Anda di halaman 1dari 12

Penulis Silvita Agmasari | EditorI Made Asdhiana

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak ada yang dapat mengalahkan sensasi makan bersama di
kampung halaman dengan sanak saudara menyantap hidangan yang akrab di lidah. Itulah yang
dirasakan oleh Revi perantau dari Sunatera Barat di Jakarta. Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera
Barat ini sengaja hadir ke Festival Jajanan Minang, Sabtu (10/12/2016) yang berlangsung di
Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Revi bersama 20 orang lainnya menyantap hidangan khas
Sumatera Barat, yakni sambalado tanak, sambalado jariang, dan ikan sepat goreng. Namun cara
makan Revi dan 20 orang lainnya terbilang tak biasa. Mereka duduk berjajar, saling berhadapan
dengan daun pisang di tengah mereka. Daun pisang tersebut adalah alas hidangan santap siap
mereka. Tanpa peralatan makan, sendok dan piring, mereka makan bersama. (BACA: Baru 5
Jam Festival Jajanan Minang Dibuka, Makanan Sudah Ludes Terjual) Tata cara makan seperti
itu disebut makan bajamba di Sumatera Barat. "Saya tahu acara makan bajamba ini dari online.
Karena libur saya ikut, lumayan untuk mengobati rindu kampung halaman," kata Revi. Makan
bajamba, makan bersama khas Minangkabau.(Kompas.com/Silvita Agmasari) Di kampung
halaman Revi, tradisi makan bajamba biasanya ia lakukan saat menghadiri acara pernikahan atau
acara adat lainnya. "Hanya biasanya ada piring besar saat makan bajamba. Di sini tak ada," kata
Revi. Teman Revi, Unizar berasal dari Pariaman yang juga ikut makan bajama di Festival
Jajanan Minang mengaku senang dengan acara ini. "Tak tahu kenyang atau tidak yang pasti enak
makan seperti ini," kata Unizar. Mereka berdua kemudian mengatakan, "lapeh taragak" yang
artinya melepas rindu, rindu kampung halaman, tanah Minang. Makan bajamba adalah salah satu
kegiatan yang diselenggarakan oleh panitia Festival Jajanan Minang 2016. Untuk ikut serta
dalam tradisi khas Minangkabau ini, peserta dipungut biaya Rp 50.000 dan mendaftar via online
lewat media sosial komunitas Anak-Anak Minang Jabodetabek. Sayangnya jumlah peserta
dibatasi hanya sampai 50 peserta dan kuota makan bajamba untuk Festival Jajanan Minang 2016
sudah ditutup. Festival Jajanan Minang 2016 diselenggarakan dua hari yakni 10-11 Desember
2016 pukul 08.00-21.00 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Tak dipungut biaya alias gratis
untuk ikut serta dalam festival ini.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Makan Bajamba, Makan Bersama ala
Minangkabau",
https://travel.kompas.com/read/2016/12/11/190600727/makan.bajamba.makan.bersama.ala.mina
ngkabau.
Penulis : Silvita Agmasari

Sumbang Duo Baleh


17 December 2018 09:42 WIB Dibaca 1086 kali

Peraturan tidak tertulis dalam adat Minang adalah berisi tentang tata krama dan kesopanan.
Aturan di Minangkabau merupakan aturan yang sangat ditegaskan bagi kaumnya. Salah satu
aturan yang diutamakan dalam adat Minang yang ditujukan kepada kaum perempuan dinamakan
Sumbang Duo Baleh. Sumbang Duo Baleh seharusnya diketahui oleh orang-orang Minangkabau
sejak dulu terutama bagi kaum perempuan di Minang agar menjadi perempuan seutuhnya.

Hal tersebut dikarenakan dalam aturan Sumbang Duo Baleh merupakan bagaimana aturan atau
tata cara perempuan Minang yang seutuhnya dalam bertutur maupun bertindak. Berjalannya
waktu dan perbedaan zaman membuat dunia atau aturan Minang menjadi pudar. Sumbang Duo
Baleh terdiri atas 12 sumbang yaitu, sumbang duduk, sumbang tagak, sumbang jalan, sumbang
kato, sumbang caliak, sumbang makan, sumbang pakai, sumbang karajo, sumbang tanyo,
sumbang jawek, sumbang bagaua, dan sumbang kurenah atau pangahabisan. Sumbang duduak
merupakan bagaimana seharusnya kaum wanita duduk dengan benar yaitu dengan cara
bersimpuh. Pudarnya ketentuan atau aturan tersebut di Minang cara duduk perempuan sekarang
tidak ada aturannya lagi. Dahulunya perempuan bersimpuh sekarang tidak elok di pandang.

Contohnya duduk dengan mengangkat kakinya sebelah dengan alasan lebih leluasa dan mencari
kenyamanan. Sumbang tagak merupakan aturan yang harus di jaga. Dalam berdiri perempuan
Minang juga ada aturannya. Dalam aturan ini perempuan tidak boleh berdiri di depan pintu, di
jenjang naik rumah, bahkan berdiri dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Dibandingkan
dengan sekarang aturan tersebut tidak dikenal lagi bagi perempuan Minang bahkan saat sekarang
perempuan dan laki-laki berada pada titik yang sama pun tidak dipermasalahkan.

Sumbang jalan merupakan ketentuan selanjutnya, “bajalan musti ba kawan, paliang kurang jo
paja ketek, kalau padusi bajalan surang, saibarat alang-alang lapeh. Berjalan harus ada teman,
sekurang-kurangnya bocah kecil, kalau perempuan berjalan sendiri ibarat alang-alang lepas.
Sumbang kato, wanita secara harfiah wanita berbicara dengan lemah lembut dan penuh dengan
kesopanan. Tetapi saat sekarang wanita kebanyakan wanita berbicara dengan nada yang keras
dan berbicara dengan kasar yang tidak enak di dengar.
Sumbang caliak, “kok awak manjadi tuan rumah, usah pancaliak ka jam tangan, tasingguang
urang sadang duduak, itu ma usia sacaro aluih” tidak selayaknya tuan rumah sealu melihat jam
karena itu akan menyinggung orang lain yang sedang duduk, bukanlah itu cara menyuruh orang
pergi. Sumbang makan, dalam makan wanita juga harus tahu ketentuannya. “usah makan sambia
tagak, kunyah-kunyang sapanjang jalan, nyampang makan jo tangan, ganggam nasi jo ujuang
jari, bao ka ateh lambek-lambek, usah mangango gadang-gadang. Nyampang makan jo sendok,
agak-agak makan dahulu, nan balago sendok jo gigi, ingek-ingek dalam batambuah, kana-kana
manyudahi.

Sumbang pakai, dalam sumbang ini memberitahu bagaimana cerminan bagi perempuan Minang
dalam berpenampilan. “Babaju jan sampik-sampik, nak jan nampak rasio tubuah, dima bukik
dima lurahnyo, dima taluak tanjuang baliku jadi tontonan laki-laki, usah pulo talampau jaranhg,
nan tipih nan tabuak pandang, konon tasimbah ateh bawah. Dilihat dari perubahan sekarang cara
berpakaian perempun sekarang seperti kekurangan bahan dan melihatkan lekungan tubuh bahkan
sebagian kain tidak menutupi tubuhnya. Sumbang karajo, ketentuan pada sumbang ini
perempuan hanya mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan saja untuk pekerjaan yang berat
diserahkan kepada kaum laki-laki.

Ketentuan tersebut pada saat ini tidak ada lagi perbedaan pekerjaan laki- laki dan perempuan
malahan saat ini perempuan melakukan hal yang dikerjakan oleh laki-laki. Sumbang tanyo,
dalam ketentuan ini perempuan sangat mengetahui ketentuan ini karena dalam sumbang ini
perempuan tempat menerima tamu datang di rumah maka perempuan Minang harus tahu
ketentuan bagaimana cara bertanya dengan baik apa maksud kedatangan orang yang bertamu.
Ketentuan ini jika dibandingkan dengan sekarang sangat berbeda jauh ketentuannya.

Sumbang jawek,pada sumbang ini perempuan Minang harus menjawab dengan sopan dan lemah
lembut jika ada orng yang bertanya sesuatu. Sumbang bagaua, dalam sumbang ini ketentuan di
Minang perempuan tidak dibolehkan bergaul dengan laki-laki. Sekarang zamannya tidak seperti
itu lagi, laki-laki dan perempuan bercampur-baur dan saling berdekatan bahkan berpegangan
tangan. Sumbang yang kedua belas adalah sumbang pangabisan atau disebut juga dengan
sumbang kurenah. Sumbang ini bagi perempuan Minang ketentuan yang harus diketehui oleh
perempuan Minang karena dalam sumbang ini mengungkapkan semua cara kita atau larangan
kita untuk berindak ataupun merespon sesuatu.

Berdasarkan kajian tentang Sumbang Duo Baleh di atas menyimpulkan bahwa perubahan dari
zaman ke zaman maka ketentuan adat Minang semakin memudar. Jika dibandingkan dengan
ketentuan dulu dengan ketentuan sekarang begitu jauh perbedaannya atau perubahannya. Hal itu
bisa dikatakan sebagai penyimpangan sosial masyarakat begitu mudahnya melupakan atau
meninggalkan ketentuan atau aturan tersebut. Ketentuan tersebut merupakan identitas perempuan
Minang dalam bertindak, bertingkah laku yang sewajarnya ditanamkan dalam diri terutama pada
wanita Minang. Ada ungkapan Minang “adat petatah petitih awak alah hanyiuk”. Adat petatah
dan petitih kita sudah hanyut atau menghilang. (*)

Editor : Elsy Maisany


Sumber Berita : Redaksi
Rumah Gadang Sungai Beringin
Jumat 20 Okt 2017 00:20 WIB

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Yudha Manggala P Putra

Rumah Gadang Sungai Beringin

Foto: http://www.wisatasumbar.net

REPUBLIKA.CO.ID, PAYAKUMBUH -- Mentari sedang berada tepat di atas ubun-ubun ketika


saya dan istri mengendarai sepeda motor menuju Nagari Sungai Beringin di Kecamatan
Payakumbuh, Kabupaten Limopuluah Koto, Sumbar, awal Agustus. Di sepanjang sisi kiri dan
kanan jalan yang kami lalui, tampak pemandangan hijau perbukitan dan sawah-sawah penduduk
yang menghampar luas. Cuaca cerah menemani perjalanan kami ketika itu.

Setelah berkendara selama kurang lebih 20 menit dari Kecamatan Guguak, kampung halaman
saya, sampailah kami di Nagari Sungai Beringin. Sepeda motor lalu saya arahkan ke kompleks
bangunan megah yang terdapat di salah satu sudut desa itu. Kami tidak menjumpai seorang
penjaga pun di loket, kecuali sehelai papan bertuliskan harga karcis bagi pengunjung yang
hendak masuk ke tempat itu.

Seorang perempuan muda berpakaian agak lusuh tiba-tiba datang menghampiri kami. "Maaf,
Uda (panggilan umum untuk laki-laki di Minangkabau—Red). Mohon bayar karcis masuknya
dulu. Per orangnya Rp 5.000," ujarnya kepada kami.

Karena kami datang berdua, istri saya pun menyerahkan selembar pecahan Rp 10 ribu
kepadanya. Namun, ketika saya meminta karcis yang dimaksud, perempuan tadi mengatakan
tiketnya sedang habis sehingga tak ada tanda pembayaran yang kami terima.

Kami lalu menyusuri jalan menuju sebuah lapangan terbuka berbentuk lingkaran. Di tengah-
tengah lapangan itu, terpasang sejumlah ubin berwarna cokelat muda yang membentuk pola segi
delapan sama sisi. Oleh penduduk setempat, area itu disebut medan nan bapaneh (dalam bahasa
Indonesia berarti 'medan yang terpapar oleh terik sinar matahari).

Menurut tradisi Minangkabau yang berkembang saat ini, medan nan bapaneh memiliki beragam
fungsi, antara lain digunakan untuk menampilkan pementasan berbagai karya seni, seperti tarian,
drama, musik, dan sejenisnya.

Selanjutnya, perhatian kami tertuju pada sebuah rumah gadang beratap tujuh gonjong nan
menawan laksana istana raja. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu jati yang dihiasi dengan
berbagai motif unik khas Minangkabau seperti kaluak paku, itiak pulang patang, dan saik
galamai.

Di tengah-tengah bagian depan bangunan megah itu terdapat dua tangga menuju sebuah serambi
yang menjorok keluar. Sementara, di halaman rumah gadang itu terdapat dua lumbung padi yang
oleh masyarakat Minang biasa disebut rangkiang.

Itulah sedikit gambaran tentang Rumah Gadang Sembilan Ruang Sungai Beringin. Bangunan
bergaya arsitektur Minangkabau itu memang terkenal akan keindahannya di kalangan
masyarakat Sumbar, khususnya di Kabupaten Limopuluah Koto dan Payakumbuh.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika rumah gadang tersebut menjadi salah satu objek
wisata budaya yang cukup menarik untuk dikunjungi para pelancong dari luar.

Kompleks Rumah Gadang Sungai Beringin dibangun di atas lahan seluas lebih dari tiga hektare
oleh mendiang Nasrul Chas, seorang pengusaha kaya yang juga pendiri Hotel Pusako
Bukittinggi. Rumah gadang itu diresmikan keberadaannya pada 9 Januari 1994 oleh menteri
pariwisata pos dan telekomunikasi yang ketika itu dijabat oleh Joop Ave.

Bangunan tersebut kemudian dipersembahkan untuk anak cucu Minangkabau dan hingga kini
digunakan untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya adat Minang kepada dunia luar.
 Home
 News
 Sosial & Budaya

Rumah Gadang, Simbol Budaya


Minangkabau

Liputan6.com, Tanah Datar: Bagi masyarakat Minangkabau, Rumah Gadang adalah satu di
antara simbol budaya. Rumah Gadang yang berarti rumah besar bahkan menjadi milik berharga
suatu kaum di Ranah Minang. Menurut pesan leluhur, mempertahankan Rumah Gadang adalah
tugas mulia yang harus didahulukan. Sayangnya, tak semua Rumah Gadang dalam kondisi baik.
Ketiadaan dana membuat sebagian rumah adat Minang tersebut harus menyerah dimakan usia
atau dimakan lapuk, bahkan dimakan kemajuan jaman. Tak jarang, malah dihancurkan untuk
bangunan baru yang lebih modern.

Satu di antara sedikit Rumah Gadang yang masih bertahan adalah yang dipelihara Datuk
Panghulu Basa sebagai pemangku adat sukunya. Rumah Gadang itu terletak di Kabupaten Tanah
Datar, Sumatra Barat. Menurut Datuk Panghulu Basa, baru-baru ini, rumah warisan keluarganya
telah berusia sekitar 350 tahun. Bangunan bersejarah itu dibangun Datuk Panghulu Basa yang
pertama, sedangkan ia adalah datuk yang kelima.

Selama berabad-abad, bangunan tersebut tetap terjaga keasliannya. Walau rayap memangsa di
sana-sini, Rumah Gadang milik Datuk Panghulu Basa itu tetap tegak berdiri. Menurut Datuk
Panghulu Basa, kuncinya terletak pada pemilihan serta pengolahan kayu. Awalnya, si pembuat
Rumah Gadang mengumpulkan kayu juara sekitar setahun. Batang-batang kayu tersebut
kemudian direndam selama enam bulan. Setelah melewati proses ini, Datuk Panghulu Basa I
segera mengumpulkan kaumnya. Selanjutnya, secara bergotong royong, mereka mulai
membangun simbol budaya tersebut selama setahun.

Seiring perjalanan waktu, Rumah Gadang tersebut kini menjadi tanggung jawab Datuk Panghulu
Basa V. Di dalam Rumah Gadang, juga masih tersimpan beberapa alat rumah tangga yang
digunakan di masa lampau. Rumah peninggalan itu juga masih memiliki tungku kuno atau
tempat memasak yang terbuat dari tanah. Bila hendak dipergunakan untuk memasak, menurut
Datuk, sepasang batu harus ditaruh di atas tungku.

Lebih jauh Datuk mengungkapkan, seperti Rumah Gadang lainnya, banyak ritual adat yang
digelar di bangunan tersebut. Upacara perkawinan adalah satu di antaranya. Bahkan, 200 tamu
dapat tertampung sekaligus di dalam Rumah Gadang itu. Hingga saat ini, bangunan peninggalan
leluhur itu masih kerap dipergunakan dalam acara pernikahan. Meski ratusan tamu memenuhi
Rumah Gadang, sejumlah penari masih dapat mempertunjukkan kebolehan mereka. Misalnya,
Tari Piring.

Fungsi Rumah Gadang tak cuma sebagai tempat melangsungkan pernikahan. Rumah Gadang
juga berfungsi mempertahankan sistem matrilineal--sistem kekerabatan dari garis ibu yang
dianut etnis Minangkabau. Buktinya, tujuh bilik atau kamar di Rumah Gadang diperuntukkan
bagi anak dan kemenakan perempuan. Datuk mencontohkan, seumpama seorang anak atau
kemenakan perempuannya melangsungkan pernikahan, maka dia bersama sumando--menantu
laki-laki--tidur di sana pada malam harinya. Sedangkan anak laki-laki yang belum menikah
diharuskan tidur di surau. Bila sudah kawin, mereka harus berdiam di kediaman istri masing-
masing.

Sekadar diketahui, bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang adalah segi empat atau empat
persegi panjang. Ini juga ditentukan oleh jumlah ruang di dalamnya yang selalu ganjil, yakni
tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Konon, pada masa lampau, ada yang mempunyai 17 ruang.
Keunikan bangunan adat yang berbentuk rumah panggung itu adalah atapnya yang lancip.
Lengkungan pada atapnya juga mirip dengan bentuk tanduk kerbau. Sedangkan badan rumahnya
juga melengkung, landai seperti badan kapal. Untuk menaiki Rumah Gadang harus melalui
tangga yang terletak di muka rumah. Di atas tangga ini diberi atap yang menjulang ke depan.

Rumah Gadang juga merupakan bangunan induk dari sejumlah bangunan lainnya. Masing-
masing adalah Balairung, Rangkiang, dan Musala. Bentuk Rangkiang atau lumbung padi sangat
mirip Rumah Gadang. Rangkiang juga merupakan bangunan pelengkap Rumah Gadang yang
berada tepat di halaman depan.(ANS/Aldian)
Rumah Gadang, Daya Lenting Adat Minang

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rumah Gadang, Daya Lenting Adat
Minang",
https://travel.kompas.com/read/2014/05/15/1553069/Rumah.Gadang.Daya.Lenting.Adat.Minang
?page=all.

Rumah gadang di Sumatera Barat bukan hanya rumah biasa karena menjadi simbol adat Minang-
kabau yang menganut kultur matrilineal. Kebertahanan rumah gadang berarti masih langgengnya
adat Minangkabau. Namun, kini kian jarang rumah gadang yang terawat dengan baik di Sumbar.
Rumah gadang di Sumatera Barat bukan hanya rumah biasa karena menjadi simbol adat Minang-
kabau yang menganut kultur matrilineal. Kebertahanan rumah gadang berarti masih langgengnya
adat Minangkabau. Namun, kini kian jarang rumah gadang yang terawat dengan baik di Sumbar.
(KOMPAS/RINI KUSTIASIH) EditorI Made Asdhiana RUMAH gadang di Sumatera Barat
adalah rumah ibu, rumah suku, dan rumah adat orang Minangkabau yang mendasari
perikehidupan mereka sehari-hari. Sebagai sebuah bangunan, rumah gadang sudah tidak
sebanyak di masa lampau. Namun, sebagai suatu simbol matrilineal dan kekukuhan adat nagari
yang berninik mamak, orang-orang Minang masih pulang ke ”rumah gadang”. Inilah negeri yang
membuat tokoh Zainuddin, dalam karangan Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, tersiksa lahir batin lantaran cintanya ditolak oleh ninik mamak atau tetua kekasihnya,
Hayati. Zainuddin yang merintih, karena merasa anak yang terbuang dan tidak diakui adatnya
lantaran bapaknya orang buangan, seolah mengatakan tak ada lelaki semalang dirinya, lelaki
berbapak Minang, tetapi tak beribu orang Minang. Karena itu, jika mengikuti aturan kekerabatan
merunut garis ibu atau matrilineal, Zainuddin bukan orang Minang. Kepada dirinya pun tak bisa
dikenakan adat dan aturan Minang. Begitu halnya di rumah gadang, setiap lelaki, bahkan anak
sendiri, hanyalah ”tamu”. Pada usia balig, anak laki-laki harus tinggal di surau. Ketika beranjak
dewasa, ia pun dituntut merantau untuk memperbesar harta pusaka, bekerja, atau menuntut ilmu
di luar sukunya, di luar kampungnya. Posisi suami di rumah gadang adalah ”tamu terhormat”
atau urang sumando. Oleh Amir MS dalam bukunya yang berjudul Adat Minangkabau (2011),
suami diibaratkan abu di ateh tungku atau abu di atas tungku yang sangat lemah kedudukannya
sehingga sekali tiup saja beterbanganlah abu itu ke udara. Kedudukan mamak dalam rumah
gadang, yakni kakak atau adik ibu yang laki-laki, sebaliknya sangat kuat meski ia tak berhak
mewarisi harta pusaka, seperti tanah dan rumah. ”Sesuai adat, ini semua diwariskan kepada
saudara perempuan saya. Selanjutnya, kemenakan perempuan sayalah yang akan mewarisi harta
pusaka ini. Saya tak mendapatkan apa-apa. Saya (mamak) berkewajiban mengawasi
kemenakan,” kata Mardalis Datuk Itam (61), Wali Nagari Batipuh Baruah, Kabupaten Tanah
Datar, Jumat (25/4/2014). Datuk Itam menunjukkan rumah gadang milik keluarganya, Suku Si
Kumbang, yang sudah sembilan generasi ini dihuni. Berada di tepi jalan kampung, rumah
gadangnya adalah satu dari tiga rumah gadang di sana. Satu rumah gadang dilengkapi dengan
ukiran warna-warni dan dilapisi semen. Satu rumah gadang lainnya adalah milik kerabat Datuk
Itam, yang masih satu nenek atau satu suku. Rumah gadang itu, seperti halnya milik keluarga
Datuk Itam, terbuat dari kayu dan dinding belakangnya dari anyaman bambu. Panjang rumah
Datuk Itam sekitar 15 meter, terdiri atas lima bilik atau ruangan. Empat bilik itu adalah kamar
dan satu bilik di tengah merupakan jalan menuju dapur. Pada bilik tengah terdapat tangga
menuju ke lantai atas dan lantai bawah. Di lantai atas orang bisa berdiri, tetapi terbatas, tidak
seperti di ruang bawah. Ruangan lantai atas berbau apak dan agaknya kurang terawat. Di sana
terhampar gabah kering yang sebagian rusak karena dimakan tikus. ”Padi itu hasil panen tanah
pusaka. Disimpan di sana untuk kebutuhan makan sehari-hari,” tutur Datuk. Satu tangga lainnya
di ruang tengah menjulur ke lantai bawah yang beralas tanah. Lantai bawah itu lapang dan cukup
bagi orang untuk berdiri. Lantai itu dimanfaatkan untuk menyimpan perkakas, mesin jahit, dan
baju-baju yang disampirkan pada tali jemuran. Kadang kala keluarga juga memasak di situ,
yakni saat ada acara adat yang besar, seperti upacara memotong rambut anak, kelahiran,
pertemuan keluarga, atau ketika ada kematian. Pada zaman dulu, lantai bawah dimanfaatkan
untuk ternak. Bentuk fisik rumah gadang lainnya di Sumbar tidak jauh berbeda dari milik
keluarga Datuk Itam. Ada beberapa ciri yang membedakan rumah gadang dari satu daerah
dengan daerah lain, misalnya tangga menuju pintu masuk ke rumah dan ada atau tidaknya
anjungan di kanan-kiri rumah. Ada rumah yang pintu masuknya di tengah, seperti milik keluarga
Datuk Itam. Namun, seperti ditemui di Kabupaten Limapuluh Kota, rumah-rumah gadang di
sana pintu masuknya dari samping kanan atau berdekatan dengan anjungan di sisi kanan.
Sekalipun ada sebagian ciri yang membedakan, makna rumah gadang bagi orang Minang sama:
’rumah bagi perempuan’. Bahkan, ketika banyak generasi muda Minang yang membangun
rumah modern, ”sifat rumah gadang” tidak ditinggalkan. Farianti (45), guru SD yang mewarisi
rumah gadang dari ibunya, Halimah (76), di Nagari Tarantang, Kabupaten Limapuluh Kota,
misalnya, mendirikan rumah modern di samping rumah gadang. Pintu masuk rumah gadang di
anjungan kanan dihubungkan dengan ruang tamu rumah modernnya. Namun, rumah modern itu
tetap akan diwariskan kepada anak perempuan. Adat yang dikandung seperti halnya di dalam
rumah gadang masih dipakai. ”Rumah ini milik anak perempuan. Anak lelaki pulang ke rumah
istrinya,” kata Farianti. Bukti kekukuhan adat Eko Alvares Z, pengajar arsitektur pada Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta, Padang, melihat hal ini sebagai bukti
kekukuhan adat matrilineal Minang. ”Ada pepatah berbunyi, ’adat dipakai baru, baju dipakai
usang’, yang menunjukkan bekerjanya hal ini. Adat terus dipakai dan diperbarui. Orang Minang
sesungguhnya adaptif karena bisa menerima perubahan, tetapi di sisi lain tidak meninggalkan ciri
khasnya yang mendasar,” ungkapnya. Daya lenting adat yang tak lekang oleh waktu dan tak
lapuk oleh hujan inilah yang membuat Eko bersemangat membangun kembali rumah gadang.
Orang Minang masih pulang ke rumah gadang dalam artian fisik dan maksud filosofisnya
sebagai rumah ibu. Bersama dengan kolega dan mahasiswanya, Eko merintis pembangunan
kembali lima rumah gadang di Nagari Sumpur, Kabupaten Tanah Datar, yang terbakar Mei 2013.
Banyak rumah gadang di Minang yang kosong ditinggal merantau. Namun, saat Lebaran tiba,
orang Minang punya adat pulang basamo, pulang ke rumah gadang, pulang ke rumah ibu, pulang
ke nagari asal... (Rini Kustiasih dan Ismail Zakaria)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rumah Gadang, Daya Lenting Adat
Minang",
https://travel.kompas.com/read/2014/05/15/1553069/Rumah.Gadang.Daya.Lenting.Adat.Minang
?page=all.
Mak Katik, Pelurus Adat Minang Kompas.com - 20/07/2010, 02:34 WIB Bagikan: Komentar
Editor Oleh Ingki Rinaldi Tahun 1963 Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto tak menyelesaikan
pendidikan dasarnya karena tak ada dana. Namun, lelaki yang akrab disapa Mak Katik itu
menjadi dosen yang diundang mengajar adat Minangkabau hingga ke University of Hawaii,
Manoa, Amerika Serikat, dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia. Di dalam
negeri, Mak Katik mengajar di Universitas Negeri Padang dan Universitas Andalas, Padang.
Setelah setahun mengajar di Malaysia, mulai semester ini Mak Katik kembali mengajar di
Universitas Negeri Padang untuk mata kuliah Etnologi Minangkabau dan Falsafah Adat
Minangkabau. Bukan hanya aktivitas sebagai dosen yang membuat Mak Katik dihormati,
perjuangannya menjaga dan mengajarkan adat Minangkabau tanpa letih sejak 1970 adalah dasar
hormat untuknya. Dalam pandangannya, adat Minangkabau yang bersendikan syariat (hukum
agama) dengan pegangan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat bersendikan hukum
agama dan hukum agama bersendikan kitab suci) itu makin luntur pemahamannya di
masyarakat. Akibatnya, berbagai perilaku masyarakat berjalan dalam rel yang menyimpang. Itu
tak sesuai lagi dengan adat Minangkabau yang sesungguhnya. “Contohnya soal berpakaian.
Masak ada orang datang melayat ke kuburan pakai celana jeans,” kata Mak Katik. Ia menyebut
konsep adat Minangkabau soal berpakaian yang meliputi penutup tubuh, penutup malu, penutup
aurat, dan pelindung dari miang (lugut pada batang bambu), telah bergeser jadi sekadar
pembungkus tubuh. Dalam berbagai kesempatan, ia juga melihat betapa pemahaman sebagian
besar masyarakat soal adat Minangkabau telah menyimpang jauh. Contohnya, saat Mak Katik
memberi kuliah di Institut Teknologi Bandung. Ketika itu ia digugat beberapa pendengarnya soal
persepsi kelicikan yang terkandung dalam pantun berbunyi taimpik nak di ate, takurung nak di
luar (ketika terimpit ingin berada di atas, ketika sedang terkurung ingin di luar). Menurut Mak
Katik, pantun itu tak dimaksudkan agar orang menjadi licik. ”Ini adalah pemacu agar kita terus
berpikir jauh ke depan, dan menjadi lebih baik setiap harinya,” kata Mak Katik. Pantun itu lantas
disambungkan dengan simbol berupa pucuk tanaman rebung yang terdapat pada rumah-rumah
adat Minangkabau. Maksudnya, perubahan yang lebih baik itu harus terjadi setiap hari. ”Pucuk
rebung kan naik setiap hari. Ini yang namanya alam takambang jadi guru (alam terhampar
menjadi guru),” katanya menjelaskan. Mak Katik belajar adat istiadat Minangkabau secara
lengkap sejak 1959. Ia mengingat tiga guru yang mengajarnya pada masa awal itu, dengan cara
menyalin naskah paragraf per paragraf di kertas perokok. Ini dilakukannya setiap malam. Ketiga
guru itu adalah Rangkai Tuah Kabun, Mak Etek Jaka, dan Datuk Tongga. Mak Katik menimba
ilmu hingga ketiganya meninggal dunia tahun 1980-an. Ia belajar seluruh aspek adat istiadat dan
budaya dari ketiga guru yang sekampung dengannya itu, di Batipuah Padang Panjang, Kabupaten
Tanah Datar (kini termasuk Kota Padang Panjang). Ia belajar membikin pantun, membuat naskah
randai (kesenian Minangkabau yang dimainkan berkelompok dalam perpaduan sandiwara dan
gerak tari, berasal dari pencak silat), bermain saluang (alat musik tiup), menguasai pencak silat,
hingga memainkan talempong (alat musik pukul). Dari ratusan murid Rangkai Tuah Kabun, Mak
Etek Jaka, dan Datuk Tongga, hanya Mak Katik yang diajari dan mendapat ”warisan” seluruh
ilmu dan pengetahuan mengenai adat dan budaya Minangkabau. ”Cuma main rebab (alat musik
gesek) saja saya tak bisa karena memang tak pernah diajari,” kata Mak Katik, anak kedua dari
delapan bersaudara itu. Tolak jadi stempel Tahun 1967 Mak Katik pindah ke Kota Padang. Ia
bekerja pada usaha percetakan. Siang saya kerja, malamnya berkeliling ke sanggar-sanggar di
Kota Padang. Awalnya saya hanya melihat-lihat saja,” katanya. Dari sekadar melihat-lihat, ia
lalu berani memberikan komentar. Akhirnya, ia ikut dalam pusaran aktivitas kebudayaan itu.
Lama-kelamaan Mak Katik mulai dikenal. Salah satu yang dikenangnya, saat untuk pertama kali
kesenian randai dipentaskan oleh etnis Nias dan keturunan China tahun 1976. Pementasan itu
menandai diresmikannya Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat. Pentas budaya yang
menandai kerukunan antaretnis dan keyakinan itu berlangsung hingga 1985, sebelum berhenti
karena regenerasi tidak berjalan. Tahun 1993 izin usaha percetakan yang ditekuni Mak Katik
habis. Namun, ia masih menekuni usaha itu hingga 1996, sebelum fokus menjadi pekerja
kebudayaan. Sebelumnya, tahun 1992 ia ditawari menjadi anggota DPRD Sumatera Barat
mewakili kelompok tarekat Satariah. Tawaran itu ditolaknya. ”Waktu itu kan masuknya dari
Golkar. Saya tak mau kebudayaan Minangkabau nantinya hanya dijadikan pembenaran segala
kebijakan dewan, hanya jadi stempel. Jadi, tawaran itu saya tolak.” Kemampuan dan dedikasi
Mak Katik terkait adat istiadat dan kebudayaan Minangkabau telah menarik perhatian Kirstin
Pauka, peneliti dari Universitas Hawaii yang tengah meneliti adat Minangkabau, khususnya
randai. Gayung bersambut, dan Mak Katik untuk pertama kali bertandang ke Universitas Hawaii
untuk mengajar pada periode 2000-2011. ”Tahun 2011 nanti, jika saya masih sehat dan insya
Allah masih ada, saya akan kembali mengajar di sana (Universitas Hawaii),” katanya. Hal yang
diingat Mak Katik dari kunjungan perdananya ke Hawaii adalah tak dikenalnya budaya dari
daerah-daerah lain di Indonesia, selain Jawa dan Bali. Bahkan ia berkesimpulan, pemerintah saat
itu memang berusaha menghilangkan eksistensi kebudayaan dari daerah lain di Indonesia.
Akibatnya, kebanyakan orang di luar negeri menganggap kebudayaan Indonesia hanya diwakili
Jawa dan Bali. ”Sampai hari ini itu terjadi,” katanya. Oleh karena itulah, dalam kelompok kerja
kebudayaan bernama Palito Nyalo yang ikut dikelolanya, Mak Katik rajin memberikan
pemahaman tentang adat Minangkabau kepada siapa saja. Ia mendatangi sekolah-sekolah,
berbagai lembaga, hingga para perantau yang haus pemahaman adat dan budaya Minangkabau.
Kepada orang-orang itu, ia memuaskan dahaga mereka dengan menafsirkan bentuk kebudayaan
yang masih bisa ditemukan. Tak ada biaya dikutip secara khusus, tetapi sesuai dengan
kesanggupan dan keikhlasan saja. Tujuannya ingin menyebarkan dan meluruskan pemahaman
yang selama ini cenderung keliru soal kebudayaan Minangkabau.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mak Katik, Pelurus Adat Minang",
https://nasional.kompas.com/read/2010/07/20/0234198/mak-katik-pelurus-adat-
minang?page=all.

Anda mungkin juga menyukai