Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Tadwin Hadist
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Al-Qur’an Hadist
Dosen Pengampu : Abd. Syahid, S.Pd.I.,M.A.

Disusun Oleh :
Abidah (1209.19.08622)
Khairunnisa (1209.19.08633)
Santika (1209.19.08649)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN
2019/2020

i
KATA PENGANTAR

syukur alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas hidayah-


Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Maklah yang berjudul "Tadwin
Hadist" ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Qur’an Hadist. Makalah
ini berisikan tentang bab Tadwin Hadist yang dapat memberikan pengajaran atau
pembelajaran kepada para pembaca.
kami berharapa makalah yang kami buat ini dapat memberikan infomasi
ataupun menambah ilmu pengetahuan kita tentang Alam Pemikiran Manusia Dan
Perkembangannya.
Akhirnya kami tetap berharap bahwa makalah yang kami susun ini
menjadi butiran-butiran amal kami dan bermanfaat bagi kami dan umumnya bagi
para pembaca. Aamiin ya Rabbal Alamin.

Tembilahan, 03 April 2020

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................I

A. Latar Belakang................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................2

C. Tujuan.............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................4
A. Pengertian tadwid hadits................................................................4
B. Sejarah perkembangan hadits........................................................5

C. Periode ke-4 perkembangan hadits pada abad II dan III H............9

D. Periode ke-5 masa men-tahshih-kan hadits dan penyusunan kaidah-

kaidahnya.......................................................................................12

E. Periode ke-6dari abad IV-tahun 656H...........................................16

F. Periode ke-7 (565H-sekarang)……………………………………16

G. Penulis hadits, penguasaannya, serta pembukuannya hukum penulisan

hadits……………………………………………………………..16

BAB III PENUTUP......................................................................................... 21


A. Kesimpulan..................................................................................... 21

B. Saran............................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 23

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Salah satu persoalan utama yang tetap ramai diperbincangkan kendati telah
lama memicu polemik dan kontroversi dalam kancah studi hadis adalah
problem kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis. Problem ini boleh jadi akan
terus berkembang menjadi agenda perdebatan yang cukup hangat dan menyita
banyak energi di kalangan para sarjana keislaman, khususnya mereka yang
menaruh minat pada studi hadis.

Karena proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis masih banyak


diselimuti “misteri” dan kontroversi, maka dalam perspektif kritik historis,
posisi kitab hadis tidak dapat disejajarkan dengan kitab suci al-Qur’an. Hal
tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, sejarah kompilasi dan
kodifikasi hadis sejak periode pewahyuan hingga tercapai dokumentasi yang
dianggap final telah melewati rentang waktu yang panjang. Kedua.

Proses historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis kendati secara


khusus telah berlangsung sejak periode Nabi saw., pada kenyataannya belum
menjangkau seluruh hadis yang beredar saat itu. Ketiga, kegiatan kompilasi
dan kodifikasi (tadwin) hadis, terutama yang bersifat resmi dan publik, baru
terjadi setelah gelombang besar pemalsuan hadis. Keempat, selama proses
transisi dari tradisi lisan menuju dokumentasi tertulis, periwayatan hadis
umumnya berlangsung secara ahad dan hanya sedikit yang berlangsung secara
mutawatir.

Pada zaman Rasulullah, hadis tidaklah dibukukan, bahkan dilarang, hadis


cukuplah dihafal oleh para sahabat karena faktor-faktor tertentu. Pada zaman
Khulafaur Rasyidinpun sama, hadis belumlah dapat dibukukan, hal itu
dikarenakan sikap kehati-hatian dari para Khulafaur Rasyidin dalam
mengumpulkan hadis, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dikeluarkan
oleh Khulafaur rasyidin terhadap hadis ini dimaksudkan untuk memelihara al-

1
Qur’an. Khalifah Abu Bakar dan Umar menyerukan kepada umat Islam untuk
lebih berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, serta meminta kepada para
sahabat untuk menyelidiki riwayat. Pada masa Khalifah Utsman dan Ali,
keadaannya tidak terlalu berbeda dengan keadaan pada masa Khalifah Abu
Bakar dan Umar, tentang sikapnya terhadap periwayatan dan pendewanan
hadis.

Setelah agama Islam mulai meluas tersebar ke berbagai wilayah jaziah


Arab, para sahabatpun mulai berpencar ke beberapa wilayah. Banyak yang
meninggal dunia dan para ulama merasa khawatir dan merasa perlu untuk
membukukan hadis, hal inilah yang mendorong khalifah Umar bin Abdul Aziz
dari bani Umayyah untuk membukukan hadis.

Pada masa khalifah Umar bin Abdul aziz hadis dapat dibukukan, masa ini
disebut juga sebagai masa penulisan atau masa pembukuan hadis. Di mulai
pada masa pemerintahan Amawiyah. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu
untuk membukukan hadis. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang
dan lenyapnya hadis-hadis bersama para penghafalnya yang kian lama makin
banyak yang meninggal atau karena ia khawatir akan tercampur baurnya
hadis-hadis asli dengan hadis-hadis batil.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan di atas maka rumusan


masalah yang ingin penulis pecahkan adalah sebagai berikut :

1. Apa Pengertian Tadwin Hadits ?


2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hadits ?
3. Bagaimana Penulisan Hadits, Penguasaannya, Serta Pembukuannya ?
C. Tujuan

Dari rumusan masalah di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin
dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa itu Tadwin Hadits

2
2. Untuk mengetahui bagaimana Sejarah Perkembangan Hadits
3. Untuk mengetahui bagaimana Penulisan Hadits, Penguasaannya, Serta
Pembukuannya

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tadwin Hadits

Kata tadwin merupakan bentuk mashdar dari kata kerja dawwana yang
artinya menulis. Secara literal, kata tadwin mengandung arti penghimpunan,
seprti disebutkan dalam kamus Tajal-‘Arus:dawwanahu tadwinan jama’hu. Al-
Zahraniy, dengan mengutip kamus arab, mengartikan kata tadwin dengan
“kumpulan shuhuf”, sehingga dalam makna ini tadwin identic dengan diwan.
Selain itu, kata tadwin dapat berarti “mengikat sesuatu yang terpisah-pisah atau
tercerai-cerai dan menghimpunya dalam sebuah diwan atau kitab yang memuat di
dalamnya lembaran-lembaran”1

Secara terminologis, sejumlah sarjana telah mendefinisikan tadwin hadits


secara beragam. Muhammad Darwisy misalnya, mengartikan tadwin hadits
dengan penulisan hadits-hadits yang berasal dari Nabi Muhammad Saw., dan
penghimpunannya dalam satu atau beberapa sahifah, sampai akhirnya menjadi
sebuah kitab yang tertib dan tertentu, serta menjadi rujukan umat Islam setiap kali
menjadikannya dalil. Manna al-Qaththan mendefinisikan tadwin hadits dengan
“usaha pengumpulan hadits yang sudah dituliskan dalam bentuk shuhuf atau yang
masih terpelihara dalam bentuk hafalan, dan kemudian menyusunannya hingga
menjadi sebuah kitab.2

Pembukuan hadits (tadwin al-hadits) merupakan konsep yang tetap penting


dipahami dengan benar dalam studi hadits. Karena ia berkaitan dengan eksistensi
periwaayatan hadits-hadits Nabi saw yang telah terjadi di dalam sejarah, yang
kemudian dibukukan dalam kitab-kitab hadits yang diwarisi oleh umat abad
masa kemudian. Setiap muslim yang benar pemahaman agamanya akan peduli
dengan persoalan ini, karena ini didalamnya dimuat persoalan esensial yang
dijadikan hujjah dalam beribadah dan kehidupan.3
1
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Hiatoriografi islam; kajian lintas aliran, (Yokyakarta:
Puastaka Pelajar, 2001) hlm. 35-36
2
Saifuddin, Arus tradisi Tadwin…., hlm36
3
Erfan Soebahar, menguak fakta keabsahan al-sunnah, (Jakarta: prenatal media, 2003), hlm 156.

4
B. Sejarah Perkembangan Hadits

Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah


dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan penghayatan
dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan perhatikan masa yang
telah dilalui hadis sejak masa timbulnya atau lahirnya di masa nabi shallallahu
alaihi wasallam meneliti dan membina hadis serta segala hal yang
mempengaruhi hadis tersebut. Para ulama muhadditsin membagi sejarah hadis
dalam beberapa periode titik adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-
beda adalah membagi periode hadis. A d membagi dalam 3 periode 5 periode
dan 7 periode.4

M. Habsyi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi 7 periode


sejak periode nabi Muhammad Saw., sehingga sekarang yaitu sebagai berikut :

a) periode pertama perkembangan hadis pada masa Rasulullah

Periode ini disebut dengan Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin (masa turunnya


wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir
berupa sabda (awwal), af'al, dan taqrir nabi yang berfungsi menerangkan Alquran
untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.

para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung.


Penerimaan secara langsung misalnya saat nabi Muhammad memberi ceramah
pengajian khutbah atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat titik adapun
penerima secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari
utusan utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah-daerah atau
utusan daerah yang datang kepada nabi.

Pada masa nabi Muhammad kepandaian baca tulis di kalangan para


sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali titik karena kecakapan baca
tulis di kalangan sahabat masih kurang Kauman Abi menekankan untuk

4
Suparta, Munzeir, Ilmu Hadits, Jakarta: Rajawali pers. 2010. Hlm 27.

5
menghafal memahami, memelihara, materi kan, dan memantapkan hadis dalam
amalan sehari-hari serta tabligh kan Nya kepada orang lain.

Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa nabi bukan berarti tidak ada
sahabat yang menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama
sahabat yang menulis hadis, diantaranya:

- Abdullah ibn Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Ash Shadiqah.


- Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-
lain.
- Anas Ibn Malik

Di samping itu, ketika nabi menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat,


beliau sering mengirimkan surat surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada
para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja
dan kabilah baik di timur utara barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadis
juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa nabi Muhammad telah
dilakukan penulisan hadis di kalangan sahabat.

b) periode kedua perkembangan hadis pada masa Khulafaur Rasyidin atau


para sahabat (11H-40H).

Periode ini disebut 'Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa


membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad wafat pada tahun 11 H.
Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman
hidup yaitu Alquran dan hadis atau as-sunnah yang harus dipegang ini dalam
seluruh aspek kehidupan umat.

Pada masa Khalifah abu bakar dan Umar dan hadis tersebar secara
terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi.
Bahkan, pada masa itu Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak
meriwayatkan hadits, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengarahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Alquran.

Dalam praktiknya com ada dua sahabat yang meriwayatkan hadits, yakni:

6
1. Dengan lafaz asli, yakni menurut lafaz yang mereka terima dari nabi
Muhammad yang mereka hafal benar lafaz dari nabi.
2. Denganmaknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena
tidak hafal lafaz hadis asli dari nabi Muhammad.

Pada masa ini, Khalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan


hadis namun maksud tersebut diturunkan setelah beliau melakukan salat
istikharah.

c) Periode ketiga perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabiin

Periode ini disebut ‘Ashar Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (Masa


berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). pada masa ini daerah Islam sudah
meluas, yakni ke negeri Syam Irak Mesir samarkand bahkan pada tahun 93
h,meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para
sahabat ke daerah-daerah tersebut terutama dalam rangka tugas memangku
jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.

Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadits-hadits nabi
Muhammad diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah daulah islamiyah
untuk menanyakan hadits kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di
wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini di samping tersebarnya
periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah jazirah Arab perawatan untuk
mencari hadits pun menjadi ramai.

Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan


lembaga-lembaga (centrum perkembangan) hadits di berbagai daerah di seluruh
negeri titik diantara bendaharawan hadis yang banyak menerima, menghafalkan
dan mengembangkan atau melibatkan hadis adalah:

(a) Abu Hurairah, menurut Ibnu al-jauzi, meriwayatkan 5.3 74 hadits,


sedangkan menurut al-kirmani, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
(b) Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadits.
(c) Aisyah, istri Rasulullah meriwayatkan 2.276 hadits.

7
(d) Abdullah Ibn Abbas meriwayatkan 1.660 hadits.
(e) Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits.
(f) Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits.

Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian


pendidikan dan pengembangan hadis terdapat di:

a. Madinah, dengan tokoh-tokohnya : Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah,


Aisyah, Sa’id Al khudri, Zaid Ibn Tsabit, ( dari kalangan sahabat), Urwah,
Sa'id Az-Zuhri, 'Abdullah Ibn Umar, Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi
Bakar, Nafi', Abu Bakar Ibn And Ar-Rahman Ibn Hisyam, dan Abu Zinad
( dari kalangan tabiin).
b. Mekkah, dengan tokoh-tokohnya: Ali, Abdullah Ibn Mas'ud, Saad Ibn Abi
waqqash, said Ibn Zaid, Al Salman Al farisi, Abu Juhaifah (sahabat),
Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa’id Ibn Jubair, Amir
Ibn Syurahil, Asy-Sya'bi (tabiin).
c. Basrah, dengan tokoh-tokohnya: Anas Ibn Malik, 'Utbah, Imran Ibn
Husain, Abu Barzah, Ma'qil Ibn Yasar, Abu Bakhrah, Abd Ar-Rahman Ibn
Sumirah, 'Abdullah Ibn Syikhkhir, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu
al-Aliyah, Rafi' Ibn Mihram Al-Riyahi, Al-Hasan Al-Bishri, Muhammad
Ibn Sirin, Abu Sya'tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf Ibn 'Abdullah
Ibn Syikhkhir, Abu Bardah Raja' Ibn Abi Musa (tabiin)
d. Syam, dengan tokoh-tokohnya: Mu'adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit,
Abu Darda(sahabat), Abu Idris Al-Khaulani, Qasibaj Ibn Dzuaib, Makhul,
Raja' Ibn Haiwah (tabiin).
e. Mesir, dengan tokoh-tokohnya : ‘Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir,
Kharijah Ibn Hudzaifah, 'Abdullah Ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Sa’ad
Al-Khair, Martsad Al-Yaziri, Yazid Ibn Abi Habib (tabiin).

pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali R.A. pada
masa ini, umat Islam mulai terpecah pecah menjadi beberapa golongan : pertama,
golongan Ali Ibn Abu Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua,

8
golongan khawarij yang menentang Ali dan golongan muawiyah dan ketiga,
golongan jamhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Terpecahnya umat Islam tersebut memacu orang-orang yang tidak


bertanggungjawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari
Rasulullah untuk mendukung golongan mereka titik oleh sebab itulah mereka
membuat hadits palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.

C. Periode ke-4 perkembangan hadis pada abad II dan III Hijriyah

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan


pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah titik adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabiin,sahabat kecil, sahabat besar dan bahkan masa nabi Muhammad.

Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada
masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. Sebagai khalifah
Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam
hafalannya semakin banyak yang meninggal titik beliau khawatir apabila tidak
membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya,
ada kemungkinan hadits-hadits tersebut akan lenyap dari permukaan bumi
bersama dengan kepergian para penghafal nya ke alam barzah.

Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, khalifah meminta


gubernur Madinah Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hasmuni (120H), yang
menjadi guru Ma'mar Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abu
Dzi'bin untuk membukukan hadis rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang
terkenal yaitu Amarah binti Abdur Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn 'Ades,
seorang ahli fiqih, murid Aisyah R.A. (20H/642M – 98H/716M atau 106
H/724M), dan hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi
Bakr As-Shiddqie (107H/725M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang
Fuqaha Madinah yang tujuh.

9
Disamping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada
di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang
tinggal di wilayah mereka masing-masing. Diantara ulama besar yang
membukukan hadits atas kemauan khalifah adalah Abi Bakr Muhammad Ibn
Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam
urusan fikih dan hadis. Beliau adalah guru Malik, Al-Auza'i, Ma'mar, Al-Laits,
Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin. Mereka inilah ulama yang mula-mula
membukukan hadits atas anjuran Khalifah.

Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis
pertama yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita dan kita
itu tidak membutuhkan seluruh hadis yang ada di Madinah titik pembukuan
seluruh hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim
Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari
ulama ulama hadis pada masanya.

Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadis atas


anjuran Abu 'Abbas As-Shaffah, anak-anaknya dari khalifah-khalifah 'Abbasiyah.
akan tetapi, tidak dapat diketahui lagi siapakah ulama yang mula-mula
membukukan hadits sesudah Az-Zuhri karena ulama-ulama yang datang sesudah
Az-Zuhri seluruhnya hidup pada satu zaman.

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpulan


hadis adalah :

a. Pengumpulan pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150H


b. Pengumpulan pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w.150H)
c. Pengumpulan pertama di kota Bashrah, Al-Rabi’ Ibn Shabih (w.160H)
d. Pengumpulan pertama di kota Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w.161H).
e. Pengumpulan pertama di kota Syam, Al-Auza’i (w.95H)
f. Pengumpulan pertama di kota Waisth,Husyain Al-Wasithy (104-188H)
g. Pengumpulan pertama di kota Yaman, Ma’mar Al-Azdy (95-153H)
h. Pengumpulan pertama di kota Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188H)

10
i. Pengumpulan pertama di kota Khurasan, Ibn Mubarak (11-181H)
j. Pengumpulan pertama di kota Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (w.175H)

Semua ulama yang membukukan hadits ini terdiri dari ahli-ahli pada abad
ke II Hijriyah.

Kitab Az-Zuhri dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui rimbanya sekarang.
Adapun kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini adalah
Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik. Kitab ini disusun atas permintaan khalifah
Al-Mansur ketika ia menunaikan ibadah haji pada tahun 144H/141H.

Kemudian, Ibnu Ishaq menyusun kitab Al-Maghazi wa As-Siyar (hadis-


hadis mengenai sirah Rasul). Kitab Al-Maghazi ini adalah dasar pokok bagi kitab
kitab sirah nabi.

Para ulama abad ke II membukukan hadis tanpa menyaringnya, yakni


mereka tidak hanya membukukan hadis hadis saja tetapi fatwa-fatwa sahabat pun
dimasukkan ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu terdapat
hadis-hadis Mardi, hadis-hadis Mauquf, dan hadits-hadits Maqthu'. Kitab hadis
seperti itu dan mudah kita dapatkan adalah Al-Muwaththa, susunan imam Malik.

Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad ke II


ini, jumlahnya cukup banyak titik akan tetapi, yang masyhur di kalangan ahli
hadits adalah:

a) Al-Muwaththa, susunan imam Malik (95H-179H).


b) Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad Ibn Ishaq (150H).
c) Al-Fami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211H).
d) Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjah (160H).
e) Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn 'Uyainah (198H).
f) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa’ad (175H).
g) Al-Mushannaf, susunan Al-Auza’i (150H).
h) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219H).

11
i) Al-Maghazi Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al-
Aslamy.
j) Al-musnad, susunan Abu Hanifah (150H).
k) Al-musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
l) Al-musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204H).
m) Mukhtalif Al-Hadits, susunan Al-Imam Asy-Syafi’i.

Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan


rawi-rawi hadits dan dalam masa ini telah banyak rawi-rawi yang lemah. Pada
periode ini muncul tokoh-tokoh Farh wa Ta'dil, diantaranya adalah Syu'bah Ibn
Al-Hajjaj (160H), Ma'mar, Hisyam Ad-Dastawy (154H), Al-Auza’i (156H),
Sufyan Ats-Tsauri (161H), dan masih banyak tokoh lainnya.

Tokoh-tokoh yang mahsyur pada abad ke II Hijriyah adalah Malik, Yahya


Ibn Sa’id Al-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah,
Syu'bah Ibnu Hajjah, Abdul Ar-Rahman Ibn Mahdi, Al-Auza’i, Al-Laits, Abu
Hanifah, dan Asy-Syafi’i.

D. Periode kelima masa Men-tashih- kan hadits dan penyusunan kaidah-


kaidahnya.

Abad ke III hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah


kitab kitab Ibnu juraij, kitab Muwaththa' Al- Malik tersebar dalam masyarakat
Dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadits, mengumpul dan
membukukan nya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari
hadits.

Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di


kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke
kota lain untuk kepentingan mengumpulkan hadis.

Keadaan diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan


daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru,

12
Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kuffah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qusariyah, 'Asqalani, dan Hismh.

Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadis yang


tersebar di berbagai daerah titik enam tahun lamanya al-bukhari terus menjelajah
untuk menyiapkan kitab shahihnya.

Para ulama pada mulanya menerima hadis dari para rawi lalu menulis ke
dalam kitab-nya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memperhatikan sah tidaknya.namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan
adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengajarkan hadits, para ulama pun
melakukan hal-hal berikut:

(a) Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi baik dari segi
keadilan tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
(b) Memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadis dha'if yakni dengan
men-tashih-Kan hadits.

Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadis-hadis


yang sahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawaih,
seorang imam hadis yang sangat termasyhur.

Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna


oleh Al-Imam Al-Bukharim Al-Bukhari menyusun kitab kitabnya yang
terkenal dengan nama Al-Famius Shahih. Di dalam kitab nya, ia hanya
membukukan hadis hadis yang dianggap syahid. Kemudian usaha Al-
Bukhori ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim yaitu Imam Muslim.

Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain


yang mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-
Tirmidzi, dan An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab kitab hadis yang dikenal
dengan Shih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Dawud, Sunan At-Tirmidzi,
da Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan
masyarakat dengan judul Al-Ushuk Al-Khamsyah.

13
Disamping itu Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini
kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab kitab induk sehingga kitab
kitab induk itu menjadi 6 buah yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-
Sittah'. Di bawah kitab yang 6 ini, para ulama menempatkan Musnad Ahamd.

Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah:

1. 'Ali Ibnul Madany.


2. Abu Hatim Ar-Razy.
3. Muhammad Ibn Karir Ath-Thabari.
4. Muhammad Ibn Sa’adm
5. Ishaq Ibnu Rahawaih.
6. Ahmad.
7. Al-bukhari
8. Muslim.
9. An-Nasa’i.
10. Abu Dawud
11. At-Tirmidzi.
12. Ibnu Majah.
13. Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri.

Kitab-kitab sunnah yang tersusun dalam abad yang ke III antara lain:

1. Al-Musnad, susunan Musa Ibn ‘Abdillah Al-‘Abasy


2. Al-Musnad, susunan Mussaddad Ibn Musarhad
3. Al-Musnad, susunan Asad Ibn Musa
4. Al-Musnad, susunan Abu Daud Ath Thayalisy
5. Al-Musnad, susunan Nu’aim Ibn Hammad
6. Al-Musnad, susunan Abu Ya’la Al-Maushly
7. Al-Musnad, susunan Al-Humaidy
8. Al-Musnad, susunan ‘Ali Al-Madadi
9. Al-Musnad, susunan ‘Abid Ibn Humaid(249H)
10. Al-Musnad,Al-Mu’allal susunan Al-Bazzar

14
E). Periode keenam dari abad IV hingga Tahun 656H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H yaitu pada
masa Abbasiyah angkatan kedua. periode ini dinamakan Ashru At-Tahdid wa At-
Taritibi wa Al-Istidraqi wa Al-Fami.

Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 digelari
Mutaqaddim, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada
usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghafal nya yang
tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab,Parsi, dan lain-lainnya.

setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat titik para
ulama abad ke-4 ini dan seterusnya digelari 'Mutaakhirin'. Kebanyakan hadis
yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab
Mutaqaddim, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada
para penghafal nya.

periode ini muncul kitab kitab Shahih yang tidak terdapat dalam kitab
shahih pada abad ketiga. kitab-kitab itu antara lain:

(a) Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah.


(b) At-Taqsim wa Anwa', susunan Al hakim
(c) Ash-Shalih, susunan Abu 'Awanah.
(d) Al-Muntaqa, susunan Ibnu jarud.
(e) Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.

Diantara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode


ini adalah:

(a) Mengumpulkan hadits Al Bukhari atau muslim dalam sebuah kitab.


(b) Mengumpulkan hadis hadis dalam kitab 6.
(c) Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.
(d) Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab kitab 'Athraf.

Pada periode ini muncul usaha-usaha Istikhraj, umpamanya mengambil


suatu hadis dari Al Bukhari Muslim lalu meriwayatkannya dengan sangat sendiri

15
yang lain dari sanad Al Buchori atau muslim. Pada periode ini muncul pula usaha
istidrak, yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari
dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak dilihatkan atau dishahihkan
oleh Al Bukhari dan Muslim. Kitab ini mereka namai kitab Mustadrak.

F). Periode ke-7 (656H-sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah ke


XVII Al-Mu'tasim (w.656H), sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-
Sarhi wa Al-Fami' wa At-Takhriji wa Al-Bathtsi, yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.

usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah


menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab dalam kitab
tahrij serta membuat kitab-kitab FAmi yang umum.

Pada periode ini disusun kitab kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan
hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu
diantaranya kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-sunnah Al-
Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain.5

G. Penulisan Hadits, Penguasaannya, Serta Pembukuannya Hukum penulisan


hadits

para salaf dari sahabat dan tabiin berselisih mengenai pendapat hukum
penulisan hadis, yang terbagi menjadi beberapa pendapat:

a) sebagian dari mereka membencinya, di antaranya Ibnu Umar Ibnu


Mas'ud dan Zaid bin Tsabit.
b) sebagian yang lain membolehkannya diantaranya. 2 Abdullah bin
Amru Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan mayoritas sahabat.
c) Setelah itu mereka sepakat membolehkannya, sehingga hilang
perselisihan yang ada titik jika hadits tidak ditulis dalam kitab, maka

5
Musthafa al AL A’zimi, Dr. Muhammad, Dirasat fi Al hadits an Nabawi Wa Tarikh tadwinh, Beiru,
Al makta al islamiy. 1992. Hlm. 37-41.

16
hadis akan hilang pada masa-masa terakhir apalagi pada masa kita
sekarang ini.6
1. Sebab perselisihan dalam penulisan hadits

sebab perselisihan dalam penulisannya adalah adanya hadis hadis


yang bertentangan mengenai pembolehan dan larangan di antaranya:

a) Hadits larangan: hadis yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasul


bersabda yang artinya
“janganlah kalian menulis apapun dariku kecuali Alquran, barang siapa
yang menulis apapun dariku selain Alquran maka hapuslah.”
b) Hadis pembolehan: hadis yang diriwayatkan oleh al-bukhari dan
Muslim bahwa Rasulullah bersabda yang artinya
“Tulislah untuk Abu Syah”.

serta banyak hadits-hadits lainnya mengenai pembolehan penulisan


hadis, di antaranya izin yang diberikan untuk Abdullah bin Amru.

2. Penggabungan antara hadits-hadits pembolehan dan larangan

para ulama telah menggabungkan antara hadis hadis larangan dan


pembolehan dari berbagai sisi di antaranya:

a) sebagian mereka mengatakan titik 2 pemberian izin untuk menulis


adalah bagi orang yang dikhawatirkan lupa akan hadis dan larangan
menulis hadits adalah untuk orang yang selamat dari lupa, bahkan
dihawatirkan ia bersandar pada tulisannya jika menulis.
b) sebagian yang lain mengatakan titik 2 adanya larangan tersebut adalah
ketika dihadirkan tercampurnya hadis dengan Alquran kemudian
adanya pembelian tersebut ketika aman dari hal tersebut dengan ini
maka larangan tersebut menjadi mansukh (terhapus).
3. Kewajiban bagi penulis hadits

6
Badri Khaeruman, Otentitas Hadits, Studi kritis atas kajian Hadits Kontenforer. Bandung. Remaja
Rosdakarya. 2004. Hlm 8

17
Suatu keharusan bagi penulis hadis untuk mencurahkan perhatiannya
terhadap ketepatan harakat dan titiknya, serta memeriksanya secara detail,
sehingga keduanya aman dari percampuran, dan menjelaskan nama-nama yang
samar apalagi nama-nama para imam hadis yang tidak bisa diketahui dengan
yang sebelumnya atau sesudahnya. Agar tulisannya jelas sesuai dengan kaidah
khat (tulisan Arab) yang mahsyur, dan agar tidak membuat istilah khusus untuk
dirinya berupa rumus yang tidak diketahui oleh orang lain serta harus selalu
menuliskan kalimat shalawat dan salam atas nabi setiap disebutkan namanya
dan agar tidak bosan dalam mengulang-ulangi Nya serta tidak terikat dengan
yang sudah ada jika memang ada kekurangan titik selain itu juga agar
menuliskan pujian atas Allah seperti 'Azza wa jallah' juga mendoakan
keridhaan dan rahmat untuk sahabat dan para ulama.

Dimakruhkan untuk mencukupkan sholawat tanpa salam atau


sebaliknya seperti halnya makro menyingkat keduanya dengan tulisan 'shad'
atau yang semisalnya seperti 'Shal'am', dan harus menulis keduanya secara
lengkap.

4. Membandingkan kitab dan tata caranya

suatu kewajiban bagi penulis hadits setelah selesai menulis hadis untuk
membandingkan tulisannya dengan asli tulisan gurunya walaupun ia
mengambil hadis darinya secara ijazah.

Adapun cara membandingkan nya ya itu dia dan gurunya memegang


kitab masing-masing ketika pembacaan hadis kemudian diperbolehkan untuk
membandingkannya dengan orang lain yang terpercaya kapanpun waktunya
baik ketika membaca hadis atau setelahnya, begitu juga cukup untuk
membandingkannya dengan bekas kitab yang telah dibandingkan dengan asal
kitab guru tersebut.

5. Istilah-istilah dalam penulisan lafal penyampaiannya dan yang lainnya

18
kebanyakan para penulis hadits seringkali meringkas lafal-lafal
penyampaian hadis menjadi rumus, di antaranya mereka menulis:

a) Haddatsnaa:tsna, atau na.


b) Akhbarana : ana, atau arana.
c) Perpindahan suatu sana ke sana selain. 2 mereka merumuskannya
dengan 'Ha', pembaca hadis juga membaca nya seperti ini 'Ha'.
d) Telah menjadi kebiasaan untuk menghapus kata 'qala atau semisalnya
secara tulisan di antara para rawi dalam sanad hal tersebut untuk
mempersingkat akan tetapi sebaiknya bagi pembaca hadits harus
mengucapkan kata tersebut ketika membacanya, seperti 'haddatsna'
(telah menceritakan kepada kita), Abdullah bin Yusuf, Akhbarana
(telah mengabarkan kepada kita), Malik bagi pembaca hadis harus
mengatakan 'Qala Akhbarana Malik' sebagaimana telah menjadi
kebiasaan untuk menghapus kata 'annahu' (bahwasanya ia), pada akhir
setiap sana untuk mempersingkat seperti dari Abu Hurairah qala untuk
pembaca harus menyebutkan annahu sehingga mengatakan 'Annahu
qala'(bahwasanya ia mengatakan) Hal ini bertujuan untuk
membenarkan kalimat dari sisi I'rab.
6. Berpergian untuk mencari hadits

para salaf kita telah memperhatikan hadis dengan perhatian yang tidak
ada bandingannya serta menghabiskan perhatian kemampuan dan waktu
mereka untuk mengumpulkan serta menjaga hadis dengan hal yang tidak
bisa dipercayai oleh akal. Setelah salah satu diantara mereka
mengumpulkan hadis dari guru-guru negeri nya ia berpergian ke negeri
dan daerah-daerah lainnya yang dekat maupun jauh untuk mengambil
hadits dari para guru hadits negeri-negeri tersebut dan menanggung
kesusahan dalam berpergian dan kehidupan yang sempit dengan kerelaan
hati.

19
Al-khatib al-baghdadi telah menulis kitab yang dinamakan Ar-Rihlah fi
Thalab Al-Hadits', terkumpul di dalamnya berita-berita sahabat,, dan yang
setelah mereka ketika berpergian dalam mencari hadis yang sangat
mengagumkan orang ketika mendengarnya. Siapa yang ingin
mendengarkan berita-berita yang merindukan tersebut agar membaca kitab
ini titik kitab ini mampu memompa semangat untuk para pencari ilmu
mengasah niat mereka dan mengabulkan keinginan mereka.

7. Macam-macam pembukuan dalam hadits

suatu kewajiban bagi yang memiliki kemampuan pada dirinya untuk


membukukan hadis atau yang lainnya agar membukukan hadis yaitu
dengan mengumpulkan hadits-hadits yang terpisah menjelaskan
permasalahan dalam hadis merapikan yang belum rapi serta memberi
daftar isi untuk kitab yang belum terdapat daftar isi sehingga memudahkan
para pencari hadis untuk mengambil manfaat darinya dengan cara
termudah dan waktu yang singkat. Berhati-hatilah terhadap penyebaran
kitab sebelum pembetulan, pemeriksaan ulang, serta pengoreksian nya,
dan hendaknya menjadikan pembukuannya pada perkara-perkara yang
banyak manfaatnya serta banyak faedahnya.7

para ulama telah membukukan hadis dengan berbagai bentuk di antara


bentuk pembukuan hadis yang termasuk adalah:

a) Al-Jawami'
b) Al-Masanid
c) As-sunnah
d) Al-Ma'ajim
e) Al-'Ilal
f) Al-Ajza
g) Al-Athraf
h) Al-Mustadrakat

7
Saifudin NUr, dan Ahmamd izzan, ulumul hadits, Bandung: tafakur. 2011. Hlm 25-31

20
i) Al-Mustakhrajat

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kondifikasi atau tadwin hadits mengalami beberapa fase. Adapun fase yang
terbagi dari Abad 2 H- 7h ialah sebagai beriukut:

Abad 2 hijriyah

Dikenal dengan masa penulisan dan pembukaan hadits secara resmi. Yang
dipelopori oleh khalifah umar bin abdul aziz. Corak pengumpulannya yaitu belum
terdapat penyaringan, hadits masih tercampur dengan fatwa-fatwa sahabat dan
tabi’in masih masuk didalamnya.

Abad 3 hijriyah

Dikenal dengan masa pemurnian dan penyempurnaan hadits. Upaya ulama dalam
pemurnian/ pelestarian hadits antaara lain: perlawatan kedaera-daerah,
pengklasifikasian hadits kepada yang marfu’ dan maqthu’, penyeleksian kualitas
dan pengklasifikasianya. Bentuk penyusunan hadits yaitu secara kitab shahih,
kitab sunan dan kitab musnad.

Abad 4 hijriyah- 7 hijriyah

Pada masa ini dikenal dengan masa pemeliharahaan, penertiban, penambahan dan
penghimpunan. Upaya yang dilakukan ulama untuk membaguskan susunan kitab-
kitabnya, mengumpulkan hadits-hadits dalam sebuah kitab besar, memisahkan
hadits-hadits hukum dalam sebuah kitab dan hadits-hadits taghib dalam sebuah

21
kitab, dan masuklah kitab-kitab hadits itu kedalam masa menyerahkan dan masa
mengikhlaskan.

B. SARAN
Demikian ringkasannya sejarah pengumpulan hadits yang dilakukan para ulama
masing-masing periode. Merekalah para waliyullah yang sangat berjasa, yang
diutus untuk melestarikan hadits-hadits hingga hadits bisa sampai kepada masa
sekarang. Semoga allah memberikan balsan yang terbaik untuk merekea semua.
Amiin

22
DAFTAR PUSTAKA

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Hiatoriografi islam; kajian lintas aliran,
(Yokyakarta: Puastaka Pelajar, 2001)

Bustam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004

Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits, Studi Kritis atas kajian Hadits


kontemporer, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004

Musthafa al Al A’zimi, Dr. muhamad, Dirasat fi Al Hadits an Nabawi wa Tarikh


tadwiuh, Beirut, Al makta al islamiy, 1992

Suparta, Munzier, ilmu Hadits, Jakarta: Rajawali pers, 2010.

Saifudin NUr, dan Ahmad izzan, ulumul hadits, Bandung: tafakur, 2011.

23

Anda mungkin juga menyukai