Usai dilantik secara resmi, Gubernur Soerjo langsung berhadapan dengan situasi
yang genting setelah terbunuhnya Jenderal Mallaby pada 31 Oktober 1945.
Hal itu membuat tentara Inggris semakin geram dan terus melancarkan serangan ke
Surabaya. Gubernur Soerjo terpaksa harus berpindah tempat ke Sepanjang,
Sidoarjo, kemudian ke Mojokerto, Kediri, dan Malang.
Tahun 1947, tugas Gubernur Soerjo digantikan oleh Dr Moerdjani. Gubernur Soerjo
kemudian mendapat tugas sebagai Wakil Ketua DPA di Yogyakarta yang waktu itu
menjadi ibu kota.
Tetapi, saat melintas di desa Bago, Kedunggalar, Ngawi, dia dicegat oleh
gerombolan PKI di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yusuf.
Bersama Kombes Pol M Doerjat dan Kompol Soeroko, dia ditangkap dan dibawa ke
Hutan Sonde untuk dibunuh dengan sangat kejam.
Jenazah Gubernur Soerjo ditemukan empat hari setelah pembunuhan. Jenazah itu
kemudian dimakamkan di Sasono Mulyo yang terletak di Sawahan, Kabupaten
Magetan.
RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir
Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus
pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden
Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi.
Tetap saja terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan
pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum
rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau
keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan Inggris di Surabaya
yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi di mana
Surabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir
meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.
Tanggal 9 November 1948, mobil RM Suryo dan dua orang polisi dicegat di Walikukun,
Widodaren, Ngawi, oleh pasukan pro-PKI, dan jasad mereka ditemukan terbunuh
sesudahnya.[2]