Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQH MUAMALAH

“DENDA KETERLAMBATAN NASABAH di


LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah

Dosen pengampu: ABDULLAH SAHRONI, M. S. I

Kelompok 4

1. Esa Rahmahesa (2020604064)


2. Lana Alfiana (2020604074)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang Fiqh Muamalah Kontempore. Penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada [dosen mata kuliah]. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis
juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Denda............................................................................................................3
B. Konsep kepemilikan dalam islam...................................................................................3
C. Sifat hak milik.................................................................................................................4
D. Jeni-jenis kepemilikan dalam islam................................................................................5
E. Sebab-sebab terjadinya kepemilikan dalam islam..........................................................7
F. Hikmahkepemilikan islam..............................................................................................8

BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................9
B. Saran...............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................10

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang sesuai dengan perkembangan zaman pada saat ini.
Islam tidak hanya mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya melainkan juga
mengatur bagaimana hubungan antara sesama makhluk sosial yaitu manusia. interaksi
dan adanya sikap yang saling membutuhkan antara sesama manusia menciptakan adanya
kegiatan-kegiatan yang bersifat muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, investasi, dan lain sebagainya. Di dalam pertumbuhan ekonomi yang
semakin berkembang ini banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan di Indonesia yang
sudah menerapkan prinsip-prinsip syariah, yang dapat dilihat sebagai proses untuk
membangun sistem perekonomian Islam, baik dalam skala mikro ataupun makro. Dan
juga dapat dilihat dari segi kedudukan dan peranannya, lembaga keuangan syariah di
Indonesia ini memiliki landasan hukum yang sangat kuat sehingga dapat memberi peran
yang penting, maksimal, dan memberi daya tawar positif yang insyaallah tidak
merugikan salah satu pihak yang nantinya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di
Indonesia ini Adanya bank syariah di Indonesia merupakan perwujudan dari keinginan
masyarakat terutama yang beragama islam membutuhkan suatu sistem lembaga
keuangan alternatif yang bisa menyediakan jasa perbankan yang memenuhi prinsip-
prinsip syariah. Kemunculan bank syariah di Indonesia sebagai salah satu instansi bisnis
keuangan di bidang perekonomian yang berdasarkan prinsip-prinsip yang dianut dalam
agama islam atau syariah ini menghadirkan inovasi baru dalam kehidupan sosial
ekonomi masyarakat dunia termasuk juga Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama islam dan juga mengedepankan asas keadilan.Dari berbagai macam produk-
produk pembiayaan yang ada padabank syariah, murabahah merupakan salah satu jenis
pembiayaan yang paling dominan diterapkan dalam praktiknya di perbankan syariah.
Pembiayaan merupakan kegiatan yang sangat berperan penting karena dengan adanya
pembiayaan akan memperoleh salah satu sumber pendapatan dan yang akan menunjang
kelangsungan usaha bank syariah. Namun, apabila pengelolannya sendiri tidak tepat
nantinya akan menimbulkan sebuah permasalahan yang bisa mengakibatkan berhentinya
usaha bank syariah tersebut. Sebagai contohnya, pada pembiayaan murabahah apabila
terdapat nasabah yang wanprestasi dimana adanya kelalaian dalam memenuhi kewajiban
yang telah disepakati di awal khususnya terutama pada transaksi yang berbentuk jual beli
yang nantinya menghasilkan piutang. Dimana apabila terjadi ada nasabah yang dengan

1
sengaja padahal mampu melakukan kelalaian atau keterlambatan dalam pemenuhan
kewajibannya sehingga bisa merugikan pihak lembaga bank syariah. Dan salah satu
upaya tersebut adalah dengan melalui pengenaan biaya denda kepada nasabah yang
terlambat menunaikan pembayaran angsurannya. Ada dua kemungkinan yang menjadi
penyebab nasabah dapat terkena denda, yaitu yang pertama adalah tidak melakukan akad
dan yang kedua adalah alpa dalam melakukannya. Timbulnya denda akad ini
menandakan bahwa terdapat suatu akad yang sudah memenuhi ketentuan hukum
sehingga sudah mengikat dan wajib untuk dipenuhi. Apabila akad tersebut yang sudah
timbul secara sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan isinya oleh debitur
atau dilaksankan tetapi tidak sebagaimana mestinya atau lalai (ada kesalahan), maka
timbulah kesalahan di pihak debitur tersebut, baik kesalahan itu karena kesengajaanya
untuk tidak melaksanakannya ataupun karena kelalaiannya sendiri.Sehingga Dewan
Syariah Nasional menetapkan fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas
nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran untuk dijadikan pedoman Lembaga
Keuangan Syariah, salah satunya di bank syariah. Penerapan sanksi ini harus didasarkan
sesuai pada prinsip ta’zir yang tujuannya agar para nasabah disiplin dan tertib dalam
melaksanakan kewajibannya nanti. Dan sanksi ini dapat berupa sejumlah uang denda
yang besarnya telah ditentukan dan disepakati pada saat menandatangani surat perjanjian
akad di awal. Nasabah yang tidak mampu membayar karna force majeur tidak boleh
dikenakan sanksi, hal ini Allah SWT berfirman pada Qur’an surat Al-Baqarah (2):280
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.”Sanksi denda yang telah diatur dalam fatwa DSN MUI No.
17/DS-MUI/IX/2000 setelah Dewan Syariah Nasional menimbang bahwa kebanyakan
masyarakat sangat memerlukan pembiayaan dari Lembaga Keuangan Syariah baik
berdasarkan akad murabahah ataupun akad lainnya yang pembayarannya dilakukan
secara berangsur. Oleh sebab itu, Dewan Syariah Nasional menetapkan fatwa mengenai
sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran berdasarkan prinsip-
prinsip syariah untuk dijadikan pedoman oleh Lembaga Keuangan Syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimna penerapan denda keterlambatan bagi nasabah yang tidak
bisa membayar dalam jangka waktu yang telah disepakati di Bank Syariah
Indonesia?

2
2. Bagaimana penerapan denda keterlambatan di Bank Syariah Indonesia ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penerapan denda keterlambatan bagi nasabah
yang tidak bisa membayar dalam jangka waktu yang telah disepakati
di Bank Syariah Indonesia
2. Untuk mengetahui penerapan denda keterlambatan pada Bank
Syariah Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Denda
Istilah Arab yang digunakan untuk denda adalah gharamah. Secara bahasa gharamah
berarti denda. Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir. Ta’zir menurut
bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan Ar-Raddu

3
Wal Man’u, yang artinya menolak dan mencegah. At-ta’zir adalah larangan, pencegahan,
menegur, menghukum, mencela dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk
dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak
termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun
hak pribadi.8
Denda keterlambatan pembayaran adalah sebagaian dari ta’zir, karena denda
keterlambatan pembayaran utang tidak berasal dari pelanggaran yang melukai atau
merusak anggota badan seseorang. Secara garis besar hukuman ta’zir dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: menegur, menghukum, mencela dan
memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib
dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat,
baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi. Denda
keterlambatan pembayaran adalah sebagaian dari ta’zir, karena denda keterlambatan
pembayaran utang tidak berasal dari pelanggaran yang melukai atau merusak anggota
badan seseorang. Secara garis besar hukuman ta’zir dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok, yaitu:
1) Hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera).
2) Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara
dan pengasingan.
3) Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/perampasan
harta, dan penghancuran barang.
4) Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.
Denda keterlambatan ini termasuk kelompok yang ketiga yaitu hukuman ta’zir yang
berkaitan dengan harta. Para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman
ta’zir dengan cara mengambil harta. Menurut Abu Hanifah, hukuman ta’zir dengan cara
mengambil harta tidak dibolehkan. Pendapat ini diikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad
Ibn Hasan, tetapi muridnya yang lain yaitu Imam Abu Yusuf membolehkannya apabila
dipandang
membawa maslahat. Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
Ahmad Ibn Hanbal. Jadi, denda keterlambatan merupakan salah satu bentuk dari
hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta. Namun para ulama berbeda pendapat
mengenai denda uang.

4
a. Dasar Hukum Denda

1) Q.S Al- Baqarah ayat 280

َ ‫َواِ ْن َكانَ ُذوْ ُع ْس َر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ اِ ٰلى َم ْي َس َر ٍة ۗ َواَ ْن ت‬


‫َص َّدقُوْ ا خَ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم‬

“Artinya : Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu
sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.

Dalam firman Allah di atas dapat dipahami bahwa Allah


memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi orang yang berutang yang dalam
kesulitan dan memberikan kelapangan bagi orang-orang (nasabah) yang benar dalam
kesusahan yang tidak mempunyai apa yang akan dibayarkannya untuk menunasi
utangnya, dan jika orang berutang itu dalam kesukaran, maka
berikanlah tangguh sampai si berutang (nasabah) mampu.

2) Hadits
berdasarkan hadis Rasulullah Saw: “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan
oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR
Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad).
Selain itu, Rasulullah SAW bersabda, “Menunda-nunda pembayaran utang yang
dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka jika seseorang di antara
kamu dialihkan hak penagihan utangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu,
terimalah.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, Malik,
dan Darami). Berdasarkan hadis tersebut, apabila seorang debitur mampu tetapi
menunda-nunda pembayaran maka itu termasuk berlaku zalim kepada kreditur. Lebih
khusus, pengenaan denda keterlambatan tersebut untuk menghindarkan kerugian dan
mudarat kepada bank syariah dan juga kepada pemilik dana. Mudarat dan kerugian
yang nyata ini yang harus dihindari. Salah satunya dengan pengenaan denda
keterlambatan agar nasabah disiplin berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR Ibnu
Majah, Ahmad, dan Malik). Denda keterlambatan ini juga tidak termasuk ke dalam riba

5
karena riba adalah manfaat yang diterima oleh debitur atas jasa pinjaman yang
diberikan kepada debitur. Hal ini sebagaimana kaidah fikih: “Bahwa setiap manfaat yang
diambil oleh kreditur (pihak yang meminjamkan uang) atas jasa pinjamannya termasuk
kategori riba.” Sedangkan, dana keterlambatan bukan menjadi pendapatan bank
syariah, tetapi menjadi dana sosial yang diperuntukkan bagi para dhuafa dan yang
berhak lainnya.

- Fatwa DSN-MUI
Sanksi berupa denda uang juga sesuai dengan pendapat standar syariah internasional
AAOIFI dan pendapat Dewan Syariah Nasional MUI. DSN MUI telah mengeluarkan
Fatwa Nomor 17 /DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang
Menunda-nunda Pembayaran.
Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan lembaga keuangan
syariah kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran
dengan disengaja. Akan tetapi, nasabah yang tidak/belum mampu membayar
disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
Adapun nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak
mempunyai kemauan dan iktikad baik untuk membayar utangnya boleh dikenakan
sanksi. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin
dalam melaksanakan kewajibannya.
Fatwa ini juga mengatur bahwa sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang
besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
Kemudian, dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

b. Syarat Penggunaan Hukuman Denda

Denda keterlambatan ini dimaksudkan sebagai sanksi atau hukuman, supaya tidak
mengulani perbuatan maksiat kemballi. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,
sanksi dapat diberikam kepada orang yang ingkar janji, dan ketenuan seseorang disebut
ingkar janji dijelaskan dalam Pasal 36 yang menyebutkan bahwa:
a) Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya.
b) Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

6
c) Melakukan yang dijanjikannya, tetapi terlambat.
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Sedangkan mengenai jenis sanksinya disebutkan dalam Pasal 38, yaitu pihak dalam akad
yang melakukan ingkar janji dapat dijatuhi
sanksi :
a) Membayar ganti rugi
b) Pembatalan akad
c) Peralihan resiko
d) Denda, dan/atau
e) Membayar biaya perkara

Sedangkan mengenai penggunaan hukuman denda, sebagai fuquha dari kelompok yang
meembolehkan penggunaannya, mereka mensyaratkan hukuman denda harus bersifat
ancaman, yaitu dengan cara menarik uang terpidana dan menahan darinya sampai
keadaan pelaku menjadi baik.Jika sudah menjadi baik, hartanya diinfakkan untuk jalan
kebaikkan.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Secara bahasa gharamah berarti denda. Denda merupakan salah satu jenis dari
hukuman ta’zir. Ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran.
Ta’zir juga diartikan dengan Ar-Raddu Wal Man’u, yang artinya menolak dan
mencegah. At-ta’zir adalah larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela
dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib
dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat,
baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi. Penyebab
nasabah dapat terkena denda, yaitu yang pertama adalah tidak melakukan akad dan
yang kedua adalah alpa dalam melakukannya. Timbulnya denda akad ini menandakan
bahwa terdapat suatu akad yang sudah memenuhi ketentuan hukum sehingga sudah
mengikat dan wajib untuk dipenuhi. Apabila akad tersebut yang sudah timbul secara
sah menurut ketentuan hukum itu tidak dilaksanakan isinya oleh debitur atau
dilaksankan tetapi tidak sebagaimana mestinya atau lalai (ada kesalahan), maka
timbulah kesalahan di pihak debitur tersebut, baik kesalahan itu karena kesengajaanya
untuk tidak melaksanakannya ataupun karena kelalaiannya sendiri

B. Saran

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan karena
minimnya referensi yang kami dapatkan. Oleh karena itu kami masih mengharapkan kritik
dan saran oleh pembaca demi perbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai