Anda di halaman 1dari 16

Brawijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Prabu Brawijaya (lahir: ? - wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasaMajapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.
Daftar isi
[sembunyikan]

1 Kisah hidup 2 Asal usul nama 3 Bhre Kertabhumi dalam Pararaton 4 Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina 5 Teori keruntuhan Majapahit 6 Pemakaian nama Brawijaya 7 Lihat pula 8 Kepustakaan

[sunting]Kisah

hidup

Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya Damar.[rujukan?] Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur rajaraja Kesultanan Mataram.

Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan. Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
       

Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana Prabu Brakumara Prabu Brawijaya I Ratu Ayu Kencanawungu Prabu Brawijaya II Prabu Brawijaya III Prabu Brawijaya IV dan terakhir, Prabu Brawijaya V

Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap Brawijaya (bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha. [sunting]Asal

usul nama

Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalanKerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut. Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya.[rujukan?] Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya. Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara.[rujukan?] Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit. Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir. Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha. Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa[rujukan?] berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha. [sunting]Bhre

Kertabhumi dalam Pararaton

Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis: Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400. Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan ambigu.[rujukan?] Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakahBhre Pandansalas ataukah anakanak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.

Teori yang cukup populer[rujukan?] menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-misebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada tahunSirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik[rujukan?] dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat. [sunting]Kung-ta-bu-mi

dalam Kronik Cina

Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang. Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putraYang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-tabu-mi secara hormat ke Bing-to-lo. Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dariDemak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah. Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat. Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas

karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru. Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cinatersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina. [sunting]Teori

keruntuhan Majapahit

Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:


Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melaluiSunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.

Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang.

Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.

Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre Pandansalas, ataukah anakanak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali

untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun 1478. [sunting]Pemakaian

nama Brawijaya

Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur. Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya. [sunting]Lihat
 

pula

Dyah Kertawijaya Dyah Ranawijaya

[sunting]Kepustakaan


Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya NegaraNegara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS

 

Didahului oleh: Suraprabhawa

Raja Majapahit 14681478

Digantikan oleh: Girindrawardhana

Brawijaya V Antara Fakta Dan Mitos Di Pesisir Pantai Gunung Kidul

Masyarakat Jawa cukup kental dengan nuansa spiritualitas yang berhubungan dengan leluhur. Tidak salah memang, walaupun di dalam masyarakat Jawa sendiri sudah banyak menganut agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Melihat kembali beberapa ratus tahun yang lalu, bahwa kehidupan masyarakat tidak lepas dari kepercayaan kepada leluhur. Dari kepercayaan leluhur ini, masyarakat Jawa khususnya membangun kehidupannya. Leluhur, bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai yang bercikal bakal. Artinya leluhur dipercayai sebagai wujud dari sebuah komunitas masyarakat yang sedang berkembang sampai terbentuknya sistem di dalamnya. Proses berkembangnya komunitas sampai pada kehidupan masyarakat yang paling mendasar, yaitu kepercayaan. Masyarakat membutuhkan sarana untuk sampai pada yang memberikan hidup dan segala alamnya. Terbangunnnya kepercayaan ini, tidak lepas dari peran leluhur yang dipercayai memberikan kenyamanan dan kehidupan yang lebih baik. Agama apapun yang dianut masyarakat Jawa sekarang ini, tidak akan pernah lepas dari unsur kepercayaan terhadap leluhur. Kemudian apa hubungannya dengan judul di atas? Di kawasan pesisir pantai selatan kabupaten Gunung Kidul, ada sebuah kepercayaan yang berkembang di masyarakat sekitar. Di salah satu pantai ini, dipercaya oleh penduduk setempat sebagai lokasi dimana Prabu Brawijaya V raja terakhir Majapahit melarikan diri, karena runtuhnya Majapahit. Di tempat ini pula Sang Raja moksa (hilang tanpa meninggalkan badan jasmani). Cerita ini berkembang selama bertahun-tahun tanpa ada bukti nyata kehadiran Sang raja di pantai ini (kalaupun ada mungkin hanya orang tertentu saja yang tahu). Dari cerita atau mitos ini tentunya bisa ditarik kesimpulan bahwa, sejarah kehadiran sang raja bisa dipercaya atau tidak. Berkembang pula sebuah keyakinan mengenai cikal bakal dari masyarakat Gunung Kidul yang merupakan keturunan Majapahit yang melarikan diri karena kejaran tentara Islam Demak. Memang untuk membuktikan mitos atau cerita yang berkembang di masyarakat ini sangat sulit. Namun masyarakat setempat sangat percaya dengan cerita yang turun temurun mereka dengar dari para leluhur dahulu. Sebuah cerita yang berkembang di masyarakat bisa dipercaya sebagai fakta ataupun hanya mitos, tergantung dari sudut pandang kita menganalisa.

Sebagai contoh , faktanya bahwa cerita ini berkembang dengan sangat kuat dan terpendam cukup lama di tengah masyarakat. Terlepas dari ditambah ataupun dikuranginya cerita mengenai kehadiran sang raja atau masyarakat keturunan Majapahit tersebut. Kedua cerita ini bisa saling dikaitkan dari latar belakang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke 15. Pertama, bisa saja cerita bahwa masyarakat Gunung Kidul adalah keturunan dari pelarian Majapahit adalah sebuah fakta. Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang geografis Gunung Kidul yang merupakan daerah pegunungan (hutan dan goa cukup banyak di tempat ini). Tentunya daerah ini aman bagi pelarian dari Majapahit. Kedua, cukup banyak masyarakat Gunung Kidul yang beragama Hindhu Jawa. Masyarakat Hindhu ini, beberapa ditemukan di daerah pesisir pantai beserta bangunan pura. Memang sejak awal bahwa masyarakat nusantara ini menganut agama Hindhu, Budha dan animisme maupun dinamisme, namun bukan berarti dengan ditemukannya komunitas masyarakat Hindhu bisa menjadi pembenaran alasan kedua. Ketiga, komunitas masyarakat Hindhu Jawa di daerah ini cukup kuat dengan masih mempertahankan tradisi agama mereka. Keempat dari sudut pandang politik, pelarian masyarakat Majapahit ke daerah ini beralasan. Karena kalau mereka melarikan diri keutara tentunya sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di daerah utara pula (sekitar pantai utara Jawa) banyak ditemukan komunitas para pedagang beragama Islam. Ini akan menjadi sangat berbahaya apabila mereka melarikan diri ke wilayah pesisir utara. Satusatunya jalan melarikan diri tentunya ke wilayah barat dan timur (dalam hal ini sebagian bangsawan Majapahit melarikan diri ke Bali), sedangkan di barat wilayah Gunung Kidul cocok untuk melarikan diri. Daerah ini pula secara politis tidak dikuasai oleh Kerajaan Islam Demak, setidaknya pengaruh kekuasaannya tidak sampai ke pesisir pantai selatan. Apa hubungannya antara keturunan Majapahit dengan Kehadiran Brawijaya V? Sebagai seorang Raja yang diyakini masih keturunan dewa, tentunya kehadirannya sangat dinantikan. Bisa juga Raja masih terikat secara emosional dengan rakyatnya. Dengan begitu di saat rakyatnya melarikan diri ke suatu wilayah, sosok kewibawaan sang Raja terbawa di tempat pelarian. Hal ini dilakukan sebagai wujud legitimasi perlindungan sang Raja terhadap rakyatnya di tempat pelarian. Maka untuk lebih mempererat senasib sepenanggungan, sosok sang Raja ini dimunculkan selama proses pelarian. Agar ada kesan bahwa kesetiaan sang Raja terhadap rakyatnya sampai pada ujung bumi. Dengan minimnya bukti konkret, masyarakat secara luas kiranya bisa memberi persepsi yang berbeda. Dengan adanya bangunan keagamaan dan kepercayaan di pantai ini, bolehlah kita memberi

penghargaan yang luar biasa. Sebab ada hal yang bisa dipelajari dari sebuah multikulturalisme. Yaitu keterbukaan akan sebuah perbedaan serta menghormati. Namun apapun itu, kiranya kita harus menghargai cerita yang berkembang sebagai wujud penghormatan akan nilai-nilai religiusitas di tengah masyarakat yang majemuk.

GUNUNG LAWU ( Pertapaan Raja Brawijaya V )


Raja majapahit Terakhir Terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Lawu memiliki panorama alam yang indah. Banyak wisatawan minat khusus yang mendakinya. Gunung ini pun kerap disambangi para peziarah karena menyimpan obyek-obyek sakral bersejarah. Di gunung berketinggian 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini memang menyimpan berbagai peninggalan sejarah kerajaan Majapahit seperti, Candi Ceto, Candi Sukuh yang Tempat sakral di sekitar Gunung Lawu terutama petilasan-petilasan Raden Brawijaya seperti Pertapaan Raden Brawijaya, dan Cengkup (rumah kecil yang ditengah-tengahnya terdapat kuburan). Konon nisan yang ada di Cengkup itu adalah Petilasan Prabu Brawijaya, bekas Raja Majapahit yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Lawu. Cangkup dan tempat pertapaan Raden Brawijaya ini terletak di Hargo Dalem, puncak tertinggi kedua Gunung Lawmerupakan peninggalan Raden Brawijaya selama dalam pelariannya. Gunung Lawu adalah gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar terutama penduduk yang tinggal di kaki gunung. Tidak heran bila pada bulan-bulan tertenu seperti bulan Syuro penanggalan Jawa, gunung ini ramai didatangi oleh para peziarah terutama yang datang dari daerah sekitar kaki Gunung Lawu seperti daerah Tawamangun, Karanganyar, Semarang, Madiun, Nganjuk, dan sebagainya.Mereka sengaja datang dari jauh dengan maksud terutama meminta keselamatan dan serta kesejahteraan hidup di dunia. Lokasi yang dikunjungi para peziarah terutama tempat yang dianggap keramat seperti petilasan Raden Brawijaya yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Sunan Lawu. Selain itu Sendang Derajat, Telaga Kuning, dsb. Peninggalan- peninggalan besejarah itu menjadi salah satu saksi sejarah

bahwa bangsa kita sejak dahulu berbudaya tinggi oleh karenanya patut dilestarikan karena memberi nilai lebih pada gunung ini. Di puncak Gunung Lawu ini, menurut cerita yang berkembang di masyarakat yang tinggal di kaki, bahwa Raden Brawijaya lari ke Gunung lawu untuk menghindari kejaran pasukan Demak yang dipimpin oleh putranya yang bernama Raden Patah, serta dari kejaran pasukan Adipati Cepu yang menaruh dendam lama kepada Raden Brawijaya. Konon Raden Brawijaya meninggal di puncak Gunung Lawu ini dibuktikan dengan adanya Cengkup serta petilasan-petilasan nya di puncak Gunung Hargo Dalem dengan ketinggian 3.148 . Menurut kisah, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, muncul kerajaan Islam yang berkembang cukup pesat yaitu Kerajaan Demak yang dipimpin oleh seorang raja bernama Raden Patah, masih merupakan putra Raden Brawijaya. Beliau menjadikan Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar di Jawa. Pada saat itu Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya yaitu Raden Brawijaya memeluk agama Islam, akan tetapi Raden Brawijaya menolak ajakan anaknya untuk memeluk ajaran yang dianut Raden Patah. Raden Brawijaya tidak ingin berperang dengan anaknya sendiri dan kemudian Raden Brawijaya melarikan diri. Penolakan ayahnya untuk memeluk agama Islam membuat Raden Brawijaya terus dikejar-kejar oleh pasukan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah. Untuk menghindari kejaran pasukan Demak, Raden Brawijaya melarikan diri ke daerah Karanganyar. Disini Raden Brawijaya sempat mendirikan sebuah candi yang diberi nama Candi Sukuh yang terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo Karanganyar. Tetapi belum juga merampungkan candinya, Raden Brawijaya keburu ketahuan oleh pasukan Demak, pasukan Demak dan pengikut-pengikut Raden Patah terus mengejarnya sehingga Raden Brawijaya harus meninggalkan Karanganyar dan meninggalkan sebuah candi yang belum rampung. Kemudian Raden Brawijaya melarikan diri menuju kearah timur dari Candi Sukuh. Di tempat persembunyiannya, Raden Brawijaya sempat pula mcndirikan sebuah Candi, tetapi sayang tempat persembunyian Raden Brawijaya akhirnya diketahui oleh Pasukan Demak. Raden Brawijaya melarikan diri lagi dengan meninggalkan sebuah candi yang sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Candi Ceto. karena merasa dirinya telah aman dari kejaran Pasukan Demak, Raden Brawijaya sejenak beristirahat akan tetapi malapetaka selanjutnya datang lagi kali ini pengejaran bukan dilakukan oleh Pasukan Demak tetapi dilakukan oleh pasukan Cepu yang mendengar bahwa Raden Brawijaya yang merupakan Raja Majapahit bermusuhan dengan kerajaan Cepu masuk wilayahnya sehingga dendam lama pun timbul.

Pasukan Cepu yang dipimpin oleh Adipati Cepu bermaksud menangkap Raden Brawijaya hidup atau mati. Kali ini Raden Brawijaya lari ke arah puncak Gunung Lawu menghindari kejaran Pasukan Cepu tapi tak satu pun dari pasukan Cepu yang berhasil menangkap Raden Brawijava yang lari ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara. Didalam persembunyian di Puncak Gunung Lawu, Raden Brawijaya merasa kesal dengan ulah Pasukan Cepu lalu ia mengeluarkan sumpatan kepada Adipati Cepu yang konon isinya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu. Dan katanya bahwa sumpatan dari Raden Brawijaya ini sampai sekarang tuahnya masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu terutama keturunan Adipati Cepu yang ingin mendaki ke Gunung Lawu, mereka masih merasa takut jika melanggarnya. Sendang Panguripan & Drajat Tempat yang sering didatangi oleh para peziarah selain tempat yang ada di puncak Hargo Dalem dan Hargo Dumilah adalah Sendang Panguripan dan Sendang Drajat. Konon di Sendang Panguripan memiliki kekuatan supernatural. Di Sendang Panguripan ini sumber airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah untuk mencari kehidupan. Mereka percaya sumber air yang ada di sana, airnya pernah dimanfaatkan oleh Raden Brawijaya ketika mendaki Gunung Lawu dan sampai sekarang masyarakat percaya bahwa air yang digunakan oleh Raden Brawijaya di Sendang Panguripan sangat berkhasiat. Sama seperti Sendang Panguripan di Sendang Drajat pun airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah. Konon airnya memiliki kekuatan supernatural untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Disamping kaya dengan sejarah dan misteri Kerajaan Majapahit, Gunung Lawu juga kaya akan berbagai obyek wisata alam seperti objek wisata alam Tawangmangu dengan air terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan dengan keindahan danaunya yang begitu memesona, Candi Ceto dan Candi Sukuh yang merupakan Candi yang dibuat oleh Raden Brawijaya selama dalam pelarian, serta tidak kalah menariknya adalah wisata alam mendaki Gunung Lawu.Berbagai fasilitas menuju Puncak Gunung Lawu tersedia dengan baik. Untuk mendaki Gunung Lawu terdapat beberapa rute Pendakian seperti Cemoro kandang, Cemoro Sewu, Ceto, dan Jogorogo yang memasuki wilayah Ngawi Jawa Timur. Tetapi disarankan untuk melalui jalur Cemoro Kandang. Kalau melalui Cemoro Kandang waktu yang dibutuhkan sekitar 9 sampai 10 jam perjalanan pendakian, dan untuk turun dibutuhkan waktu sekitar 5 sampai 6 jam.

Jika melewati Cemoro Kandang terlebih dahulu kita akan melewati beberapa rute pendakian seperti Pos pendakian Cemoro Kandang, Taman Sari Bawah, Taman Sari Atas, Parang Gupito, Jurang Pangarif-ngarif, Ondorante, Cokro Srengenge yang termasuk Pos IV serta Pos terakhir yaitu Pos V. Di sini terdapat pertigaan, kalau berbelok ke kanan kita akan menuju Puncak Hargo Dumilah yang merupakan puncak tertinggi dengan ketinggian 3.265 meter dpl, dan jika lurus kita akan menuju Puncak Hargo Dalem 3.148 meter dpl. Dari puncak Gunung Lawu kita akan disuguhi peristiwa alam matahari terbit yang indah. Bila memandang kearah Barat akan tampak terlihat puncak Gunung Merapi, Merbabu. Dan kalau melihat ke arah Timur akan terlihat keindahan Puncak Gunung Kelud, Butak, dan Gunung Wilis yang membentuk lukisan alam menawan. Jika ingin mendaki menuju Puncak Gunung Lawu tidak terlalu ramai sebaiknya pada hari Senin sampai Jumat. Seni Patung Peninggalan Majapahit Beberapa jenis burung bisa ditemui di kawasan Gunung Lawu, sepcrti Burung Anis, Perjak, Kaca Mata, dan Burung Kerak. Tumbuhannya antara lain Cemara gunung, Bunga Eidelweiss, Cantigi, pohon karet hutan, Beringin, Rustania, dan Puspa. Bunga Eidelweiss tumbuh subur terutama di lembah dan lereng Gunung Lawu, mulai dari jalur antara Pos IV dan Pos V. Sampai sekarang ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup di kawasan Gunung Lawu masih terjaga dengan baik karena masyarakat yang tinggal di kaki Gunung merasa takut jika hutannya dirusak, maka penguasa Lawu yakni Sunan Lawu yang tak lain adalah Sang Prabu Brawijaya, akan marah besar. Warga yang berdiam di sekitar Gunung Lawu dominan pelakon utuh ajaran Kejawen . Mereka amat menyucikan candi di kawasan berketinggian 1.400 meter dari atas permukaan laut ini. Tidak sembarang warga diizinkan masuk, lebih-lebih yang sedang datang bulan. Masyarakat tak hendak mengabaikan peringatan yang ada. Jika dilanggar, tentu akan ada akibat kurang baik bisa dialami.

Prabu Brawijaya V dan Keturunannya (termasuk kepada para Bupati Sukapura)


Asepta Berdirinya kerajaan kecil di tatar Pasundan yg tlh menurunkan para Bupati di tiga tempat ini tidak terlepas dari runtuhnya kerajaan yg besar di Pulau Jawa (Majapahit). Saat kerajaan Majapahit runtuh, Majapahit dipimpin oleh Prabu Brawijaya V. Pada masa pemerintahannya sering terjadi pemberontakan dan kekacauan yg ingin menjatuhkan kekuasaannya. Keadaan Majapahit pun rawan

disintegrasi karena para pangeran dan elit politik saling siku, saling curiga dan saling menjatuhkan . hehe ingat masa sekarang????

jadi

Ditengah-tengah kancah politik yg tdk menentu itu membuat rakyat bingung untuk mencari panutan dan penuntun hidup. Pada saat situasi yg genting itulah Islam dtg membawa dan menawarkan konsep jelas lagi nyata untuk mencapai kehidupan yg hakiki dan universal dikalangan umat. Disaat itu pula Rakyatpun datang untuk memeluknya. Prabu Brawijaya V naik takhta dari tahun 1468 1478. Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabumi ini adalah anak bungsu Bhre Pamotan alias Sang Sinagara atau Dyah Wijayakusumah atau lbh dikenal dgn nama Prabu Sri Rajasawardhana atau Prabu Brawijaya II yg memerintah Raja Majapahit dari thn 1451 1453. Prabu Brawijaya menikahi Putri dari Campa yg bernama Ratu Handarawati atau Ratu Andarwati atau Dewi Murtaningrum dan dari pernikahan tsb dikaruniai tiga orang anak: 1. Nyi Raden Andayaningrat alias Putri Ratna Pembayun atau lbh dikenal dgn nama Rd. Ayu Ajeng Pembayun atau Ratu Pembayun alias Ratu Sulung 2. Raden Lembu Petang alias Bondan Kejawan yg menjadi Adipati ing Madura 3. Raden Gugur atau lbh dikenal dgn nama Raden Patah yg menjadi Sultan Demak I dgn gelar Sultan Syah Alam Akbar I (Bratadingrat, 1990) Ket : 1. Nyi Raden Andayaningrat alias Putri Ratna Pembayun atau lbh dikenal dgn nama Rd. Ayu Ajeng Pembayun atau Ratu Pembayun alias Ratu Sulung bersuami Adipati Jayadiningrat atau Adipati Andayaningrat atau Prabu Handayaningrat atau Ki Ageng Pengging II mempunyai putra : Ki Ageng Penging III atau Bupati Pengging atau yg lbh dkenal dgn julukan Kebo Kenongo mempunyai putra : Jaka Tingkir atau Mas Karebet yg menjadi Sultan di Pajang (1568-dgn nama Sultan Hadiwijaya atau Adiwijaya dan menikah dgn Putrinya Raden Trenggono ( Sultan Demak III) yg bernama Putri Ayu Pembayun atau Putri Ratumas Cempa dan mempunyai putera yg bernama Pangeran Benawa/Benowo mempunyai putra:. Pangeran Kusumahdiningrat yg kelak menurunkan keturunnya jadi Bupati-Bupati di Sukapura termasuk kepada kita yg sedang baca ini. Ehm! Ehm! Geuningan urang teh nyak!!! Dan menurut keterangan lain (dari Babad Sukapura) selain Pangeran Kusumahdiningrat Cucu Jaka Tingkir. Pangeran Kusumahdingrat disebut putera Sunan Tegal Arum, Panembahan Mataram atau Sunan Amangkurat I (1645 1667). Sedangkan menurut R. Joedawikarta, dalam Sejarah Soekapoera , Parakamuntjang sareng Gadjah , Kusumahdiningrat itu putera Sultan Agung Mataram (1613 1645). Sementara dalm buku Pangeling-ngeling 300 Taoen ngadegna Kaboepaten Soekapoera dikatakan bahwa Pangeran Kusumahdiningrat itu adalah putera Kangjeng Sunan Seda Krapyak alias Mas Jolang (Sunan Mataram ke II, 1601 -1613). Mnrt hemat kami ttg ini perlu mendapat penelitian lbh lanjut lg gimana para wargi sadaya?? 2. Raden Lembu Petang alias Bondan Kejawan beristri Rd.A. Nawangsih mempunyai putra Ki Taruh mempunyai putra ; Ki Getas Pandawa mempunyai putra ; Ki Ageng Selo (Abdurahman Selo) mempunyai putra ; Kyai Ageng Genis yg lbh dikenal dgn nama Enis mempunyai putra ; Kyai Ageng Pamanahan mempunyai putra ; Sutawijaya yg menjadi Senopati th. 1555 1601 mempunyai putra ; Sunan Seda Krapyak Pangeran Jolang yg menjadi Sultan Mataram ke I th. 1601 1613 mempunyai putra ; Sultan Agung Hanyokrowati atau yg org Jawa terkenal dgn nama Hanyokrokusumo atau Hanyokrowati yg menjadi Raja Mataram ke II yg sangat terkenal, yg memerintah dari th. 1613 1645. 3. Raden Patah yg menjadi Sultan Demak I mempunyai putra ; Raden Trenggono yg menjadi Sultan Demak III th. 1521 1546 dan ada putrinya yg menikah dgn Jaka Tingkir.... NB : Ir. Soekarno, Gus Dur dan Soesilo Bambang Yudhoyono, di buku Biografi atau Otobiografinya adalah turunan Raden Patah (Sultan Demak).

Karena di Majapahit terjadi pemberontakan dan perebutan kekuasaan, maka Pangeran Kusumahdiningrat meninggalkan Majapahit dan mengasingkan diri ke tatar Pasundan dgn diiringi oleh seorg pengiring yg setia yaitu Arya Damar. Pangeran Kusumah Diningrat menikah dgn seorang gadis Pasundan dan dianugerahi dua orang putra yaitu : A. Nyi Raden Agung B. Raden Wiraha yg kelak menurunkan di lima wilayah ( Manangel, Cibeuti, Cihaurbeuti, Dawagung, Cibuni Agung) Pangeran Kusumahdiningrat wafat dan dimakamkan di Cikunten Singaparna di Kampung Badakpaeh sdgkan pengiring setianya (Arya Damar) dimakamkan di Pananjung Cibuni Agung

Mimpi yg ditransfer Pada suatu malam Nyi Raden Agung bermimpi menunggangi seekor Gajah dan dipayungi dgn kebesaran. Nyi Raden Agung adalah seorg yg gemar tapa serta senang mempelajari ilmu kesaktian maka mimpi tsb dpt dengan mudah ditafsirkan arti dari mimpinya itu yakni beliau dan keturunannya akan menjadi seorang pembesar yg turun temurun. Krn beliau seorang wanita maka mimpi dan artinya dtransfer pd adik yg tercinta yaitu Raden Wiraha dgn beberapa syarat yg diajukannya kelak jika adiknya tlh menjadi seorang pembesar. Persyaratannya itu adalah : Keturunan Nyi Raden Agung tidak boleh dipekerjakan menjadi : a. Seorang Penyabit Rumput b. Menjadi Pengasuh c. Menjadi pembantu Rumah Tangga Jika ketiga syarat itu dilanggar maka baik yg bekerja atau yg dipekerjakan akan mendapat celaka. Setelah persyaratannya itu dipenuhi maka Nyi Raden Agung mentransfer mimpinya pada adiknya yg tercinta. Nyi Raden Agung menikah dgn Galuh Imbanegara, anak keturunannya berada di Sukakerta (Skrg Sukaraja) di Kampung Cipinaha dan di Maniis. Sementara adiknya Raden Wiraha menikah dgn seorang anak dari dalem Sukakerta Brajayudha dan memiliki 5 org putra yaitu 1. Raden Wirawangsa 2. Raden Astrawangsa 3. Raden Pranawangsa 4. Raden Nakahita 5. Nyi raden Bagus Kholifah Raden Wirawangsa dan saudara-saudaranya hidup sezaman dgn Sultan Agung Mataram II Sultan Agung Hanyokrowati.

Cikal Bakal Sukapura Karena kekuasaan Sultan Agung Mataram II begitu luas sepertihalnya masa keemasan Majapahit tempo dulu. Maka seluruh Pulau Jawa pun ada dibawah kendali dan perintahnya. Hingga pada suatu ketika datang perintah dari Sultan Agung kepada Bupati di tatar Pasundan yg pusat pemerintahannya berada di Sumedang, agar mempersiapkan pasukan untuk menyerang Sumenep Madura. Maka Bupati Sumedang beserta pasukannya berangkat untuk menyerang Sumenep di Madura. Namun tugas yg diemban oleh Bupati Sumedang untuk menaklukan Sumenep Madura gagal selanjutnya Bupati Sumedang dibuang kedaerah terpencil yaitu Gajahmati.

Sultan Agung lalu menitahkan pada Dipati Ukur untuk menggantikan kedudukan Pangeran Sumedang menjabat sebagai Bupati. Setelah Dipati Ukur menjabat sbg Bupati di Tatar Pasundan yg pusat pemerintahannya di Sumedang lalu Sultan Agung menugaskan Dipati Ukur untuk bersama-sama pasukan Banureksa menyerang VOC yg berpusat di Jayakarta. Pada tahun 1628 terjadi penyerangan pertama pasukan gabungan menyerang Belanda di Jayakarta. Dari darat dipimpin oleh Dipati Ukur sementara dari lautan dipegang oleh pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dibawah komando Banureksa, Pasukan gabungan itu bergerak bagaikan air bah. Tugas yg diemban Dipati Ukur untuk mengusir Belanda dari tanah Jawa gagal selanjutnya Dipati Ukur melarikan diri bersama tiga orang Wadana yaitu Wadana Saunggantung, Wadana Taraju dan Wadana Malangbong. Mereka menghindar dari hukuman Sultan Agung sehingga kursi kepemimpinan di Sumedang kosong selama 9 Bulan. Untuk menghindari kekosongan kepemimpinan tsb maka Sultan Agung mengangkat Raden Wirawangsa menjabat sbg Bupati. Dipati Ukur dan ketiga Wedana yg melarikan diri dapat ditangkap dan ditaklukan oleh Raden Wirawangsa yg dibantu oleh tiga orang menak yakni: 1. Raden Astramanggala dari Cihaurbeuti 2. Raden Ewingsarana dari Indihiang 3. Raden somahita dari Sukakerta. Karena jasanya berhasil menaklukan Dipati Ukur dan tiga orang Wadana maka Raden Wirawangsa dianugerahi gelar kehormatan oleh Sultan Agung yakni Raden Tumenggung Wiradadaha yg memerintah 12 Kawedanaan yaitu 1. Sukakerta 7. Bojong Eureun 2. Kalapa Genep 8. Suci (Garut bagian Timur) 3. Linggasari 9. Panembong (Garut) 4. Parakan Tilu (Pameungpeuk) 10. Cisalak (Subang bagian Selatan) 5. Parung 11. Nagara (kandang wesi / Batuwangi) 6. Karang 12. Cidamar (Cidaun / Sindangbarang) Setelah Raden Wirangsa menerima gelar kehormatan dan pengukuhan jabatan maka beliau mengalihkan pusat pemerintahannya dari Sumedang ke Sukapura. Dari beliaulah cikal bakalnya Sukapura sampai menjadi Tasikmalaya sekarang.

Silsilah Kertabumi / Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) Tunggul Ametung Maesa Wong Ateleng Maesa Cempaka / Ratu Angabhaya / Batara Narasinga Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II Bhre Pajang I Wikramawardana / Hyang Wisesa / R Cagaksali Kertawijaya / Bhre Tumapel III Rajasawardana / Brawijaya II Lembu Amisani / R. Putro / R. Purwawisesa Bhre Tunjung / Pandanalas / R. Siwoyo o Kertabumi / Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya y Ratu Pembayun y R Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I y R Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub o Retno Bukasri o Retno Mundri o Retno Palupi o R Pamekas / Kudanorowongso / Pangeran Kanduruhan

Anda mungkin juga menyukai