Anda di halaman 1dari 9

Surga yang Tersembunyi

Aku menghela nafas, menatap hamparan pasir putih sejauh mata memandang.
Aku melepas sepatu kets dan jaketku, membiarkannya di tepi pantai. Aku berjalan
mendekati riak air yang bergerak pasang surut. Membiarkan kakiku menyapa riak kecil
ombak, bercumbu dengan butiran pasir yang ikut hanyut terbawa ombak yang
menyeretnya berkelana ke dalam lautan lepas. Aku menatap anak-anak yang berlarian
kecil di pinggir pantai, menunggu orang tua mereka kembali dari tengah lautan sana,
mencari ikan, kepiting, kerang dan makhluk-makhluk laut lain yang bisa dijadikan
makanan. Sunyi, hanya terdengar tawa renyah mereka berbaur dengan debur ombak
surut di tengah sana, bersenda gurau di bawah cahaya jingga. Pantai di ujung selatan
Pulau Sumbawa, tepatnya Sumbawa Barat, tempat dulu aku sempat menghabiskan masa
kecilku selama 11 tahun. Berlari seperti anak-anak itu, membiarkan angin
menerbangkan rambut hitamku, membuatnya berantakan, mengotori bajuku yang
kemudian akan berakhir dengan marahnya ibu. Itu dulu, hingga hari itu tiba, saat aku
harus meninggalkan desa kecil ini. Dengan berat hati, meninggalkan semuanya disini,
masa-masa indah bersama anak-anak desa, berlarian di pinggir pantai, menatap senja di
atas bukit, menjelajahi hutan dan padang rumput, mencari buah-buahan aneh yang enak
dimakan, bermain di waduk, dan masih banyak lagi, kehidupan penuh warna dimasa
kecilku yang aku sendiri tak akan pernah lupa. Ya, disinilah aku sekarang, di desa kecil
di Kecamatan Sekongkang, Sumbawa Barat.

Desa Aik Kangkung, desa kecil yang bisa dikatakan terbelakang, pembangunan
di daerah desa ini dan sekitarnya bersama 3 desa lainnya memang agak berjalan lebih
lambat dibandingkan desa lain yang ada di pusat kecamatan. Sejak 6 tahun aku tak
tinggal di desa kecil ini, aku melihat tak banyak yang berubah, hanya beberapa
infrastruktur desa yang sedikit diperbaharui, selain itu tak ada yang berbeda. Begitu
juga dengan tempat yang berpotensi sebagai destinasi wisata di desa ini kurang
mendapat perhatian, hal ini mungkin disebabkan karena peran pemuda dan
masyarakatnya yang kurang peduli dengan kemajuan desa atau bisa juga karena
kurangnya dukungan dari pemerintah, baik pemerintah desa maupun pemerintah pusat.
Entahlah, aku juga tak terlalu paham jalan pikiran masyarakat di wilayah ini yang selalu
bergantung kepada pemerintah. Sekarang aku ada disalah satu pantai di desa ini,
menikmati deburan ombak dan semilir angin di antara pepohonan rindang di pinggir
pantai. Semak-semak belukar yang membatasi tanah dan pasir putih yang terhampar
luas, beterbangan mengikuti arah laju angin, menyatu dengan simfoni alam. Indah
memang, pantai ini selalu menjadi favoritku, namanya Pantai Cemara, indah tapi tak
pernah dikenal masyarakat luas, hanya penduduk sekitar dan turis-turis dari luar negeri
yang mengunjungi Perusahaan Tambang terbesar di NTB, yaitu PT Newmont, yang
sesekali datang berkunjung ke pantai ini. Tidak seperti pantai di Desa Sekongkang Atas,
Sekongkang Bawah dan Kemuning, pantai di wilayah pusat kecamatan itu terkenal,
contohnya seperti Pantai Tropical yang terkenal dengan ombaknya yang tinggi, pantai
dengan ombak terbaik untuk surfing.

Pandanganku teralihkan pada deru sepeda motor di parkiran pinggir pantai,


seorang lelaki dengan hoodie hitam yang sangat cocok dengan kulit sawo matangnya.
Rambut hitamnya, mata coklat gelap, gigi gingsul dan lesung pipi yang membuat semua
wanita pasti tergila-gila padanya. Lelaki itu berjalan ke arahku, memberikan seulas
senyum manis kepadaku yang terpaku menatapnya,

“Kok mendadak? Kamu nginap dimana? Udah makan?” bertanya tanpa jeda,
salah satu kebiasaan unik lelaki ini masih sama ternyata. Terakhir kali aku bertemu
dengannya adalah saat aku kelas X, waktu itu aku berkunjung ke rumah sahabat ayahku
disini, menghadiri acara pernikahan putranya dan hari itu, sahabatku sejak kecil, Andy,
lelaki di hadapanku ini, orang pertama yang menyambutku dengan sejuta rindu tentang
masa kecil kami. Begitu juga hari ini, aku menelponnya pagi tadi, saat baru tiba di
rumah sahabat ayahku aku membuatnya menjadi orang pertama yang mengetahui
kabarku. Dengan semangat yang menggebu ia langsung merancang jadwal temu, dia
memang manis.

“Aku nginap di rumah Kak Adit, dia akan menikah besok pagi. Ayah tidak bisa
datang jadi aku diminta untuk mewakili, lagipula aku tidak punya kegiatan yang terlalu
penting di rumah selama liburan ini, jadi aku terima saja sekalian liburan mengenang
masa kecil.” Aku nyengir membayangkan waktu-waktu indah saat aku kecil dulu. Tak
pernah terpikir aku sudah sebesar ini saat menginjakkan kaki di tempat penuh kenangan.
“Oke, Ms. Nana, sebagai penyambutan pertama kembalinya dirimu, aku sudah
mengatur semua acaranya. Teman-teman yang lain harusnya segera sampai disini
sekarang.” Ia memasang senyum termanisnya. Teman-teman katanya? Apa dia
memberitahu semua teman-temanku? Aku menatapnya dengan tatapan menyiratkan
tanda tanya, “Iya, Inka, Rozy sama Hary harusnya udah nyampe disini nih sekarang,
kita tunggu di parkiran yuk.” Dia bisa membaca pikiranku.

Dia dengan langkah pelan berjalan di depanku menuju parkiran, membantuku


membawakan jaket yang ku lepas sembarang di pasir di tepi pantai bersama sepatuku.
Aku berjalan perlahan meneliti detail sampai tak ada yang terlewat sepanjang jalan
menuju parkiran, ya mungkin hanya itu yang berbeda dari pantai ini sejak aku tak ada
lagi di sini. Parkiran itu dulu hanyalah lahan datar yang dibersihkan dari semak-semak
dan sekarang tempat itu diubah menjadi parkiran dalam artian sebenarnya. Aku pikir 6
tahun aku tak menginjakkan kaki disini maka keadaan pantai ini akan berubah drastis,
tapi sepertinya aku salah, pantai ini tak banyak berubah. Debur ombaknya masih sama,
pengunjung yang hanya ramai di hari-hari tertentu saja, semak-semak belukar tinggi di
sekitar tepi pantai menambah kesan tak terawat bagi pantai itu, pwarga sekitar yang
mencari hewan laut untuk makanan sehari-hari, hutan cemara di tepi pantai, sampah
dedaunan dan karang-karang yang berserakan dibawa ombak. Tak banyak berubah.

“Ndy, aku mau nanya nih, sudah lama sekali aku tak melihat pantai ini lagi,
masyarakat sini, khususnya kalian yang masih seumuran kita, apa tidak ada niat atau
keinginan untuk mengembangkan pariwisata di sini? Misalnya seperti pantai ini, atau
bukit itu? Ya seperti pantai-pantai yang ada di Lombok, dari dulu kan banyak nih turis
dari luar berkunjung ke pantai kita ini, pantai ini ramai hanya saat hari raya dan hari
libur, setiap sore hanya ada orang mancing dan orang madak (mencari kerang) saja, jika
kalian mau mengembangkannya mungkin pantai ini bisa menjadi salah satu ladang
pemasukan kas desa juga kan? Apa kalian tidak pernah punya pikiran untuk begitu?”
aku bertanya pada Andy, berusaha membuatnya mengerti dengan penjelasanku yang
sedikit berputar-putar.

“Hmmm … kemarin aku, Inka, dan Rozy sempat membahas hal ini, tapi
terlupakan dengan sangat cepat. Ya bagaimanapun kami masih mengalami kesulitan
untuk mengajak teman-teman yang lain, mereka lebih suka untuk malas-malasan,
nongkrong di pinggir jalan, main game bersama teman-teman atau bahkan kebut-
kebutan. Kamu tau kan sejak dulu kondisi desa ini masih sama saja, 6 tahun kamu
pindah dari desa ini, sama sekali tak ada perubahan yang besar. Karena masih
rendahnya kualitas, ya mungkin secara kasarnya bisa kita katakana begitu, kualitas
pemikiran mereka masih rendah jadi rasa peduli mereka pada desa dan sekitarnya
kurang. Kami masih memikirkan itu jadi kami masih bergerak lambat, tapi kami sudah
mulai bergerak kok, kamu lihat semak-semak di sekitar area ini tida terlalu banyak. Ah
ya, aku juga belum mengajakmu berkeliling ke sebelah sana, di bawah pohon cemara
itu, rencananya kami akan meminta bantuan dari kepala desa agar mmeminta
masyarakat untuk bergotong royong membuat toilet seadanya dan juga kantin agar saat
hari-hari libur bersama keadaan pantai tetap terkontrol.” Andy mulai menjelaskan
kepadaku tentang idenya. Aku benar-benar tak menyangka, Andy yang dulunya adalah
seorang anak lelaki yang apatis terhadap lingkungan sekitar kini tumbuh menjadi
seorang lelaki dengan ide yang sangat luar biasa. Sebuah keputusan tepat ia sekolah di
sekolah favorit di pulau seberang yang memang sudah maju dalam dunia pariwisata.

“Itu keren, untuk masalah teman-teman yang lain mungkin aku bisa bantu? Aku
akan menetap lebih lama disini, bagaimana? Aku akan ikut membantu, mari kita
habiskan liburan kita untuk ini? Setuju?” Aku punya ide yang kuharap bisa berhasil
untuk pariwisata disini.

“Naa ..! Astaga! Udah lama banget kita nggak ketemu?” seorang wanita cantik
berlari ke arahku, diikuti dua orang laki-laki. Ya mereka adalah teman masa kecilku,
Inka, Hary dan Rozy. Mereka seumuran denganku, mereka adalah beberapa pemuda
dengan pikiran luar biasa. Hary yang pintar komputer, mengutak-atik software dan
program-program komputer sudah menjadi hobinya sejak dulu. Rozy yang suka sekali
membongkar peralatan elektronik, aku dengar dia kemarin menjuarai lomba antar
pelajar SMK tingkat provinsi, tentu saja berhubungan dengan alat-alat elektronik. Andy
yang seorang ambisius, suka sekali dengan game online. Inka yang cerdas hitung-
hitungan, memiliki pemikiran sama kerennya dengan andy. Ah, aku sangat beruntung
punya sahabat seperti mereka.

“Kaaaa … ! Ya ampun! Udah lama ya? Aku kangen. Inget nggak, dulu kita
sering main di pantai ini sore-sore, terkadang kita pulang saat azan sudah
berkumandang, lalu ibu akan sibuk mencari kita dan marah. Aku kangen masa-masa
itu.” Aku memeluk Inka dan bersalaman dengan Rozy dan Hary. Setelah lama tak
bertemu akhirnya tiba hari ini, melepas rindu. Kami bicara banyak hal, hingga topik
pembicaraan tentang mengembangkan pariwisata, khususnya pantai Cemara ini menjadi
topik utama pembicaraan kami. Di bawah rindangnya pepohonan, 6 tahun lalu aku
membicarakan kami akan main apa lagi? Setelah pulang akan bagaimana, tapi sekarang,
di tempat yang sama, aku dan mereka membahas rencana besar demi kemajuan desa
kami tercinta, meski aku tak menetap lagi disini tapi ini tetaplah tanah dimana aku
pertama kali menghirup udara, tempatku menemukan bahagia.

Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan ketukan pintu kamarku, suara Om


Amin, ayah Kak Adit membangunkanku,

“Na, ada yang nyariin di depen,” Om Amin memanggilku. Ah, siapa sepagi ini?
Aku bergegas mencuci mukaku, memakai baju asal-asalan dan keluar.

“Selamat pagi Om, Tante, Kak, Dinda,” aku tersenyum menyapa mereka yang
sedang duduk bersama di ruang tengah, aku sudah akrab dengan mereka sejak kecil, aku
tau kebiasaan keluarga ini, “Aku ke ruang tamu dulu.”

“Ajakin aja teman kamu langsung ke ruang makan, kita sarapan sama-sama.
Hari ini bakalan sibuk, bentar lagi tetangga akan datang membantu kita menyiapkan dan
melaksanakan prosesi adat, Tante mau kamu damping kakakmu atau kakak iparmu di
acara barodak (adat Sumbawa: luluran) dan acara pernikahannya.” Tante menjelaskan
panjang lebar, aku paham. Aku yang sejak kecil sudah dianggapnya anak, wajar saja
jika dia menginginkan aku ada disamping Kak Adit di acara pentingnya, aku hanya
mengangguk mengiyakan.

Aku berjalan menuju ruang tamu, Andy ada disana, dengan senyum khasnya
menyapa. Aku mengernyitkan keningku, sepagi ini? Apa dia gila? Ini masih jam 7.

“Kamu harus ikut, kita kumpul di rumah Inka, sekarang!” tanpa memberiku
celah untuk bicara, ya aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti ini.

“Sekarang? Oke wait, Tante minta kita buat sarapan dulu, kamu nggak boleh
nolak. Kamu tau kan Tante nggak suka ditolak tawarannya,” Aku menarik lengannya
menuju meja makan, disana semua sudah berkumpul. Setelah Andy menyapa semuanya,
sarapan bersama pun dimulai. Setelah sarapan aku berpamitan untuk pergi ke rumah
Inka. Di sana sudah menunggu Inka, Hary, Rozy, Sugeng dan Ratna. Mereka semua
adalah teman masa kecilku. Setelah saling menyapa akhirnya kami menyusun rencana
dan program. Semuanya akan dilaksanakan mulai hari ini.

Tanpa banyak membuang waktu lagi, aku dan teman-teman bergegas menuju
lokasi pantai, sedangkan Sugeng sebagai ketua Karang Taruna Sehati menemui kepala
desa untuk memberitahu tentang kegiatan kami, beberapa anggota karang taruna yang
lain juga mulai datang ke pantai membantu kami. Kami semua bahu-membahu memoles
pantai itu agar lebih indah. Membersihkan sampah-sampah yang sudah lama ada disana,
memotong semak-semak tinggi di sekitar pantai, memangkas dahan-dahan pohon
cemara dan bagian terakhir adalah bersatu membuat ide-ide kreatif di sekitar pantai,
seperti tempat duduk dari kayu bekas, tulisan-tulisan keren yang bisa dijadikan spot
berselfi bagi para pengunjung, mini kantin di bawah pohon cemara dan juga ayunan di
tepi pantai. Laut tanpa ujung ini memiliki suasana yang tenang, sepanjang mata
memandang hanya pasir putih yang terlihat dan juga birunya laut yang tanpa batas.
Kalian tau kan jika pantai ini adalah Samudera Hindia yang berbatasan langsung dengan
Benua Australia di sebelah. Setelah setengah hari bekerja keras, sebagian pekerjaan
kami sudah selesai. Memang benar apa kata orang-orang, jika dilakukan bersama-sama,
semua pekerjaan akan terasa ringan.

“Oke, semuanya, kita istirahat dulu ya. Nanti siang kita lanjutin lagi, nih ada
sedikit makanan dari Kepala Desa kita. Beliau sangat mendukung ide kita kali ini,
kalian memang luar biasa.” Sugeng menyimpan makanan diatas berugak (tempat duduk
seperti rumah tanpa dinding), “Oh ya, Andy, Nana, kita harus bagaimana untuk menarik
pengunjung datang ke Pantai kita ini? Kalian tau kan, pantai ini tidak terlalu terkenal di
luar?”

“Untuk masalah itu, aku punya satu ide, mungkin nanti ada tambahan dari
Nana,” Andy menatapku yang ku balas dengan anggukan, aku belum terpikir ide yang
terlalu cemerlang, “Jadi kita, dimulai dari kita dulu ya? Jadi kita punya social media
bukan? Nah disana, di akun kita masing-masing kita akan mengenalkan tentang Pantai
Cemara Aik Kangkung ini, nah agar lebih banyak yang melihat postingan tersebut, kita
gunakan hastag dan juga kita tag akun-akun yang lumayan banyak followersnya,
contohnya seperti akun humas NTB, akun pariwisata NTB. Dengan begitu, orang-orang
setelah melihat postingan kita tentang pantai ini akan merasa tertarik untuk
mengunjungi pantai ini. Benar kan?” semuanya terlihat memikirkan ucapan Andy
sambil mengangguk paham.

“Aku setuju banget dengan ide Andy tadi, nah selain itu, kita juga bisa mengajak
orang-orang terdekat kita untuk mengunjungi pantai ini, secara langsung. Nah untuk
kita yang sekolah di luar daerah, contohnya Inka, Andy, dan yang lain, saat liburan nanti
kalian bisa mengajak teman-teman kalian disana untuk berlibur ke desa kita ini, itu
salah satu cara kita untuk memperkenalkan keindahan surga kecil kita ini. Ah ya,
kelanjutan dari ideku yang pertama, seperti yang kita tau, di Sekongkang ada banyak
sekali bule-bule yang mengunjungi Pantai Tropical, Pantai Swiss, Pantai Lawar, Pantai
Sekongkang, nah kita bisa bekerja sama untuk mengenalkan pantai kita disana,
misalnya nanti beberapa dari kita kesana, mengenalkan pantai kita juga. Gimana? Dan
jangan lupa, Karang Taruna Sehati harus aktif di Pantai ini, kalian bisa mengelola pantai
ini, nanti jika pengunjung sudah banyak datang, kalian bisa memperbesar kantin itu dan
membangun fasilitas lainnya seperti tempat ibadah dan lain lain, tentunya dengan
mengajukan proposal ke pemerintah desa.” Aku berbicara panjang lebar, yang lain
mendengarkan dengan seksama.

“Na, tadi kamu bilang kami bisa mengelola pantai ini agar lebih banyak
pengunjung yang datang berkunjung, tapi bagaimana cara kami mengelola jika
pengunjungnya satupun belum ada? Apa iya untuk sebulan ke depan kami standby di
pantai ini sedangkan pengunjungnya sepi?” Irwan bertanya padaku.

“Maka dari itu, kita sebagai remaja disini yang pertama harus meramaikan
pantai ini, jika kita hanya berdiam diri saja itu sama artinya kita membiarkan pantai ini
terbengkalai lagi kan?” Andy menjawab Irwan.

“Guys! Aku juga ada ide nih,” Inka berdiri, “Jadi gini, aku setuju banget sama
Na, Andy, nah kita semua bakalan tetap stand by di pantai ini setiap sore, dan kita juga
bisa mengajak teman-teman kita yang lain untuk meramaikan pantai ini. Nah nanti, kita
bisa meminta bantuan mereka untuk mengenalkan pantai ini ke teman-teman mereka
diluar sana. Bagaimana? Selain itu, aku juga punya usulan lain yaitu kita membuat acara
di pantai ini, bagaimana? Bagaimana jika kita adakan acara resmi untuk membuka
wisata baru di desa kita ini, nah kita juga mengundang Pak Camat dan juga yang
lainnya. Kira-kira bagaimana?”

Ide yang sangat luar biasa, Inka benar-benar punya otak yang cemerlang, “Aku
setuju banget, Ka. Jadi kapan nih acaranya?” Aku bertanya kepada semuanya, mereka
saling pandang sambil berbisik-bisik.

“Kamu disini sampai tanggal berapa, Na?” Sugeng bertanya padaku, “Kalau
kamu bisa minggu depan? Hari Minggu? Semuanya bagaimana?

Yang lain mulai saling berbisik, merundingkan dengan teman disebelah mereka
hingga akhirnya mereka mengangguk, itu artimya mereka setuju pastinya dengan usulan
Sugeng. Aku memikirkan sejenak, aku diberikan ayah izin disini hanya seminggu, tapi
aku yakin aku pasti bisa untuk membujuk ayah. Akupun akhirnya memilih untuk setuju.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dengan kesibukanku membantu Om dan


Tante di pernikahan kak Adit harus bisa membagi fokus dengan kegiatan baruku disini.
Aku punya cita-cita besar untuk desa kecil ini, aku ingin desa tempatku pertama kali
menatap dunia ini menjadi desa yang maju. Untuk mencapai semua itu tentu tidaklah
mudah, aku percaya hasil dari usahaku ini tidak akan pernah mengkhianatiku. Bersama
sahabat-sahabatku, kami melewati hari tanpa lelah, bahu membahu membangun
kembali pantai itu. Hingga akhirnya hari Minggu tiba, hari dimana aku akan
menyaksikan Pak Camat Sekongkang memotong pita merah yang kami ikat diantara
dua tiang panggung yang dimana semua biayanya kami dapatkan dari desa dan juga
sumbangan masyarakat desa ini. Aku sangat bahagia melihat antusiasme semuanya.
Kami semua saling mendukung, apalagi yang harus kami khawatirkan? Desa ini pasti
akan jadi yang terdepan.

Angin pantai bertiup, berkelana antara dahan-dahan cemara. Sesekali ia


menyapa lembut para pengunjung yang datang. Di ujung cakrawala, sekitar dua atau
tiga jam lagi matahari akan benar-benar beristirahat. Kami sengaja memilih waktu
senja, saat jingga memenuhi nabastala indahnya tak perlu kalian Tanya. Luar biasa.
Acara di mulai. Pak Camat dengan senyum kagum menatap kami semua, memegang
gunting ditangannya dan memotog pita yang disambut sorai gemuruh dari semua orang
disana. Selain Pak Camat kami juga mengundang kepala perusahaan-perusahaan yang
ada disekitar kecamatan itu. Aku mengulas senyum termanisku.

“Kita berhasil,”Andy berbisik dibelakangku, “Aku tau, kau merasakan yang


sama denganku. Bahagia.”

Aku balas tersenyum padanya, menatapnya, “Terima kasih telah menerima


segala ide gilaku. Aku tak percaya kita berdua membuatnya nyata.”

“Saya sebagai Kepala Desa Aik Kangkung merasa sangat bangga memiliki
pemuda-pemuda luar biasa. Semangat mereka pantas untuk di apresiasi. Oleh karena itu,
sepenuhnya tentang opantai ini kami serahkan pada pemuda-pemudi Karang Taruna
Sehati. Kalian luar biasa. Inilah pemuda yang sebenarnya, bermandikan keringat demi
kebaikan tanah air tercinta. Kami bangga dengan kalian. Kalian putra-putri terbaik
kami.” Tepuk tangan bergemuruh dari para tamu undangan memenuhi pantai itu.
Bersama senja yang tenggelam sore itu, mimpi kami tercapai bersama. Kedepannya
semoga sesuai harapan yang tersisa.

Ya benar, tanah air adalah tanggung jawab para pemuda. Itulah manfaat dari
semua yang kita lewati selama bertahun-tahun di bangku sekolah, untuk memajukan
Tanah Air kita. Pemuda yang berkualitas akan selalu punya cara sederhana untuk maju
selangkah dari mereka yang terlena dengan dunia.

Anda mungkin juga menyukai