Anda di halaman 1dari 47

Manaqib KH.

Abdul Hamid (Pasuruan)


Anjing pun diperlakukan baik

Siapa pun (orang Islam) tidak suka bila melihat anjing berada di sekitarnya. Bahkan orang akan
mengusirnya dengan cara kasar. Melemparinya dengan batu, memukuli dan hal-hal lain yang
menjurus pada perlakuan kasar.

Perbuatan ini bertolak belakang dengan kiai Hamid. Di samping beliau menebar cinta ke semua
orang, beliau juga menebar cinta kepada binatang. Termasuk anjing yang oleh orang awam tadi
dipandang dengan kebencian karena najis mughallazhahnya. Berkali-kali anjing datang, duduk-
duduk diteras rumah beliau atau bermain ditempat wudlu pondok. Oleh beliau, binatang itu
dibiarkan, malah tak boleh diusir.
Suatu kali ada seekor anjing masuk ke dalam pesantren. Karuan saja para santri segera
mengepungnya, memukulinya dan menjerat lehernya. Keesokan harinya, dalam pengajian ahad,
Kiai Hamid marah besar. “Anjing itu juga mahkluk Allah, tidak boleh diperlakukan semena-mena,”
katanya dengan penuh tekanan.
Sumber: H. Misbah (Miskat), Pasuruan

Pencuri datang, dihormati sebagai tamu

Kiai Hamid adalah sosok yang halus pembawaannya. Suaranya pelan, sangat lirih, nyaris berbisik.
Pelan ketika mengajar, pelan ketika membaca kitab, pelan ketika salat, pelan ketika berzikir, pelan
juga ketika bercakap-cakap. Baik bercakap dengan tamu, dengan santri, maupun dengan
keluarganya sendiri. “sejak dulu, Kiai Hamid kalau membaca Qur’an sendiri tak pernah terdengar
suaranya,” kata KH. Zaki Ubaid, yang sejak kecil sudah mendampingi Kiai Hamid, “hanya kalau
tadarus terdengar suaranya.”

Gus Zaki Ubaid bercerita, jemuran di pekerangan belakang rumah beliau sering raib. Setelah
berhari-hari melakukan pengintaian bersama sejumlah santri, akhirnya sang pencuri tertangkap
basah. Maka digelandanglah sang pencuri itu ke halaman depan, untuk menjadikan bancakan, pesta
bogem mentah. Tapi sial, begitu keluar dari pintu lorong, mereka kepergok Kiai Hamid. “O, ada
tamu ya. Silakan, silakan“ kata beliau. Maling dibilang tamu. Urusan pun berpindah tangan,
sementara ”pesta besar” batal dilaksanakan. Gus Zaki Ubaid dkk. Tak bisa berbuat apa-apa.
Akan halnya Kiai Hamid, beliau memperlakukan si pencuri seperti layaknya tamu. Disuguhi
minuman , diberi makan, diajak bercengkrama. Ketika pulang, diantar hingga ke halaman, sambil
berpesan agar mampir lagi kalau ada waktu.1

Sumber: KH. Zaki Ubaid (al Marhum), Pasuruan

Sepuluh Ribu Untuk Kyai Hamid

Kota Pasuruan merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang menyimpan banyak nilai religi dan
kental dengan aroma keislamannya. Berbagai kegiatan islami di kota yang terkenal dengan sebutan
“ kota santri” ini sangat beragam dan tak terhitung jumlahnya. Namun dibalik itu, siapa sangka kota
yang banyak para kekasih Allah tersebut, menyimpan segudang cerita unik yang cukup menggelitik
hati yang justru muncul dari para tokoh agama di kota itu.

Alkisah di kota Pasuruan dahulu hidup seorang kyai yang terkenal dengan kewaliannya dan
memilki kharismatik tinggi di mata masyarakat Pasuruan. Ya, siapa lagi kalau bukan KH. Abdul
Hamid atau yang lebih akrabnya biasa dipanggil romo kyai Hamid . Pada suatu hari ada seorang
pengusaha bernama Sukir yang hendak sowan kepada kyai Hamid yang terkenal dengan sikap
tawadlu’ dan lemah lembutnya itu. Sukir-pun akhirnya mendatangi temannya terlebih dahulu sambl
bertanya, ”biasanya kalu sowan kepada kyai Hamid perlu memberi “salam templek” apa tidak ?”
Temannya pun menjawab:
“kadang ya, kadang juga tidak.” Jawabnya singkat.
Merasa belum puas, sang pengusaha tadi kembali bertanya:
“kalau memberi salam templek, kira-kira berapa ya ?” tanyanya dengan nada penasaran.
“ah...... saya tidak tahu, karena saya sendiri tidak pernah memberi salam templek. Malahan kyai
Hamid sendiri yang sering memberi tamunya.” Jelasnya cukup panjang lebar.
Mendengar keterangan dari temannya tersebut, akhirnya Sukir memutuskan untuk memberi salam
templek, karena ia tahu biasanya kalu sowan kepada kyai-kyai manapun, kebanyakan memberi
salam templek, meskipun jumlahnya nggak terlalu besar. Sesaat kemudian ia pun bingung karena
berapa jumlah uang yang pantas untuk diberikan kepada kyai Hamid. Tanpa panjang lebar ia pun
merogoh sakunya dan mengambil uang sebesar sepuluh ribu, lalu dimasukkan ke dalam amplop dan
ditutupnya rapat-rapat. Dalam benaknya ia berfikir, kalau nanti banyak orang yang sowan
sementara yang diberikannya itu kurang “kan tidak tahu kalu itu dari saya.”
Selang beberapa saat, Sukir pun berangkat menemui sang kyai di Ponpes Salafiyah Pasuruan.
Setibanya di sana ia langsung bertemu dengan kyai Hamid, dan Sukir pun bersalaman sambil
menyelipkan amplop yang dibawanya ke tangan kyai Hamid.
“sepuluh ribu juga boleh,” kata kyai Hamid dengan nada datar.
Pengusaha itupun spontan merasa heran yang dibarengi dengan keluarnya keringat dingin dari
sekujur tubuhnya, ia merasa malu karena merasa tertebak isi amplop yang diberikannya kepada kyai
Hamid. (Jar)

Melarang Memakai Cincin Pun Dengan Halus

Dalam pemahaman kiai Hamid, kegiatan ajar-mengajar adalah kegiatan dakwah, bukan sekedar
transfer ilmu dari guru ke murid. Dengan demikian, mengajar adalah suatu kegiatan untuk
mengubah perilaku dari yang menyalahi syariat, menjadi sesuai dengan syariat.

Dalam dakwahnya, beliau kalau mengingatkan atau menasehati orang caranya harus sekali. Beliau
lebih mengutamakan harmoni, diusahakan hal itu tidak akan menimbulkan kejutan.
Seperti ketika ada tamu pria dari Kalimantan yang memakai cincin emas. Beliau tak suka melihat
hal ini karena pria dilarang (haram) memakai aksesori dari emas. Tapi beliau tak langsung
mengingatkan, hanya mengamati dengan seksama.
"Cincinnya bagus, saya ambil boleh?" Tanya beliau.
"Oh ya, silahkan," jawab si pemakai sambil melepaskan cincinya, dan menyerahkannya kepada
beliau.
"Sekarang cincin ini saya titipkan sampeyan untuk diberikan kepada istri sampeyan," kata beliau
sambil mengembalikan cincin tersebut. "Masukkan ke sapu sampeyan," ujar beliau lagi. Orang
tersebut menurut.
Tapi ketika keluar dari rumah beliau, cincin itu dipakainya lagi. Ketika bersua lagi di musholla,
beliau melihat cincin tesebut melingkar manis di jari orang tersebut. "Lho, kok dipakai lagi?" kata
beliau. "Lepas saja, masukkan ke saku, kasihkan pada istri sampeyan." Sebuah dakwah yang halus,
dan tidak merugikan. Coba kalau cincin itu langsung dibuang atau disita.

Menjadi Bapak Dari Masyarakat

Sebagai seorang pengasuh pondok, beliau bukan hanya menjadi bapak dari santri-santrinya. Tetapi
beliau juga menjadi bapak dari masyarakat. Seorang bapak yang merasa punya tanggung jawab
untuk melayani mereka di kala mereka sedih ataupun ditimpa masalah.

Kholil yang berusia hampir 70 tahun warga kebonsari, adalah pemilik warung kaki lima yang
menyediakan minuman dan makanan kecil. Warung ini bka tiap malam hari, sehabis isya' sam'pai
subuh, di pinggir jalan dekat langgar arghob (jalan jawa). Setiap malam, sambil membangunkan
orang pada pukul 3 dini hari, beliau selalu menyempatkan diri untuk mampir di warung tersebut.
Bukan untuk makan minum, melainkan bercengkrama dengan pemiliknya. Terkadang beliau juga
memberi saran-saran untuk perbaikan. Misalnya, beliau menyarankan kholil untuk agar mengganti
tiang warungnya yang terbuat dari bamboo. "Ini diganti besi saja biar tak mudah roboh," kata beliau
sambil memegang tiang tersebut. Kholil menuruti nasehat tersebut.
Betapa besar perhatian beliau pada individu. Besar pula perhaian beliau pada masyarakat. Cerita
berikut ini memperlihatkan orientsi beliau kepada umat. Pada 1975 ta'mir Masjid Jami' Al-Anwar
sepakat bahwa menara lama harus dirobohkan karena kondisinya mengkhawatirkan. Maka
diputuskan menara itu akan dibongkar dan diganti yang baru. Mengenai yang baru, rapat ta'mir
sepakat lokasinya agak ke barat, artinya menempel ke bangunan induk. Tapi ada satu peserta rapat
yang tidak sutuju yaitu gus Zaki saya ngotot agar ditaruh dekat jalan raya ujar gus zaki maksudnya
bagaimana kira-kira orang lewat itu yang dilihat pertama kali bukan tugu di alun-alun depan masjid
tapi menara pokoknya bagaimana menara itu bisa menonjol usul ini akhirnya disetujui peserta rapat
hasil rapat seperti biasa dilaporkan pada kyai hamid beliau nerkata begini ki penduduk itu
jumlahnya tambah lama tambah banyak kalau orang bertambah banyak ya butuh rumah yang besar
ya butuh jalan yang lebar lha kalau sekarang (menara) ditaruh di sana kalau kelak jalan dilebarkan
bagaimana?" mendengar jawaban itu kontan gus zaki merasa malu sekali betapa tidak saya yang
biasa lewat di jalan raya kok tidak pernah berpikir tentang kebutuhan masyarakat akan jalan kiai
Hamid yang tidak pernah lewat jalan raya (kalau ke masjid beliau lewat gang pen.) kok bisa mikir
sampai ke sana," kata gus zaki. (Abd)

Mana kulit pisangnya?

Salah satu bukti kekasyafan (ilmu waskita; weruh sakdurunge winarah) Kiai Hamid adalah satu
cerita dari Bapak H. Misykat.

Suatu hari Misykat diberi pisang oleh kiai Hamid. "ini makan , kulitnya kasihkan kambing,"
katanya. Padahal tak ada kambing, ta kulitnya dia buang.
Setelah Asar, dia dipanggil.
"Mana kulit pisangnya?" tanyanya.
"Saya buang, Yai."
"Lho, dusuruh kasihkan kambing, dibuang."
Ternyata tak lama kemudian ada orang mengantar kambing.
(Sumber: H. Misykat Kebonsari Pasuruan)

Mengajari Umat Untuk Membiasakan Sholat

Keheningan dan kedamaian di komplek Pondok Pesantren Salafiyah hari itu masih terasa dan begitu
menyentuh hati para santri yang ada di dalamnya. Tak terkecuali santri yang beranama Zuhdi asal
Kota Pasuruan. Zuhdi yang saat itu masih berstatus santri dan menjadi khodam dari KH. Abdul
Hamid, pada satu kesempatan didatangi tamu dari Banyuwangi, kota yang terletak di ujung timur
propinsi Jawa-Timur.
Tamu tersebut jauh-jauh datang ke Pasuruan hanya ingin bersilaturrahmi atau sowan kepada KH.
Abdul Hamid yang berada di Pon-Pes Salafiyah. Sebelumnya Zuhdi tidak menyangka bakal
kedatangan tamu, namun dengan kekaromahan yang dimilki romo Kyai Hamid (sapaan akrab yang
digunakan orang Pasuruan untuk memanggil beliau), Zuhdi ditimbali (dipanggil) sang kyai di pintu
gerbang timur pondok sebelum tamu tersebut datang. Perlahan zuhdi melangkahkan kaki untuk
menghampiri panggilan gurunya, tanpa ngomong panjang lebar, KH. Hamid berkata kepada Zuhdi:
“Di…..,maringene onok tamu soko Banyuwangi, tolong yo! omongno Aku ndak gelem nyalami
(Di….., sebentar lagi ada tamu dari Banyuwangi, tolong ya! Katakan saya tidak mau menyalami).
Setelah itu, kyai meninggalkan Zuhdi, dapat tiga langkah dari tempat Zuhdi, kyai bergumang: “lha
wong omae pinggir menara masjid, tapi ndak tau gelem jama’ah neng masjid” ( rumahnya di
pinggir menara masjid, tapi kok tidak pernah berjama’ah di masjid). Tanpa komentar si Zuhdi
hanya mengatakan “iya” dengan isyarat menganggukkan kepala. Setelah itu Kyai Hamid masuk ke
dalam dan Zuhdi pun meninggalkan tempat tersebut. Dalam benaknya, Zuhdi berkata. “Siapa ya,
kira-kira tamu yang dimaksud Kyai tadi, Ah … sebentar lagi aku pasti tahu siapa tamu yang
dimaksud”.
Semilirnya angin ketika itu terus berlalu-lalang dan senantiasa menyapa tubuh Zuhdi dengan
kedamaian. Selang beberapa saat, ternyata apa yang dikatakan kyai sungguhan. Zuhdi kedatangan
seseorang. Dalam ingatan Zuhdi. “Ah… mungkin ini tamu yang dimaksud Romo Kyai (KH. Abdul
Hamid).” Setelah itu tamu tersebut langsung mendatangi Zuhdi dan menanyakan apakah KH. Abdul
Hamid ada dan bisakah ia menemuinya? dengan ramah Zuhdi menjawabnya: maaf mas! KH. Abdul
Hamid memang ada, namun beliau tidak bisa menemui dan bersalaman dengan anda Dengan
langkah gontai si tamu-pun pergi tanpa menanyakan mengapa KH. Abdul Hamid tidak bisa
menemuinya? Zuhdi pun ingat pesan gurunya, supaya mengantar tamu sampai ke gang menuju
jalan raya. Nah di tengah-tengah perjalanan inilah si Zuhdi mencoba menghibur si tamu atas rasa
kekecewaannya karena tidak bisa bertemu KH. Abdul Hamid. Dengan sikap sok akrap, Zuhdi
menanyakan di mana rumah tamu tersebut? Tamu itupun menjawab: saya dari kota Banyuwangi
mas! Spontan si Zuhdi heran, karena asal kota pria tersebut sesuai dengan apa yang di katakan Kyai
kepadanya. Sembari demikian si Zuhdi-pun kembali menanyakan apakah rumah sampean dekat
menara masjid? Orang tersebut kembali menjawab: iya mas !, lalu Zuhdi bertanya kembali, apakah
sampean sering jama’ah di sana? Tamu itu menjawab: rumah saya memang berdekatan dengan
masjid, tapi saya tidak pernah jama’ah di sana. Kembali si Zuhdi menimpali pernyataan dari tamu
tersebut dengan mengatakan: “lha … ! itu sebabnya mas, mengapa kyai tidak kerso dan tidak mau
menemui sampean !!.” dengan perasan malu dan menyesal, tamu tadi undur diri kepada Zuhdi
untuk pulang.
Selang beberapa hari, lelaki yang berasal dari Banyuwangi tersebut kembali lagi dengan menata
niatnya berangkat ke kota santri yakni Pasuruan untuk menemui KH. Abdul Hamid. Ia optimis
kedatangnnya kali ini pasti akan di terima oleh kyai yang di masa kecilnya bernama Abdul Mu’thi.
Ia mempunyai keyakinan seperti itu karena dia berfikir kedatangannya dahulu ke Pon-Pes Salafiyah
untuk silaturrahmi ke KH. Abdul Hamid ditolak/tidak ditemui lantaran ia tidak pernah shalat di
rumah Allah (Masjid) didekat rumahnya, alias tidak pernah jama’ah di sana. Maka dari itu, Kyai
enggan untuk menemuinya, dari peristiwa itulah, seseorang tersebut sadar atau insyaf akan
tindakannya yang kurang pantas dan kini ia pun telah membalik atau merubah keadaan drinya
dengan rajin berjama’ah di masjid. Nah… dengan perubahan seperti itulah KH. Abdul Hamid pasti
mau menerimanya dan alhamdulillah, ternyata omongan dan firasatnya mujarab, ia datang ke KH.
Abdul Hamid dan ternyata beliau pun mau menemuinya sebagai tamu.
Sumber: Ustadz Khodlori- Pasuruan)

Disembuhkan Dengan Cara yang Aneh

Suatu ketika Gus Zaki (KH. Zaki Ubaid) diserang sakit maag yang parah. Serasa tidaka kuat, dia
sampai menggelepar-gelepar. Semua anggota keluarga pada datang, mendoakan. Kiai Aqib, Nyai
Nafisah Hamid, Nyai Maryam Ahmad Sahal. Semua sudah membesuk, kecuali Kiai Hamid. Dr.
Han pun sudah dipanggil. Karena sakitnya masih tak ketulungan, Gus Zaki menyuruh orang untuk
memanggil Dr. Han lagi. "Buat apa? Suntik sudah, obat sudah, sekarang sabar saja," kata dr. Han.
Dia tak mau datang. Lalu Gus Zaki minta Kiai Hamid di-aturi datang, diundang. Ternyata beliau tak
ada di rumah.
Sekitar pukul 23.30, Maimunah, istrinya yang setia menunggui, pergi ke dapur untuk menjerang air.
Sebab, air yang di botol sudah dingin. (Oh ya, untuk mengurangi rasa sakit, botol yang berisi air
hangat ditempelkan di perut.)
Ketika ditinggal sendirian itulah, Gus Zaki dikejutkan oleh kehadiran Kiai Hamid yang begitu tiba-
tiba di dalam kamar. Entah dari mana masuknya. Setelah mengubah posisi kursi dan bantal, beliau
memperlihatkan telapak tangannya, Gus Zaki melihat di telapak tangannya itu seperti ada kabel-
kabel. "Ini biar saya ganti saja, ya, sudah lapuk," katanya. Entah apa maksudnya. Lantas telapak
tangan kanan itu ditempelkan di perut si pasien. Tiba-tiba dia merasakan perutnya enakan, hingga
hilang rasa sakitnya. Dia disuruh duduk, eh, tak apa-apa. Padahal sebelumnya, jangankan duduk,
bergerak sedikitpun sudah sakit.
"Keburu ada orang. Ini biarkan saja, Ki, nanti nyambung sendiri," kata beliau sambil menunjuk ke
perut Gus Zaki, sebelum bergegas pergi. Setelah ditinggal pergi, barulah Gus Zaki merasakan
kejanggalan. Dari mana masuknya? pikir dia. Apa betul itu Kyai Hamid? "Kalau betul Kyai Hamid,
kok nggak ngasih uang?". Sebab, biasanya Kyai Hamid tidak pernah absent memberi uang.
Sejurus kemudian, Neng Muna masuk kamar. Dia kaget melihat suaminya sudah duduk. "Sampean
ini bagaimana, kok duduk?!" tegurnya. Dia lebih sewot lagi melihat posisi kursi dan bantal yang
sudah tak karuan. Kalau jatuh bagaimana? Pikirnya. "ini siapa yang mindah?" tanyanya. Gus Zaki
yang masih terlongong-longong tak menggubris kata-kata istrinya. "Coba kamu lihat pintu depan
dan belakang." Katanya dengan penuh tanda Tanya. Neng Muna menurut. "Semua terkunci!
Memangnya ada apa?" tanyanya begitu kembali. "Barusan ada Kyai Hamid" jawab Gus Zaki
sembari menceritakan semua yang dialaminya.
Esoknya, habis shalat subuh Kyai Hamid datang "Bagaimana keadaanmu?" Tanya beliau.
"Alhamdulillah, sudah baik. Ya tadi malam ….". Sampai di situ kata-katanya dipotong "sudah-
sudah" kata beliau sembari meletakkan telunjuk tangannya di mulut. Beliau kemudian memberi Gus
Zaki uang Rp 500.- lantas pergi lagi.
(Sumber: KH. Zaki Ubaid)

Dibenak Ingin diberi Makan,


Kiai Hamid pun Menyediakan

Kiai Hamid adalah orang yang kasyaf (ilmu Waskita; weruh sak durunge winarah). Salah satunya
adalah cerita Sa'id Amdad dari Pasuruan yang dulunya tidak percaya pada wali. Dia orang rasional.
Mendengar kewalian Kiai Hamid yang tersohor di mana-mana, dia jadi penasaran. Suatu kali ia
mengetes. "Saya ingin diberi makan Kiai Hamid". Coba, dia tahu apa tidak," katanya dalam hati,
ketika plang dari Surabya. Setiba dari Surabaya, dia langsung ke pondok Salafiyah.
Waktu itu pas mau jam'ah shalat Isya'. Usai shalat Isya', dia tak langsung keluar, membaac wirid
dulu. Sekitar pukul setengah sembilan, jamaah sudah pulang semua. Lampu teras Kiai Hamidpu
sudah dipadamkan. Dia melangkahkan kaki keluar. Dia melihat ada yang melambai dari rumah Kiai
Hamid. Diapun menghampirinya. Ternyata yang melambai adalah tuan rumah alias Kiai Hamid.
"makan di sini ya," kata beliau.
Di ruang tengah, hidangan sudah ditata. "maaf ya, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang
dulu sih," kata kia Hamid dengan ramahnya. Said merasa disindir. Sejak itu dia percaya, kiai Hamid
itu wali.
(Sumber: Ali At-Tamimi Gentong Pasuruan)

Terkenal sebagai Waliyullah; Falsafahnya Pohon Kelapa

Orang mengenal Kiai Hamid karena beliau dikenal sebagai seorang wali. Dan orang mengatakan wali -
biasanya - hanya karena keanehan seseorang. Tidak banyak yang tahu tentang sejatinya beliau. Nah ! Dalam
rangka memperingati haulnya pada bulan Mei ini kami turunkan sekelumit tentang beliau.

Seperti halnya orang mengenal Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani sebagai sultanul auliya', tidak banyak yang
tahu bahwa sebetulnya Syekh Abdul Qodir adalah menguasai 12 disiplin ilmu. Beliau mengajar ilmu qiraah,
tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ushul fiqh, fiqh dll. Beliau sendiri berfatwa menurut madzhab Syafi'I dan
Hanbali. Juga Sahabat Umar bin Khattab, orang hanya mengenal sebagai Khalifah kedua dan Panglima
perang. Padahal beliau juga wali besar. Beliau pernah mengomando pasukan muslimin yang berada di luar
negeri cukup dari mimbar Masjid di Madinah dan pernah menyurati dan mengancam sungai Nil di Mesir
yang banyak tingkah minta tumbal manusia, hingga nurut sampai sekarang.

Kiai Abdul Hamid yang punya nama kecil Abdul Mu'thi lahir di Lasem Rambang Jawa Tengah tahun 1333
H bertepatan dengan tahun 1914 M. dari pasangan Kiai Abdullah bin Umar dengan Raihanah binti Kiai
Shiddiq. Beliau yang biasa dipanggil Mbah Hamid ini adalah putra keempat dari 12 saudara.

Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil
dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi Bedudul. Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak
usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para
penjajah. Pernah suatu saat dia ajengkel melihat lagak orang China yang sombong, kemudian orang China
tersebut ditempeleng sampai klenger. Karena dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya
dipondokkan ke Termas Pacitan. Sewaktu dia belajar di Termas sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai
Shiddiq di Jember dan kadang-kadang bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan.
Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat disana.

Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan
sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren
untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa
yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya
dia bisa keluar masuk.

Tawadlu' dan Dermawan.


Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski
sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu' (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat
pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap
dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis.
Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi
marah. "Angel dukane, gampang nyepurane", kata Durrah, menantunya.

Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri
pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di
rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar
mampir lagi kalau ada waktu.

Sikap tawadlu' sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-
Hikam; "Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)". Artinya janganlah menonjolakan
diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau
memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu
beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.

Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan
orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau
kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan. Kalau tangannya
kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk
uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota
keluarga.

Orang Alim

Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak
demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi
keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah
terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl
beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi'iran.

Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya
beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai
dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala' dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya'.

Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang
sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya
merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. "Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi
kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil" katanya menasehati sang guru. "Sudah
menjadi sunnatullah," katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada
yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa.
Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.

Ijazah-ijazah

Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah
diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau
adalah:

1. Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan
keajaiban-keajaiban yang terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat
Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya' 10 kali.
2. Membaca Hasbunallah wa ni'mal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.
3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan
Munjiyat.
4. Membaca kitab Dala'ilul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat.
Gus Miek Bertemu KH. Hamid, Pasuruan

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan
pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek talah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu
pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek
kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan
shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenak kelebihan dan
kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH.
Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek
dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel tergangu
oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang
cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad
Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu
melanjudkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq
kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah
di makam Sunan Ampel.

Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad
Siddiq.“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur
keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu
tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid. KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh
keraguan.Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal,
dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.Setelah mendengar
jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui
KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.

Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan
kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.Pada kasus lain diceritakan, KH.
Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena
kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal
itu.Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku.
Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka
kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.

Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai
memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang
dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH.
Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.

Tiba-tiba di pekarangn rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan.
Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada
seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”Amar
mengangguk.“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki
itu yagn ternyata adalah KH. Hamid.

KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena
penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun
silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek
dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid.
Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH.
Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.Gus Miek
terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa
pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak
punya tata karma!”Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus
Miek.Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek
masih dalam keadaan emosi.Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang
paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah
Kiai Hamid.Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk
mencari Habib Ahmad as-Syakaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hamper
seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi
belum ditemukan yang bermarga as Syakat. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang
jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan.

Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH.
Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian
menyodorkan kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat
dulu,” kata KH. Hamid .Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan
sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu
mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui
KH. Hamid.Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan
didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil
sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya.

KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya
kembali.Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak
tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH.
Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam
dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.

Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-syakaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid.
Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-syakaf, orangnya
tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syakaf.Mau minta doa
shalawat,” jawab Gus Miek.Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib
Muhamad as-Syakaf.Habib Muhamad as-Syakaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan
shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syakaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada
umumnya.

Usai shalat, Habib Muhamad as-Syakaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir
kecil. Habib Muhamad as-Syakaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus
Miek dn sisuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Syakaf
kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga
kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian
banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian
banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa.

Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Syakaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia
mengamininya.Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian
KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah
sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara
“Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek,
tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.
Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut
Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk
mengunjungi orang-orang saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke
KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang
memhami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang
masih berada di pelataran rumahnya).Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid. Ploso, jawab Maskur. Gus Miek itu siapa,
sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah
kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid .Maskur
kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia
balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul.Pembicaraan KH. Hamid
dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek,
ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta
maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup.KH. Hamid kemudian membukakan jendela. Lihat, itu
siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat
di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga.Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH.
Hamid.Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.( Habib
Ghundul Bhotaklongor )

ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT ALA SAYYIDY‫بـصيغ‬


‫س ِّي ِّدنَا السادات سيد على الصلوات‬ َّ ‫ح‬
َ ٍ‫مد‬ َ ‫ُم‬

Nabi SAW:ٍ‫ي صَلَّى مَن‬ ٍَّ َ‫ل لَمٍ كِّتَابٍ فِّي َعل‬ ٍُ ‫ك‬
ٍِّ ‫ة تَ َز‬ َ ِّ‫ه تَسنَغ ِّف ٍُر الم َََلئ‬ ٍُ َ‫م مَا ل‬ ٍَ ‫مي دَا‬ ِّ ‫ك فِّي اس‬ ٍَ ِّ‫( الكِّتَابٍِّ َذل‬Barang
siapa menulis sholawat kpdku dlm sebtah buku, maka para malaikat selalu memohonkan ampun kpd Alloh
pd org itu selama namaku masih tertulis dlm buku itu). ‫ات‬ ِّ ‫ات اَل َّت‬
ٍُ َّ‫حي‬ ٍُ ‫مبَار ََك‬ ٍُ ‫صلَو‬
ُ ‫َات ال‬ ٍُ ‫لِل الط َّ ِّيب‬
َّ ‫َات ال‬ ٍِّ ٰ ِّ ‫م‬ َّ َ‫ك ا‬
ٍُ َ ‫لسَل‬ ٍَ ٍ‫َعلَي‬
ُّ َ ُ
‫َة ال َّن ِّبيٍُ أيهَا‬ ٍِّ ‫ه‬
ٍ ‫للا َورَحم‬ َ ٍُ َ ‫لسَل‬
ٍُ ُ‫م َوبَرَكات‬ َ َ َ
َّ ‫عبَا ٍِّد َو َعلى َعلينَا ا‬ ِّ ‫للا‬ٍِّ ٍَ‫حين‬ ِّ ِّ‫صال‬ َّ ‫ال‬
Manaqib Romo Kyai Haji Hamid bin Abdullah Bin Umar Ba Syaiban
Pasuruan

Kyai Hamid bin Abdullah Umar


==============================
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa
Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah
kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga
remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.

Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi
“Bedudul” karena kenakalannya.

Mu'thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH.
Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang:
yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu'thi adalah kenakalan bocah
yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-
hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut
bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain,
ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH.
Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.

Kiai Hamid Pasuruan: Kini Sulit Dicari Padanannya

Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa
Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah
kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga
remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.

Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi
“Bedudul” karena kenakalannya.

Mu'thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH.
Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang:
yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu'thi adalah kenakalan bocah
yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-
hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut
bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain,
ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH.
Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.

Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian).
Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi
jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.

Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang
besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan
Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.

Dipondokkan

Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan,
Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau
satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini
cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali
Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH.
Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.

Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat
gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi
thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai
taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.

Tidak Suka Dipuja

Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad
Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.

Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya
mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda
tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek
tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.

Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M,
bertepatan dengan 9 Sya'ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-
Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah
berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk
pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di
Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.

Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari,
setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke
makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad
nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.

Prihatin

Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad
pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya
harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru
mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda,
berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.

Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang
sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih
dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal
putus asa, terus berusaha dan berusaha.

Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di
tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri -- dua orang -- yang ditempatkan di sebuah gubuk di
halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso,
Ranggeh dan lain-lain.

Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau
dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir.
Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek
sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.

Fenomenal

Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada
santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.

Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa
rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak
dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang
baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak
bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh
perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui
sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin
banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi
guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai
diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian
meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf -- meminjam istilah Gus Mus -- “muttafaq ‘alaih”
(disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian
seseorang).

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika
beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai
setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid
mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.

Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan
dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap
berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya.
Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.

Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat
“orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri)
di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.

Hormat

Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang
berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau
memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa
disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada
ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti
Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.

Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang
santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid
Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau
sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu
lebih muda usia.

Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh
berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat
ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik
di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap
tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”

Sabar

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu
tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil
meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi
beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.

Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh.
Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu
hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan
sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.

Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam
ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan),
berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau.
Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang
tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan
baru di pondok.

Penyakit Hati

Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil
membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga
penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang
untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur,
beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada
rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka.
Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah
rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.

Bergunjing

Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan
pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para
kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai
saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini.
Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma'shum
berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”

Manusia Biasa

Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi
juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk
melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana
dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada
yang mengkultuskan beliau).

Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu
9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi
msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis
memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari
sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut,
beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.

Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu
orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-
alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak
serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu
Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah
dosanya dan rahmatilah dia.

Hamid Ahmad (dari buku “Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan”)


sumber:http://salafiyah.org/beranda/42-tokoh/129-kyai-hamid-bin-abdullah-umar.html

Kemakrifatan Kyai Abdul Hamid Pasuruan (Keteladanan Kyai Hamid)

Kemakrifatan Kyai Abdul Hamid Pasuruan


Keteladanan Kyai Hamid
===========================
‫الولىٍ اال الولىٍ يعرف ال‬
“Tidak ada yang bisa mengetahui seorang Wali, kecuali (orang) tersebut juga seorang Wali.” Begitulah
Maqolah (perkataan) yang menerangkan tentang Wali.

Kita sering mendengar kataWali, lalu apakah Wali itu? Kata "Wali" dalam Bahasa Arab berarti yang
menolong, yang dicintai, yang dilindungi. Dan dalam dunia sufi kata Wali tersebut diartikan orang yang
suci, yang mempunyai akidah yang benar dan yang selalu menjalankan Amal Saleh serta selalu mengikuti
Sunnah Rasulallah SAW. Dalam kitab Sirajul Tholibin dijelaskan:
‫ولي جمع واالولياء‬:‫والمعرض المعاصي المجتنب الطعات على المواظب حسبمايمكن وصفات باهلل وهوالعارف‬
‫والتشهوات االلذات في االنهماك عن‬

"Auliya' itu adalah kata Jama' dari Wali, Wali adalah orang yang betul-betul mengenal Allah SWT, selalu
tetap taat kepada Allah, menjauhi semua larangan dan berpaling dari keasyikan Ladzat (Duniawi) dan
Syahwat (nafsu duniawi)."

Tidak semua Wali itu berasal dari seorang “Kyai”. Tapi kebanyakan seorang kyai yang semakin berisi
(Ilmu-nya) dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta selalu meningkatkan Akhlaqnya,
suatu saat pasti akan diangkat menjadi kekasih-Nya. Sebut saja K.H. Mukhsin, yang sebelum menjadi
seorang pengasuh sebuah PonPes yang Santrinya ratusan, bahkan sampai ribuan, adalah seorang Sopir
pribadi seorang Juragan di tempatnya bekerja. Berikut sepercik kisahnya.

K.H. Mukhsin saat ini adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Maqbul yang terletak di daerah Bululawang,
Kabupaten Malang. Namun sebelum ke-Waliannya “mengudara”, beliau adalah seorang Sopir salah satu
juragan di daerah Bululawang. Waktu itu tidak ada yang tahu bahwasannya beliau adalah salah satu “orang-
orang pilihan”.

Suatu hari sang majikan minta diantar ke Pasuruan, ke kediaman salah satu kyai yang terkenal akan tingkah
lakunya (Akhlaq) nya. Dengan berpakaian ala Sopir pada umumnya, dia pun melaju dengan kecepatan yang
sedang, sambil meliuk-liuk di jalanan yang tidak begitu padat. Setelah menempuk pejalanan kurang lebih
satu jam, akhirnya mobil yang di kendarai sang Sopir saleh tiba dihalaman Pesantren yang diasuh oleh Kyai
Hamid bin Abdullah bin Umar.

Setelah memarkir mobil, sang Sopir melihat sepertinya di “tolak” oleh Kyai berkelahiran Lasemm Jawa
Tengah itu. Namun tak lama kemudian sang majikan menghampiri Sopir kesayangannya tersebut. “Kyai
Hamid tidak mau menerima kedatanganku, kalau kamu tidak ikut masuk” sang majikan berkata kepada
Sopir yang sedang menunggunya di dalam Mobil. Sang Sopir keheranan, “kenapa kyai itu tidak mau
menerima majikanku, kalau aku tidak ikut ke dalam?” penasarannya dalam hati.

Setelah sang Sopir masuk ke Ndalem Kyai Hamid bersama majikannya, kyai Hamid menyambutnya dengan
hangat. Di tengah perbincangan, kyai Hamid bertanya kepada sang Sopir amalan-amalan apa yang di
jalaninya selama ini. Dia menjawab, bahwa amalan-amalan yang dijalaninya selama ini adalah amalan yang
umumnya dijalankan para Masyarakat, yang sama sepertinya.

“Tadi kenapa Kyai (sapaan Kyai Hamid) menolak kedatangan saya, ketika saya masuk sendirian ke
kediaman anda? Dan anda bilang tidak akan menerima kedatangan saya apabila tidak mengajaknya (Sopir)
juga?” tanya sang majikan, karena masih terselinap rasa penasaran yang amat di hatinya tentang kelebihan
sang Sopir pribadinya tersebut.

“Arek iki bakale dadi wali, lan duwe pondok seng gede. Aku mero tanda-tandane. Makane iku aku nolak
koen polae waline gak di ajak melbu” (Anak (karena sang sope lebih muda dari Kyai Hamid ini bakal
menjadi seorang walik, dan juga akan mempunyai Pesantren yang besar. Maka dari itu aku menolak kamu
Karena “Wali”nya (sopir) tidak kamu ajak masuk. kyai Hamid memaparkan alasannnya mengenai
penolakan sang tamu, dengan sedikit guyonan. Sang sopir pun tersenyum dan sedikit menundukkan
kepalanya karena malu mendengar alasan Kyai Hamid tentang dirinya. Padahal dia sendiri tidak mengetahui
akan hal itu. Dan sang majikan kaget bukan kepalang mendengar pernyataan kyai Hamid tentang sopir
pribadinya tersebut.

Mulai saat itu pun ke-walian K.H. Mukhsin mulai terdengar penjuru kota. satu persatu para orang tua
mengirim anaknya kepada beliau untuk belajar. Semula hanya lima murid dan bertempat di Mushollah dekat
rumah majikannya. Karena lambat laun santri beliau tambah banyak, yang datang bukan hanya dari dalam
kotam dari luar kota pun banyak yang datang mengirimkan anak-anaknya untuk belajar kepada beliau.

Lalu berdirilah Pesantren tersebut. Setahun kemudian santrinya mencapai 100. dan lambat laun terus
bertambah jumlahnya. Lalu beliau semakin memperbesar Pesantren tersebut. Dan hingga kini jumlah santri
yang me-nyantri di pesantren kurang lebih sepuluh ribuan anak. Subhanalah itu bukan bilangan yang sedikit.
Semoga semua santri yang belajar di PonPes Al-Maqbul selalu dalam kasih sayang Allah SAW.
Bermula dari seorang sopir yang senantiasa takut kepada-Nya di manapun. Tidak pernah meninggalkan
sholat lima waktu. Dan sunnah-sunnah Rasul SAW yang lain. Semoga kita senantiasa bisa meniru amal
ibadah beliau. Amin . . . (H-di)

Sumber : Wali santri Salafiyah


sumber:http://salafiyah.org/beranda/51-kyai-hamid/402-kemakrifatan-kyai-abdul-hamid-pasuruan.html
Salam dari malaikat Jibril (Kisah karomah Kyai Hamid Pasuruan)
Published on February 16, 2010 in Tariqah, Artikel Islam, Manaqib, Makrifat, Fiqih and Renungan.

Di dunia ini tidak sedikit orang yang beranggapan alam gaib itu tidaklah ada. Meski demikian, ada pula
orang yang percaya, akan tetapi kepercayaan mereka cuma sekedar tahu saja, tidak ada pemantapan hingga
seratus persen. Lain halnya dengan orang Islam yang memang benar-benar yakin dengan rukun iman yang
nomor enam, yakni percaya kepada qodo’ dan qodar atau ketetapan-ketetapan Allah, baik yang buruk
maupun yang baik. Memang sangat sulit sekali meyakini barang yang tidak ada wujudnya, tetapi kita
sebagai umat Islam wajib hukumnya percaya seratus persen dengan adanya alam ghaib itu ada.

Dalam al-Qur’an dijelaskan:

“‫"”لل اال الغائب يعلم ال‬


Yang artinya: “Tidak ada yang mengetahui barang gaib kecuali Allah SWT”

Meskipun demikian, anda jangan terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Memang dalam ayat tersebut
al-qur’an menjelaskan sedemikian rupa, akan tetapi para ulama ahli tafsir sepakat bahwa, ada orang-orang
tertentu (kekasih Allah) di dunia ini yang memang di izini atau diberi tahu oleh Allah SWT dalam masalah
kegaiban tersebut. Contohnya adalah cerita kiai Hamid.

Alkisah, dahulu ada santri yang bernama Ihsan, Ia adalah salah satu khadam (pembantu kiai) yang paling
dekat dengan kiai Hamid. Bahkan setiap malam, Ihsan di suruh tidur di ruang tamu kiai Hamid.

Selain terkenal akan tawadhu’ dan kewaliannya. Kiai kelahiran kota Lasem tersebut juga terkenal akan
keistiqomahan dalam ibadahnya. Setiap malam beliau tidak pernah meninggalkan qiyamu al-lail (shalat
Tahajjud). Pada suatu malam tepatnya pukul 00.00 Istiwa’, setelah melakukan shalat Tahajjud kiai Hamid
membangunkan Ihsan. “Ihsan…Ihsan… tangio nak!” ( Ihsan…Ihsan… bangunlah nak! ) begitulah cara
halus kiai Hamid ketika membangunkan santrinya. Ihsan pun bangun, sambil mengucek-ucek matanya Ia
berkata “Wonten nopo kiai?” (Ada apa kiai?) tanya Ihsan. “Awak mu sa’iki sembayango teros lek mari
moco al-Fatihah ping 100, maringono lek wes mari awakmu metuo nang ngarepe gang pondok, delo’en
onok opo nang kono.” (Sekarang kamu shalat, lalu sesudahnya kamu baca surat al-Fatihah sampai 100 kali,
kalau sudah selesai kamu keluarlah ke gang pondok, lihatlah ada apa di sana.) Perintah kiai Hamid. “inggeh
kiai” jawab singkat sang santri. Ia pun langsung pergi ke kamar mandi untuk berwudlu’.

Singkat cerita setelah Ihsan membaca surat al-Fatihah, ia lalu keluar dari gang pondok tepatnya di jalan
Jawa, atau yang sekarang namanya berubah menjadi Jl. KH. Abdul Hamid. Pada waktu Ihsan keluar dari
pondok, jarum jam kala itu menunjukkan tepat pukul 01.00 dini hari.

Nyanyian jangkrik senantiasa mengiri langkah kaki Ihsan. terangnya sinar rembulan menjadi penerang
jalannya. Sesampainya di Jalan Jawa, Ihsan melihat ada mobil dari arah barat. Lalu mobil tersebut berhenti
tepat di depannya. Kaca mobil tersebut terbuka, “Ihsan lapo bengi-bengi nang kene?” (Ihsan mau apa
malam-malam kok di sini) begitulah suara yang keluar dari dalam mobil tersebut. Karena lampu dalam
mobil tidak dihidupkan, Ihsan pun tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang berbicara dengannya. Ihsan
pun masih tercengang dan kebingungan suara siapakah itu. Akhirnya pintu mobil itu pun terbuka dan yang
keluar adalah Ibu Nyai Hj. Nafisah Ahmad, istri hiai Hamid. Ternyata yang ada di dalam mobil tersebut
adalah rombongan Ibu Nyai Hj. Nafisah yang datang dari Jakarta. Ihsan masih belum menjawab pertanyaan
yang tadi.

“Yo wes ketepaan lek ngono tolong gowokno barang-barange sing nang njero montor, mesisan ambek
barange bojone Man Aqib.” (Ya sudah kebetulan, kalau begitu tolong bawakan barang-barang yang ada di
dalam mobil, sekalian dengan barangnya istrinya Paman Aqib) perintah Ibu Nyai Nafisah. Tanpa pikir
panjang Ihsan pun langsung menurunkan semua barang yang ada di dalam mobil.

Setelah semua barang sudah di bawa ke pondok, Ihsan lalu masuk ke dalam ndalem kiai Hamid.
Tak lama kemudian kiai Hamid datang kepada Ihsan. “yok opo San? pas yo! Iku mau pas aku
sembayang, malaikat Jibril teko nang aku nyampekno salam teko Allah. Ambek ngandani lek
bojoku teko jam siji bengi. San, bener nang al-Qur’an dijelasno, lek gak ono sopo wae sing weroh ambek
barang ghoib, yo contone koyok kejadian iku mau iku termasuk ghoib. Cuman Allah SWT iku ngidzini utowo
ngewenehi weroh barang sing goib marang uwong sing dicintai ambek gusti Allah.” (Bagaimana San? Pas
kan! Itu tadi waktu aku shalat, malaikat Jibril datang menyampaikan salam dari Allah, dan memberi tahu
kalau istriku akan datang jam satu malam. San, benar di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwasannya tidak ada
siapa pun yang mengetahui tentang masalah gaib. Ya, contohnya kejadian tadi itu termasuk gaib. Cuma
Allah SWT itu memberi idzin atau memberi tahu barang gaib kepada hamba yang dicintainya) jelas kiai
Hamid. Setelah menjelaskan kejadian tersebut, kiai Hamid langsung masuk ke dalam. Sedangkan Ihsan
masih tercengang dan merasa kagum kepada kiai Hamid.

Tidaklah ada kalimat yang pantas ketika kita melihat atau mendengar kejadian yang menakjubkan dari Allah
SWT, malainkan kata “Subhanalloh…!” (zEn)
Sumber: KH. Ihsan Ponco Kusumo-Malang

Terkuaknya ke-wali-an Kyai Hamid Pasuruan dan Kisah salam Kyai


Hamid kepada ‘wali gila’ di pasar kendal
17:26 Achmad Fahrizal Zulfani Al Hanif No comments

Suatu ketika seorang habaib dari Kota Malang, ketika masih muda, yaitu Habib Baqir Mauladdawilah
(sekarang beliau masih hidup), di ijazahi sebuah doa oleh Al Ustadzul Imam Al Habr Al Quthb Al Habib
Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih (Pendiri Pesantren Darul Hadist Malang).

Habib Abdulqadir Blf berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui
seseorang agar tahu sejatinya orang tersebut siapa,orang atau bukan.

Suatu saat Datanglah Habib Baqir menemui seorang Wali min Auliya illah di daerah Pasuruan, Jawa Timur,
yang masyhur dengan nama Mbah Hamid Pasuruan.

Ketika itu di tempat Mbah Hamid banyak sekali orang yang soan kepada baliau, meminta doa atau
keperluan yang lain,

Setelah membaca doa tersebut kaget Habib Baqir, ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid
sejatinya bukan Mbah Hamid, Beliau mengatakan, “Ini bukan Mbah Hamid, khodam ini, Mbah Hamid tidak
ada disini” kemudian Habib Baqir mencari dimanakah sebetulnya Mbah Hamid,

Setelah bertemu dengan Mbah Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau, “Kyai, Kyai jangan
begitu, jawab Mbah Hamid: “ada apa Bib..??” kembali Habib Baqir melanjutkan, “kasihan orang-orang
yang meminta doa, itu doa bukan dari panjenengan, yang mendoakan itu khodam, Panjenengan di mana
waktu itu?” Mbah Hamid tidak menjawab, hanya diam.

Namun Mbah Hamid pernah menceritakan masalah ini kepada Seorang Habib sepuh (maaf, nama habib ini
dirahasiakan),

Habib sepuh tersebut juga pernah bertanya kepada beliau,

“Kyai Hamid, waktu banyak orang-orang meminta doa kepada njenengan, yang memberikan doa bukan
njenengan, njenengan di mana? Kok tidak ada..?” jawab Mbah Hamid, “hehehee.. kesana sebentar”
Habib sepuh tsb semakin penasaran, “Kesana ke mana Kyai??”

Jawab Mbah Hamid, “Kalau njenengan pengen tahu, datanglah ke sini lagi”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Singkat cerita, habib sepuh tsb kembali menemui Mbah Hamid, ingin tahu di mana
“tempat persembunyian” beliau,
setelah bertemu, bertanyalah Habib sepuh tadi, “Di mana Kyai..?”
Mbah Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tadi, seketika itu, kagetlah Habib
sepuh, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah, “di mana
ini Kyai..?” Tanya Habib Sepuh, “Monggoh njenengan pirsoni piyambek niki teng pundi..?” jawab Mbah
Hamid. Subhanalloh..!!!

Ternyata Habib Sepuh tadi di bawa oleh Mbah Hamid mendatangi Masjidil Harom.

Habib sepuh kembali bertanya kepada Kyai Hamid, “Kenapa njenengan memakai doa??” Mbah Hamid
kemudian menceritakan,

“Saya sudah terlanjur terkenal, saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian
dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi, bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai
datang kepadaku,
Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukanlah khodam dari jin,
melainkan Malakul Ardli, Malaikat yang ada di bumi, berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan
malaikatnya, dengan rupaku”.

Habib sepuh yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai meninggalnya merahasiakan apa
yang pernah dialaminya bersama Mbah Hamid, hanya sedikit yang di ceritakan kepada keluarganya.

—————————————————————

Lain waktu, ada tamu dari Kendal soan kepada Mbah Hamid, singkat cerita, Mbah Hamid menitipkan salam
untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di Pasar Kendal, menitipkan salam untuk seorang yang
dianggap gila oleh masyarakat Kendal.

Fulan bin fulan kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang
gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya,

Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk orang yang di anggap gila oleh
dirinya,

Tamu tsb bertanya, “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai..??” kemudian Mbah Hamid
menjawab, “Beliau adalah Wali Besar yang njaga Kendal, Rohmat Allah turun, Bencana di tangkis, itu
berkat beliau, sampaikan salamku”

Kemudian setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirinyalah “orang gila”
yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal,

“Assalamu’alaikum…” sapa si tamu,

Wali tsb memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah
seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar,

“Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!”

Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri,

berkatalah ia, “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum……”
Tak beberapa lama, wali tersebut berkata,

“Wa’alaikum salam” dan berteriak dengan nada keras,

“Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah
dibocor-bocorkan”

“Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku
hidup di dunia”

Kemudian wali tsb membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap, “LAA ILAAHA ILLALLOH…
MUHAMMADUR ROSULULLOH”
Seketika itu langsung meninggallah sang Wali di hadapan orang yang di utus Mbah Hamid agar
menyampaikan salam, hanya si tamulah yang meyakini bahwa orang yang di cap sebagai orang gila oleh
masyarakat Kendal itu adalah Wali Besar, tak satupun masyarakat yang meyakini bahwa orang yang
meninggal di pasar adl seorang Wali,

Malah si tamu juga dicap sebagai orang gila karena meyakini si fulan bin fulan sebagai Wali.

Subhanalloh.. begitulah para Wali-Walinya Allah,

saking inginnya ber-asyik-asyikan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak
ingin ibadahnya di ganggu oleh orang-orang ahli dunia,

Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing, oleh karena itu janganlah kita su’udzon
terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang “bersembunyi”.

Cerita Mbah Hamid yang saya coba tulis hanyalah sedikit dari kisah perjalanan Beliau, semoga kita,
keluarga kita, tetangga kita dan orang-orang yang kita kenal senantiasa mendapat keberkahan sebab rasa
cinta kita kepada wali-walinya Allah,

Jadi ingat nasihat Maha Guru kami, Al Quthb Habib Abdulqadir bin ahmad Bilfaqih,

“Jadikanlah dirimu mendapat tempat di hati seorang Auliya”

Semoga nama kita tertanam di hati para kekasih Allah, sehingga kita selalu mendapat nadhroh dari guru-
guru kita, dibimbing ruh kita sampai terakhir kita menghirup udara dunia ini, Amin…….. !!!!

Sumber: Syaikhina wa Murobbi Arwakhina KH. Achmad Sa’idi bin KH. Sa’id
(Pengasuh Ponpes Attauhidiyyah Tegal)
Filosofi Pohon Kelapa (Kisah ketawadlu’an Kyai Hamid Pasuruan)
Published on February 16, 2010 in Artikel Islam, Tariqah, Manaqib, Makrifat and Renungan.

Dewasa ini. Kita pasti mengetahui, bahwasanya guru mana yang tidak mau semua muridnya berhasil
dan sukses dalam mata pelajarannya. Tak ayal jika guru ketika berada di rumah sang guru mondar-
mandir, ke sana ke mari, hanya perlu memikirkan metode pengajaran yang mudah dipaham oleh para
muridnya.

Hal inilah yang pernah dialami oleh Ust. H. Syamsul huda, seniman kaligrafi berkaliber nasional jebolan
Pondok Pesantren Salafiyah. Selain sangat ahli dalam masalah seni tulis dan lukis kaligrafi, beliau juga
sangat ahli dalam masalah ilmu Nahwu.

Al-Kisah dahulu, ketika Ust. Syamsul masih mengajar ilmu nahwu di Pon-Pes Salafiyah, Mulai ba’da shalat
shubuh Ust. Syamsul mulai mondar mandir di depan kantor madrasah salafiyah. Yang diberpikir tiada lain
adalah menggunakan metode apakah yang paling tepat agar semua anak didiknya mendapat nilai bagus
semua. Padahal jika dilihat, nilai siswa pada pelajaran nahwu yang diajarkan oleh Ust. Syamsul terbilang
lumayan relatif, seperti layaknya sekolah-sekolah formal yang lain pastilah ada satu dua anak yang dapat
niali merah.
Sudah hampir jam masuk sekolah Ust. Syamsul masih saja mondar-mandir di depan kantor madrasah.
Ketika itu Kiai Hamid yang berada di teras ndalem melihat Ust. Syamsul yang terlihat seperti orang
linglung. Kiai Hamid pun datang menghampiri Ust. Syamsul.

“Sul… ayo melok aku.” (Sul… Ayo ikut Saya). Ajak Kiai Hamid. Lalu, Ustad yang kini mengisi jajaran staf
pengajar di madrasah tsanawiyah dan aliyah tersebut digandeng tangannya sampai di samping ndalem
(kediaman) Kiai Hamid. Di situ Ust. Syamsul ditunjukkan sebuah pohon kelapa yang masih sedikit
buahnya.

“Sul…awakmu weroh ta lek krambil iku gak kiro dadi kelopo kabeh. Yo onok singlugur, onok sing dadi
degan langsung di ondoh, onok seng dadi kelopo iku mek titik, loh ngono iku mau masio wes dadi kelopo
kadang sekdipangan bajing. Cobak pikiren mane, seumpamane lek kembang iku dadi kabeh, singsakaken
iku uwite nggak kuat engkok”.

(Sul… apakah kamu tahu, kalau “krambil” (bunga kelapa) itu tidak akan jadi kelapa semuanya. Ya ada yang
terjatuh, ada yang masih jadi degan akan tetapi sudah diambil, ada juga yang sudah jadi kelapa, itu pun
sedikit. Walau pun sudah jadi kelapa, terkadang belum dipanen sudah dimakan sama tupai dulu. Coba kamu
pikir, kalau bunga itu jadi kelapa semua, yang kasihan itu pohonnya, pasti tidak akan kuat.) ujar Kiai
Hamid. Belum Ust. Syamsul menjawab Kiai Hamid melanjutkan lagi. “anggepen ae wet kelopo iku mau
guru, lek onok guru muride dadi kabeh yo angel, yo onok sing bijine elek, yo onok sing pas-pasan. Yo onok
mane sing apik. Engko lek muride oleh nilai apik kabeh sak’aken gurune, biso-biso lek nggak kuat guru iku
mau biso ngomong “ikiloh didikanku, dadi kabeh sopo disek gurune” lah akhire isok nimbulno sifat
sombong.

Paham awakmu Sul? Lek paham wes ndang ngajaro, sekolahe wes wayahe melebu.” (anggap saja
pohon kelapa itu tadi adalah guru. Kalau ada seorang guru yang muridnya sukses semua itu sangat
sulit. Ya pastinya ada yang nilainya jelek, ada yang nilainya biasa-biasa, dan ada juga yang nilainya bagus.
Nanti kalau nilai muridnya bagus semua yang kasihan adalah gurunya. Bisa-bisa guru tersebut berbicara “ini
loh, anak didikku, semuanya sukses, siapa dulu gurunya” lah, akhirnya bisa menimbulkan sifat sombong.

Kamu paham Sul? Kalau paham cepat mengajar, sudah waktunya jam masuk sekolah.) tambah Kiai Hamid.
Tanpa menjawab Ust. Syamsul pun langsung undur diri dari Kiai Hamid. Subhanalloh … padahal, Ust
Syamsul masih bercerita sedikit pun, akan tetapi sudah menjawab semua yang dikeluhkan oleh Ust.
Syamsul, dengan menggunakan sebuah filosofi pohon kelapa.

Setiba dikelas Ust. Syamsul masih terpikir oleh ucapan Kiai Hamid tadi. “benar juga apa yang dikatakan
oleh beliau (Kiai Hamid”. Ujar Ust. Syamsul dalam hati. Sebaiknya cerita ini bisa menjadi ibrah bagi para
guru, agar tidak terlalu berkecil hati ketika ada satu-dua anak didiknya yang didak mampu pada pelajaran
yang guru ajarkan. Dibalik itu semua pasti aka nada hikmahnya… (zen)

Sumber Pondok Salafiyah Pasuruan


Kiai Hamid dikenal sebagai seorang ulama dan wali yang dekat dengan siapa saja. Ia dicintai dan memberi
teladan yang menyejukkan. Ke Pasuruan tidak berziarah ke makam Kiai Hamid rasanya kurang sempurna. Sebab
di komplek pemakaman yang terletak di belakang Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan itu, terdapat makam Habib
Ja’far bin Syaikhan Assegaf, Syekh Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dan beberapa ulama lainnya. Kiai Hamid memang
istimewa. Makamnya menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Timur. Sama dengan makam Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Drajat, dan Maulana Malik Ibrahim. Keistimewaan itu membuat komplek Masjid Jami’ tak pernah sepi
sepanjang siang dan malam, khususnya pada bulan Ramadan. Kiai Hamid lahir pada 1333 H / 1912 M di Lasem,
Rembang, Jawa Tengah, tepatnya di Dukuh Sumurkepel, Desa Sumbergirang, sebuah pedukuhan yang terletak di
tengah kota Kecamatan Lasem. Ayahanda beliau, KH Abdullah bin Umar, memberi nama Abdul Mu’thi. Sewaktu
kecil Mu’thi biasa dipanggil “Dul”. Tapi seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul”, karena
kenakalannya. Mu’thi tumbuh sebagai anak yang lincah, ekstrovert dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH
Hasan Abdillah, adik sepupu dan juga iparnya. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang, yang suka
mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam
batas wajar, walau untuk ukuran anak seorang kiai dipandang luar biasa. Sehari-hari dia jarang di rumah.
Hobinya main sepak bola dan layang-layang. Mu’thi bisa dibilang bolamania alias gila bola, dan ayahnya tidak
bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, belajar ngajinya otomatis kurang teratur, walaupun tidak
ditinggalkan sama sekali. Beliau mengaji kepada KH Maksum (ayahanda KH Ali Maksum Yogyakarta) dan KH.
Baidlowi (besan KH A Wahab Hasbullah mantan Rais Am Syuriah PBNU) dua pentolan Ulama Lasem. Ketika
beranjak remaja, Mu’thi mulai gemar ilmu kanuragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya intensif sehingga
mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi, “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid, adik
sepupunya di Pasuruan. Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda kewalian atau setidaknya
orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH Muhammad Shiddiq Jember (ayahanda KH. Ahmad Shiddiq, mantan Rais
Am Syuriah PBNU), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada saat haji itulah namanya diganti
menjadi Abdul Hamid. Pada usia 12-13 tahun, Hamid dikirim ke Pondok Kasingan, Rembang guna meredam
kenakalannya. Ia tidak lama di pondok ini, satu atau satu setengah tahun, kemudian ia pindah ke Pondok Tremas,
Pacitan. Pondok pimpinan KH Dimyati ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini lahir banyak ulama besar,
diantaranya, KH Ali Maksum (mantan Rais Am PBNU) KH. Masduqi (Lasem), KH. Abdul Ghafur (Pasuruan), KH.
Harun (Banyuwangi), Prof. Dr. Mu’thi Ali, mantan Menteri Agama dan lain-lain. Walaupun kegemarannya
bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya.
Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk makan nasi tiwul (nasi yang bahan dasarnya gaplek atau
singkong) tidak membuatnya patah arang. Hamid tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun hingga mencapai
taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang. Setelah 12 tahun belajar di Pondok Tremas. Ia dinikahkan dengan
Nafisah, putri pamannya, Syekh Ahmad Qusyairi, yang dikenal sebagai penulis berbagai kitab bahasa Arab.
Konon, Kiai Ahmad pernah menerima pesan dari ayahnya KH Muhammad Shiddiq, supaya mengambil cucunya
itu sebagai menantu, mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda itu. Antara lain, saat
pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah. Sayang, sang kakek tidak sempat menyaksikan pernikahan
itu, karena lebih dulu menghadap Ilahi. Namun, rencana perayaan pernikahan itu bubar. Sebab, pada hari yang
sudah ditentukan, para undangan yang sudah berkumpul di Masjid Jami’ menunggu lama pengantin pria yang
tidak kunjung tiba. Bahkan hingga petang harinya. Akibatnya akad nikah hanya disaksikan oleh kerabat dekat.
Selidik punya selidik, keterlambatan terjadi karena rombongan pengantin sering berhenti.“Pengantinnya kuajak
mampir ke makam para wali,” kata KH Ali Maksum, ulama besar yang dipercaya menjadi kepala rombongan.
Hidup Prihatin Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai
Ahmad pindah ke Jember, lalu pindah lagi ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama
Istrinya harus berjuang sendiri secara mandiri mengarungi bahtera samudra kehidupan dalam biduk rumah
tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, beliau berusaha apa saja, dari jual beli
sepeda, berdagang kelapa dan kedelai, sampai menyewa sawah untuk digarap dan berdagang onderdil dokar.
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan, makan nasi dengan tempe panggang atau krupuk sudah
menjadi kebiasaan. Terkadang sarung yang sudah usang pun masih dipakai. Tapi Kiai Hamid tak kenal putus asa,
terus berusaha dan berusaha. Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan pesantren Salafiyah, meski tinggal di
komplek pesantren yang pernah diasuh mertuanya. Tapi di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri,
dua orang, yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah, Kiai Hamid juga mulai menggelar pengajian di
berbagai desa di Kabupaten Pasuruan, Rejoso, Rangge, dan lain-lain. Pada sekitar 1951, sepeninggal KH Abdullah
bin Yasin, yang menjadi pengasuh pondok pesantren Salafiyah, Kiai Hamid dipercaya sebagai guru besar pondok,
sementara KH Aqib Yasin, adik KH Abdullah, menjadi pengasuh, tapi secara de fakto Kiai Hamid yang memangku
pondok, mengurusi segala hal, karena Kiai Aqib yang masih muda tengah menyelesaikan belajar di Lasem. Kiai
Hamid benar-benar berangkat dari nol dalam membina Pondok Salafiyah, karena pesantren dalam keadaan sepi
sewaktu ditinggal KH Abdullah Yasin, yang menerapkan disiplin tinggi. Pondok Pesantren Salafiyah ini didirikan
oleh KH Muhammad Yasin bin Rais. Salah satu santrinya yang terkenal adalah KH. Muhammad Dahlan mantan
Menteri Agama RI 1968-1972 dan KH Abdullah Ubaid, pendiri gerakan pemuda Anshor, yang kemudian menjadi
menantu Kiai Yasin. Walaupun tidak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Gerak
perkembangannya memang tidak bisa dibilang cepat, tapi pasti, terus bergerak dan bergerak. Jumlah santrinya
mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-runag pondok yang lahannya sudah tidak bisa diperluas lagi karena
terhimpit rumah-rumah penduduk. Kamar-kamar yang sudah tidak mencukupi untuk menampung para santri,
hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah
klasikal. Perkembangan fenomenal terjadi justru pada pribadi beliau. Semula yang hanya dipanggil “haji”, lalu
diakui sebagai “kiai”. Dan pengakuan masyarakat semakin besar. Tamunya semakin lama semakin membesar.
Sinarnya mencorong terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf sekitar 1954. Habib Ja’far adalah wali
terkemuka Pasuruan waktu itu yang juga menjadi guru spritualnya. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali
beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas. Hingga
akhirnya mencapai taraf – meminjam istilah KH Mustafa Bisri (Gus Mus) – Muttafaq ‘alaih, yakni disepakati
semua orang, termasuk di kalangan orang-orang yang selama ini tidak mudah mengakui kewalian seseorang.
Seperti halnya para wali sejati, beliau menjadi tiang penyangga masyarakatnya, tidak hanya di Pasuruan, tetapi
juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah saka guru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin, untuk
melihat borok-borok diri. Beliau adalah teladan, panutan, beliau dipuja dimana-mana, kemana-mana dikejar
orang. Walaupun ia sendiri tidak suka, bahkan marah, jika ada orang yang mengkultuskannya. Namun, juga
beliau manusia biasa, yang pasti mengalami kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H bertepatan dengan 25
Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi masyarakat muslim. Hari itu saat ayam belum
berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di dalam rumah di dalam komplek Pondok Pesantren Salafiyah,
setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya, karena
penyakit jantung akut, beliau menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan tiga orang anak: Nu’man, Nasih dan
Idris. Umat pun menangis, gerak hidup di Pasuruan seakan berhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Ratusan ribu
orang berduyun-duyun membanjiri Kota Pasuruan, memenuhi relung-relung masjid Agung Al-Anwar dan alun-
alun kota, memadati ruas-ruas dan gang-gang jalan yang membentang di sekelilingnya. Mereka dalam gerak
serentak, mengangkat tangan sambil mengucapkan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat jenazah yang diikuti
jemaah oleh jumlah yang luar biasa. Ulama Tawadu’ Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tidak sedikit
orang yang merasa tersaingi, terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah,
beliau seorang pendatang, ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri
mereka. Padahal Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat. Lambat laun beliau dapat
menghapus kesan itu, tidak dengan rekayasa, melainkan dengan perbuatan nyata, dengan tetap berjalan lurus,
dan terutama dengan sikap tawadu’ itu. “Kalau menghadiri suatu acara beliau, memilih duduk ditempat orang-
orang biasa, di belakang bukan di depan. Kiai Hamid selalu ndempis(menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai
Hasan Abdillah. Beliau bersikap hormat kepada siapapun, dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata
sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya ketika sedang melayani banyak tamu,
beliau memberikan perhatian kepada mereka semua, mereka ditanya satu persatu, sehingga tidak ada yang
merasa diabaikan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada ilmu, pada
ulama, pada orang alim, bahkan pada orang biasa. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Mentri Agama Prof Dr.
Mu’thi Ali –yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas. Beliau sangat
menghormati ulama dan Habib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kiainya. Bila
mereka bertandang ke rumahnya, Kiai Hamid sibuk melayaninya. Misalnya ketika Sayyid Muhammad bin Alawi
Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah bertamu, Kiai Hamid sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu
mengajaknya bercakap-cakap, sambil memijatinya, padahal tamunya itu usianya jauh lebih muda. Sikap tawadu
itu antara lain, yang menjadi rahasia “keberhasilan” Kiai Hamid hingga mencapai tingkatan tinggi di sisi Allah.
Karena sikap ini pula beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para Kiai dan
ulama tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadu Kiai Hamid yang tulus, yang
tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata manusia maupun di sisi Allah SWT. “Barangsiapa
bersikap tawadu, Allah akan mengangkatnya.” Senantiasa Sabar Rahasia sukses lainnya adalah sifat sabar yang
tinggi, dengan pembawaan yang sangat halus sekali. Sebenarnya di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan
tempramental. Hanya berkat riadhah (latihan) yang panjang, beliau barhasil meredam sifat cepat marah itu dan
menggantinya dengan sifat sabar luar biasa.Riadhah telah memberi beliau kekuatan luar biasa untuk
mengendalikan amarah. Kiai Hamid dapat menahan amarah ketika didorong seorang santri hingga hampir
terjatuh. Ia juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebunnya habis dicuri para santri dan ayam-ayam
ternaknya ludes dipotong. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan
rezeki kita,” katanya suatu saat. Pada saat awal memimpin Pondok Salafiyah, Kiai Hamid sering dimusuhi
tetangga. Namun ketika orang itu mempunyai hajat beberapa bulan kemudian, Kiai Hamid sudah menyuruh
seorang santri membawa beras dan daging ke rumah tetangga itu. Tentu saja orang itu kaget dan menyesal telah
membenci Kiai Hamid yang hatinya bersih. Melalui Riyadah dan Mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang
panjang, beliau berhasil membersihkan hatinya dari berbagai penyakit, tidak hanya penyakit takabur dan marah,
tapi juga penyakit lainnya. Beliau mampu menghalau rasa iri dan dengki. Bukannya menjadikan kiai lain sebagai
pesaing, Kiai Hamid justru mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu.
“Sampean tanya saja kepada Kiai Ghafur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seseorang yang bertanya masalah
fikh. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ketempatnya dan mengabaikan
kiai di kampung mereka. Beliau juga tidak segan mengarahkan sejumlah santrinya kepada KH Abdurrahman,
yang tinggal di sebelah rumahnya atau Ustadz Sholeh, keponakannya, yang mengasuh pondok pesantren
Hidayatus Salafiyah. Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit, terutama bagi orang-orang yang
mempunyai kelebihan ilmu dan pengaruh. Namun ada yang tidak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu
menggunjing orang lain, bahkan para kiai yang mempunyai derajat tinggipun umumnya tak lepas dari penyakit
ini. Kiai Hamid menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak
menggunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH Ali Maksum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itu,
beliau tidak mau ngerasani (menggunjing) orang lain.”
Manaqib Kyai Utsman Al-Ishaqi Surabaya

AL-LU’LU’U WAL-MARJAN

Dengan pertolongan Alloh swt. ada barokah Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi R.A. kami
berusaha untuk menerbitkan Manaqib Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi untuk pertama kali
dengan bahasa Indonesia, dengan harapan akan mudah difahami oleh kaum muslimin yang mencintai beliau
khususnya para muridin dan muridat beliau untuk lebih memantapkan Robithoh kepada beliau sewaktu akan
melakukan dzikir serta agar selalu mendapatkan barokah apa saja dari beliau baik di dunia maupun di
akhirat nanti khususnya dalam menghadapi sakarotul maut.
Karena dengan selalu dekat kepada guru rahmat Alloh akan selalu mengalir terus kepada murid yang selalu
dekat kepada guru tersebut.
Manaqib ini kami bagi menjadi tiga Bab dengan Penjelasan sebagai berikut :

BAB I : Menceritakan tentang biografi beliau sejak di dalam rahim ibu sampai beliau menetap kembali di Surabaya
untuk membuka Pesantren dan memimpin Thoriqoh QODIRIYYAH dan NAQSYABANDIYYAH.
BAB II : Menjelaskan tentang keistimewaan dan keluhuran beliau disisi Alloh seperti yang diungkap¬kan oleh para
Habaib dan para Auliya’ yang sudah terkenal akan kewaliannya.
BAB III : Membicarakan tentang kekeramatan beliau yang tiada habis-habisnya sampai beliau pulang ke
Rahmatulloh.

Demikian manaqib ringkas ini kami sampaikan mudah-madahan ada guna dan manfaatnya untuk kita semua Amin.

Gresik, 20 Syawal 1404 H

Penyusun

H. ABDUL GHOFFAR UMAR

BAB I
Dibawah ini kami murid Hadrotus-Syaikh Al-Arif Billah K.H. MUHAMMAD UTSMAN AL-ISHAQI R.A.
bernama H. ABDUL GHOFFAR UMAR Tenger Manyar Gresik, dengan rendah hati menyampaikan
sekelumit Manaqib (Biografi) Hadrotus-Syaikh guru Toriqoh AL-QODIRIYYAH WAN
NAQSYABANDIYYAH.

Manaqib ini dikumpulkan dari pengakuan dan pernyataan para Habib serta para Ulama yang mengenal
Hadrotus-Syaikh baik secara lahir maupun secara batin. Diantaranya pengakuan dan pernyataan dari Habib
Alie bin Abdurrohman Al-Habsyi Kwitang Jakarta, Habib Ali bin Husain bin Muhammad Al-Atthos Bungur
Besar Jakarta. Habib Abdul Qodir Bilfaqih Malang, Habib Abdulloh Al-Haddad, Habib Zasssin Al-Jufri.
Kyai Hamid Karang Binangun Lamongan, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Nyai Khodijah dan lain lain. Juga
dari Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman r.a. sendiri sebagai Attahaddus bin-Ni’mah atas dasar Firman
Allah :
‫فحدث ربك بنعمة واما‬
Juga untuk menjaga jangan sampai ada orang yang mengingkari atau menentangnya atau mencelanya. Juga
terhadap Masyayikh yang lain, menyebut manaqib sendiri semacam ini pernah dilakukan oleh Ulama’
terdahulu untuk memperkenalkan hal ihwal mereka kepada orang lain agar ditiru seperti Syaikh Abdul
Ghofir Al-Farisi Syaikh Al Asfahany, Syaikh Yaqut Al-Hamawy, Syaikh Abu Al-Robi’ Al-¬Maliki, Syaikh
Shofiyuddin Al-Manshur serta Syaikh Jala¬luddin Al-Suyuti, Imam Suyuti umpamanya telah
menyebut¬kan Manaqib dirinya dalam kita-kitab Thobaqoh yaitu Thobaqoh Al-Fuqoha’ Thobaqoh Al-
Muhadditsin Thobaqoh Al-¬Mufassirin Thobaqoh Al-Nuhaat, Thobaqoh Al-Sufiyah dan Thobaqah Al-
Muqriin.

Kata Imam Suyuti : Saya menyebutkan manaqib saya hanyalah mengikuti perbuatan orang-orang salaf yang
sholeh-sholeh, dan untuk memperkenalkan hal ihwal saya dalam bidang ilmu agar orang lain menirunya,
juga untuk Attahadduts bin ni’mah.

Adapun manaqib Hadrotus-Syaikh yang terperinci dan mendetail ada di dalam kitab “SYIFAUL QULUB
LIQOUL MAHBUB” yang disusun oleh Kyai Haji Abdulloh Faqih suci Gresik. dan kemudian kami susun
kembali kedalam bahasa Arab secara sistematis dan praktis dalam kitab “AL-LU’LU’ WALMARJAN FI
MANIQIBI SYAIKH MUHAMMAD UTSMAN R.A.
Dengan membaca Bismillahirrohmanirrohim kami mulai menyampaikan manaqib (biografi) Hadrotus-
Syaikh sebagai berikut :
Menurut nasab yang sudah tersusun rapi di dalam keluarga, Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman adalah
seorang sayyid dan seorang habib, sebab itu yang mengandung beliau adalah keturunan Maulana
Muhammad Ainul Yaqin Al-mulaqqob bi Sunan Giri bin Maulana Ishaq Al-Husaini dan ayah beliau adalah
keturunan Sunan Gunung Jati juga Al-husaini. dengan demikian hadrotus-syaikh Muhammad Utsman Al-
Ishaqi anak cucu Rosululloh saw.
Hadrotus-Syaikh dilahirkan di Jatipurwo Surabaya pada hari Rabu bulan Jumadil Akhiroh tahun 1334 H.
setelah beliau bertapa selama 16 bulan di dalam rahim ibu beliau dan selama di dalam rahim ibu beliau
sering bersin, di dalam bahasa Arab di sebut Al-Atthos, dan sejak kecil keistimewaan dan kekeramatan
beliau sudah nampak setelah Hadrotus-Syaikh sudah bisa berjalan. Beliau selalu tidak ada dirumah setelah
Maghrib, dan baru pulang setelah jam 11 malam badan beliau penuh dengan lumpur. Ternyata setelah
diselidiki, beliau berada di sungai didekap oleh seekor Buaya Putih.

Setiap malam Hadrotus-Syaikh selalu tidur di surau (langgar) bersama nenek beliau Kyai Abdulloh, selain
nenek beliau tidak ada seorangpun yang berani mendapingi sewaktu beliau tidur, karena dari mata beliau
memancarkan sinar terang seakan-akan mau menembus Iangit bagaikan lampu sorot (battery).

Ketika beliau berumur 6 sampai 7 tahun, pada suatu malam nampak bulan-bulan yang banyak turun dari
langit seraya memancarkan sinarnya menuju Hadrotus-Syaikh dan mengitari beliau dari segala arah.
Sejak beliau berumur 4 tahun setiap pagi pada Jam 3.00. Istiwa’ beliau keluar rumah menuju Masjid Jami’
Ampel Surabaya diantar oleh kakak perempuan beliau Nyai Khodijah untuk membaca tarhim (memanggil-
manggil sholat fajar) sampai datang waktu Shubuh di menara Masjid.

Setiap kali beliau sampai dipintu gerbang Ampel beliau selalu disambut anak-anak kecil yang banyak
se¬kali memakai kopyah putih semua, setelah beliau sampai di masjid anak-anak kecil tersebut hilang entah
kemana. Dan baru muncul kembali sewaktu beliau hendak pulang dari masjid pada jam 7.00 pagi untuk
mengantarkan beliau ke pintu gerbang. Dan setelah itu mereka menghilang kembali, demikian cerita Nyai
Khodijah dan Kyai Anwar.

Ketika beliau umur 7 tahun, beliau sudah mengkhatamkan Al-Qur’an 3 kali dibawah asuhan nenek beliau
Kyai Abdullah. Kemudian beliau di khitan (sunat). Barulah beliau berpindah mengaiji ke Kyai Adro’i
Nyamplungan, sejak itu sepulangnya beliau dari Ampel, beliau terus menuju ke Nyamplungan untuk
mengaji Al-Qur’an, setelah itu beliau menuju ke madrosah Tashwirul Afkar di Gubbah untuk mengaji
agama, dan baru pulang setelah jam 10.0 pagi. Seharinya beliau hanya mendapatkan sangu 5 Sen yang
berlobang tengah yang beliau tempelkan di kancing baju.

Pernah selama 4 talaun Hadrotus-Syaikh tidak makan kecuali daun-daunan dan buah-buahan dan hanya
minum air masak saja. Pada waktu itu beliau tentukan belanja beliau hanya 1/2 Sen. Beliau mengatakan,
pada waktu saya masih kecil pada suatu hari saya bernafsu sekali ingin makan, maka sayapun makan
sekenyang kenyangnya, tetapi sebagai dendanya Saya harus mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali duduk.
Dan beliau mengatakan : Pada suatu hari saya menangisi diri saya karena ketika saya sholat saya ingat
layang-layang, padahal saya sudah berumur 12 tahun, berarti 3 tahun lagi saya sudah baligh dan Mukallaf,
bagaimana kalau saya masih ingat pada layang-layang pada waktu sholat ?!

Kyai Ahmad Asrori Kholifatus Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi mengatakan kepada kami, bahwa
ayah beliau pernah mengatakan : Ketika saya menginjak umur 13 tahun, mata saya melihat Ka’bah di
Makkah secara rel dan nyata. Maka mata sayapun saya usap berkali-kali (saya ucek-ucek), tetapi tetap saja
yang nampak hanyalah Ka’bah di Makkah. Kemudian saya berpikir, mungkin mata saya sudah rusak, dan
saya minta dibelikan kaca mata khusus untuk melihat, akan tetapi hasilnya sama saja. Ka’bah di Makkah
tetap nampak di pelupuk mata saya, Kata Kyai Asrori : Itulah awal kasyaf yang dialami oleh Hadrotus-
Syaikh, dan sejak itu kata Hadrotus-Syaikh saya melihat orang dengan segala kepribadiannya, ada yang
menyerupai Srigala ada yang seperti Truwelu, ada yang seperti Babi, seperti Ayam, Kucing dan lain
sebagainya menurut pembawaan nafsunya masing-masing, tetapi saya tidak berani berkata terus terang,
sebab itu adalah rahasia seseorang.

Pada suatu hari Hadrotus-Syaikh sampai larut malam tidak pulang dari Madrasah seperti biasanya pada jam
10.00 pagi, maka ributlah orang-orang tua mengkhawatir¬kan beliau. Maka imam Roudloh Kyai Nur atas
izin orang tua beliau berangkat mencari beliau, dan oleh karena diberitakan bahwa Hadrotus-Syaikh berada
di pondok Kyai Khozin Panji, maka Kyai Nur pun berangkat ke sana. Tetapi sesampai Kyai Nur di Siwalan
Panji, Hadrotus-Syaikh sudah Pindah ke pondok Kyai Munir Jambu Madura.

Setelah orang tua beliau mendengar demikian itu, beliau mengatakan : tidak usah mencari Utsman, yang
penting dia sehat. Setelah beberapa lama tinggal di pondok, beliau sakit keras, maka terpaksa beliau pulang
kerumah. Dan setelah berobat Al-hamdulillah beliau sembuh kembali. Kemudian Hadrotus-Syaikh
dipondokkan ke Kyai Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng, selanjutnya beliau dipondokkan ke Kyai Romli
Peterongan Jombang. Pada waktu itu Hadrotus-Syaikh benar-benar terikat, beliau mengatakan : sewaktu
saya dikirim oleh orang tua saya kepondok, sarung saya hanya satu lembar, apabila najis maka saya
memakai tikar sebagai gantinya untuk sholat. Dan selama saya di pondok, saya tidak pernah pulang ke
rumah kecuali badan saya sudah kurus benar. Sebab apabila saya pulang dan badan saya gemuk, saya di
marahi oleh orang tua dan nenek. Pernah pada suatu hari saya pulang badan saya gemuk, spontan nenek
saya mengatakan : Kalau kau tinggal dipondok. untuk makan dan mimurn. Lebih baik tinggal dirumah saja.

Ketika Hadrotus-Syaikh pulang dari pondok, pada suatu hari beliau menyaksikan adanya hubungan-
hubungan khusus yang diselenggarakan oleh tujuh orang pemuda dan tujuh orang pemudi setiap hari
disamping musholla di muka rumah beliau, maka beliau melihat hal yang tidak senonoh ini akhirnya beliau
adukan kepada Kyai Romli dengan mengatakan : yai ! saya melihat ada mutiara di dalam air yang keruh dan
najis, apakah saya harus mengentasnya (menyelamatkanya) ? Kyai Romli menjawab : Entaslah wahai
Utsman ! dengan syarat hatimu tidak berpaling kepadanya, kalau hatimu berpaling kepadanya, maka kau
tidak akan berjumpa denganku besok di Mahsyar. Maka beliaupun mengumpulkan pemuda dan pemudi
yang 14 orang itu dirumah beliau setiap malam, beliau ikuti pembicaraan-pembicaraan mereka yang intim
itu sambil beliau masuk-masukkan (sesel-seselkan) urusan keagamaan mereka, dan beliau peringatkan
tentang siksa Alloh ta’ala. sampai akhirnya taubat dengan taubat nasuha (taubat yang pokok).

Hadrotus-Syaikh pernah diadukan oleh seorang ulama kepada Kyai Romli karena beliau mengadu ayam,
Kyai Romli menjawab : Saya tidak berani melarangnya dan Kyai tidak usah meniru mengadu ayam. Kawan
dekat Hadrotus-Syaikh bernama Kyai Haji Hasyim Bawean menceritakan kepada kami bahwa Hadrotus-
Syaikh dibai’at oleh Kyai Romli pada hari Rabu 16 Sya’ban tahun 1361 H atau 1941 M. Setelah beliau
dibai’at selama satu minggu heliau menyusun silsilah Thoriqoh Qodiriyah dan Naqsyabandiyyah atas
perintah Kyai Romli di namakan “TSAMROTUL FIKRIYYAH” .

Hadrotus-Syaikh mengatakan : saya dibai’at oleh Kyai Romli atas permintaan Kyai Romli sendiri. Pada
waktu itu saya dimasukkan kekamar Kyai dan didudukkan di atas Burdah yang putih bersih di atas tempat
tidur Kyai dan dipinjami Tasbih. padahal waktu itu kaki saya berlumpur karena hujan, karena sudah menjadi
Tradisi, setiap kali saya masuk kerumah Kyai, kaki saya pasti telanjang tanpa alas kaki. Dengan demkian,
sebelum saya jadi murid saya adalah Murod dan sebelum saya menjadi tholib saya adalah Mathlub. Dalam
kesempatan lain Hadrotus-Syaikh mengatakan untuk menghadiri Majlis Khusus atau wirid Khataman
selama 4 tahun saya terus menerus berjalan kaki memakai klompen dari Surabaya. ke Paterongan, barulah
kadang-kadang saya naik kendaraan setelah ketahuan Kyai Hasyim Asy’ari di Mojoagung dan beliau
mengatakan : jangan jalan kaki terus-menerus Utsman. Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean mengatakan pada
adik waktu terjadi Perang Dunia II tahun 1942 M Hadrotus-Syaikh sekeluarga pindah sementara ke
Peterongan, kalau siang hari berada di dalam pondok.

Pada suatu hari, hari Selasa beliau disuruh menghadap Kyai Romli pada jam 2.00 malam untuk diangkat
menjadi mursyid Thoriqoh Al-Qodiriyah Wan Naqsyabandiyyah, Hadrotus-Syaikh waktu itu mengatakan
“tidak kuat Kyai” tetapi Kyai Romli tet’ap melaksanakan perintah Alloh kemudian mengusapkan tangannya
diatas kepala Kyai Utsman r.a. seketika itu pula Hadrotus-Syaikh jatuh tidak sadarkan diri dan langsung
jadzab Selama satu minggu Hadrotus-Syaikh mengalami jadzab beliau tidak makan, tidak minum, tidak
tidur, tidak buang air besar maupun kecil dan tidak sholat, wajah beliau cantik sekali bagaikan Bulan
Purnama, tidak seorang pun yang berani melihat wajah beliau yang Cantik itu.

Setelah Hadrotus-Syaikh mengalami jadzab satu minggu, beliau berkata kepada Kyai Hasir Bawean : nanti
malam akan datang tamu-tamu banyak sekali tidak perlu suguhan makanan atau minuman, maka pada jam
8.00 kurang sepuluh menit malam Hadrotus-Syaikh sudah siap menerima tamu dikamar, dan menghadap
kepintu, tidah lama kemudian beliau mengucapkan : Waalaikumussalam, Walaikumussalam. selama kurang
lebih lima menit, dan nampak seakan-akan.

Hadrotus-Syaikh menjabat tangan orang-orang sambil menundukkan kepala, kemudian beliau mengatakan :
Mulai hari ini saya ditetapkan sebagai mursyid langsung oleh Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani dan
Nabiyulloh Khidir r.a. Serta oleh sejumlah Masyayikh Al-Qodiriyah Wan Naqsyabandiyyah, dan sejak
sekarang saya di izinkan untuk membai’at. sambil menyerahkan sepucuk kertas kepada Kyai Hasyim.

Kemudian Hadrotus-Syaikh menghadap kebarat sekali lagi dan mengucapkan na’am na’am tepat pada jam
8.00 lebih 5 menit malam itu Hadrotus-Syaikh berdiri menuju kepintu, setelah diam sejenak beliau
mengucapkan wa’alaikumussalan, wa’alaiku¬mussalam, kemudian oleh Kyai Hasyim, Khadrottus Syaikh
disuruh mandi setelah satu minggu tidak mandi dan ketika itulah Kyai Hasyim cepat-cepat pergi ke Kyai
Romli untuk mengantarkan sepucuk kertas tadi, dan Kyai Romli spontan menemuinya di luar rumah seraya
mengatakan : Ada apa ? ada apa ? ada apa ? Ketika Kyai Romli membaca sepucuk kertas itu spontan Kyai
mengatakan dengan bahasa Madura yang maksudnya : Alhamdulillah sekarang saya punya anak yang bisa
menggantikan saya (sampai 3 kali).
Orang tua Hadrotus-Syaikh juga pernah menyatakan hal-hal kepada salah seorang habib bahwa Hadrotus-
Syaikh telah mendapatkan ijazah dari Syaikh Abdul Qodir Jailanil r.a, untuk berdakwah dan diangkat
sebagai kholifahnya tanpa perantara, pernyataan ini disampaikan pada tahun 1947 M.

Pada waktu Hadrotus-Syaikh tinggal di Rejoso ada seorang tukang adu ayam kawa’an yang sangat populer
di Jombang bernama Wak Sud dia memiliki jago-jago yang khusus untuk di adu, Hadrotus-Syaikh tertarik
untuk menundukkan orang ini melalui adu ayam, maka beliau membawa ayam beliau ke Wak Sud dan dia
menjawab ajakan Hadrotus-Syaikh dengan mengatakan : Apa bila jagomu menang melawan jagoku maka
semua kekayaanku adalah milikmu, sebaliknya apa bila jagomu kalah saya tidak menuntut apa-apa darimu,
maka Hadrotus-Syaikh menjawab : Apa bila jagomu menang kemudian kau ambil kekayaanku memang
saya tidak mempunyai sesuatu yang patut disebut, dan apabila sebaliknya jagoku yang menang maka saya
sama sekali tidak butuh kepada kekayaanmu sama sekali, Pokoknya begini Apabila jagoku menang kamu
harus tunduk dan patuh dibawah perintahku, dan wak Sud setuju.

Dengan kekuasaan Alloh swt. menanglah jago Hadrotus-Syaikh sekalipun kurus kecil dan lemah sekali
sangat kontras dengan jagonya wak Sud yang kekar dan gagah itu, maka waktu Kyai Romli melihat wak
Sud melakuka’n sholat. Kyai Romli memegang pundak Hadrotus-Syaikh dari belakang seraya mengatakan :
Apa yang kamu lakukan terhadap wak Sud wahai Utsman sehingga dia mendatangi sholat Jum’at, pada hal
saya tidak mampu menundukkannya ? .

Dipeterongan Hadrotus-Syaikh tinggal di desa Nge¬lunggih tidak jauh dari Rejoso atas saran Kyai Romli
dengan maksud agar beliau menjadi Imam di Ngelunggih, akibatnya murid-murid Kyai Romli banyak yang
pindah he Ngelunggih untuk mendapatkan barokah dari Hadrotus-Syaikh serta ilmu beliau.
Akhirnya Hadrotus-Syaikh disuruh pindah oleh Kyai Romli ke salah satu desa dekat Gunung Lawu di
Ngawi. Ketika Hadrotus-Syaikh sampai dilereng Gunung Lawu sangu beliau tinggal Rp. 1.70 (satu rupiah
tujuh puluh sen) tidak cukup untuk membeli beras 1 liter, maka untuk mendapatkan rizqi yang samar, beliau
Setiap hari : mengunjungi pesarean yang paling di kenal oleh orang di desa itu. Karena beliau cinta dan
hobby melakukan ziarah akhirnya atas kemurahan Alloh beliau sekeluarga mendapatkan rizgi yang tidak
diduga sebelumnya, diantara orang kampung ada yang mengundang beliau untuk mengikuti tahlilan ada
yang minta barokah do’a, ada yang minta fatwa, sampai akhirnya Hadrotus-Syaikh menjadi populer di desa
itu dan kemudian menjadi imam di desa itu.

Diantara kekeramatan Hadrotus-Syaikh di desa tersebut, beliau bermimpi berjumpa dengan Hadrotus-
Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari Tebu Ireng berpamitan kepada beliau dengan mengatakan : Saya duluan
Utsman. tahu-tahu pada esok harinya beliau mendengar berita bahwa Kyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia
(pulang kerahmatullah) .

Menjelang meletusnya Madiun Effer (peristiwa Madiun pada tahun 1948 M Hadrotus-Syaikh berkali-kali
menerima surat serta saran agar beliau pulang saja ke Surabaya karena situasinya tidak mungkin aman di
daerah itu. Mendengar pulangnya Hadrotus-Syaikh ini, sebagian besar penduduk di lereng Gunung Lawu itu
keberatan ditinggalkan Hadrotus-Syaikh ; karena mereka memerlukan do’a, ilmu, serta barokah dari beliau
bahkan ada yang berjanji memberikan 20 hektar kebun kepada Hadrotus-Syaikh agar beliau sudi tetap
tinggal di desa itu. Tetapi setelah beliau melakukan istikhoroh akhirnya beliau menetapkan kembali ke
Surabaya.

BAB II

Ketika Hadrotus-Syaikh menjadi santri di pondok Rejoso beliau masih muda belia, sering di jumpai oleh
Nabi Khidir a.s. sehingga beliau laporkan kepada Kyai Romly dan dijawab oleh Kyai : Mengapa tidak kau
minta datang kemari wahai Utsman.

Hadrotus-Syaikh sejak kecil sampai akan pulang kerahmatulloh selalu istiqomah dalam segala prilaku,
perbuatan, serta ucapan yang beliau tiru dari Rosululloh saw. Kita tidak pernah melihat beliau hadats dan
kita semua menyaksikan bahwa keseluruhan waktunya hanyalah untuk mnemgabdi kepada Alloh swt. maka
pantaslah kalau beliau dipilih oleh Kyai Romly sebagai Kholifahnya. Dalam hubungan ini Kyai Romly
pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik besar yang terus mene¬rus berproduksi di
bawah pimpinan Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman r.a. Itulah Thoriqoh Al-Qodiriyah Wan
Naqsyabandiyyah yang beliau asuh.

Sebelumnya Kyai Romly sering menampakkan dan melahirkan ridlonya kepada Hadrotus-Syaikh, sampai
beliau mengatakan : Alangkah besar ridlo saya kepadamu wahai Utsman. Dan Hadrotus-Syaikh meminta
pendapat tentang Kholifah Syaikh Abdul Qodir Jailani r.a. Kyai Romly tersenyum-senyum sambil melihat
dan menunjuk pada Hadrotus-Syaikh. sebaliknya Hadrotus-Syaikh kepada Kyai Romly juga fanatik dan
sering merindukannya apabila berpisah agak lama.
Pada suatu hari putra beliau Abu Luqmanul Hakim sewaktu masih kecil jatuh dan terbentur pada tepi meja
di rumahnya sehingga dari kepalanya mengalir darah yang banyak sekali yang cukup meributkan keluarga
beliau. Maka oleh keluarga beliau supaya beliau mengantarkan putranya ke rumah sakit Karang Tembok
dan kalau tidak berhasil terus ke Simpang, padahal Hadrotus-Syaikh ketika itu akan pergi ke Rejoso karena
sangat rindu kepada Kyai Romly, maka beliau berkata dalam hatinya : saya harus pergi ke Rejoso, tentang
nasib anak saya, saya pasrahkan kepada Alloh.

Ketika beliau berjumpa dengan Kyai Romly di Rejoso, guru beliau mengatakan : Anakmu tidak apa-apa.
Dan benar kata kyai romly bahwa Abu Luqmanul Hakim dalam keadaan sehat wal afiyat, bahkan sedang
memakan nasi goreng sekembalinya Hadrotus-Syaikh dari Rejoso berkat ketaatan serta kecintaan beliau
kepada guru beliau Kyai Romly Attamimy r.a. juga pada suatu hari ketika akan menyelenggarakan walimah
dirumah setelah maghrib, beliau terlebih dahulu meminta izin kepada Kyai Romly dan sampai di Rejoso
tepat pada waktu sholat Dzuhur, sesudah sholat berjama’ah di masjid guru beliau Kyai Romly mengatakan
kepada beliau : sekiranya kau tinggal di pondok seperti yang lalu, maka malam ini saya ajak memenuhi
undangan Manaqiban di Jombang.

Maka Hadrotus-Syaikh bimbang antara mendampingi gurunya memenuhi undangan Manaqiban di Jombang
dan pulang kerumah untuk mengharapkan tamu-tamu yang beliau undang Kerumah beliau pada malam itu
juga. Akhirnya beliau memantapkan pendirian beliau pada alternatilf pertama dan berkata dalam diri sendiri
: saya pasrah kepada Alloh toh nasi-nasi yang telah masak di rumah ada orang-orang yang memakannya,
sedang menyertai guru adalah lebih utama. ketika Kyai Romly mengetahui beliau masih ada di masjid
setelah sholat Asar berkatalah beliau kepada Hadrotus-syaikh : murid yang terdekat kepada gurunya adalah
murid yang tahu akan rahasia-rahasia gurunya.

Kegemaran Hadrotus-Syaikh adalah berziaroh kepada wali-wali Alloh baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal dunia, dan beliau mengenal mereka secara dekat. Bukan hanya nama-nama mereka bahkan
nasab mereka dan hubungan mereka satu sama lain. Sampai-sampai beliau hidup-hidupkan dan beliau
semarakkan peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syaikh Abdul Qodir Jailani r.a. sehingga
hampir tiada hari yang lewat di kota maupun desa terutama di Jawa Timur, kecuali terdapat disitu majlis
manaqib.

Dalam hubungannya ini Hadrotus-Syaikh mentafsirkan qolbunsalim dalam ayat :


‫سليم بقلب للا اتى من اال والبنون مال الينفع يوم‬
Sebagai hati yang selamat dari penyakit batin dan penuh rasa cinta kepada Alloh, Rosulnya, dan para wali-
walinya. sebab kata beliau tanpa wali-wali kita tidak mungkin dapat mengabdi kepada Alloh s.w.t dengan
benar, maka banyak-banyaklah tawasul kepada Auliya’ insya Alloh hati kita akan menjadi khusu’. Yang
mula pertama kali menyelenggarakan Managib adalah Hadrotus-Syaikh dan kemudian direstui oleh Kyai
Romly At-tamimi dengan menyatakan : “baik Man, teruskan Man !”

Mula-mula yang hadir pada majlisan Managib di Jatipurwo selama 4 tahun hanyalah 7 orang 3 orang
diantaranya pada musim panas udzur karna mengidap penyakit paru-paru. Pada suatu hari ditengah-tengah
Hadrotus-Syaikh memimpin Istighotsah, datanglah orang yang tidak dikenal secara tiba-tiba dan langsung
menelentangkan beliau dan melingkarkan pedangnya pada leher beliau yang terlentang dibawah itu.
Peristiwa yang tragis ini diceritakan kepada Kyai Romly, dan beliau hanya menjawab : Teruskan apa yang
telah kamu amalkan, orang tersebut tidak berani menancapkan pedangnya pada lehermu, bahkan dalam
waktu dekat ini tidak akan berpisah denganmu sejengkalpun.

Dan kenyataannya seperti apa yang dinyatakan oleh Kyai Romly. Tentang keutamaan menaqiban ini
Hadrotus-Syaikh mengatakan : Tidak ada ibadah kepada Alloh dimuka bumi ini yang lebih utama dari pada
mencintai wali-wali Alloh, dan beliau mengatakan pula : mencintai para wali termasuk ketaatan yang
terbesar, dan mereka yang menghadiri majlis managib adalah orang-orang yang cinta kepada mereka dan
mencintai mereka adalah bukti akan adanya rasa cinta kepada Alloh s.w.t.

Berkah cintanya Hadrotus-Syaikh kepada para Auliya’ maka beliau sangat dicintai oleh para habaib dan
para ‘Ulama’ akhirat, diantaranya Habib Ali bin Abdurrohman Al-Habsyi, Habib Ali bin Husain bin
Muhammad Al-Atthos, Habib Abu Bakar Muhammad Al-Segaf dan Hadrotus-Syaikh sering berziaroh
kepada mereka dan menghadiri haul mereka. Pada suatu hari Hadrotus-Syaikh bermaksud untuk berziaroh
ke Habib Abu Bakar Muhammad Al-Segaf di Gresik sewaktu Habib masih hidup, beliau berjalan kaki dari
Surabaya ke Gresik di tengah-tengah hujan lebat ditambah suara petir dan guruh yang saling sambar
menyambar di tengah malam yang gelap gempita, ditambah angin kencang yang dapat menerbangkan atap
rumah, sehingga Hadrotus-Syaikh sewaktu sampai di Gresik waktu sudah larut malam dan dalam keadaan
basah kuyup tetapi Habib Abu Bakar nampak masih membuka pintunya lebar-lebar dan penjaga pintu masih
berdiri.
Ketika Hadrotus-Syaikh melewati pintu pagar, penjaga pintu mengatakan bahwa sejak tadi sore Habib
menunggu kedatangan Hadrotus-Syaikh dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika beliau
menghadap habib semua jama’ahnya yang mengelilingi habib semua ta’zhim kepada beliau dan mengeluh-
eluhkan kehadiran beliau. Akhirnya Habib Abu Bakar bertanya tentang apa yang beliau mohon kepada
Alloh dengan perantara Habib, yang kemudian dijawab oleh Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Nadil
Ishaqi r.a “Minta Khusnul Khotimah” habib termenung lama memikirkan betapa luhurnya permohonan
Hadrotus-Syaikh.

Sebelumnya, Hadrotus-Syaikh sudah mempunyai hubungan khusus dengan Habib Ali bin Abdurrohman Al-
Habsyi Kwitang Jakarta, seperti pernyataan habib Hasyim bin Sholeh bin Abdurrohman Al-Habsyi bahwa
Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman r.a. telah mendapatkan futuh melalui Habib Ali bin Abdurrohman Al-
Habsyi r.a. pada suatu hari Kamis tahun 1964. Dan pernyataan Kyai Hasyim Bawean bahwa dia pernah
mengantarkan Hadrotus-Syaikh Utsman r.a. ke Habib Ali bin Abdurrohman Al-Habsyi di Jakarta ditengah-
tengah hidup yang mengelilingi beliau, Habib Ali menjabat tangan Hadrotus-Syaikh seraya mengatakan :
Kunci kutup saya serahkan kepadamu wahai Syaikh Utsman.

Dan pernyataan putra Habib Ali sendiri yaitu Habi Muhammad bin Ali bin Abdurrohman Al-Habsy pada
waktu memberikan sambutan atas wafatnva Hadrotus-Syaikh yang ke 40 harinya bahwa setiap kali
Hadrotus-Syaikh menemui kesulitan apa saja beliau selalu pergi ke Jakarta untuk menjumpai Habib Ali Al-
Habsy untuk kemudian dapat her¬hubungan dengan Rosulullah s.a.w akan tetapi karena jarak Jakarta
Surabaya begitu jauh maka akhirnya hahib Ali Al-Habsy menyuruh menjumpai Habib Abu Bakar
Muhammad Assagaf di Gresik saja, sama-sama Wali Kutup.

Selanjutnya Habib Muhammad bin Ali Habsyi menyatakan dalam sambutannya bahwa Hadrotus-Syaikh
akhirnya berhubungan langsung sendiri dengan Rosulullah saw tanpa perantara sewaktu mengalami
kesulitan.

Hadrotus-Syaikh juga sangat dekat dengan Habib Ali bin Husain bin Muhammad Al-Atthos Bungur Besar
Jakarta sehingga waktu beliau membaca Khususiyyah Wakalimatul Akha’ Syaikh Utsman yang disusun
oleh Habib Hasan Al-Jufri Bangil beliau menangis terisak-isak, kemudian beliau gantungkan di atas pintu
rumah seraya mengatan : Saya letakkan nadzoman ini di sini agar saya dapat melihat Syaikh Utsman setiap
saat Kemudian beliau mendoakan Hadrotus-Syaikh semoga panjang umur, kalau tidak (kata habib Ali Al-
Atthos) siapakah yang menggantikan kedudukannya ? demikian pernyataan menantu Hadrotus-Syaikh Abu
Lu’lu’ sekembalinya dari Jakarta dan habib Ali bin Husain bin Muhammad Al-Atthos pernah menyatakan
dimuka kami sesungguhnya Syaikh Utsman tiada duanya pada masa sekarang dan pada waktu Hadrotus-
Syaikh berziarah kesana dihadapan para hadirin beliau menyatakan wahai Syaikh Utsman engkau dari
keluarga Nabi. Kekholifahan Syaikh Abdul Qadir Jailani ditanganmu wahai Utsman. dan dalam kesempatan
lain, beliau menyatakan : Saya mendengar dengan kedua telinga saya Paman saya Ali bin Abdur Rohman
Al-Habsyi mengatakan : sungguh Utsman di Mahsyar nanti sangat dekat dengan Nabi Muhammad s.a.w.
seperti dikemukakan pada Bab I yang lalu bahwa Hadrotus-Syaikh mempunyai hubungan istimewa dengan
Syaikh Abdul Qodir Jailani r.a. bahkan dengan Rosulullah s.a.w seperti dikemukakan diatas dan seperti
pernyataan Habib Muhammad Al-Habsy pada 40 hari wafatnya Hadrotus-Syaikh bahwa Habib Ali Al-
Habsy, Habib Ahmad bin Kholid Al-Hamid, Habib Umar Al-Idrus dan lain-lainnya, menyatakan bahwa
Hadrotus-Syaikh Utsman adalah tergolong Ahlul bait Rosulillah s.a.w.

Habib Ahmad bin Hamid Al-Habsyi pernah bertanya pada Habib Salim bin Jundan waktu beliau masih
hidup, apa yang menyebabkan para Habib senang pada Kyai Utsman ? Habib Salim bin Jundan menjawab :
Syaikh Utsman termasuk keluarga Rosulullah s.a.w, darahnya adalah darah saya ini maka ciumlah
tangannya apabila kau ketemu dengannya walaupun banyak orang mendengkinya toh dia tidak pernah susah
akibat didengki orang, mereka yang mendengkinya hanyalah rumput-rumput sedangkan Syaikh Utsman
adalah pohon besar yang rindang.

Ketika Kyai Ahmad Asrori kholifatus Syaikh Muhammad Utsman masih kecil, pernah diajak oleh
pengasuhnya yang bernama Abdul Hakim Bawean untuk berkunjung ke Habib Alie bin Muhummad bin
Alwi As-shodiq Al-Habsyi cucunya habib Syaikh Bafaqih Boto Putih Surabaya bertepatan dengan hari raya
Idul Fitri, Dalam kesempatan itu Habib mengatakan kepadanya : jangan kau risaukan haliyah orang tuamu,
beliau bagaikan Matahari, apabila sangat dekat dengan kita manusia banyak yang tidak tahan karena saking
panasnya, tetapi ketika jauh dari kita sinarnya akan membahagiakan kita semua. Demikianlah keadaan
orang tuammu Syaikh Utsman r.a. Seorang Kyai belum dinamakan Kyai sempurna sehelum ia diingkari
oleh orang-orang yang dekat kepadanya dan sebaliknya dia dicintai oleh orang-orang yang jauh dari
padanya.

Tentang hubungan Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman r.a dengan Kyai Hamid Pasuruan, Hadrotus-
Syaikh pernah bercerita setelah walimatul haul Habib Syaikh Bafagih Boto Putih Surabaya : saya keluar ke
teras cungkup di dampingi oleh Kyai Abdul Hamid Pasuruan duduk ditangga cungkup. Pada waktu itu Kyai
Abdul Hamid bercerita : tadi sebelum kesini saya tidur dirumah salah seorang teman di Surabaya. Ketika
saya bangun, dihadapan saya terlihat foto Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman, oleh karena saya tahu
bahwa yang meletakkan adalah Agus Mas’ud Kedung Cangkring Sidoarjo, maka saya bertanya kepadanya
tentang maksudnya, jawabannya hanya Wallohu A’lam. Kata Hadrotus-Syaikh : Saya pun diam mendengar
cerita itu karera menyangkut masalah maqom (martabat). Tiba-tiba Kyai Hamid menjawab sendiri : untuk
kepentingan hubungan di Mahsyar nanti. itulah sebabnya, maka dalam suatu walimah Kyai Abdul Hamid
Pasuruan mengharap kepada Hadrotus-Syaikh agar ada hubungan yang dekat antara keduanya di Mahsyar
nanti, dan Hadrotus-Syaikh menjawab : Kyai nanti bersama kami disisi Alloh Yang Maha Kuasa.

Dan didalam walimah yang lalu ada orang meminta, barokah do’a kepada Kyai Hamid, sedangkan disisi
beliau adalah Hadrotus-Syaikh. akhirnya Kyai Hamid memegang lutut Hadrotus-Syaikh Utsman dengan
tangan kiri dan berdo’a untuk orang yang meminta doa tadi dengan tangan kanan. Adik kami Asfahani putra
Kyai Abdullah Faqih yang mengaji di pondok Kyai Hamid Pasuruan mengatakan pada suatu ketika kami
duduk bersama-sama Kyai Hamid di ruang tamu, tiba-tiba Kyai Hamid mengatakan kepada kami : di
Pasuruan ini hanya ada kayu Garu, alangkah ni’matnya kalau ada pohonnya Asfahani ! tiba-tiba Hadrotus-
Syaikh Muhammad Utsman datang bertamu ke ruang tamu dan spontan Kyai Hamid merangkulnya dan
mergatakan : ini apa pohon garunya!

Inilah sebagian kecil yang nampak tentang kedudukan dan Manzilah Hadrotus-Syaikh Utsman Nadil Ishaqi
r.a.

BAB III
Ketika haul akbar Syaikh Abdul Qodir Jailani r.a. tahun 1389 H. dalam sambutannya habib Muhammad bin
Ali bin Abdurrohman AI-Habsyi menceritakan tentang perjalanan orang tuanya ketanah suci dan bertemu
dengan Syaikh Abdul Qadir Jailani r.a. yang menyatakan pada Habib : Kholifah saya adalah Utsman
Surabaya.

Di antara kekeramatan Hadrotus-Syaikh yang lain : kyai Muhammad Fagih Langitan berkata bahwa Kyai
Maimun sarang diceritakan oleh bapaknya yang bernama kyai Zubair bahwa habib Abd Qodir Bilfaqih
bermimpi berjumpa dengan Rosulullah s.a.w yang sedang menemui 2 orang lelaki dan Rosulullah
menyatakan kepadanya : Keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa. Diantaranya adalah dua orang ini yaitu
Romly dan Utsman.

Kekeramatan Hadrotus-Syaikh yang lain adalah dari Kyai Faqih Amin Praban Surabaya (pernah menjadi
guru dan kawan Hadrotus-Syaikh) beliau mengatakan pada pada suatu hari saya berkunjung kepada Kyai
Utsman, dan dia meminta saya untuk menjadi muridnya dibawah naungan Thoriqoh Qodiriyyah Wan
Naqsyabandiyyah setelah bertukar pikiran tentang thoriqoh sampai jam 2 malam. Saya kalah dan mau
menyerah kepada ajakannya dengan syarat : tiga burung perkutut yang didalam sangkar masing-masing
berkicau secara berturut-turut dengan komandonya, setelah dia komando, tiba-tiba tiga ekor burung itu
berkicau berturut-turut dengan izin Alloh, maka terasalah dalam diri saya akan kebesaran Hadrotus-Syaikh,
dan sejak itu saya memakai bahasa Jawa halus (Kromo) sebagai ganti bahasa Jawa kasar (ngoko), dan
setelah tiga bulan minta di bai’at.

Di antara kekeramatan beliau, ketika pada suatu hari kami akan menghadap Hadrotus-Syaikh, berkata dalam
diri sendiri : mengapa jauh-jauh kulangkahkan kakiku kepondok anu. Kemudian keperguruan tinggi anu,
sampai akhirnya keluar negeri untuk mencari kebenaran dan keyakinan. padahal di Surabaya sini terdapat
seorang Mursyid yang membimbing saya menempuh jalan akhirat dengan selamat. maka ketika kami duduk
diruang tamu keluarlah Hadrotus-Syaikh dari dalam sambil meletakkan tangan kanannya di atas dada
(sanubari) seraya mengatakan : diantara guru saya juga ada yang bukan dari jam’iyyah kita. Tetapi
Alhamdulillah saya belum pernah mengingkarinya sama sekali. Maka kami pun merasa malu dan
menundukkan kepala.

Di antara kekeramatan beliau, pada tanggal 11 Syawal 1392 H. Hadrotus-Syaikh menjamu para tamu yang
menghadiri majlis Manaqib di pondok Jatipurwo. Beliau mengatakan kepada kami : Wahai Abdul Ghoffar !
ketika kau tinggal di Mesir apakah kau pernah ketemu dengan Syaikh Hasan Ridwan seorang wali di Mesir
yang dimintai barokah oleh orang Islam Mesir ? Ya, kami pernah menjumpainya pada suatu hari dalam
rangka kuliah umum Tasawuf oleh Ir. Abdul Halim Mahmud yang dihadiri oleh para sufi dibalai pertemuan
Al-Azhar. Selanjutnya Hadrotus-Syaikh berkata kepada para hadirin : Ketika salah seorang Habib Ampel
berkunjung ke Mesir, dia menjumpai Syaikh Hasan Ridwan, dia ditanya tentang negerinya. Ketika ia
menjawab dari Indonesia dari Ampel, maka Syaikh Hasan Ridwan mengatakan : Jadi rumahmu dekat
dengan Syaikh Utsman Al-Ishaqi ? Habib menjawab : Ya, akhirnya Syaikh Hasan Ridwan mengatakan
kepadanya : Apabila kamu sampai di rumah, berkunjunglah ke Syaikh Utsman, dan sampaikanlah salamku
kepadanya, ketahuilah bahwa saya sering berkunjung ke rumahnya.
Diantara kekeramatan beliau, pada suatu hari dibulan Maulid, Hadrotus-Syaikh pergi ke Jakarta naik kereta
api untuk menghadiri Maulid Nabi Muhammad s.a.w dan haulnya Habib Alie Al-Habsyi di Kwitang
Jakarta, ketika kereta api berada diantara Cirebon-Jakarta karcis Hadrotus-Syaikh diperiksa Polisi KA
dengan ketat sekali termasuk kartu tanda pengenal beliau yang akhirnya polisi memaksa Hadrotus-Syaikh
untuk menemuinya di restorasi, sehingga menimbulkan kemarahan beliau, maka seketika itu pula datanglah
hal beliau dan mengatakan : Perbuatan ini menunda sampainya kereta api di Jakarta.

Spontan kereta api itu berhenti tanpa sebab yang nyata, anehnya semua hubungan interlokal maupun bukan
interlokal terputus sama sekali dengan Stasiun, kebetulan dibelakang gerbong Hadrotus-Syaikh terdapat
Habib Abd Hadi bin Abdulloh Al-Haddar dari Banyuwangi. Maka setelah kereta api macet selama 1 jam dia
mengirim utusan ke Hadrotus-Syaikh seraya menga¬takan : jam berapa sekarang ! pergilah ke Kyai
Utsman, dan mintalah barokah Fatihah kepadanya agar kita tidak terlambat. Akhirnya setelah beliau
membaca Al-Fatihah barulah beliau sadar akan diri beliau, dan spontan kereta api berjalan kembali seusai
pembacaan Al-Fatihah, demikian pula hubungan yang menyangkut perkerata apian sambung kembali.

Kyai Masduri Ngroto menceritakan kepada kami sejarah masuknya Thoriqoh Qodiriyyah Wan
Naqsyabandiyyah di Ngroto dan sekitarnya sebagai berikut : Sejak tahun 1936/1937 M banyak guru-guru
Thoriqoh yang berusaha memasukkan Thoriqoh ke Ngroto bahkan ada kyai yang sampai kawin di Ngroto
kemudian terpaksa firoq karena tidak berhasil memasukkan Thoriqoh.

Pada bulan Muharram tahun 1964 M Hadrotus-Syaikh mulai pertama datang ke Ngroto bersama Kyai
Muslih bertepatan dengan Haulnya Kyai Sirojuddin. Itulah mula pertama datang ke Ngroto bersama
Hadrotus-Syaikh. Kemudian untuk kedua kalinya datang pada tahun 1966 M saya di panggil ke rumah
paman, dan Hadrotus-Syaikh menangis dan saya dirangkul seraya mengatakan : Sabarlah ! sejak sekarang
Masduri menjadi Kyai di desa sini maka do’akanlah semoga panjang umur. Sepulangnya Hadrotus-Syaikh
dapat 15 hari paman saya meninggal, dan atas saran beliau saya kirim surat kepada beliau tentang wafatnya
paman. Dan saya mendapatkan balasan agar saya datang kesurabaya di Surabaya saya dibai’at dan diberi
ijazah Manaqib secara mutlaq. Setelah itu banyak para ikhwan yang menjadi murid Hadrotus-Syaikh maka
tersebarlah Thoriqoh di Ngroto.

Pada suatu hari di bulan Muharram Hadrotus-Syaikh pergi ke Ngroto menghadiri acara Haul, tetapi
kendaraan beliau terhalang lumpur di Kemiri 4 km dari Ngroto, kalau mobil beliau diarahkan ke Ngroto
mogok, kalau diarahkan ke Surabaya mobil beliau bisa berjalan, maka Hadrotus-Syaikh menetapkan untuk
kembali ke Surabaya, yang menolong mengentas mobil beliau dari lumpur adalah masyarakat Kemiri maka
Hadrotus-Syaikh mengatakan : saya tidak dapat membalas sama sekali. hanya saya do’akan mudah-
mudahan masyarakat disini selamat semua, maka barokah doa beliau setiap kampung dari Kemiri sampai
Ngroto pasti ada Manaqiban dan ada murid-murid beliau, diantaranya desa Tembelingan yang asalnya tidak
ada yang sholat bahkan tidak ada masjid dan musholla, tetapi berkat dilewati oleh Hadrotus-Syaikh, Islam
tersebar di Tembelingan dan sekitarnya ada masjid dan banyak musholla dan Imammuddin serta sebagian
kaum musimin disitu sudah menjadi murid beliau, sehingga Kyai Muslih Mranggen mengatakan : masuknya
Hadrotus-Syaikh ke Ngroto sudah pas karena masyarakat Ngroto adalah masyarakat Madura, cocok dengan
kata-kata Syaikh Utsman : Ngroto adalah bau Madura. dan Hadrotus-Syaikh pernah mengatakan : saya
bermimpi di sebelah timur Semarang ada cahaya. apakah ada Waliyyulloh di sana ? ternyata benar itulah
Kyai Sirojuddin.

Selanjutnya Kyai Masduri mengatakan : sekembalinya saya dari Surabaya pada suatu hari saya sakit mata,
walaupun sudah berobat tetap tidak mau sembuh kecuali hari Kamis dan Jum’at saja. Maka pada suatu
malam Jum’at saya membaca Al-Fatihah kemudian membaca sil¬silah maka malam itu juga saya bermimpi
berjumpa dengan Hadrotus-Syaikh, beliau menanyakan kepada saya : apakah matamu sakit ? Apakah yang
sakit sebelah kanan? maka mata diobati oleh Hadrotus-Syaikh dengan jari-jarinya dan ternyata
Alhamdulillah sembuh betul-betul, maka esok harinya hari Sabtu saya pergi ke Surabaya untuk menjumpai
beliau. Beliau bertanya : Apakah matamu sudah sembuh ? saya menjawab : Ya. kemudian beliau
menyatakan : Ya saya obati dari sini.

Selanjutnya Kyai Masduri menceritakan lagi : pada suatu hari sewaktu saya berkunjung ke Hadrotus-Syaikh
saya disuruh ke Ampel seraya mengatakan : Pergilah ke Ampel, saya rindu Agus Mas’ud.
Sesampai saya di lawang Agung saya bertemu dengan Agus Mas’ud, cepat-cepat turun dan minta gendong
saya. Kyai Masduri menceritakan lagi bahwa Hadrotus-Syaikh menceritakan kepadanya sebagai berikut :
Pada suatu hari Jum’at ada orang hendak menunaikan sholat Jum’at di masjid Ampel, kemudian saya
panggil, saya ajak sholat Jum’at di Baitul Ma’mur. Setelah kita melangkah tiga langkah kita sudah sampai di
Baitul Ma’mur, ini boleh kau ceritakan setelah saya meninggal.

Cerita lain dari Kyai Masduri adalah sebaga berikut : saya bermimpi sholat di musholla yang penuh dengan
mushollun, karena mereka sholat semuanya saja, maka saya mengingkarinya dan Hadrotus-Syaikh menjadi
ma’mum tidak tahu siapa yang menjadi imam dan beliau mengatakan kepada Saya : mereka adalah Wali-
wali Alloh, dan saya bermimpi berjumpa dengan Nabi Khidir a.s. beliau mengajak saya ketepi sungai disana
ada musholla yang bersinar terang, tahu-tahu disitu ada Hadrotus-Syaikh dan kita bertiga menjadi ma’mum
tetapi saya tidak tahu siapa imamnya.

Habib Abdulloh bin Umar Al-Haddar mengatakan kepada kami : pada suatu hari Kamis dibulan Syawal
Habib Abdul Hadi bin Abdulloh Al-Haddar ingin berjumpa dengan Hadrotus-Syaikh Utsman sesudah
masuk waktu sholat Ashar tetapi sesampai di pondok Jatipurwo beliau tidak menjumpai Hadrotus-Syaikh.
Setelah lama menunggu di pondok dan waktu sudah menjelang Maghrib maka Habib Abdul Hadi pun cepat-
cepat meninggalkan pondok untuk menuju ke Ketapang karena setelah sholat Maghrib ada acara pembacaan
burdah di Ketapang, ketika sampai di Karang Tembok becak beliau berpapasan dengan mobil Hadrotus-
Syaikh, maka beliau pun kembali lagi ke pondok Jatipurwo untuk menemui Hadrotus-Syaikh. Sesampai di
Pondok Hadrotus-Syaikh sedang mengimami sholat Ashar dalam waktu Ashar yang paling akhir bahkan
setelah Ashar sempat membaca semua wirid seperti biasanya sampai tuntas, kemudian Hadrotus-Syaikh
menjumpai Habib Abdul Hadi bersama saya (Habib Abdullah bin Umar Al-Haddar) diruang tamu. Diruang
tamu Habib Abdul Hadi membaca Allohu Hu Iiy. Allohu Hu liy Fani’mal Wali, setelah dijamu secukupnya
Habib Abdul Hadi mohon pamit kepada Hadrotus-Syaikh untuk pergi ke Ketapang, dalam hatinya waktu
telah berlalu untuk mengikuti pembacaan burdah di Ketapang, tetapi kenyataannya tidak demikian. Kami
sampai di Ketapang orang-orang masih melakukan sholat Maghrib

Diantara kekeramatan Hadrotus-Syaikh sopir Hadrotus-Syaikh, meski mengatakan kepada kami : pada suatu
hari sepulangnya Hadrotus-Syaikh dari Rejoso, mobil di istirahatkan di Jombang agar kami makan minum
dulu. Sedangkan Hadrotus-Syaikh menunggu disalah satu rumah dekat warung tersebut. Seusai makan
minum kami menyatakan kepada Hadrotus-Syaikh bahwa bensin telah habis. Beliaupun terkejut dan
menanyakan mengapa tidak bilang dari tadi sebelum semua uang yang ada di tangan beliau diserahkan ke
pondok Rejoso dan beliau menanyakan sisa uang kami. Kami menjawab hanya tinggal beberapa puluh
rupiah saja. Secara spontan beliau menegaskan : kalau memang demikian baiklah isilah tangki mobil itu
dengan air teh tanpa gula semampu uang yang ada padamu ! Kamipun percaya sepenuhnya kepada beliau
dan membeli teh tawar beberapa ceret dari warung dan langsung kami isikan ke tangki mobil. Setelah itu
kami melapor untuk pulang ke Surabaya. Beliau bertanya : sudah kau isi bensin ? Kami menjawab mobil
kami isi dengan sesuai perintah Hadrotus-Syaikh dan karena terlanjur beliau pun akhirnya menyatakan :
baiklah ! mari pulang ke Surabaya. Teh-teh juga bisa menjadi bensin. akhirnya betul, mobil berjalan terus
sampai ke Surabaya memakai bahan bakar teh.

Sopir Hadrotus-Syaikh yang terakhir yaitu Abd Syakur juga mengalami peristiwa serupa yaitu dalam
perjalanan antara Pasuruan Probolinggo mobil Khadrotus-Syaikh kehabisan bensin di tengah malam dan dia
disuruh mencari warung untuk mendapatkan teh satu gelas, setelah di dapatkan tehpun di do’ai oleh
Hadrotus-Syaikh dan menyatakan : sudahlah isilah dengan teh sama saja. Akhirnya mobil sampai di
Probolinggo persis di garasi mobil bensin yang dari teh tadi habis sama sekali.

Cerita semacam ini terjadi pula pada waktu Hadrotus-Syaikh pulang dari Ngroto Semarang, di tengah
perjalanan yang jauh dari keramaian Pir mobil putus tinggal satu Pir saja dan sekaligus Oli mobil habis
kering sama sekali. Ini terjadi disekitar Caruban menuju Surabaya. Dan Hadrotus-Syaikh menyuruh mencari
teh untuk mengantikan Oli yang sudah habis. Setelah diisi dengan teh mobilpun dapat di stater dengan
hanya satu Pir saja dapat berjalan terus sampai diSurabaya dengan selamat bi iznillah.

Diantara kekeramatan Hadrotus-Syaikh, beliau menceritakan pengalaman beliau sewaktu ke Singapura.


Melihat banyaknya orang-orang yang menjemput beliau di Airport. Ketua security seorang wanita berusaha
ingin menyelamatkan beliau dari intervio para Inteljen yang lain. Maka dia pura-pura mengaku sebagai
orang tuanya yang ada di Pontianak. Dan langsung di gandeng dari Airport menuju mobil dan diantar sekali
menuju ketempat tujuan. Besoknya dia kembali lagi membawa 2 handuk mandi Hadrotus-Syaikh, tetapi
setelah satu hari dipakai mandi dia minta kembali, demikian pula handuk yang satu lagi dan menyatakan
bahwa handuk yang untuk dia pakai mandi sehari-hari, sedang yang satu lagi untuk dia pakai kain kafan
waktu dia meninggal nanti dan seketika itu dia minta di bai’at oleh Hadrotus-Syaikh sebagai murid
Thoriqoh Qodriyah Wan Nangsabandiyyah. Sejak itu Hadrotus-Syaikh selalu di kawal oleh ketua security
perempuan itu pulang pergi ke singapura. Beliau menyatakan : Inilah berkat saya tidak pernah menyakitkan
hati Ibu saya selama hidup beliau.

Inilah sekelumit biografi Hadrotus-Syaikh Muhammad Utsman Al-Ishaqi r.a.

(Sumber:http://yaiutsmanal-ishaqira.blogspot.com)
Manaqib Guru K.H Kasyful Anwar Pendiri Pondok Pesantren Darussalam Martapura

by Kulaan Urang Banjar on Tuesday, September 28, 2010 at 6:04am ·

Kasyful Anwar. Demikian nama yang diberikan oleh Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari (Tuan
Guru Bangil) kepada putra pertamanya. Nama Kasyful Anwar tak lain diambil dari nama guru sekaligus
paman Tuan Guru Bangil sendiri yakni Tuan Guru Syech Kasyful Anwar Al Banjari (Pengurus Pondok
Pesantren Darussalam, Martapura (1922-1940). Harapannya adalah agar keberkahan Tuan Guru Syech
Kasyful Anwar menurun kepada putranya, yang nantinya akan melanjutkan dakwah Islam sebagai
pengganti dirinya di kemudian hari seperti halnya Tuan Guru Syech Syarwani Abdan dalam meneruskan
tongkat estafet dakwah paman tercintanya Tuan Guru Syech Kasyful Anwar Al Banjari.

Kini, Tuan Guru Kasyul Anwar (putra Guru Bangil) telah mewujudkan harapan tersebut, dimana hari-
harinya diisi dengan mengurus Pondok Pesantren Datu Kelampaian yang merupakan peninggalan orang
tuanya, dengan mengasuh dan mendidik para santri. Sebagaimana orang tuanya dulu yang selalu berpesan
agar selalu memegang teguh aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, dalam banyak kesempatan Tuan Guru
Kasyful Anwar juga sering kali berpesan hal serupa yaitu agar umat Islam pada umumnya dan warga banjar
khususnya senantiasa berhati-hati dari berbagai pengaruh pemikiran dan aqidah yang menyimpang.

JALUR PESANTREN

Tuan Guru Kasyul Anwar lahir pada tahun 1944 di Kota Bangil, ia merupakan putra pertama pasangan Tuan
Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari dan Hajjah Bintang Binti H. Abdul Aziz dari 27 bersaudara.
Sewaktu kecil, pertama kali ia menjalani pendidikan agamanya di Madrasah Ibtidaiyah Al Hurriyah di
Bangil pimpinan Ustadz Jalal. Selain di Al Hurriyah, ia juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Kiai
Hamid Pasuruan, yang juga sahabat akrab ayahandanya. Di masa-masa belianya beliau aktif dalam
menuntut ilmu dan masuk Pondok Pesantren Darun Nasyi’in Lawang, Jawa Timur yang diasuh oleh Habib
Muhammad Bin Husain Ba’bud. Di Pesantren tersebut, beliau tinggal selama enam tahun lainnya.

Selepas mondok di Pondok Pesantren Darun Nasyi’in, beliau berangkat ke Martapura, Kalimantan Selatan
kurang lebih selama satu tahun lamanya untuk menuntut ilmu dan mengaji, diantaranya kepada Tuan Guru
Anang Sya’rani Arif (dikemudian hari menjadi mertuanya). Tuan Guru Anang Sya’rani Arif adalah seorang
ulama besar yang menggantikan Tuan Guru Syech Kasyful Anwar Al Banjari dalam meneruskan
kepemimpinan Pondok Pesantren Darussalam, Martapura yang tak lain adalah sepupu sekaligus sahabat
seperguruan ayahnya sewaktu sama-sama menuntut ilmu selama sekitar sepuluh tahun di kota Mekkah.

Setahun di Kota Martapura, beliau kembali lagi ke kota Bangil. Di kota kelahirannya ini, beliau
menyempatkan diri berguru kepada Habib Ali bin Abdullah Al Haddad, putra Habib Abdullah bin Ali Al
Haddad, Sangeng, Bangil. Selain kepada Habib Ali bin Abdullah Al Haddad, selama sekitar dua tahun
lamanya beliau juga menimba ilmu dari Habib Salim bin Agil di Surabaya.

Kedekatannya dengan para guru dari kalangan Habaib berlanjut saat dirinya tak lama setelah itu tinggal di
Jakarta. Beliau di Jakarta memperdalam ilmu kepada Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (ulama ahli hadist
terkemuka di era tahun 1960 an).

JALUR FORMAL

Selain jalur pendidikan pesantren, beliau juga menenmpuh pendidikan formal hingga sampai ke jenjang
perguruan tinggi. Pada tahun 1971, beliau masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan
berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 1978. Setelah lulus sarjana, beliau mengajar di almameternya
tersebut hingga tahun 1991. Sejak tahun 1991, beliau mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Meski terhitung sudah tidak muda usia, semangatnya dalam terus mengisi hari-harinya dengan aktivitas
ilmu pengetahuan tidaklah pudar. Tahun 2007, beliau menuntaskan pendidikan pasca sarjana (S2) di
Universitas Sunan Giri Surabaya.

Sebelumnya beliau juga mengajar di beberapa tempat lainnya, termasuk di Universitas Zainul Hasan
Probolinggo dan terkadang mengisi acara santapan rohani di Radio. Setelah ayahnya wafat (Tuan Guru
Syech Syarwani Abdan Al Banjari), Tuan Guru Kasful Anwar memfokuskan aktivitas mengajarnya pada
dua tempat, yaitu di IAIN dan Pondok Pesantren Datu Kelampaian, peninggalan sang ayah.

KEDEKATAN DENGAN PARA HABAIB

Tuan Guru Kasyul Anwar adalah sosok seorang ulama yang dekat dengan kalangan habaib, bahkan sejak
dari masa-masa menuntut ilmu di waktu muda dulu. Ia tampak bersemangat saat menceritakan masa-masa
indahnya sewaktu belajar kepada Habib Salim.

Sejenak matanya menerawang jauh kedepan. Tak lama setelah itu, ia pun tersenyum sambil mengisahkan
sosok Habib Salim yang dulu mengajarnya sambil duduk di atas kursi goyang. Kenangan itu seakan belum
lama terlewat. Selain bercerita tentang saat-saat belajarnya, ia juga mengisahkan cerita yang
menggambarkan kedekatan hubungan yang terbangun antara dirinya dan gurunya itu. Sejurus kemudian
ingatannya melayang pada suatu kenangan saat ia pernah diperintahkan menguras kolam besar dirumah
gurunya tersebut. Pada awalnya Habib Salim hanya memperhatikan dan memberikan perintah dari sisi
kolam. Dengan sepenuh rasa patuh seorang murid kepada gurunya, Tuan Guru Kasyul Anwar muda pun
membersihkan kolam air tersebut. Setelah beberapa lama, Habib Salim sendiri pun menceburkan dirinya ke
kolam itu. Akhirnya, keduanya sama-sama berkubang air kolam, menguras dan mencuci isi kolam. Setelah
selesai, mereka makan bersama.

Meski roda waktu telah berputar lebih dari empat puluh tahun, peristiwa tersebut serasa baru saja terjadi.
Baginya, itu menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Terkadang beliau juga tidak habis pikir dengan
beberapa kejadian di rumah Habib Salim. Dulu itu sehari-hari beliau sering berada di rumah Habib Salim,
maka sering kali beliau disuruh menjaga pintu ruang tamunya. Sekali waktu, beliau kaget saat melewati
ruang dalam dan kemudian menoleh ke ruangan tersebut. Beliau terkejut dengan banyaknya tamu dengan
pakaian jubah dan sorban serba putih, duduk bersama Habib Salim, seperti tengah dalam perbincangan pada
sebuah majelis ilmu. Padahal, awalnya para tamu itu tidak ada. Karena ia yang ditugasi untuk menjaga
pintu, ia tahu persis bahwa sebelumnya tidak ada seorang tamu pun, apalagi tamu sebanyak itu.

Banyak pula kejadian aneh yang ia alami langsung saat ia dekat dengan Habib Salim dulu. Karenanya, ia
sangat meyakini bahwa sang guru memang waliyullah. Saat menceritakan perihal gurunya yang satu ini,
Tuan Guru Kasyul Anwar kelihatan lebih bersemangat. Dua tahun lamanya beliau mengaji dan dekat
dengan Habib Salim tampaknya meninggalkan banyak kisah dan kesan. Semua yang diceritakannya itu tak
lain merupakan gambaran kedekatan hubungan antara dirinya dan sang guru, Habib Salim bin Jindan.

Saat beliau kuliah di Semarang yaitu era tahun 1970 an, Beliau juga sudah mengenal dekat Habib Anis bin
Alwi Al Habsyi. Bahkan dapat dikatakan sangat dekat. Beliau sangat mengagumi sosok Habib Anis, yang
sangat bersahaja, ramah kepada siapapun dan berbagai sifat-sifat istimewa Habib Anis lainnya. Banyak pula
kenangan yang telah ia lalui saat-saat perjumpaannya dengan Habib Anis, yang kini telah tiada. Selama ini
saya sangat mencintai Habib Anis, begitu pun sebaliknya. Maka, pada suatu kesempatan beliau mengatakan,
Ya Habib Anis, ‘Usyhidullaha anni uhibbuk’ (Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku mencintaimu, wahai
Habib Anis), maka Habib Anis pun menjawab, ‘ Wa ana kadzalik’ (Begitu pula aku kata Habib Anis).
Dalam kitab Al Adzkar, buah karya Imam Nawawi memang disebutkan kesunnahan bagi seseorang yang
mencintai seseorang lainnya karena Allah agar mengungkapkan ekspresi kecintaan itu lewat lisannya.

MENJAGA AQIDAH PARA SALAF

Dari pengalaman hidup yang telah dilewati, beliau memang seorang yang telah cukup lama menuntut ilmu
dari para habaib. Dalam pergaulan sehari-harinya pun, beliau juga banyak berhubungan dekat dengan
mereka, beliau mengatakan, umat islam memang harus mencintai ahlul bayt, dan pada saat ini kecintaan
tersebut dapat dicurahkan kepada para habib, sebagai dzurriyat Rasulullah SAW.

“ Saya bahkan menganjurkan kepada para thalabah (penuntut ilmu), dalam mencari guru silakan mencari
ilmu sebanyak-banyaknya, silakan pula mencari guru sejauh-jauhnya, tapi jangan sampai tidak berguru
kepada habib. Selain memperhatikan keluasan ilmu yang dimiliki seorang guru dan sikap keseharian yang
wara, perhatikan pula nasabnya. Sebisa mungkin kita menimba ilmu kepada guru yang nasabnya
bersambung kepada Rasulullah SAW. Karena itu termasuk tali penyambung seorang thalabah kepada
Rasulullah SAW, yaitu melalui keberkahan nasab gurunya tersebut. Zaman sekarang, banyak orang yang
tidak memperhatikan lagi hal-hal seperti ini, “ katanya dengan sepenuh perasaan.

Terlepas dari itu, sebagaimanan ayahnya dulu Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari yang semasa
hidupnya sangat bersungguh-sungguh dalam menjaga aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, kini ia pun
tampaknya meneruskan sikap teguh sang ayah tersebut. Dulu, sekitar tahun 1978 hingga awal 1980 an,
ayahnya merasakan ada pengaruh-pengaruh ajaran Syi’ah yang mulai dimunculkan di kota Bangil. Demi
tanggung jawabnya dalam membentengi aqidah para santri yang menuntut ilmu di pesantrennya, segera saja
Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari membuka majelis ilmu yang materinya berisikan seputar
perbedaan-perbedaan antara paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan paham Syi’ah. Pada majelisnya itu, Tuan
Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari membaca Kitab Al Hujjatul Mardhiyyah fin Nasyihati wa Raddi
ba’dhi Syuyu-khisy Syi’atil Khasbiyah, buah karya Syech Muhammad Ali bin Husain Al Maliki, dan Kitab
Al Husamul Masluk ‘ala Muntaqishil Ashabir Rasul, buah karya Syech Hasanain Muhammad Makhluf.

Tampaknya, kekhawatiran mendalam Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari pada masalah aqidah,
khususnya dalam menjaga aqidah santri asuhannya, menurun kepada sang anak. Seperti tiada mengenal kata
bosan, Tuan Guru Kasful Anwar selalu berpesan kepada para santri dan alumni Pondok Pesantren Datu
Kelampaian, masyarakat muslim Banjar, baik yang ada di Bangil maupun di tanah asalnya, dan juga kepada
banyak orang yang ditemuinya, agar senantiasa berpegang teguh pada aqidah para salafush shalih.

Karenanya, beliau mengingatkan, kecintaan kepada para habib itu selayaknya harus berdasarkan ilmu,
hingga seseorang dapat mencintai habaib dengan benar dan tepat. Tidak kurang, dan jangan pula sampai
berlebih. Dalam kaitan itu beliau berpesan, terutama kepada warga Banjar, agar kecintaan kepada para
Habib tidak sampai membuat aqidah menjadi bergeser. Maka, perdalamlah ilmu agama secara benar,
perhatikanlah pula sanad (mata rantai) ilmu yang diperoleh, agar seorang thalabah tidak terseret pada paham
aqidah yang menyimpang.

KEHIDUPAN BERUMAH TANGGA


Tuan Guru Kasful Anwar menikah dengan Hajjah Rif’ah (putri dari Tuan Guru Anang Sya’rani Arif,
Martapura) dikaruniai anak lima orang putra dan putri yakni Siti Wafrah, Siti Nayyirah, Siti Atikah,
Muhammad Luthfil Hakim dan Muhammad Minnanurrahman). Beliau membekali putra dan putrinya
dengan pendidikan agama yang kuat. Hal ini tentunya beliau maksudkan agar mereka dapat mempunyai
pegangan yang kukuh dalam menghadapi tantangan zaman yang terlihat semakin berat, sekaligus beliau
berharap agar kelak mereka dapat meneruskan jejak orangtuanya dalam berdakwah menyebarluaskan ilmu
agama.

Saat ini, putranya yang bernama Muhammad Luthfil Hakim, beliau kirim ke Rubath Tarim, asuhan Habib
Salim bin Abdullah Asy Syathiri. Sementara putra bungsunya, Muhammad Minnanurrahman juga tengah
belajar pada ma’had pimpinan Habib Ahmad bin Husain bin Abu Bakar Assegaf, yang juga terdapat di kota
Bangil, dan letaknya tidak seberapa jauh dari kediamannya. Habib ahmad adalah cucu Habib Abu Bakar bin
Husain Assegaf, salah seorang sahabat dekat yang sangat dicintai oleh Tuan Guru Syech Syarwani Abdan
Al Banjari ayah Tuan Guru Kasful Anwar atau kakek dari Muhammad Minnanurrahman.

(red : memohon maaf yang sebesar-besar, minta ridho dan minta halal apabila dalam penulisan ini terdapat
kekeliruan/kesalahan dikarenakan kurangnya pengetahuan dalam diri penulis, terima kasih)

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Kami akan sedikit mengulas sejarah Wali Allah, yang dimana beliau sangat besar jasa nya kepada semua
santri yang telah diajarkan ilmu dari beliau.

Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilahirkan pada hari Jum’at legi tanggal 17 Agustus 1945 jam 02.00 malam,
yang keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang
diproklamirkan oleh Presiden Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta. Tempat kelahiran beliau adalah di
Dukuh Nepen Desa Krecek kecamatan Pare Kediri Jawa Timur. Sebelum berangkat ibadah haji, nama
beliau adalah Muhammad Bahri, putra bungsu dari bapak Muhammad Ishaq. Meskipun dilahirkan dalam
keadaan miskin harta benda, namun mulia dalam hal keturunan. Dari sang ayah, beliau mengaku masih
keturunan Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, dan dari sang ibu beliau mengaku masih
keturunan KH Hasan Besari Tegal Sari Ponorogo Jawa Timur yang juga masih keturunan Sunan Kalijogo.

Pengakuan KH.Ahmad Jauhari Umar tersebut diakui oleh sebagian besar pendukungnya, terbukti
banyaknya para ulama dan orang daerah Banten, Jakarta, Bogor, Bandung, Cianjur, Jawa Barat yang
berbondong-bondong datang ke Pondok Pesantren Darussalam Tegalrejo Tanggulangin Kejayan Pasuruan
Jatim.

Untuk menuntut ilmu kepada KH.Ahmad Jauhari Umar yang sudah menjadi tradisi, yaitu setiap malam
jum'at legi KH.Ahmad Jauhari Umar menyelenggarakan pengajian kitab Tafsir dan ijazah kitab Manaqib
Jawahirul Ma'ani, J.Saniyah, J.Karomah, J.Barokah, Asma Qurun, Hizib Maghrobi dan lain-lain.
Bahkan banyak juga santri dari jawa barat yang menetap di Pondok Pesantren Darussalam selama empat
puluh satu hari sampai seratus hari untuk puasa Manaqib dan kitab-kitab lainnya, kemudian dari beliau
KH.Ahmad Jauhari Umar memberi istilah santri RIYADLOH.

Sedangkan pengakuan KH.Ahmad Jauhari Umar dari sang ibu masuh keturunan sunan kalijogo, juga diakui
oleh sebagian besar pendukungnya. Terbukti dengan banyaknya para ulama dan orang daerah Ponorogo,
Madiun, Magetan, Ngawi, dan Pacitan, banyak yang datang ke KH.Ahmad Jauhari Umar, untuk menuntut
ilmu kepada beliau. Bahkan ada yang menjalin hubungan besanan dengan KH.Ahmad Jauhari Umar, yaitu :
KH.Thohir Pucang Anom Madiun dan KH.Sulthonuddin Ringinagung Pare Kediri yang masih keturunan
Tegalsari Ponorogo.

Pada masa kecil Syaikh Ahmad Jauhari Umar dididik oleh ayahanda sendiri dengan disiplin pendidikan
yang ketat dan sangat keras. Diantaranya adalah menghafal kitab taqrib dan maknanya dan mempelajari
tafsir Al-Qur’an baik ma’na maupun nasakh mansukhnya.

Masih diantara kedisiplinan ayah beliau dalam mendidik adalah : Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak
diperkenankan berteman dengan anak-anak tetangga dengan tujuan supaya Syaikh Ahmad Jauhari Umar
tidak mengikuit kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak tetangga. Syaikh Ahmad Jauhari
Umar dilarang merokok dan menonton hiburan seperti orkes, Wayang, ludruk dll, dan tidak pula boleh
meminum kopi dan makan diwarung. Pada usia 11 tahun Syaikh Ahmad Jauhari Umar sudah
mengkhatamkan Al-Qur’an semua itu berkat kegigihan dan disiplin ayah beliau dalam mendidik dan
membimbing.

Orang tua Syaikh Ahmad Jauhari Umar memang terkenal cinta kepada para alim ulama terutama mereka
yang memiliki barakah dan karamah. Ayah beliau berpesan kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar agar selalu
menghormati para ulama. Jika sowan (berkunjung) kepada para ulama supaya selalu memberi uang atau
jajan (oleh-oleh). Pesan ayahanda tersebut dilaksanakan oleh beliau, dan semua ulama yang pernah diambil
manfaat ilmunya mulai dari Kyai Syufa’at Blok Agung Banyuwangi hingga KH. Dimyati Pandegelang
Banten, semuanya pernah diberi uang atau jajan oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar.

Diantara ulama-ulama yang mempunyai karomah dan keistimewaan pada saat itu adalah:

1. KH. Zainuddin / KH. Zaini Mojosari Nganjuk

2. KH. Marzuqi Lirboyo Kediri

3. KH. Dimyati Pandeglang Banten

4. Dan ulama-ulama karomah Lainnya.

Masih dalam tahun 1956M KH.Ahmad Jauhari Umar pindah pondok, yaitu kepondok Mojosari Nganjuk
untuk menuntut ilmu kepada KH.Zainuddin / KH.Zaini. Setelah dirasa cukup dipondok Mojosari, kemudian
beliau pindah ke pondok Lirboyo Kediri, untuk menuntut ilmu kepada KH.Marzuqi Lirboyo Kediri.

Sebenarnya, Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah menganut faham wahabi bahkan sampai menduduki posisi
wakil ketua Majlis Tarjih Wahabi Kaliwungu. Adapun beberapa hal yang menyebabkan Syaikh Ahmad
Jauhari Umar pindah dari faham wahabi dan menganut faham ahlussunah diantaranya adalah sebagai
berikut :

1. Beliau pernah berjumpa dengan kakek beliau yaitu KH. AbduLlah Sakin yang wafat pada tahun 1918 M,
beliau berwasiyat kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa yang benar adalah faham ahlussunah.

2. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah bertemu dengan KH Yasin bin ma’ruf kedunglo kediri, pertemuan
itu terjadi di warung / rumah makan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang berkata kepada Syaikh Ahmad
Jauhari Umar bahwa Syaikh Ahmad Jauhari Umar kelak akan menjadi seorang ulama yang banyak
tamunya. Dan ucapan KH Yasin tersebut terbukti, beliau setiap hari menerima banyak tamu.

3. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah berjumpa dengan Sayyid Ma’sum badung Madura yang memberi
wasiyat bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar banyak santrinya yang berasal dari jauh. Dan hal itu juga
terbukti.

4. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan KH Hamid AbdiLlah Pasuruan, beliau berkata bahwa kelak
Syaikh Ahmad Jauhari Umar akan dapat melaksanakan ibadah haji dan menjadi ulama yang kaya. Dan
terbukti beliau sampai ibadah haji sebanyak lima kali dan begitu juga para putera-putera beliau. pada tahun
2003M KH.Ahmad Jauhari Umar mempunyai tanah dipasuruan seluas 40 hektar, dan disumatera
mempunyai kebun sawit seluas 6 hektar.

5. KH.Ahmad Jauhari umar bertemu dengan KH.Khotib Curah kates jember, beliau berkata: KH.AAhmad
Jauhari Umar adalah janoko, yang berarti KH.Ahmad Jauhari Umar kelak banyak istrinya. Hal tersebut telah
terbukti kepada KH.Ahmad Jauhari Umar istrinya lebih dari 12.

Hal tersebutlah yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar menganut faham ahlussunah karena beliau
merasa heran dan ta’jub kepada para ulama ahlussunah seperti tersebut di atas yang dapat mengetahui hal-
hal rahasia ghaib dan ulama yang demikian ini tidak dijumpainya pada ulama-ulama golongan wahabi.

Dalam menghadapi banyaknya cobaan yang menimpa, Syaikh Ahmad Jauhari Umar memilih satu jalan
yaitu mendatangi ulama. mohon bantuan para ulama yang supaya pondok pesantren KH.Abdullah Sakin,
kakek KH.Ahmad Jauhari Umar tidak sampai diduduki oleh orang-orang berbau Wahabi.

Adapun beberapa ulama yang dimintai do’a dan barokah oleh beliau diantaranya adalah :

1. KH. Syufa’at Blok Agung Banyuwangi.

2. KH. Hayatul Maki Bendo Pare Kediri.

3. KH. Marzuki Lirboyo Kediri.

4. KH. Dalhar Watu Congol Magelang.

5. KH. Khudlori Tegal Rejo Magelang.

6. KH. Dimyathi Pandegrlang Banten.

7. KH. Ru’yat Kaliwungu.

8. KH. Ma’sum Lasem.

9. KH. Baidhawi Lasem.

10. KH. Masduqi Lasem.

11. KH. Imam Sarang.

12. KH. Kholil Sidogiri.

13. KH Abdul Hamid AbdiLlah Pasuruan.

Berkat do'a ulama-ulama tersebut, musuh-musuh KH.Ahmad Jauhari Umar mendapat musibah, faham
Wahabi menjadi lenyap dan masjid Wahabi dikuasai ahlussunah.
Selesai beliau mendatangi para ulama, maka ilmu yang didapat dari mereka beliau kumpulkan dalam sebuah
kitab “JAWAHIRUL HIKMAH”. dan sekarang kitab nya tersebar diseluruh indonesia.

Kemudian beliau mengembara ke makam – makam para wali mulai dari Banyuwangi sampai Banten hingga
Madura. Sewaktu beliau berziarah ke makam Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Ahmad Jauhari
Umar bertemu dengan Sayyid Syarifuddin yang mengaku masih keturunan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
RA. Kemudian Sayyid Syarifuddin memberikan ijazah kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar berupa amalan
‘MANAQIB JAWAHIRUL MA’ANI’ dimana amalan manakib Jawahirul Ma’ani tersebut saat ini tersebar
luas di seluruh Indonesia karena banyak Fadhilahnya.
bahkan sampai ke negara asing seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Pakistan, tanzania, Afrika,
Nederland, Eropa dll.

Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam segala hal. Bahkan ketika
putera beliau masih berada di dalam kandungan, beliau diusir oleh keluarga isteri beliau sehingga harus
pindah ke desa lain yang tidak jauh dari desa mertua beliau kira-kira satu kilometer. Ketika putera beliau
berumur satu bulan, beliau kehabisan bekal untuk kebutuhan sehari-hari kemudian Syaikh Ahmad Jauhari
Umar memerintahkan kepada isteri beliau untuk pulang meminta makanan kepada orang tuanya. Dan
Syaikh Ahmad Jauhari Umar berkata, “Saya akan memohon kepada Allah SWT”. Akhirnta isteri beliau dan
puteranya pulang ke rumah orang tuanya.

Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat duha dan
dilanjutkan membaca manakib Jawahirul Ma’any. Ketika tengah membaca Manakib, beliau mendengar ada
orang di luar rumah memberikan ucapan salam kepada beliau, dan beliau jawab di dalam hati kemudian
beliau tetap melanjutkan membaca Manakib Jawahirul Ma’any hingga khatam. Setelah selesai membaca
Manakib, maka keluarlah beliau seraya membukakan pintu bagi tamu yang memberikan salam tadi.

Setelah pintu terbuka, tenyata ada enam orang yang bertamu ke rumah beliau. Dua orang tamu memberi
beliau uang Rp 10.000, dan berpesan supaya selalu mengamalkan Manakib tersebut. Dan sekarang kitab
manakib tersebut sudah beliau ijazahkan kepada kaum Muslimin dan Muslimat agar kita semua dapat
memperoleh berkahnya. Kemudian dua tamu lagi memberi dua buah nangka kepada beliau, dan dua tamu
lainnya memberi roti dan gula.

Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar selalu melaksanakan pesan tamu-tamu tersebut yang menjadi
amalan beliau sehari-hari. Tidak lama setelah itu, setiap harinya Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki
oleh Allah senanyak Rp. 1.500 hingga beliau berangkat haji untuk pertamakali pada tahun 1982.

Kemudian pada tahun 1983 Syaikh Ahmad Jauhari Umar menikah dengan Sa’idah putri KH As’ad
Pasuruan. Setelah pernikahan ini beliau setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 3.000 mulai tahun
1983 hingga beliau menikah dengan puteri KH. Yasin Blitar.

Setelah pernikahan ini Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak
Rp.11.000 sampai beliau dapat membanun masjid. Selesai membangun masjid, Syaikh Ahmad Jauhari
Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 25.000 hingga beliau membangun rumah dan Pondok
Pesantren.

Setelah membangun rumah dan Pondok Pesantren, Syaikh Ahmad Jauhari Umar tiap hari diberi rizki oleh
Allah SWT sebanyak Rp.35.000 hingga beliau ibadah haji yang kedua kalinya bersama putera beliau Abdul
Halim dan isteri beliau Musalihatun pada tahun 1993.

Setelah beliau melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1993, Syaikh Ahmad Jauhari Umar
setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp 50.000 hingga tahun 1995 M. Setelah Syaikh Ahmad Jauhari
Umar melaksanakan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama putera beliau Abdul Hamid dan Ali Khazim,
Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. 75.000 hingga tahun 1997.

Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1997
bersama putera beliau HM Sholahuddin, Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah setiap hari Rp.
200.000 hingga tahun 2002.

Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar berangkat haji yang ke limakalinya bersama dua isteri dan satu
menantu beliau, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp. 300.000
sampai tahun 2003 M.

Di Pasuruan, Syaikh Ahmad Jauhari Umar mendirikan Pondok Pesantren tepatnya di Desa Tanggulangin
Kec. Kejayan Kab. Pasuruan yang diberi nama Pondok Pesantren Darussalam Tegalrejo.

Di desa tersebut Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi tanah oleh H Muhammad seluas 2.400 m2 kemudian H
Muhammad dan putera beliau diberi tanah oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar seluas 4000m2 sebagai ganti
tanah yang diberikan dahulu.

Sejak saat itu Syaikh Ahmad Jauhari Umar mulai membangun masjid dan madrasah bersama masyarakat
pada tahun 1998. namun sayangnya sampai empat tahun pembangunan masjid tidak juga selesai. Akhirnya
Syaikh Ahmad Jauhari Umar memutuskan masjid yang dibangun bersama masyarakat harus dirobohkan,
demikian ini atas saran dan fatwa dari KH. Hasan Asy’ari Mangli Magelang Jawa Tengah (Mbah Mangli –
almarhum), dan akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar membangun masjid lagi bersama santri pondok.
AlhamduliLlah dalam waktu 111 hari selesailah pembanginan masjid tingkat tanpa bantuan masyarakat.
Kemudian madrasah-madrasah yang dibangun bersama masyarakat juga dirobohkan dan diganti dengan
pembangunan pondok oleh santri-santri pondok

Maka mulailah Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengajar mengaji dan mendidik anak-anak santri yang datang
dari luar daerah pasuruhan, hingga lama kelamaan santri beliau menjadi banyak. Pernah suatu hari Syaikh
Ahmad Jauhari Umar mengalami peristiwa yang ajaib yaitu didatangi oleh Syaikh Abi Suja’ pengarang
kitab Taqrib yang mendatangi beliau dan memberikan kitab taqrib dengan sampul berwarna kuning, dan
kitab tersebut masih tersimpan hingga sekarang. Mulai saat itu banyak murid yang datang terlebih dari Jawa
Tengah yang kemudian banyak menjadi kiyahi dan ulama.

Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar :

A. Dari ayah beliah adalah sbb :

1. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin

2. H. Thohir/Muhammad Ishaq bin

3. Umarudin bin

4. Tubagus Umar bin

5. AbduLlah Kyai Mojo bin

6. Abu Ma’ali Zakariya bin

7. Abu Mafakhir Ahmad Mahmud Abdul qadir bin

8. Maulana Muhammad Nasiruddin bin

9. Maulana Yufus bin

10. Hasanuddin Banten bin

11. HidayatuLlah Sunan Gunung Jati bin

12. AbduLlah Imamuddin bin

13. Ali Nurul ‘Alam bin

14. Jamaluddin Akbar bin

15. Jalaluddin Syad bin

16. AbduLlah Khon bin

17. Abdul Malik Al-Muhajir Al-Hindi bin

18. Ali Hadzramaut bin

19. Muhammad Shahib Al-Mirbath bin

20. Ali Khola’ Qasim bin


21. Alwi bin UbaidiLlah bin

22. Ahmad Al-Muhajir bin

23. Isa Syakir bin

24. Muhammad Naqib bin

25. Ali Uraidzi bin

26. Ja’far As-Shadiq bin

27. Muhammad Al-Baqir bin

28. Imam Ali Zainal Abidin bin

29. Imam Husain bin

30. Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti

31. Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.

B. Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar dari Ibu :

1. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin

2. KH Thahir bin/Moh Ishaq bin

3. Umarudin bin

4. Tuba bin

5. H. Muhammad Nur Qesesi bin

6. Pangeran Bahurekso bin

7. Syeh Nurul Anam bin

8. Pangeran Cempluk bin

9. Pangeran Nawa bin

10. Pangeran Arya Mangir bin

11. Pangeran Pahisan bin

12. Syekh Muhyidin Pamijahan bin

13. Ratu Trowulan bin

14. Ratu Ta’najiyah bin

15. Pangeran Trowulan Wirocondro bin

16. Sulthan AbduRrahman Campa bin

17. Raden rahmat Sunan Ampel bin

18. Maulana Malik Ibrahim bin

19. Jalaluddin bin

20. Jamaludin Husen bin


21. AbduLlah Khon bin

22. Amir Abdul Malik bin

23. Ali Al-Anam bin

24. Alwi Al-Yamani bin

25. Muhammad Mu’ti Duwailah bin

26. Alwi bin

27. Ali Khola’ Qasim bin

28. Muhammad Shahib Al-Mirbath bin

29. Ali Ba’lawi bin

30. Muhammad Faqih Al-Muqaddam bin

31. AbduLlah AL-Yamani bin

32. Muhammad Muhajir bin

33. ‘Isa Naqib Al-basyri bin

34. Muhammad Naqib Ar-Ruumi bin

35. Ali Uraidzi bin

36. Ja’far Shadiq bin

37. Muhammad Al-baqir bin

38. Ali Zainal Abidin bin

39. Husein As-Sibthi bin

40. Sayyidatinaa Fatimah Az-Zahra bin

41. Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW.

Semoga ilmu-ilmu yang diajarkan Beliau bisa bermanfaat bagi kita semua, Semoga Beliau mendapat tempat
yang mulia di sisi-Nya, dan semoga Berkah beliau selalu mengalir kepada kita semua….Amin.

-Referensi: "Buku Sejarah Riwayat Hidup Perjuangan Syaikh Ahmad Jauhari umar, Pendiri Pondok
Pesantren Darussalam dan Penyiar Kitab Manaqib Jawahirul Ma’ani."

Cerita Mahfud MD Tentang Kewalian KH Abdul Hamid

Februari 2, 2012
Pasuruan (wartabromo) – Khusuk dan Khidmad itulah yang tergambar pada puncak acara Haul ke-30 KH
Abdul Hamid dan Haul ke-21 Hj. Nafisah Achmad Qusyairi di Ponpes Salafiyah Kota Pasuruan, Kamis
(2/2/2012).

Ribuan jama’ah, Ulama dan Habaib dari berbagai daerah memadati halaman pondok pesantren hingga ke
berbagai sudut alun-alun Kota Pasuruan. Bahkan saking padatnya, jalan menuju ponpes pun dipenuhi
dengan sesak jama’ah yang khusuk mengikuti jalannya acara.

Seperti halnya haul sebelumnya, sejumlah tokoh penting tampak hadir bersama ribuan jama’ah yang
berkumpul sejak subuh di halaman pondok pesantren salafiyah.

Mereka adalah Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur,
Pakdhe Karwo dan Gus Ipul, Walikota Pasuruan, Hasani serta sejumlah Pejabat Daerah Kabupaten dan Kota
Pasuruan.

Mahfud MD yang diberi kesempatan berpidato menceritakan tentang bukti kewalian sosok Almagfurllah
KH Abdul Hamid Pasuruan yang dikenal mampu mengetahui segala sesuatu yang bisa terjadi di masa
datang, baik melalui perkataan maupun perbuatan beliau.

Hal tersebut terbukti dengan sekelumit kisah yang disampaikan oleh rekannya semasa kuliah yang ingin
sekali pergi ke luar negeri ketika beliau masih hidup.

Menurutnya, rekannya tersebut bermaksud sowan dan hendak minta tanda tangan KH Abdul Hamid agar
mudah mendapatkan rekomendasi pergi belajar ke luar negeri serta diterima dengan baik oleh pihak
kedubesnya.

Namun, sesampainya dihadapan beliau, bukan tanda tangan yang didapatkan tapi justru perkataan yang
kemudian menjadi kenyataan menggembirakan di masa mendatang.

“Beliau cuma berkata pada rekan saya tersebut. Kamu paling pintar kalau tanda tangan urusan luar negeri,”
tutur Ketua Mahkamah Konstitusi asal Pulau Madura tersebut.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, semua orang di Indonesia tentu mengetahuinya dan menjadi saksi
sejarah, jika rekan Mahfudz MD tersebut akhirnya diangkat menjadi Menteri Luar Negeri di era Gus Dur.

“Beliau adalah Alwi Sihab, mantan Menteri Luar Negeri kita,” Kata Mahfudz, yang mengaku mendengar
langsung kisah tersebut dari yang bersangkutan.

Selain Mahfud MD, sejumlah tokoh yang mendapatkan kesempatan berpidato juga menceritakan hal yang
sama yakni tentang sejarah manaqib sosok KH Abdul Hamid yang pusaranya hampir setiap waktu selalu
dikunjungi oleh ribuan orang dari berbagai daerah.

Haul ke-30 tersebut berakhir sekitar pukul 13.45 Wib, seusai penyampaian mauidzoh hasanah oleh KH
Achmad Subadar Pasuruan dan KH Marzuki Mustamar dari Malang. (yog/yog)

Karomah Para Wali, dari Mbah Hamid hingga Kiai Dimyati

Print

Download
Send
Error! Filename not specified.
Error! Filename not specified.

Error! Filename not specified.

Kamis, 09/08/2012 13:29

Berita Terkait

 Amalan Rasulullah pada Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan


 Thariqat dan Doa-doa Gus Dur 2 (Habis)
 Thariqat dan Doa-doa Gus Dur (1)
Tags:

Karomah Wali
Space Iklan
300 x 80 Pixel
Teman-teman Naqshabandi Semarang mengharapkan saya (Moh Yasir Alimi) menemani perjalanan mereka
dan Syaikh Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani ke Jogja agar kami bisa ngobrol di mobil.
Perjalanan kami melewati Salatiga, dan di sinilah, Syaikh Mus bercerita tentang Kiai Munajat.
Cerita ini dan juga cerita tentang Mbah Dimyati memberi ilustrasi tentang getar di dada, rasa yang hidup
dan bergelora di dada Sayidina Abu Bakar dimiliki oleh Kiai-Kiai NU. Rasa dan getar di dada yang muncul
karena dzikir, yang bahkan setelah kewafatan mereka pun mereka masih "online".
Cerita ini menjadi semakin menarik dikaitkan dengan cerita Kiai Said tentang ulama-ulama Timur Tengah
yang maju dalam intelektualitas tapi mereka gagal menjadi ruh bagi masyarakatnya. Santri bukan pakaian
dan bukan identitas. Santri adalah rasa fana di dalam Allah dan keterkaitan dengan Rasullah. Menjadi santri
adalah leburnya ego, hidupnya spiritual di dada, keterkaitan ruhani dengan Rasulullah dan menjadi rahmat
bagi semesta. Berikut adalah wawancara saya dengan Syaikh Mustafa.
Ceritakan padaku tentang Kiai Munajat ini?
Kiai Munajat seorang kiai yang pemberani. Beliau menyelamatkan Kolonel Darsono meski dengan resiko.
Setelah dua tahun lebih dari cerita Kolonel Darsono, Syaikh Mus baru datang ke sana. Sampai pada tepi
sawah kemudian ketemu seorang petani.

“Ajeng teng pundi ki sanak? “Saya mau ke rumahnya Kiai Munajat”. “Oh saya antarkan, saya salah satu
muridnya yang pertama.” Ternyata Kiai Munajat sudah wafat empat puluh hari sebelumnya. Kiai Munajat
diteruskan oleh anaknya Kiai Munawir, Kiai Munawir ini seorang Kiai yang sangat tawadhu’. Walaupun
sudah meninggal, teryata ada masih nyanbung. Santri-santrinya Kiai Munawair kalau menghapal Al-Qur'an
di kuburan Kiai Munajat dan murid-murid merasa sangat gampang menghapal Al-Qur’an.
Di situ ngaji seperti suara lebah, karena ramainya mengaji. Saya pernah mengajak teman-teman mampir di
sini, teman-teman pada bertanya “Ini ada acara apa?” “Ya ndak ada, ini memang seperti ini setiap harinya.
Al-Qur’an tidak pernah berhenti.”
Kalau berkunjung, saya selalu mondok di sumur beliau. Airnya seger sekali. Tempat beliau dekat terminal
Salatiga, dekat kantor NU. Kiai Munajat wafat tahun 1986 atau 1987. Hubungan saya dengan beliau begitu
intens. Beliau Jenis orang yang sesudah meninggal masih "online".
Subhanallah. Bagaimana dengan cerita tentang Mbah Dimyati?
Aulia jaman dahulu memang seperti Kiai Munajat itu. Yang model seperti itu di banyak tempat. Di
Kedawung, Pemalang ada Mbah Dimyati. Sudah wafat pun masih membantu menghapalkan Al-Qur'an pada
cucunya. Ternyata paman saya Kiai Dahlan Kholil mengambil ijah Al-Qur'an dari beliau. Isteri saya pernah
dapat cerita dari anaknya bahwa cucunya kalau menghapal Al-Qur'an selalu di kamar Mbah Dim, dan dia
merasa selalu disimak Mbah Dim.
Untuk mendapatkan perspektif bagaimana sosok Mbah Dim, ada suatu cerita begini. Suatu hari Mbah Dim
menghadiri manaqib di Pekalongan. Ada Habib pulang duluan membawa mobil, Mbah Dim dengan sepeda
onthel. Ternyata mobil tersebut mogok dan Mbah Dim mendapatinya.
"Mogok Bib?" tanya Kiai Dim.
“Ngenteni Njenengan, Kiai?” jawab Habib.
“Nggih mpun mriki. Ya sudah, ke sini. Kalau seperti itu tak lungguhani ‘Quran bodhol’.” (Saking
tawadhu'nya beliau menyebut dirinya sebagai Al-Qur'an Bodhol, sudah awut-awutan, lepas-lepas kertasnya.
MasyaAllah)
“Mpun monggo distater,” kata Kiai Dim.
“Sepedamu disendekke situ. Tak ampirke omahku. Ya sudah kuajak kau ke rumahku tak kei kopi” ajak sang
Habib.

Itu tipikal ulama NU dulu yang sekarang semakin hilang. Linda yang akan kita kunjungi di Jogja ini, pernah
bercerita pada saya begini. “Syaikh, ulama kalau bicara tentang kebaikan itu biasanya hanya omongan saja.”
Apalagi sekarang, banyaknya kiai di TV. Itu profil scholarship yang ada sekarang. Hanya agama sebagai
omongan saja.
Iya Syaikh. Kalau kita lihat sekarang agama di dunia Islam itu hanya omongan saja. Ketika orang bicara
tentang kebaikan hanya ngomong saja. Allah pun menjadi sekedar omongan, bukan getar di dada. Allah
menjadi sangat abstrak. Padahal Allah adalah Dhat yang Maha Lahir dan Maha Batin. Apa yang hidup di
dada Abu Bakar, di Kiai Munajat, di Kiai Dimyati sebagai rukun Islam itu tidak ada. Apa sebabnya bisa
menjadi begini?
Ada faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa operasi Yahudi agar umat Islam agar umat Islam
saling bertengkar. Di Semenanjung Arabia, operasi Yahudi ini melahirkan wahabi.

Betul, Syaikh. Wahabi hanya menjadikan agama sebagai wacana saja, bukan keimanan. Al-Quran sebagai
debat bukan sumber akhlak. Modus keagamaan Wahabi adalah debat. Melalui debat dan menyalahkan orang
lain inilah mereka mendapatkan diri mereka sebagai Muslim. Bukan ibadah mereka pada Allah.
Di samping faktor eksternal itu ada juga faktor internal, yaitu internal weakness yang berupa: hubburiyasah
(gila kekuasaan), karohiyatul maut (takut mati), dan hawa nafsu. Di lingkungan NU, tekanan eksternal itu
adalah Suharto dengan deulamaisasi dan denuisasi. Suharto merusak ulama dan pesantrennya dengan cara
menyebar uang dan menarik mereka dalam kekuasaan. Suharto rusak pesantren dan ulama, sehingga figur-
figur seperti Kiai Munajat dan Kiai Dimyati tidak ke permukaan lagi.

Belum lama ini saya ke putera bungsunya Kiai Hamid Pasuruan. Saya dekat sekali dengan beliau.

“Syaikh, orang datang ke kita seperti datang ke Kahin.”

“Mending Gus, mereka ini datang njenengan bukan datang ke Kahin beneran,” jawab Syaikh Mus.

“Dulu, waktu Mbah Hamid, ada orang Madura datang ke rumah, membawa buntelan. Terus ditanya: Apa
itu?”
“Biasa” jawabnya. “Kembang”.
“Digawe apa?” Tanya Kiai Hamid.
“Sampean dongani, agar kapalku dapat banyak ikan dan besar.”

“Oh, Ditaruh kapal. Kalau kembange ditaruh kapal, kembange jadi amis atau ikannya yang wangi. Taruh
saja di rumah, di tempat tidurmu biar tempat tidurmu menjadi wangi,” saran Kiai Hamid dengan lemah
lembut. “Kon deleh di sajadahmu biar kalau sembahyang menghirup bau wangi”.

“Baiklah kalau begitu, Kiai.”


Beberapa hari berikutnya sang nelayan datang dengan ikan besar.

“Saya mau memberikan ikan-ikan ini kepada Kiai. Karena doa kiai saya mendapatkan ikan yang besar dan
banyak.”
“Lho aku belum doa je..” jawab Kiai Hamid sambil tersenyum. Inilah persembunyian dan ketawadhuan Kiai
Hamid. Sebenarnya, tentu saja sudah didoakan.
Inilah kekuatan dan kelemahan internal. Inilah internal strength yang aku maksudkan. “aku belum berdoa
loh”. Wah, Inilah persembunyian Kiai Hamid. Luar biasa. Kalau tanpa internal strengthness di dalam hati,
siapapun akan gampang terseret tsunami dunia yang besar.
Karena kualitas-kualitas seperti inilah, maka beliau-beliau para ulama itu menjadi spreader of love cahaya
Muhammad di segala penjuru. Maka di mana-mana saya mengajak muslim untuk haul, kembali
menghidupkan pertalian batin mereka dengan Rasulullah.

Saya melakukannya dengan action plan, bukan dengan penjelasan, bukan dengan frame of reference. Ulama
dahulu menunjukkannya dengan karomah. “Karena saya khodimnya Syaikh Nadhim, dalam fana fi syaikh,
ibaratnya saya hanya memegang gagang tombak. Ujung tombaknya adalah Syaikh Nadhim. Sedangkan
Syaikh Nadhim dalam kefanaannya fi rasul, beliau tidak ada. Beliau hanya mengadakan Rasulullah SAW
untuk orang banyak dan kehidupan saat ini dalam suatu transparani”.
Perjalanan kami sudah sampai Magelang. Cerita kami berganti tentang Kiai Wahid Hasyim, ayahnya Gus
Dur, pertalian antara lailatul ijtima NU dengan majelis dzikir Walisongo di Masjid Demak.

Saya akan menuliskan cerita ini dalam edisi berikutnya. Dengan cerita di atas, semoga bisa mengambil
manfaat. selamat menghidupkan kembali rasa di hati, senantiasa tenggelam dalam hadharah Qudsiyyah
Allah, dan menjalin pertalian dengan Rasulullah SAW, sehingga bisa berkata pada masalah umat.
Syeikh Muhammad ‘Arsyad (Al Banjari)

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :


Desa Kalampayan, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar (Martapura),

Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia 70671.

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari, (lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812
pada usia 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H). Beliau adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang
berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan.

Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam &
pesantren di Asia Tenggara.

Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman
Siddiq (Sapat - Tambilahan), berpendapat bahwa Beliau adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid
Mindanao.

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid
Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin
Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf
(datu seluruh keluarga As Saqaf) bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin
Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin
Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar
Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam
Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam SayyidinaHusein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali
Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
Syeikh Muhammad Zaini Ghoni (Al Banjari)

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :


Kelurahan Sekumpul, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia 70614.
Sekumpul berlokasi di pertigaan Jalan Ahmad Yani Km 38 samping Masjid Syi’aarush Shaalihiin, masuk sekitar 800
meter, lantas belok kanan (jika dari arah Banjarmasin), disanalah bangunan Makam & Mushalla Ar Raudhah berdiri
megah. Pada tahun 1980-an, pengajian masih digelar di Mushalla Darul Aman, Jalan Sasaran, Kelurahan Keraton,
Martapura.

Baru pada awal 1989, pengajian pindah ke lokasi baru sekaligus menandai era baru dunia syiar Islam di
Martapura. Perubahan terjadi dalam penyebutan kawasan itu. Semula, sekitar hutan karamunting masyhur dengan
sebutan Sungai Kacang. Ketika pengajian hijrah, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani memopulerkan nama baru:
Sekumpul. Ketika Guru pindah, istilah Sekumpul mulai dikenal orang. Perubahan nama juga menjadi awal dari
pergantian sapaan akrab ulama kelahiran 11 Februari 1942/27 Muharram 1361 H ini. Di tempat lama, panggilan sang
kiai cenderung beragam. Ada yang menyapa Guru Zaini, Guru Izai, hingga Guru Keraton. Ketika hijrah ke Sungai
Kacang itulah dia populer dengan nama baru: Guru Sekumpul.

KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani
bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-
Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang bergelar Al Alimul Allamah Al
Arif Billaah Albahrul Ulum Al Waliy Qutb As Syeekh Al Mukarram Maulana (biasa dipanggil Abah Guru Sekumpul atau
Tuan Guru Ijai) (lahir di Dalam Pagar, 11 Februari1942 – meninggal di Martapura, 10 Agustus 2005 pada umur 63
tahun).

Beliau adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i sangat kharismatik dan populer di Kalimantan, khususnya Martapura dan
Banjarmasin. Beliau dilahirkan pada malam Rabu 27 Muharram 1361 Hijriyah atau bertepatan pada tanggal
11Februari 1942 di desa Dalam Pagar (sekarang masuk ke dalam Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar)
dari pasangan suami-istri Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf dengan Hj. Masliah binti H Mulya.

KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani merupakan anak pertama, sedangkan adiknya bernama H Rahmah. Ketika masih
(kanak-kanak), Beliu dipanggil Qusyairi. Guru Sekumpul merupakan keturunan ke-8 dari ulama besar Banjar,
Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari.
Syeikh Kholil (Bangkalan)

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :


Habib Abdullah Bilfaqih & Habib Abdul Qodir Bilfaqih

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :


Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kasin, Kel. Kasin, Kec. Klojen,
dekat Rumah Sakit Bersalin Anak Muhammadiyah Malang.
Habib Ahmad bin Habib ‘Ali Bafaqih

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :


Syeikh Abdurrahman Siddiq (Sapat - Tembilahan)

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :

Tembilahan, Desa Teluk Dalam (Sapat),


Kelurahan Hidayat, Kecamatan Kuindra (Kuala Indragiri),

Kabupaten Indragiri Hilir, Provensi Riau 29218.

Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad 'Afif bin Mahmud bin Jamaluddin Al-Banzari (lahir diDalam Pagar, Hindia
Belanda tahun 1857 – meninggal di Sapat, Indragiri Hilir, 10 Maret 1930 pada umur 72 tahun) adalah seorang ulama
Banjar yang dikenal karena beliau rajin menulis buku-buku agama mengenaiIslam. Semasa mudanya, Abdurrahman
banyak menulis buku-buku agama, sejarah dan sastra. Ia dikenal dimana-mana bahkan sampai di Mekkah karena ia
juga menjadi guru agama. Muridnya tersebar sampai keSingapura, Malaysia dan Kalimantan.

Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad 'Afif dikenal sebagai Pujangga dan Sastrawan yang semasa hidupnya
mengarang sejumlah buku sasta dan agama. Tuan guru Syekh Abdurrahman, demikian panggilan hormat beliau telah
menulis karyanya berupa kumpulan puisi berjudul "Syair Ibarat Kabar Kiamat" yang diterbitkan oleh Ahmadiyah Press
Singapura Tahun 1915. Beberapa syair sangat kritis dalam nuansa religius. Ia diangkat oleh Sultan Mahmud Shah
(Raja Muda) sebagai Mufti Kerajaan Indragiri 1919-1939 berkedudukan di Rengat dan mengabdikan diri di Kerajaan
Indragiri.

Habib Abu Bakar bin Habib Muhammad Assegaf (Gresik)

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :


Alun-alun kota Gresik - Masjid Jami’ Gresik - desa Gafuro Sukolilo - Gresik Jawa Timur

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf lahir di desa Besuki (Jawa Timur) sekitar tahun 1864 M. wafat tahun 1955 dalam usia
91 di maqomkan di Kota Gresik Jawa Timur.

Sejak kecil telah menjadi yatim namun bakat kewaliaan dan kecintaan terhadap ilmu sudah nampak sejak umur 3 tahun. Hati
beliau telah mendapat cahaya Ladunni dari alloh SWt ini terbukti ketika beliau masih berumur 3 tahun telah mampu mengingat
berbagai peristiwa dan kejadian yang telah menimpa dirinya.

Tokoh Ulama Gresik ini telah banyak mencetak Murid - murid yang kebanyakan murid -murid Beliau menjadi Ulama terkemuka
sebut saja Al alamah Habib Abdul qodir bil faqih seorang Ulama Hadist dan Wali quthub pendiri Pondok Pesantren Darul hadist
Al Faqihiyyah malang Jawa timur dan masih banyak murid - murid beliau yang sebagian besar telah mendapat kedudukan yang
mulia ( bergelar wali quthub).

Usia 8 tahun tepatnya tahun 1856 M Habib Abu Bakar dikirim oleh ibunya ke tanah leluhurnya di Sewun tarim Yaman Selatan.
Di sana Beliau di asuh dan dididik oleh pamannya Habib Syech bin Umar Assegaf seorang Tokoh Ulama termasyhur di kota
Sewun. Kecerdasan dan kejernihan Hati yang di miliki habib Abu Bakar Assegaf mampu menguasai beberapa bidang ilmu
walaupun usianya masih relatif muda. Pamannya tak segan-segan mengajak keponakannya untuk menghadiri majlis majlis ilmu
di kota Sewun dan menanamkan rasa kecintaan terhadap Alloh SWT dengan mengajari prilaku prilaku shalafus Sholeh seperti
Sholat Tahajut dan puasa puasa sunnah.

Di sewun Habib Abu Bakar Assegaf belajar juga kepada Habib Ali bin Muhammad Al habsyi ( pengarang Simtut Durror) dan
menjadi murid kesayangannya. Pertama kali melihat Habib Abu Bakar Assegaf , Habib Ali bin Muhammad al habsyi telah
melihat tanda-tanda kewaliaan dan kelak akan menjadi ulama yang memiliki kedudukan dan derajat yang Mulia. Beliau juga
belajar kepada al Habib Muhammad bin Ali Assegaf, al Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, al Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas, al
Habib Abdurrahman al-Masyhur, juga putera beliau al Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur, dan juga al Habib Syekh bin
Idrus al-Idrus dan masih banyak lagi guru beliau yang lainnya.

Tahun 1881 M habib Abu bakar Assegaf kembali ke Tanah air dan Mulai melakukan ritual dakwahnya. Walaupun beliau
memiliki Ilmu yang cukup mumpuni namun kerendahan hati untuk menghargai para ulama-ulama Sepuh di tanah air Beliau tak
segan segan untuk belajar dan minta ijazah serta barokah dari para ulama-ulama sepuh seperti Habib Abdullah bin Muhsin al-
Atthas, al Habib Abdullah bin Ali al-Haddad, al Habib Ahmad bin Abdullah al-Atthas, al Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya,
al Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,al Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdlar, dan lain sebagainya.

Selama beberapa tahun berdakwah datanglah kegundahan hatinya, kerinduan terhadap Alloh dan Rosulnya hingga akhirnya beliau
mengasingkan diri dari hirup pikuk dunia dan selama itu pula di habiskan waktunya untuk beribadah mutlak kepada Alloh,
hampir 15 tahun lamanya habib Abu bakar Assegaf mengasingkan diri dari dunia ( berkhalwat),

Hingga akhirnya Gurunya Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi menemuinya dan mengajaknya untuk berhenti berkhalwat dan
kembali untuk berdakwah. Demi menghargai sang guru akhirnya Habib Abu bakar Assegaf kembali melanjutkan
dakwahnya.Dengan di rangkul dan di gandeng oleh gurunya Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi, Habib Abu bakar Assegaf di
kenalkan kepada para Jama’ah dam murid muridnya “

Ini al Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf termasuk mutiara berharga dari simpanan keluarga Ba ‘Alawi, kami
membukanya agar bisa menularkan manfaat bagi seluruh manusia”.

Habib Abu bakar assegaf membuka Majlis Ta’lim di rumahnya. Kedalaman dan kejernihan hati yang dimilikinya telah
melahirkan banyak murid murid yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Beliau selalu mendoakan murid-muridnya tat
kala Beliau menunaikan sholat malam. Habib Abu Bakar di samping sebagai ahli ilmi juga sebagai ahli Berkah yang dapat
memberikan keberkahan kepada siapapun yang datang kepadanya. Beliau menjadi rujukan dan referensi ilmu di tanah air.

… sumber asal : sachrony.wordpress.com - Jalin Silaturrahim …


Habib Hamid bin Abbas Bahasyim (Habib Basirih)

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :


Jalan Keramat, kelurahan Basirih, Kecamatan Banjarmasin Barat, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia
70
Habib 'Ali bin Habib Muhammad Al-Habsyi (Shohibul Maulid Simtuddurar)

Alamat / Lokasi / Tempat Makam :

di sebelah barat Masjid Riyadh

Oleh Drs. Husien Anis Alhabsyi disebutkan bahwa Habib Ali lahir pada hari Jum’at 24 Syawal 1259 Hijriyah di Qasam
yaitu sebuah desa yang dinisbatkan kepada Sayyidina Ali bin Alwi Khali Qasam. Ayah beliau bernama Habib
Muhammad bin husien dan ibunya bernama Syarifah Alawiyyah binti Husien bin Ahmad Alhadi Aljufri.

Kitab Simtud Durar atau yang lebih dikenal dengan Maulid Alhabsyi dikarang Habib Ali pada saat beliau berusia 68
tahun. Maulid Simtud Durar tersebut kemudian mulai tersebar luas di Seiwun dan Hadralmaut dan tempat lainnya
seperti Afrika, Dhafar dan Asia termasuk Indonesia. Maulid Simtud Durar tersebut disempurnakan pada tanggal 10
rabiul awwal dan dibaca pada tanggal 12 rabiul Awwal di rumah muridnya Sayyid Umar bin Hamid Assegaf.

Menjelang wafatnya kesehatan beliau semakin memburuk dan pada hari minggu saat waktu zuhur tanggal 20 Rabiul
Akhir tahun 1333 Hijriah beliau menghembuskan nafas yang terakhir dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Riyadh
saat waktu Shalat Ashar.

... baca manaqib beliau ... ... lihat anak cucu beliau ...

Anda mungkin juga menyukai