Anda di halaman 1dari 29

Cerita Rakyat

Nusantara
KALIMANTAN
DIBUAT
BARATO
L
E
H
DIAJENG KARUNA RIZKI
KELAS 8.9
T.P 2022 / 2023
DAFTAR ISI
CERITA RAKYAT NUSANTARA

1. BATU MENANGIS

2. ASAL USUL BUKIT KELAM

3. ASAL USUL BURUNG RUAI

4. ASAL MULA SUNGAI KAWAT

5. LEGENDA SUNGAI LANDAK


CERITA RAKYAT NUSANTARA
BATU MENANGIS

Dahulu kala, di sebuah bukit yang jauh dari Pedesaan. Hiduplah seorang Janda miskin
bersama anak perempuannya. Anak dari Janda tersebut sangat cantik jelita, ia selalu
membanggakan kecantikannya tidak sama dengan sifat yang ia miliki. Ia sangat pemalas dan
tidak pernah membantu ibunya.

Selain pemalas, ia juga sangat manja. Segala sesuatu yang ia inginkan harus di turuti. Tanpa
berpikir keadaan mereka yang miskin, dan ibu yang harus banting tulang meskipun sering
sakit-sakitan. Setiap ibunya mengajaknya ke sawah, ia selalu menolaknya.

Suatu hari, ibunya mengajak anaknya berbelanja ke pasar. Jarak pasar dari rumah mereka
sangat jauh, untuk sampai ke pasar mereka harus berjalan kaki dan membuat putrinya
kelelahan. Namun, anaknya berjalan di depan ibunya dan memakai baju yang sangat bagus.
Semua orang yang melihatnya langsung terpesona dan mengagumi kecantikannya,
sedangkan ibunya berjalan di belakang membawa keranjang belanjaan, berpakaian sangat
dekil layaknya pembantu.

Karena letak rumah mereka yang jauh dari masyarakat, kehidupan mereka tidak ada satu
orang pun yang tahu. Akhirnya, mereka memasuki kedalam desa, semua mata tertuju kepada
kecantikan Putri dari janda tersebut. Banyak pemuda yang menghampirinya dan memandang
wajahnya. Namun, penduduk desa pun sangat penasaran, siapa perempuan tua di
belakangnya tersebut.

“Hai, gadis cantik! Siapakah perempuan tua yang berada di belakangmu itu? Apakah dia
ibumu?” Tanya seorang Pemuda.
“Tentu saja bukan, ia hanya seorang pembantu!.” Jawabnya dengan sinis.

Sepanjang perjalanan setiap bertemu dengan penduduk desa, mereka selalu bertanya hal
yang sama. Namun, ia terus menjawab bahwa ibunya adalah pembantunya. Ibunya sendiri di
perlakukan sebagai seorang pembantu.

Pada awalnya, Sang ibu masih bisa menahan diri, setiap kali mendengar jawaban dari Putri
kandungnya sendiri. Namun, mendengar berulang kali dan jawabannya itu sangat
menyakitkan hatinya, tiba-tiba sang ibu berhenti, dan duduk di pinggir jalan sambil
meneteskan air mata.

“Bu, kenapa berhenti di tengah jalan? Ayo lanjutkan perjalanan.” Tanya putrinya heran.

Beberapa kali ia bertanya. Namun, ibunya sama sekali tidak menjawab. Sang ibu malah
menengadahkan kedua tangannya ke atas dan berdoa. Melihat hal aneh yang dilakukan
ibunya, sang anak merasa kebingungan.

“Ibu sedang apa sekarang!” bentak putrinya.

Sang ibu tetap tidak menjawab, dan meneruskan doanya untuk menghukum putrinya sendiri.

“Ya Tuhan, ampunilah hamba yang lemah ini, maafkan hamba yang tidak bisa mendidik putri
hamba sendiri, sehingga ia menjadi anak yang durhaka. Hukumlah anak durhaka ini.” Doa
sang Ibu.

Tiba-tiba, langit menjadi mendung dan gelap, petir mulai menyambar dan hujan pun turun.
Perlahan-lahan, tubuhnya berubah menjadi batu. Kakinya mulai berubah menjadi batu dan
sudah mencapai setengah badan. Gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya. Ia
merasa ketakutan.

“Ibu tolong aku. Apa yang terjadi dengan kakiku? Ibu maafkan aku. Aku janji akan menjadi
anak yang baik bu” teriak Putrinya ketakutan.

Gadis tersebut terus menangis dan memohon. Namun, semuanya sudah terlambat. Hukuman
itu tidak dapat di hindari. Seluruh tubuhnya perlahan berubah menjadi batu. Gadis durhaka itu
hanya menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepalanya menjadi batu,
sang ibu masih melihat air matanya yang keluar. Semua orang di sana menyaksikan
peristiwa tersebut. Seluruh tubuh gadis itu berubah menjadi batu.

Sekalipun sudah menjadi batu. Namun, melihat kedua matanya masih menitihkan air mata
seperti sedang menangis. Oleh karena itu, masyarakat tersebut menyebutnya dengan Batu
Menangis. Batu Menangis tersebut masih ada sampai sekarang.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Legenda Batu Menangis adalah


selalu hormati dan sayangi kedua orang tuamu, karena kesuksesan dan
kebahagiaan mu tergantung dari doa kedua orang tuamu.
CERITA RAKYAT NUSANTARA
ASAL USUL BUKIT KELAM

Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari
keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda.
Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka
merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi
melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga
sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya
justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan
rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di
samping juga berladang dan berkebun.

Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan


Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi
beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas.
Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang
lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.

Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan


bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai
dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam
bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil,
sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan
tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di
Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.

Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai.
Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang
Kapuas dengan cara menuba. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang
banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan
Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara
menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak
hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin
hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap
memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki
dan iri hati kepada Temenggung Marubai.

“Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.

Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi
habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik,
yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan
demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.

Setelah memikiran matang-matang, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak
Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinngi, ia pun
memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu
Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.

Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara
perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan
telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia
menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang
menertawakannya tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
“Aduuuhhh…!” jerit Bujang Beji sambil berjingkrak-jingkrak menahan rasa sakit.

Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit
terputus. Akibatnya, puncak Bukit Batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut
Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih
menertawakannya.

“Awas, kalian! Tunggu pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil
menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.

“Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.

Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk
digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit
Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan untuk
mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit
Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk
membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.

Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu yang akan digunakan sebagai jalan
menuju Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu.
Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke
angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.

Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Beji melakukan upacara sesajian adat
yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang
dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya
sampai ke Kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.

Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji,
sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap)
dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji.
Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang
Beji agar tidak mencapai Kayangan.

“Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” Tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang
dalam pertemuan itu.

“Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.

“Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.

“Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,”
jelas Raja Beruang.

Seluruh peserta rapat, baik dari pihak Sampok maupun Beruang, setuju dengan pendapat
Raja Beruang.

Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan
menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang
mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai
Kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.

“Kretak…Kretak…Kretak…!!!”

Beberapa saat kemudian, pohon kumpang mambu setinggi langit itu pun roboh bersama
dengan Bujang Beji.

“Tolong…! Tolooong….!” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.

Pohon tinggi itu terhempas di hulu Sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau
Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah
usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di Kayangan, sedangkan Temenggung Marubai
terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan
jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji
menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan
Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi
pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Asal Usul Bukit Kelam adalah
sifat tamak dan serakah dapat menyebabkan seseorang menjadi iri dan dengki.
CERITA RAKYAT NUSANTARA
ASAL USUL BURUNG RUAI

Alkisah, di pedalaman Benua Bentahan sebelah timur Kota Sekura, Ibukota Kecamatan Teluk

Keramat, Kabupaten Sambas terdapat seuah kerajaan milik orang-arang suku Dayak.

Kerajaan itu berada di dekat Gunung Bawang dan Gunung Ruai. Raja pemimpin kerajaan itu

memiliki tujuh orang putri. Namun sayang, ibu dari anak-anaknya itu meninggal dunia saat si

Bungsu masih kecil.

Di antara ketujuh putri raja, anak yang paling bungsu adalah yang tercantik. Selain rupawan,

si Bungsu juga memiliki budi pekerti yang luhur, rajin, suka menolong, dan taat kepada orang

tua. Lain halnya dengan keenam kakaknya, perilaku mereka amat buruk. Mereka memiliki

sifat angkuh, pemalas, dan suka membantah. Tidak mengherankan jika sang Ayah lebih lebih

sayang dan memanjakan si Bungsu.


Rupanya, perlakuan sang Ayah terhadap si Bungsu membuat keenam kakaknya menjadi iri

hati dan benci kepada adiknya. Setiap kali sang Ayah tidak berada di istana, mereka

melampiaskan kebenciannya kepada si Bungsu dengan memerintahnya sesuka hati mereka.

Bahkan, mereka tidak segan-segan memukulnya. Si Bungsu menjadi takut kepada kakak-

kakaknya dan terpaksa menuruti semua perintah yang diberikan kepadanya.

Suatu hari, saat Ayah sedang berkunjung ke negeri tetangga karena urusan kerajaan,

keenam putri raja itu memukul si Bungsu hingga seluruh tubuhnya lebam. Si Bungsu yang

malang itu tidak berani mengadu kepada sang Ayah karena keenam kakaknya selalu

mengancamnya.

Suatu hari menjelang siang, sang Ayah pun kembali dari negeri tetangga. Alangkah

terkejutnya ia saat melihat tubuh putri bungsunya penuh dengan lebam. Karena curiga

terhadap keenam putrinya, ia pun segera memanggil mereka untuk menghadap.

“Apa yang terjadi dengan si Bungsu? Kenapa tubuhnya lebam-lebam begitu?” tanya sang

Ayah kepada keenam putrinya.

“Begini, Yah. Tadi si Bungsu terjatuh saat sedang bermain di taman,” sahut putri kedua

memberi alasan.

“Benarkah begitu, Anakku?” sang Ayah balik bertanya kepada si Bungsu yang duduk di

sampingnya.
Putri Bungsu hanya terdiam sambil menunduk. Sesekali ia menoleh kea rah keenam

kakaknya. Putri Bungsu pun tidak berani berkata jujur kepada ayahnya karena keenam

kakaknya terus melototinya.

“Benar, Yah. Tadi aku terjatuh saat mengejar kupu-kupu di taman bunga sehingga tubuhku

terbentur di pagar taman,” jawab si Bungsu lirih.

Mendengar jawaban itu, sang Ayah pun percaya begitu saja sehingga tidak memperpanjang

permasalahan tersebut.

“Baiklah, kalau memang benar begitu. Lain kali, berhati-hatilah jika sedang bermain di

taman!” pesan sang Ayah.

“Baik, Yah,” jawab si Bungsu.

Jawaban si Bungsu itu menyelamatkan keenam kakaknya dari hukuman sang Ayah. Namun,

pada hari-hari berikutnya mereka masih saja memperlakukan si Bungsu dengan semena-

mena ketika sang Ayah sedang tidak berada di istana. Begitulah nasib yang di alami si

Bungsu setiap hari. Seringkali putri yang malang itu menangis tersedu-sedu meratapi

nasibnya.

Suatu malam, si Bungsu duduk di dekat jendela kamarnya sambil memandangi bintang-

bintang di langit. Si Bungsu sulit memejamkan mata karena teringat kepada ibundanya.

Dalam kondisi yang dialaminya saat ini, si Bungsu amat membutuhkan perlindungan dari

sosok seorang ibu.


“Seandainya ibunda masih ada, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Ibunda pasti akan

selalu melindungiku,” ratap si Bungsu.

Malam semakin larut. Si Bungsu sudah mulai mengantuk dan akhirnya tertidur. Saat pagi

menjelang, si Bungsu sudah bangun terlenih dahulu. Sementara keenam kakaknya masih

saja bermalas-malasan di kamar masing-masing.

“Tok… Tok… Tok…!” tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, “Permisi, Tuan Putri!”

Mendengar suara ketukan pintu disusul panggilan seorang dayang istana, Putri Bungsu

segera membuka pintu.

“Ada apa, wahai dayang?” tanya si Bungsu.

“Maaf, Putri! Hamba mendapat perintah dari Baginda agar semua putrinya segera berkumpul

di pendapa istana sekarang. Ada sesuatu yang ingin Baginda sampaikan,” jawab dayang itu.

“Apakah keenam kakakku sudah kamu bangunkan?” tanya si Bungsu.

“Sudah, Tuan Putri! Hamba sudah berkali-kali membangunkan mereka, tapi tak seorang pun

yang membukakan pintu. Barangkali mereka masih tertidur pulas,” jelas dayang itu.

“Baiklah, kalau begitu. Tolong sampaikan kepada Ayah bahwa kami segera ke sana. Biarlah

aku yang membangunkan mereka,” ujar sang putri.


Setelah dayang itu pergi, si Bungsu memberanikan diri untuk membangunkan keenam

kakaknya. Namun saat dibangunkan, mereka justru marah-marah karena masih ingin

bermalas-malasan di tempat tidur. Mereka baru bangun setelah sang Ayah yang

membangunkan mereka karena sudah tidak sabar menunggu.

“Ada apa gerangan Ayah memanggil kami?” tanya putri yang paling sulung setelah mereka

semua berkumpul di pendapa istana.

“Dengarlah, wahai putri-putriku! Ayah akan berkunjung ke kerajaan tetangga selama satu

bulan karena ada urusan penting. Selama Ayah berada di sana, kekuasaan kerajaan ini Ayah

limpahkan kepada si Bungsu,” jelas sang Ayah, “Untuk itu, semua perintah dan keputusan

berada di tangan si Bungsu. Kalian pun harus taat dan patuh terhadap perintahnya.”

Alangkah terkejutnya keenam putri raja mendengar pernyataan itu. Iri hati dan kebencian

mereka terhadap si Bungsu pun semakin menjadi-jadi. Keesokan harinya, sang Ayah pun

meninggalkan istana bersama para pengawal dan prajurit.

Sepeninggal sang Ayah, si Bungsu berharap bahwa dengan kekuasaan yang diamanatkan

kepadanya dapat mengatasi perilaku kakak-kakaknya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Kakak-kakaknya yang licik itulah yang mengambil-alih kekuasaan istana dan semakin leluasa

memperlakukan si Bungsu dengan sewenang-wenang.

Suatu hari, keenam putri raja itu berniat mencelakai si Bungsu dengan mengajaknya mencari

ikan di ikan Gua Batu. Di dalam gua itu terdapat aliran-aliran sungai kecil yang banyak
ikannya. Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata di dalam gua itu juga tinggal seorang kakek

yang sakti.

Saat mereka tiba di gua itu, si Bungsu pun disuruh masuk terlebih dahulumenyusuri lorong-

lorong gua. Ketika ia telah jauh masuk ke dalam, justru kakak-kakaknya pergi

meninggalkannya. Maka, tinggallah si Bungsu seorang diri di dalam gua. Suasana gua yang

gelap gulita membuat si Bungsu tersesat. Ia pun hanya bisa menangis siang dan malam.

Setelah tujuh hari berada di dalam gua itu, tiba-tiba si Bungsu mendengar suara gemuruh

yang menggelegar seolah-olah hendak meruntuhkan dinding-dinding gua. Ia pun menjerit-jerit

ketakutan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba datang seorang kakek tua muncul di

hadapannya.

“Sedang apa kamu disini, Cucuku?” tanya kakek itu.

Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga berada di dalam gua

itu seorang diri sambil meneteskan air mata. Mendengar cerita itu, kakek itu pun merasa iba

kepadanya. Dengan kesaktiannya, kakek itu mengubah setiap tetesan air mata si Bungsu

menjadi telur putih yang besar dan berjumlah banyak. Selang beberapa saat kemudian,

kedua tangan si Bungsu perlahan-lahan ditumbuhi bulu dan kemudian berubah menjadi

sayap burung.

“Apa yang terjadi pada tanganku, Kek?” tanya si Bungsu dengan heran.
“Tenanglah, Cucuku! Kakek akan menolongmu dari kesengsaraan ini. Kamu akan kuubah

menjadi seekor burung. Setelah itu, eramilah telur-telur itu hingga menetas menjadi burung-

burung yang akan menjadi temanmu!” ujar kakek itu.

Setelah kakek sakti itu berdoa, seluruh tubuh si Bungsu perlahan-lahan ditumbuhi bulu-bulu

yang sangat indah. Saat si Bungsu menjelma menjadi burung, berkatalah kakek itu kepada si

Bungsu.

“Cucuku, kini kamu telah menjadi burung dan kamu kuberi nama Burung Ruai.”

“Kwek… Kwek… Kwek…!!!” jawab si Bungsu dengan suara burung.

Begitu si Bungsu selesai menjawab, kakek itu pun menghilang. Burung ruai penjelmaan si

Bungsu itu pun segera mengerami telur-telur itu. Setelah dierami selama 25 hari, telur-telur

itu akhirnya menetas. Setelah dewasa, burung-burung ruai itu meninggalkan gua dan

bertengger di atas pohon di depan istana ayahnya. Dari atas pohon itulah, si Bungsu

menyaksikan keenam kakaknya dihukum oleh ayahnya karena telah mencelakai dirinya.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Asal Usul Burung Ruai adalah

sifat iri hati dapat membuat seseorang melakukan tindakan semena-mena

terhadap orang lain, walaupun terhadap saudara sendiri.


CERITA RAKYAT NUSANTARA
ASAL MULA SUNGAI KAWAT

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang nelayan sungai dengan istri dan anak-anaknya.

Mereka tinggal tidak jauh dari Sungai Kawat itu.

Keluarga nelayan itu tergolong keluarga miskin. Setiap hari, sang ayah hanya

menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan di sungai. Kadang-kadang mujur, tetapi ada

kalanya sehari penuh ia tidak mendapatkan seekor ikan.

Pada suatu hari, nelayan itu pergi memancing dengan membawa 2 buah pancing. Hal ini

dilakukan untuk menjaga kemungkinan jika pancingnya putus, ia masih dapat menggunakan

pancingnya yang satu lagi. Ia mendayung perahunya masuk ke Sungai Kawat (saat itu belum

ada namanya).

Setelah pancing itu diberi umpan, pancing itu diulurkannya ke air dan ia menunggu

pancingnya ditarik oleh ikan. Matahari telah tinggi namun tidak seekor ikan pun mendekati
pancing si nelayan, apalagi untuk memakan umpannya. Akan tetapi, nelayan itu tidak lekas

putus asa. Telsh beberapa kali, ia berpindah tempat di sungai itu tetapi keadaannya sama

saja.

Nelayan itu telah bertekad bahwa jika ia pulang ke rumah itu harus membawa ikan untuk

anak dan istrinya walaupun itu belum juga habis. Seiring waktu matahari semakin terbenam,

nelayan mulai merasa kebingungan dan tidak tahu lagi apa yang dilakukan setelahnya.

Ketika dia memutuskan untuk kembali ke rumah, tiba-tiba kail pancingannya terasa ditarik-

tarik oleh benda. Ia sontak kaget dan segera berusaha menarik sekuat-kuat mungkin karena

dia tidak ingin kehilangan ikan yang menurutnya sedag tersangkut itu.

Namun, sesuatu yang aneh telah terjadi pada pancingan tersebut, dia merasa ikan itu selallu

menariknya sehingga diikuti arah tarikan kail pancingannya itu sampai ke tengah sungai yang

paling dalam. Hari terlihat gelap dan rembulan mulai menampakkan sinarnya.

Pantulan sinar rembulan itu mulai memperlihatkan benda yang ditarik tersebut ternyata

adalah tali kawat. Betapa kecewanya pak nelayan itu melihat hasil pancingan jauh dari apa

yang dikirakan, ia piker benda itu adalah ikan besar sesuai ekspektasinya.

Namun ketika nelayan itu mulai menarik ujung kail pancingannya untuk bergegas pulang, dia

merasa terkejut bahwa kawat yang tersangkut di ujung kail pancingannya berwarna kuning

keemasan yang memancar karena terpaan sinar rembulan.

“Astaga ! Bukankah ini emas ?” seru nelayan itu.


Ia memastikan penglihatannya sekian kalinya, ternyata memang benar yang dilihatnya itu

adalah kawat emas. Ia berteriak senang kegirangan. Dengan cepat ditariknya terus ujung

kawat tersebut hingga bergulung-gulung di perahunya.

“Aku akan menjadi orang kaya !” serunya bersemangat.

Ia terus menarik kawat tersebut dengan semangat. Tali utas kawat tersebut seolah-olah tak

ada habis-habisnya jika ditarik. Ia tidak menyadari gulungan kawat semakin lama semakin

berat memenuhi isi perahunya.

“Hentikanlah. Sudah cukup emas yang kau ambil,” sebuah suara dari dalam sungai

mengejutkannya. Namun, keserakahan telah merasuki si nelayan. Ia terus menarik kawat

emas itu.

Satu depa, dua depa, ia masih saja merasa belum cukup juga. Padahal kalau ia mau

bersyukur dengan satu dua depa saja hidupnya akan berkecukupan, tidak akan menderita

kemiskinan. Namun, sifat serakah telah terlanjur merasuki dirinya. Ia ingin menjadi orang

paling kaya di kampungnya.

“Ah, panjang sekali. Aku akan menjadi orang paling kaya di seluruh dunia,” piker si nelayan.

Ia terus menarik kawat itu tanpa menghiraukan hari semakin gelap. Sampannya telah penuh

dengan gulungan kawat emas.

Ia terus menarik dan menarik kawat emas yang tidak ada habis-habisnya itu. Dari dalam air,

tiba-tiba terdengar suara, “Sudaaaaaaaah, sudahlah, potong saja kawatnya.”


Namun, si nelayan tidak menghiraukan suara itu. Ia terus saja menarik dan menarik kawat itu

karena ia ingin cepat menjadi kaya raya di kampungnya. Terdengar lagi suara dari dalam air

memperingatkannya untuk kedua kalinya dengan keras.

“Potooooooong, sudah potong sajaaaaaaa…! Berhentiii, jangan diteruskaaaan ! Kamu

akan celaka.” Ujar suara dari dalam air sungai itu.

Akan tetapi, nelayan itu tetap saja tidak peduli. Karena perahu nelayan itu sudah terlalu

penuh dengan kawat emas, maka air pun mulai masuk ke dalam perahu sampannya.

Si nelayan yang telah menjadi rakus tetap saja belum berhenti menarik kawat emasnya

tersebut. Sementara, perlahan-lahan air terus merambat ke dalam perahu sampan tanpa ia

sadari. Nelayan itu baru sadar setelah air benar-benar telah memenuhi perahu.

Perahu yang sudah tidak kuat menahan beban utas kawat emasnya itu yang sudah

menumpuk dalam sampannya, akhirnya perahu itu mulai oleng dan pak nelayan itu segera

bergegas berusaha menyelamatkan dirinya sebisa mungkin.

Namun semua itu sia-sia dan terlambat, seketika itu juga perahu itu tenggelam bersama si

nelayan ke dasar sungai. Nelayan itu tidak pernah timbul, ia sudah mati di dasar sungai

akibat keserakahannya yang berlebihan. Itulah sebabnya sungai itu dinamakan Sungai Kawat

oleh masyarakat sekitar.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Asal Mula Sungai Kawat adalah

jangan bersifat serakah, jangan berputus asa mengais rezeki, bekerja keras.
CERITA RAKYAT NUSANTARA
LEGENDA SUNGAI LANDAK

Dahulu, di sebuah desa yang terletak di pinggir hutan di pedalaman Kalimantan Barat,

hiduplah sepasang suami istri. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehari-hari sang

Suami bercocok tanam dengan menanam palawija di ladang. Meskipun hidupnya serba pas-

pasan, pasangan suami istri tersebut selalu ingin membantu orang lain yang sedang

mengalami kesusahan.

Suatu malam, ketika sang Istri sudah tidur dengan nyenyaknya, sang Suami masih terlihat

gelisah. Sesekali ia miring ke kanan, sesaat kemudian miring lagi ke kiri. Malam semakin

larut, namun lelaki itu tetap tidak bisa memejamkan mata. Ia pun bangkit dari tidurnya lalu

duduk di samping istrinya.

“Huh, kenapa mataku sulit sekali kupejamkan?” keluh petani itu.


Sesekali petani itu memandangi istrinya yang sudah terlelap. Suatu ketika, saat menoleh ke

arah istrinya, ia dikejutkan oleh sebuah peristiwa aneh pada istrinya. Kepala sang istri

mengeluarkan asap. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seekor kelabang (lipan) yang

memancarkan sinar berwarna putih keluar dari kepala istrinya. Kelabang itu kemudian

merayap keluar dari rumahnya dan menuruni tangga.

“Hai, mau ke mana kelabang itu?” gumamnya seraya mengikuti hewan berkaki seribu itu.

Cahay bulan purnama yang menerangi sekitar rumahnya memudahkan sang Suami

mengikuti kelabang itu. Tak berapa lama kemudian, kelabang itu sampai pada sebuah ceruk

(lubang) yang digenangi air, tidak jauh dari rumahnya. Si petani menunggu beberapa saat,

namun kelabang itu tidak keluar lagi.

“Ah, dasar kelabang aneh,” gumamnya seraya kembali masuk ke dala rumahnya.

Petani itu kembali merebahkan tubuhnya di samping sang Istri dan mencoba untuk

memejamkan mata. Namun, hingga pagi hari, ia tetap tidak bisa tidur. Pada esok harinya, ia

pun menceritakan peristiwa aneh yang dilihatnya semalam kepada sang Istri.

“Dinda, apakah kamu merasakan kelabang itu keluar dari kepalamu?” tanya sang Suami.

“Tidak, Kanda. Tapi, semalam Dinda mimpi aneh,” jawab sang Istri.

“Mimpi aneh apakah itu, Dinda?” tanya sang Suami penasaran.


Sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya bahwa ia berjalan amat jauh melewati padang

tandus hingga sampai ke sebuah pinggir danau yang amat luas. Di tengah danau, terlihat

seekor landak yang sangat besar. Bulunya berwarna kuning keemasan dan matanya tajam

menyala. Belum lagi istrinya selesai bercerita, sang Suami menyelanya.

“Lalu, apa yang Dinda lakukan?” tanya sang Suami.

“Dinda sangat ketakutan, Kanda. Landak raksasa itu hendak menerkam Dinda. Jadi, Dinda

pun lari meninggalkan danau itu,” cerita sang Istri.

Mendengar cerita tersebut, si Petani termenung sejenak dan kemudian berkata kepada

istrinya.

“Hmmm… jangan-jangan mimpi Dinda ada hubungannya dengan kelabang yang keluar dari

kepala Dinda tadi malam?” pikirnya.

Akhirnya, petani itu mengajak istrinya menuju ceruk tempat kelabang itu menghilang. Ia

bermaksud menangkap kelabang itu.

“Hati-hati, Kanda!” seru sang Istri, “Jangan sampai tersengat oleh kelabang itu. Racunnya

sangat berbahaya.”

“Baik, Dinda,” jawab sang Suami.


Sang Suami kemudian memasukkan memasukkan tangannya ke dalam ceruk itu. Beberapa

saat kemudian, tangannya terasa menyentuh sebuah benda keras dan ujungnya runcing.

Dengan hati-hati, ia mencoba memegang dan kemudian mengambil benda itu. Alangkah

terkejutnya mereka saat melihat benda itu yang ternyata sebuah patung landak emas.

Bentuknya sangat indah dan matanya terbuat dari berlian.

“Lihat, Istriku! Patung landak emas ini sungguh luar biasa,” kata sang Suami dengan kagum.

“Sebaiknya patung itu kita bawa ke rumah, Kanda,” ujar istrinya.

Suami dan istri itu pun membawa patung landak emas itu ke rumah mereka. Kemudian

mereka menyimpannya dengan baik di suatu tempat yang aman.

“Wah, jika patung itu kita jual, maka kita akan kaya, Kanda,” kata sang Istri.

“Benar, Dinda. Tapi, kita jangan tergesa-gesa menjualnya. Biarlah kita simpan dulu. Siapa

tahu kita mendapat petunjuk mengenai patung landak emas itu,” ujar sang Suami.

Benar perkiraan sang Suami. Pada malam harinya, ia mendapat petunjuk melalui mimpi.

Dalam mimpi itu, ia didatangi seekor landak besar.

“Tuan, izinkanlah hamba tinggal di rumah kalian. Sebagai imbalannya, hamba akan

memberikan semua yang Tuan inginkan,” pinta landak raksasa itu kepada si Petani, “Patung

itu cukup diusap kepalanya lalu mengucapkan mantra.”


Landak besar itu kemudian mengajarkan dua jenis mantra. Mantra pertama dibaca saat akan

mulai meminta sesuatu, sedangkan mantra kedua dibaca untuk menghentikan apa telah

diminta tersebut. Si petani pun dengan cepat menghafal kedua mantra tersebut.

Keesokan harinya, petani itu bercerita kepada istrinya perihal mimpinya semalam.

Mendengar cerita itu, sang Istri tidak sabar lagi ingin membuktikannya.

“Wah, kalau begitu. Bagaimana kalau perkataan landak besar itu kita buktikan sekarang?”

desak sang Istri, “Kanda masih hafalkan kedua mantra itu?”

“Iya, Dinda. Kanda telah menghafalnya dengan baik,” jawab sang Suami.

Sang Suami segera mengusap kepala patung landak emas itu lalu membaca mantra

pertama. Setelah itu, ia pun menyampaikan keinginannya.

“Wahai, patung landak! Berikanlah kami beras yang melimpah!” pinta si Petani.

Seketika, butiran-butiran beras pun berhamburan keluar dari mulut patung landak emas itu.

Setelah mendapatkan beras yang cukup, si Petani pun segera membaca mantra kedua untuk

menghentikannya. Beras itu pun berhenti keluar dari mulut patung landak itu. Setelah itu, si

Petani dan istrinya mengajukan permintaan lain seperti perhiasan dan segala sesuatu yang

mereka butuhkan. Maka, dalam waktu singkat, mereka pun menjadi kaya raya. Keinginannya

untuk membantu orang yang susah pun terkabulkan. Sebagian hartanya ia bagi-bagikan

kepada mereka.
Rupanya, di antara warga kampung itu, ada seorang perampok yang merasa iri. Ia pun

segera menyelidiki asal muasal harta kekayaan suami istri itu. Setelah terus-menerus

mengamati dan mengintai, akhirnya perampok itu mengetahui rahasia kekayaan mereka.

“Ooohhh… ternyata patung landak sakti itu yang membuat mereka cepat kaya,” gumam si

perampok.

Perampok itu pun segera menyusun siasat untuk bisa mendapatkan patung landak emas itu.

Ia segera membuat patung landak yang bentuknya mirip patung landak yang sakti itu. Ketika

sepasang suami istri itu pergi ke ladang, ia pun menyelinap masuk ke dalam rumah mereka

lalu menukar patung landak emas itu dengan patung landak buatannya. Setelah berhasil

mendapatkan patung landak emas itu, ia segera meninggalkan kampung itu dan pindah ke

sebuah daerah bernama Ngabang (kini menjadi kecamatan Ngabang).

Saat itu, Ngabang sedang dilanda kekeringan. Warga sangat kesulitan mendapatkan air.

Jangankan untuk mandi, air unuk dipakai memasak pun sangat sulit mereka peroleh. Melihat

keadaan itu, timbullah niat si perampok untuk menjadi pemimpin di daerah itu. Ia pun segera

mengumpulkan seluruh warga untuk menarik simpati mereka.

“Wahai, seluruh penduduk Ngabang! Aku akan membantu kalian dari kesulitan yang kalian

hadapi. Aku akan menyediakan air yang kalian butuhkan,” ujar si Perampok di hadapan

seluruh warga Ngabang.

Para penduduk pun amat senang menyambut kabar gembira tersebut. Si Perampok

kemudian mengusap kepala patung landak emas itu lalu membaca mantra pertama.
Seketika, air pun memancar keluar dari mulut patung landak emas itu dengan deras. Semua

warga bersorak-sorai gembira dan berlomba-lomba menadahi air itu dengan tempayan.

“Horeee… horeee… kita dapat air!” terdengar teriakan gembira seluruh warga.

Semakin lama, semburan air itu semkin deras hingga menggenangi daerah tersebut. Para

warga yang mulai cemas segera meminta kepada si Perampok agar menghentikannya.

“Cukup… cukup…!” teriak para warga.

Si perampok berusaha menutup mulut patung landak itu dengan telapak tangannya. Namun,

ia tak kuasa membendung derasnya semburan air. Rupanya ia tidak mengetahui mantra

kedua karena ia hanya menyaksikan petani itu membaca mantra yang pertama.

Semakin lama, semburan air yang keluar dari mulut patung landak itu semakin

deras.Sebagian wilayah Ngabang pun mulai tergenang banjir. Para warga yang ketakutan

melihat kejadian itu berlarian meninggalkan daerah tersebut untuk menghindari banjir yang

semakin besar. Si Perampok juga ingin melarikan diri, namun ia tidak dapat menggerakkan

kaki dan tangannya. Dalam penglihatannya, ada seekor landak raksasa yang memegang

kedua kakinya, sedangkan tangannya terasa lengket pada patung landak emas tersebut.

Daerah Ngabang pun terendam banjir besar hingga menenggelamkan si perampok bersama

patung landak emas. Sementara itu, patung landak itu terus – menerus menyemburkan air.

Daerah itu tidak dapat lagi menempung genangan air yang semakin banyak sehingga air pun

mengalir hingga membentuk sungai kecil dan kemudian menjadi sungai besar.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat setempat menyebut sungai itu dengan

nama Sungai Landak karena airnya bersumber dari mulut patung landak emas itu. Hingga

kini, Sungai Landak masih dapat kita jumpai di Kecamatan Ngabang yang merupakan Ibukota

Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Aliran Sungai Landak ini melewati tengah-tengah Kota

Ngabang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, patung landak emas itu terus

memancarkan air sampai sekarang sehingga Sungai Landak tidak pernah kering sepanjang

tahun.

Pesan Moral cerita Legenda Sungai Landak adalah

Apabila sebuah barang berharga jatuh ketangan orang yang tidak bertanggung

jawab dan serakah maka maka akan mendatangkan bencana bagi dirinya dan

orang lain

Anda mungkin juga menyukai