Anda di halaman 1dari 7

Kolaborasi Semesta

Jakarta di atas rel ternyata jauh lebih melankolis dari metropolitannya MH Tamrin yang
selalu berisik. Mendung mengangkasa melambatkan jejak menuju Rangkasbitung. Bersama kantuk
yang masih menguap, kueratkan beban di pundak, membawa bekal untuk bertahan satu malam di
sana. Di samping kananku, merebah sebuah kepala lengkap dengan anggukan buatan hasil
dentuman kencang dari ponsel yang tertansfer melalui headphone. Tiga lainnya di kursi terpisah.
Sampah-sampah Tarumanegara yang memilih melarikan diri dari bimbingan skripsi. Bau busuk itu
si bajingan Beno, Yoga, dan Agas.
Setelah revisi berkali-kali, Beno menawarkan referensi gila yang langsung kami setujui.
Liburan tak biasa yang mengetuk jiwa aktivis kami segera melancong ke sana. Usai menaklukkan
Merbabu Mei kemarin, kami butuh puncak yang lebih dari itu dengan sensani mimpi malam yang
berbeda dari luar tenda. Meski keputusan ini sempat ditengking habis-habisan, di hari terakhir
menjelang pemberangkatan, Naomi menyusul minta dimasukkan ke dalam daftar, dengan dalih tak
rela melepasku bertualang tanpanya.
Di tempat berbeda, pemilik dua juta subscriber itu melakukan aksinya. Memaksa Agas di
sebelahnya agar sama asyiknya dengan dia. Berbalik menoleh ke arahku, mengarahkan kamera
tepat di depan hidung.
“Hay gaes jadi gaes hari ini gua mau jalan-jalan lagi tapi bukan ke gunung gaes. Coba tebak
sekarang gua lagi ada dimana.” dia mengarahkan lensa ke luar. Lalu kembali ke arahku lagi.
“Nah seperti biasa gaes, gua selalu pergi bareng sahabat gua ini gaes. Buat yang belum tahu,
dia namanya Seno gaes. Sen, sapa dong Benovers di sana.”
Untuk menghormati jumlah adsense nya, aku melambai malas.
“Hallo guys! Gua Seno.” ucapku, tidak dengan cara Beno yang heboh.
“Oke gaes sekarang lo semua udah tahu dia siapa, gua juga mau ngenalin kalian sama
sahabat gua yang satu lagi. Ini dia, nih.” Beno gantian menyapa Naomi.
“Ngantuk gua, nggak nggak.” Naomi menepis Youtuber gila likers itu.
“Haduh gaes dia lagi nggak mau diajak ngevlog. Oke gaes kalau kalian mau tahu gimana
keseruan gua di petualangan kali ini, jangan lupa subscribe dan aktifin loncengnya supaya lo semua
nggak ketinggalan video baru dari gua. Bye!”
Seluruh penumpang memerhatikan tingkahnya terheran-heran.
“Berisik banget lo! Udah, sana! Duduk lagi ke tempat lo!” hardik Naomi.
Beno menyumpah tak serius, “Iya iya.”
“Masih jauh ya?”
Aku menanggapi pertanyaan Naomi dengan anggukan.
“Sabar, ya.”
“Aku udah bilang kan sama kamu kita ngapain sih ke sana segala. Di sana tuh pasti nggak
enak.”
“Kamu nggak boleh mnyimpulkan sesuatu sebelum membuktikannya sendiri.”
“Ah, nggak tahu, ah!” dia menarik kepalanya dari bahuku, marahnya yang lucu, membuatku
menahan tawa.
Setelah melewati satu setengah jam di perjalanan, dari stasiun Rangkasbitung petualangan kami
berlanjut menuju pangkalan mini bus yang biasa digunakan untuk mengantar para wisatawan
menuju Parigi kampung Cijahe. Dua jam perjalanan menuju Baduy dilalui dengan tidak terlalu
mulus. Keadaan jalan yang tidak terlalu bagus, dan terik matahari di dalam mobil tanpa pendingin
membuatku ingin segera tiba di sana. Menurut sumber yang kami dapatkan sebelum berangkat ke
sini, ada tiga pintu masuk menuju Baduy. Karena kami bermaksud untuk bermalam di Baduy
dalam, kami memilih pintu masuk melalui Cijahe. Sedangkan dua pintu lainnya adalah Ciboleger
dan Nangrang. Pemandu di sana memberi kami tiga pilihan desa di Baduy dalam yang bisa dipilih
untuk menginap, desa Cikesik terletak paling dekat, dengan rute tracking tercepat empat puluh lima
menit jika dibandingkan dengan rute menuju desa lainnya.
“Panas banget!” keluh Naomi disusul peringatan Agas.
“Di sini nggak boleh ngeluh, nanti ada hukumannya.”
“Iya, jangan sembarangan ngomong.” aku menimpali.
“Nah, gaes sekarang gua udah ada di dalam mini bus yang sumpah buset panas banget,
jalannya juga jelek banget anjir.” ucapan Beno dibuktkkan dengan tripodnya yang bergoyang
goyang akibat permukaan jalan yang tidak rata.
“Udah dulu kali, Ben ngevlognya, nikmati suasana di sini.” ucap Agas.
Aku diam saja. Memerhatikan sekeliling. Sebuah pemandangan langka yang tidak bisa didaur ulang
di Jakarta. Kesempatan yang tidak datang dua kali.
Beno tak menggubris.
“Gua kan harus ngasih tahu Subscriber gua buat mereka yang penasaran sama daerah
menuju Suku Baduy yang belum punya kesempatan datang ke sini, Gas! Edukasi, nih!” Beno terus
berisik.
“Edukasi atau demi Adsense?” kali ini giliran Naomi yang bicara.
“Hahaha tau aja lo!” vlogging dilanjutkan kembali.
“Jadi petualangan gua hari ini sebenarnya gua mau jalan menelusuri Suku Baduy. Buat para
Benovers yang belu tahu dimana letak Suku Baduy, Suku baduy letaknya ada di kaki gunung
Kendeng desa Kanekes kecamatan Leuwi Damar kabupaten Lebak Rangkasbitung, Banten. Nah,
latar belakang gua dateng ke sini adalah, gua penasaran aja gitu sama kehidupan orang primitif yang
sama sekali tidak tersentuh teknologi modern. Itu cara mereka bertahan hidupnya gimana gitu loh.”
“Udah mau nyampe.” ucapku berbisik ke Beno setelah mendapat informasi dari supir mini
bus.
“Oke gaes gua udah hampir nyampe ke lokasi, jadi dari pada penasaran lo tontonin terus
video-video gua selanjutnya. Jangan lupa like, komen , dan subscribe channel gua ya. Byeee!”
Butuh waktu kira-kira dua jam untuk bisa sampai ke Baduy luar. Di sana, kami bertemu
dengan seorang pemandu yang mengantarkan kami menuju Baduy dalam. Kang Cecep namanya. Di
perjalanan, kami mengorek banyak informasi dari beliau. Dengan bahasa Sundanya yang campur-
campur, kami sedikit kebingungan untuk mencerna kata-katanya, tapi syukurlah ada Agas. Dia
fasih berbahasa Sunda sebab ibunya berdarah Cianjur. Wilayah ini memiliki tofografi berbukit
dengan kemiringan tanah rata-rata 45% dan terletak pada ketinggian 300-600 meter di atas
permukaan laut. Di Baduy, ada 50 kampung yang dibagi dua menjadi Baduy dalam dan Baduy luar.
Keduanya memiliki perbedaan yang mencolok, di Baduy dalam, penggunaan teknologi dan barang
kimia benar-benar dilarang, alasannya selain karena dapat merusak alam, juga merupakan
pelanggaran adat istiadat yang sudah mendarah daging di daerah itu.
Untuk menuju Baduy dalam, kami tidak diperbolehkan menggunakan transfortasi apapun.
Melihat kang Cecep yang gesit menkalukan turunan lengkap dengan tanjakkan perbukitan,
membuatku malu sebagai laki-laki. Kami terengah-engah dan berulang kali menenggak air putih
sebab kepanasan. Terlebih hadirnya Naomi menambah repot langkahku. Dia mengeluh hampir
setiap langkah. Apalagi kami tidak diizinkan memakai alas kaki, itu juga merupakan mitos baru
yang aku temukan. Untuk menghormati kepercayaannya, aku tidak bertanya lebih jauh lagi
mengapa mang Cecep mentaati sebuah keharusan yang bagi kami terdengar seperti tahayyul.
Akhirnya, setelah berjalan selama tiga puluh menit, kami tiba pada sebuah gubuk biasa
sebagai pembatas antara Baduy dalam dan Baduy luar. Di sini lah batas penggunaan teknologi
mulai berlaku. Beno kecewa karena tidak bisa melanjutkan vlognya lagi. Segala aktivitas yang
berkaitan dengan teknologi, seperti hp, kamera, benar-benar dilarang. Sebagai wisatawan yang
sopan, kami harus menyetujui segala ketentuan dan tradisi yang ada di sana.
Di Baduy dalam, mang Cecep menitipkan kami bermalam di sebuah rumah penduduk
bernama pak Karman. Kami berbincang banyak hal dengan pak Karman. Termasuk
mempertanyakan mengapa tidak ada lampu yang dinyalakan padahal hari sudah mulai gelap.
“Tidak boleh, semuanya teh harus kembali ke alam. Tidak boleh pakai listrik begitu.”
Naomi berbisik di telingaku, “Aku nggak betah.”
Aku menenangkannya, “Kita cuma satu malam.”
Sambil menunggu nasi matang yang dimasak menggunakan tungku, kami berbincang
mengenai keseharian orang Baduy. Pak Karim bilang, keseharian warga di sini adalah berladang
dan berkebun, cara mereka bertahan hidup adalah dengan menjual hasil panennya dengan cara
barter.
“Upami budak na sok nanaonan?” agar bisa lebih nyaman, kali ini giliran Agas yang
bertanya pada pak Karim menggunakan bahasa Sunda.
“Nya kitu we, mantuan di kebon.”
Ya. Pak Karim menjelaskan, impian tertinggi anak-anak Baduy dalam adalah bisa membantu orang
tuanya berladang. Mereka bahkan tidak diizinkan sekolah
“Bisi jadi jelema pinter kabalinger.” jawab pak Karim ketika ditanya alasan mengapa anak-
anak dilarang bersekolah, alasannya karena takut menjadi pintar, orang pintar biasanya pintar
membodohi orang.
Kami berempat saling tatap.
“Bukannya kalau anak-anaknya pintar jadi bagus ya? Bakalan ada yang bisa memajukkan
daerah ini?” Beno berbisik.
“Hormati, Ben!” aku menegur.
Pak Karim juga bercerita bahwa penggunaan pupuk pestisida adalah pelanggaran berat di sana.
Segala yang berbau kimia benar-benar dilarang karena takut dapat mengotori alam.
“Ari nungguan panen kumaha Pak lamun teu nganggo pupuk?” Agas bertanya lagi.
Waktu panen di sana ditentukan oleh seorang Puun. Banyak yang menyimpulkan bahwa Puun
adalah presidennya Suku Baduy, yaitu seorang kepala suku yang berhak mengatur waktu panen dan
tradiss-tradisi di Baduy.
“Hoyong ngobrol atuh.” Agas meminta pak Karim untuk mengantarkannya bertemu Puun.
“Teu tiasa, kudu khusus.”
Katanya, untuk bertemu dengan seorang Puun tidak bisa sembarangan, harus orang-orang tertentu
dengan maksud-maksud tertentu.
***
Aku melangitkan syukur di langit Baduy yang segar. Hutan yang masih benar-benar terjaga
keasriannya, mengajak siapapun tidak ingin berpaling dari sana. Kutatap sosok di sebelah, dia
memejam mata.
“Gimana?” kutanya.
“Segar!” dia mengembus napas.
Pagi kami diantar pak Karim ke sebuah tempat pemandian. Tidak ada kamar mandi di sini. Semua
kebutuhan mencuci, memasak, buang air, dan mandi, berasal dari sungai.
“Ih.” Naomi bergidik.
“Aku nggak mau ikutan.” setelah diberi tahu tidak boleh mandi menggunakan sabun,
shampo, odol, dan bahan kimia lainnya, Naomi memilih tidak mandi dan diam saja di rumah pak
Karim. Dasar wanita! Merepotkan dimanapun!
Tak perlu berpikir lama-lama, begitu bertemu dinginnya air sungai yang mengaliri seluruh
pembuluh darah, kami langsung terhanyut dengan kesegarannya.
“Anjir enak banget padahal nggak pake sabun tapi rasanya lebih bersih!” teriak Agas
padaku.
“Iya enak banget!” aku merasakan hal yang sama.
Hanya beberapa detik Beno bergabung bersama kami, dia naik ke darat dan mengambil kameranya.
“Ben, jangan ngevlog! Nggak boleh pakai teknologi di sini!” Agas mencegah aksi nekat
Beno yang mulai mengarahkan kamera ke depan wajahnya.
“Alah nggak percaya gua. Itu cuma mitos aja. Pembodohan banget orang yang menolak
teknologi.”dia berjalan menjauh dari pandangan kami, entah kemana, namun suaranya masih jelas
terdengar.
“Ok gaes balik lagi sama gua Beno Dermawa, hari ini gua lagi ...”
Lalu suara itu pelan-pelan mulai hilang.
“Si Beno kemana, Sen?”
“Tau tuh, nggak kelihatan.”
“Udah yuk mandinya. Cepetan, kita cari dia.”
Setelah menyusuri area sekeliling, kami tidak berhasil menemukan dimana Beno berada. Akhirnya
kami kembali ke rumah pak Karim dan meminta bantuan para penduduk untuk mencari Beno.
Naomi diperintah untuk diam saja di rumah.
“Iya. Kamu hati-hati.” ucap Naomi ketakutan.
“Kita nggak jadi pulang hari ini, ya. Kita cari Beno dulu.” kataku.
Menjelang Senja, tubuhnya masih tak bisa kami deteksi dia ada dimana. Pak Karim meminta kami
untuk kembali dan beristirahat saja, besok pencarian dilakukan lagi.
Menuju besok ternyata tidak lama. Pagi-pagi aku bersama Agas dan Pak Karim kembali
menulusuri jalanan dekat sungai. Kemudian menemukan baju yang dipakai Beno berbaring di atas
pemakaman besar.
“Itu Beno!” Agar berteriak mengalihkan tatapan. Kami bergegas menghampiri sesuatu yang
diduga Beno itu. Ternyata benar. Itu Beno. Dia terkapar dalam keadaan tak sadarkan diri. Pak Karim
menyentuh leher Beno, entah di apakan, tak berselang lama, Beno membuka mata dan tampak baik-
baik saja. Tidak merasa dia telah hilang semalaman.
“Hilang?” dia terkejut.
“Abis mandi kemaren lo kemana?” tanyaku jengkel.
“Gua bikin video. Terus nggak sadar udah jalan jauh ke semak-semak. Gila, gatel-gatel
banget tanamannya. Gua injekkin aja satu-satu, soalnya halangin kaki gua mau jalan susah banget.
Gua juga petikkin bunga-bunga yang tumbuh di sekitar situ buat gua tunjukkin ke Subscriber gua
kalau itu bunga asli Baduy.” Beno bercerita kronologis hilangnya dia.
“Terus?” Agas penasaran.
“Gua nggak tahu nginjek apaan, terus kayak jatoh ke bawah gitu. Eh ditolongin sama cewek
cantik banget. Gua diajak ke rumahnya, ya gua mau lah. Dia ngasih gua makanan Jakarta gitu. Enak
banget sumpah. Gua tidur di rumah itu, terus bangun-bangun udah ada di sini.”
“Wah, diculik Kuntilanak ya lo!”
“Wah bangsat sialan lo!”
Pak Karim memeringati bahwa pelanggaran tradisi akan berakibat pada diri si pelaku pelanggaran
itu sendiri. Semua akan kembali ke alam. Jika kita merusak alam, maka alam akan memberi
pembalasan yang sama.
“Tuh, dengerin! Nurut makanya.” ucap Agas lagi pada Beno.
“Saya minta maaf atas kelakukan teman saya ini, Pak.” ucapku pada pak Karim.
Pak Karim menyesali kelakuan Beno, namun tetap memaafkannya.
“Kita balik ke rumah pak Karim lagi, jemput Naomi, terus pamit pulang ke Jakarta.”
Petualangan kami berakhir di 30 Juli 2019. kami kembali menuruni perbukitan rute menuju Baduy
luar, menyusuri alam yang luar biasa tiada tandingannya. Setelah sampai di pintu keluar, kami
berpamitan pada semuanya. Terima kasih untuk pengalaman berharga ini. Mari bekerja sama
merawat alam, menerapkan toleransi sesama makhluk hidup, dan hiduplah dengan damai.
SURAT PERNYATAAN
Orisinalitas Karya Lomba Undangan Menulis Cerpen
Festival Seni Multatuli

Nama : Deliana Reihany Salamah


Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 28 Agustus 2000
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Pelabuhan II km. 21 Cimanggu, Cikembar. Sukabumi, Jawa Barat
No. Hp : 085722689706
Email : reihany28@gmail.com

Saya dengan identitas yang tertera di atas menyatakan bahwa karya saya yang berjudul
Kolaborasi Semesta yang diikutsertakan dalam Lomba Undangan Menulis Cerpen Festival Seni
Multatuli adalah karya asli, tidak menjiplak karya orang lain, dan karya tersebut tidak sedang
diikutsertakan dalam perlombaan sejenis.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Apabila di kemudian hari
saya terbukti telah melanggar ketentuan tersebut, maka saya bersedia didiskualifikasi, baik sebagai
peserta maupun pemenang.

Sukabumi, 31 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai