Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH ALIRAN – ALIRAN ISLAM

PENDAHULUAN
Setiap agama mempunyai ajaran. Ilmu yang membahas tentang ajaran
dasar suatu agama disebut dengan teologi. Setiap orang yang ingin menyelami
seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat
dalam agama yang dianutnya[CITATION Tsu13 \p 1 \l 1057 ].
Teologi dalam Islam disebut juga dengan Ilmu Tauhid. Pemahaman
tentang teologi Islam, suatu istilah yang diyakini belum banyak dikenal oleh
pembaca di Indonesia karena selama ini penamaan tersebut sering digunakan
dengan “ilmu tauhid”. Teologi islam, adalah istilah lain dari ilmu kalam, dan ilmu
tauhid yang berasal dari bahasa asing. Kemunculan istilah teologi dalam Islam,
tidak lepas dari dakwah islamiyah dalam rangka perluasan (ekspansi) daerah
kekuasaan Islam pada awal tahun hijriah, dengan bertambahnya pemeluk agama
islam pada masa ini, maka peristilahan didalam bahasa ikut pula menyertai
perkembangan ilmu tauhid.[CITATION Dja \p 101 \l 1057 ]
Kata ‘tawhid’ berasal dari kata dasar “wahhada, yuwahhidu, tauhidan”
yang mempunyai arti mengesankan. Didalam ajaran agama Islam, sebagai agama
monotheisme, ajaran yang paling mendasar adalah ajaran tentang keesaan Tuhan.
Sebab Islam tidak Menerima Polytheisme (ajaran tentang banyak Tuhan). Oleh
karena itu, ilmu yang membahas tentang keesaan Tuhan ini disebut ilmu tauhid
atau dalam istilahnya disebut ‘tauhid Allah’. Yang dimaksud dengan ‘tauhid
Allah’, ialah meyakini dalam hati dan akal akan wujud Allah sebagai satu-satunya
pencipta, pemelihara, pengatur, dan Tuhan sekalian alam makhluk ciptaan-
Nya[CITATION Tsu13 \p "I Pendahuluan" \l 1057 ].
Agama Islam sangat menghormati dan menjunjung tinggi kedudukan akal,
dengannya manusia memikirkan makhluk ciptaan Allah sehingga bisa mengambil
manfaat darinya secara positif maupun negatif. Bahkan dalam Al-Qur’an terdapat
ayat-ayat yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dalam
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Biasanya ayat-ayat itu diakhiri dengan
perkataan afala ta’kilun, afala tatafakkarun yang berarti apakah kamu tidak
berfikir dan lain sebagainya [CITATION Pro16 \p "I Pendahuluan" \l 1057 ].
Dalam Islam Teologi juga berkembang sedemikian rupa dan beragam,
dengan berbagai dimensi dan bervariasi. Istilah teologi atau “teologi islam,
disepadankan dari beberapa istilah, yaitu ilmu kalam, ilmu tauhid dan ilmu
ushuluddin, ilmu aqaid (akidah), al-fiqh al-akbar. Kelima istilah tersebut telah
lazim dikenal masyarakat luas dan banyak dikutip oleh para pengkaji studi
islam[CITATION Dja14 \p 107-110 \t \l 1057 ], meskipun sebenarnya masih ada
istilah lain, tetapi kurang populer yaitu ilmu hakikat, dan ilmu makrifat. Meskipun
nama yang diberikan berbeda tetapi inti pokok pembahasannya sama, yaitu
berusaha memahami tentang segala hal yang terkait dengan ke
Tuhanan[CITATION Dja \p 111 \t \l 1057 ].
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam islam tidak terlepas dari
faktor historis yang menjadi landasan kajian[CITATION Ham17 \p 1 \l 1057 ].
Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab “syajaratun”, artinya pohon. Apabila
digambarkan secara sistematik, sejarah hampir sama dengan pohon, memiliki
cabang dan ranting, bermula dari sebuah bibit, kemudian tumbuh dan
berkembang, lalu layu dan tumbang. Seirama dengan kata sejarah adalah silsilah,
kisah, hikayat yang berasal dari bahasa Arab.[CITATION Ami10 \p 1 \l 1057 ]
Menurut definisi yang secara umum, kata history berarti “masa lampau
umat manusia”. Dalam bahasa Jerman disebut geschichte, berasal dari kata
geschehen yang berarti terjadi[CITATION Ami101 \p 1 \t \l 1057 ]. Sedangkan
dalam bahasa Arab disebut tarikh, berasal dari akar kata ta’rikh dan taurikh yang
berarti pemberitahuan tentang waktu dan kadangkala kata tarikhus syar’i
menunjukkan arti pada tujuan dan masa berakhirnya suatu peristiwa.[CITATION
Ami102 \p 1 \l 1057 ]
Semasa Rasulullah hidup, belum ada aliran atau paham yang mucul dan
belum ada pendapat-pendapat yang berbeda dan mencolok. Hal itu dikarenakan,
semua permasalahan apapun bisa diselesaikan olehnya, baik dalam kedudukannya
sebagai pemimpin agama maupun sebagai pemimpin negara[CITATION Pro16 \p
"I Pendahuluan" \l 1057 ].
Bermula ketika Nabi Muhammad SAW wafat, riak-riak perpecahan di
antara kaum muslim timbul kepermukaan. Perbedaan dikalangan sahabat tentang
siapa pengganti pemimpin pasca Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa
dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuasa politik, dan kemudian
berkembang pada persoalan keyakinan tentang Tuhan dengan mengikut sertakan
kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”. Dalam
sejarah perjalanan Islam tercatat ada beberapa aliran yang muncul pada masa lalu.
Aliran-aliran itu muncul seiring banyaknya problematika dalam kehidupan.
Aliran-aliran tersebut misalnya Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariah dan
Qadariah serta aliran-aliran lainnya[ CITATION Ham17 \l 1057 ].

PERKEMBANGAN ISLAM PADA ZAMAN NABI


Kondisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam, terutama di sekitar
Mekah masih diwarnai dengan penyembahan berhala sebagai Tuhan. Yang dikenal
dengan istilah paganisme[CITATION Ami103 \p 63 \l 1057 ] . Demikian keadaan
bangsa Arab menjelang kelahiran Nabi Muhammad saw membawa Islam di
tengah-tengah bangsa Arab. Masa itu biasa disebut dengan zaman jahiliah, masa
kegelapan dan kebodohan dalam hal agama, bukan dalam hal lain seperti ekonomi
dan sastra karena dalam dua hal yang terakhir ini bangsa Arab mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Mekah bukan hanya merupakan pusat
perdagangan lokal, tetapi juga sebagai jalur perdagangan dunia yang penting saat
itu, yang menghubungkan antara utara, Syam, dan selatan, Yaman, antara timur,
persia, dan barat Abesinia dan Mesir.[CITATION Ami10 \p 63 \t \l 1057 ]
Nabi Muhammad telah mampu menjalankan peranannya sebagai
pemimpin agama, seorang negarawan, dan sekaligus pemimpin politik dan
administrasi yang cakap. Hanya dalam waktu sebelas tahun menjadi pemimpin
politik, beliau berhasil menundukkan selaruh jazirah Arab ke dalam
kekuasaannya[CITATION Ami102 \p 86 \l 1057 ].

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA AL-KHURAFA AL-RASHIDIN


Keadaan masyarakat di zaman al-Khurafa al-Rashidin tidak banyak
berbeda dengan zaman Rasul. Pertentangan pendapat mengenai hal-hal yang
menyangkut akidah umat Islam jarang terjadi walaupun tidak menafikannya sama
sekali. Hal ini memang telah dikondisikan sedemikian oleh para pemimpin umat.
Sebab mereka masih mengikuti kebijakan Rasul Allah. Lagi pula, selain Islam
yang belum mengakar dihati umat para khalifah masih disibukkan urusan didalam
dan diluar negara. Seperti diketahui bahwa diakhir kepemimpinan Rasul Allah, dia
tidak hanya menyebar agama Islam di Jazirah Arab saja. Namun Rasul melangkah
lebih Jauh untuk menyebarkan agama Islam keluar daerah Arab. [ CITATION
Tsu13 \l 1057 ]
Setelah Nabi Wafat kepemimpinan Nabi diteruskan oleh khalifah Abu
Bakar dan selanjutnya oleh Umar r.a. pada masa Umar bin Khattab inilah Islam
mengalami perkembangan yang pesat dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
ekspansi dan lain-lain. Oleh karena itu, keberhasilan kepemimpinan Umar bin
Khattab menjadikan madinah sebagai negara Adi Kuasa karena kebijakan yang
dilakukan selama pemerintahannya untuk memajukan daerah dan masyarakat
yang dipimpinnya.
W.J.S. Poerwadarminto dalam kamus bahasa Indonesia menjelaskan
bahwa Adi mempunyai arti “, Yang pertama, yang terbaik”. [CITATION Fua15 \p
58 \l 1057 ]
Sedangkan Adikuasa adalah “Kekuatan yang amat besar atau luar biasa,
negara (bangsa) yang amat kuat dan berkuasa, badan pemerintah International
yang mampu memaksakan kehendaknya di antara negara-negara yang paling
kuat.” Dalam hal ini negara Madinah adalah negara yang mempunyai kekuatan
yang besar dan mempunyai daerah yang luas dan memperoleh kemajuan yang
pesat hampir disegala bidang. Sehingga Madinah menjadi suatu negara yang
Adikuasa setelah berhasil menaklukan dua negara Adikuasa ketika itu yaitu
Bizamtium dan Persia [CITATION Fua151 \p 58 \l 1057 ].
Usman bin Affan adalah Khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab
meninggal[CITATION Zai15 \p 168 \l 1057 ]. Karya monumental Usman lain
yang dipersembahkan kepada umat islam ialah penyusunan kitab suci Alqur’an.
Penyusunan Alqur’an dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius
dalam bacaan Alqur’an. Disebutkan bahwa selama pengiriman ekspedisi militer
ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Alqur’an muncul di
kalangan tentara muslim, dimana sebagiannya direkrut dari Suriah dan
sebagiannya dari Irak. Ketua dewan penyusun Alqur’an, yaitu Zaid bin Tsabit,
sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan Alqur’an antara lain adalah dari
Hafsah, salah satu isti Nabi saw. Kemudian dewan itu membuat beberapa salinan
Alqur’an untuk dikirimkan ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman
yang benar untuk masa selanjutnya[CITATION Ami104 \p 106 \l 1057 ].
Khalifah Utsman wafat tahun 655 M dibunuh oleh pemberontak yang
tidak puas dengan kebijaksaan politik Utsman yang disetir oleh ambisi
keluarganya.[CITATION Rus16 \p 7 \t \l 1057 ]. Kematian Utsman menyurut
berbagai banyak reaksi, utamanya Ia tidak terbunuh tidak dalam peperangan. Hal
ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut imam Ali, penganti
Utsman untuk bertanggungjawab. Terlebih sang pembunuh, yang ternyata masih
berhubungan darah dengan dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman
setimpal[CITATION Ahl \p 22 \l 1057 ].

SEJARAH ALIRAN-ALIRAN ISLAM


Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan sejarah perkembangan
Islam dipicu persoalan politik yang menyangkut peristiwa terbunuhnya Utsman
bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib. Ketegangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal
menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan Tahkim (Arbitrase). Sikap
Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash (utusan Muawiyah terhadap
Tahkim), sesungguhnya dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat
diputuskan melalui Tahkim. Putusan datang dari Allah dengan kembali pada
hukum-hukum Alqur’an La Hukma Illalah (tidak ada perintah selain Allah)
menjadi semboyan mereka. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat
salah sehingga meninggalkan barisannya, mereka terkenal dengan nama Khawarij
dan kelompok yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib terkenal dengan nama
Syiah.[CITATION Zuh13 \p 6 \l 1057 ]

Aliran Khawarij
Khawarij adalah suatu aliran dalam teologi yang pertama lahir[CITATION
Pro16 \p 6 \t \l 1057 ], Khawarij secara bahasa diambil dari bahasa Arab
Khowaarij, secara harfiah berarti yang keluar. Istilah Khawarij adalah istilah
umum yang mencakup sejumlah aliran dalam islam yang pada awalnya mengakui
Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama muncul pada pertengahan abad ke-7,
berpusat didaerah yang kini terletak dibagian negara Irak Selatan dan merupakan
bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syiah. Disebut dinamakan Khawarij karena
keluarnya mereka dari Dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin[CITATION
Pem \p "I pendahuluan" \l 1057 ].
Aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut
dikategorikan sebagai aliran Khawarij, selama terdapat indikasi doktrin yang
identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan persoalan ini, Harun mengidentifikasi
beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran masa kini, yaitu :
a. Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka,
walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
b. Islam yang benar adalah islam yang mereka pahami dan amalkan,
sedangkan islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan lain
tidak benar.
c. Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali
ke Islam yang sebenarnya, yaitu islam seperti yang mereka pahami dan
amalkan.
d. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan meraka
adalah sesat, mereka memilih imam dari golongannya, yaitu imam dalam arti
pemuka agama dan pemuka pemerintahan.
e. Mereka bersifat dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan
kekerasan dan pembuhuhan untuk mencapai tujuannya.[CITATION Roj12 \p
70 \l 1057 ]
Tokoh-tokoh dalam kelompok ini antara lain ‘Abd al-Karim bin ‘Ajrad.
Lahir di Ajdir, Morocco 1883. Kemudian Nafi’ bin Al-Azraq bin Qois Al-Hanafi,
Zaid ibn Al-Ashfar, Najdah bin Amir Al-Hanafi, dan Abdullah bin Ibadh.
Sedangkan sekte didalam aliran ini antara lain : Al-Muhakkim, Al-‘Ajaridah, Al-
Azariqah, Al-Najadat, Al-Shafariyah, serta Al-Ibadhiyyah.

Aliran Murji’ah
Al-Syahrastani mengemukakan bahwa orang pertama yang telah
menemukan paham “irja” adalah Ghailan al-Dimasyqi, tetapi di tempat lain juga
dikatakan bahwa pembawa ajaran ini adalah Hasan Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn
Abi Thalib[CITATION Rus162 \p 19 \l 1057 ] dan kemudian orang yang
menganut paham ini disebut dengan kaum “Murji’ah”.
W. Montgomery Watt dalam bukunya The formative Period diatas
memberikan uraian yang cukup menarik tentang bagaimana istilah “Murjiah”
mula-mula digunakan dalam pemikiran teologi Islam. Istilah Murjiah biasanya
bisa dikaitkan dengan bunyi ayat Alqur’an surat At-Taubah 106, dimana terdapat
kata-kata Murjauna (orang-orang yang ditangguhkan). Akar katanya adalah
arja’a, berarti menangguhkan (dalam membuat value judgement). Kata arja’a
juga bisa berarti memberi harapan[CITATION Sha11 \p 225-226 \l 1057 ].
Dengan merujuk pada berbagai sumber, baik yang ditulis oleh para ulama
Islam klasik maupun para ilmuan Barat terlebih dahulu, seperti A.J. Wensink,
Ignaz Goldziher, Duncan B. Macdonald, Watt menjelaskan bahwa kelompok
Murjiah merupakan lawan yang ekstrim dari kelompok Khawarij. Salah satu
alasannya, kelompok Murjiah mengatakan bersedia menerima keabsahan
penguasa yang ada (Bani umaiyah) meskipun mereka banyak melakukan
perbuatan dosa[CITATION Sha111 \p 226 \t \l 1057 ].
Kata Murji’ah menurut bahasa berasal dari kata irja’ mempunyai beberapa
pengertian antara lain : pertama, penangguhan, karena mereka menangguhkan
perbuatan dari niat dan balasan. Kedua, berarti memberi harapan bahwa Murji’ah
berasal dari kata al-raja’ yang berarti harapan. Jadi, al-irja’ i’taa’ al-raja’
(memberi harapan). Dua makna inilah yang menurut al-Syahrastani menjadi asal
makna al-raja’[CITATION Aqi13 \p 45 \l 1057 ]
Adapun secara istilah, Murjiah adalah kelompok yang mengesampingkan
atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu
kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang [ CITATION Zuh131 \l
1057 ].
Dari sini jelas sekali hubungan antara makna al-irja’ sebagai istilah dengan
dua makna etimologinya. Berdasarkan makna pertama, mereka disebut Murji’ah
karena mereka mengakhirkan atau mengesampingkan amal dari keimanan.
Sedangkan makna kedua, mereka disebut Murjiah karena mereka menjadikan
orang-orang menjadi al-raja’ yang berlebihan, tanpa ada kekhawatiran sama
sekali bahwa dosa yang mereka perbuat akan mencederai keimanan mereka. Ini
berarti mengakhirkan atau menomorduakan amal perbuatan dari iman[ CITATION
Zuh132 \l 1057 ].
Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau
terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa
besar, sebagaimana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij. Aliran ini
menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa
Tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan
iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar, masih
dianggap mukmin dihadapan mereka. Rohisaon Anwar dan Abdul Razak, dalam
bukunya mengatakan bahwa ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal
usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau
arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan
kesatuaan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan tujuan bertujuan untuk
menghindari sektarianisme.
Kelompok ini diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah
dan khawarij. Dilain pihak, gagasan irja’ diperkirakan muncul pertama kali
sebagai gerakan politik yang dibawa oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin
Muhammad Al-Hanafi sekitar pada tahun 695 M. Dalam teori ini dikisahkan
bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah dunia Islam dikoyak oleh pertikaian
sipil karena telah terjadi perpecahan umat. Menanggapi hal ini Al-hasan kemudian
memberikan sikap politik sebagai upaya penanggulangan perpecahan umat Islam
tersebut, sehingga kemudian ia mengelak berdampingan dengan Syi’ah
revolusioner yang dibawa oleh Al-Mukhtar, yang terlampau mengangungkan Ali
dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari kaum Khawarij yang menolak
kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan keturunan pendosa.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Mu’awiyah, dilakukanlah Tahkim atas usulan Amr bin Asy, seorang kaki tangan
Mu’awiyah. Pada saat itu Ali terpecah menjadi dua golongan besar, yaitu
kelompok yang mendukung dan menentang Ali, kelompok yang menentang Ali
pada akhirnya keluar dan membentuk sebuah kelompok bernama Khawarij.
Golongan yang keluar dari barisan Ali ini menganggap bahwa keputusan Tahkim
tidak berdasarkan hukum Allah, melainkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh
karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan Tahkim itu dosa besar, dan
pelakunya dapat dihukum kafir. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat
yang kemudian disebut dengan Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa
besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan oleh Allah, apakah
Allah akan mengampuni atau tidak[CITATION Pem \p "7 Pendahuluan" \l 1057 ].
Berkaitan dengan doktrin-doktrin teologi Murji’ah, W. Mogntgomery Watt
memerincinya, sebagai berikut[CITATION Roz15 \p 72-73 \l 1057 ] :
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah
memutuskannya diakhirat
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-
khalifah A-Rasyidun
3. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah SWT
4. Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis
dan empiris sari kalangan helenis
Sementara itu, Abu ‘Ala Al-Maududi (1903-1979) menyebutkan dua
doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu [CITATION Abu15 \p 73 \l 1057 ]
1. Iman adalah cukup dengan percaya kepada Allah SWT dan Rasulnya.
2. Dasar keselamatan adalah iman smata.

Aliran Jabariyah
Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang
kedua, yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan
perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah tampak pada
masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, tetapi belum menimbulkan perbincangan
tentang takdir tersebut.
Rasulullah hanya menganjurkan agar mengimani takdir dan dilarang untuk
memperbincangkan lebih jauh, karena dikhawatirkan akan membingungkan dan
mendorong timbulnya perpecahan[CITATION Rus \p 29 \l 1057 ].
Akhirnya pada tahun tujuh puluhan Hijriah muncullah Ma’bad al-Juhani
dalam pembicaraan tentang hurriah al-irodah dan qudroh yang dimiliki manusia
sebagai anugrah Tuhan untuk melakukan perbuatan manusia sebagai perbuatan
manusia itu sendiri, bukan ciptaan atau perbuatan Tuhan.
Dengan munculnya pemahaman ini, maka muncul pula pemahaman yang
dilontarkan oleh Ja’ad Ibn Dirham, yang kemudian disiarkan dengan gigih oleh
muridnya Jaham Ibn Sofwan pada awal abad kedua Hijriah. Menurut pemahaman
mereka bahwa Tuhan mentakdirkan perbuatan mereka sejak semula, manusia pada
hakikatnya tidak memiliki kehendak dan qudrat, manusia bekerja tanpa kehendak,
tetapi bekerja dibawah tekanan dan pemaksaan Tuhan.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa paham Jabariyah
meniadakan perbuatan manusia dan menyadarkan kepada perbuatan Tuhan,
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya, melainkan ia majbur. [CITATION Rus161 \p 31 \t \l 1057 ]
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung
pengertian memaksa. Didalam kamus Mujid dijelaskan bahwa nama Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah
Maha Memaksa. Sedangkan Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyadarkan semua perbuatan dalam keadaaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariah adalah paham yang menyebutkan
bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qadha dan Qadar Allah.
Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak
berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak
Nya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak
memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah aliran
manusia sebagai wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak ada
penjelasan yang sirah. Abu zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak
zaman sahabat dan Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang
masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan
mutlak Tuhan. Adapun Tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah
dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran
Qadariyah.[CITATION Jab \p "I Pendahuluan" \l 1057 ]

Aliran Qadariyah
Untuk menelusuri sejarah timbulnya paham Qadariyah ini tentu saja tidak
lepas dari pembahasan tentang paham Jabariyah, sebagai realitas yang masih terus
mewarnai kehidupan manusia dalam bidang teologi, yang secara pasti sulit
ditentukan kapan paham-paham tersebut lahir. Tetapi yang jelas pada permulaan
dinasti Bani Umayyah, setelah Islam dianut berbagai bangsa, maka paham-paham
Jabariyah dan Qadarriyah telah menjadi bahan pemikiran diantara mereka, dan
dari situlah muncul pemikiran aliran-aliran tersebut.
Ahli teologi Islam menerangkan bahwa Qadariyah pertama dikenal oleh
Ma’bad Al-Juhani : seorang Tabi’i yang baik dan temannya Ghailan Al-Dimasqi,
yang keduanya memperoleh pahamnya dari kristen yang masuk Islam di Iraq.
Ma’bad Al-Juhani adalah seorang lelaki penduduk Bashro keturunan orang
Majusi. Dia adalah seorang ahli hadits dan tafsir Al-Qur’an, tetapi kemudian ia
dianggap sesat dan membuat pendapat-pendapat yang salah. Setelah diketahui
pemerintah pada waktu itu dia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada Tahun
80 H. Dan ia adalah seorang Taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada
Hasan al Bashri.[CITATION Zuh133 \p 68-69 \l 1057 ]
Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara, yang artinya kemampuan dan
kemauan[CITATION Roz151 \p 87 \l 1057 ]. Adapun secara terminologis istilah
Qadariah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diinvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi setiap perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya
atas kehendak sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada Qadar Allah.

Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti “berpisah”
atau “memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan
diri.”[ CITATION Raz15 \l 1057 ]. Secara teknis istilah Mu’tazilah dapat
menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah
I). Muncul sebagai respon politik murni. Pada asalnya golongan jama’ah ini
tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam artian sikap yang lunak
dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,
terutama dengan Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah Ibnu Zubair.
Cukup menarik sekali bahwa mereka itulah yang sesungguhnya mula-mula
dikatakan kaum Mu’tazilah dalam arti kaum netralis (dalam arti politik) tanpa
stigmateologis seperti pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh kemudian kelak.
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Mu’tazilah.
Aliran ini muncul sekitar adab pertama hijiryah, dikota Basrah, yang
ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu
dikota ini. Demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak pula
musuh-musuh yang ingin menghancurkannya, baik dari internal umat Islam secara
politis maupun dari eksternal umat islam secara dogmatis. Mereka yang non islam
merasa iri melihat perkembangan islam yang begitu pesat sehingga berupaya
untuk menghancurkannya. Apapun hasaratnya untuk menghancurkan islam
dikalangan pemeluk islam sendiri, dalam sejarah, Mu’tazilah timbul berkaitan
dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, Amr bi ‘Ubaid dan
hasan al-Basri, sekitar tahun 700 M.
Adapun doktrin yang dikembangkan aliran ini antara lain : At-Tauhid, Al-
Adl (keadilan), Wa’ad wal Wa’id (janji dan ancaman), Al-Manzilah baina al-
Manzilatain, al-amr bi Al-Maa’ruf wa An-Nahy an Munkar
Sedangkan tokoh-tokohnya yang berjasa dalam pengembangan ajaran
muktazilah ini antara lain Washil Ibn Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Ibrahim bin
Sayyar An-Nazam, Bisyr bin al-Mu’tamar, dan Jahiz Amr bin Bahr. Sedangkan
sekte yang ada ditubuh Muktazilah adalah Huzailiyah dan
Nazzamiyah[CITATION Zuh134 \p 78-83 \l 1057 ]
Aliran Syiah
Syiah sebuah akarkata bermakna: pihak, puak, kompok. Kata kerja dari
padanya, yaitu syayya’a ataupun tasyasyaya’a. Menunjukkan pengertian :
berpihak, memihak, bergabung, menggabungkan diri. Setiap kali orang menyebut
“syiah” maka asosiasi pikiran setiap orang tertuju kepada “Syi’ah-Ali”, yaitu
kelompok masyarakat yang memihak Ali dan amat memuliakannya beserta
turunannya, dan kelompok itu lambat laun membangun dirinya menjadi sebuah
aliran didalam islam.[CITATION Sou82 \p 9 \l 1057 ]
Sekte Syiah itu ialah kelompok masyarakat yang makin fanatik terhadap
Khalifah ‘Ali karena kini makin merasakan kebenaran pendapat-pendapat yang
dikemukakan Khalifah Ali didalam peristiwa Al-Shiffin dan dalam peristiwa Al
Tahkim yang gagal itu, dan tahadinya, sekalian pendapat Khalif ‘Ali itu dipandang
enteng. Mereka itu terdiri dari penduduk wilayah Iran dan Irak. Rasa Fanatik itu
makin memuncak sewaktu berlansung pembunuhan terhadap Khalifah ‘Ali pada
tahun 40 H/661 M, dilakukan oleh anggota sekta Khawarij.[CITATION Sou82 \p
12 \l 1057 ]
Mengenai kemunculan Syiah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai muncul pada masa akhir
pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syiah baru benar-benar
muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal
perang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon diatas penerimaan Ali
terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah,
satu kelompok yang mendukung Ali, kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain
yang menolak Ali, kelak disebut Khawarij.
Doktrin dalam aliran Syiah yang paling pokok antara lain : Ahl bait,
Imamah, Asura, Al-bada, Taqiyah, Raj’ah, Mahdawiyah, al-Ishmah, Tawalli dan
Tabari. Adapun tokoh aliran ini terdiri atas, Nashr bin Muzahirm bin sayyar al-
Minqari, ahmad bin Muhammad bin isa Al-asy’ari, Ahmad bin Abi Abdillah Al-
Barqi, Ibrahim bin Hilal Ats-Tsaqafi, Muhammad bin Hasan bin Furukh Ash-
Shaffar. Sedangkan sekte yang muncul aliran Syi’ah antara lain syiah imamiyah,
Zaidiyah, Ghulat, dan sab’iyah[CITATION Zuh134 \p 88-96 \l 1057 ]
Perkembangan Syiah di Indonesia melalui empat tahap gelombang, yaitu :
pertama, bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia, kedua, pasca revolus
Islam Iran, ketiga melalui intelektual Islam Indonesia yang belajar di Iran, dan
Keempat, tahap keterbukaan melalui Pendiri Organisasi Ikatan Jama’ah Ahlul Bait
Indonesia[CITATION Has12 \p 157 \l 1057 ].

Aliran Ahlussunnah Wal-jama’ah


Istilah Ahlussunah Wal-Jama’ah ini bukan istilah yang datang dari Nabi
SAW sebagai nama bagi kelompok tertentu. Secara kebahasaan, Ahlussunah Wal-
Jama’ah adalah Istilah yang tersusun dari tiga kata, yaitu kata ahl, yaitu berarti
keluarga, pengikut, atau golongan. Kata al-Jama’ah secara etimologis kata al-
jama’ah ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam
mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari al-furqaah, yaitu orang yang
bercerai-cerai dan memisahkan dari golongannya. Sedangakan secara
terminologis, para ulama berbeda pendapat tentang maksud al-jama’ah dalam
istilah Ahlussunah wal-Jama’ah adalah mayoritas kaum muslimin (al-sawad al-
a’zhom). Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Abu Mas’ud al-Anshari dan
Abdullah bin Mas’ud[CITATION Ram111 \p 53-56 \t \l 1057 ].
Pendapat lain mengatakan bahwa maksud al-jama’ah adalah para ulama
dan imam yang mencapai tingkatan mujtahid, karena Allah menjadikan mereka
sebagai rujukan dan sandaran kaum Muslimin.[CITATION Ram11 \p 53-58 \l
1057 ]
Golongan Ahlu-al-sunnah wa al-jama’ah berasal dari dua kelompok Islam,
yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang lahir sebagai reaksi terhadap paham
Mu’tazilah yang rasional dan filosofis, terutama dalam menyikapi hadits Nabi
Muhammad SAW[CITATION Dja141 \p 114 \t \l 1057 ]
Ajaran Islam memiliki tiga hal prinsip, yaitu: islam, iman dan ihsan.
Disamping itu, para ulama Ahlussunnah wal jama’ah mengatur dan menetapkan
tiga bidang pokok dalam pelaksanaan ajaran Islam sehari-hari sebagai berikut:
1. Bidang fiqih, mengikuti salah satu dari empat mazhab, yaitu imam Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali.
2. Bidang akidah mengikuti rumusan imam Abu Hasan al-Asy’ari dan imam
Abu Mansur al-Maturidi, dan ulama setelah keduanya yang sepaham dengan
keduanya atau salah satunya.
3. Bidang tashawwuf, mengikuti rumusan imam Abu al-Qasim al-Junaidi,
dan imam Muhammad bin Muhammad al-Ghazali[CITATION Man12 \p 40-
41 \l 1057 ].
Aliran ini sangat cepat berkembang pada masanya, karena komunitas
Aliran Asy’ariyah di Basrah ini menganut mazhab Syafi’i serta Ahmad bin
Hambal, sedangkan di Irak teologi Maturidiyah banyak dianut oleh penganut
mazhab Imam Hanafi. Kedua mazhab ini pada masanya sangat banyak dianut oleh
umat islam sehingga bagi tokohnya untuk memperluas dan memperbanyak
komunitas aliran tersebut. Dalam banyak leteratur dijelaskan, kehadiran golongan
Ahlu-al-sunnah wa al-jama’ah mendapat sambutan yang sangat baik dari umat
islam, karena orang awam menginginkan ajaran sederhana yang sejalan dengan
sunah Nabi Muhammad SAW dan mereka sangat sulit menerima ajaran
mu’tazilah yang rasional dan sangat filosofis. Sampai saat ini sekitar 70% umat
islam di dunia menganut paham golongan ahlu-al-sunnah wa al-jama’ah.
[CITATION Dja \p 115 \t \l 1057 ].

KESIMPULAN
Teologi islam dapat disebut juga dengan ilmu tauhid, ilmu kalam, dan
yang kurang populer itu ilmu hakikat, dan ilmu makrifat, yang mengkaji
mengenai studi Islam. Berbagai meuncul kelompok teologi dalam juga tidak
terlepas dari faktor historis. Kata historis secara umum dapat diartikan sebagai
masa lalu, atau dalam bahasa Arab dikenal dengan Tarikh.
Pada zaman Rasulullah belum ada aliran-aliran, karena semasa Rasulullah
hidup, beliaulah sebagai perpustaan nyata, tempat penyelesaian sebuah
perselisihan dalam perbedaan pendapat.
Setelah Rasulullah wafat, terjadinya problematika dalam kehidupan, maka
dari itu muncullah perbedaan pendapat dari berbagai permasalahan, golongan
yang mempunyai pendapat satu jalan kemudian membentuk sebuah aliran-aliran.
Aliran-aliran itu meliputi aliran khawarij, murjiah, jabariyah, qadariyah dan
aliran-aliran lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

(t.thn.). Ahlusunah Waljamaah (aswaja) Dalam perspektif Historis.

Amin, M. D. (2010). Sejarah Perabadan Islam. Ed. 1, Cet. 2. Dalam W. H. (ed),


Pemahaman Sejarah Indonesia, Sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta : LP3ES,
1982, hlm. 1 (hal. 1). Jakarta: Amzah.

Amin, M. D. (2010). Sejarah Peradaban Islam. Dalam H. Utsman, Metode Penelitian


Sejarah, Jakarta : Departemen Agama RI, 1986, hlm. 6 (hal. 1). Jakarta: Amzah.

Amin, M. D. (2010). Sejarah Peradaban Islam. Dalam W. Montgomery, Pengantar Studi


Alqur'an, Jakarta : Rajawali, 1991, hlm. 64 (hal. 106). Jakarta: Amzah.

Amin, M. D. (2010). Sejarah Peradaban Islam. Ed. 1. Cet 2. Dalam L. Gottschalk, Mengerti
Sejarah, Jakarta : UI Press, 1986. hlm 27 (hal. 1). Jakarta: Amzah.

Amin, M. D. (2010). Sejarah Peradaban Islam. Ed.1, Cet. 2. Dalam D. A. Mufrodi, Islam di
kawasan kebudayaan Arab, Jakarta : logos, 1997, hlm. 8 (hal. 63). Jakarta:
Amzah.

Dja'far, H. (2014). Memahami Teologi Islam (Sejarah dan Perkembangan). Dalam H.


Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi…, hlm. 2-12. Sahilun A. Nashir, Pemikiran Kalam
(Teologi Islam)…, hlm. 4-6. (hal. 107-110). Jambi: IAIN STS.

Dja'far, H. (2014). Memahami Teologi Islam (Sejarah dan Perkembangannya). Nazharat


Vol. XV. No 1, April 2014, 101.

Dja'far, H. (2014). Memahami Teologi Islam. Sejarah dan Pengembangannya. NAZHARAT,


VOL, XV, N0.1. Dalam N. M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru
van Hoeve, jilid I, 2005), hal. 106.

Fuad, M. D. (2015). Sejarah Peradaban Islam (Buku PErkuliahan Program S1 FITK).


Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Fuad, M. H. (2015). Sejarah Peraban Islam (Buku Perkuliahan Program S1 FITK). Dalam
Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),
hal. 16 (hal. 58). Surabaya: UIN Sunan Ampel.

Hamzah, M. D. (2017). Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah. Wonosobo: LKIS.

Hasim, M. (2012). Syiah : Sejarah Timbul dan Perkembangan di Indonesia. Analisa, Vol.
19, No. 2, 157.

Jabariyah & Qadariah. (t.thn.). Diambil kembali dari


http://achmadsurya.id1945.com/wp-content/uploads/2013/07/Pemikiran-
Jabariah-Qadariyah.pdf

Kiswati, T. (2013). Ilmu Kalam Aliran Sekte, Tokoh Pemikiran dan Analisa Perbandingan.
Dalam H. Nasution, Teologi Islam. Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, (UI PRESS), 1983) (hal. ix Pendahuluan).
Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

Lewis, A. (2009). Dasar-dasar hukum bisnis. Bandung: Nusa Media.

Mannan, K. A. (2012). Ahlussunnah Wal Jama'ah. Kediri: PP Al Falah Ploso.

Pemikiran al-Khawarij dan al-Murjiah. (t.thn.).

Ramli, M. I. (2011). Pengantar Sejarah Ahlussunah wal-Jama'ah. Surabaya: Khalista.

Ramli, M. I. (2011). Pengantar Sejarah Ahlussunah Wal-Jama'ah. Dalam S. A. Jaib, al-


Qamus al-Fiqhi Luqhatan wa Ishthilahan, hlm 29 (hal. 53). Surabaya: Khalista.

Razak, M. A. (2015). Ilmu Kalam, Ed. IV. Dalam A. A. Al-Maududi, Al-Khalifah wa Al-Mulk,
Terj. Muhammad Al-Baqir, Mizan, bandung. 1994, hlm. 279-280 (hal. 73).
Bandung: CV Mustika Setia.

Razak, M. P. (2015). Ilmu Kalam, Ed. 4. Dalam Luis M'luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Cet. X,
Darul Kitab Al-Arabi, Beirut,t.t., hlm. 207 (hal. 97). Bandung: CV Pustaka Setia.

Rojak, M. A. (2012). Ilmu Kalam. Dalam H. Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan
Pemikiran, Mizan, Bandung, Cet. III, 1995, hlm124 (hal. 70). Bandung: Cv Pustaka
Setia.

Rozak, M. A. (2015). Ilmu Kalam. Dalam W. M. Watt, Early Islam : Collected Articles,
Eidenburg, 1990, hlm. 181 (hal. 72.73). Bandung: CV Pustaka Setia.

Rozak, M. P. (2015). Ilmu Kalam, Ed 4. Dalam L. M. Al-Yusu'i, Al-Munjid, Al-khathulikiyah,


Beirut. 1945, hlm 436, lihat juga Hans Weehr, A Dictory of Mpdern Wrintten
Arabic. Wlesbanden, 1971, hlm 745 (hal. 87). Bandung: CV Mustaka Setia.
Rusli, M. P. (2016). Teologi Islam Telaah Sejarah dan Pemikiran tokoh-tokohnya, Cet. 2.
Dalam I. A.-Q. Baghdadi, Al-Fark bain al-Eiraq, Beirut : 1977, hlm. 17-18 (hal. 12).
2016: Kencana.

Rusli, M. P. (2016). Teologi Islam. Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya. Jakarta:
Kencana.

Rusli, M. P. (2016). Teologi Islam. Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya. Dalam
A. al-Syahrastani, Al-milal wa al-Nihal, Kairo : Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967,
hlm. 144 (hal. 19). Jakarta: Kencana.

Rusli, M. P. (2016). Teologi Islam. Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya, Cet. 2.
Dalam N. harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : UI-Press, 1986, hlm 101-
2 (hal. 166). Jakarta: Kencana.

Rusli, M. P. (2016). Teologi Islam. Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-tokohnya. cet. 2.
Dalam H. Nasution, Teologi Islam, Jakarta : UI Press, 1986, hlm. 4 (hal. 7).
Jakarta: Kencana.

Rusli, M. P. (2016). Teologi Islam.Telaah Sejarah dan pemikian tokoh-tokohnya. Cet. 2.


Dalam M. A. Zahro, al-Mazahib al-Islamiah, Mesir : maktabah al-Adab, tt/, hlm.
165 (hal. 29). Jakarta: Kencana.

Shaleh, F. (2011). Kita Masih Marji'ah. Mencari Akar Teologis Pemahaman Keagamaan
Umat Islam di Indonesia. Vol. 7, No. 2 Oktober. Tsaqafah, 226.

Shaleh, F. (2011). Kita Masih Murji'ah : Mencari Akar Teologis Pemahaman Keagamaan
Umat Islam Indonesia, Vo. 7. No. 2, Oktober. Dalam Watt, The Formative Period,
hal. 123-124 (hal. 225-226). Kediri: IAIN.

Sou'yb, J. (1982). Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekte syiah, cet. 1.


Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna.

Zaini, A. (Januari-Juni 2015). Mengurai Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam dalam Islam.
Akhlak dan Tasawuf, Esoterik. Vol. 1, No. 1, 168.

Zuhri, M. d. (2013). aqidah Ilmu Kalam. Surabaya: UIN Sunan Ampel.

Zuhri, M. D. (2013). Aqidah Ilmu Kalam. Dalam H. Nasution, Teologi Islam, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986). 28. (hal. 6). Surabaya: UIN Sunan Ampel.

Zuhri, M. D. (2013). Aqidah Ilmu Kalam. Dalam A. ‘Abdullah ibn Muhammad idn ‘Abd
al-‘Aziz al-Sanad, al Murji’ah fi>Musan>nafat Syaikh al-isla>m ibn Taimiyah ‘Ardl
wa Naqd (Riyad: Dar al-Tawh id li al-Nashr, 2007), 85 (hal. 45). Surabaya: UIN
Sunan Ampel.

Zuhri, M. D. (2013). Aqidah Ilmu Kalam. Dalam Al-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal, vol.1
145. (hal. 45). Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Zuhri, M. D. (2013). Aqidah Ilmu Kalam. Dalam I. K.-6. IAIN Sunan Ampel. Surabaya: UIN
Sunan Ampel.

Zuhri, M. D. (2013). Aqidah Ilmu Kalam. Dalam 2. Ahmad Amin Fajar. Surabaya: Uin
Sunan Ampel.

Anda mungkin juga menyukai