Anda di halaman 1dari 12

E.

Klasifikasi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah


Qawa’id Fiqiyyah dibagi berdasarkan kaidah Assasiyah dan kaidah Ghayr
Asasiyyah. Kaidah Asasiyyah adalah kaidah yang disepakati oleh semua imam
mazhab tanpa diperselisihkan kekuatannya. Kaidah ini disebut dengan kaidah
induk karena hampir setiap bab fiqh dalam kelompok kaidah induk ini, yaitu :
1) Segala sesuatu tergantung kepada tujuannya
Secara eksplisit, qaidah tersebut menjelaskan bahwa setiap pekerjaan
yang ingin dilakukan oleh seseorang perlu disertai tujuan/ niat, para
ulama Fiqh sepakat bahwa semua perbuatan yang telah diniatkan, namun
perbuatan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena sesuatu kesukaran ia
tetap diberi pahala. Tapi apabila orang yang mempunyai niat untuk
melakukan dosa bersar seperti membunuh, namun tidka sempat
melakukannya maka niatnya itu tetap dikira berbuat. Seperti hadits
Rasulullah SAW, yang artinya “Apabila dua muslim berkelahi dengan
saling menghunus pedang, yang terbunuh dan yang membunuh, kedua-
duanya dimaksukkan ke dalam neraka. Aku bertanya : Wahai Rasulullah!
Ini adalah balasan bagi orang yang membunuh (masuk neraka adalah
patut), tetapi bagaimana dengan keadaan orang yang dibunuh? Rasulullah
menjawab, karena ia juga berniat membunuh lawannya.”
Tapi bagi seorang hakim kita juga harus meneliti dengan jelas, apakah
membunuhan itu merupakan sengaja atau tidak sengaja, harus kita lihat
bahwa setelah membunuh apa langsung atau lari atau bagaimana, maka
dari itu harus diteliti dengan cermat dan harus adil. Walaupun memang
sebuah niat itu awal dari sebuah tindakan bekasan dalam hati itu sulit,
maka ulama menganjurkan agar disamping niat juga sebaliknya
dikukuhkan dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong dan
membantu gerakan hati. Hal 58
2) Kemudharatan itu harus dihilangkan
Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat “al-Dharar”
yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat mencegahnya. Al-
dharar adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-
dhirar adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak
disyariatkan. Dalam Al-Qur’an ayat-ayat mengandung al- dharar,
seluruhnya menyuruh mengusahakan kebaikan dan melarang tindakan
merugikan. Sedangkan dharar secara terminologi, menurut Abu Bakar al-
Jazhas, mengatakan makna Dharar adalah ketakutan seseorang pada
bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota tubuhnya.
Misalnya kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekedar
dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.
Ada perbedaan antara masyaqqat dengan dharurat. Masyaqqat adalah
kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu,
apabila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan esksistensi manusia.
Sedangkan dharurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama,
jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqat
akan mendatangkan kemudahan dan keringanan. Sedangkan dengan
adanya dharurat akan adanya penghapusan hukum.
3) Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum
Adat yaitu segala apa yang telah dikenal manusia, maka hal itu jadi
suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa
perkataan ataupun perbuatan. Sedangkan urf yaitu apa yang dikenal
manusia dan berlaku padanya, baik berupa perkataan perbuatan atau
meninggalkan sesuatu. Makna adat dalam qaidah fiqh adalah adat dapat
dijadikan dasar ketika untuk menetapkan hukum islam tidak ada nash.
Adat atau ‘urf dalam bentuk umum dapat berlaku dalam masa sahabat
hingga masa kini yang diterima mujtahid dan mereka beramal
dengannya. Sementara ‘urf khusus hanya berlaku pada lingkungan
masyarakat tertentu yang terkait dengan ‘urf itu. misalnya dalam
muamalah pada saat membeli sesuatu dalam melakukan akad itu
dianggap sah dengan lafaz yang biasa telah kita ketahui dan sudah terjadi
dat kebiasaan meskipun tidak dengan akad ijab dan qabul lisan.
4) Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Yakin secara etimologi yaitu menatapnya hati atas sesuatu. Al-yakin
juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.
Seseorang berbuat sesuatu (beramal) harus dilakukan berdasarkan
keyakinan. Maka apapun keraguan untuk menghilangkan keyakinan tidak
diterima. Misalnya dalam bidang muamalah, jika seseorang membeli
mobil, kemudian ia mengatakan, mobil yang dibelinya itu cacat dan ia
ingin mengembalikannya, lalu penjual menolak ucapan pembeli yang
mengatakan mobil itu cacat, karena ia yakin mobil itu tidak cacat. Maka
cacat tidak boleh ditetapkan dengan adanya keraguan, sebab yang yakin
tidak boleh dihapuskan oleh keraguan.
5) Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Hukum-hukum syariah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan
menghilangkan kesulitan. Maksudnya adalah kelonggaran atau keringanan
hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari
pada qaidah hukum. Yang dimaksud kesukaran yang mengandung unsur
keterpaksaan.[CITATION Fat15 \p 44-115 \l 1057 ]
Kelima kaidah itu di ringkas oleh Izzudin Ibn Abd Salam dengan Kaidah
“menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan”. Yang ide moderat ini
beliau tuangkan dalam kitabnya yang berjudul; “Qawai’id al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam.
Sedang kaidah Ghayr Asasiyyah adalah kaidah pelengkap dari kaidah
Asasiyyah (kaidah induk) dan keabsahannya masih diakui. Menurut Hasbi
Ash Shiddiq, kaidah ini berjumlah 19 buah, dan menurut Abdul Mujid ada
yang mengatakan 40 kaidah yang tidak diperselisihkan dan 20 kaidah yang
diperselisihkan.
‘Ali Ahmad al-Nadawi membagi kaidah fiqh menjadi dua macam jika
dilihat dari segi hubungannya dengan sumber tasyri’, yaitu :
1) Kaidah-kaidah fiqh yang semula merupakan hadits-hadits Nabi
SAW kemudian dijadikan sebagai kaidah fiqh oleh para ahli fiqh,
2) Kaidah-kaidah fiqh yang dibentuk dari petunjuk-petunjuk nas
tashri’ umum yang mengandung ‘illat.
Berdasarkan urgensi dan cakupannya terhadap fiqh, ‘Ali Ahmad al-
Nadawi membagi kaidah fiqh atas empat macam, yaitu sebagai berikut :
1) Kaidah-kaidah fiqh yang cakupannya sangat luas sekali bahkan tak
terhingga, sehingga menempati kedudukan rukun fiqh islam; kaidah-
kaidah fiqh yang masuk kategori ini adalah lima kaidah pokok yang sudah
populer ( al qawad’id al-khams ),
2) Kaidah-kaidah fiqh yang disepakati mazhab fiqh tetapi cakupannya
tidak seluas kaidah-kaidah fiqh yang di atas; kaidah-kaidah fiqh yang
masuk mayoritas terdapat dalam kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, ini
terdapat 99 kaidah.
3) Kaidah-kaidah fiqh yang yang disepakati oleh satu mazhab tertentu
saja, sedangkan mazhab yang lain tidak menyepakatinya.
4) Kaidah fiqh ini tidak disepakati walaupun dalam satu mazhab yang
sama; mayoritas kaidah fiqh yang seperti ini menggunakan redaksi kalimat
istifham (tanya).
‘Abd al-‘Aziz Muhammad ‘Azam membagi kaidah fiqh menjadi lima
macam yaitu.
1) Qawa’id kulliyyah kubra. Kaidah fiqh ini disepakati semua mazhab
fiqh tetapi dalam pembagiannya terjadi perbedaan pendapat. Kaidah-
kaidah fiqh tersebut adalah lima kaidah fiqh yang pokok, yaitu: al-umur
bimaqasidiha (segala perkara tergantung pada tujuaannya), al-yaqin la
yazzul bi al-syakk (kenyakinan tidak bisa menghilangkan keraguan), al-
darar yuzal (kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan), al-masyaqqat
tajlib al-taysir (Kesulitan bisa menarik kemudahan), dan al-‘adah
muhakkamah (adat tradisi bisa menjadi hukum).
2) Qawa’id kubra. Cakupan dari kaidah-kaidah fiqh ini terhadap
persoalan furu’ tetapi tidak sebanyak qawa’id kulliyyah kubra karena
hanya disepakati oleh berbagai mazhab fiqh. Diantara qawa’id kubra ada
yang menjadi cabang kaidah-kaidah fiqh yang lima di atas (al-qawa’id al-
khams), dan ada juga yang tidak menjadi cabang kaidah-kaidah fiqh yang
lima di atas tetapi mencakup persoalan furu’ yang banyak yang disebut
qawa’id far‘iyyah atau qawa’id juz’iyyah, seperti kaidah fiqh
(mengamalkan suatu kalimat lebih utama dari pada mengabaikannya).
Adapun qawa’id kubra, sebagai berikut : segala sesuatu bergantung pada
tujuannya, keyakinan tidak bisa menghilangkan keraguan, kesulitan bisa
menarik kemudahan, tidak boleh membahayakan diri atau orang lain, adat
(tradisi) bisa menjadi hukum.
3) Qawa’id ‘ammah. Kaidah fiqh ini dalam persoalan furu’
diperselisihkan eksistensi dan cakupannya. Seperti kaidah fiqh (apakah
dugaan kuat dapat batal oleh dugaan kuat ?). kaidah fiqh ini banyak
beredar di kalangan para ahli fiqh, yaitu ketika mereka mengemukakan
sebab perbedaan pendapat dalam satu permasalahan, seperti Ibnu Rusyd
dalam kitabnya Bidayah al-mujtahid dan al-Dabusi dalam kitabnya Ta’sis
al-Nazar, begitu juga para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik, al-
Shafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah fiqh yang
cakupannya sempit terhadap persoalan furu’
4) Qawa’id Khassah, yaitu kaidah yang mencakup khusus untuk satu
bab fiqh tertentu dan masing-masing bab menyerupai satu sama lainnya.
Diantara kaidah fiqh ini ada yang disepakati oleh ahli fiqh, seperti kaidah
(setiap kiarat yang penyebabnya maksiat harus dilaksanakan dengan
segera) dan kaidah : (setiap air yang tidak berubah salah satu sifatnya
adalah suci). Secara umum, kaidah seperti ini disebut dabit.
5) Kaidah fiqh yang cakupannya sempit terhadap persoalan furu’
(dabit) yang diperselisihkan para ahli fiqh, seperti kaidah (setiap bagian
dalam shalat apakah berdiri sendiri atau kesahan bagian pertama
menunggu pada kesahan bagian akhir ?).
Adapun A. Djazuli membagi kaidah fiqh berdasar ruang lingkup dan
cakupannya menjadi lima macam, yaitu:
1) Kaidah inti, yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
dengan meminjam istilah Izz al-din Abd Salam “jalb al-masalih wa daf’ al-
mafasid”.
2) Kaidah Asasi, yaitu kaidah-kaidah fiqh yang lima ( al-Qawa’id al-
Asasiyyah ).
3) Kaidah umum, yaitu kaidah-kaidah fiqh yang ada di bawah kaidah-
kaidah fiqh asasi di atas, dengan meminjam istilah Izz al-din Salam
disebut al-Qawa’id al-‘Ammah.
4) Kaidah khusus, yaitu kaidah yang berkaitan dengan bidang
tertentu, seperti dalam ibadah mahdah, muamalah, munakahat, peradilan
dan jinayat atau dengan meminjam istilah al-Subki disebut al-Qawa’id al-
Khassah.
5) Kaidah rinci yaitu kaidah menjadi bagian dari kaidah yang disebut
pada kaidah khusus diatas, yaitu misalnya: bagian dari ibadah; seperti
tentang shalat saja, bagian jinayah; seperti tentang sanksi, dan sebagainya
atau dengan istilah yang diberikan oleh A. Djazuli sendiri, yaitu al-
Qawa’id al-Tafsiliyyah.
Kemudian tingkatan macam kaidah-kaidah di atas digambarkan A.
Djazuli dalam gambaran sebagai berikut, namun ia mengingatkan bahwa
dalam memecahkan masalah itu tidak cukup dengan kembali ke kaidah
nomor satu, tetapi harus dipastikan ruang lingkup dan cakupan masalah yang
di hadapi, agar tepat penggunaan kaidahnya.
Sedangkan al-Sha’lan membagi kaidah fiqh dari tiga sudut pandang
berbeda, yaitu aspek luas dan sempit cakupannya; aspek disepakati ulama dan
diperselisihkan (pandangan mazhab), dan aspek pokok dan cabang.
1) Aspek luas dan sempit cakupannya. Kaidah fiqh dibagi tiga
macam, yaitu:
a) Cakupan luas, seperti kaidah fiqh yang lima
b) Cakupan sedang, seperti kaidah “al-wajib la yutrak illa li al-wajib”
c) Cakupan sempit, seperti kaidah “al-daf’ aqwa min al-raf’.
2) Aspek pandangan mazhab, kaidah fiqh juga dibagi tiga macam,
yaitu:
a) kaidah yang disepakati lintas mazhab, seperti kaidah fiqh yang
lima
b) kaidah yang disepakati ulama dalam mazhab satu tertentu, seperti
empat puluh (40) kaidah yang disebutkan al-Suyuti dalam bagian
kedua kitab al-Ashbah wa Naza’ir-nya
c) kaidah yang diperselisihkan ulama dalam satu mazhab tertentu,
seperti dua puluh (20) kaidah yang disebutkan al-Suyuti dalam bagian
ketiga kitab al-Ashbah wa Naza’ir-nya dan umumnya redaksi dari
kaidahnya dengan kalimat tanya (istifham).
3) Aspek asliyyah (pokok ) dan tabi’ah (cabang), maka kaidah dibagi
dua, yaitu:
a) Kaidah asliyyah (pokok) yang oleh sebagian ulama disebut dengan
kaidah kulliyyah, yaitu kaidah yang universal yang beberapa kaidah
lainnya menjadi bagian atau cabang darinya atau kaidah yang berdiri
sendiri (buka pokok dan bukan pula cabang), seperti kaidah yang lima,
empat puluh (40) kaidah yang disebutkan al-Suyuti dalam bagian
kedua kitab al-Ashbah wa Naza’ir-nya dan kebanyakan kaidah lainnya.
b) Kaidah tabi’ah (cabang) yang terbagi dua jenis , yaitu sebagai
cabang dari kaidah lain, seperti kaidah “al-yaqin la yuzal bi al-shakk”,
atau sebagai qayd (batasan) bagi kaidah lain, seperti kaidah “al darar la
yuzal bi al-darar” adalah menjadi qayd bagi kaidah pokok “al-darar
yuzal”.
Dari beberapa pendapat di atas tentang pembagian kaidah-kaidah fiqh,
penulis berusaha mengambil kesimpulan dengan mengkompromikan
perbedaan tersebut, yaitu sebagai berikut :
1) Secara global kaidah-kaidah fiqh di bagi menjadi 4 ( empat ) aspek
sudut pandang, yaitu:
a) Aspek sumber asal rujukan kaidah,.
Dari aspek sumber asal rujukan kaidah, maka kaidah dapat di bagi
2 ( dua ) macam, yaitu
1. Kaidah yang bersumber dari dalil naqli ( al-Qur-an dan al-
Sunnah ), dan
2. Kaidah yang bersumber dari aqli atau hasil ijtihad para
ulama, baik hasil ijtihad leawt dalil-dalil shara’ yang mu’tabar atau
lewat al-istidlal al-qiyasi dan ta’lil al-ahkam.
b) Dari aspek urgensi kaidah terhadap persoalan-persoalan fiqh, maka
dalam pandangan penulis kaidah dapat dibagi 6 ( enam ) macam, yaitu:
1. Al-qa’idah al-asasiyyah al-jami’ah, yaitu kaidah “jalb al-
masalih wa daf’ al-mafasi,
2. Al-qawa’id al-kulliyyah al-kubra, yaitu kaidah fiqh yang
lima,
3. Al-qawa’id al-kubra, yairtu kaidah fiqh yang merupakan
cabang dari kaidah yang lima,
4. Al-qawa’id al-kulliyyah al-sughra, yaitu empat puluh (40)
kaidah yang disebutkan al-Suyuti dalam bagian kedua kitab al-
Ashbah wa Nazair-nya,
5. Al-qawa’id al-sughra, yaitu dua puluh (20) kaidah yang
disebutkan al-Suyuti dalam bagian ketiga kitab al-Asbah wa
Nazair-nya, dan
6. Al-qawa’id al-juz’iyyah, yaitu semua kaidah yang ada yang
selain di atas, baik hasil ijtihad para ulama klasik atau
kontemporer.
c) Adapun dari aspek jenis cakupan dalam bidang fiqh, maka kaidah
fiqh dapat dibagi 2 ( dua ) macam yaitu:
1. Al-qawa’id al-‘ammah, yaitu kaidah-kaidah fiqh yang
mencakup semua jenis sebagian besarnya dalam bidang-bidang atau
bab-bab fiqh, dan
2. Al-qawa’id al-khassah, yaitu kaidah-kaidah fiqh yang
hanya mencakup satu jenis dari bidang-bidang atau bab-bab fiqh
atau sebagian kecil saja, seperti kaidah fiqh khusus dalam bidang
muamalah.
d) Sedangkan dari aspek pandangan mazhab, maka kaidah-kaidah
fiqh dapat di bagi 2 ( dua ) macam, yaitu:
1. Kaidah fiqh yang disepakati para ulama, baik lintas mazhab
atau intern mazhab, dan
2. Kaidah fiqh yang diperselisihkan para ulama, baik lintas
mazhab atau intern mazhab.
F. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyahdalam Fiqh Mu’amalah
Sebagian ulama ada yang menyusun kaidah fiqh berdasarkan abjad
dengan jumlah 145 buah kaidah yang kemudian disarikan menjadi 99 buah
kaidah dalam “Majallat al-Ahkam al-adliyyah”. Selanjutnya sebagian fuqaha
lagi menyusun kaidah berdasarkan bab ‘ibadah, bab Mu’amalah, bab Uqubah
dan sebagainya, seperti kitab “al-Faraid al-Bahiyyah fil Qawa’id wa al-fawaid
al-Fiqhiyyah” karangan Sayyid Muhammad Hamzah. Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah adalah sebuah kompilasi hukum pertama yang merupakan
undang-undang perdata (mu’amalah) pertama didunia islam yang dibuat oleh
pemerintahan kerajaan Turki Uthmani pada tahun 1286 H yang kemudian
disahkan dan ditetapkan pengalamannya pada tahun 1292 H untuk seluruh
wilayah di bawah pemerintahan Turki Uthmani yang meliputi hampir seluruh
benua Asia, sebagian Eropa dan Afrika.
Pemerintah kerajaan Turki Uthmani, pada akhir abad 13 H.
Mengumpulkan sejumlah ulama besarnya dengan menginstruksikan pada
mereka untuk membuat kitab undang-undang resmi negara dalam bidang
mu’amalah (perdata) yang diambil dari beberapa pendapat fuqaha, sekalipun
bertentangan dengan mazhab yang hidup dalam masyarakat, selama hukum
yang dibuat itu masih dimungkinkan berjalan dengan kondisi masyarakat saat
itu. Akhirnya mereka berkumpul dan membuat Qanun (UU) itu dengan nama
Majallat al-Ahkam al-Adliyyah pada tahun 1286 H. Yang kemudian disahkan
dan ditetapkan pengamalannya pada tahun 1292 H.
Penyusun kitab ini adalah sekelompok ulama Turki Uthmani. Mereka
merupakan gabungan dari empat mazhab fiqh, yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah,
Shafi’iyyah, dan Hanabilah, tetapi mayoritas berasal dari mazhab Hanafi.
Dengan demikian, mayoritas permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
kitab ini diselesaikan dengan cara mengambil pendapat yang unggul atau kuat
dari mazhab Hanafi. Mereka membuat kitab ini pada masa Sultan Ghazi
‘Abdul ‘Aziz Khan al-Uthmani ( 1861-1876 M ). Para ulama tersebut di
antaranya adalah Ahmad Judat Basha sebagai pemimpin, Ahmad Khalusi,
Ahmad Hilmi, Muhammad Amin al-Jundi, Saifuddin, Sayyid Khalil, dan
Shaykh Muhammad ‘Ala al-din Ibn ‘Abidin.
Hukum jual beli misalnya, ditetapkan dengan mazhab Ibn Shubrumah
( w. 144 H. ). Contohnya, jual beli bersyarat dipilih mazhab Ibn Shubrumah
yang berpendapat bahwa jual beli walaupun dengan disertai syarat-syarat
tertentu adalah sah keduanya (jual beli dan syaratnya sama-sama sah),
padahal mazhab Hanafi berpendapat mutlak tidak sah keduanya dan mazhab
Maliki berpendapat yang sah hanya jual beli, sedangkan syarat yang diajukan
batal. Ini termasuk awal keluar dari kungkungan taqlid pada empat mazhab
terkenal dan mensarikan persoalan-persoalan fiqh dengan nalar induktif
berupa kaidah-kaidah fiqh (al-Qawa’id al-Fiqhiyyah) untuk kemudian
digunakan sebagai rujukan hukum yang praktis secara deduktif, karena
Majallat al-Ahkam al-Adliyah adalah undang-undang resmi yang di rujuk
sebagai dalil istinbat (deduktif) untuk menyelesaikan beberapa kasus hukum
muamalah. Majallat al-Ahkam al-Adliyyah itu terdiri dari 1851 pasal, 99
pasal berupa kaidah-kaidah fiqh ( dari n0 2-100 ) yang diadopsi dari kitab
kaidah-kaidah fiqh; al-Asbah wa al-Nazair karangan Imam Ibn Nujaym ( w.
970 H ) dan kitab kaidah-kaidah fiqh ulama lainnya bahkan ada yang
mengatakan juga mengadopsi dari beberapa kitab fiqh mazhab Shi’ah
Imamiyyah.
Maka, bisa dikatakan bahwa Majallat al-Ahkam al-Adliyyah adalah
kumpulan kaidah fiqh muamalah yang pertama kali muncul dalam sejarah
perkembangan kaidah fiqh, di samping ia juga merupakan kitab undang-
undang perdata positif ( resmi ) pertama dalam sejarah perkembangan hukum
dan perundang-undangan di dunia. Sehingga tidaklah salah jika buku ini akan
mengambil secara langsung 99 kaidah fiqh yang ada dalam Majallat al-
Ahkam al-Adliyyah untuk kemudian ditipologi dan dianalisis aplikasinya
dalam perbankan syariah dan ekonomi islam.

Kesimpulannya
Dalam klasifikasi Qawaid al Fiqhiyyah dibagi menjadi 2 macam, yaitu
kaidah Assasiyah (kaidah induk) dan kaidah Ghayr Assasiyah (kaidah pelengkap).
Kaidah Assasiyah terdapat 5 kaidah induk, yaitu :
1. Segala sesuatu bergantung pada tujuan
2. Kemudharatan itu harus dihilangkan
3. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
4. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan
Sedangkan ghayr Asssasiyah sebagai kaidah pelengkap dari kaidah induk.
Menurut Hasbi Shidiq, terdapat 19 kaidah, dan menurut Abdul Mujid terdapat 40
kaidah yang diperselisihkan dan ada 40 kaidah yang tidak diperselisihkan.
Ali Ahmad an-Nadawi membagi kaidah dari segi hubungannya dengan
sumber tasyri’, yaitu :
1. Kaidah yang awalnya hadits kemudian dijadikan kaidah oleh ahli fiqh
2. Kaidah yang berkaitan dengan nash tasyri umum yang mengandung illat
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi ada 4 macam kaidah, yaitu :
1. Kaidah yang cakupannya luas
2. Kaidah yang cakupannya tidak luas
3. Kaidah yang disepakati satu orang saja
4. Kaidah yang disepakati oleh kaidah manapun
‘Abd al-Aziz muhammad ‘Azam membagi kaidah menjadi 5 macam, yaitu :
1. Qawa’id kulliyah kubra yaitu kaidah yang disepakati oleh semua madzhab
tetapi terjadi perbedaan pendapat dalam pembagiannya.
2. Qaidah kubro yaitu kaidah yang berkaitan dengan masalah furu’ tetapi
tidak seluas qawa’id kulliyah kubra karena hanya disepakati oleh berbagai
madzhab
3. Qawaid amanah yaitu kaidah yang berkaitan dengan furu’ tetapi
cakupannya sempit
4. Qawaid khassah, yaitu kaidah yang khusus satu madzhab tertentu.
5. Kaidah fiqh yang cakupannya lebih sempit dari qawaid khassah, terdapat
persoalan yang diperselisihkan ahli fiqh
Berdasarkan ruang lingkupnya A. Djazuli membagi kaidah fiqh menjadi 5
macam, yaitu :
1. Kaidah inti (meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan)
2. Kaidah asasi (kaidah yang lima)
3. Kaidah umum (dibawah kaidah asasi atau cabang dari kaidah asasi)
4. Kaidah khusus (kaidahnya hanya pada bidang tertentu)
5. Kaidah rinci (kaidah bagian dari kaidah khusus)
A Djazuli mengingatkan dalam memecahkan masalah tidak hanya pada satu
kaidah saja, dipastikan cakupan masalah yang berarti.
Al-sha’lan dari sudut padang yang berbeda itu dibagi menjadi :
1. Dari aspek luas dan sempit
a. Cakupan luas (kaidah fiqh yang lima)
b. Cakupan sedang (al wajib la yutrak illa li al wajib)
c. Cakupan sempit ( al daf aqua min al-raf)
2. Aspek pandngan madzhab, ada 3 macam
a. Kaidah yang disepakati lintas madzhab (kaidah yang lima)
b. Kaidah yang disepakati hanya satu madzhab tertentu, terdapat 40
kaidah yang disebut al-suyuti dalam bagian dari kitab al-Ashbah wa
Naza’irnya
c. Kaidah yang diperselisihkan ulama dalam satu madzhab tertentu,
seperti 20 kaidah
3. Kaidah Assasiyah (pokok) dan tabi’ah (cabang)
Sejarah munculnya Al Qawaid al Fiqhiyyah muamalah, pada waktu itu
kerajaan Turki Utsmani mengumpulkan beerbagai ulama untuk membuat suatu
hukum, dan itu gabungan dari berbagai madzhab yaitu madzhab hanafiyah,
malikiyah, syafi’iyah dan hanabillah, tetapi mayoritas berasal dari madzhab
hanifi.
Pada waktu terjadi suatu jual beli, kemudian ada perbedaan pendapat
mengenai sah tidaknya syarat-syarat jual beli, ibnu Shubrumah mengatakan sah
tetapi madzab hanafi tidak mengatakan sah. Maka sejak dari itulah keluar dari
taqlid empat madzhab dan mensarikan persoalan fiqh dengan nalar induktif (al
Qawaid al Fiqhiyyah) sebagai rujukan hukum yang praktis deduktif karena
Majalat al-Ahkam al-Adliyah adalah undang-undang resmi sebagai dalil istinbat
(deduktif) untuk menyelesaikan kasus hukum muamalah, dan undang-undang
pertama yang muncul dalam perkembangan dunia Islam, yang terdapat 1851 pasal
dan 99 pasal berupa kaidah fiqh, no 2-100 yang diadopsi dari kitab Imam Ibn
Najam (970 H) dan kitab fiqh lainnya, bahkan ada yang mengatakan dari kitab
syiah imamah.

Anda mungkin juga menyukai