Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“STUDI TASAWUF AKHLAKI”


Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak tasawuf

Dosen Pengampu : Agung Setia, M.Pd

Disusun Oleh :
Program Studi : E’S 1A
Evi Susanti (310261401)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


(STAI )
TULANG BAWANG
TAHUN AKADEMI 2021/2022
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan Puji dan Sukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah “Akhlak Tasawuf” yang berhubungan
dengan Tasawuf Akhlaki: Konsep dan Tokohnya.
Dalam penulisan makalah ini kami banyak menghadapi kesulitan dan
hambatan tetapi berkat kita kerja kelompok akhirnya makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga penulisan
makalah ini dapat diselesaikan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya
dan para pembaca pada umumnya. Namun, walaupun makalah ini selesai
tentulah masih banyak kekurangan, hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
mengarah kepada perbaikan isi makalah ini sangat kami harapkan karena
Kami masih pemula dalam pembuatan makalah.

Tulang Bawang Barat 2021

                                                                                                                           
             
                                                                                                                                      
Penyusun
DAFTAR ISI
                                                                          
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….i
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………………. 1
A.     Latar Belakang ………………………………………………………………………………1
B.     Judul Makalah ………………………………………………………………………………1
C.     Rumusan Masalah …………………………………………………………………………1
D.     Tujuan Pembahasan ……………………………………………………………………..1
BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………………………….2
A.     Pengertian dan Tujuan dari Tasawuf  Akhlaki…………………………………..2
B.     Sistem pembinaan Tasawuf Akhlaki…………………………………………………..3
C. Karakteristik Tasawuf Akhlaki…………………………………………………………3
C.     Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki …………………………………………………………8
BAB III. PENUTUP ……………………………………………………………………….15
A.     Kesimpulan  ……………………………………………………………………………15
B.     Saran ……………………………………………………………………………………..15
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….15
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
      Dalam pembahasan makalah kali ini kami akan membahas tentang
tasawuf akhlaki yang di mana kita sudah tau pengertian tasawuf akhlaki
adalah yang berfokus pada perbaikan akhlak dan budi pekerti manusia
dengan melakukan atau berupaya melakukan hal-hal yang baik (mahmudah)
serta juga menghindari perbuatan-perbuatan diri dari sifat tercela atau hal-
hal yang dibenci oleh allah sebenarnya manusia mampu menjalakan
perintah dari allah akan tetapi manusia sendiri masih belum bisa menahan
hawa napsunya sehingga jiwa atau hati manusia sering resah dan terbawa
akan rayuan-rayuan setan yang membuat hidup manusia itu akan menyesal
di kemudian hari.
Dalam pembahasan tasawuf akhlaki terdapat pengertian dan tujuan
tasawuf ahklaki, sistem pembinaan tasawuf akhlaki, tokoh-tokoh tasawuf
ahklaki yanga akan kami bahas dalam bembahasan nanti. Sehingga, kita
akan mengtahui pentingnya akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari
Dalam makalah ini, penyusun mencoba membahas satu bab
pembahasan mengenai Tasawuf Akhlaki: Konsep dan Tokohnya.
B.     Judul Makalah
        Adapun judul makalah pada pembahasan ini adalah Tasawuf Akhlaki
(Konsep dan Tokohnya)
C.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan tujuan tasawuf akhlaki ?
2.      Bagaimana sistem pembinaan tasawuf akhlaki ?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf akhlaki ?
D.      Tujuan   
1.      Mengetahui definisi dan tujuan tasawuf akhlaki
2.      Mengetahui sistem pembinaan tasawuf akhlaki
3.      Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf akhlaki
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Definisi dan Tujuan Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase
atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah (
‫)جمل االءضافة‬. Frase atau jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua
kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang
khusus. Dua kata itu adalah “tasawuf” dan “akhlak”.[1]
Kata “tasawuf”, menurut kaidah ilmu sharaf merupakan bentuk isim
masdar, yaitu tassawufan (E‫وفا‬EE‫)تص‬,yang berasal dari fi’il tsulatsi mazid

khumasi,yaitu (‫ )تصوف‬yang memiliki fungsi untuk bembentuk makna lil


mutawa’ah atau transitif (kata kerja yang selalu memiliki objek dalam
kalimat) dan lil-musyawarah atau membentuk makna saling. Dengan
demikian, arti kata “tasawuf”dalam bahasa arab adalah bisa membersihkan
atau saling membersihkan.kata “membersihkan”merupakan kata kerja
transitif yang membentuk objek. Objek dari tasawuf ini adalah manusia.
Kemudian saling membersihkan merupakan kata kerja yang di dalamnya
harus terdapat dua subjek yang aktif memberi dan menerima.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa kaum surfi terbagi dalam dua
kelompok besar,yaitu mereka yang mengajarkan tasawuf yang berasal dari
ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Golongan ini adalah meraka ynag
mengajak dan menyeru ummat islam melalui garakan tasawufnya
berdasarkan panggilan dan anjuran dua dalil naqli diatas.karena kedua dalil
tersebut berisikan ajran-ajaran akhlak maka tasawuf ini juga disebut dengan
tasawuf akhlaki.[2]
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang
kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan
sikap mentar dan pendisiplinan tingkah laku secara kekat, guna mencapai
kebahagiaan yang optimal. Manusia harus mengindetifikasikan eksistensi
derinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa dan raga.
Sebelumya, dilakukan terlebih dahulu pembentukan pribadi yang berkhlak
mulia. Tahapn-tahapan itu dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli
(pengosongan diri dan sifat-sifat tercela), tahalli (menghiasi dari dengan
sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah
bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).[3]
Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan lansung dengan tuhan
sehingga merasa sadar bahwa ia sedang berada di “hadirat” tuhan.
Keberadaan di “hadirat” tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan
kebahagiaan yang hakiki.
B.     Sistem Pembinaan Tasawuf Akhlaki
Dalam tasawuf akhlaki, sistem pembinaan akhlak di susun sebagai berikut,
1.    Takhalli
    Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat
lahir batin. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela.
Timbulnya akhlak tercela lainnya adalah ketergantungan pada kenikmatan
duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan.
     Menurut kaum sufi,kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat
tercela yang di kerjakan oleh anggota lahir,seperti tangan, mulut, dan mata.
Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin,
yaitu hati.
      Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela,oleh kaum sufi dipandang
penting karena sifat-sifat ini merupakan najis maknawi (najasah dzatiyyah).
Adanya najis-najis ini pada sebagaimana mempunyai najis dzat (najasah
dzatiyyah),yang menyebabkan seseorang tidak dapat beribadah kepada
tuhan.
2.    Tahalli
         Tahalli ialah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji.tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak
tercela.
       Tahalli juga juga menghiasi diri dengan jalan yang membiasaakan diri
dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu
berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat “luar”
maupun yang bersifat “dalam”. Kewajiban yang bersifat “luar” adalah
kewajiban yang bersifat formal,seperti shalat, puasa, dan haji. Adapun
kewajiban yang bersifat “dalam”, contohnya yaitu iman,ketaatan, dan
kecintaan kepada tuhan.
         Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang
tercela (takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli),
segala perbuatan dan tindaknya sehari-hari selalu bardasarkan niat yang
ikhlas ia akan ikhlas kepada Allah, ikhlas mengabdi kepada masyarakat
ikhlas berbuat baik, dan ikhlas memberi bantuan kepada sesama. Ikhlas
artinya dalam melakukan perbuatan tidak mengharapkan suatu balasan.
Seluruh hidupnya diikhlaskan untuk mencari keridhaan  Allah semata.
Manusia yang seperti inilahg yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
         Menurut Al-Ghazali,jiwa manusia dapat diubah,dilatih,dikuasai, dan
dibentuk ke dalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar
menjadi manusia paripurna (insan kamil). Perbuatan baik itu, antara lain
sebagai berikut.[4]
a)   Taubat
      Kebanyaka sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal di jalan
menuju Allah. Pada tingkatan terendah, taubat menyangkut dosa yang
dilakukan anggota badan . pada tingkat menengah, taubat menyangkut
panggal dosa-dosa, sepereti dengki sombong,dan riya’. Taubat pada tingkat
ini adalah penolakan terhadap segala sesuatau yang dapat memalingkan dari
jalan Allah.
       Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri,taubat ada tiga tingkatan, yaitu
sebagai berikut.
      Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya.
      Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealpaan mengingat Allah.
      Orang yang bertaubat karena memandang kabaikan dan ketaatannya.
                          Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat menjadi tiga tingkatan.,
yaitu                                                  sebagai berikut
 Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan
karena takut terhadap siska Allah.
 Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik
lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut inabah.
 Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan
kepada Allah , hal ini di sebut aubah.
b)   Khaufah dan Raja’
      Bagi kalangan sufi, khauf dan raja’ berjalan seimbang dan saling
memengaruhi. Khauf  adalah rasa cemas atau takut. Adapun raja’ dapat
berhenti berharap berarti berharap atau optimistis. Khauf adalah perasaan
takut seorang hamba semata-mata kepada Allah, sedangkan raja’ atau
optimis adalah perasaan hati yang senang karena karenamenaati sesuatun
yang diinginkan dan disenangi.           
       Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf  akan
menyebabkan sesesorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf
yang berlebihan akan menjadikan seseorang menjadi putus asa dan
pesimistis. Kesimbangan antara  khauf dan raja’ sama-sama penting.
Karena tanpa raja’,orang akan serba khawatir, tidak mempunyai gairahg
hidup, serba takut, dan pesimistis. Dimilikinya khauf dalam kadar sedang.
Akan membuat orang senantiasa waspada dan hati-hati dalam perilaku agar
terhindar dari ancaman.[5]
c)    Zuhud
      Zuhud umumnya dipahami sebagai kertidak terkaitkan pada dunia atau
harta benda. Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama,zuhud yang terendah, adalah menjahuhkan diri dari dunia agar
terhindar dari hukuman di akhitar. Kedua,menjauhi dunia dengan
menimbangkan imbalan akhirat. Ketiga,yang sekaligus merupakan maqam
tertinggi, adalah mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena
berharap,tetapi karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat
tertinggi ini kan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak
mempunyai arti apa-apa.
      Terdapat penafsiran yang beragam mengenai zuhud. Namun secara
umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa
ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan
kehidupan akhitar. Mengenai batas pelepasan diri dari rasa ketergantungan
itu, para sufi berlainan pendapat.
d)   Fakir
       Fakir berarti kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam
menjalani kehidupan di dunia. Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak
dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki sehingga tidak memiliki
sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan benteng pertahanan yang
kuat dalam menghadapi materi. Dengan demikian , pada prinsipnya sikap
mental fakir merupakan renteren sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras
menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya sekedar
pendisiplinsan diri dalam memanfaatkan fasilitas hidup.
e)    Sabar
       Sabar adalah kemampuan seseorang mengendalikan dirinya terhadap
sesuatu yang terjadi, baik yang disenangi maupun yang dibenci. Sikap sabar
dilandasi oleh anggapan bahwa segala hal yang terjadi merupakan kehendak
(iradat) Allah. Sabar merupakan salah satu sikap mentalyang funda mental
bagi seorang sufi.
        Dengan demikian, sabar berarti konsisten dalam melaksanakan semua
perintah Allah,menghadapi kesulitan, dan tabah dalam menghadapi cobaan
selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan.
f)    Ridha
        Ridha berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang
dianugerahkan Allah. Orang yang ridha mampu melihat hikmah dan
kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka
terhadap ketentuan-nya. Terlebih lagi ia mampu melihat keanggunan,
kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan sehingga
ia tidak mengeluh.
g)   Muraqabah
        Muraqabah adalah mawas diri. Muraqabah mempunyai arti yang mirip
dengan intropeksi. Dengan kata lain, muraqabah adalah sikap dan siaga
setiap saat untuk meneliti keaadaan sendiri.
        Seorang calon sufi sejak awal sudah diajarkan bahwa dirinya tidak
pernah lepas dari pengawasan Allah. Seluruh aktivitas kehidupan ditujukan
untuk berada sedakat mungkin dengan-nya. Ia sadar bahwa Allah
“memandang”-nya. Kesadaran itu membawanya pada saat sikap mawas diri
atau muraqabah .
h)   Tajalli
         Tajalli ialah hilangnya hijab dan sifat-sifat ke-basyariyyah-an
(kemanusiaan), jelasnya nur yang sebelumnya ghaib, dan fanasnya segala
sesuatu ketika tampaknya wajib Allah.
          Kata tajalli bermakna terutama nur ghaib. Agar hasil yang telah
diperoleh jiwa ketika melakukan takhalli tidak berkurang, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan
kesadaran dan rasa cint dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-nya,[6]
D.    Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki
Tokoh-tokoh tasawuf akhlaki, antara lain Hasan Al-Bhasri, Al-
Muhasibi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali.
1.    Hasan Al-Bashri
a.    Biografi singkat Hasan Al-Bashri
Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar. Ia adalah
seorang zahid yang sanagt mashyur di kalangan tabi’in. Al-Bashri lahir di
Madinah pada tahun 21 H (623) dan wafat pada hari kamis, 10 Rajab 110 H
(728H) dia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Al-Khaththab
wafat ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan Perang Badar dan 300 sabhabat lainnya.[7]
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak
heran kalu ia menjadi iman di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah
lainnya secara umum. Tidak heran kalu ceramah-ceramahnya dihadiri
seluruh sekmen masyarakat. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun
dikenal sebagi seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan
kebenaran. Di antara karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam
Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.[8]
Kelebihan Hasan Al-Bahsrih setidaknya diungkapkan oleh Abu
Qatadah, yang menyatakan “Bergurulah kepada Syaikh ini. Saya telah
saksikan sendiri keistimewaanya. Tidak seorang tabiin yang menyerupai
sahabat nabi selain dirinya.”[9]
b.    Ajaran-ajaran tasawufnya
Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf
Hasan Al- Bashri sebagai berikut, “Sabahat takut (khauf) dan pengkarapan
(raja’)tidak ajan di rundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur
senang karena selalu mengingat Allah SWT. ’’pandangan tasawufnya yang
lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan
takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perindtah Allah SWT. Dan
menjauhi seluluh larangannya.[10]
Hasan Al- Bashri berkeyakinan bahwa perasaan takut itu sama dengan
memetik amal shaleh. kesimpulan Hasan Al- Bashri adalah zuhud sehingga
perhatian terpusab pada kehidupan akhirat. Oleh karena itu, selalu mawas
diri dan selalu memikirkan kehidupan ukhrawi, adalah jalan yang akan
menyampaikan seseorang menuju kebahagiaan abadi.[11]
HAMKA mengemukakan kebahagiaan ajaran tasawuf Hasan Al- Bashri
sebagia berikut.
1)   Perasaan takut dalam hati yang menyebabkan hati tenang lebih utama dar
pada perasaan yang tenang mengakibatkan hati yang taku;
2)   Dunia adalah tempat beramal;
3)   Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengejarkannya;
4)   Banyak perasaan duka didunia yang mengakibatkan dan memperteguh amal
kebaikan (sholeh).[12]
2.      Al-Muhasibi
a.      Biografi singkat Al-Muhasibi
           Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Al-Harits bin As’ad Al-Bashri
Al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah 165 H wafat 234 H (857 M). Ia dikenal
dengan nama Al-Muhasibi karenaia termasuk orang yang menyukai
perhitungan atas dirinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan-perbuatan
yang merugikan.
     Al-Muhasibi termasuk pembesaran sufi, ahli ilmu ushul, dan teknologi.
Beberapa karyanya menunjukkan ia suka berpolemik dengan kelompok
Mu’tazilah. Kemampuannya inilah yang menjadi daya tarik para intelektual
baghdad sehingga banyak yang belajar kepadanya. Al-Muhasibi wafat di
baghdad pada 234 H (857 M) dengan beberapa karya tulis.
b.      Pandangan Al-Muhasibi tentang ma’rifat
      Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Al-Muhasibi menulis
sebuah buku tentangnya, namun dikabrkan bahwa ia –tidak diketahui
alasannya – kemudiaan mebakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam
menjelaskan batasan agama dan tidak mendalami pengertian batin agama
yang dapat menyebabkan kaerguan. Inilah yang mendasarinya untuk
memuji sekelompok sufi yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami
pengetian batin agama.[13]
             c.   Pandangan Al-Muhasibin tentang khauf dan raja’
     Dalam pandangan Al-Muhasibin,khauf (rasa takut) dan raja’
(pengharapan) menepati posisi penting dalam perjalanan seseorang
membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat itu dengan etika-
etika keagamaan lainnya, yaitu ketika disifati pula dengan sifat-sifat
lainnya. Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan
sempurna hanya perbepang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah.[14]
         3.  Al-Qusyairi
             a.   Biografi singkat Al-Qusyairi
                        Ia adalah tokoh sufi yang terpenting abad ke-5 Hijriyah, Nama           
lengkapnya adalh Abdul Karim bin Khawazin, lahir pada tahun 376 di
istawa, di Naisaiful, yang merupakan pusat intelektual pada saat itu. Ia
berguru kepada Abu ‘Ali al daqqak dalam ilmu tasawuf, sedangkan dalam
ilmu fiqh, ia belajar kepada Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar al thusi.
[15]
                          Al-Qusyairi adalah orang yang paling keras dalam menentang doktrin
aliran-aliran. Mu’tazilah, Kamariyyah, dan Syi’ah. Karena tindaknya itu, ia
mendapat serangan dan dipenjarakan sebulan lebih atas perintah tughrul
Bek yang terhasut seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazillah
Rafidhah.[16]
            b.     Ajaran-ajaran tasawuf Al-Qusyairi
                          Seandainya karya Al-Qusyairi, ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara
mendalam, akan tampak jelas upaya Al-Qusyairi cenderung mengembalikan
tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana
pernyataannya,
                          Secara empilisit, dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut, terkandung
penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-
ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan,
khususnya sifat terdahulunya.[17]
        4.  Al-Ghazali 
                a.    Biografi  singkat Al-Ghazali                        
      Al-Gazali adalah tokoh tasawuf akhlaki yang paling termasyhur. Ia
dilahirkan dari keluarga miskin. Lahir di kota Thus,dekat Marshad Kurasan
pada tahun 450 H /1058 M. Ia lahir dari seorang penun wol (ghazzal),
sehingga ia dijuluki Al-Gazali. Pendidikan yang dijalaninya berawal dari
kota Thus, lalu ke jurjan.[18]
Pada usia 20 tahun Al-Gazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin
Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah
di Naizabur. Di sinilah ia berguru kapada Imam Haramain (Al-Juwaini, w.
478 H /1086 M) hingga menguasai ilmu mantik, ilmu kalam, fiqh-ushul
fiqh, filsafat, tasawuf, dan retotika perdebaatan.[19]
            b.    Ajaran-ajaran tasawuf Al-Ghazali
     Al-Ghazali memiliki tasawuf sunni yang bersadarkan Al-Quran dan
sunnah Nabi ditambahkan dengan doktrin Ahl As-Sunnah. Wa Al-Jama’ah.
Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostik
yang memengaruhi para filsuf islam, seperti sekte Isma’iliyah, Syi’ah, dan
Ikhwan Ash-Shafa. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan
Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat
dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak islam.[20]
     Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya
mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriyah,
hanya mengungkapkan hkata-kata yang sulit dipahami, memngemukakan
kesatuan dengan tuhab, dan menyatakan bahwa Allah SWT. Dapat
disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan
hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semisilsafat
meskipun ia mau memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al- busthami. Ungkapan-
ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang –orang Nasarani salah
dalam meniali Tuhannya, seakan-akan ia berada pada diri Al-masih.[21]
       c.     Pandangan Al-Gahazali tentang makrifat
      Menurut Al-Ghazali , ma’rifat mengetahui rahasia Allahdan mengetahui
peraturan-peraturannya tentang segala yang ada. Alat memperolr ma’rifat
bersabdar pada sirr, kalbu, fdan roh. Setelah kalbu dan roh menjadi kosong
dan suci, kemudian dilimpahi cahaya Tuhan, maka seseorang dapat
mengetahui hakikat segala yang ada. Ia menerima iluminasi (kasyaf) dari
Allah sehingga yang dilihat hanyalah Dia. Pada saat itulah ia sampai
ketingkat ma’rifat.
      Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, membedakan jalan
pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang awam,ulam, dan orang
‘arif (sufi). Ia membuat perumpamaat bagi orang awam tentang keyakinan
bahwa si fulamn ada di dalam rumah tnpa menyelidiki lagi. Bagi ulama ,
keyakinan adanya si fulan di dalam rumah dibangun atas dasar adanya
tanda-tanda, seperi suaranya yanag terdengar walaupun tidak kelihatan
orangnya. Sementara itu , orang ‘arif tidak hanya memperhatikan tanda-
tandanya, seperti mendengankan seuara dari balik dinding, tetapi lebih jauh
dari itu, ia pun memasukirumah dan menyaksikan dengan mata kepala
bawah si fulan bener-bener berada di dalam rumah.[22]
            d.     Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah (kebehagiaan)
      Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kabahagiaan yang paling tinggi
adalah melihat Allah SWT. (ru;yatullah). Di dalam kitab kimiya’ as-
sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dxengan
watak (tabiat) , sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya;
nikmatnya mata terletak ketika merlihat gambar yang bagus dan indah;
nikmatnya telinga terletak mendengan suara yang merdu. Demikian juga,
seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatannya qalb – sebagai alat memperoleh makrifat- terletak ketika
melihat Allah SWT. Hal ini merupakan kenikmatan paling agung yang tiada
taranya karena makrifat itu angung dan mulia. Kenikmatannya melebihi
kenikmatan lain. Sebagai mana perasaab dapat bertemu menteri tidak akan
lebih bangga atau senang dari pada perasaan bertemu presiden. Hal ini dapat
dianologikan dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah SWT.
[23]
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
     Dari penjelasan-penjelasan tersebut, maka kamui menyimpulkan bahwa
pengertian ilmu akhlak adalah suatu ilmu yng membahas persoalaan yang
bernilai baik atau buruk, lalu mengemukakan teori-teori yang dapat
dijadikan tuntunan untuk melakukan perbuatan baik.sehingga petunjuk
mengenai cara-cara menghinfdari perbuatan buruk. Tasawuf ahkhlaki
merupakan kajiuan ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk
menguasainya. Tidak hanya berupa  teori sebagai sebuah pengetahuan.,
tetapi harus dilakukan dengan aktifitas kehidupan manusia. Dan tokoh-
tokoh sufi termasyur ada dalam aliran tasawuf akhlaki ada 4 orang
diantaranya:
  Abu Sa’id Al-Hasan bin yasir (hasan Al-Bashri;21-110 H)
  Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi (Al-
Muhasibi;165-234 H).
  ‘Abdul Karim bin Hawazin (Al-Qusyairi;376-405 H)
                 Kemudian ajaran tasawuf akhlaki adalah Takhalli, Tahalli, Tajalli,
Munajat,Murroqobah, memperbanayk zxikitr dan warid, mengingat mati,
dan tafakkur, Dan ajaran Tasawuf ‘Amali yakni sya’riat Thariqat, dan
Ma’rifat
B.       Saran
     Mengingatnya penegtehuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa
ingin tahu dari tim penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika
terdapan adanya kesalahan dalam penulisan atau kata-kata dalam makalah
yang tim penulis susun. Adapun kebenaran itu datangnya dari Allah SWT
dan kekuerangannya datang adri tim penulis. Tim penulis berharap pembaca
tidak puas dengan makalah yang tim penulis buat ini dan pada akhirnya
pembaca akan tewrus memperdalam pengetahuan yang sangat luas. Dalam
makalah ini juga, tim penulis butuh kritikan dan saran guna perbaikan
dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Solichin, Mohammad Muchlis. Akhlak Tasawuf dalam Wacana Kontemporer Upaya
Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya: Pena Salsabila, 2013.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf.  bandung: pustaka setia, 2010.
Amin, Samsul Munir. Ilmu Tasawuf. Jakarta:imprint aksara, 2015.

[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
229.
[2]Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila,
2013), hlm. 135.

[3] Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi


aksara,2015),hlm. 209.
[4]  Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi
aksara,2015),hlm. 212-214.
Ibid,hlm. 215-216.
[6] Ibid,hlm. 217-220.
[7] Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi
aksara,2015),hlm. 221-222
[8] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
232.
[9]Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila,
2013),hlm. 146.
[10] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
232.
[11] Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi
aksara,2015),hlm. 223.
[12] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila,
2013),hlm. 146.

[13] Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi


aksara,2015),hlm. 225-226.
[14] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
235-236
[15] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila,
2013),hlm. 147.
[16] Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi
aksara,2015),hlm. 229.
[17] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
239.
[18] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila,
2013),hlm. 142.
[19] Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi
aksara,2015),hlm. 233.
[20] Ibid, hlm. 236.
[21] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
247.
[22] Samsul Munir Amin,ilmu tasawuf (jakarta:imprint bumi
aksara,2015),hlm. 238.

[23]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.


249. 

Anda mungkin juga menyukai