Anda di halaman 1dari 8

TUGAS ANTROPOLOGI HUKUM

Model Penyelesaian Konflik Menurut Hukum Adat di Papua

(Studi Kasus Penyelesaian Konflik Terhadap Pengendara Yang Menabrak Babi


Hutan di Jalan Raya sehingga Menimbulkan Kematian)

Dosen Pengampu: Anang Zubaidy, SH., MH.

KELOMPOK 8
Oleh:
Irwan Hafidz NIM: 14410448
Ariq Anjar NIM: 13410468
Avilda Agusmawati NIM: 17410458
Nicky Xavier NIM: 17410468
Atika Zhara NIM: 17410478
Arlen Dyfan NIM: 17410488
Annisa Jeflina NIM: 17410498
Haikal Fikry NIM: 17410508

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2017
1. Deskripsi Kasus

Hati-Hati Lewat ‘Kampung Sadis’ di Papua


Senin, 27 Oktober 2008, 12:56 WIB
Oleh: (irw/nrl)
Jayapura- Kampung satu ini mempunyai julukan yang membuat bulu kuduk
berdiri, 'kampung sadis'. Jangan berbuat kesalahan di kampung tersebut bila tidak
ingin wajah atau tubuh memar.

Kampung itu bernama asli Nafri, terletak sekitar 30 km dari kota Jayapura, Papua,
dan berdekatan dengan kampung Koya Koso. Nafri dibelah oleh jalan beraspal
selebar 4 meter, yang menghubungkan distrik-distrik di Jayapura.

Saat detik.com melintas beberapa waktu lalu, kampung tersebut tampak lengang.
Hanya ada satu-dua penduduk yang berdiri di tepi jalan hendak pergi ke ladang.

Rumah-rumah di kampung yang tak terlalu luas itu terletak di kanan dan kiri jalan
dengan hutan di belakangnya. Jarak antar rumah terbilang dekat.

Sepintas, kehidupan di Nafri terasa adem ayem saja. Namun, jangan kaget bila yang
dijumpai pertama kali saat masuk kampung itu adalah pos polisi. Sekitar 5 orang
polisi tampak berjaga di pos yang baru dibangun itu.

Jimmy, salah seorang pegawai Pemprov Papua menuturkan, pos itu dibangun pasca
keributan antara penduduk Nafri dengan penduduk asal Wamena. Peristiwa itu
dikabarkan sampai menelan korban.

Awalnya, penduduk Wamena yang hendak mengambil makanan ternak lewat di


Nafri. Mereka dihadang oleh penduduk Nafri dan hendak dirampok. Karena
melawan, akhirnya terjadilah perkelahian.

Menurut Jimmy, kampung Nafri terkenal sebagai 'kampung sadis' karena


penduduknya yang sering melakukan kekerasan. Tak hanya karena ego kesukuan,
kekerasan juga dilakukan terhadap orang luar yang dianggap bersalah di kampung
itu.

Misalnya, kata Jimmy, bila menabrak binatang babi atau anjing di kampung
tersebut, dia menyarankan sebaiknya cepat-cepat melarikan diri. Sebab, penduduk
Nafri akan memukuli penabrak binatang itu.

"Kalau menabrak babi mending lari saja, daripada dianiaya," kata Jimmy.

Tak hanya memukuli, lanjut Jimmy, penabrak akan dimintai ganti rugi atas binatang
yang menjadi korban.

"Untuk babi dan anjing yang masih kecil, ganti ruginya Rp 250-an ribu. Nah bila
menabrak yang dewasa, ganti rugi akan dihitung dari berapa jumlah susunya," jelas
Jimmy.
Menurut Jimmy, perilaku penduduk Nafri itu sebagian besar dipengaruhi oleh
minuman keras (miras). Minum minuman memabukkan itu memang menjadi
budaya orang Papua, seperti halnya di Nafri.

(https://news.detik.com/berita/1026559/hati-hati-lewat-kampung-sadis-di-papua)

Jangan Sembarangan Nabrak Babi di Papua!


Selasa, 22 November 2011, 19:12 WIB
Oleh: Chairul Akhmad

REPUBLIKA.CO.ID, PUNCAK JAYA – Asal ada babi untuk dipanggang. Asal


banyak ubi untuk kumakan. Aku cukup senang, aku cukup senang. Dan aku pun
tenang. (Lembah Baliem-Slank)

Tiap daerah di Bumi Pertiwi ini memiliki adat-istiadat, tradisi, khazanah dan
keunikan sendiri-sendiri. Demikian pula dengan Papua. Pulau di ujung timur
Indonesia ini memiliki segalanya; kekayaaan sumber daya alam, keindahan
buminya, maupun keragaman budayanya. 

Namun, ada satu keunikan tradisi Papua yang tak boleh dibuat main-main; jangan
menabrak babi sembarangan jika hewan ini melintas di jalanan yang anda lalui.
Atau jangan berurusan dengan babi, kalau hidup anda tak ingin dibuat repot!

Saking berharganya babi di Papua, binatang menyusui ini menempati posisi vital
dalam kehidupan suku-suku di Bumi Cendrawasih tersebut. Apalagi babi betina.
"Lebih baik anda menabrak nenek-nenek, ketimbang menabrak babi di sini," kata
Irfan, salah seorang pemilik penyewaaan mobil di Jayapura.

Menurut lajang keturunan Jawa yang lahir di Papua ini, resiko menabrak babi jauh
lebih besar ketimbang menabrak manusia. Dendanya sangat berat jika babi yang
ditabrak mati. Orang sini akan menghitung jumlah putingnya, lalu dikalikan dengan
duit sebesar Rp 1-2 juta. 

"Kalau babi itu ukuran sedang, maka putingnya dihargai Rp 1 juta. Tapi kalau besar,
bisa mencapai Rp 2 juta per puting. Jika anda menabrak babi betina dengan puting
berjumlah 12 biji, maka siap-siap saja menggelontorkan fulus sebesar Rp 24 juta,"
jelas Irfan, sambil tersenyum.

Kenapa harus berdasarkan putingnya? Bagi warga Papua, babi betina sangat penting
dalam pengembangbiakan babi. Anak-anak babi akan menyusu di puting induknya,
sehingga harus dijaga dengan baik. Jika babi betina mati, otomatis ia takkan dapat
melahirkan anak lagi. Dan si empunya takkan mendapatkan babi. "Oleh sebab
itulah, kenapa babi betina sangat berharga di sini," kata Irfan.
Selain itu, babi juga dapat digunakan sebagai mahar perkawinan atau untuk denda.
Misalnya, jika seorang istri disakiti oleh suaminya, atau KDRT (Kekerasan Dalam
Rumah Tangga) istilah kerennya. Lalu sang istri mengadu kepada keluarganya,
maka keluarga besarnya akan menuntut kepada si suami. Tentu saja, tuntutannya
adalah babi. Berapa jumlahnya? Tergantung negosiasi pihak keluarga istri dan si
suami pelaku KDRT itu.

Namun, tuntutan ini tak terlalu saklek (mutlak) juga. "Yang kerap terjadi, jika
negonya lancar dan mulus-mulus saja, maka tuntutan yang semula 15 ekor babi,
bisa turun jadi seekor," tutur Grace Tombilayuk, dokter umum di RSUD Mulia
Puncak Jaya, yang kerap berhubungan dengan warga setempat.

Saking mahalnya babi, tak jarang jika gadis-gadis pendatang di Papua memasang
tarif belasan ekor babi kepada pemuda lokal yang mencoba melamar mereka. Hal
ini dilakukan untuk menghindari agar si pemuda tak mampu memenuhi syarat yang
ditetapkan sang gadis. 

Bahkan, gadis seperti Annisya Muharti pun memasang target serupa jika dirinya
dilamar pemuda lokal. "Saya mau dilamar pemuda di sini dengan maskawin 15 ekor
babi," canda dokter gigi di RSUD Mulia ini.

Mungkin bagi Nisya, 15 ekor babi itu tak bakal bisa dipenuhi pemuda setempat.
Bagaimana kalau ternyata ada pemuda yang mampu memenuhi target yang
ditetapkan sang dokter? Wah, itu sih udah jodohnya, kali!

(http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/11/22/lv29wo-jangan-
sembarangan-nabrak-babi-di-papua)

2. Nama Metode Penyelesaian Konflik

“Ganti Ternak Babi”

3. Metode Penyelesaian Konflik

Jika secara sengaja ataupun tidak sengaja menabrak babi di Papua, maka:

a) Jika babi masih kecil ganti rugi paling minimal 250 ribu - Seterusnya

b) Jika babi jantan dewasa maka harus mengganti harga babi senilai Rp. 10 Juta -
Rp. 30 Juta

c) Jika babi betina deasa maka harus mengganti harga babi + banyaknya jumlah
puting susu (Tiap puting susu dihargai sekitar Rp. 1 Juta - 2 Juta).

4. Keterkaitannya dengan Hukum Nasional


Untuk menjawab keterkaitan deskripsi kasus di atas dengan hukum nasional, kami
akan menggunakan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU No. 22/2009) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata). Jika sebuah kendaraan bermotor menabrak hewan (bukan
hewan liar karena memiliki tuan) yang sedang melintas di jalan raya sehingga
terjadi kecelakaan yang menyebabkan babi tersebut mati dan kendaraan mengalami
kerusakan berat.

Dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 22/2009 dinyatakan bahwa:

“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan
tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain
yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.”

Mengenai kewajiban dan tanggung jawab dalam suatu kecelakaan lalu lintas diatur
lebih lanjut dalam Pasal 234 ayat (1) UU No 22/2009 mengatur bahwa pengemudi,
pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang
dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi. Namun, pengecualian terhadap
pasal ini diatur dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009 yang menyatakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika:

a) Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan
pengemudi,
b) Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau,
c) Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan
pencegahan.

Jika pemilik kendaraan bermotor memenuhi unsur dalam pengecualian yang diatur
dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009 karena kecelakaan disebabkan gerakan
hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan atau dapat pula dikategorikan
sebagai adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan Pengemudi. Hal ini merujuk pada penjelasan Pasal 234 ayat (3) huruf a
UU No. 22/2009 yang menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “keadaan
memaksa” termasuk keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh
Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba. Mengingat
bahwa pemilik kendaraan bermotor sesuai kronologi kasus di atas masuk dalam
pengecualian yang diatur dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009, maka pemilik
kendaraan bermotor tidak dapat diminta pertanggungjawabannya atas matinya babi
tersebut. Namun, perlu diingat bahwa hal ini hanya berlaku jika babi tersebut
menyeberang jalan secara tiba-tiba (tidak sedang digiring) atau pemilik kendaraan
bermotor tersebut telah melakukan pencegahan atas terjadinya kecelakaan itu.

Berbeda halnya jika babi yang menyebrang jalan tersebut sedang digiring oleh
pemiliknya. Dalam Pasal 116 ayat (2) huruf b UU No. 22/2009 dinyatakan bahwa
Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika akan melewati kendaraan tidak
bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi atau hewan yang
digiring. Oleh sebab itu, jika dihubungkan ke kasus di atas, Pengemudi sepatutnya
melakukan kewajiban untuk memperlambat kendaraannya jika melihat babi yang
melintas tersebut sedang digiring oleh tuannya untuk menyeberang jalan.
Seandainya kewajiban ini tidak diindahkan, maka pemilik kendaraan bermotor tetap
dapat diminta pertanggungjawaban atas matinya babi tersebut. Pemilik babi dapat
menuntut ganti rugi terhadap pemilik kendaraan bermotor sesuai dengan Pasal 236
ayat (1) UU No. 22/2009 yang menyatakan bahwa pihak yang menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 UU
22/2009 yaitu wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan
putusan pengadilan.

Pertanyaan selanjutnya, apakah pemilik kendaraan bermotor dapat menuntut ganti


rugi kepada pemilik babi atas kerusakan yang dialami kendaraannya. Dalam Pasal
1368 KUHPerdata diatur bahwa pemilik binatang, atau siapa yang memakainya,
selama binatang itu dipakainya, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya maupun
binatang tersebut tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Berangkat dari pasal
tersebut maka pemilik babi dapat dikategorikan sebagai pihak yang menyebabkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas dan dapat dituntut ganti rugi sesuai dengan Pasal
236 ayat (1) UU No. 22/2009. Mengenai kewajiban mengganti kerugian,
menurut Pasal 236 ayat (2) UU No. 22/2009, para pihak dapat membuat
kesepakatan damai di luar pengadilan mengenai hal penggantian kerugian.

5. Pandangan Kelompok Mengenai Metode Penyelesaian Hukum Adat

Menurut pendapat kami, bahwa penyelesaian kasus tabrak babi melalui hukum adat
tersebut ada segi positif dan negatifnya.

Segi positifnya, bahwa masyarakat papua pada umumnya sudah terbiasa untuk
menyelesaikan konflik dengan metode hukum adat. Meskipun, hukum positif juga
berlaku di papua, namun tingkat pengetahuan masyarakat untuk menempuh metode
penyelesaian konflik kasus tabrak babi melalui jalur litigasi ataupun non litigasi
sebagaimana diatur dalam hukum positif sangat terbatas. Sehingga, metode
penyelesaian dengan nama “Ganti Ternak Babi” tersebut dinilai lebih optimal dan
memberi keadilan bagi masyarakat papua. Karena, babi merupakan harta berharga
yang dimiliki oleh masyarakat papua, khususnya untuk keperluan makan sehari-
hari. Sehingga menjadi wajar jika nilai ganti rugi babi tersebut sangat mahal karena
disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat papua.

Namun, segi negatifnya bahwa model penyelesaian melalui hukum adat tersebut
kurang memperhatikan keadilan bagi pengendara yang menyebabkan kematian
terhadap babi. Padahal, jika dianalisis lebih jauh maka kerugian tidak hanya dialami
bagi pemilik babi, namun juga pemilik kendaraan. Bisa saja, terjadi kerusakan yang
sangat parah terhadap kondisi kendaraan yang menabrak babi, padahal justru
babinya sendiri yang secara tiba-tiba muncul di jalan raya. Sehingga, perlu dilihat
sejauh mana kesalahan dan kelalaian antara pemilik kendaraan dan pemilik babi
untuk dimintai pertanggungjawaban, agar memberikan keadilan bagi keduanya.
Sehingga, menurut pendapat kami, jika memang kesalahan datang dari pengendara,
maka pengendara harus menghormati mekanisme ganti rugi sesuai nominal yang
ditentukan menurut hukum adat di papua. Namun, jika kesalahan justru datang dari
pemilik babi karena kelalaiannya atau karna babi liar yang tiba-tiba muncul ke
tengah jalan, maka harus dilakukan mediasi untuk menemukan mekanisme
penyelesaian yang tepat untuk memberikan keadilan bagi semua pihak, artinya
kesalahan tidak bersifat tunggal dan mutlak berada pada pengendara yang harus
selalu melakukan ganti rugi.

Anda mungkin juga menyukai