Abstrak: Lafaz adalah suatu ungkapkan yang dengannya dapat dipahami satu hal.
Namun makna dari lafaz itu sangat dipengaruhi dengan sesuatu yang bergandengan
dengannya. Makna daripada lafaz bisa saja bermakna âm (umum) khâs (khusus),
muthlaq (pasti) dan muqayyad (terikat). Tulisan ini akan mengetengahkan bagaimana
lafaz dapat bermakna am, khas, muthlaq dan muqayyad dengan menjelaskan
kaidah/ketentuan yang dapat mempengaruhinya. Penulis akan memaparkannya
dengan menyebutkan beberapa pendapat dan membandingkannya disertai dengan
contoh-contoh dari al-Quran dan Hadis untuk menemukan satu pemahaman yang
lebih jelas dari satu dalil syara’.
lain adalah unsur air. Petunjuk akal Pada kebanyakan nash-nash yang
dan pengertian ilmiah inilah yang didatangkan dengan sigat umum
menjadi qarînah, yang tidak disertai qarînah sekalipun
menghilangkan kemungkinan qarînah lafdziyah, ‘aqliyah atau
dikhususkannya dari petunjuk yang urfiyah yang menyatakan
umum. Karena itu menurut hemat keumumannya atau kekhususnya.
penulis, dilâlah ‘âm dalam ayat di Contohnya QS. Al-Baqarah [2], :
atas adalah bersifat qath’iy dilâlah 822 َصن َّْ ت يت ََرَب
ُ َ َو ْال ُمطَلقَّا
‘ala umûm. Artinya, kedua contoh
tersebut di atas tidak ada ... ِس ِه َّن ثَالثةَ ق ُُرو ٍءeُُِ فeَبأ ِ َْْن.
kemungkinan untuknya bahwa yang Kalimat al-muthallaqhât adalah ‘âm
dimaksud adalah khusus. makhsûs, ia tetap dalam
b. ‘Âm yurâdu bihi khusûs, yakni keumumannya selama belum ada
adanya lafaz ‘âm yang disertai dalil yang mengkhususkannya.
qarînah yang menghilangkan arti
umumnya. Dan menjelaskan Dari sini dapat dipahami, bahwa
bahwa yang dimaksud dengan perbedaan antara ‘âm yurâdu bihi
am itu adalah sebagian dari khusûs dengan ‘âm makhsûs, terletak
satuannya. Misalnya lafaz al-nâs pada ada tidaknya qarînah yang
dalam firman Allah QS. AliImran menyertainya atau yang
menjelaskannya. Sehingga
[3], 97: ِ َّ َولِ َِّّل عَل َى النا
س dapat dibedakan secara asasi
ِ َُِِّحجُّ ْالب ْيeُّ .
ت antara keduanya.
Kalimat al-nâs adalah ‘âm yakni Demikianlah
seluruh manusia. Akan tetapi ketentuanketentuan umum yang
yang dimaksudkan dengan ayat diberikan oleh para ulama ushul,
tersebut adalah khusus yaitu namun di samping itu pula perlu
orang-orang mukallaf saja. diketahui bahwa dalam al-Quran ada
Karena menurut akal tidak beberapa ayat yang lafaz-lafaznya
mungkin Tuhan mewajibkan haji terikat dengan kaidah-kaidah umum di
bagi orang-orang yang belum atas, tetapi yang dimaksud adalah
dewasa atau orang-orang yang khusus. Begitu pula sebaliknya,
tidak âqil. Petunjuk akal inilah lafaznya khusus tetapi maksudnya
yang menjadi qarînah yang umum. kesemuanya ini dapat diketahui
menghilangkan arti keumumnan dengan melihat kesesuaian konteks
ayat tersebut. pembicaraannya.
c. ‘Âm makhsûs, artinya ‘âm yang Dan sisi kepastian hukum lafaz
khusus untuk ‘âm atau ‘âm ‘âm, wajib diperpegangi atau
muthlaq. ‘Âm seperti ini tidak diamalkan, hingga ada dalil lain yang
disertai dengan qarînah yang menetapkan pentakhsisannya. Karena
menghilangkan kemungkinan diketahui mengamalkan nash-nash
dikhususkan dan tidak disertai yang bersumber dari alKitab dan
pula dengan qarînah yang sunnah hukumnya wajib atas segala
menghilangkan keumumannya. yang ditetapkannya. Demikian juka
142 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, Desember 2016: 138 - 147
dengan hadits lain ال يرث أهل دون خمسة أوسق صدقة
Imam Syafi’i dan jumhur
ملتين.12 fuqaha memandang bahwa hadits
4. Antara ‘Âm dan Khâs Menurut yang kedua sebagai penjelas
Hanafiyah, apabila khâs terhadap hadits pertama, karena
bertentangan ‘âm, maka khâs bisa hadits pertama baru menerangkan
mentakhsis âm jika keduanya dasar kewajiban zakat tanaman dan
datang bersamaan, sesuai dengan ukurannya, sedang yang kedua
syarat takhsis yang mereka menerangkan nisabnya. Tetapi
tetapkan. Imam Abu Hanifah mengatakan
Dalam hal keduanya tidak bahwa hadis kedua telah dinasakh
bersamaan, bila ‘âm datang oleh hadits pertama, yang datang
belakangan berarti menasakh yang kemudian.15 Dengan demikian
khâs, dan bila yang khâs belakangan menurut mereka nisab tanaman itu
berarti menasakh sebagian satuan tidak ada.
âm.13 Hal demikian didasarkan atas Dalam contoh tersebut
prinsip mereka bahwa untuk terlihat bagaimana masing-masing
mentakhsis dalil âm dan khâs harus menerapkan pandangannya yang
bersamaan waktunya, keduanya pokok tentang âm dan khâs, jumhur
mempunyai status yang qath’iy dan memandang khâs menjelaskan yang
masing-masing jelas tidak âm dan mazhab hanafiyah
membutuhkan penjelasan dari arti memandang adanya pertentangan
lain. antara keduanya.
Sedangkan jumhur fuqaha
berpendapat bahwa tidak ada B. Muthlaq dan Muqayyad
pertentangan antara âm dan khâs, 1. Muthlaq
bila keduanya dihadirkan dalam Muthlaq menurut
waktu dan tempat yang sama, maka istilah ialah lafaz yang
akan nampak bahwa yang khâs menunjukkan pada hakikat lafaz itu
berfungsi menjelaskan yang âm.14 apa adanya tanpa memandang
Hal itu disebabkan karena dalil âm jumlah maupun
secara lahiriah selalu mengandung sifatnya.16 Misalnya firman Allah
kemungkinan untuk dijelaskan
144 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, Desember 2016: 138 - 147
20
Fatchurrahman, op. cit., h.186-187. Lihat
al-Islâmiy, juz I, (Dimasyq: Dâr al-Fikr, 1996), Muhammad Abu Zahrah, op.
h. 243-244. cit., h. 258-259
2
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, 21
Wahbah al-Zuhailiy, op.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 236. cit., h. 215.
22
3 Ibid.
Muhammad Sulaimân Abdullah
alAsykar, al-Wâdhih fi Ushûl al-Fiqh,
(Ammân:
Dâr al-Fath, 1992), h. 178-180; lihat juga
Wahbah al-Zuhailiy, op. cit., h. 245-248;
Muhammad shâlih al-Utsaimîn, al-Ushûl min
‘ilm al-Ushûl, (Jeddah, Maktabah al-‘Ilm,
1995), h. 43-45. DAFTAR PUSTAKA
4
Lihat Wahbah al-Zuhailiy, ibid., h.
282-283; lihat juga Mukhtar Yahya dan
fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh,
Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, (ed. terj.) Jakarta: Pustaka
1986), h. 224-226. lihat Abdulwahhab Khallâf, Firdaus, 1999.
‘Ilm Ushûl Fiqh, (al-Qâhirah: Maktabah
alDa’qah, t.th.), h. 185-186. 5 Muhammad Asyqar, Muhammad Sulaimân
Shâlih al-Utsaimîn op. cit., h. 46. Abdullah al-. al-
6
Muhammad Abu Zahra, op. cit., h.
Wâdhih fi Ushûl al-Fiqh,
236. Wahbah al-Zuhailiy, op. cit., h. 205. 8
7
Ammân: Dâr alFath, 1992.
Ibid.
9 Fatchurrahman, Mukhtar Yahya dan.
Lihat Abu Ishâq al-
Syâthibiy, alMuwâfaqât, fi Ushûl al- Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Syarî’ah, juz III, (Bairût: Dâr al-Kutub Islami, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.
al-‘Ilmiyah, t.th.), h. 213. lihat juga
Muhammad Sulaimân Abdullah al- Khallâf, Abdulwahhab. ‘Ilm Ushûl
Asyqar, op. cit., h. 194. Fiqh, al-Qâhirah: Maktabah
10
Muhammad Abu Zahra, op. alDa’qah, t.th.
cit., h.
244. Syâthibiy, Abu Ishâq al-.
11
Muhammad Sulaimân Abdullah al- AlMuwâfaqât, fi Ushûl
Asyqar, op. cit., h. 196. 12 Lihat Muhammad alSyarî’ah, juz III, Bairût: Dâr
Abu Zahra, op. cit., h 245-246. alKutub al-‘Ilmiyah, t.th.
13
Ibid., h. 250.
14
Ibid., h. 251 ‘Utsaimîn, Muhammad Shâlih al-.
15
Ibid. AlUshûl min ‘Ilm
16
Wahbah al-Zuhailiy, op. cit., h. al-Ushûl,
208. (Jeddah, Maktabah
17
Muhammad Abu Zahra, op. cit., h.
al-‘Ilm, 1995.
256.
18
Ibid.
19
Zuhailiy, Wahbah al-. Ushûl al-Fiqh
Lihat Mukhtar Yahya dan al-Islâmiy, juz I, Damaskus:
Dâr al-Fikr, 1996.
148 | Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, Desember 2016: 138 - 147