Anda di halaman 1dari 18

KELEDAI DAN PENJUAL GARAM

Di suatu desa di tepi pantai yang cukup jauh dengan perkotaan, hiduplah seorang pedagang garam sebatang kara yang
sangat dermawan. Setiap hari, ia membagikan hasil menjual garam kepada tetangganya dan sangat mengasihi fakir miskin
meskipun sebenarnya hidupnya tidaklah bergelimang harta. Setiap kali berhasil menjual garam, ia belikan pakaian dan
makanan untuk di sedekahkan.

Pedagang garam tersebut memiliki seekor keledai yang digunakan untuk mengangkut garam ke kota terdekat. Ia sangat
menyayangi keledai tersebut sampai makanan dan tempat tinggal keledai selalu disediakan. Keledai tersebut sudah
dianggap keluarga dan menjadi teman hidup satu-satunya pedagang garam tersebut. Akan tetapi keledai tersebut
tampaknya tidak puas dengan perlakuan pedagang garam.

Setiap kali hendak pergi menjual garam ke kota, keledai selalu menggerutu karena harus terbebani dengan karung garam
serta berjalan cukup jauh. “Mengapa kau tidak membeli gerobak saja wahai tuanku? Bukankah hasil menjual garam sudah
cukup untuk membeli gerobak, tapi uangmu kau selalu berikan kepada orang lain” kata keledai pada suatu hari kepada
tuannya ketika hendak berangkat.

Pedagang garam tersebut hanya terdiam dan melanjutkan menaikan beberapa karung garam di kantong kain pada tubuh
keledai. Pedagang garam kemudian menuntun keledai sembari membawa satu karung garam di pundaknya. Mereka terus
berjalan hingga akhirnya melewati sebuah jembatan yang dialiri air sungai yang cukup deras dan jernih. Pedagang garam
kemudian berhenti dan beristirahat.

Di tengah peristirahatan tersebut, ternyata si keledai memiliki ide yang cukup konyol. Bila esok pedagang membawanya
kembali melalui jalan ini, maka ia akan berpura-pura terjatuh ke dalam sungai dan garam yang akan di bawa akan
semakin ringan karena larut di dalam air. Benar saja, keesokan harinya ketika mereka berangkat melewati jalan yang
sama, keledai berpura-pura kelelahan dan terjatuh ke sungai.

Karung garam yang dibawa keledai terendam cukup lama karena pedagang garam meminta tolong kepada orang sekitar
untuk membantu mengangkat keledai. “Maafkan aku tuan, aku tidak sengaja terjatuh ke dalam sungai karena sepertinya
beban garamnya tidak seimbang”, ungkap keledai dengan alasannya. “ Baiklah kalau begitu aku akan membawa lebih
banyak garam agar kau seimbang”.

Akhirnya pedagang membawa dua karung garam agar keledainya bisa meneruskan perjalanan meski garam yang dibawa
keledai sangat ringan karena sebagian garam sudah larut di dalam air sungai. Esoknya lagi, keledai melakukan hal yang
sama dengan alasan kakinya tersandung batu, dan alasan lain diberikan setiap harinya kepada pedagang. Hal ini membuat
tuannya curiga dan ingin memberi balasan.
Suatu hari, dinaikkan lah kapas pada punggung keledai. Petani tidak memberitahukan bahwa yang dibawa bukanlah
garam melainkan kapas. Hal ini untuk memberikan pelajaran kepada keledai yang suka mengeluh padahal sudah sangat
dikasihi. Setiba di jembatan, keledai tersebut tanpa menunda waktu langsung menjatuhkan diri ke dalam sungai dan kapas
kemudian menyerap air sungai.
Bukannya semakin ringan, akan tetapi karung yang dibawa keledai semakin berat hingga keledai kesulitan berjalan.
Keledai tersebut terus melangkahkan kakinya sembari bertanya kepada tuannya. “Tuanku, mengapa garamnya semakin
berat ketika terkena air, padahal biasanya akan semakin ringan. Aku sungguh tidak bisa berjalan jika harus membawa
beban seberat ini ke kota”.

Petani kemudian menjawab dengan bijaksana “Keledai ku, sungguh yang kau bawa bukanlah garam melainkan kapas
yang menyerap air. Aku tahu kau hanya berpura-pura terjatuh agar bebanmu tidak berat akan tetapi perbuatanmu sungguh
merugikan”. Keledai tersebut kemudian sangat malu karena selama ini ia seperti tidak tahu diri dan tidak tahu terimakasih
kepada si pedagang garam.
LEGENDA BATU MENANGIS

(Cerita legenda dari Kalimantan Selatan)

Dahulu kala, di sebuah bukit yang jauh dari Pedesaan. Hiduplah seorang Janda miskin bersama anak perempuannya.
Anaknya dari Janda tersebut sangat cantik jelita, ia selalu membanggakan kecantikan yang ia miliki. Namun,
kecantikannya tidak sama dengan sifat yang ia miliki. Ia sangat pemalas dan tidak pernah membantu ibunya.

Selain pemalas, ia juga sangat manja. Segala sesuatu yang ia inginkan harus di turuti. Tanpa berpikir keadaan mereka
yang miskin, dan ibu yang harus banting tulang meskipun sering sakit-sakitan. Setiap ibunya mengajaknya ke sawah, ia
selalu menolak.

Suatu hari, ibunya mengajak anaknya berbelanja ke pasar. Jarak pasar dari rumah mereka sangat jauh, untuk sampai ke
pasar mereka harus berjalan kaki dan membuat putrinya kelelahan. Namun, anaknya berjalan di depan ibunya dan
memakai baju yang sangat bagus. Semua orang yang melihatnya langsung terpesona dan mengaggumi kecantikannya,
sedangkan ibunya berjalan di belakang membawa keranjang belanjaan, berpakaian sangat dekil layaknya pembantu.

Karena letak rumah mereka yang jauh dari masyarakat, kehidupan mmereka tidak ada satu orang pun yang tahu.
Akhirnya, mereka memasuki kedalam desa, semua mata tertuju kepada kecantikan Putri dari janda tersebut. Banyak
pemuda yang menghampirinya dan memandang wajahnya. Namun, penduduk desa pun sangat penasaran, siapa
perempuan tua di belakangnya tersebut.

‘’ Hai, gadis cantik! Siapakah perempuan tua yang berada di belakangmu? Apakah dia ibumu?’’ Tanya seorang Pemuda.

‘’ Tentu saja bukan, ia hanya seorang pembantu!.’’ Jawabnya dengan sinis.

Sepanjang perjalanan setiap bertemu dengan penduduk desa, mereka selalu bertanya hal yang sama. Namun, ia terus
menjawab bahwa ibunya adalah pembantunya. Ibunya sendiri di perlakukan sebagai seorang pembantu.

Pada awalnya, Sang ibu masih bisa menahan diri, setiap kali mendengar jawaban dari Putri kandungnya sendiri. Namun,  
mendengar berulang kali dan jawabannya itu sangat menyakkitkan hatinya,  tiba-tiba sang ibu berhenti, dan duduk pinggir
jalan sambil meneteskan air mata.

‘’ Bu, kenapa berhenti di tengah jalan? Ayo lanjutkan perjalanan.’’ Tanya putrinya heran.

Beberapa kali ia bertanya. Namun, ibunya sama sekali tidak menjawab. Sang ibu malah menengadahkan kedua tangannya
ke atas dan berdoa.  Melihat hal aneh yang di lakukan ibunya, sang anak merasa kebingungan.

‘’ Ibu sedang apa sekarang!’’ bentak putrinya.

Sang ibu tetap tidak menjawab, dan meneruskan doanya untuk menghukum putrinya sendiri.

‘’ Ya Tuhan, ampunilah hamba yang lemah ini, maafkan hamba yang tidak bisa mendidik putrid hamba sendiri, sehingga
ia menjadi anak yang durhaka. Hukumlah anak durhaka ini.’’ Doa sang Ibu.

Tiba-tiba, langit menjadi mendung dan gelap, petir mulai menyambar dan hujan pun turun.  Perlahan-lahan, tubuhnya
berubah menjadi batu. Kakinya mulai berubah menjadi batu dan sudah mencapai setengah badan. Gadis itu menangis
memohon ampun kepada ibunya. Ia merasa ketakutan.

‘’ Ibu, tolong aku. Apa yang terjadi dengan kakiku? ibu maafkan aku. Aku janji akan menjadi anak yang baik bu’’ teriak
Putrinya ketakutan. Gadis tersebut terus menangis dan memohon. Namun, semuanya sudah terlambat. Hukuman itu tidak
dapat di hindari. Seluruh tubuhnya perlahan berubah menjadi batu. Gadis durhaka itu hanya menangis dan menagis
menyesali perbuatannya. Sebelum kepalanya menjadi batu, sang ibu masih melihat air matanya yang keluar. Semua orang
yang berada di sana menyaksikkan peristiwa tersebut. Seluruh tubuh gadis itu berubah menjadi batu.
Sekalipun sudah menjadi batu. Namun, melihat kedua matanya masih menitihkan air mata seperti sedang menangis. Oleh
karena itu,  masyarakat tersebut menyebutnya dengan Batu Menangis. Batu Menangis tersebut masih ada sampai
sekarang.

LEGENDA SITU BAGENDIT

(Legenda dari Jawa Barat)

Pada jaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena
tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang
berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.

Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah
mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang
tengkulak bernama Nyai Endit.

Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup
menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para
petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah
kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka
harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.

“Wah kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya. “Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa
yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”

“Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya. “Kita mah harus sabar! Nanti juga akan
datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah
tidur!”

Sementara iru Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya. “Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua
padi sudah dibeli?” kata nyai Endit. “Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi!
Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus!
Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja
yang membangkang!” kata Nyai Endit.

Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah
mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
“Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata
tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga
perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.” Begitulah gerutuan
para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.

Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati
pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba. “Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena
kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek. Dia berjalan mendekati seorang penduduk
yang sedang menumbuk padi. “Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek. “Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang
sedang menumbuk padi tersebut “Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu
pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada
perlu apa sama Nyi Endit?” “Saya mau minta sedekah,” kata si nenek. “Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga
bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih. “Tidak perlu,” jawab
si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk
yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.” “Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih
kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.” “Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan
memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si
nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba
di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng. “Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan
sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng. “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan
yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek. “Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku
bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!” Tapi si nenek tidak bergeming
di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.

Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil. “Siapa sih yang
berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!” “Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-
teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit. “Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya
tidak makan,” kata nenek. “Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat
nyium baumu,” kata Nyai Endit. Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang
Nyai Endit dengan penuh kemarahan. “Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak
bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek
berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah
menerima hukumanmu.”
“Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja,
kau pasti mati,” kata Nyai Endit. “Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau
bisa mencabut tongkatku dari tanah.” “Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata
Nyai Endit sombong.

Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba
dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga. “Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas
kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!” Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun
meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming. “Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek.
“Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”

Bras! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan
tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras. “Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para
penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!” Setelah berkata demikian si
nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia
berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.

Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan
Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di
dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
PERSAHABATAN KERBAU DAN GAJAH
Di zamah dahulu di satu hutan yang lebat, seekor kerbau bersahabat baik dengan Gajah mulai dari mencari makan sampai
bermain di padang rumput, mereka selalu bersama-sama. Suatu hari, ketika mereka sedang bermain di padang rumput,
tiba-tiba Raja Raksasa datang.
Rupanya ia ingin menangkap Kerbau dan Gajah. Namun, karena Kerbau sudah berlari menyelamatkan diri, hanya Gajah
yang tertangkap. Tertangkapnya Gajah membuat Kerbau merasa sedih. Ia takut jika ia akan kehilangan sahabatnya untuk
selama-lamanya. “Bagaimana ini? Aku harus menyelamatkan Gajah,” gumam Kerbau, khawatir. Kerbau terus berpikir,
bagaimana cara menyelamatkan Gajah. Tapi, tak mungkin ia melawan Raja Raksasa. Tubuh Raja Raksasa sangat besar,
bahkan melebihi tubuh Gajah. “Ah, aku akan mencoba menemui Raja Raksasa. Siapa tahu, aku bisa meminta dengan
baik-baik dan Raja Raksasa akan mendengarkanku,” pikir Kerbau. Demi menyelamatkan sahabatnya, Kerbau
memberanikan diri menemui Raja Raksasa di istana guanya.

Sesampainya di gua istana Raja Raksasa, Kerbau bersembunyi di luar gua. Ia mengintip apa yang terjadi di dalam gua.
Raja Raksasa terlihat sangat senang, sementara Gajah tampak ketakutan dari dalam kandangnya yang sangat besar.
“Mimpiku selalu benar. Semalam, aku bermimpi akan memakan daging gajah. Sekarang mimpi itu akan menjadi
kenyataan. Hmm, malam ini pasti aku akan sangat kenyang,” ucap Raja Raksasa sambil mengelus perutnya yang buncit.

Mendengar ucapan Raja Raksasa, Kerbau mendapat ide. Ia pun segera menemui Raja Raksasa. “Aku bermimpi menikahi
Permaisuri raja raksasa. Mungkin itu juga akan menjadi kenyataan.” teriak Kerbau. Raja Raksasa yang tak menyadari
kedatangan Kerbau pun kaget. Ia hendak marah, namun tiba-tiba ia terdiam. Ia memikirkan mimpi Kerbau. Selama ini, ia
sangat percaya dengan mimpi. “Kau tak boleh menikahi istriku!” Teriak Raja Raksasa. “Jika aku tak boleh menikahi
Permaisuri, maka kau juga tak boleh memakan Gajah,” balas Kerbau. Raja Raksasa menjadi bingung. Ia ingin sekali
makan daging Gajah. Tapi, ia juga sangat mencintai istrinya. Akhirnya, Raja Raksasa mengalah. Ia melepaskan Gajah
agar Kerbau tak menikahi permaisuri. Gajah pun bebas dan bisa kembali ke hutan bersama Kerbau. “Ternyata kau sangat
cerdik, Kerbau. Terima kasih telah menolongku,” ucap Gajah ketika mereka kembali ke hutan. “Sama-sama, Gajah. Itulah
gunanya sahabat,” jawab Kerbau. Ia senang karena bisa menolong Gajah, sahabatnya. Sementara itu, Raja Raksasa baru
sadar. Tak seharusnya ia percaya terhadap mimpi, karena mimpi hanya bunga tidur. Ia pun menyesal. Karena percaya
mimpi, ia tak jadi menyantap Gajah.

PERSAHABATAN KERBAU DAN GAJAH


Di zamah dahulu di satu hutan yang lebat, seekor kerbau bersahabat baik dengan Gajah mulai dari mencari makan sampai
bermain di padang rumput, mereka selalu bersama-sama. Suatu hari, ketika mereka sedang bermain di padang rumput,
tiba-tiba Raja Raksasa datang.
Rupanya ia ingin menangkap Kerbau dan Gajah. Namun, karena Kerbau sudah berlari menyelamatkan diri, hanya Gajah
yang tertangkap. Tertangkapnya Gajah membuat Kerbau merasa sedih. Ia takut jika ia akan kehilangan sahabatnya untuk
selama-lamanya. “Bagaimana ini? Aku harus menyelamatkan Gajah,” gumam Kerbau, khawatir. Kerbau terus berpikir,
bagaimana cara menyelamatkan Gajah. Tapi, tak mungkin ia melawan Raja Raksasa. Tubuh Raja Raksasa sangat besar,
bahkan melebihi tubuh Gajah. “Ah, aku akan mencoba menemui Raja Raksasa. Siapa tahu, aku bisa meminta dengan
baik-baik dan Raja Raksasa akan mendengarkanku,” pikir Kerbau. Demi menyelamatkan sahabatnya, Kerbau
memberanikan diri menemui Raja Raksasa di istana guanya.

Sesampainya di gua istana Raja Raksasa, Kerbau bersembunyi di luar gua. Ia mengintip apa yang terjadi di dalam gua.
Raja Raksasa terlihat sangat senang, sementara Gajah tampak ketakutan dari dalam kandangnya yang sangat besar.
“Mimpiku selalu benar. Semalam, aku bermimpi akan memakan daging gajah. Sekarang mimpi itu akan menjadi
kenyataan. Hmm, malam ini pasti aku akan sangat kenyang,” ucap Raja Raksasa sambil mengelus perutnya yang buncit.

Mendengar ucapan Raja Raksasa, Kerbau mendapat ide. Ia pun segera menemui Raja Raksasa. “Aku bermimpi menikahi
Permaisuri raja raksasa. Mungkin itu juga akan menjadi kenyataan.” teriak Kerbau. Raja Raksasa yang tak menyadari
kedatangan Kerbau pun kaget. Ia hendak marah, namun tiba-tiba ia terdiam. Ia memikirkan mimpi Kerbau. Selama ini, ia
sangat percaya dengan mimpi. “Kau tak boleh menikahi istriku!” Teriak Raja Raksasa. “Jika aku tak boleh menikahi
Permaisuri, maka kau juga tak boleh memakan Gajah,” balas Kerbau. Raja Raksasa menjadi bingung. Ia ingin sekali
makan daging Gajah. Tapi, ia juga sangat mencintai istrinya. Akhirnya, Raja Raksasa mengalah. Ia melepaskan Gajah
agar Kerbau tak menikahi permaisuri. Gajah pun bebas dan bisa kembali ke hutan bersama Kerbau. “Ternyata kau sangat
cerdik, Kerbau. Terima kasih telah menolongku,” ucap Gajah ketika mereka kembali ke hutan. “Sama-sama, Gajah. Itulah
gunanya sahabat,” jawab Kerbau. Ia senang karena bisa menolong Gajah, sahabatnya. Sementara itu, Raja Raksasa baru
sadar. Tak seharusnya ia percaya terhadap mimpi, karena mimpi hanya bunga tidur. Ia pun menyesal. Karena percaya
mimpi, ia tak jadi menyantap Gajah.

SEMUT DAN ANGIN


Semut baru saja selesai membuat rumahnya di puncak pohon. Ia merasa senang dan puas dengan rumahnya.

“Akhirnya selesai juga. Siapa bilang, semut tak boleh membuat rumah di puncak pohon” ucap Semut dengan sombong.

Semut memang sengaja membuat rumah di puncak pohon. Hal itu bermula dari kawanan Gajah yang datang ke hutan. Ya,
rumahnya hancur karena diinjak Gajah. Agar rumahnya tak dirusak Gajah Iagi, Semut membangun rumah di puncak
pohon.

Sebenarnya kawanan semut sudah melarangnya membangun rumah di sana. Angin sedang bertiup kencang. Percuma
membangun rumah di sana, karena rumahnya bisa terbawa angin. Tapi, Semut tak peduli. Keputusannya sudah bulat, ia
tak ingin rumahnya hancur diinjak Gajah lagi. Saat Semut hendak beristirahat di rumahnya, tiba-tiba angin kencang
berhembus.
Wusssss!!!
Olala, rumah Semut terbawa angin dan hancur seketika. Semut merasa sangat kesal. Ia pun kembali membangun
rumahnya. Sebelum petang, rumahnya sudah seIesai. Tapi ia takut, jikalau angin kembali menerbangkan rumahnya.

“Aku akan mengadang angin, Ialu berkata kepadanya agar tak sembarangan berhembus dan menghancurkan rumahku,”
ucap Semut dengan mantap.

Tak Iama kemudian, angin berhembus lebih kencang. Semut tampak sudah bersiap mengadang angin di depan rumahnya.
Namun, karena angin berhembus sangat kencang, tubuhnya yang amat kecil itu pun terbawa terbang, begitu juga dengan
rumahnya. Semut pun menyesal. Andai ia mendengar nasihat kawannya, mungkin ia tak perlu repot-repot membangun
rumah hanya untuk diterbangkan angin. Dirinya juga pasti tak akan turut diterbangkan angin.

SEMUT DAN ANGIN


Semut baru saja selesai membuat rumahnya di puncak pohon. Ia merasa senang dan puas dengan rumahnya.

“Akhirnya selesai juga. Siapa bilang, semut tak boleh membuat rumah di puncak pohon” ucap Semut dengan sombong.

Semut memang sengaja membuat rumah di puncak pohon. Hal itu bermula dari kawanan Gajah yang datang ke hutan. Ya,
rumahnya hancur karena diinjak Gajah. Agar rumahnya tak dirusak Gajah Iagi, Semut membangun rumah di puncak
pohon.

Sebenarnya kawanan semut sudah melarangnya membangun rumah di sana. Angin sedang bertiup kencang. Percuma
membangun rumah di sana, karena rumahnya bisa terbawa angin. Tapi, Semut tak peduli. Keputusannya sudah bulat, ia
tak ingin rumahnya hancur diinjak Gajah lagi. Saat Semut hendak beristirahat di rumahnya, tiba-tiba angin kencang
berhembus.
Wusssss!!!
Olala, rumah Semut terbawa angin dan hancur seketika. Semut merasa sangat kesal. Ia pun kembali membangun
rumahnya. Sebelum petang, rumahnya sudah seIesai. Tapi ia takut, jikalau angin kembali menerbangkan rumahnya.

“Aku akan mengadang angin, Ialu berkata kepadanya agar tak sembarangan berhembus dan menghancurkan rumahku,”
ucap Semut dengan mantap.
Tak Iama kemudian, angin berhembus lebih kencang. Semut tampak sudah bersiap mengadang angin di depan rumahnya.
Namun, karena angin berhembus sangat kencang, tubuhnya yang amat kecil itu pun terbawa terbang, begitu juga dengan
rumahnya. 

Semut pun menyesal. Andai ia mendengar nasihat kawannya, mungkin ia tak perlu repot-repot membangun rumah hanya
untuk diterbangkan angin. Dirinya juga pasti tak akan turut diterbangkan angin.

KISAH PENYUMPIT DAN PUTRI MALAM


Pada zaman dahulu hiduplah seorang pemuda sebatang kara. Ia bernama Penyumpit. la tinggal di sebuah rumah kecil
peninggalan orang tuanya. Saat masih hidup, ayah Penyumpit sering berutang kepada seorang kepala desa Pak Raje. Pak
Raje adalah orang yang kaya raya, namun pelit dan licik. Utang ayah Penyumpit tidak pernah lunas karena Pak Raje
selalu melipat gandakannya. Walau kedua orang tua Penyumpit telah tiada. Namun, Utang-utang ayahnya oleh Pak Raje
tidak dianggap lunas. Penyumpit harus mmebayar utang ayahnya dengan cara menjaga sawah milik Pak Raje yang
padinya sudah mulai menguning. Penyumpit harus menjaganya siang dan malam.

“Hai Penyumpit, berhati-hati menjaga sawahku. Kalau sampai sawahku rusak, aku akan mendendamu. Kamu harus
membayar semua kerusakan itu,” demikian pesan Pak Raje sebelum Penyumpit berangkat ke sawah. Padahal, Pak Raje
tahu, kemungkinan besar sawahnya bisa rusak karena dimasuki babi-babi hutan.

Jika tugas yang satu sudah selesai Pak Raje akan memberinya tugas yang baru. Sekarang tugas Penyumpit cukup berat,
jika siang ia harus menuai padi yang siap panen. Jika malam ia harus menjaga sawah agar tidak dirusak babi hutan.

Seminggu sudah Penyumpit melaksanakan tugasnya dengan baik Pada hari kedelapan ketika sedang asyik duduk di
dangau mengawas, sawah Pak Raje, tampak sesosok babi hutan memasuki wilayah persawahan Pak Raje.

Dengan cekatan Penyumpit melemparkan tombak yang ia bawa ke arah babi hutan.

Penyumpit mengenai kaki babi hutan. Penyumpit cepat berlari ke arah babi hutan yang terluka. Namun, babi hutan
tersebut sudah hilang lenyap. Hanya ada tetesan darah dari tubuh babi hutan itu yang berceceran di sepanjangjalan.

Penyumpit mengikuti jejak tetesan darah itu hingga ke dalam hutan. Ia ingin me ngetahui letak persernbunyian para babi
hutan. Makin lama semakin dalam ia masuk ke hutan, hingga suatu ketika Penyumpit dikagetkan oleh berubahnya babi
yang ia Iukai menjadi seorang putri cantik. Ia pun terdiam beberapa saat seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Wahai putri yang cantik, kaukah babi yang terluka tadi?” tanya Penyumpit.

“Benar …… Akulah yang tadi menjelma menjadi seekor babi. Namaku Putri Malam, ucap gadis cantik itu sambil
merintih kesakitan.

“Maafkan aku Putri. Aku telah melukaimu. Mari aku bantu mengobati luka di kakimu,” ucap Penyumpit menawarkan diri
untuk membantu.

Secara hati-hati dan perlahan Penyumpit membersihkan luka dan menghentikan darah yang mengalir di kaki Putri Malam.
Ia menggunakan tumbuhan sekitar yang berkhasiat obat untuk menyembuhkan luka sang putri Keesokan harinya, Putri
Malam sudah bisa berjalan kembali. Sebagai tanda terima kasih ia memberikan beberapa bungkusan yang berisi kunyit,
buah nyatoh, daun simpur, dan buah jering kepada Penyumpit.
“Ingat ya ! Kamu baru boleh membuka bungkusan ini setelah tiba di rumah,” pesan sang putri.

Penyumpit akhirnya kembali ke rumah dan mematuhi pesan Putri Malam. Setibanya di rumah, ia segera membuka
bungkusan tadi. Betapa terkejutnya ia, ternyata bungkusan yang berisi rempah-rempah itu berubah menjadi emas, berlian,
permata, dan intan.

Si Penyumpit kini menjadi orang yang kaya raya.

Kemudian, ia pergi ke rumah Pak Raje untuk membayar semua utang-utang almarhum ayahnya. Selain itu, ia juga
terbebas dari tindakan sewenang-wenang Pak Raje yang mempekerjannya siang dan malam.

Pak Raje tak habis pikir melihat Penyumpit dapat melunasi utang-utang almarhum ayahnya yang berjumlah besar. “Dari
mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini? Jangan-jangan kamu telah mencuri ya. Aku tidak mau menerima harta
haram” ucap Pak Raje.

Maaf Tuan, saya tidak pernah mencuri dari siapa pun. Ini saya dapatkan dengan halal

Ada seorang putri cantik yang baik hati memberikan Ini semua kepada saya.” Penyumpit menjelaskan.

“Putri…? Siapa siapa?” tanya Pak Raje penasaran.

Penyumpit menjelaskan peristiwa malam itu. Ia mengatakan semuanya kepada Pak Raje sampai dia mendapatkan
bungkusan dari putri Malam yang isinya telah berubah menjadi barang-barang berharga. Rupanya Pak Raje tertarik untuk
mendapatkan harta dengan cara yang mudah.

Diam-diam Pak Raje ingin meniru apa yang pernah dilakukan Penyumpit. Ia ingin menjaga sawahnya dan kemudian
menombak babi hutan yang masuk ke sawahnya. Pak Raje mengikuti babi yang terluka dan masuk ke dalam hutan. Di
dalam hutan ia mengobati babi hutan yang terluka. Sesudah itu hehehhe…dia akan mendapat harta berlimpah.

Malam itu, Pak Raje melaksanakan keinginannya. Ia menjaga sawahnya. Tapi karena tidak terbiasa berjaga malam, Ia pun
mengantuk dan tertidur pulas. Pada saat ia tertidur puluhan babi hutan bertubuh besar menyerangnya bertubi-tubi. Ada
yang menyeruduk ada yang menginjakinjak tubu Pak Raje. Pak Raje mati mengenaskan dengan tubuh sobeksobek di
sana-sini.

Esok harinya berita kematian Pak Raje tersebar ke seluruh kampung. Putri tertua Pak Raje menyampaikan kejadian itu
pada Penyumpit. Penyumpit terkejut mendengar Pak Raje mati karena mengikuti jejaknya menombak babi hutan.
Penyumpit pun datang ke rumah Pak Raje. Di sana, ja melihattubuh Pak Raje yang sudah tidak utuh lagi.

Meskipun Pak Raje selalu berbuat jahat pada Penyumpit, Penyumpit tak pernah dendam. Dengan niat baik Penyumpit
berusaha menolong Pak Raje dengan mengucapkan doa dan mantra khusus untuk memohon kehidupan kembali Pak Raje
kepada para Dewa.

Ajaib ! Doa Penyumpit akhirnya dikabulkan . Tubuh Pak Raje menyatu dengan sendirinya. Luka-luka Pak Raje pun
sembuh dan ia hidup kembali. Pak Raje merasa malu kepada Penyumpit karena ia selalu berbuatjahat.

“Hai Penyumpit yang baik budi , maafkan atas segala kesalahanku. Aku telah berbuat salah kepadamu dan keluargamu.
Sebagai rasa terima kasihku kepadamu, kamu kunikahkan dengan anakku,” ucap Pak Raje Dada Penyumpit.

Beberapa hari kemudian, Penyumpit menikah dengan anak Derempuan Pak Raje. Sekarang Penyumpit menjadi orang
kaya raya. la hidup bahagia dengan istrinya. Pak Raje pun menjadi orang yang baik hati dan tidak sombong. Ketika
usianya semakin lanjut Pak Raje meminta si Penyumpit menjabat sebagai kepala desa menggantikan kedudukannya.
LEGENDA ASAL MULA NAMA KOTA MAKASAR

Banyak orang salah kaprah menilai arti nama Makassar berasal dari kata ‘kasar’. Padahal, sejarah penamaan Ibu kota
Provinsi Sulawesi Selatan ini, sangat bernuansa islami, yakni ditandai dengan mimpi Raja Tallo ke VI di abad ke 16.

Nama Makassar sudah disebutkan dalam pupuh 14/3 kitab Nagarakretagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-14,
sebagai salah satu daerah taklukkan Majapahit. Walaupun demikian, Raja Gowa ke-9 Tumaparisi Kallonna (1510-1546)
diperkirakan adalah tokoh pertama yang benar-benar mengembangkan kota Makassar. Ia memindahkan pusat kerajaan
dari pedalaman ke tepi pantai, mendirikan benteng di muara Sungai Jeneberang, serta mengangkat seorang syahbandar
untuk mengatur perdagangan.

Pada abad ke-16, Makassar menjadi pusat perdagangan yang dominan di Indonesia Timur, sekaligus menjadi salah satu
kota terbesar di Asia Tenggara. Raja-raja Makassar menerapkan kebijakan perdagangan bebas yang ketat, di mana seluruh
pengunjung ke Makassar berhak melakukan perniagaan disana dan menolak upaya VOC (Belanda) untuk memperoleh
hak monopoli di kota tersebut. Masjid di Makassar (1910-1934).

Dalam catatan sejarah kerajaan Gowa-Tallo, diceritakan Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang
Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, bermimpi melihat cahaya bersinar dari Tallo ke segala penjuru kerajaan dan negeri
sekitarnya. Mimpi itu ia bawa selama tiga hari berturut-turut.

Dalam buku ‘Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX’ karya Darwa rasyid MS.
Tepat di malam Jum’at, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M, di malam ketiga mimpi raja, sebuah perahu
kecil berlabuh di pantai Tallo.

Warga keheranan melihat sesosok pria jubah putih di atas perahu tersebut. Pria itu lalu menambatkan perahunya lalu
melakukan gerakan-gerakan yang asing dipandang warga. (Belakangan raja mengetahui itu merupakan gerakan sholat).

Di malam yang gelap gulita, tubuh pria itu memancarkan cahaya menyilau ke segala penjuru arah. Hal itu membuat
warga gempar dan menyampaikan ke raja Tallo tentang sosok pria misterius tersebut, saat besok paginya.

Mendengar hal itu, Raja pun bergegas ke bibir panti Tallo. Belum sempat keluar istana, sosok pria itu tiba-tiba muncul di
hadapan raja, tepat di depan gerbang. Raja pun sontak kaget dan melihat wajah pria itu sangat teduh, tubuhnya
memancarkan kilau cahaya.

Menurut peneliti Balai Litbang Agama Makassar, Syamsurijal Adhan, pria yang masih misterius itu menjabat tangan raja
yang masih kaku melihat sosoknya. Usai berjabat tangan, tangan raja Tallo tiba-tiba bertuliskan bahasa Arab yang ia tak
tahu artinya.

“Orang tua itu lalu meminta agar tulisan tersebut diperlihatkan pada lelaki yang sebentar lagi akan merapat di pantai,”
kata Syamsurijal Adhan, saat ditemui Okezone di kantornya, jalan AP Pettarani, Makassar.

Belum sempat berkata-kata, pria itu menghilang seketika. Raja pun bergegas ke pantai Tallo, mengikuti arahannya. Dan
benar, seorang pria baru saja berlabuh di pantai. Raja pun langsung mendatangi tamu barunya, pria itu bernama Datuk Ri
Bandang, ulama penyebar Islam asal Koto Tengah, Minangkabau (Saat ini berada di Sumatera Barat)

Raja Tallo lalu memperlihatkan tulisan Arab yang tertulis di telapak tangannya. Datuk pun menjawab tulisan itu
merupakan dua kalimat syahadat. Raja pun menjadi takjub

Kedatangan Datuk memang untuk mengajak raja Tallo agar menerima ajaran Islam. Pertemuan kedua tokoh ini pun
menjadi cikal bakal penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan. Raja Tallo menerima ajaran Islam dan berganti nama
menjadi Sultan Abdullah Awaluddin Awawul Islam Karaeng Tallo Tumenanga ri Agamana. Agama Islam pun menjadi
agama resmi di kerajaan.
“Kisah inilah yang menjadi awal mula nama Makassar. Diambil dari bahasa Makassar ‘Akkasaraki’ atau Menampakkan
Diri. Hal itu berdasarkan pengalaman munculnya sosok bercahaya dari pantai,” ujar Syamsurijal.

Pengalaman ‘penampakan’ cahaya putih itulah yang disebut ‘Akkasaraki’. Kisah ini membekas kendati menjadi awal
penerimaan Islam di masyarakat kerajaan kala itu. Dari berbagai sumber catatan-catatan pedagang Portugis di abad ke 17,
‘Makassar’ dikenal sebagai pusat kota kerajaan Gowa-Tallo. Meski sempat berganti nama menjadi Ujung Pandang,
namun Pemerintah bersepakat mengembalikan nama Makassar, karena punya akar historis yang kuat.

Apa yang dimimpikan raja Tallo pun jadi kenyataan. Usai masuk islam, Kerajaan Gowa Tallo, menjadi salah satu sebab
utama penyebaran Islam ke penjuru kota dan kerajaan di Sulawesi. ‘Cahaya’ Islam menyebar cepat hingga saat ini dapat
dirasakan, Islam merupakan agama mayoritas di Sulsel.

Sementara Datuk Ri Bandang, bersama dia saudaranya Datuk Ri Tiro dan Datuk Sulaiman tercatat dalam sejarah sebagai
ulama yang berpengaruh besar, menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan. Hingga akhir hayatnya, Datuk Ri Bandang tak
pulang lagi ke Minangkabau. Datuk Ri Bandang wafat di kota Makassar, makamnya terletak di jalan Sinassara, Kaluku
Bodoa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar.
Legenda Kebo Iwa dan Asal Usul Danau Batur
Alkisah, Di sebuah desa di Bali, tinggallah suami istri yang rukun dan kaya raya. Namun kebahagiaan mereka belum
sempurna karena setelah lama menikah, mereka belum juga dikaruniai anak.

Serasa tak putus-putusnya mereka berdoa dan meminta dikaruniai anak. Doa dan permintaan mereka akhirnya dikabulkan
Sang Hyang Widi Wasa. Sang istri mengandung dan kemudian melahirkan seorang bayi lelaki.

Bayi lelaki itu tumbuh sangat cepat. Ia sangat kuat nafsu makannya. Meski masih bayi, nafsu makannya telah setara
dengan sepuluh orang dewasa. Seiring bergulirnya sang waktu, si bayi berubah menjadi kanak-kanak. Sangat besar
tubuhnya dan kian meningkat kuat nafsu makannya. Ia pun diberi nama Kebo Iwa, paman kerbau makna namanya.

Bertambah hari bertambah besar tubuh Kebo Iwa. Bertambah kuat pula nafsu makannya. Sehari kebutuhan makannya
sama dengan kebutuhan makan seratus orang dewasa. Kedua orangtuanya benar-benar kewalahan memenuhi hasrat
makan Kebo Iwa.
Kebo Iwa terkenal pemarah. Kemarahannya mudah meledak, terutama jika ia tidak mendapatkan makanan yang cukup.
Jika ia telah marah, ia akan merusak apa saja yang ditemuinya. Ia biasa merusak rumah-rumah penduduk. Bahkan, pura
tempat ibadah pun tanpa takut-takut akan dihancurkannya jika kemarahannya telah meninggi. Penduduk desa akan sangat
ketakutan jika mendapati Kebo Iwa telah marah. Namun demikian, sesungguhnya Kebo Iwa bersedia membantu
penduduk desa yang membutuhkan bantuan tenaganya. Ia bersedia membuatkan sumur, memindahkan rumah, meratakan
tanah berbukit-bukit, membendung sungai, atau mengangkut batu-batu besar. Ia akan cepat melaksanakan pekerjaan yang
sangat berat dilakukan kebanyakan manusia itu. Tentu saja ia meminta imbalan berupa makanan dalam jumlah yang
cukup untuk membuatnya kenyang.

Selama para penduduk yang kebanyakan menjadi petani itu mendapatkan hasil panen yang cukup, penduduk masih bisa
bergotong royong memberikan makanannya untuk Kebo Iwa. Namun, ketika terjadi musim paceklik’, penduduk mulai
kesulitan dan kewalahan untuk menyediakan makanan untuk Kebo Iwa.

Penduduk menjadi sangat cemas. Mereka tidak hanya cemas memikirkan cara mencari bahan makanan untuk keluarga
masing-masing, mereka juga cemas memikirkan Kebo Iwa. Apa yang harus diberikan kepada Kebo Iwa jika mereka tidak
mempunyai bahan makanan? Kebo Iwa pasti tidak mau mengerti keadaan yang tengah mereka alami. Bagi Kebo Iwa, jika
ia mendapatkan makanan yang cukup, maka ia akan diam. Namun, jika tidak, ia akan mengamuk sejadi-jadinya.

Warga desa lantas berkumpul untuk membahas masalah yang mereka hadapi berkenaan dengan Kebo Iwa itu. Mereka
merencanakan suatu siasat untuk menghadapi Kebo Iwa. Jika memungkinkan, melenyapkan Kebo Iwa yang sangat
meresahkan itu. Setelah berembuk, warga desa akhirnya menemukan cara untuk mewujudkan rencana mereka.

Segenap warga desa bergotong royong untuk mengumpulkan makanan. Sedikit demi sedikit makanan akhirnya terkumpul
hingga cukup jumlahnya untuk menjadi santapan Kebo Iwa. Sebagian warga juga bergotong royong untuk
mengumpulkan batu-batu kapur. Setelah makanan dan batu kapur tersedia, Kepala Desa dengan diiringi beberapa warga
lantas menemui Kebo Iwa.

Kebo Iwa tengah bersantai setelah menyantap beberapa ekor hewan ternak milik warga desa. Ia sedikir terperanjat melihat
beberapa orang mendatanginya. Katanya, “Mau apa kalian ke sini? Apa kalian mempunyai makanan yang cukup
membuatku kenyang? Aku masih lapar!”

“Kami mempunyai makanan yang lebih dari cukup untuk membuatmu kenyang,”jawab Kepala Desa. “Kami akan
memberikan semuanya kepadamu asal engkau bersedia membantu kami.”

Mendengar ada makanan dalam jumlah yang cukup untuk membuat perutnya kenyang, Kebo Iwa langsung bangkit dari
rebahannya dan berkata, “Aku tentu saja mau membantu kalian jika kalian memberiku makanan. Apa yang bisa
kubantu?”

Kepala Desa lantas menjelaskan perihal banyaknya rumah warga yang telah rusak akibat amukan Kebo Iwa.
“Itu karena kalian tidak bersedia memberiku makanan,” sahut Kebo Iwa tanpa merasa bersalah. “Jika kalian memberiku
makanan, niscaya aku pun tidak akan menghancurkan rumah kalian.”

“Seperti yang engkau ketahui, semua itu diakibatkan kegagalan panen yang kami alami. Kegagalan panen itu disebabkan
ketiadaan air karena musim kemarau yang terus berkepanjangan ini;” kata Kepala Desa. “Padahal, di dalam tanah ini
sebenarnya terdapat banyak air. Sangat meIimpah jumlahnya. Oleh karena itu kami meminta bantuanmu untuk
membuatkan sumur yang sangat besar! Air dari sumur besar itu akan kami gunakan untuk mengairi sawah-sawah kami.
Jika tanaman-tanaman kami cukup mendapat air, niscaya kegagalan panen dapat kami tanggulangi. Kami juga tidak lagi
kesulitan untuk memberimu makanan. Berapa pun juga jumlah makanan yang engkau butuhkan, kami pasti sanggup
untuk memenuhinya.”

Kebo Iwa sangat gembira mendengar rencana Kepala Desa. “Baiklah,” katanya. “Itu rencana yang sangat baik. Aku tentu
saja bersedia membantu kalian:’

Kebo Iwa lantas mulai bekerja. Ia mendirikan beberapa rumah seperti yang dikehendaki Kepala Desa. Ia lantas menggali
tanah di tempat yang ditentukan Kepala Desa. Tenaganya yang sangat sangat besar mulai tercipta. Sementara Kebo Iwa
terus menggali, warga desa lantas mengumpulkan batu-batu kapur di dekat tempat Kebo Iwa sedang menggali tanah.

Mengetahui warga desa mengumpulkan batu kapur, Kebo Iwa merasa keheranan. “Untuk apa kalian mengumpulkan batu
kapur sebanyak itu?” tanyanya.

“Setelah engkau selesai membuat sumur besar, kami akan membangunkan rumah untukmu. Rumah yang besar lagi sangat
indah.” jawab Kepala Desa. “Rumah untukmu yang sangat besar itu tentu membutuhkan batu kapur yang sangat banyak,
bukan?”

Kebo Iwa sangat gembira mendengar jawaban Kepala Desa. Ia makin bersemangat menggali tanah. Berhari-hari ia
bekerja keras. Semakin bergulirnya waktu semakin besar lagi dalam sumur yang dibuat Kebo Iwa. Air mulai memancar
keluar hingga terciptalah sebuah kolam besar. Namun, Kepala Desa terus saja memintanya menggali tanah. Kebo Iwa
menurut karena terus dijanjikan akan mendapatkan makanan yang sangat banyak dan juga dibuatkan rumah yang sangat
besar. Lubang di tanah kian membesar lagi semakin dalam. Air yang memancar keluar juga semakin banyak.

Kebo Iwa terus bekerja hingga ia kelelahan dan juga kelaparan. Ia meminta waktu untuk beristirahat. “Mana makanan
untukku?” teriak Kebo Iwa kemudian.

Warga desa berdatangan membawa makanan untuk Kebo Iwa. Kebo Iwa sangat gembira mendapati makanan dalam
jumlah yang sangat banyak itu. Ia makan dengan amat lahap. la terus makan hingga perutnya kekenyangan. Setelah
perutnya kekenyangan, Kebo Iwa mengantuk. Sebentar kemudian ia telah tertidur dengan mendengkur. Suara
dengkurannya sangat keras.

Setelah mendapati Kebo Iwa telah tertidur, Kepala Desa lantas memerintahkan segenap warga untuk melemparkan batu
kapur ke dalam lubang galian yang dibuat Kebo Iwa. Beramai- ramai warga memasukkan batu-batu kapur, sama sekali
tanpa disadari Kebo Iwa yang masih terlelap dalam tidurnya.

Air semakin banyak memancar dari dalam tanah dan batu kapur pun semakin banyak dimasukkan warga ke dalam lubang
galian. Akibatnya hidung Kebo Iwa menjadi tersumbat. Kebo Iwa tersedak dan terbangun. Namun, terlambat baginya. Air
makin deras memancar dan batu-batu kapur terus dilemparkan ke dalam lubang galian besar yang dibuatnya. Meski
mempunyai tenaga yang sangat kuat, Kebo Iwa tidak berdaya pada akhirnya. Kebo Iwa akhirnya menghembuskan napas
terakhirnya di dalam lubang galian besar yang dibuatnya sendiri.

Air terus memancar hingga meluap dan membanjiri desa tempat tinggal Kebo Iwa. Desa-desa di sekitar desa itu pun turut
terbanjiri. Sebuah danau yang besar akhirnya tercipta. Danau itu disebut Danau Batur. Timbunan tanah yang di sekitar
danau itu kemudian berubah menjadi gunung dan disebut Gunung Batur.
JAKA SEGER DAN RARA ANTENG

Jaka Seger dan Rara Anteng adalah sebuah legenda yang beredar di kalangan masyarakat Jawa Timur, Indonesia.
Legenda yang mengisahkan tentang percintaan antara Jaka Seger dan Rara Anteng ini menerangkan tentang asal-usul
Gunung Brahma (Bromo) dan Gunung Batok, serta asal-usul nama suku Tengger, yaitu sebuah suku yang tinggal di
sekitar Gunung Bromo. Bagi suku Tengger, Gunung Bromo merupakan gunung yang suci. Itulah sebabnya, setiap
setahun sekali, yaitu setiap bulan Purnama pada bulan ke-10 tahun Saka, mereka melaksanakan upacara yang dikenal
dengan Yadnya Kasada. Konon, keberadaan upacara tersebut juga diyakini berasal dari cerita  Jaka Seger dan Rara
Anteng ini. Berikut kisahnya.

Alkisah, di sebuah rumah sederhana di lereng Gunung Bromo, seorang laki-laki setengah baya sedang duduk menunggu
istrinya yang akan melahirkan anak kedua mereka. Laki-laki itu adalah Raja Majapahit yang meninggalkan negerinya dan
membuat sebuah dusun di lereng Gunung Bromo bersama beberapa orang pengikutnya karena kalah berperang melawan
putranya sendiri. Wajah laki-laki itu tampak begitu pucat dan hatinya diselimuti perasaan cemas melihat istrinya terus
merintih menahan rasa sakit.

Saat tengah malam, buah hati yang mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. Namun anehnya, bayi yang berjenis
kelamin perempuan itu tidak menangis seperti halnya bayi-bayi pada umumnya.

“Dinda! Bayi kita seorang perempuan,” kata mantan Raja Majapahit itu.

“Tapi Kanda, kenapa Dinda tidak mendengar suara tangis putri kita?” tanya permaisurinya yang masih terbaring lemas.

“Jangan khawatir, Dinda! Putri kita lahir dengan normal dan sehat. Lihatlah, wajah putri kita tampak bersinar! Dia
bagaikan seorang titisan dewa,” ujar mantan Raja Majapahit itu sambil menimang-nimang bayinya yang mungil di depan
istrinya.

Pasangan suami-istri itu tampak begitu bahagia mendapat anak. Mereka pun memberi nama bayi itu Rara Anteng, yang
berarti seorang perempuan yang diam atau tenang.

Pada saat yang hampir bersamaan, di tempat lain yang tidak jauh dari rumah Anteng dilahirkan, juga lahir seorang bayi
laki-laki dari pasangan suami-istri pendeta. Suara tangis bayi yang baru lahir itu sangat keras sehingga memecah
kesunyian malam di lereng Gunung Bromo itu. Bayi itu tampak sehat dan montok. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu
diberi nama Jaka Seger, yang berarti seorang laki-laki yang berbadan segar.

Waktu terus berlalu. Kedua bayi itu pun tumbuh menjadi dewasa. Jaka Seger tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan
tampan, sedangkan Rara Anteng tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Berita tentang kecantikan Rara Anteng
pun tersebar hingga ke mana-mana dan menjadi pujaan setiap pemuda. Sudah banyak pemuda yang datang meminangnya,
namun tak satu pun yang diterimanya. Rupanya, putri mantan Raja Majapahit itu telah menjalin hubungan kasih dengan
Jaka Seger dan cintanya tidak akan berpaling kepada orang lain.

Pada suatu hari, kabar tentang kencantikan Rara Anteng juga sampai ke telinga sesosok raksasa yang tinggal di hutan di
sekitar lereng Gunung Bromo. Raksasa yang menyerupai badak itu bernama Kyai Bima. Ia sangat sakti dan kejam. Begitu
mendengar kabar tersebut, Kyai Bima pun segera datang meminang Rara Anteng. Jika keinginannya tidak dituruti, maka
ia akan membinasakan dusun itu dan seluruh isinya. Hal itulah yang membuat Rara Anteng dan keluarganya kebingungan
untuk menolak pinangannya. Sementara Jaka Seger pun tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mampu menandingi
kesaktian raksasa itu.

Setelah sejenak berpikir keras, akhirnya Rara Anteng menemukan sebuah cara untuk menolak pinangan Kyai Bima secara
halus. Dia akan mengajukan satu persyaratan yang kira-kira tidak sanggup dipenuhi oleh raksasa itu.

“Baiklah, Kyai Bima! Aku akan menerima pinanganmu, tapi kamu harus memenuhi satu syarat,” ujar Rara Anteng.
“Apakah syarat itu! Cepat katakan!” seru Kyai Bima dengan nada membentak.

Mendengar seruan itu, Rara Anteng menjadi gugup. Namun, ia berusaha tetap bersikap tenang untuk menghilangkan rasa
gugupnya.

“Buatkan aku danau di atas Gunung Bromo itu! Jika kamu sanggup menyelesaikannya dalam waktu semalam, aku akan
menerima pinanganmu,” ujar Rara Anteng.

Dengan penuh percaya diri dan kesaktian yang dimilikinya, Kyai Bima menyanggupi persyaratan itu dan menganggap
bahwa persyaratan itu sangatlah mudah baginya.

“Hanya itukah permintaanmu, wahai Rara Anteng?” tanya raksasa itu dengan nada angkuh.

“Iya, hanya itu. Tapi ingat, danau itu harus selesai sebelum ayam berkokok!” seru Rara Anteng mengingatkan raksasa itu.

Mendengar jawaban Rara Anteng, raksasa itu tertawa terbahak-bahak, lalu bergegas pergi ke puncak Gunung Bromo.
Setibanya di sana, ia pun mulai mengeruk tanah dengan menggunakan batok (tempurung) kelapa yang sangat besar.
Hanya beberapa kali kerukan, ia telah berhasil membuat lubang besar. Ia terus mengeruk tanah di atas gunung itu tanpa
mengenal lelah.

Rara Anteng pun mulai cemas. Ketika hari menjelang pagi, pembuatan danau itu hampir selesai, tinggal beberapa kali
kerukan lagi.

“Aduh, mampuslah aku!” ucap Rara Anteng cemas, “raksasa itu benar-benar sakti. Apa yang harus kulakukan untuk
menghentikan pekerjaannya?”

Rara Anteng kembali berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan untuk membangunkan seluruh keluarga dan tetangganya.
Kaum laki-laki diperintahkan untuk membakar jerami, sedangkan kaum perempuan diperintahkan untuk menumbuk padi.
Tak berapa lama kemudian, cahaya kemerah-merahan pun mulai tampak dari arah timur. Suara lesung terdengar bertalu-
talu, dan kemudian disusul suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.

Mengetahui tanda-tanda datangnya waktu pagi tersebut, Kyai Bima tersentak kaget dan segera menghentikan
pekerjaannya membuat danau yang sudah hampir selesai itu.

“Sial!” seru raksasa itu dengan kesal, “rupanya sudah pagi. Aku gagal mempersunting Rara Anteng.”

Sebelum Kyai Bima meninggalkan puncak Gunung Bromo, tempurung kelapa yang masih dipegangnya segera
dilemparkan. Konon, tempurung kelapa itu jatuh tertelungkup dan kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang
dinamakan Gunung Batok. Jalan yang dilalui raksasa itu menjadi sebuah sungai dan hingga kini masih terlihat di hutan
pasir Gunung Batok. Sementara danau yang belum selesai dibuatnya itu menjelma menjadi sebuah kawah yang juga
masih dapat disaksikan di kawasan Gunung Bromo.

Betapa senangnya hati Rara Anteng dan keluarganya melihat raksasa itu pergi. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng
pun menikah dengan Jaka Seger. Setelah itu, Jaka Seger dan Rara Anteng membuka desa baru yang diberi nama Tengger.
Nama desa itu diambil dari gabungan akhiran nama Anteng (Teng) dan Seger (Ger). Mereka pun hidup berbahagia.

Setelah bertahun-tahun mereka hidup menikmati manisnya perkawinan dan kehidupan berumah tangga, tiba-tiba muncul
keresahan di hati mereka.

“Dinda, sudah bertahun-tahun kita menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Padahal kita sudah mencoba berbagai
jenis obat,” keluh Jaka Seger kepada istrinya.
“Sabarlah, Kanda! Sebaiknya jangan terlalu cepat berputus asa. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan Yang
Mahakuasa,” bujuk Rara Anteng.

Baru saja istrinya selesai berucap, tiba-tiba Jaka Seger mengucapkan ikrar, “Jika Tuhan mengaruniai kita 25 anak, aku
berjanji akan mempersembahkan seorang di antara mereka untuk sesajen di kawah Gunung Bromo.”

Begitu Jaka Seger selesai mengucapkan ikrar itu, tiba-tiba api muncul dari dalam tanah di kawah Gunung Bromo. Hal itu
sebagai pertanda bahwa doa Jaka Seger didengar oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tak berapa lama kemudian, Rara Anteng
pun diketahui sedang mengandung. Alangkah bahagianya hati Jaka Seger mendengar kabar baik itu. Sembilan bulan
kemudian, buah hati yang telah lama mereka nanti-nantikan pun lahir ke dunia. Kebahagiannya pun semakin sempurna
ketika mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak kembar. Setahun kemudian, Rara Anteng melahirkan lagi anak
kembar. Begitulah seterusnya, setiap tahun Rara Anteng melahirkan anak kembar, ada kembar dua dan ada pula kembar
tiga, hingga akhirnya anak mereka berjumlah dua puluh lima orang.

“Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa hamba!” ucap Jaka Seger.

Jaka Seger bersama istrinya merawat dan membesarkan kedua puluh lima anak tersebut hingga tumbuh menjadi dewasa.
Jaka Seger sangat menyayangi semua anaknya, terutama putra bungsunya yang bernama Dewa Kusuma. Karena terlena
dalam kebahagiaan, ia lupa janjinya kepada Tuhan. Suatu malam, Tuhan pun menegurnya melalui mimpi.

“Mana janjimu, wahai Jaka Seger! Serahkanlah salah seorang putramu ke kawah Gunung Bromo!” seru suara itu dalam
mimpi Jaka Seger.

Jaka Seger langsung tersentak kaget saat tersadar dari mimpinya.

“Ya, Tuhan! Aku telah lupa pada janjiku,” ucap Jaka Seger, “Aduh, bagaimana ini? Siapa di antara putra-putriku yang
harus kupersembahkan, padahal aku sangat menyayangi mereka semua?”

Akhirnya, Jaka Seger bersama istrinya mengumpulkan seluruh putra-putrinya dalam sebuah pertemuan keluarga. Jaka
Seger kemudian menceritakan perihal nazarnya itu kepada mereka. Wajah mereka pun serempak berubah menjadi pucat
pasi. Apalagi ketika dimintai kesediaan salah seorang dari mereka untuk dijadikan persembahan.

“Ampun, Ayah! Ananda tidak mau menjadi persembahan di kawah itu. Ananda tidak mau mati muda,” sahut anak
sulungnya keberatan.

“Dengarlah, wahai putra-putriku! Jika Ayahanda tidak menunaikan nazar ini, maka desa ini dan seluruh isinya akan
binasa,” jelas Jaka Seger.

Dengan sigap, Dewa Kusuma langsung menanggapi penjelasan ayahandanya.

“Ampun, Ayah! Jika itu memang sudah menjadi nazar Ayah, Ananda bersedia untuk dijadikan persembahan di kawah
Gunung Bromo,” kata Dewa Kusuma.

Jaka Seger tersentak kaget. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putra bungsunyalah yang mempunyai keberanian
dan kerelaan untuk dijadikan persembahan.

“Apakah kamu yakin dengan ucapanmu itu, hai Dewa Kusuma?” tanya ayahnya.

“Iya, Ayah! Ananda rela berkorban demi menyelamatkan dusun ini dan seluruh isinya,” jawab Dewa Kusuma, “tapi,
Ananda mempunyai satu permintaan.”
“Apakah permintaanmu, Putraku?” tanya ayahnya.

Dewa Kusuma pun menyampaikan permintaannya kepada Ayah, Ibu, dan saudara-saudaranya agar dirinya diceburkan ke
dalam kawah itu pada tanggal 14 bulan Kasada (penanggalan Jawa). Ia juga meminta agar setiap tahun pada bulan dan
tanggal tersebut diberi sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan oleh ke-24 saudaranya. Permintaan Dewa
Kusuma pun diterima oleh seluruh anggota keluarganya.

Pada tanggal 14 bulan Kasada, Dewa Kusuma pun diceburkan ke kawah Gunung Bromo dengan diiringi isak tangis oleh
seluruh keluarganya. Nazar Jaka Seger pun terlaksana sehingga dusun itu atau kini dikenal Desa Tengger terhindar dari
bencana.

***

Demikian cerita Jaka Seger dan Rara Anteng dari daerah Jawa Timur. Hingga kini, kawah yang memiliki garis tengah
lebih kurang 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat) ini telah menjadi obyek wisata menarik di
kawasan Gunung Bromo. Untuk mengenang dan menghormati pesan Dewa Kusuma, masyarakat suku Tengger
melaksanakan upacara persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang dikenal dengan istilah upacara Yadnya Kasada.
Upacara yang juga merupakan daya tarik wisata ini dilaksanakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan
purnama, yaitu sekitar tanggal 14 – 15 di bulan Kasada (kepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Pesen moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban demi kebahagiaan kedua orang tua dan demi
keselamatan masyarakat umum. Sifat ini tergambar pada sifat dan perilaku Dewa Kusuma yang rela mengorbankan
nyawanya demi menyelamatkan keluarga dan seluruh penduduk Desa Tengger dari kebinasaan.

Anda mungkin juga menyukai