Anda di halaman 1dari 2

Syair Nandong Gendang si Buyung

Hari ini, Buyung dan keluarga akan mengunjungi rumah Kakek dan Nenek di Desa Leubang,
Kabupaten Simeulue. Paman Imran, anak Kakek yang paling bungsu akan segera menikah.
Ibu menyuruh Buyung dan kak Ninda bersiap-siap. Selama perjalanan, Buyung dan kak Ninda
menikmati pemandangan alam sekitar. Setiba di rumah Kakek dan Nenek, udaranya menjadi
sejuk sekali, banyak burung pipit berkicau di ranting-ranting. Buyung dan kak Ninda sangat
girang gembira, rumah Kakek dan Nenek dihiasi bunga-bunga. Buyung dan kak Ninda
menyalami Kakek dan Nenek, kemudian berlari memasuki rumah. Ayah dan Ibu masih
berbincang di luar bersama Kakek dan Nenek. Di malam hari, banyak laki-laki memukul
gendang di terasnya Kakek dan Nenek. Buyung hanya mengintip lewat jendela. Buyung melihat
Ayah juga duduk di sana. Buyung penasaran apa yang sedang mereka lakukan. Keesokan
paginya, Buyung bertanya kepada sang Ayah.

"Ayah, tadi malam Buyung melihat Ayah memukul sesuatu!" kata Buyung pada Ayah.
"Ohh… itu namanya gendang" jawab Ayah dengan singkat. Buyung masih belum paham kata
Ayahnya, Buyung pun kembali bertanya.

"Tetapi mengapa Ayah bernyanyi semalam dan dijawab oleh yang lain?" tanya Buyung
penasaran.
"Itu namanya syair nandong. Nandong itu tradisi masyarakat Simeulue," jawab Ayah sambil
tersenyum.

Ayah menjelaskan bahwa Nandong merupakan sebuah kearifan lokal yang menyelamatkan
masyarakat Pulau Simeulue dari bencana gempa bumi dan tsunami. Si Ayah pun mulai
menceritakan asal usul kesenian Nandong daerah Simeulue. Pada tahun 1907, terjadi tsunami
atau Smong dalam bahasa Simeulue yang sangat dahsyat, semua orang merasakan kesedihan.
Masyarakat berpikir apakah hari ini adalah hari kiamat. Oleh karena itu, masyarakat Simeulue
mulai melantunkan syair Nandong untuk pertama kalinya. Ayah Buyung kembali menjelaskan
pada anaknya setelah meneguk kopi hitam buatan Nenek. Nandong berarti ungkapan perasaan
dan kesedihan akibat terpaan Smong, Nandong yang berarti senandung berwujud berbalas
syair/pantun oleh sejumlah penandong, minimal dua penandong, dengan dipimpin oleh seorang
penandong yang disebut 'penghulu gandang'. Nandong ini terdiri dari beberapa judul seperti
pantun samba, pantun rantau, pantun untung, dan pantun kasih. Alat musiknya sendiri berupa
gendang yang terbuat dari kayu dan kulit kambing, dan cara pemukulannya juga tidak
sembarangan harus sesuai, gendang harus dipukul secara bersamaan oleh beberapa penandong
dengan ketukan yang sama contohnya, ketukan pertama sebanyak dua kali ketukan dalam satu
bait Nandong, kemudian tujuh atau delapan kali ketukan di bait selanjutnya.
"Siapa yang melakukan Nandong Smong, Ayah?" tanya Buyung yang makin penasaran.
Ayah Buyung menjelaskan kembali kepada anak lelakinya itu, yang melakukan Nandong Smong
itu adalah orang tua. dahulu Nandong mempunyai dua fungsi yaitu untuk memberi tahu gejala
dan fenomena tsunami serta memberi tahu bagaimana menyelamatkan diri dari bencana tsunami,
syair-syair berisikan pesan-pesan dan diyakini masyarakat sebagai media penyelamatan diri dari
bencana tsunami, Nandong itu ada juga pesan-pesan moralnya seperti romantika kehidupan dan
percintaan. Sekarang Nandong dilantunkan pada acara acara besar seperti acara yang kita
lakukan saat ini.

"Ohh... Jadi Nandong itu sebuah syair dalam menghadapi peristiwa Smong ya, Ayah?" kata
Buyung sambil makan kue.

"Iya, Nak, makanya kearifan lokal itu jangan sampai kita lupakan, kalau bukan kita yang
meneruskan siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi," jawab Ayah sambil tersenyum kepada
Buyung.

"Ohh... kalau begitu Buyung akan belajar Nandong biar nanti sudah besar Buyung yang akan
melantunkannya," ujar Buyung kepada Ayah.

Anda mungkin juga menyukai