PEMBAHASAN
Tentang perkawinan diatur dalam pasal 26 sampai dengan 102 B.W. Bab ini dibagi
dalam satu ketentuan umum dan tujuh sub bagian.
Ketentuan umum hanya terdiri atas sebuah pasal saja yaitu pasal 26 B.W. yang berbunyi:
“Undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataannya
saja.” Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka undang-undang tidak memandang penting
adanya unsur-unsur keagamaan selama tidak diatur dalam hubungan hukum perdata. Di
dalam B.W. kita tidak dijumpai adanya definisi perkawinan. Akan tetapi para Sarjana
Hukum, antara lain Asser, Scholten, dan Wiarda memberikan definisi sebagai berikut :
“Perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui
oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.
Dengan definisi tersebut dapat ditunjukkan essensi perkawinan sebagai lembaga hukum,
baik essensi yang terkandung di dalamnya, maupun essensi yang tidak terkandung di
dalamnya. Definisi tersebut tidak memberi petunjuk adanya sanggama
(geslachtgemeenschap). Walaupun perbedaan kelamin merupakan dasar dari suatu
perkawinan, namun kemungkinan sanggama tidak mutlak bagi perkawinan.
b. Sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami (maritale macht) sebagai kepala
persekutuan perkawinan.
Ketentuan hukum dari pernyataan diatas dapat dibaca dalam pasal 105 B.W. dalam pasal
tersebut dijumpai atas maritel macht yang menentukan suami sebagai kepala persekutuan
perkawinan, sedangkan istri harus taat dan patuh pada suaminya (pasal 106 B.W.).
Pitlo berpendapat bahwa asas maritale macht harus diberikan dari ketidakcakapan istri.
Sementara itu asas suami sebagai kepala persekutuan perkawinan, pada hakekatnya timbul
dari suatu pandangan yang beranggapan bahwa dalam suatu kapal hanya ada satu nahkoda
saja, dapat dikatakan kurang tepat karena dalam perseroan selalu dimungkinkan oleh adanya
dua orang nahkoda dalam satu kapal. Hubungan semacam ini dapat ditelaah melalui pasal
1637 B.W. yang menyatakan bahwa beberapa orang persero diberi wewenang pengurusan
tanpa ditentukan tugas pekerjaannya secara khusus, atau tidak ditentukan apakah tanpa
keikutserataan pihak yang satu menyebabkan pihak yang lain tidak boleh melakukan suatu
pekerjaan. Sehubungan dengan hal ini, dapat dikatakan setiap anggota persero itu secara
individu berwenang melakukan perbuatan-perbuatan yang menyangkut pengurusan perseroan
tersebut.
Akan tetapi dengan kehadiran suatu asas yang sudah lama dianut, yaitu : suami adalah
kepala persekutuan perkawinan, maka pembentuk B.W. hanya tinggal mewarisi pandangan
yang telah ada ini. Dengan demikian suami memiliki wewenang, antara lain sebagai berikut :
a. Mengurus harta kekayaan bersama;
b. Mengurus sebagian besar harta kekayaan milik istri;
c. Menentukan tempat kediaman bersama; dan
d. Menentukan persoalan-persoalan yang menyangkut kekuasaan orangtua.
Suatu asas yang berdasarkan pada “istri tidak cakap melakukan perbuatan hukum”,
berhubungan erat dengan pandangan kuno yang menganggap seorang wanita tidak cakap
mengurus harta benda atau harta kekayaan sendiri.
Pitlo berpendapat bahwa dua asas tersebut diatas, mempunyai perbedaan yang bukan saja
pada pokok pangkalnya.
Maritale macht memberikan wewenang kepada seorang suami untuk mengurus sebagian
besar harta kekayaan. Namun dengan adanya ketidakcakapan seorang istri, akan
mengakibatkan dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukannya harus dengan izin suami.
Pitlot menyatakan bahwa kedua asas itu berbeda, sehingga tidak dapat diterapkan secara
berdampingan.
Suatu ketidaksengajaan yang terjadi adalah, kedua asas tersebut diterapkan secara
bersama-sama di dalam B.W. jika demikian, kemungkinan akan terdapat pengakuan terhadap
kecakapan seorang istri untuk bertindak dalam suatu perbuatan hukum, disamping pengakuan
terhadap asas maritale macht. Dalam keadaan seperti itu, seorang istri tetap dianggap
mempunyai kewenangan untuk berbuat, disamping juga tidak digunakan asas maritale macht.
Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam B.W. maka sudah
seyogyanya jika seorang istri dapat mengurus harta kekayaan sendiri, kendati dalam semua
perbuatan hukum yang dilakukannya tetap memerlukan izin sang suami.
Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung nomor 3/1963, tertanggal 4 agustus 1963,
yang dikeluarkan dengan suratnya tertanggal 5 September 1963 No. 1115/P/3292/M1963,
tentang “Gagasan yang menganggap bahwa burgerlijk wetboek tidak sebagai undang-
undang”, memiliki konsekuensi gagasan tersebut. Mahkamah Agung menganggap delapan
(8) buah pasal dalam B.W tersebut tidak berlaku lagi. Delapan buah pasal itu, antara lain
terdiri atas :
1. Pasal 108 dan 110 B.W, yang berisikan tentang wewenang seorang istri untuk
melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau
bantuan suaminya. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga
negara indonesia.
2. Pasal 284 ayat 3 B.W., yang berisikan mengenai pengakuan anak yang lahir diluar
perkawinan oleh seorang ibu Bumi Putera dan seterusnya.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka anggapan Mahkamah Agung terhadap asas
maritale macht tidak pernah disebutkan dalam ketentuan pasal 108 dan 110 B.W. sehingga
asas maritale macht tetap dapat diterapkan.
Maksud adanya asas maritale macht, ialah agar suami menjaga kesatuan dalam
perkawinan, disamping harus ikut serta megurus harta kekayaan istrinya. Untuk itu, suami
ditentukan sebagai kepala persekutuan perkawinan, sedangkan istri diwajibkan untuk taat dan
patuh kepada suaminya (pasal 105 dan 106 B.W.).
Selain akibat yang diuraikan diatas, asas maritale macht membawa konsekuensi sebagai
berikut :
1. Istri harus mengikuti kewarganegaraan suaminya (pasal 7 UU 62/1958, Undang-
Undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia), meskipun dimungkinkan adanya
perkecualian;
2. Suami menentukan kediaman bersama (pasal 21 B.W.)
3. Jika timbul perselisihan antara kedua orangtua dalam menjalankan kekuasaan
orangtua (pasal 300 ayat 1 B.W.), maka pada tingkat akhir suami berhak menentukannya.