menarik garis keturunan dari pihak ibu, sistem pewarisan masyarakat Kerinci
datangnya dari kaum perempuan. Seperti, sko (pusaka) yang berbentuk gelar namun dipakai oleh
mamak (saudara laki-laki ibu) dan orang sumendo (suami ibu), dan harta pustaka tinggi seperti
sawah dan rumah dikendalikan oleh perempuan. Namun masih terjadi sengketa dalam
masyarakat mengenai warisan harta. Masyarakat Kerinci mengenal adanya dua bentuk harta :

1. Harta pusako beto yaitu harta yang diserahkan pada pihak perempuan sebagai pemilik
harta sedangkan anak laki-laki dikenakan numpang yaitu hanya sebagai orang yang
mengelola
2. Harta pencaharian yaitu harta yang dikuasai atau yang menjadi pemilik harta tersebut
adalah anak laki-laki. Harta ini merupakan harta yang didapat dari orang tua.
Yang sering menjadi penyebab sengketa adalah harta pusako beto karena adanya perebutan
siapa yang berhak atas harta tersebut. Biasanya sengketa ini diselesaikan oleh Lembaga
Kerapatan Adat melalui Sidang Adat.

Anda mungkin juga menyukai