Anda di halaman 1dari 3

Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); lahir

di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898 – meninggal di Bago, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, 10


September 1948 pada umur 50 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia[1] dan
gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia
menjabat Bupati di Kabupaten Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah
menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho
Kan Bojonegoro (Residen) pada tahun 1943.
RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir
Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus
pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden
Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap
saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan
pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum
rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau
keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di
tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas
berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah
penghabisan.
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa
Timur melawan Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga
minggu pertempuran terjadi di mana Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo
termasuk golongan yang terakhir meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun
pemerintahan darurat di Mojokerto.
Tanggal 9 November 1948, mobil RM Suryo dan dua orang polisi dicegat di Walikukun,
Widodaren, Ngawi, oleh pasukan pro-PKI, dan jasad mereka ditemukan terbunuh sesudahnya.[2]
R. M. T. Soerjo dimakamkan di makam Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan. Sebuah
monumen yang dibangun untuk mengenang jasa-jasanya terletak di
Kecamatan Kedunggalar kabupaten Ngawi.

Usai dilantik secara resmi, Gubernur Soerjo langsung berhadapan dengan situasi
yang genting setelah terbunuhnya Jenderal Mallaby pada 31 Oktober 1945.

Hal itu menyulut kemarahan tentara inggris yang kemudian mengeluarkan


ultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata sampai batas waktu 10
November 1945. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, tentara Inggris mengancam akan
membumihanguskan Surabaya.
Menghadapi situasi seperti itu, Gubernur Soerjo berusaha untuk tetap berkepala
dingin. Dia kemudian mengadakan rapat dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
dan pada 9 November 1945, malam hari sekitar pukul 23.00 WIB, Gubernur Soerjo
berpidato menggunakan siaran radio untuk menggugah semangat arek-arek
Surabaya.
Pidato yang sama juga digelorakan Bung Tomo, hingga keesokan harinya pecahlah
pertempuran 10 November 1945. Meski tidak seimbang karena sebagian besar
rakyat hanya bersenjatakan bambu runcing, tetapi pertempuran yang kemudian
dikenal dengan Pertempuran Surabaya mampu memukul mundur kekuatan Inggris.

Hal itu membuat tentara Inggris semakin geram dan terus melancarkan serangan ke
Surabaya. Gubernur Soerjo terpaksa harus berpindah tempat ke Sepanjang,
Sidoarjo, kemudian ke Mojokerto, Kediri, dan Malang.
Tahun 1947, tugas Gubernur Soerjo digantikan oleh Dr Moerdjani. Gubernur Soerjo
kemudian mendapat tugas sebagai Wakil Ketua DPA di Yogyakarta yang waktu itu
menjadi ibu kota.

Tanggal 10 November 1948, Gubernur Soerjo pergi ke Madiun untuk menghadiri


peringatan 40 hari meninggalnya sang adik, RM Sarjuno. Sarjuno menjadi korban
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.

Tetapi, saat melintas di desa Bago, Kedunggalar, Ngawi, dia dicegat oleh
gerombolan PKI di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yusuf.
Bersama Kombes Pol M Doerjat dan Kompol Soeroko, dia ditangkap dan dibawa ke
Hutan Sonde untuk dibunuh dengan sangat kejam.

Ketiganya dibunuh di dekat sungat Klakah. Mayat mereka dikubur secara


sembarangan.

Jenazah Gubernur Soerjo ditemukan empat hari setelah pembunuhan. Jenazah itu
kemudian dimakamkan di Sasono Mulyo yang terletak di Sawahan, Kabupaten
Magetan.

Pemerintah lalu menggelari Gubernur Soerjo sebagai Pahlawan Nasional Pembela


Kemerdekaan. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 294 tanggal 17 Nopember 1
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); lahir di
Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898 – meninggal di Bago, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur,
10 September 1948 pada umur 50 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia[1] dan
gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat
Bupati di Kabupaten Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden
Mas Arja Hadiwinoto. Setelah menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan
Bojonegoro (Residen) pada tahun 1943.

RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir
Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus
pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden
Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.

Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi.
Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan
pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum
rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau
keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.

Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di


tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas
berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah
penghabisan.

Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya
yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana
Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir
meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.

Tanggal 9 November 1948, mobil RM Suryo dan dua orang polisi dicegat di Walikukun,
Widodaren, Ngawi, oleh pasukan pro-PKI, dan jasad mereka ditemukan terbunuh
sesudahnya.[2]

R. M. T. Soerjo dimakamkan di makam Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan.


Sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang jasa-jasanya terletak di Kecamatan
Kedunggalar kabupaten Ngawi

Anda mungkin juga menyukai