Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEBIJAKAN RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE II SEBAGAI HAMBATAN NON


TARIFF DALAM PELARANGAN EKSPOR CRUDE PALM OIL INDONESIA KE UNI
EROPA

Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Hukum Dagang Internasional
Dr. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H.

Oleh :
Arel Raghib Najmuddin
E2A022020

MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2023
1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG MASALAH.....................................................................................2
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................5
C. PEMBAHASAN...................................................................................................................5
D. PENUTUP............................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................8
2

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Indonesia sebagai sebuah negara memiliki kedaulatan atas sumber daya alam (SDA) di
dalam wilayahnya. Hal tersebut terkandung dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) ayat (1) hingga ayat (5). Maka, Indonesia
memiliki kedaulatan untuk melakukan pengelolaan agar dapat mencapai kesejahteraan sosial
sebagaimana yang dicita-citakan oleh konstitusi.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, Indonesia memerlukan jalinan diplomasi dari
negara yang lebih maju. Dalam menjalin hubungan dengan negara lain yang lebih maju
salah satu yang diupayakan dalam bidang ekonomi adalah melalui perdagangan. Jalur ini
merupakan jalur vital untuk pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur1.
Huala Adolf menyatakan bahwa yang termasuk dalam hukum perdagangan internasional
adalah negara, organisasi internasional, individu dan bank. Maka, Indonesia sebagai sebuah
negara yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 1994 juga
meratifikasi The General Agreement On Tariffs and Trade (GATT) serta meratifikasinya
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia2.
Berlakunya GATT menjadikannya salah satu sumber hukum perdagangan internasional
karena termasuk dalam perjanjian internasional yang biasanya terbagi dalam 3 (tiga) bentuk
yaitu perjanjian bilateral, regional dan perjanjian multilateral yang memiliki sifat mengikat
dan tunduk pada ketentuan hukum internasional.

Ilmu hukum sebagai cabang ilmu normatif memiliki cara yang sui generis, yaitu tidak
dapat dibandingkan (dengan ukuran dan nilai) dengan bentuk ilmu lain 3. Makalah ini
merupakan metode yuridis normatif, yang dikenal juga sebagai penelitian hukum doktrinal 4.
Makalah ini dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
(law in books) atau hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan dasar perilaku
manusia yang dianggap pantas. Pendekatan yang digunakan dalam Makalah ini adalah
1
Vicky Alvian Abdul Azis dan Sharda Abrianti, “Analisis Terhadap Larangan Ekspor Bijih Nikel Kadar Rendah
Berdasarkan Prinsip Restriksi Kuantitatif,” Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum 3, no. 2 (2021): 1–10.
2
Ibid.
3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenata Media Grup, 2005).
4
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
3

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan studi kasus (case


approach).
Spesifikasi dalam Makalah ini adalah dengan spesifikasi deskriptif analisis. Deskriptif
analisis adalah metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang
sedang berlangsung, yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek makalah 5.
Sumber data dalam makalah ini adalah dokumen-dokumen untuk memberikan pemahaman
tambahan dan gagasan mengenai Kebijakan Renewable Energy Directive II Sebagai
Hambatan Non Tariff Dalam Pelarangan Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Ke Uni Eropa.
Data yang diperlukan untuk dipakai dalam makalah ini adalah menggunakan data sekunder.
Adapun penjelasan dari data yang digunakan adalah data sekunder.
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk data sekunder oleh penulis
dilakukan dengan metode studi kepustakaan (library research). Penulisan makalah
dilakukan dengan mengumpulkan, membaca, internet browsing dan menelusuri buku-buku,
dokumen, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah dan literatur lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan masalah yang diteliti, selanjutnya diidentifikasi dan dipelajari sebagai
satu kesatuan yang utuh. Data makalah disajikan dalam bentuk teks narasi, yaitu suatu
uraian pernyataan-pernyataan yang tersusun secara sistematis dan berurutan dimulai dari
hal-hal yang umum (deduktif) menuju hal-hal yang bersifat khusus (induktif), dilakukan
dengan pertimbangan logis, konsisten dan rasional. Penyajian data dalam bentuk naratif
digunakan untuk menjelaskan data berupa teks yang lengkap dan mudah dipahami.
Penyajian tersebut ditujukan pada data yang bersifat kualitatif.
Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara normatif kualitatif, yakni
analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai bahan hukum yang telah
dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan dengan cara bermutu dalam
kalimat yang teratur, runtut dan logis. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah dengan
menarik kesimpulan. Seluruh data yang dikumpulkan secara lengkap dari hasil penelitian
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Data kualitatif dari
hasil kajian dihubungkan secara sistematis dari teori hukum, postulat hukum dan hukum
positif untuk dapat menjelaskan permasalahan secara ilmiah dan bukan dalam bentuk angka-
angka. Dari hasil penelitian tersebut yang tersistematis dengan menggunakan analisis

5
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
4

normatif kualitatif, diharapkan dapat mengkaji dan menganalisis tentang Kebijakan


Renewable Energy Directive II Sebagai Hambatan Non Tariff Dalam Pelarangan Ekspor
Crude Palm Oil Indonesia Ke Uni Eropa.

B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana Kebijakan Renewable Energy Directive II Sebagai Hambatan Non Tariff
Dalam Pelarangan Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Ke Uni Eropa?

C. PEMBAHASAN
1) Kebijakan Renewable Energy Directive di Uni Eropa
Kebijakan energi di Uni Eropa merupakan bahasan yang dilakukan secara terus
menerus. Pembahasan mengenai kebijakan energi di wilayah mereka diwujudkan dalam
beberapa tindakan legislatif yaitu : The Energy Performance in Buildings Directive,
Renewable Energy Directive, Energy Efficiency Directive, Governance Regulation,
Electricity Directive, Electricity Regulation, Risk-Preparedness Regulation, dan the
Regulation for the Agency for the Cooperation of Energy Regulators (ACER). Delapan
tindakan ini dikembangkan dengan berbagai macam implementasi. Kebijakan pasar
energi di Eropa melewati harmonisasi agar menyesuaikan dengan tindakan-tindakan
tersebut.
Kebijakan Renewable Energy Directive (RED I) pertama kali dikenalkan di tahun
2009 untuk mempromosikan energi terbarukan dan integrasi pasar lanjutan sebagai tujuan
yang harus dicapai oleh negara-negara anggota Uni Eropa pada tahun 20206. Target dari
tujuan ini merupakan konversi penggunaan energi konvensional menjadi energi
terbarukan dengan besaran 20% dari keseluruhan penggunaan energi yang digunakan.
Artinya sampai tahun 2020 pengalihan penggunaan energi terbarukan digalakkan.
RED II melanjutkan kebijakan dari RED I dalam hal promosi penggunaan energi
terbarukan. Bahkan menaikkan standarnya dari 20% menjadi 32% per negara anggota.
Namun, tentunya implementasi atas kebijakan tersebut diserahkan kembali pada negara-
negara anggota.

6
John Michael Kelly, “Renewable Energy Directive II : A Case Study in European Integration,” Official Journal of
the European Union 2018, no. L 328 (2018): 82–209.
5

Habisnya masa berlaku RED I pada tahun 2020 dengan belum tercapainya target
menjadikan Komisi yang bertanggung jawab menangani hal tersebut melakukan
konsultasi secara daring pada tahun 2015. Komisi tersebut menyatakan diperlukannya
kebijakan baru, yaitu RED II, untuk mencapai target dalam rentang 2020 – 2030. Namun,
hasil dari konsultasi Komisi tersebut diterbitkan survei daring untuk menanyakan kepada
responden terkait langkah yang harus dilakukan agar tindakan-tindakan kebijakan
tersebut mampu berjalan sesuai arah. Konsultasi tersebut menjadi forum terbuka bagi
seluruh pelaku untuk dapat memberikan arahan, masukan dan informasi penting7.
RED II diterbitkan pada tahun 2018 dengan target konsumsi sumber energi terbarukan
naik menjadi 32% pada tahun 2030. Salah satu kebijakannya adalah negara-negara
anggota harus memasok minimal 14% energi terbarukan pada transportasi jalan raya dan
kereta api pada tahun 2030. Namun, kemampuan negara anggota yang berbeda-beda
maka menjadikan target RED II ini bervariasi dari yang terendah 10% untuk Malta
hingga yang tertinggi yaitu 49% di Swedia. Evaluasi target nasional negara anggota
dilakukan setiap dua tahun sekali dengan laporan kemajuan energi terbarukan nasional.
Penerapan RED II berpengaruh terhadap jenis-jenis energi yang diperbolehkan untuk
menjadi sumber konsumsi energi. Salah satu yang terdampak adalah crude palm oil
(CPO) yang banyak diimpor dari Indonesia. CPO menjadi salah satu sumber energi yang
disingkirkan dari kebijakan energi tersebut, sehingga mengakibatkan perdagangannya
dijegal di Uni Eropa. Hal ini disebabkan Uni Eropa juga menginginkan adanya
peningkatan produksi produk domestik. Adanya kebijakan tersebut menjadikan sebuah
hambatan bagi perdagangan internasional untuk kepentingan Indonesia.
2) Hambatan-hambatan dalam Perdagangan Internasional
Hambatan perdagangan secara umum dapat dikatakan sebagai restriksi yang dilakukan
oleh pemerintah suatu negara terhadap perdagangan internasional. Hambatan memiliki
bermacam bentuk, yaitu :
a. Kewajiban-kewajiban dalam impor (import duties);
b. Lisensi impor (import licenses);
c. Lisensi ekspor (export licenses);
d. Pajak impor (import taxes);

7
Ibid.
6

e. Kuota (quota);
f. Tarif (tariffs);
g. Subsidi (Subsidies);
h. Hambatan non-tarif (non-tariff barriers to trade)
Dalam perdagangan internasional dikenal 2 (dua) bentuk hambatan, yaitu:
a. Hambatan Tarif
Hambatan tarif, merupakan hambatan perdagangan internasional yang dibebankan
pada bea masuk (pajak) custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas
suatu negara.
Secara historis, perundingan dibidang tarif merupakan bagianyang paling lama
ditangani oleh GATT. Sejak semula, tiap perundingan GATT (GATT Round of
Multilateral Trade Negotiation-MTN), berupaya menurunkan bea masuk negara
anggota GATT. Beberapa hasil nyata terlihat pada hasil manufaktur. Rata-rata tarif
untuk hasil manufaktur yang digunakan negara-negara maju terhadap impor mereka
pada akhir Tokyo Round yakni pada tahun 1949 sebesar 4,7%, sedangkan pada tahun
1947 mencapai tingkat sebesar rata-rata 40%. Tentu saja penurunan tarif tersebut
sangat substansial.
Menurut tujuannya, kebijakan tariff dapat diklasifikasi sebagai berikut :
(1) Tarif proteksi, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah
atau membatasi impor barang tertentu.
(2) Tarif revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan negara
Berdasarkan tujuan tersebut, fungsi tarif bea masuk adalah untuk mengatur
perlindungan kepentingan ekonomi dalam negeri (fungsi regulend), sebagai salah
satu sumber penerimaan negara (fungsi budgeter) dan fungsi pemerataan.
Kindleberger dan Lindert memberikan penjelasan batasan kuota sebagai “a limit on
the total quantity of imports allowed into a country each year.”8

b. Hambatan Non Tarif


8
Rizki Maryansyah, “Hambatan-Hambatan Non-Tarif Perdagangan Internasional Dalam Impor di Indonesia,”
Skripsi, no. 21 (2018): 1–9.
7

Hambatan non-tarif, merupakan suatu bentuk hambatan perdagangan yang


berbentuk selain tarif seperti kuota, pungutan, embargo, sanksi dan pembatasan
lainnya. Hambatan non-tarif ini merupakan salah satu cara untuk mengontrol jumlah
perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain. Setiap hambtan
perdagangan akan menciptakan kehilangan pendapatan karena tidak memungkinkan
pasar untuk berfungsi dengan baik. Pendapatan yang hilang akibat hambatan
perdagangan tersebut bisa disebut sebagai kerugian ekonomi.
Selain hambatan-hambatan yang telah dikemukakan diatas, ada juga hambatan
yang bersifat teknis dalam GATT/WTO. Mengingat tujuan utama GATT adalah
untuk menciptaan kelancaran perdagangan antarbangsa dengan cara penurunan tarif
impor secara bertahap. Keberadaan GATT berawal dari treaty (perjanjian). Bagian
pertama memfokuskan pada pemberlakuan prinsip nondiskriminasi atau lazim
dikenal dengan most favoured nation (MFM), yang mewajibkan negara-negara
anggota untuk mengurangi tarif impornya bagi semua pihak secara non diskriminatif.
Bagian kedua mengatur tentang non-tariff barriers (NTBs) yang mewajibkan
anggota untuk sedapat mungkin mengeliminasi hambatan-hambatan nontarif seperti
hambatan teknis, lisensi impor, subsidi, pajak anti-dumping, dan sebagainya. Bagian
ketiga memuat prosedur pengaturan perdagangan juga mengenai mekanisme
sengketa dagang.

3) RED II sebagai hambatan non tarif bagi Indonesia


RED II mendefinisikan serangkaian kriteria keberlanjutan dan emisi gas rumah kaca
(GRK) yang harus dipatuhi oleh bioliquid yang digunakan dalam transportasi agar
diperhitungkan dalam target 14% keseluruhan dan memenuhi syarat untuk mendapatkan
dukungan keuangan dari otoritas publik. Beberapa dari kriteria ini sama dengan RED asli,
sementara yang lain baru atau diformulasi ulang. Secara khusus, RED II memperkenalkan
keberlanjutan bahan baku kehutanan serta kriteria gas rumah kaca GRK untuk bahan
bakar biomassa padat dan gas.
Nilai emisi GRK standar dan aturan perhitungan disediakan dalam Lampiran V (untuk
biofuel cair) dan Lampiran VI (untuk biomassa padat dan gas untuk produksi listrik dan
panas) RED II. Komisi dapat merevisi dan memperbaharui nilai default emisi GRK
8

ketika perkembangan teknologi mengharuskannya. Operator ekonomi memiliki pilihan


untuk menggunakan nilai intensitas GRK standar yang disediakan dalam RED II atau
menghitung nilai sebenarnya untuk jalur mereka.

Biofuel pada awalnya dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk beralih dari bahan
bakar fosil, tetapi kenyataannya lebih kompleks. Menurut Hanaki dan Portugal-Pereira
(2018), sementara bahan bakar fosil mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca pada
tahap tank-to-wheel daripada tahap wheel-to-tank, biofuel berbasis tanaman justru
sebaliknya. Proses produksi biofuel melibatkan akuisisi bahan baku, pemrosesan,
penyimpanan dan distribusi.
Hal tersebut membutuhkan perluasan dan konversi lahan yang mengurangi penyerapan
dan penyimpanan karbon dioksida. Lahan gambut, yang kadang-kadang dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit, memiliki stok karbon dua kali lebih banyak daripada
kawasan hutan. Ada emisi tidak langsung dari biofuel, dan penggunaan pupuk
melepaskan dinitrogen oksida, gas rumah kaca, meskipun jumlahnya bervariasi
tergantung pada karakteristik tanah dan kondisi cuaca. Pengiriman menambahkan 7%–
38% dari total jejak karbon untuk bahan bakar nabati yang diangkut lebih dari 10.000
kilometer. Untuk memitigasi dampak negatif, RED I memasukkan dua kriteria
keberlanjutan untuk bahan bakar nabati dalam pasal 17 hingga 19: penghematan emisi
gas rumah kaca dan perubahan penggunaan lahan. Menurut pasal 17(2), biofuel harus
memberikan penghematan gas rumah kaca minimal 35% dibandingkan dengan bahan
bakar fosil (meningkat menjadi 50% pada tahun 2017 dan 60% pada tahun 2018). Selain
itu, pasal 17(3–5) menyatakan bahwa biofuel dan bioliquid berbasis tanaman tidak boleh
ditanam di zona dengan keanekaragaman hayati tinggi seperti hutan primer, kawasan
lindung dan padang rumput, dan kawasan dengan stok karbon tinggi, termasuk lahan
9

basah dan kawasan hutan yang terus menerus. Perubahan penggunaan lahan langsung
terjadi ketika penggunaan lahan pertanian baru terjadi dan 'bahan baku yang diproduksi di
lahan tersebut digunakan untuk bioenergi', sedangkan perubahan penggunaan lahan tidak
langsung, fokus RED II, terjadi ketika 'sistem harus menyesuaikan diri dengan
mengakomodasi peningkatan permintaan bahan baku untuk bioenergi', yang juga
meningkatkan emisi. Sejak diperkenalkannya RED II pada tahun 2018, UE telah secara
resmi memasukkan langkah-langkah ILUC dalam angka konsumsi biodieselnya.
Setidaknya sejak tahun 2010, UE telah menyadari bahwa ILUC terkait dengan ekspansi
biofuel dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca. Namun, tindakan tersebut ditunda
hingga 2018 karena ketidakpastian dan keterbatasan dalam menghitung emisi tidak
langsung. Pada tahun 2015, langkah-langkah ILUC diadopsi sebagai bagian dari rencana
untuk mencapai batas umum 7% pada konsumsi semua biofuel berbasis makanan pada
tahun 2020. Pasal 25 hingga 29 RED II mencakup energi terbarukan dalam transportasi
dan sektor kereta api. Pasal 26 mencantumkan aturan khusus untuk biofuel, bioliquid, dan
bahan bakar biomassa yang dihasilkan dari tanaman pangan dan pakan. Pasal 29
menyangkut keberlanjutan dan kriteria untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari
produksi biofuel, bioliquids, dan bahan bakar biomassa. Selain itu, Peraturan Delegasi
Komisi yang melengkapi Arahan UE 2018/2001 menyangkut ILUC berisiko tinggi dari
bahan baku yang memerlukan ekspansi signifikan ke lahan dengan stok karbon tinggi.
Komisi Eropa (2019b, 1) telah menyatakan bahwa ILUC terjadi ketika ‘padang rumput
atau lahan pertanian yang sebelumnya ditujukan untuk pasar makanan dan pakan ternak
dialihkan ke produksi bahan bakar dari bio-massa’. Pendirian perkebunan untuk tanaman
energi mungkin melibatkan konversi lahan yang sebelumnya dialokasikan untuk produksi
pangan dan pakan. Konsekuensinya, penanaman di daerah dengan stok karbon tinggi
seperti hutan, lahan gambut dan lahan basah mungkin diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Ini melepaskan lebih banyak karbon dioksida, yang mungkin
meniadakan penghematan emisi gas rumah kaca dari biofuel. Menurut sub-paragraf
pertama RED II pasal 26(2), produksi biofuel dengan ILUC berisiko tinggi terjadi ketika
'perluasan area produksi yang signifikan ke daratan dengan stok karbon tinggi diamati'
(Parlemen Eropa 2018, 94). Konsumsi komoditas berisiko tinggi direncanakan akan
dikurangi secara bertahap menjadi nol antara 31 Desember 2023 dan 31 Desember 2030.
10

Komoditas berisiko rendah tidak akan dihapus dan konsumsi kemungkinan akan berlanjut
mendekati level tahun 2020. Namun demikian, berdasarkan pasal 26, konsumsi biofuel
dan bioliquid, serta bahan bakar biomassa untuk transportasi, ditetapkan untuk
mempertahankan 7% bagian dari konsumsi energi final di sektor transportasi jalan raya
dan kereta api di negara-negara anggota UE9.
Jadi, RED II Uni Eropa memandang bahwa crude palm oil yang diperoleh dari
Indonesia kurang sesuai dengan semangat sustainability development mereka karena efek
lingkungan yang ditimbulkan dari pembukaan lahan. Disamping itu, mereka
menginginkan untuk mengembangkan produk biofuel dan biodiesel domestik agar tidak
memiliki ketergantungan pada Indonesia.

9
Adam Tyson dan Eugenia Meganingtyas, “The Status of Palm Oil Under the European Union’s Renewable Energy
Directive: Sustainability or Protectionism?,” Bulletin of Indonesian Economic Studies 58, no. 1 (2022): 31–54.
11

D. PENUTUP
Negara sebagai pemangku kedaulatan atas sumber daya mineral, berupa kekuasaan untuk
membuat kebijakan pengelolaan sumber daya alam mineral, membuat regulasi dan
menerapakannya, merupakan esensi dari amanat Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945. Kepastian
hukum dan penghargaan terhadap hukum internasional menjadi dasar penyelenggaraan
Pemerintah Indonesia terhadap kebijakan yang ada.
Pelaksanaan kedaulatan negara atas sumber daya mineral masih menemui persoalan
berupa peran pemerintah sebagai pelaksana (eksekutif) konstitusi perlu dipertegas dengan
cara pembentukan otoritas pelaksana sebagai wakil atau badan yang bertanggung jawab
kepada pemerintah dan diberi kewenangan.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Azis, Vicky Alvian Abdul, dan Sharda Abrianti. “Analisis Terhadap Larangan Ekspor Bijih
Nikel Kadar Rendah Berdasarkan Prinsip Restriksi Kuantitatif.” Hukum Pidana dan
Pembangunan Hukum 3, no. 2 (2021): 1–10.
Kelly, John Michael. “Renewable Energy Directive II : A Case Study in European Integration.”
Official Journal of the European Union 2018, no. L 328 (2018): 82–209.
Maryansyah, Rizki. “Hambatan-Hambatan Non-Tarif Perdagangan Internasional Dalam Impor di
Indonesia.” Skripsi, no. 21 (2018): 1–9.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenata Media Grup, 2005.
Tyson, Adam, dan Eugenia Meganingtyas. “The Status of Palm Oil Under the European Union’s
Renewable Energy Directive: Sustainability or Protectionism?” Bulletin of Indonesian
Economic Studies 58, no. 1 (2022): 31–54.
https://joint-research-centre.ec.europa.eu/welcome-jec-website/reference-regulatory-
framework/renewable-energy-recast-2030-red-ii_en diakses pada Kamis, 4 Mei 2023 pada pukul
20:31 WIB

Anda mungkin juga menyukai