Anda di halaman 1dari 12

BIOGRAFI Kyai Hasyim Asy`ari

Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi
kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar
para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa
Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun
memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan
Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan
dari Jaka Tingkir).

Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya
berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah
pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini
mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya
yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya,
ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena
kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari
satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan
Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub
yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di
Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi,
gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di
sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di
Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad
20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng,
menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan
umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku
yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia
dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti
memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke
masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri
angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga
menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim
Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini
pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin
besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan
dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim.
Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi
pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap
aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam.
Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji
yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim
Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan
kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama.
Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di
Tebuireng.

Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari


membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk
mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena
pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. ►e-ti/ms-atur, dari berbagai sumber.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Biografi KH Hasyim Asy'ari


Nama Lengkap: KH Hasyim Asy'ari
Tanggal Lahir: 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Tempat Lahir : Demak, Jawa Tengah
Wafat: Jombang, Jawa Timur, 7 September 1947
Ayah: Kiai Asyari
Ibu: Halimah
Istri:
Nyai Nafiqoh
Nyai Masruroh

Anak:
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq),
Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah,
Chotijah, Muhammad Ya’kub.

KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa Tengah. Beliau
merupakan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintas salah satu
organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau
juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan
agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy'ari mendapat
pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kiai Asyari dan Kyai Utsman.
Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin.
Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren
karena kepandaian yang dimilikinya.

Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari pesantren
ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo),
Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan,
Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian
mengambilnya sebagai menantu.

Di tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di
Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi,
gurunya di bidang hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor,
Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari
mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan
Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di
sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di
Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad
20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng,
menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan
umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku
yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya
itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur
dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia.
Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah
salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.

Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri
angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga
menjadi besar.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisiona lainnya, Kiai
Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama.
Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim
Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-
temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai
Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi
penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Meski
sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain.
Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah
Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup
besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim
Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan
kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama.
Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di
Tebuireng.

Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari


membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk
mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena
pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.

Referensi: http://www.tokohindonesia.com dan


http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asyari
Biografi KH Hasyim Al Asy'ari dari Biografi Web
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa
Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun
memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan
Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan
dari Jaka Tingkir).

Kelahiran Dan Masa Kecil


Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa
Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di
Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan
sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama


Asy'ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy'ari hampir beruisa
25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.

Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H,


bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran
KH.M. Hasyim Asy'ari, nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan
kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat
bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan
Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika
melahirkan.

Di masa kecil belaiu hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya
yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jomabng dan di desa tersebut Kiai
Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini
layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan belaiu yang mendukung yaitu
hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat
meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana
ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para
santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..

Belajar Pada Keluarga


Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang
pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari
ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy'ariyah.
Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif,
dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik
bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap
apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup
hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa
Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan
pengembaraanya menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren


Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke
pondok-pondik pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di
antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo,
Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah
Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil
bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy'ari "ngangsu
kawruh" dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh
di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai
Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah melihat kesedihan
diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin
tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam
WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim
menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai
Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai
Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk
berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama' yang dibawa KH. As'ad Syamsul Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Syafi'iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307
H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan,
Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan
shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri
tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan
tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji
bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau
juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu
baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya
sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama
Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami
sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau,
Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang
saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-
satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya
yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki
teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya,
beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci


Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke
kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci
bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat
kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu
justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami
ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput
dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua
Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW
di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang
tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di
antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas
(dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu
hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam
segala bidang keilmuan).

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah,
beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik
yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di
kampung halaman.

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng


Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar
santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang
kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu
mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah
seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan
tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang
dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang
kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar
dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.

Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah
tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak
sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi
dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang
akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren


Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh
Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala
kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam
di Tebuireng dapat diatasi.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan
Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh
ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan
hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para
awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian
bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan
orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok
pesantren.

Mendirikan Nahdlatul Ulama’


Disamping aktif mengajar belaiu juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di
Jombang Jawa Timur didirikanlhn Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama)
bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar
lainnya, dengan azaz dan tujuannya: "Memegang dengan teguh pada salah satu dari
madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi'i, Imam Malik bin Anas,
Imam Abu Hanifah An-Nu'am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa
saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam". KH. Hasyim Asy’ari terpilih
menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang
mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama' sebagai suatu ikatan ulama' seluruh Indonesia dan mengajarkan
berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk
menyatukan ulama' yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai
Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan
sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk
mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan
syi'ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai
orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan
dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan
keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat
diterima oleh ulama'ulama lain.

Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir
pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada
manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada
persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan
pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi
diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan
keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia
(MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai
polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik
praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh
menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.

Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan
bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada
malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian
tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW
yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
 Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
 Harta benda yang berlimpah-limpah
 Gadis-gadis tercantik

Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: "Demi Allah, jika mereka kuasa
meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar
aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa
taruhannya". Akhir KH.M. Hasyim Asy'ari mengakhiri nasehat kepada santri-
santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.

Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun
waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh
pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik
sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu
itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan
bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang
beliau mefatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal
dengan hari pahlawan nasional.

Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang)
dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap
sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai
ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu
dipangkunya namuni tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada
tahun 1947.

Keluarga Dan Sisilah


Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M),
KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh
Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10
putra dan putri yaitu:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf.

Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu
Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub

Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )

Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim
(Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian
bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI

Wafatnya Sang Tokoh


Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat
Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada
ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan
didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat.
Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir
dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang
yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar
laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau
memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang
mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab,
sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuik
meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim
Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak
sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di
tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas
tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter
Angka Nitisastro).

Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak.
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi,
Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi
wa Inna Ilaihi Raji’un.

Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang


amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para
santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini
berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar
kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat
mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu,
yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat".

Karya Kitab Klasik


Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-
sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuat umat, membela dan
memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari skap dan
prilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata
berbahasa Arab.

Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang


sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis
tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan
hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman,
mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus
sejarah hidupnya
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna'u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian
mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap
bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan
thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyi'an Muqatha'ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal.
Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar
didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau' al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah,
syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah
bin yasir Pasuruaan

Referensi:
http://pencariilmu-goresantinta.blogspot.com/2010/06/biografi-hadrotu-syekh-kh-m-
hasyim.html
http://mimbaraji.blogspot.com/2010/01/biografi-kh-hasyim-al-asyari.html
http://midempelan.wordpress.com/2010/03/22/biografi-kiai-hasyim-asyari-ulama-
pembaharu-pesantren/

Anda mungkin juga menyukai