Anda di halaman 1dari 2

HIKAYAT CABE RAWIT

 
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami
istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Demikianlah miskinnya
keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian,
suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga
sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku
tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah
mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada
Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa
Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri.
Malam itu,. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi
anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar
atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya.
Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam
perutnya teramat sangat. Ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak
mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu,
ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah
berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan
keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut
dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati
bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia.
Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga
itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat
keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang
kecil seperti cabe
Cabai rawit  mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun
akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa
bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang beras
dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia
mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban
sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak
didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah
mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-
panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal,
itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat
mungil.Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit
beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu
bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba
meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung,
kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki
beras lagi?” jawab cabe rawit.
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi pada pedagang ikan. Pedagang ikan itu
juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang
meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa
beberapa ikan semampu ia papah.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di
perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta,
keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah
harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe
rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun
pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin
menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil,
sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia
menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang
keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan
penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih
bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak
lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut.

Anda mungkin juga menyukai