Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

Tentang perkawinan diatur dalam pasal 26 sampai dengan 102 B.W. Bab ini dibagi
dalam satu ketentuan umum dan tujuh sub bagian.
Ketentuan umum hanya terdiri atas sebuah pasal saja yaitu pasal 26 B.W. yang berbunyi:
“Undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataannya
saja.” Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka undang-undang tidak memandang penting
adanya unsur-unsur keagamaan selama tidak diatur dalam hubungan hukum perdata. Di
dalam B.W. kita tidak dijumpai adanya definisi perkawinan. Akan tetapi para Sarjana
Hukum, antara lain Asser, Scholten, dan Wiarda memberikan definisi sebagai berikut :
“Perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui
oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.
Dengan definisi tersebut dapat ditunjukkan essensi perkawinan sebagai lembaga hukum,
baik essensi yang terkandung di dalamnya, maupun essensi yang tidak terkandung di
dalamnya. Definisi tersebut tidak memberi petunjuk adanya sanggama
(geslachtgemeenschap). Walaupun perbedaan kelamin merupakan dasar dari suatu
perkawinan, namun kemungkinan sanggama tidak mutlak bagi perkawinan.

1. Akibat Hukum Perkawinan


Perkawinan mempunyai akibat-akibat hukum. Tetapi, tidak semua akibat hukum yang
menyangkut tentang perkawinan dapat diatur dalam buku kesatu B.W. Hal ini mengingat
ketentuan-ketentuan yang mengatur akibat-akibat hukum perkawinan masih terdapat pada
bagian B.W yang lain. Disamping itu, masih terdapat lagi akibat-akibat hukum perkawinan
yang diatur dalam undang-undang lainnya.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istri
terdapat dalam pasal 103 sampai pasal 118 B.W. Diantara ketentuan-ketentuan tersebut, ada
yang tidak memiliki sanksi maupun diikuti oleh sanksi-sanksinya.

A. Hak dan Kewajiban Suami Istri


Hak-hak dan kewajiban suami istri dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :
a. Sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami istri itu sendiri.
Pasal 103 B.W. menentukan bahwa suami istri harus saling setia, saling tolong-menolong
dan saling bantu-membantu (hulp en bijstand). Perkataan saling setia disini berarti “setia
dalam perkawinan” (huwelijkstrouw). Suami atau istri yang melakukan overspel dengan
orang lain, akan dianggap tidak setia pada istri atau suaminya. Overspel merupakan salah satu
alasan untuk menuntut perceraian perkawinan (pasal 209 B.W). Tolong-menolong dan saling
membantu, merupakan kewajiban suami istri untuk memikul bersama segala kesulitan di
dalam kehidupan perkawinan. Dalam hal-hal tertentu, pelanggaran atas kewajiban-kewajiban
ini dapat merupakan “buitensporigheden” (perbuatan-perbuatan atau yang melampaui batas),
dan dapat dijadikan alasan oleh pihak lain untuk menuntut pisah meja dan tempat tidur (pasal
233 B.W). Pasal 105 B.W menentukan bahwa istri harus patuh pada suaminya.
Persatuan perkawinan menghendaki agar suami istri bertempat tinggal dalam satu rumah.
Suami sebagai kepala perkawinan yang menentukan tempat tinggal bersama itu. Dalam pasal
106 ayat 2 B.W. menentukan bahwa istri wajib mengikuti suami, ke tempat mana pun yang
dipandang baik untuk bertempat tinggal oleh suami. Pemilihan tempat tinggal bagi suami
adalah bebas, dan istri harus mengikuti suami, juga bila suami memutuskan untuk pindah ke
luar negri. Hal ini tidak berarti istri wajib mengikuti suami, jika suami hanya berdiam disuatu
tempat untuk sementara waktu saja. Istri pun tidak wajib mengikuti suaminya, bila tempat
tinggal yang dipilihnya dianggap tidak pantas.
Perlu diketahui bahwa B.W. tidak mengenal upaya pemaksaan agar istri wajib tinggal
bersama suaminya dirumah suaminya, atau agar suami menerima istrinya kembali
dirumahnya. Kewajiban untuk tinggal bersama dapat ditiadakan dengan pisah meja dan
tempat tidur. Jika kengganan untuk tinggal bersama itu kemudian bersifat “kwaadwillige
verlating” (meninggalkan tempat tinggal bersama dengan maksud jahat) dan sudah berjalan
selama lima tahun atau lebih, maka perbuatan demikian dapat merupakan alasan untuk
bercerai atau alasan untuk pisah meja dan tempat tidur. Keadaan tidak bertempat tinggal
bersama dapat merupakan dan dianggap sebagai “buitensporigheid”, akan tetapi hanya hakim
yang dapat menentukan terjadinya buitensporigheid dan kwaadwillige verlating tersebut.
Selanjutnya, pasal 107 ayat 2 B.W. menyatakan bahwa suami wajib melindungi dan
memberikan segala sesuatu yang diperlukan istrinya, sesuai dengan kedudukan dan
kemampuannya. Umumnya, pemberian keperluan hidup akan dihubungkan dengan kewajiban
tinggal bersama.
Apabila istri tidak tinggal bersama, apakah istri berhak menuntut keperluan hidup kepada
suaminya?
Pertanyaana ini hanya mungkin dijawab dengan beberapa macam penyelesaian sesuai
dengan beberapa pendapat yang ada, yaitu :
1. Kewajiban memberikan keperluan hidup dan kewajiban tinggal bersama, merupakan
sepasang pengertian yang tidak dapat dipisahkan. Penganut pendapat ini mengatakan bahwa
pada saat suami istri tidak tinggal bersama, maka hakim yang akan memutuskan masalah
pemberian keperluan hidup dari suami kepada istrinya. Hal ini menguatkan adanya pisah
meja dan tempat tidur secara tidak sah;
2. Hakim yang memutuskan pemberian keperluan dari suami kepada istrinya, tidak akan
mengurangi kewajiban untuk tinggal bersama.
Penyelesaian persoalan ini tidak bergantung pada putusan hakim seperti yang diuraikan
diatas. Akan tetapi, apakah benar kewajiban memberikan keperluan hidup dengan kewajiban
tinggal bersama akan merupakan suatu pengertian yang tidak terpisahkan?
Pitlo berpendapat bahwa kewajiban memberikan keperluan hidup dan kewajiban tinggal
bersama merupakan dua hal yang terpisah, sehingga tidak seharusnya digabungkan.
Kewajiban memberikan keperluan hidup akan tetap ada, sekalipun hakim memutus adanya
perceraian atau pisah meja dan tempat tidur. Meskipun mereka tidak tinggal bersama, akan
tetap berpengaruh pada hak untuk menuntut pemberian keperluan hidup tersebut.
Hoge Raad (Mahkamah Agung) pernah memberikan putusan yang pada pokoknya
mengatakan bahwa seorang istri yang dengan kehendaknya sendiri tidak bersedia tinggal
bersama suaminya, maka ia tidak berhak untuk menuntut keperluan hidup kepada suaminya.
Pasal 834 a Rv. Dan seterusnya mengatur tatacara dalam gugatan pemberian keperluan
hidup. Pasal 329 a. Dan 329 b. B.W. memberikan ketentuan tentang tiga persoalan, yaitu :
a. Pemberian keperluan hidup;
b. Perubahan pemberian keperluan hidup; dan
c. Pencabutan pemberian keperluan hidup.
Pasal 329 a. B.W. menyatakan bahwa jumlah keperluan hidup yang diberikan harus
seimbang dengan kebutuhan orang yang berhak atas keperluan hidup yang dihubungkan
dengan besarnya kekayaan pihak yang wajib memberikannya tersebut. Disamping itu, juga
memperhitungkan jumlah tanggungan pihak yang wajib memberikan keperluan hidup
tersebut. Sementara itu pasal 329 b. B.W memuat ketentuan mengenai :
a. Wewenang hakim untuk mengubah atau mencabut pemberian keperluan hidup atas
gugatan orang yang memberikannya atau orang lain yang dibebani memberikan keperluan
hidup itu;
b. Perubahan atau pencabutan itu harus didasarkan atas keadaan yang ada pada saat
perubahan atau pencabutan pemberian keperluan hidup itu dilakukan;
c. Wewenang hakim untuk mengadakan perubahan atau pencabutan atas persetujuan
kedua belah pihak tentang kewajiban pemberian keperluan hidup.
Satu hal yang patut diketahui bahwa kewajiban pemberian keperluan hidup itu bersifat
timbal balik. Dalam arti, seorang istri pun dapat diwajibkan untuk memberikan keperluan
hidup kepada suaminya. Dasar pemikiran ini merupakan kesimpulan dari ketentuan-ketentuan
tentang perjanjian kawin, walaupun tidak secara tegas dinyatakan dalam ketentuan
perundang-undangan (B.W).
Pasal 104 B.W. mengatakan bahwa dengan adanya perkawinan, suami istri itu akan
saling mengikatkan diri secara timbal balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak
mereka. Kewajiban timbal balik menurut ketentuan pasal ini, bukanlah “kewajiban suami istri
terhadap anak-anak” mereka, tetapi kewajiban terhadap istri dan sebaliknya. Jika salah satu
dari mereka melalaikan kewajiban tersebut, maka pihak yang lain dapat mnegajukan tuntutan
di muka pengadilan dan kewajiban itu pun tidak berakhir dengan bubarnya perkawinan.
Tidak terdapatnya keseuaian pendapat mengenai butir pertanyaan, apakah kewajiban
tersebu berakhir jika anak-anak sudah meerderjarig? Dalam arti, kewajiban yang ditentukan
oleh pasal 104 B.W. adalah kewajiban untuk “mendidik” dan memelihara anak-anak.
Jadi, bila pendidikan belum selesai pada waktu anak-anak sudah meerdejarig, misalnya
anak masih mengikuti kuliah, maka lebih adil jika biaya pendidikan tersebut dipikul oleh
suami istri secara bersama-sama.
Pasal 298 ayat 2 B.W. mengatakan bahwa orangtua berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Kewajiban ini tidak dihapus, meskipun mereka kehilangan
kekuasaan orangtua ataupun perwalian. Perlu ditambahkan pula bahwa kewajiban tersebut
hanya berlaku selama anak-anak masih minderjarig. Orangtua masih juga diwajibkan
memberikan alimentasi kepada anak-anak yang sudah meerderjarig jika anak-anak tersebut
dalam keadaan miskin.

b. Sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami (maritale macht) sebagai kepala
persekutuan perkawinan.
Ketentuan hukum dari pernyataan diatas dapat dibaca dalam pasal 105 B.W. dalam pasal
tersebut dijumpai atas maritel macht yang menentukan suami sebagai kepala persekutuan
perkawinan, sedangkan istri harus taat dan patuh pada suaminya (pasal 106 B.W.).
Pitlo berpendapat bahwa asas maritale macht harus diberikan dari ketidakcakapan istri.
Sementara itu asas suami sebagai kepala persekutuan perkawinan, pada hakekatnya timbul
dari suatu pandangan yang beranggapan bahwa dalam suatu kapal hanya ada satu nahkoda
saja, dapat dikatakan kurang tepat karena dalam perseroan selalu dimungkinkan oleh adanya
dua orang nahkoda dalam satu kapal. Hubungan semacam ini dapat ditelaah melalui pasal
1637 B.W. yang menyatakan bahwa beberapa orang persero diberi wewenang pengurusan
tanpa ditentukan tugas pekerjaannya secara khusus, atau tidak ditentukan apakah tanpa
keikutserataan pihak yang satu menyebabkan pihak yang lain tidak boleh melakukan suatu
pekerjaan. Sehubungan dengan hal ini, dapat dikatakan setiap anggota persero itu secara
individu berwenang melakukan perbuatan-perbuatan yang menyangkut pengurusan perseroan
tersebut.
Akan tetapi dengan kehadiran suatu asas yang sudah lama dianut, yaitu : suami adalah
kepala persekutuan perkawinan, maka pembentuk B.W. hanya tinggal mewarisi pandangan
yang telah ada ini. Dengan demikian suami memiliki wewenang, antara lain sebagai berikut :
a. Mengurus harta kekayaan bersama;
b. Mengurus sebagian besar harta kekayaan milik istri;
c. Menentukan tempat kediaman bersama; dan
d. Menentukan persoalan-persoalan yang menyangkut kekuasaan orangtua.
Suatu asas yang berdasarkan pada “istri tidak cakap melakukan perbuatan hukum”,
berhubungan erat dengan pandangan kuno yang menganggap seorang wanita tidak cakap
mengurus harta benda atau harta kekayaan sendiri.
Pitlo berpendapat bahwa dua asas tersebut diatas, mempunyai perbedaan yang bukan saja
pada pokok pangkalnya.
Maritale macht memberikan wewenang kepada seorang suami untuk mengurus sebagian
besar harta kekayaan. Namun dengan adanya ketidakcakapan seorang istri, akan
mengakibatkan dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukannya harus dengan izin suami.
Pitlot menyatakan bahwa kedua asas itu berbeda, sehingga tidak dapat diterapkan secara
berdampingan.
Suatu ketidaksengajaan yang terjadi adalah, kedua asas tersebut diterapkan secara
bersama-sama di dalam B.W. jika demikian, kemungkinan akan terdapat pengakuan terhadap
kecakapan seorang istri untuk bertindak dalam suatu perbuatan hukum, disamping pengakuan
terhadap asas maritale macht. Dalam keadaan seperti itu, seorang istri tetap dianggap
mempunyai kewenangan untuk berbuat, disamping juga tidak digunakan asas maritale macht.
Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam B.W. maka sudah
seyogyanya jika seorang istri dapat mengurus harta kekayaan sendiri, kendati dalam semua
perbuatan hukum yang dilakukannya tetap memerlukan izin sang suami.
Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung nomor 3/1963, tertanggal 4 agustus 1963,
yang dikeluarkan dengan suratnya tertanggal 5 September 1963 No. 1115/P/3292/M1963,
tentang “Gagasan yang menganggap bahwa burgerlijk wetboek tidak sebagai undang-
undang”, memiliki konsekuensi gagasan tersebut. Mahkamah Agung menganggap delapan
(8) buah pasal dalam B.W tersebut tidak berlaku lagi. Delapan buah pasal itu, antara lain
terdiri atas :
1. Pasal 108 dan 110 B.W, yang berisikan tentang wewenang seorang istri untuk
melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau
bantuan suaminya. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga
negara indonesia.
2. Pasal 284 ayat 3 B.W., yang berisikan mengenai pengakuan anak yang lahir diluar
perkawinan oleh seorang ibu Bumi Putera dan seterusnya.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka anggapan Mahkamah Agung terhadap asas
maritale macht tidak pernah disebutkan dalam ketentuan pasal 108 dan 110 B.W. sehingga
asas maritale macht tetap dapat diterapkan.
Maksud adanya asas maritale macht, ialah agar suami menjaga kesatuan dalam
perkawinan, disamping harus ikut serta megurus harta kekayaan istrinya. Untuk itu, suami
ditentukan sebagai kepala persekutuan perkawinan, sedangkan istri diwajibkan untuk taat dan
patuh kepada suaminya (pasal 105 dan 106 B.W.).
Selain akibat yang diuraikan diatas, asas maritale macht membawa konsekuensi sebagai
berikut :
1. Istri harus mengikuti kewarganegaraan suaminya (pasal 7 UU 62/1958, Undang-
Undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia), meskipun dimungkinkan adanya
perkecualian;
2. Suami menentukan kediaman bersama (pasal 21 B.W.)
3. Jika timbul perselisihan antara kedua orangtua dalam menjalankan kekuasaan
orangtua (pasal 300 ayat 1 B.W.), maka pada tingkat akhir suami berhak menentukannya.

B. Harta Benda dalam Perkawinan


Sejak saat dilangsungkannya perkawinan antara suami istri secara hukum, terjadilah
kebersamaan harta perkawinan sejauh hal tersebut tidak menyimpang dari perjanjian
kawin (pasal 119 B.W).
Menurut sejarahnya, pengertian “Kebersamaan Harta Perkawinan” berasal dari
Hukum Germania kuno dari abad pertengahan. Hukum Romawi sendiri tidak
mengenal kebersamaan harta, artinya suami istri masing-masing memiliki harta
privenya sendiri. Di dalam code civil dikenal kebersamaan harta dalam arti yang
terbatas. Akan tetapi, B.W, tidak mengikuti asas yang terdapat dalam Code Civil
maka sifat pembatasannya tidak diikuti oleh B.W.
 Sifat dan luas kebersamaan harta perkawinan
Asas sifat dan kebersamaan harta perkawinan dapat kita jumpai dalam pasal
119 B.W. yang pada pokoknya menyatakan apabila tidak dibuat perjanjian
kawin oleh calon suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan, maka akan
terjadi apa yang dinamakan “Kebersamaan Harta Kekayaan” antara suami
istri itu karena undang-undang.
Dengan demikian terbukti bahwa walaupun ada kebersamaan secara bulat,
tetapi ada kemungkinan bahwa barang-barang tertentu yang diperoleh suami
atau istri dengan cuma cuma, yaitu karena pewarisan secara testamentair,
secara legaat atau hadiah; tidak masuk dalam kebersamaan harta kekayaan
itu, tetapi menjadi milik suami pribadi atau milik istri pribadi (pasal 120
B.W).
Calon suami istri dapat mengadakan penyimpangan-penyimpangan atas
ketentuan-ketentuan yang mengatur kebersamaan harta kekayaan dengan
membuat “perjanjian kawin”, sebelum perkawinan dilangsungkan. Pasal 139
B.W. menyatakan bahwa calon suami istri dengan perjanjian kawin dapat
“membatasi” atau “meniadakan”. Jika dibatasi, maka yang terjadi ialah
“kebersamaan” harta kekayaan “terbatas”. Dalam batas undang-undang,
calon suami istri bebas menentukan sendiri pembatasan kebersamaan harta
kekayaan itu, sehingga terdapat berbagai “kebersamaan harta terbatas”.
“kebersamaan untung dan rugi” juga “hasil dan pendapatan” yang
diatur oleh undang-undang merupakan dua contoh dari harta kekayaan
terbatas. Diluar itu, masih dapat diciptakan kebersamaan harta kekayaan
terbatas lain yang mirip atau tidak mirip dengan kedua contoh diatas.
Di dalam perkawinan dengan perjanjian kebersamaan harta kekayaan
terbatas normaliter, ada tiga macam harta benda, yaitu:
1. Harta kekayaan milik prive suami;
2. Hartaa kekayaan milik prive istri;
3. Harta kekayaan milik bersama suami istri.
Kembali kepada ketentuan-ketentuan pasal-pasal 120, 121 dan 122 B.W.
yang mengatur tentang luasnya kebersamaan harta kekayaan, meliputi semua
aktiva dan pasiva, baik yang diperoleh suami istri sebelum maupun selama
perkawinan mereka; termasuk modal, bunga, bahkan juga hutang-hutang
yang diakibatkan oleh suatu perbuatan melanggar hukum. Kebersamaan
harta kekayaan itu merupakan hak milik yang terikat, yaitu suatu bentuk
medeeigendom yang terjadi bila diantara para pemiliknya terdapat suatu
hubungan.
Hak milik bersama yang terikat ini harus kita bedakan dengan hak milik
bersama yang bebas yang merupakan bentuk eigendom pula, akan tetapi
diantara para pemiliknya tidak ada suatu hubungan hukum kecuali mereka
bersama-sama merupakan pemiliknya.
Di dalam pengertian “milik bersama yang terikat” tidak dapat ditunjukkan
bagian mereka masing-masing. Artinya, tidak dapat ditentukan bahwa
separo milik suami dan separo milik istri. Akan tetapi, secara tegas
dinyatakan bahwa suami istri itu mempunyai hak atas harta kekayaan
masing-masing, tetapi mereka tidak dapat melakukan kekuasaan atas bagian
mereka.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa kebersamaan harta kekayaan itu dimulai
pada saat perkawinan dilangsungkan (pasal 119 B.W). ketentuan ini bersifat
memaksa dan tidak dapat dihindari oleh kedua suami istri yang
bersangkutan.
Pasal 129 B.W. mengadakan perkecualian mengenai benda-benda yang
bersifat lain. Benda-benda tersebut masuk dalam kebersamaan harta
kekayaan, akan tetapi, karena barang-barang tersebut bagi suami atau istri
mempunyai arti atau sifat pribadi, untuk itu diadakan ketentuan-ketentuan
khusus dalam pembagian kebersamaan harta kekayaan, jika kebersamaan
harta kekayaan itu bubar.
Pasal 129 tersebut diatas juga berlaku terhadap hak pakai dan hak mendiami
yang diatur oleh pasal 818 sampai dengan pasal 829 B.W. istilah hak pakai
pada umumnya digunakan untuk “tanah”, sedangkan istilah hak mendiami
digunakan untuk rumah. Kedua hak tersebut mempunyai sifat yang sangat
pribadi.
C. Kedudukan Anak
1. Anak-anak sah
Pasal 250 B.W. menentukan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan atau
tumbuh sepanjang perkawinan, sehingga memperoleh suami ibunya sebagai
ayahnya.
Dalam hal ini berarti, anak tersebut adalah anak sah dari ibu dan suami ibunya,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk disebut anak sah harus
memenuhi syarat –syarat sebagai berikut :
a. Dilahirkan;
b. Tumbuh sepanjang perkawinan
Jika kita membandingkan antara pasal 250 B.W. dengan pasal 251 B.W maka
dapat disimpulkan bahwa hukum Indonesia lebih mengutamakan saat anak iyu
ditumbuhkan.
Menurut ketentuan pasal 251 B.W, keabsahan seorang anak yang dilahirkan
sebelum hari yang ke 180 setelah perkawinan dilangsungkan, maka sebagai
suami, ia boleh menyangkal keabsahan anak tersebut.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa masa kehamilan yang
dianggap paling pendek, yaitu 180 hari, sedangkan pasal 255 ayat 1 B.W.
menyatakan bahwa anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan
dibubarkan adalah tidak sah.

Anda mungkin juga menyukai