Anda di halaman 1dari 26

Genders Equality in Human Rights

(Studi Kasus: Pengaruh Kesetaraan Gender di Islandia Terhadap Dunia


Internasional)

disusun untuk memenuhi tugas Hak Asasi Manusia dalam Hubungan Internasional

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Drs. Tri Cahya Utama, M.A.

Disusun Oleh:
Eqqi Syahputra
14050117120001

DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hak asasi manusia mulai menjadi perhatian yang penting semenjak berakhirnya perang

dingin pada tahun 1991. Menurut David P Forsythe, HAM dianggap sebagai hak moral yang

fundamental, penting yang dimiliki seseorang, dan sangat diperlukan agar manusia memiliki

martabat hidup. Dalam dunia Internasional, telah banyak kejadian-kejadian pelanggaran dan

kejahatan yang erat kaitannya dengan HAM. Hal ini menjadikan HAM sebagai fokus dari dunia

Internasional itu sendiri. HAM merupakan suatu hal yang ruang lingkupnya bersifat Universal.

Maka dari itu,sudah menjadi kewajiban semua aktor beserta seluruh elemennya di dunia

Internasional untuk menjaga dan mengawalpenegakan HAM yang ada.

Keberadaan pengakuan HAM secara universal telah tercantum dalam Universal

Declaration of Human Rights (UDHR) yang diproklamirkan di Paris oleh Majelis Umum PBB

pada 10 Desember 1948, sebagai sebuah standar umum yang wajib dipenuhi oleh seluruh

individu dan negara. Deklarasi ini juga merupakan sebuah simbol pertama bahwa hak asasi

manusia yang fundamental harus dilindungi dan dijunjung tinggi secara universal.1

Walau begitu, adanya standar umum tadi tidak menjamin bahwa tercapainya HAM

yang dijunjung tinggi telah terlaksana. Masih ada pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip HAM

yang belum tercapai di berbagai negara belahan dunia. Pelaku pelanggaran HAM bukan saja

1
United Nations. “Universal Declaration of Human Rights”. United Nations. http://www.un.org/en/universal-
declaration-human-rights/ (accessed March 17, 2019)
aktor perorangan saja, namun, negara pun dapat menjadi aktor terjadinya pelanggaran dan tidak

tercapainya HAM.

Berbicara tentang HAM, pelanggarannya dapat dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan

bentuk dan tingkat pelanggarannya, yaitu pelanggaran HAM ringan dan berat. Untuk

pelanggaran HAM ringan, yaitu HAM yang berkaitan dengan penghambatan kebebasan

berpendapat, hak kesetaraan, hingga kebebasan berekspresi, yang mana tidak sampai

mengancam keselamatan jiwa manusia. Sedangkan HAM berat merujuk pada penghilangan

hak hidup seseorang, baik terhadap Individu maupun terhadap suatu kelompok tertentu, seperti

etnis, ras, dan agama.

HAM dalam kaitannya dengan kesetaraan gender tergolong dalam pelanggaran HAM

yang tergolong ringan. Meski tergolong dalam pelanggaran HAM ringan, efek dari tidak

tercapainya kesetaraan gender ini bisa semakin memburuk jika tidak cepat mendapat perhatian

dan penyelesaian dari elemen-elemen setempat. Bahkan, kasus tidak tercapainya kesetaraan

gender masih rentan terjadi di negara-negara benua Eropa, yang mana menjadi masalah

lantaran sudah dapat dikatakan bahwa negara-negara di Benua Eropa sangat mengedepankan

kemajuan kesetaraan gender. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan dari

delapan tujuan global negara-negara sedunia yang berkomitmen dalam Millenium

Development Goals (MDGs). Tujuan-tujuan ini disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi

Millenium PBB pada September Tahun 2000. Target MDGs tersebut disepakati untuk dicapai

pada Tahun 2015, yaitu:

1. Menghapus kemiskinan dan kelaparan.

2. Mencapai pendidikan dasar bagi semua.

3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.


4. Menurunkan angka kematian anak.

5. Meningkatkan kesehatan ibu.

6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya.

7. Memastikan kelestarian lingkungan hidup.

8. Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan.2

Salah satu contoh kasus dimana negara di benua Eropa masih belum mencapai HAM

dalam kesetaraan gender, ialah di Islandia. Banyak wanita di Islandia memprotes keadilan

HAM dalam kesetaraan gender, khususnya, dalam hal kesenjangan upah gender dan masalah

masalah lain yang secara khusus mempengaruhi wanita Islandia. Bahkan, pada tahun 1975,

ribuan pekerja wanita di Islandia pernah beramai-rami mogok kerja dari tempat mereka untuk

memprotes upah mereka dan mengancam akan berhenti bekerja secara permanen. 3 Hal ini

membuktikan ketika para pekerja wanita ini pergi dari suatu lembaga atau dimanapun itu, para

wanita ini ialah suatu pilar yang sangat penting di masyarakat, sama halnya dengan pria.4

Jelas, hal ini sebagai pelanggaran HAM yang mana pemenuhan hak kesetaraan wanita

di Islandia tidak terpenuhi, lantaran adanya kesenjangan upah dimana pekerja laki-laki

mendapatkan upah lebih dibanding pekerja wanita. Hal ini tentunya mempengaruhi pemerintah

Islandia untuk mengeluarkan aksi yang mana tujuannnya demi pemenuhan HAM khususnya

pada kesetaraan gender.

2
Puspitawati, Herien. 2012. Pengenalan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender. Makalah.
3
IFSW. “Pekerja Sosial di Islandia adalah Bagian dari Protes Mengenai Kesenjangan Upah dan Isu-Isu Lain yang
secara Khusus Mempengaruhi Perempuan di Islandia”. https://www.ifsw.org/id/social-workers-in-iceland-are-
part-of-the-protest-regarding-the-wage-gap-and-other-issues-that-specifically-affect-women-in-iceland/
(accessed March 17, 2019)

4
Michael Chapman. “Gender Equality in Iceland”. https://guidetoiceland.is/history-culture/gender-equality-
in-iceland (accessed March 17, 2019)
Islandia melalui Perdana Menterinya, Katrin Jakobsdottir, pada November 2018,

mengakui bahwa Kesenjangan upah terkait gender masih ada di Islandia, perempuan masih

tidak memiliki kekuatan yang sama di dunia keuangan dan bisnis, serta masih memiliki

masalah serius soal kekerasan berbasis gender, kekerasan serta pelecehan seksual.

Dalam usahanya menjunjung tinggi HAM dalam kesetaraan gender, pemerintah

Islandia tentunya juga mencoba menjadikan usaha-usaha mereka ini dalam membuat kebijakan

luar negerinya. Perjuangan untuk hak-hak perempuan adalah perjuangan untuk hak asasi

manusia yang fundamental dan menuntut perubahan secara Global. Sejumlah kebijakan-

kebijakan yang ada di Islandia sebagian besar diperuntukkan untuk kesejahteraan perempuan.

Tidak hanya menyangkut kebijakan dalam negeri, tetapi juga berpengaruh dalam kebijakan

luar negerinya. Islandia juga mencoba untuk mempromosikan kebijakan kesetaraan gendernya

terhadap dunia politik Internasional.

Dalam memeahami permasalahan HAM dalam kesetaraan gender ini, dapat digunakan

beberapa konsep untuk menganalisa kasus ini sehingga didpatkan definisi yang tepat.

Setidaknya, Makalah ini akan menggunakan dua konsep dalam membahas permasalahan ini,

yaitu konsep kesetaraan gender dan konsep kebijakan luar negeri feminist.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, didapatkan beberapa

rumusan masalah, antara lain:

1. Bagaimana sejarah masalah kesetaraan Gender di Islandia yang ada

kaitannya dengan HAM?

2. Apa pengaruh HAM dalam Kesetaraan Gender di Islandia terhadap dunia

Internasional?
1.3. Landasan Konseptual

1.3.1. Konsep Kesetaraan Gender

Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial

perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud

apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Kesetaraan Gender sendiri

dapat diartikan kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan

memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hakhak asasi dan potensinya bagi

pembangunan di segala bidang kehidupan. Kesetaraan gender dapat tercapai apabila ada

kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang

menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.

Adapun 4 wujud kesetaraan gender, seperti:

1. Akses: Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki pada

sumberdaya pembangunan.

2. Partisipasi: Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses

pengambilan keputusan.

3. Kontrol: perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang sama pada

sumberdaya pembangunan.

4. Manfaat: pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama bagi

perempuan dan laki-laki.5

1.3.2. Konsep Politik Feminisme

Konsep kebijakan luar negeri feminis pertama kali dipopulerkan pada bulan Desember

2014 oleh Menteri Luar Negeri Swedia Margot Wallstrom. Wallstrom mengklarifikasi bahwa

5
Puspitawati, Herien. 2012. Pengenalan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender. Makalah.
apa yang dia maksudkan dengan kebijakan luar negeri feminis adalah tindakan yang dilakukan

untuk tujuan kesetaraan gender, sebuah ide yang didasarkan pada gagasan Smart Power, dan

menegaskan bahwa Separuh dari populasi yang sejauh ini hampir dikecualikan dan dilupakan,

yaitu wanita, akan selalu terlibat dalam pernanan dunia. Tindakan dari konsep ini tentu

dilakukan untuk bekerja menuju kesetaraan gender. Wallstrom bukan satu-satunya politikus

internasional yang mengklaim komitmen Internasional untuk kesetaraan gender. Pada

pertemuan 2016 Komite PBB tentang Status Wanita, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau

mengutip "komitmen untuk memajukan kesetaraan gender secara global yang diperbarui dan

berjanji untuk mengambil peran yang lebih besar dalam membentuk masa depan yang

menjanjikan bagi perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.”6

Wallstrom telah menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri feminis berarti berdiri

melawan subordinasi sistematis perempuan secara global dan prakondisi untuk mencapai

tujuan-tujuan kebijakan pembangunan dan keamanan luar negeri. Hal ini pula yang coba

dilakukan Negara Islandia untuk mengedepankan perempuan dalam berbagai bidang

kehidupan. Artinya, tidak ada lagi kesenjangan Hak Asasi kesetaraan gender antara wanita dan

pria yang tidak tercapai dalam praktik berkehidupan.

6
Christine Alwan & Laurel Weldon. 2017. What is Feminist Foreign Policy? An Exploratory Evaluation of
Foreign Policy in OECD Countries. Paper Proposal.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Permasalahan Kesetaraan Gender di Islandia

Islandia, negara kecil dengan populasi mencapai 336 ribu jiwa, dimana sejak 1970,

semakin banyak perempuan Islandia terjun ke lapangan pekerjaan dan terus berada di

dalamnya pada tahun-tahun berikutnya. Namun sayangnya, banyaknya kaum perempuan

di Islandia yang terjun ke lapangan pekerjaan tidak dibarengi dengan adanya kesetaraan

upah gaji dengan kaum pria dan masih kurangnya hak kaum perempuan dalam kesempatan

untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Hal ini biasa disebut dengan istilah Gender Gap.

Para pekerja di Islandia di kontrak dan dinilai bukan dari tingkat pendidikan atau pekerjaan

yang mereka lakukan, tetapi berdasarkan dari perbedaan gender mereka. Jika dirata-rata,

pekerja perempuan di Islandia menerima gaji 14 sampai 18 persen lebih rendah dari

pekerja laki-laki.

Hal besar terjadi pada tanggal 24 Oktober 1975, ketika para pekerja wanita

Islandia, yang diperkerakan lebih dari 90 persen perempuan di Islandia yang terlibat saat

itu, berhenti dari segala aktivitas harian mereka hari itu, untuk menyuarakan keadilan.

Mereka mendemo terutama dalam masalah kesetaraan upah/gaji dan kesempatan untuk

berpartisipasi dalam kegiatan politik. tecatat, ini adalah ke-enam kalinya para perempuan

di Islandia turun kejalanan untuk memprotes tidak tercapainya hak kesetaraan gender,

namun, 24 Oktober 1975 adalah hari terbesar protes kaum perempuan di Islandia.7

7
Fimela. “Sama-Sama Bekerja, Kenapa Perempuan Tidak Dapat Hak Sama Dengan Laki-Laki?”.
https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3772701/sama-sama-bekerja-kenapa-perempuan-tidak-
dapat-hak-sama-dengan-laki-laki (accessed March 18, 2019)
Tentu hal ini membuktikan bahwa ketika para pekerja wanita ini pergi dari suatu

lembaga atau dimanapun itu, para wanita ini ialah suatu pilar yang sangat penting di

masyarakat, sama halnya dengan pria.

Sebuah hal yang menyedihkan ketika masyarakat dan para perusahaan menggaji

pekerja berdasarkan gender mereka. Lama kelamaan, hal ini menjadi sesuatu yang

terlabeling, dan ironisnya, masyarakat luas akan terbiasa dengan hal itu. Selama 50 tahun

lebih, para pekerja perempuan Islandia tidak mendapat upah yang sesuai, sekalipun mereka

berada pada posisi dan punya tanggung jawab pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Itulah

yang dicoba diubah oleh para pekerja wanita di Islandia.

Tidak hanya dalam hal kesetaraan upah, dalam hal politik, Negara Islandia masih

belum mencapai Hak yang adil bagi kaum perempuan, dimana kaum perempuan berperan

sangat minor dalam politik pemerintahan Negaranya. Tercatat, hanya ada 2-3 orang

perempuan yang menduduki kursi parlemen selama 70 tahun lamanya.

Lebih lanjut, ada Asosiasi perempuan pertama di Islandia didirikan pada tahun

1869 di sebuah daerah kecil di bagian utara Islandia bernama Kvenfélag Ripurhrepps atau

jika diartikan berarti kelompok wanita Ripurhrepps.8 Asosiasi ini mendeklarasikan bahwa

ingin memperkuat semangat kerjasama di antara perempuan di daerah Ripurhrepps. Lalu

ada asosiasi perempuan selanjutnya bernama The Icelandic Women’s Organization pada

tahun 1894. Organisasi ini sebenarnya bertugas mengumpulkan dana untuk membangun

sebuah Universitas di Islandia, namun, organisasi ini mulai memimpin perbedaan

partisipasi politik perempuan dari satu protopolitik.pada tahun yang sama, berdiri juga

yang namanya The Icelandic Women’s Right Association, dimana organisasi ini berfokus

8
Kvennablaðið. “Kvenfélag Rípurhrepps – elsta kvenfélag landsins”.
https://kvennabladid.is/2015/11/04/kvenfelag-ripurhrepps-elsta-kvenfelag-landsins/ (accessed March 18,
2019)
pada keadilan hak asasi, hak pekerjaan, hak pilih perempuan dalam melawan

diskriminasi.9 Pada tahun 1917, organisasi perempuan di Reykjavik membentuk asosiasi

mereka sendiri (Bandalag kvenna). Terdapat total 11 organisasi perempuan pada masa itu,

kebanyakan dari mereka adalah masyarakat philantropic yang berusaha untuk mengurangi

masalah akibat pertumbuhan kota dan kemajuan industri tetapi tanpa memperhatikan

kesejahteraan sosial. Pada pemilihan dewan kota pada tahun 1922, partai-partai politik

menolak untuk menempatkan perempuan dalam kursi politik. Hal ini tentu saja membuat

para perempuan sangat merasa terdiskriminasi.

Pertanyaan terbesar dari permasalahan ini ialah apakah ada penyelesaian dalam

masalah diskriminasi hak asasi kesetaraan gender? Jawabannya tentu saja ada. Setelah

adanya protes besar-besaran selama bertahun-tahun, Islandia mulai memberikan perhatian

yang sangat besar pada upaya-upaya menghapus ketimpangan gender. Dalam hal

kesetaraan upah pekerjaan, pada 2017, Islandia menjadi negara di dunia yang merancang

pelarangan pembedaan gaji berdasarkan gender, satu tahun kemudian, Islandia telah

mengesahkan undang-undang baru yang membuat pemberian upah terhadap pria lebih

banyak dari perempuan menjadi hal yang ilegal secara hukum. Undang-undang ini mulai

berlaku sejak 1 Januari 2018. Berdasarkan peraturan baru tersebut, perusahaan dan instansi

pemerintah yang mempekerjakan sedikitnya 25 orang harus memperoleh sertifikasi

pemerintah atas kebijakan persamaan gaji antara pria dan perempuan. Perusahaan dan

instansi yang gagal membuktikan kesetaraan gaji antara pria dan wanita, akan

mendapatkan denda. Sebenarnya, sejak 2006, Sejak 2006, Islandia telah menutup sekitar

10 persen dari total kesenjangan gaji berdasarkan gender sehingga menjadikannya salah

satu negara dengan tingkat pertumbuhan tercepat di dunia. Namun, Undang-Undang yang

9
Kvenréttindafélag Íslands. “Icelandic Women’s Rights Association (IWRA)”.
https://www.womenlobby.org/Icelandic-Women-s-Rights-Association-IWRA (accessed March 18, 2019)
sah baru saja terlaksana pada 2018 lalu. Sejak 2009 , Islandia sembilan tahun berturut-turut

menjadi berada di peringat pertama sebagai negara dengan kesetaraan gender terbaik di

dunia versi World Economic Forum (WEF). Dagny Osk Aradottir Pind, anggota Dewan

Asosiasi Hak Perempuan Islandia mengatakan, urusan upah telah menjadi topik hangat di

antara wanita selama bertahun-tahun. Adanya aturan baru ini membuatnya lega, karena

nasib wanita menjadi lebih baik. Pemerintah Islandia juga berencana sepenuhnya secara

total memberantas kesenjangan upah pada tahun 2020. 10

Tak hanya dalam hal kesetaraan upah, Islandia juga berupaya untuk menghapus

kesenjangan kesetaraan gender di bidang politik. Pada tahun 1983 berdiri organisasi yang

mencakup keseluruhan partai politik perempuan di Islandia yaitu The Women’s Alliance

(Kvennalistin). Tujuannya adalah untuk memajukan kesetaraan perempuan dan untuk

meningkatkan jumlah perempuan di Parlemen Islandia. Seperti yang dituliskan

sebelumnya, hanya ada 2-3 saja orang perempuan yang duduk di kursi parlemen selama

70 tahun lamanya. Namun, setelah adanya The Woman’s Alliance, perempuan yang duduk

di parlemen dari 5% meningkat menjadi 15% setelah pemilihan pertama dimana organisasi

ini bergabung. Setelah adanya berbagai gerakan organisasi perempuan untuk menyuarakan

kesetaraan gender dalam bidang politik, hingga sekarang ini, separuh anggota dari

keseluruhan anggota parlemen, ialah wanita.

Pemerintah Islandia terus melakukan terobosan untuk menghapus kesenjangan

gender ini. Sepanjang tahun 1990-an kemajuan terus terjadi di berbagai bidang. Penelitian

dan kemajuan akademik mengenai isu gender meningkat, terutama setelah berdirinya

10
Komang Triyani. “Kesetaraan Gender, Gaji Pekerja Wanita dan Pria di Islandia Setara”.
https://www.idntimes.com/news/world/komang-triyani/kesetaraan-gender-gaji-di-islandia-c1c2/full (accessed
March 18, 2019)
Centre for Women’s and Gender’s Studies pada tahun 1990 dan pembentukan Gender

Studies pada tahun 1996 di Universitas Islandia. Pada tahun 1995, sebuah pasal baru

ditambahkan ke dalam Konstitusi yang mengartikulasikan bahwa perempuan dan laki-laki

harus sama dalam segala hal. Untuk menghadapi sikap masyarakat mengenai isu-isu

kesetaraan gender, Feminist Association of Iceland didirikan pada tahun 2003 dan

menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu gender.

Pada tahun 2009, Johanna Sigurdardottir menjadi perdana menteri perempuan pertama

dalam sejarah Islandia.11

2.2. Kesenjangan Gender di Islandia Menurut Konsep Kesetaraan Gender

Setelah menelaah kejadian-kejadian kesenjangan hak asasi dalam kesetaraan

gender di Islandia, dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi di Islandia telah melanggar

hak asasi kesetaraan gender, khususnya terhadap wanita. Hal ini dapat dilihat dari 4 wujud

konsep kesetaraan gender yang tidak tercapai pada permasalahan di Islandia.

Yang pertama, ialah Akses. Akses disini diartikan kesempatan yang sama bagi

perempuan dan laki-laki pada sumberdaya pembangunan. Memang, perempuan di Islandia

sudah memiliki akses yang setara dalam pembangunan yang mana dalam hal ini ialah

pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, sayangnya para lembaga-lembaga

yang ada tidak memberikan gaji yang setara pula terhadap para wanita. Jika dirata-rata,

pekerja perempuan di Islandia menerima gaji 14 sampai 18 persen lebih rendah dari

pekerja laki-laki.jelas, wujud kesetaraan gender dalam hal akses tidak dapat terpenuhi

11
“Gender Equality In Iceland. Information on Gender Equality Issues in Iceland.” Centre for Gender Equality
Iceland.
disini. Yang kedua ialah wujud Partisipasi, dimana diartikan dengan perempuan dan laki-

laki berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan

keputusan erat kaitannya dengan kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal politik.

Dengan adanya data dimana hanya ada 2-3 orang perempuan yang duduk di kursi parlemen

selama 70 tahun lamanya. Alhasil, tentunya kaum perempuan kurang berperan dan

mengalami kesenjangan dalam hal proses pengambilan keputusan di Islandia.

Wujud konsep kesetaraan gender yang ketiga ialah Kontrol. Wujud Kontrol dalam

konsep kesetaraan gender diartikan dengan kaum perempuan dan laki-laki mempunyai

kekuasaan yang sama pada sumberdaya pembangunan. Dengan adanya kesenjangan

gender dalam hal pengambilan keputusan, tentunya hal ini juga berepengaruh besar

terhadap tidak adanya peran perempuanyang didapatkan terhadap kekuasaan sumberdaya

pembanguan. Wujud konsep kesetaraan gender yang terakhir ialah Manfaat. Sesuai

artinya, manfaat dalam hal ini diartikan bahwa pembangunan di segala aspek harus

mempunyai manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Dalam konteks masalah

gender gap di Islandia, dikarenakan minimnya peran kaum wanita dalam pengambilan

keputusan dan tidak adanya kekuasaan pada sumberdaya pembangunan, menjadikan

wujud manfaat dalam konsep kesetaraan gender disini sama sekali tidak berjalan. Dengan

adanya protes keras berulang kali untuk memprotes kesetaraan upah, serta dibentuknya

berbagai macam organisasi perempuan untuk menyuarakan dan mencapai tujuan hak asasi

manusia, membuktikan bahwa wujud manfaat dalam konsep kesetaraan gender mengenai

masalah gender gap di Islandia belum tercapai.

Dapat disimpulkan bahwa dalam sejarahnya, konsep kesetaraan gender di Islandia

belum sepenuhnya tercapai. Untungnya, Islandia selalu mencoba membenahi kondisi

domestik mereka hingga sampai sekarang, perubahannya sukses karena Islandia adalah
negara yang kecil secara geografik, warganya saling berhubungan erat , dan arus informasi

bergerak cepat. Sejak 2009 , Islandia sembilan tahun berturut-turut menjadi berada di

peringat pertama sebagai negara dengan kesetaraan gender terbaik di dunia versi World

Economic Forum (WEF).

2.3. Peran Kesetaraan Gender di Islandia Melalui Politik Feminisme

Dengan berbagai gerakan dan pembenahan dalam hal kesetaraan gender yang

terjadi di Islandia, mereka mencoba menekankan masalah ini untuk diimplementasikan

dalam kebijakan luar negeri mereka, serta berperan penting dalam hal kerjasama

Internasional. Namun bagaimana cara Islandia untuk menekankan hal hak asasi

kesetaraan gender untuk kerjasama Internasional?. Hal ini dapat dijelaskan melalui

konsep Politik Feminisme. Konsep kebijakan luar negeri feminis yang pertama kali

dipopulerkan oleh Menteri Luar Negeri Swedia Margot Wallstrom merujuk pada tindakan

yang dilakukan untuk tujuan kesetaraan gender, sebuah ide yang didasarkan pada gagasan

Smart Power dari kaum wanita yang akan selalu terlibat dalam pernanan dunia.

Dari sisi perspektif, kebijakan feminis memang jarang menonjol dalam hubungan

internasional. Namun hal ini tidak berlaku di Islandia. Islandia telah berhasil

memengaruhi kebijakan luar negeri yang dibuktikan dengan menonjolnya isu-isu

perempuan dalam keterlibatan internasional Islandia. Peningkatan jumlah perempuan

yang memainkan peran politik dalam pembentukan kebijakan luar negeri, meningkatnya

jumlah perempuan dalam Layanan Luar Negeri, dan aktivisme feminis di dalam dan luar

negeri merupakan alasan mengapa kebijakan feminis berhasil di negara Islandia.

Awalnya, kebijakan feminisme hanya menjadi misi individu, lama kelamaan, hal ini

menjadi arus utama dalam misi pemerintah.


Islandia mengalami peningkatan jumlah perempuan di Dinas Luar Negeri Islandia,

khususnya meningkatnya jumlah duta perempuan, bertepatan dengan meningkatnya

penekanan pada pentingnya memprioritaskan kesetaraan gender dalam pembangunan dan

keamanan. Penekanan priotitas perempuan dalam kesetaraan gender di Islandia dapat

dilihat dari Islandia yang menjadi salah satu negara pertama yang mengadopsi rencana

aksi nasional untuk Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan,

Perdamaian dan Keamanan. Ada Komite Nasional untuk UNIFEM (NC) di Islandia

didirikan pada bulan Desember 1989, dan merupakan organisasi Islandia pertama yang

berfokus pada status perempuan di seluruh dunia meskipun ia dibangun di atas tradisi

panjang aktivisme tentang isu-isu perempuan. Pada permulaan diputuskan bahwa NC

tidak akan fokus pada penggalangan dana, tetapi lebih pada upaya mendorong pemerintah

untuk memberikan kontribusi tahunan yang signifikan kepada UNIFEM (United Nations

Fund for the Development of Women).

Peningkatan kontribusi Islandia selama beberapa tahun pertama abad di ke-21

mencerminkan perubahan dalam nilai-nilai yang menetapkan agenda kebijakan luar

negeri di Islandia, serta yang berkaitan dengan penekanan tujuan Pembangunan Milenium

yang difokuskan pada kondisi perempuan dan anak perempuan. Perubahan ini, sekali lagi,

terjadi pada saat yang sama ketika perempuan memasuki pembuatan kebijakan luar

negeri, baik dalam naik pangkat dari Layanan Luar Negeri, bertambah jumlahnya di

Parlemen, dan mengambil kendali secara politis dari kantor Menteri Luar Negeri. Komite

Nasional UNIFEM di Islandia tidak sendirian dalam mendesak peningkatan perhatian

terhadap kesetaraan gender dalam kebijakan luar negeri Islandia. Perhatian lainnya juga

datang dari lembaga internasional. Di antaranya adalah laporan yang disusun oleh

Elisabeth Rehn dan Ellen Johnson Sirleaf dan diterbitkan oleh UNIFEM, Women, War,

Peace. Laporan ini menyajikan dokumentasi yang sangat persuasif tentang perlunya
mengarusutamakan perspektif gender di arena internasional. Argumen yang dikemukakan

dalam laporan dan dipromosikan oleh PBB dan berbagai LSM di seluruh dunia, di mana

mereka diadopsi oleh Komite Nasional UNIFEM di Islandia dan dipromosikan di

berbagai forum.12

Dampak dari tindakan ini adalah untuk menganalisa dan berupaya untuk

melibatkan perempuan dan laki-laki dalam pengambilan dan implementasi kebijakan.

Pengarusutamaan kesetaraan gender adalah proses jangka panjang diarahkan pada

administrasi dan pengambilan keputusan dalam masyarakat. Sejumlah besar perempuan di

negara berkembang mengalami ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Atas

alasan inilah, Islandia mendukung proyek-proyek tertentu, mendanai dan terlibat dalam

organisasi yang tujuan utamanya adalah mempromosikan dan meningkatkan kesetaraan

gender serta pemberdayaan perempuan. Dalam kebijakan luar negerinya, Pemerintah

Islandia menekankan kerjasama dengan negara-negara Nordik, Uni Eropa, isu Kutub Utara

dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam. Mempromosikan kesetaraan gender

merupakan prioritas utama Islandia dalam kerjasama pembangunan dan juga sebuah tujuan

khusus dari Resolusi Parlementer dalam Strategi Pengembangan Kerjasama Internasional

Islandia tahun 2013-2016. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa kesetaraan gender

merupakan hak asasi manusia dan kesetaraan sesungguhnya adalah salah satu prinsip inti

dari konsep hak asasi manusia. Visi kesetaraan gender Islandia dalam kerjasama

pembangunan juga didasarkan pada asumsi bahwa kesetaraan gender merupakan prasyarat

bagi kemajuan dan pembangunan. Kesetaraan gender tidak hanya penting dalam

pembangunan tetapi juga mendukung perkembangan ekonomi. Penelitian telah

menunjukkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan meningkatkan

12
Silja Bara Omarsdottir. “Feminism’s Influence on Iceland’s Foreign Policy”. https://www.e-
ir.info/2012/08/21/feminisms-influence-on-icelands-foreign-policy/ (accessed March 20, 2019)
produktivitas dalam masyarakat, seperti, menguatkan lembaga-lembaga dan

meningkatkan prospek generasi menadatang. Pertumbuhan ekonomi dan tingginya

pendapatan mengurangi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pembentukan strategi kebijakan luar negeri yang berbasis gender, Islandia

telah mengadopsi Resolusi Dewan Keamanan PBB (The United Nations Security Council

Resolution 1325 (2000) on women, peace and security). Resolusi ini menekankan

pentingnya partisipasi perempuan dalam penyelesaian konflik secara damai. Hal ini juga

mempertegas kesetaraan perempuan terhadap partisipasi dalam mempertahankan dan

mempromosikan perdamaian dan keamanan. Kebijakan pemerintah Islandia ini

dituangkan dalam Iceland’s Plan of Action for the Implementation of United Nations

Security Council Resolution 1325 (2000). Selain rencana aksi nasional, dalam kebijakan

luar negerinya, Islandia juga membentuk Strategy for Iceland’s Development Cooperation

2011-2014 yang diadopsi dari Althingi pada 10 Juni 2011. Strategi ini berdasarkan UU no.

121/2008 dalam Iceland’s Internasional Development Cooperation. Salah satu tujuan

utama dari UU ini adalah untuk mengambil pendekatan holistik terhadap kebijakan

pembangunan Islandia. Oleh karena itu, strategi ini mencakup kerjasama multilateral dan

bilateral, bantuan kemanusiaan dan upaya perdamaian. Tujuan utama dari usaha Islandia

terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam kerjasama pembangunan

2011-2014 adalah pengarusutamaan gender dalam semua proyek pembangunan,

mempromosikan pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang perempuan,

perdamaian dan keamanan, melaksanakan Rencana Aksi Islandia pada UN SCR1325,

menerapkan anggaran gender, dan meningkatkan bobot gender dalam pembuatan

kebijakan dan proyek yang dilaksanakan oleh organisasi internasional.

Salah satu kampanye terbesar Islandia adalah memberikan bagi perempuan untuk

berpartisipasi dalam negosiasi iklim internasional. Islandia telah membuat keputusan


politik untuk memprioritaskan isu-isu gender dalam negosiasi iklim internasional. Iklim

disini ialah yang dimaksud dalam perubahan perubahan kebijakan dan situasi di lingkup

Internasional. Partisipasi perempuan sangatlah penting dalam pengambilan tindakan yang

efektif terhadap perubahan iklim.

Komite Nasional Islandia untuk UNIFEM memberikan bantuan sebesar US$ 1,4

juta pada 8 Maret 2008, setelah berkampanye selama seminggu untuk mengumpulkan dana

bagi UN Trust Fund untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan yang dikelola

oleh UNIFEM. Kontribusi Islandia akan memungkinkan UN Trust Fund untuk mendanai

proyek untuk melawan kekerasan terhadap perempuan di Liberia, Republik Demokratik

Kongo dan Sudan. Pada tahun 2011, untuk pertama kalinya Islandia melakukan penerapan

pedoman umum yang diperkenalkan oleh Kementerian Luar Negeri dan ICEIDA, untuk

mengalokasikan hibah kepada organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam upaya

bantuan internasional. Menurut Strategi Kerjasama Pembangunan Islandia 2011-2014,

akan ada anggaran khusus yang akan dikontribusikan kepada NGO pada tahun 2012.

Dalam bidang pendidikan, Sasaran pemerintah Islandia adalah mempromosikan

pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan dan menyediakan kesempatan belajar

membaca dan menulis untuk memberantas buta huruf. Untuk tujuan ini, Islandia

berkontribusi melalui proyek-proyek dibawah arahan organisasi internasional.13 Salah satu

bentuk kepedulian Islandia terhadap pendidikan adalah dengan membentuk The Gender

Equality Studies and Training Programme (GEST Programme). GEST Programme

merupakan proyek kerjasama penmbangunan internasional antara University of Iceland

dan Kementerian Luar Negeri Islandia. Tujuannya adalah untuk mempromosikan

kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan dan pelatihan.

13
Ministry for foreign affairs & icelandic international development agency. “Gender Equality in Iceland’s
Internatonal Development Co-operation”. 2013
Program ini mengajak para laki-laki dan perempuan dari negara berkembang maupun

negara koflik/ pasca konflik untuk mengikuti kursus pelatihan 3-6 bulan secara intensif

mengenai ide-ide, kebijakan dan praktek mengenai kesetaraan gender. Hal ini juga

merupakan tempat untuk melakukan dialog transnasional dan interaksi antara peserta dari

berbagai belahan dunia.

Ada juga peran kesetaraan gender di Islandia dalam dunia Internasional, yaitu

bidang kesehatan. Tingginya angka kematian ibu di banyak negara miskin di dunia,

mengindikasikan kekurangan yang serius dalam pelayanan kesehatan yang tersedia bagi

perempuan dan kondisikondisi tersebut berkaitan dengan posisi sosial spesifik gender

dalam masyarakat. Salah satu peran ICEIDA dalam meningkatkan kesejahteraan

kesehatan adalah berkontribusi dalam peningkatan kesehatan publik di Malawi khususnya

di Distrik Mangochi melalui The Public Health Programme yang merupakan bagian dari

Mangochi Basic Services Programme (MBSP) yang akan diimplementasikan oleh

Mangochi District Council dan di danai oleh ICEIDA. Periode program ini adalah 4 tahun

dari Juli 2012 hingga Juni 2016. Fokus utamanya adalah terhadap kesehatan ibu dan anak

khususnya dalam mengurangi angka kematian anak dan peningkatan kesehatan ibu.14

Melalui penekanan terhadap masalah kesehatan ibu, program ini berusaha untuk mengatasi

salah satu masalah utama perempuan di Malawi yang pada saat yang sama merupakan

salah satu penyebab kesenjangan gender di negara ini.

Di bidang keamanan, prioritas utama kebijakan Pemerintah Islandia adalah

mempromosikan perdamaian dan penyelesaikan konflik secara damai. Partisipasi Islandia

dalam misi perdamaian dan rekonstruksi merupakan kontribusi penting yang dilakukan

oleh salah satu negara anggota PBB tanpa angkatan bersenjata dan satu-satunya negara

14
“Mangochi ICEIDA Partnership in Public Health. Part II of the Mangochi Basic Services Programme (MBSP).”
ICEIDA Programme Document 2012 – 2016.
anggota NATO tanpa militer. Pemerintah Islandia secara khusus memberikan perhatian

terhadap pemberdayaan perempuan dan partisipasi mereka dalam negosiasi perdamaian

dan rekonstruksi pasca konflik. Islandia kemudian membentuk Iceland Crisis Response

Unit (ICRU). ICRU merupakan sebuah organisasi penjaga perdamaian sipil yang memiliki

kekuatan dan karakteristik yang berbeda. Beragam keahlian terutama pengetahuan dan

pelatihan khusus telah ditunjukkan ICRU dalam berpartisipasi di berbagai misi dan

mensuplai personil perempuan untuk mengisi beberapa posisi di daerah yang dilanda

perang.15 Pada tahun 2009, Islandia melakukan perluasan kerjasama dengan menjadi

penasehat gender di Republik Serbia. Hal ini merupakan bagian dari perjanjian antara

UNIFEM dan Kementerian Luar Negeri Islandia untuk mendukung kesetaraan gender dan

memperbaiki situasi perempuan di seluruh dunia. Dalam pelaksanaannya, ICRU juga

menerapkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325. Resolusi ini menekankan pentingnya

mengintegrasikan kepentingan perempuan secara khusus selama dan setelah konflik untuk

mensukseskan upaya pembangunan perdamaian.16

15
“Iceland Crisis Response Unit. Annual Report 2007.” Ministry for Foreign Affairs. 2008.
16
Purnama Sugesti, Gebi. “Pengaruh Feminisme Terhadap Kebijakan Luar Negeri Islandia (2008-2013).”
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hak asasi manusia merupakan hal yang harus dijunjung tinggi dan harus

didapatkan oleh setiap manusia. Setiap pelanggaran hak asasi manusia tentunya akan

menjadi sorotan secara global karena sifatnya yang universal dan mutlak harus dipenuhi

oleh setiap manusia, tanpa adanya pengecualian ras, suku, agama, dan gender,

Dalam hal gender, ternyata hal ini dapat menimbulkan tidak tercapainya keadlian

hak asasi manusia. Budaya patriarki yang masih turun temurun dalam kehidupan sosial di

dunia, menyebabkan adanya kesenjangan dan tidak tercapainya hak asasi bagi kaum

wanita. Peran laki laki yang terlalu mendominasi dalam keputusan politik, hak sosial, dan

penguasaan properti, membuat kaum wanita menjadi terdiskriminasi. Hal inilah yang

terjadi di negara Islandia sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Mulai dari sangat minimnya jumlah wanita yang berada di bangku parlemen untuk

membuat kebijakan politik, dimana tercatat hanya ada 2 sampai 3 orang wanita yang ada

di parlemen selama 70 tahun, hingga kesenjangan upah terhadap kaum wanita di mana

mereka memiliki jabatan dan peran yang sama dengan pria.

Banyak protes yang dilakukan oleh kaum wanita di Islandia selama 50 tahun lebih.

Puncaknya yang terbesar, terjadi pada tahun 1975, ketika 90% wanita Islandia turun ke

jalanan untuk menyurakan haknya yang tidak tercapai di berbagai elemen kehidupan

sosial.

Untungnya, negara Islandia tanggap terhadap permasalahan kesenjangan gender

ini. Islandia mulai memberikan perhatian yang sangat besar pada upaya-upaya menghapus
ketimpangan gender. Pada 2017, Islandia menjadi negara di dunia yang merancang

pelarangan pembedaan gaji berdasarkan gender, satu tahun kemudian, Islandia telah

mengesahkan undang-undang baru yang membuat pemberian upah terhadap pria lebih

banyak dari perempuan menjadi hal yang ilegal secara hukum. Undang-undang ini mulai

berlaku sejak 1 Januari 2018. Dalam bidang politik, Pada tahun 1983 berdiri organisasi

yang mencakup keseluruhan partai politik perempuan di Islandia yaitu The Women’s

Alliance (Kvennalistin). Tujuannya adalah untuk memajukan kesetaraan perempuan dan

untuk meningkatkan jumlah perempuan di Parlemen Islandia. Setelah adanya berbagai

gerakan organisasi perempuan untuk menyuarakan kesetaraan gender dalam bidang

politik, hingga sekarang ini, separuh anggota dari keseluruhan anggota parlemen, ialah

wanita. Sejak 2009 , Islandia sembilan tahun berturut-turut menjadi berada di peringat

pertama sebagai negara dengan kesetaraan gender terbaik di dunia versi World Economic

Forum (WEF).

Dengan berbagai gerakan dan pembenahan dalam hal kesetaraan gender yang

terjadi di Islandia, mereka mencoba menekankan masalah ini untuk diimplementasikan

dalam kebijakan luar negeri mereka, serta berperan penting dalam hal kerjasama

Internasional. Melalui kebijakan politik feminisme, Islandia telah berhasil memengaruhi

kebijakan luar negeri yang dibuktikan dengan menonjolnya isu-isu perempuan dalam

keterlibatan internasional Islandia. Dalam kebijakannya, Islandia sangat berperan penting

dalam mempromosikan pentingnya peran dan keterlibatan wanita dalam penyelesaian

suatu konflik. Islandia juga menyumbang dana untuk UN Trust Fund mendanai proyek

untuk melawan kekerasan terhadap perempuan di berbagai Negara. Dalam bidang

pendidikan, membentuk The Gender Equality Studies and Training Programme (GEST

Programme) yang bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan melalui pendidikan dan pelatihan. Di bidang kesehatan, melalui ICEDA ,


Islandia telah berkontribusi dalam peningkatan kesehatan publik di Malawi khususnya di

Distrik Mangochi melalui The Public Health Programme yang merupakan bagian dari

Mangochi Basic Services Programme (MBSP). Dalam bidang keamanan Pemerintah

Islandia secara khusus memberikan perhatian terhadap pemberdayaan perempuan dan

partisipasi mereka dalam negosiasi perdamaian dan rekonstruksi pasca konflik melalui

Iceland Crisis Response Unit (ICRU).

Dengan adanya permasalahan hak asasi manusia dalam kesetaraan gender,

khususnya di Islandia, tentu hal ini perlu disorot menjadi hal yang sangat penting. Meski

tergolong HAM ringan, namun nyatanya hal ini dapat berdampak besar terhadap kondisi

domestik suatu negara. Dengan pemerintah dan kondisi Negara Islandia yang cekatan

dalam menangani masalah kesenjangan gendernya, serta belajar dari kesalahan masa lalu,

Islandia mencoba mempromosikan dan berperan penting dalam dunia Internasional betapa

pentingnya peran dan kontribusi wanita dalam berbagai permasalahan sosial kesetaraan

gender yang sedang dirasakan oleh banyak negara di dunia.

Islandia yang telah berhasil dalam berperan dalam permasalahan kesenjangan

gender di berbagai negara, seharusnya dapat dijadikan contoh oleh berbagai negara di

dunia dan lingkup Internasional untuk mencapai apa yang dinamakan dengan HAM dalam

kesetaraan gender.
DAFTAR PUSTAKA

Christine Alwan & Laurel Weldon. 2017. What is Feminist Foreign Policy? An Exploratory

Evaluation of Foreign Policy in OECD Countries. Paper Proposal.

Fimela. “Sama-Sama Bekerja, Kenapa Perempuan Tidak Dapat Hak Sama Dengan Laki-Laki?”.

https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/3772701/sama-sama-bekerja-

kenapa-perempuan-tidak-dapat-hak-sama-dengan-laki-laki (accessed March 18, 2019)

“Gender Equality In Iceland. Information on Gender Equality Issues in Iceland.” Centre for Gender

Equality Iceland.

“Iceland Crisis Response Unit. Annual Report 2007.” Ministry for Foreign Affairs. 2008.

IFSW. “Pekerja Sosial di Islandia adalah Bagian dari Protes Mengenai Kesenjangan Upah dan Isu-

Isu Lain yang secara Khusus Mempengaruhi Perempuan di Islandia”.

https://www.ifsw.org/id/social-workers-in-iceland-are-part-of-the-protest-regarding-

the-wage-gap-and-other-issues-that-specifically-affect-women-in-iceland/ (accessed

March 17, 2019)

Komang Triyani. “Kesetaraan Gender, Gaji Pekerja Wanita dan Pria di Islandia Setara”.

https://www.idntimes.com/news/world/komang-triyani/kesetaraan-gender-gaji-di-

islandia-c1c2/full (accessed March 18, 2019)

Kvennablaðið. “Kvenfélag Rípurhrepps – elsta kvenfélag landsins”.

https://kvennabladid.is/2015/11/04/kvenfelag-ripurhrepps-elsta-kvenfelag-landsins/

(accessed March 18, 2019)

Kvenréttindafélag Íslands. “Icelandic Women’s Rights Association (IWRA)”.

https://www.womenlobby.org/Icelandic-Women-s-Rights-Association-IWRA (accessed

March 18, 2019)


“Mangochi ICEIDA Partnership in Public Health. Part II of the Mangochi Basic Services Programme

(MBSP).” ICEIDA Programme Document 2012 – 2016.

Michael Chapman. “Gender Equality in Iceland”. https://guidetoiceland.is/history-

culture/gender-equality-in-iceland (accessed March 17, 2019)

Ministry for foreign affairs & icelandic international development agency. “Gender Equality in

Iceland’s Internatonal Development Co-operation”. 2013

Purnama Sugesti, Gebi. “Pengaruh Feminisme Terhadap Kebijakan Luar Negeri Islandia (2008-

2013).”

Puspitawati, Herien. 2012. Pengenalan Konsep Gender, Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Makalah.

Silja Bara Omarsdottir. “Feminism’s Influence on Iceland’s Foreign Policy”. https://www.e-

ir.info/2012/08/21/feminisms-influence-on-icelands-foreign-policy/ (accessed March

20, 2019)

United Nations. “Universal Declaration of Human Rights”. United Nations.

http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/ (accessed March 17, 2019)

Anda mungkin juga menyukai