Anda di halaman 1dari 121

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KARTASURA BERGOLAK
Studi tentang Konflik Internal
Masa Kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749)

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Sejarah pada
Program Studi Sejarah

Oleh:
Dyah Indrawati
NIM. 104314007

PROGRAM STUDI SEJARAH


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015

i
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

iii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PERSEMBAHAN

Skripsi “Kartasura Bergolak: Studi tentang Konflik Internal Masa

Kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749)” ini penulis persembahkan untuk

Ayahanda Moelyono dan Ibunda tercinta, Suyati Kasanpuro (1952-2015); juga

untuk almamater Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata

Dharma.

iv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

MOTTO:

“Politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.”

Laswell, Harold D. 1972. Politics, Who gets What, When, How. New York: World
Publishing Co.

v
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan


karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain.

Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian
dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang
disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka.

Yogyakarta, 22 Juli 2015

Penulis

Dyah Indrawati

vi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN


PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata


Dharma:

Nama : Dyah Indrawati

Nomor mahasiswa : 104314007

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada


Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KARTASURA BERGOLAK: STUDI TENTANG KONFLIK INTERNAL


MASA KEPEMIMPINAN PAKUBUWANA II (1726-1749)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan ke dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 9 September 2015

Yang menyatakan

(Dyah Indrawati)

vii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR

Skripsi “Kartasura Bergolak: Studi tentang Konflik Internal Masa

Kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749)” adalah sebuah upaya untuk

memahami historiografi tradisional yakni babad.

Kerja penelitian dan penulisan skripsi ini dipandang penulis tidak mudah.

Konflik personal selalu menjadi beban tersendiri dalam kerja menulis.

Kedisiplinan dan kematangan emosi adalah salah satu kunci skripsi ini akhirnya

dapat diselesaikan dan telah diterima oleh Panitia Penguji pada Program Studi

Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma pada bulan Juni 2015.

Sedikit terlambat, tapi pada akhirnya berhasil dilalui.

Skripsi ini diawali oleh minat penulis terhadap biografi Pakubuwana II.

Pada peristiwa Geger Pacinan (1740-1743), Pakubuwana II melarikan diri ke

timur hingga ke kota kelahiran penulis. Ada beberapa jejak yang dihubungkan

dengan Pakubuwana II di kota tersebut: Pesantren Tegalsari dan Petilasan di Kaki

Gunung Bhayangkaki, Sawoo. Didorong oleh keingintahuan lebih akan sepak

terjang Pakubuwana II itulah, penelitian ini kemudian dipilih oleh penulis. Penulis

menyadari bahwa kajian ini baru tahap awal dari sebuah proses historiografi.

Masih terlalu dini apabila mengatakannya lengkap dan sempurna. Kritik dan saran

sangat terbuka, demi perbaikan tulisan ini di masa mendatang.

Proses studi, penelitian dan penulisan skripsi ini berhutang budi pada:

Tuhan, Penguasa Semesta Raya; Ayahanda Moelyono dan Ibunda Suyati

Kasanpuro (almarhumah): atas kebesaran hati kedua orang tuaku yang tetap

mengizinkan anaknya untuk tak henti belajar. Edy Susilo dan Yeni Puspitasari:

viii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

saudara dan sahabatku. Arahmaiani, Dr. Nasir Tamara, Danarto: tiga lilin dalam

hidupku. Tanpa bersentuhan dengan kalian, mungkin sulit kutemui cahaya.

Ucapan terima kasih yang terbesar adalah bagi para dosen: Dr. Gregorius

Budi Subanar, S.J.: yang berkenan membimbing saya dalam proses penulisan

skripsi ini hingga selesai, Drs. Silverio R.L. A. Sampurno, Dr. H. Purwanta, M.A.,

Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., Drs. Manu

Joyoatmojo, Dr. Lucia Juningsih, M. Hum., Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, S.J.,

dan Dr. Anton Haryono, M. Hum: terima kasih untuk pengetahuan yang telah

diberikan.

Tak lupa persahabatan dengan teman-teman Angkatan 2010, malaikat-

malaikatku: Magda, Desy Liman, Marni Lotu, Erick Tasen, Rangga, Popon-

Nareswari dan Wowok; teman-teman Global Leadership Program Sophia

University Japan 2012: short journey but brought big think for the future; dan

teman-teman di PKM-Penelitian Mendut-Sojiwan 2014: Deaz, Lia, Mili, dan

Irawan: menjadi peneliti adalah kerja seorang petualang.

Sebagian kebahagiaan dan pengetahuan itu juga datang dari teman-teman

di Bol-Brutu (Gerombolan Pemburu Batu) dan Sakala Syndicate. Para Guru: Prof.

Rusyad Adi Suriyanto, Prof. Daud Tanudirdjo, Dr. Harry Widianto, D.E.A. dan

perjumpaan yang unik dengan inspirator George Junus Aditjondro. Juga untuk

Jeng Bidadaries: Mbak Ida Fitri, Miranda Harlan, dan Des Cristy; dan Mas

Apriadi “Charlie” Ujiarso. Untuk spiritku agar tak pernah henti belajar hingga

maut menjemput: Muhamad Daffa Abrizzam, Yasmin Raissa Ramadhani,

Mertananta Atmaja, Mareta Cyntia Putri, Dik Agri & Galuh.

ix
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Terima kasih penulis haturkan untuk para pustakawan di Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma yang memberikan kebebasan bagi saya menghuni

salah satu pojoknya: ruang Pustaka Sartono, Pustaka Artati dan Pusdok Verhaar

adalah pertemuan dengan tiga pemikir besar dari masa lalu.

Bagi saya, karya ini baru langkah awal dalam karir kepenulisan sejarah.

Semoga di masa mendatang, saya mampu melakukan penelitian sejarah yang

lebih baik dan menghasilkan historiografi yang berguna untuk khasanah sejarah

Nusantara.

Yogyakarta, 22 Juli 2015

Salam,

Dyah Indrawati

x
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... xi
ABSTRAK .................................................................................................. xiii
ABSTRACT ................................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah .............................................. 12
C. Perumusan Masalah ......................................................................... 13
D. Tujuan Penelitian ............................................................................ 13
E. Manfaat Penelitian ........................................................................... 14
F. Kajian Pustaka ................................................................................. 14
G. Landasan Teori ................................................................................ 19
H. Metode Penelitian ........................................................................... 28
I. Sistematika Penulisan ..................................................................... 35
BAB II SITUASI MATARAM PADA MASA PAKUBUWANA II ............ 37
A. Kartasura Sebelum Tahun 1726 ...................................................... 37
B. Kartasura pada Periode 1726-1749 ................................................. 44
BAB III PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK DAN KONFLIK INTERNAL DI
SEPUTAR PAKUBUWANA II: ANTARA KEBIJAKAN DAN SIKAP
INKONSISTEN ........................................................................................... 56

xi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB IV DAMPAK KONFLIK INTERNAL PADA MASA PAKUBUWANA


II ....... ........................................................................................................... 78
A. Legitimasi yang Memudar ................................................................ 78
B. Hilangnya Kedaulatan Kartasura ...................................................... 81
C. Akhir Babak Kartasura ..................................................................... 82
1. Dari Kartasura ke Surakarta ........................................................ 82
2. Penyerahan Mataram Secara Total ke VOC (11 Desember 1749). 85
3. Perang Perebutan Takhta Jawa Ketiga (1746-1757) ..................... 88
4. Palihan Negari (13 Februari 1755) melalui Perjanjian Giyanti .... 90
5. Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757) ............................................ 91
BAB V KESIMPULAN ............................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 99
LAMPIRAN ................................................................................................ 103

xii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK

Dyah Indrawati, Kartasura Bergolak: Studi tentang Konflik Internal Masa


Kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749). Skripsi. Yogyakarta: Program Studi
Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2015.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama,


menentukan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya konflik internal di
Kartasura pada masa Pakubuwana II (1726-1749). Kedua, mengetahui kebijakan
Pakubuwana II dalam membendung meluasnya konflik internal di Kartasura.
Ketiga, memahami dampak yang ditimbulkan dari gejolak konflik internal di
Kartasura.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan menggunakan Babad


Kartasura II sebagai sumber primer. Analisis dilakukan dengan menggunakan
metode heuristik, kritik, analisis sumber hingga penulisan. Studi ini menggunakan
pendekatan antropologi untuk memahami penyebab munculnya konflik internal di
Kartasura. Konsep politik patrimonial dalam monarki menjadi landasan teoritis
untuk memperoleh gambaran dinamika politik pada masa tersebut. Hal itu akan
dipadukan dengan pemahaman tentang konsep ‘magis-religius’ sebagai salah satu
konsep yang memiliki peran untuk memperkokoh kekuasaan raja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem politik patrimonial monarki


tanpa aturan suksesi yang jelas akan selalu memunculkan konflik internal. Dalam
prakteknya, konflik internal di Kartasura tidak hanya dipicu oleh problem suksesi
melainkan ada beberapa gejala lain yang terjadi seperti: meregangnya hubungan
negara dan mancanagara; problem distribusi kekuasaan: wewenang yang
melampaui kekuasaan; hingga makar. Demi menggalang simpati dalam
menghadapi kecenderungan-kecenderungan tersebut, yang dipandang mampu
merongrong kekuasaannya, Susuhunan Pakubuwana II mengedepankan politik
silsilah atau politik perkawinan, politik gelar hingga politik sayembara dalam
beberapa kebijakannya. Ironisnya, problem keagungbinataraan diduga juga
menjadi alasan dari kegagalan kepemimpinan Susuhunan Pakubuwana II (1726-
1749) yang tercermin dari krisis kepercayaan diri susuhunan yang memuncak
pada kebijakan 11 Desember 1749: penyerahan kedaulatan Mataram atas VOC.
Sejak ini VOC memberlakukan politik divide et impera secara de facto atas
Kartasura.

Kata kunci: Pakubuwana II, Kartasura, konflik internal

xiii
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT

Dyah Indrawati, Turmoil in Kartasura: Study of Internal Conflict of Pakubuwana


II Period (1726-1749). Thesis. Yogyakarta: Department of History, Faculty of
Letters, Sanata Dharma University, 2015.

This study aims to address three issues. First, is to find out the factors of internal
conflicts emergence in the Kartasura during Pakubuwana II (1726-1749). Second,
is to know the policies of Pakubuwana II to hold the spread of internal conflicts in
the Kartasura. Third, is to understand the impact of the turmoil of internal
conflicts in the Kartasura.

This research is literature study and using Babad Kartasura II as a primary


source. Analyses were performed using heuristic methods, criticism, thus analysis
of sources to historiography. This study used anthropological approach to
understand the causes of the internal conflicts in the Kartasura. The concept of
patrimonial politics in the monarchy is used as basically theoretical to obtain a
picture of the political dynamics in that moment. And it combined with an
understanding of the concept of “magical-religious” as one of the concepts to
strengthen the power of the king.

The results showed that the political system of patrimonial monarchy without a
clear succession rules always brought up the internal conflict. In practice, the
internal conflict in the Kartasura not only triggered by a problem of succession,
but there were some other symptoms that occur such as: stretched relations
between negara and mancanagara; the problem of the distribution of power: the
authority that goes beyond power; to treason. To get sympathy in the face of these
tendencies, which were deemed capable of undermining his authority, Susuhunan
Pakubuwana II emphasizes political pedigree or political marriage, politics title,
untuk political of competition in some of his policies. Ironically, the problem
keagungbinataraan also suspected to be the reason of the failure of His Majesty
Pakubuwana II (1726-1749) leadership which were reflected in the confidence
crisis that culminated in the policy of Susuhunan on December 11, 1749: the
transfer of sovereignty Mataram on VOC. Since this period, VOC carried the
enforcement of divide et impera politics were de facto on Kartasura.

Key words: Pakubuwana II, Kartasura, Internal conflict

xiv
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Periode kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749) di Kartasura

merupakan ambang terakhir kerajaan berdaulat di Jawa. Dalam historiografi

tradisional, era tersebut perlu dipandang penting karena kekuasaan Mataram

berada dalam pengaruh kolonialisme Belanda.

Skripsi ini mengetengahkan studi tentang konflik internal pada masa

kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1729). Secara temporal periode itu dipilih

karena menyimpan banyak pergolakan dari Geger Pacinan (1740-1743), Perang

Perebutan Takhta Jawa Ketiga (1746-1757) hingga Palihan Negari (1755).

Gejolak konflik tersebut akhirnya memecah kedaulatan Kartasura menjadi dua

wilayah yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Berawal dari perjanjian Pangeran Puger dengan Vereenigde Oostindische

Compagnie (VOC)1 setelah naik takhta pada 19 Juni 1704 kemudian dilantik

1
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) adalah sebuah persekutuan
dagang yang terbentuk pada tahun 1602 dari penggabungan enam perusahaan
kecil di Belanda. Dewan Perwakilan (Staten-Generaal) Pemerintah Belanda
mengeluarkan oktroi (piagam) pada 20 Maret 1602 yang menetapkan bahwa VOC
memiliki monopoli untuk melakukan aktivitas perdagangan di Asia, termasuk di
Hindia Timur (Indonesia) pada kala itu. VOC didukung oleh negara dan diberi
fasilitas-fasilitas istimewa seperti: boleh memiliki tentara, boleh bernegosiasi
dengan negara-negara lain, memungut pajak, hingga mengeluarkan mata uang
sendiri. Pada awal tahun 1796, setelah Bataafse Republiek berdiri, VOC
dinasionalisasi salah satu alasannya karena krisis keuangan. Sejak 1 Januari 1800,
oktroi VOC sebagai dasar hukum organisasi tersebut tidak lagi berlaku. Lebih
jelasnya dapat dibaca tulisan F.S. Gaastra, “The Organization of the VOC” dalam
Balk, G.L., et.al. 2007. The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and
1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2

sebagai Susuhunan Pakubuwana I, Mataram di kemudian hari tidak bisa

sepenuhnya melepaskan diri dari kekuatan VOC, baik secara politik maupun

militer. Indikasi tersebut menunjukkan semakin melemahnya kekuatan Mataram

secara berkesinambungan. Munculnya kebutuhan dan keputusan-keputusan untuk

membangun afiliasi dengan pihak dari luar keraton, misalnya VOC, sebagaimana

yang dilakukan oleh Puger2 diasumsikan bahwa Mataram sebagai sebuah kerajaan

sedang terkerat dari dalam oleh suatu kekuatan hingga intrik3.

the Local Institutions in Batavia (Jakarta). Arsip Nasional Republik Indonesia,


Leiden, Boston, hlm. 13-59. Gambaran lain mengenai VOC dapat dijumpai pula
dalam tulisan Boxer, C.R. 1983. Jan Kompeni: Dalam Perang dan Damai 1602-
1799. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
2
Pangeran Puger (lahir sekitar 1648-1719) adalah raja ke-3 Keraton
Kartasura yang bergelar Susuhunan Pakubuwana I. Sosok Puger cukup
kontroversial dalam sejarah Mataram. Ia dipandang sebagai saingan Amangkurat
II (putera mahkota Amangkurat I). Ia adalah putera kedua Amangkurat I.
Sepanjang kurun pemerintahan Amangkurat II hingga mangkat, sepak terjang
Puger ditengarai memicu konflik dan persekongkolan serta sejumlah intrik di
dalam keraton. Bukti historis aktivitas ini dikaitkan ketika Puger
memproklamirkan diri sebagai raja dalam pelarian ke Barat sewaktu istana Plered
dikuasai Trunajaya pada Juni 1677. Lepas itu, Puger merebut kembali istana
Plered dari Trunajaya pada Oktober 1677. Sementara Amangkurat II lebih
memilih mendirikan istana baru di Kartasura dan bekerja sama dengan VOC,
Puger berkuasa di Plered. Pada bulan November 1680, kekuatan Puger di Plered
berhasil dilemahkan oleh VOC. Pihak VOC memberikan jaminan keselamatan
kepada Puger yang setahun kemudian menyerahkan diri kepada Amangkurat II. Ia
diyakini sebagai pemicu terjadinya konflik dan Perang Perebutan Takhta Jawa
Pertama atau Perang Suksesi Jawa I (1704-1708). Sepak terjang Puger dapat
dijumpai dalam De Graaf, H.J. 1987. Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti dan De Graaf, H.J. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack:
Kemelut di Kartasura Abad XVII. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
3
Sejak pemerintahan Amangkurat Agung atau Amangkurat I (1646-1677),
raja pengganti Sultan Agung, intrik dan perselisihan mulai merongrong
kewibawaannya. Sepanjang kurun pemerintahan Amangkurat I, ia sempat
melakukan kebijakan terburuk yakni pembantaian massal para oposannya yang
berjumlah sekitar 6.000 orang. Masa Amangkurat I diakhiri dengan adanya
pemberontakan Trunajaya. Selanjutnya dapat dibaca De Graaf, H.J. 1987.
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Jakarta: Pustaka Grafitipers, hlm.
37-39.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
3

Afiliasi Mataram dengan VOC diawali sejak Amangkurat II (1677-1703)

membangun istana di Kartasura. Atas bantuan VOC, Amangkurat II naik takhta

disertai kontrak-kontrak perjanjian sebagai imbalan yang layak, misalnya Sunan

berjanji akan menggaji pasukan kompeni yang telah mempertahankan dan

memelihara benteng Kartasura4. Dalam kurun ini, keterlibatan VOC lebih banyak

pada bantuan di bidang militer, seperti mematahkan serangan Trunajaya atas

Mataram.

Belajar dari para pendahulunya, Puger secara politis sadar untuk

menggunakan VOC sebagai salah satu kekuatan yang sanggup mendukungnya

menjadi penguasa tanah Jawa. Hal itu direalisasikannya melalui sebuah surat yang

ditulis pada 5 Mei 1704 kepada salah satu petinggi VOC di Batavia.5 Surat Puger

ditujukan dalam rangka bekerja sama dengan VOC untuk mengambil-alih takhta

dari Amangkurat III, kemenakannya, dengan pengakuan bahwa ia telah

memperoleh dukungan dari Cakraningrat II dari Madura, Angabei Jangrana II dari

Semarang dan Bupati Semarang Tumenggung Yudanegara. Surat Puger diklaim

sebagai pemicu Perang Perebutan Takhta Jawa Pertama (1704-1708) dan

membawa intervensi militer VOC yang pertama ke dalam kerajaan Jawa. Atas

bantuan VOC, Puger kemudian dilantik sebagai Susuhunan Pakubuwana I dan

memerintah Kartasura selama kurun waktu1704-1719.

4
De Graaf, H.J. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut di Kartasura
Abad XVII. Jakarta: Grafitipers, hlm.7.
5
M.C. Ricklefs, “Surat Pangeran Puger yang sedang dalam pelarian
kepada Pemerintah Agung, 5 Mei 1704”, dalam Harta Karun, Khazanah Sejarah
Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 4. Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia, 2013. Diakses melalui http://www.sejarah-
nusantara.anri.go.id/media/dasadefined/HartaKarunArticles/HK004/Doc_4_Ind.p
df pada 9 September 2014 13:37 WIB.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4

Ketergantungan terhadap kekuatan VOC, sudah semestinya, dicurigai

sebagai suatu bentuk kerapuhan kekuatan di dalam Kartasura. Politik divide et

impera6 yang diberlakukan pihak kolonialisme Hindia Belanda untuk memecah-

belah kekuatan di Nusantara menjadi berdaya ketika pihak VOC memahami

konstelasi kekuatan di dalam kerajaan. Faksi-faksi yang lahir di dalam istana

dengan mudah diboncengi VOC demi melicinkan tujuan, baik yang bersifat politis

maupun ekonomis. Belanda tidaklah secara konsekuen melaksanakan politik

divide et impera di Mataram seperti yang mereka lakukan di Ternate dan Tidore,

tetapi percekcokan dalam negeri antara keluarga-keluarga kerajaan membuat

setiap usaha untuk mengukuhkan sultan –yang lebih suka menyebut dirinya

susuhunan- menjadi lenyap dan khayal.7

Dalam pandangan G. Moedjanto, sebagian besar konflik yang muncul di

seputaran suksesi raja-raja Jawa disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor utama

adalah ketidakjelasan dan ketidakpastian aturan suksesi.8 Memang sejak awal

berdirinya, Mataram tidak menetapkan sebuah aturan birokrasi resmi dalam

suksesi. Soemarsaid Moertono mengemukakan bahwa dalam meneruskan

kesinambungan kedudukan, ada dua kecenderungan yang dilakukan dalam tradisi

Jawa yaitu (1) menciptakan silsilah untuk menghubungkan dinasti-dinasti

terdahulu dengan dinasti yang sekarang, (2) menerima gagasan bahwa perkenan

6
Divide etimologi di (two, twice, double) + videre (to separate), dari
Proto-Indo-European. Impera (Latin: imperium, empire). Divide et impera: divide
and conquer (membagi dan menaklukkan). Sumber: http://wiktionary.org/ diakses
pada 30 Mei 2015 pkl. 11:26 WIB.
7
Boxer, C.R. op.cit. 102.
8
G. Moedjanto. 2002. Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta:
Univertsitas Sanata Dharma, hlm. 62.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5

Tuhan dalam bentuk wahyu, disampaikan dari penguasa yang satu kepada

penguasa yang lain sebagai tanda kuasa raja.9

Konsep tersebut rentan dengan penyimpangan hingga pemalsuan silsilah

yang disengaja demi mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam sejarah Jawa

dikenal Ken Angrok yang menyamakan dirinya sebagai titisan Wisnu. Dari

sejarah Ken Angrok, kecenderungan perebutan takhta sering berujung pada

pertumpahan darah. Demikian halnya pada kasus Pakubuwana II. Perbedaannya,

elit politik di Kartasura melibatkan campur tangan asing, dalam hal ini VOC

ketika konflik internal yang bermuatan kekuasaan sudah tidak mampu lagi diatasi.

VOC waktu itu memiliki kekuatan militer yang cukup disegani. Untuk

keterlibatan tersebut, VOC meminta bayaran yang tidak sedikit dan disahkan

melalui sebentuk perjanjian.

Pakubuwana II naik takhta pada tahun 1726. Ia menggantikan Amangkurat

Jawa (Suryaputra 1719-1726) yang mangkat. Pakubuwana II bergelar Susuhunan

Pakubuwana Senapati Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama. Usianya relatif

masih sangat muda. Hal tersebut menyebabkan kekuasaan pendukung susuhunan

berperan besar dalam pengambilan kebijakan. Untuk menjalankan pemerintahan,

Pakubuwana II dibantu oleh Patih Danureja. Ia sudah memegang posisi strategis

dalam pemerintahan sejak 1708, sejak masa pemerintahan Pakubuwana I. Raja

muda tersebut kemudian secara penuh tetap berada di bawah pengawasan

9
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa
Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, hlm. 161.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
6

Danureja yaitu perdana menteri mendiang ayah Pakubuwana II, hingga ia telah

mencapai usia dewasa.10

Bukan sebatas dalam kendali Patih Danureja semata, pada awal

pemerintahannya, Pakubuwana II juga dikuasai oleh pengaruh Kanjeng Ratu

Ageng (ibu) dan Ratu Mas Balitar atau Ratu Pakubuwana (nenek suri). Dari

neneknya, Pakubuwana II mendapatkan pendidikan nilai-nilai Islam. Ratu Mas

Balitar berniat membebaskan susuhunan dari pengaruh Patih Danureja. Ia

memimpikan kelahiran ‘Sultan Agung’ pada diri raja baru tersebut. Ratu Mas

Balitar dan para bangsawan berpengaruh yang mendukungnya mewakili gerakan

islamisasi terkuat di istana Jawa sejak masa Sultan Agung.11

Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa menurut pandangan modern,

sejarah dipandang sebagai suatu gerakan menuruti garis lurus yang berjalan

mengikuti waktu, sedang orang Jawa secara tradisional cenderung menganggap

sejarah mereka sebagai serangkaian lingkaran yang terjadi berulang-ulang.12

Dalam filsafat sejarah, hal tersebut disebut sebagai gerak siklis.13 Mengacu pada

10
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Yogyakarta:
Penerbit Narasi, hlm. 561.
11
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, hlm. 197. Sementara dalam The Seen and Unseen Worlds
in Java, 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II.
Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai'i Press, hlm. 335 ditegaskan,
“The reign of Pakubuwana II before 1742 was probably the second attempt to
make Mataram dynasty kings into model Sufi monarchs. The first was in the reign
of Sultan Agung.”
12
Benedict R.O’G. Anderson “Gagasan tentang Kekuasaan dalam
Kebudayaan Jawa” dalam Mirriam Budiardjo (ed.). 1984. Aneka Pemikiran
tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hlm. 66.
13
Sartono Kartodirdjo. 1959. Catatan tentang Segi-segi Mesianistis dalam
Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
7

konsep tersebut, gagasan Ratu Mas Balitar untuk memunculkan kembali sosok

mesianistik, dapat dipahami.

Di saat yang bersamaan, Pakubuwana II memiliki saingan yakni Pangeran

Arya Mangkunegara yang dipandang lebih layak menduduki takhta kerajaan. Pada

tahun 1728 ia dibuang ke Ceylon14 untuk meminimalisir kemungkinan buruk

terjadinya perebutan kekuasaan. Pembuangan Arya Mangkunegara terjadi atas

inisiatif Patih Danureja. Nasib yang sama kemudian mengakhiri karir Patih

Danureja ketika ia dibuang oleh VOC ke Afrika Selatan pada tahun 1733.

Ironisnya, pembuangan tokoh-tokoh yang dipandang menghambat

pemerintahan Pakubuwana II justru tidak menghentikan intrik di dalam istana.

Peristiwa-peristiwa tersebut memperluas konflik internal di tubuh Kartasura.

Danureja yang digantikan oleh Patih Natakusuma pada akhirnya tetap tidak

mampu membendung pergolakan di Kartasura di masa-masa berikutnya.

Dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan Perlawanan15,

Prof. Dr. Aminuddin Kasdi menegaskan bahwa pada periode pemerintahan

Pakubuwana II (1726-1749) terdapat beberapa faksi pada elite Mataram. Faksi ini

pada umumnya mendorong perpecahan di dalam tubuh istana. Aminuddin Kasdi

menyebutkan kelompok-kelompok tersebut, di antaranya:

Pertama, kelompok Kanjeng Ratu Ageng. Ia dinilai secara berlebihan

menguasai dan melindungi takhta putranya, Pakubuwana II. Keinginan Ratu

Ageng berkuasa menurut pemberitaan sumber-sumber tradisional disebabkan oleh

14
Ceylon (Sri Lanka) dalam Babad Kartasura disebut dengan Selong.
Lihat BK II, hlm. 334.
15
Taufik Abdullah, et.al. (ed.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah:
Kolonisasi dan Perlawanan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, hlm. 343-345 .
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
8

terbongkarnya skandal kehidupan pribadinya dengan Lurah Surawijaya. Guna

menutup aib, kompensasinya adalah, ia bersekutu dengan orang-orang yang

semestinya menjadi saingan putranya dan memperalat bawahannya dalam

menguasai perilaku Pakubuwana II dengan dalih menyelamatkan takhtanya.16

Kedua, kelompok Patih Natakusuma dengan para pejabat bawahan yang

bersikap anti-VOC dan berusaha mengusir VOC dari Jawa. Disebutkan oleh

Aminuddin Kasdi bahwa Natakusuma memanfaatkan potensi anti-VOC di

kalangan Tionghoa yang mengalami insiden pembantaian di Batavia, sehingga

pada awal tahun 1741 sebagian besar pelarian kelompok-kelompok Tionghoa dari

Batavia tiba di Kartasura. Ironisnya, secara resmi Pakubuwana II berbalik

memberikan dukungan kepada VOC dalam penumpasan perlawanan orang-orang

Tionghoa di kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa, meski secara terselubung ia

mendukung sikap Natakusuma.

Ketiga, Pangeran Tepasana dan saudara-saudaranya, yakni Wiramanggala

dan Jayakusuma, beserta sekitar 200 anggota keluarga keturunan Amangkurat III

atau Sunan Mas (1703-1705). Keluarga ini semula dibuang ke Sri Lanka.

Kemudian, atas permintaan Pakubuwana II, mereka kembali ke Jawa dengan

syarat pusaka-pusaka keraton yang dibawa oleh mendiang Amangkurat III ke Sri

Lanka dikembalikan. Tepasana kemudian terjebak dalam intrik-intrik keraton dan

dianggap berkomplot hendak menggulingkan Pakubuwana II. Akibatnya, seluruh

anggota keluarga ini kemudian dibersihkan dari Kartasura.

16
Aminuddin Kasdi. Huru-Hara Cina Meluas ke Mataram (Kartasura)
dalam Ibid, 343.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
9

Keempat, Adipati Jayaningrat dari Pekalongan dan Adipati Citrasoma dari

Jepara. Kedua adipati ini dikenal sebagai pemuka etnik Tionghoa dan menguasai

jalur perdagangan seperti beras, gula, kayu dan lada. Keduanya memiliki

pengaruh cukup besar di pesisir utara Jawa. Mereka memiliki jaringan dagang

langsung dengan VOC. Sekalipun menjadi kaya karena hubungan bisnisnya

dengan VOC, Jayaningrat juga benci VOC. Di lingkungan Mataram, Adipati

Jayaningrat justru bersaing dan berkonflik dengan Natakusuma, kelompok

Kanjeng Ratu Ageng, dan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura.

Kelima, Cakraningrat IV dari Madura. Cakraningrat IV yang berkuasa di

Madura dikenal sebagai counter-elite (kontra-elit) yang berpotensi mengguncang

Mataram. Untuk meredamnya, Pakubuwana II menikahkan Cakraningrat IV

dengan adik kandungnya, Raden Ayu Siti Sundari atau Ratu Ayunan. Sayang, hal

itu dipandang tidak berhasil membendung ambisi Cakraningrat IV menguasai

daerah Jawa Timur, mulai dari Gunung Lawu hingga kawasan timur.

Di luar faksi-faksi tersebut, sebagian besar historiografi Jawa hingga

Indonesia modern mencatat bahwa jatuhnya Kartasura akibat dari

diberlakukannya politik divide et impera atau politik adu domba oleh VOC.17

17
Salah satu faksi yang disoroti cukup tajam sebagai pihak yang
dimanfaatkan oleh VOC dengan politik divide et impera-nya adalah Cakraningrat
IV. Hal ini dipertegas oleh Aminuddin Kasdi melalui tulisannya, “Cakraningrat
IV dan Pengembalian Kartasura kepada Pakubuwana II: Politik divide et impera
VOC” dalam Taufik Abdullah, et.al. (ed). op.cit. 349-350. Lalu menurut
Poespaningrat, Pranoedjoe. 2012. Kisah Para Leluhur dan Yang Diluhurkan.
Yogyakarta: BP. Kedaulatan Rakyat, hlm. 71 dijelaskan, “Ketika istana terpecah-
pecah menjadi beberapa faksi, Cakraningrat IV menolak panggilan menghadap
Pakubuwana II; bahkan, untuk beberapa waktu menolak mengirimkan istri
(saudari Raja) atau anak mewakilinya. Selain itu, kekuasaannya di Jawa Timur
semakin besar sehingga mengancam kekuasaan Bali di Ujung Timur. Sekali lagi
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
10

Perang saudara hingga perebutan takhta menjadi salah satu contoh dari model

politik semacam ini.

Pada historiografi tradisional, pandangan senada mencuat dari sosok

Diponegoro yang melemparkan tanggung jawab atas timbulnya keadaan yang

ruwet di Jawa kepada Belanda beserta politik adu-domba18. Menurut catatan

tersebut, dikatakan bahwa awal mula kerusakan di Tanah Jawa sebab orang kafir

(Pemerintah Hindia Belanda) mulai memerintah di Tanah Jawa. Separuh orang-

orang di Tanah Jawa bersabar dengan kegaduhan yang dibuat dengan berdirinya

Raja di Pajang (Surakarta) melawan Mataram (Yogyakarta). Separuh bumi Jawa

dibelah sama dan menjadi milik kedua raja tersebut. Itu siasat orang kafir yang

dikutuk Allah! ‘Siasat’ dalam konteks tersebut, sebagaimana disebut oleh

Pangeran Diponegoro, di kalangan sejarawan modern Indonesia dikemukakan

sebagai politik divide et impera.

Cakraningrat IV minta jadi vassal VOC, tetapi tetap ditolak karena VOC tidak
memberi kendali lebih banyak di kawasan pesisir timur kepadanya maupun anak
keturunannya.” Alasan bahwa Cakraningrat IV menjadi cikal bakal penyebab
pemberlakuan politik divide et impera ditegaskan Ricklefs, M.C. 2008. op.cit.
206, yang mencatat bahwa dalam keadaan putus asa, VOC berpaling kepada satu-
satunya kekuatan militer besar yang menawarkan diri menjadi sekutu:
Cakraningrat IV dan laskar Maduranya. Masih menurut Ibid, 217 paska Perjanjian
Giyanti VOC segera mengetahui bahwa pembagian kerajaan memungkinkan
dijalankannya kebijakan divide et impera.
18
Hal tersebut ditulis Pangeran Diponegoro dalam Buku Catatan Makasar
(Sejarah Ratu Jawa) I: 170: "Iku awitnya rusak ing Tanah Jawa, sabab kapir wus
mélu masésa sarupané Tanah Jawa, padha sabar iku saparoné ing Tanah Jawa
ginadhuh dénaturaken pametuné marang kang jumeneng Ratu ing Pajang
(Surakarta) lawan Mataram (Yogyakarta), kang saparoné kang jumeneng bumi
Jawa iku dénpara padha, rasané kaduwé ing ratu loro. Iku akalé kapir
laknatullah” yang artinya: “Itu awalnya kerusakan di Tanah Jawa, sebab orang
kafir mulai memerintah di Tanah Jawa. Bersabarlah separuh Tanah Jawa
diributkan dengan berdirinya Raja Pajang (Surakarta) melawan Mataram
(Yogyakarta). Separuh bumi Jawa dibelah sama dan menjadi milik kedua raja
tersebut. Itu siasat orang kafir yang dikutuk Allah!”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
11

Dalam kasus semacam ini, kelemahan kekuasaan dari dalam seringkali

dipandang sebagai nila sehingga penelitian terhadap kasus sejenis seakan tabu

untuk dikaji di kalangan sejarawan Indonesia. Akan lebih mudah menuding pihak

dari luar sebagai biang kerok daripada melihat borok di dalam. Citra mentalitas

dan karakter yang lemah dari para pemegang kekuasaan dipandang mampu

mengendorkan spirit nasionalisme dalam pemikiran kebangsaan. Pandangan

tersebut berbanding terbalik dengan pikiran para sejarawan di Asia Timur. Bagi

para sejarawan Tiongkok, kebusukan selalu datang dari dalam.19

Babak pemerintahan Pakubuwana II adalah periode akhir dari Mataram

Islam di Jawa yang berdaulat. Periode Pakubuwana II dipandang menarik karena

pada masa kepemimpinannya terjadi beberapa peristiwa penting yang memiliki

pengaruh luas hingga hari ini. Salah satunya, selepas masa kepemimpinan

Pakubuwana II berakhir, kerajaan Mataram kemudian terpecah menjadi dua

melalui Palihan Negari atau yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti pada tahun

1755 yang berujung pada pembagian wilayah Mataram menjadi Yogyakarta dan

Surakarta. Jejak kedua keraton tersebut hingga hari ini masih bisa dilihat.

19
Lihat Bauer, Susan Wise. 2011. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-
Cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, hlm.
332. Pandangan tersebut menyangkut tumbangnya kerajaan Chou dan digantikan
oleh Dinasti Zhou pada awal abad ke-11. Para sejarawan di Tiongkok tidak
memandang pemberontakan Zhou sebagai sebuah makar terhadap kerajaan, dan
merayakan kemenangannya atas sang tiran, sebaliknya justru memujinya karena
memulihkan norma dan tata tertib yang dipandang benar.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
12

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, beberapa masalah yang bisa

diidentifikasi adalah dalam kurun pemerintahan Pakubuwana II di Kartasura

dipenuhi dengan ketegangan dan intrik politik. Hal ini terjadi sejak awal

Pakubuwana II memerintah hingga memuncak pada peristiwa Geger Pacinan.

Secara spesifik, kajian skripsi ini akan dipusatkan pada interaksi mendasar di

lingkup elit kekuasaan Kartasura, terutama percaturan politik di dalam istana.

Untuk ruang lingkup penulisan skripsi secara temporal dibatasi pada periode

1726-1749 yang menjadi masa pemerintahan Pakubuwana II. Secara spasial,

wilayah yang menjadi batasan kajian adalah Kartasura.

Tema yang dikemukakan berupa konflik internal yang memicu ketegangan

politik antara penguasa pribumi di Kartasura hingga pergantian takhta.

Kompleksitas penyebab pudarnya sistem monarki pada masa pemerintahan

Pakubuwana II menjadikan skripsi ini perlu membatasi diri pada beberapa

masalah yang mampu untuk dikaji, di antaranya adalah:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya konflik internal di Kartasura

pada masa Pakubuwana II;

2. Kebijakan Pakubuwana II dalam membendung meluasnya konflik internal

di Kartasura;

3. Dampak yang ditimbulkan dari gejolak konflik internal di Kartasura.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
13

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, ditarik

suatu permasalahan yang menjadi fokus penelitian pada periode Kartasura (1726-

1749), antara lain:

1. Mengapa terjadi konflik internal di Kartasura pada masa Pakubuwana II?

2. Bagaimana kebijakan Pakubuwana II dalam membendung meluasnya

konflik internal di Kartasura?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari gejolak konflik internal bagi

Kartasura pada masa Pakubuwana II?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Dapat menjelaskan sejarah terjadinya konflik internal di Kartasura pada

masa pemerintahan Pakubuwana II;

2. Diharapkan mampu memperlihatkan bagaimana konflik internal dapat

terjadi, termasuk berbagai kepentingan yang terlibat untuk memperoleh

kekuasaan dan kekayaan di Kartasura pada masa pemerintahan

Pakubuwana II;

3. Dan mampu menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh konflik

internal yang terjadi sepanjang pemerintahan Pakubuwana II.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
14

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pandangan baru dalam

memahami sejarah Jawa, khususnya sejarah akhir Kartasura yang nantinya

berujung pada Palihan Negari (pembagian negara) dalam Perjanjian Giyanti pada

1755. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memantik penelitian berikutnya yang

berminat dengan Pakubuwana II atau seputar babak akhir Mataram Kartasura.

F. Kajian Pustaka

Di antara karya tulis yang menyoroti situasi politik Kartasura pada sekitar

awal abad ke-18 adalah Emperor Pakubuwana II, Priyayi & Company and the

Chinese War karya W.G.J. Remmelink. Buku tersebut menyoroti seputar masa

kepemimpinan Pakubuwana II. Remmelink memandang goyahnya situasi politik

Kartasura disebabkan oleh ketidakcakapan para pejabat birokrasi dan kalangan

kaum bangsawan, juga sifat megalomaniak dan pribadi raja.20 Karya tersebut

kemudian diikuti lagi dengan Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-

1743.21 Dalam buku ini diperkenalkan secara umum tentang dinamika politik dan

sosial dari era Kartasura.

Remmelink melukiskan gambaran yang meyakinkan terutama negara Jawa

di era tersebut dan lembaga kerajaan pada intinya. Bagian ini merupakan

formulasi yang sangat jelas pada sifat kenegaraan Jawa, sebagaimana kerja-kerja

20
Remmelink, Willem. 1990. Emperor Pakubuwana II, Priyayi &
Company and The Chinese War. Leiden: Proefschrif aan Rijksuniverseit te
Leiden, hlm. 25.
21
Remmelink, Willem. 2002. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa
1725-1743. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
15

para pendahulunya seperti Prof. Schrieke, Soemarsaid Moertono, dan Ben

Anderson. Namun lebih lanjut tulisan ini hanya menyusun setiap detil rincian

kronologis intrik dan kegiatan pengadilan di Jawa antara 1725-1743. Perhatian

khusus diberikan kepada Geger Pacinan di tahun-tahun terakhir periode tersebut.

Salah satu elemen penting dari kehidupan politik Jawa hampir tidak dijelaskan.

Remmelink lebih fokus pada adanya jaringan yang kompleks dari Kolonial

Belanda sebagai sekutu dan hubungan antar pemerintah daerah dan peran penting

mereka dalam menentukan arah perkembangan politik. Perlakuan perjanjian

negosiasi, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan Jawa digambarkan

dengan sangat baik. Remmelink lebih bergantung sepenuhnya pada sumber-

sumber VOC. Dalam bab terakhir, ia menggunakan wacana babad untuk diuji

dengan fakta-fakta yang disajikan VOC. Sayangnya, babad yang digunakan hanya

terbatas pada Babad Tanah Jawi sehingga Remmelink mengabaikan sumber

historiografi tradisional yang lain.

Dalam Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an Original

Kartasura Chronicle and Related Materials karya Ricklefs yang terbit pada tahun

1978 berisi kajian terhadap Babad ing Sangkala yang memberi gambaran

mengenai sejarah Kartasura hingga periode 1720.

Sementara dalam The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749:

History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II yang terbit 20 tahun

selepas itu, Ricklefs menelaah periode masa akhir Mataram Kartasura. Karya ini

membahas sisi unseen pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749). Kekuatan

unseen diwakili oleh kepercayaan kepada Nyai Rara Kidul. Bědhaya suci yang
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
16

ditarikan pada awal pemerintahan Pakubuwana II digunakan sebagai medium

untuk memohon kehadiran Nyai Rara Kidul guna menjamin nasib baik bagi

dinasti dengan bantuan pasukan terkuat dari dunia gaib Jawa.22 Hal ini

dihubungkan dengan lenyapnya benda-benda pusaka keraton yang dibawa

Amangkurat III sejak 1705 dalam pelariannya hingga ia dibuang di Ceylon pada

1708. Benda-benda pusaka keraton dipandang memiliki kekuatan supranatural.

Upaya pemulihan kekuatan magis-religius ini dipelopori oleh Ratu Pakubuwana I,

di antaranya dengan memanfaatkan sisi unseen dari penulisan ulang dan

penggubahan beberapa karya sastra, seperti Serat Menak gubahan dari Hikayat

Amir Hamzah sejak tahun 1715.

Di pihak lain, Ratu Pakubuwana alias Ratu Mas Balitar, nenek dari pihak

ibu sunan muda, berkomitmen untuk memperkenalkan moral dan etika politik sufi

di istana. Tidak hanya itu, kekuatan ini diwakili pula oleh kepercayaan kepada

Nyai Rara Kidul dan wayang. Ricklefs menjelaskan bahwa sisi unseen banyak

memberi pengaruh dalam diri raja muda. Di antara yang mendominasi adalah

teks-teks sufi seperti Carita Sultan Iskandar (kisah Sultan Iskandar), Carita Nabi

Yusuf (kisah Nabi Yusuf), dan Serat Cabolek.

Seen dilihat sebagai sisi pragmatis raja, yang cenderung materialistis.

Orientasi susuhunan adalah patihnya yakni, Danureja. Politik down-to-earth

Danureja menekankan pada sistem administrasi yang hati-hati, memanfaatkan

jabatan dan tanggap terhadap kepentingan VOC. Buku The Seen and Unseen

22
Ricklefs, M.C. 1998. op.cit. 13.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
17

Worlds sangat membantu penelitian ini karena rentang periodenya sama dan

dimanfaatkan sebagai masukan penting.

Prof. Dr. Aminuddin Kasdi dalam Perlawanan Penguasa Madura atas

Hegemoni Jawa: Relasi Pusat-Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745)

memandang bahwa disharmoni hubungan antara pusat dan daerah merupakan

masalah yang sangat esensial bagi keberadaan suatu negara atau kerajaan.23 Hal

itu dipandangnya sebagai penyebab terjadinya instabilitas, konflik, dan bahkan

perang saudara antara pemerintah di pusat dan daerah-daerah kekuasaannya. Dari

berbagai krisis itu, campur tangan VOC kian memperlemah kondisi politik,

ekonomi, militer, dan teritorial Mataram. Inti kajian Prof. Dr. Aminuddin Kasdi

terletak pada hubungan antara Pakubuwana II sebagai penguasa pusat dengan

Cakraningrat IV dari Madura sebagai penguasa daerah.

Adapun perbedaan penelitian tersebut dengan skripsi ini terletak pada

fokus penelitian, bahwa titik tolak melemahnya kekuatan Kartasura didorong oleh

intrik dan konflik yang terjadi di dalam istana. Artinya, tinjauan aktivitas konflik

internal tidak berpusat pada Cakraningrat IV semata sebagai tokoh sentral namun

melibatkan aktor-aktor lain. Harus diakui bahwa penelitian ini memperoleh

gambaran historis yang cukup gamblang dari kajian tersebut karena periodisasi

yang juga sama.

Penelitian terbaru yang memotret Kartasura adalah Geger Pacinan 1740-

1743: Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC karya Daradjati yang terbit

23
Aminuddin Kasdi. 2003. Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni
Jawa: Relasi Pusat-Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745).
Yogyakarta: Jendela, hlm. vii.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
18

pada tahun 2013. Dalam buku itu, Daradjati menggambarkan peristiwa Perang

Cina yang terjadi di Kartasura secara kronologis di bawah kepemimpinan Kapitan

Sepanjang24 selama kurun tahun 1740-1743. Penelitiannya bersumber pada

historiografi tradisional, yakni babad. Pada kurun periode 1740-1743 terpotret

sebagian kebijakan pada masa kepemimpinan Pakubuwana II, khususnya

berkaitan dengan inkonsistensi raja menyangkut keberadaan Laskar Tionghoa

yang saat itu melawan VOC. Menurut Daradjati, keberhasilan pemberontakan

orang-orang Tionghoa di Kartasura karena banyak orang Jawa yang ikut terlibat.

Laskar yang awalnya berjumlah ratusan, mampu merekrut ribuan penduduk Jawa

untuk menjadi bagian dari mereka. Hal tersebut merupakan reaksi terbuka atas

kekecewaan terhadap kebijakan Pakubuwana II yang berbalik arah dengan

memihak VOC.25 Tidak sebatas itu, Daradjati mengemukakan beberapa krisis

kepercayaan diri Pakubuwana II dalam menghadapi kondisi tersebut adalah

dengan mengirimkan utusan untuk menemui Hugo Verijsel, Komisaris VOC di

Semarang, agar Kompeni segera mengirim pasukan garnisun Kartasura yang baru.

Pasukan garnisun tersebut bertugas untuk melindungi susuhunan dari ancaman

yang bisa mengguncang kedudukannya. Ini dipandang Daradjati sebagai titik

terendah kepercayaan diri susuhunan.

24
Tokoh sentral dalam kronologi tersebut adalah Kapitan Sepanjang. Lihat
Daradjati. op.cit., xxviii-xliii. Menurut Didi Kwartanada, nama asli Kapitan
Sepanjang adalah Souw (Oey) Phan Ciang, Wang Tai Pan, atau Tay Wan Soey,
lihat “Bukan Incorrigible Opportunists, Melainkan Kawan Seperjuangan!
Mengambil Hikmah dari Aliansi Tionghoa-Jawa Vs Kompeni (1741-1743)”. Ibid.,
hlm. xii-xxvii.
25
Ibid, 6.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
19

Yang perlu digarisbawahi di sini, fokus yang diambil dari skripsi ini

berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada, yakni studi tentang konflik

internal Kartasura pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749). Dengan

sudut penelitian yang berbeda, diharapkan skripsi ini akan memberi kontribusi

positif pada historiografi Indonesia.

G. Landasan Teori

Menurut Benyamin B. Wolman, teori adalah a set of hypothetical

propositions that bind the empirical data in a causal, teleological, or any other

interpretative system.26 Teori merupakan alat ilmu pengetahuan yang digunakan

untuk mempersempit fakta-fakta yang harus diteliti. Setiap peristiwa sejarah, pada

dasarnya, dapat dipelajari dengan beragam cara. Teori membantu memperoleh

fakta-fakta yang relevan dalam penelitian. Sistem kerjanya adalah dengan

mengembangkan kategori-kategori dalam mengorganisir data, struktur, konsep

dan perangkat definisi, lalu menyediakan hipotesis, dan membuat kriteria yang

dapat dijadikan dasar pembuktian atas sesuatu.

Untuk memahami konflik internal pada masa kepemimpinan Pakubuwana

II (1726-1749) digunakan teori konflik Ralf Dahrendorf yang berpandangan

bahwa sistem sosial senantiasa berada dalam konflik. Konflik disebabkan di

antaranya adanya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan

mencerminkan diferensiasi distribusi kekuasaan di antara kelompok-kelompok

26
Wolman, Benyamin B. 1973. The Psychoanalitic Interpretation of
History dalam makalah Teuku Ibrahim Alfian. “Dimensi Teori dalam Wacana
Ilmu Pengetahuan”, hlm. 7.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
20

yang berkuasa dan dikuasai.27 Kepentingan-kepentingan tersebut cenderung

terpolarisasi. Sehingga penyelesaian suatu konflik akan menimbulkan perangkat

kepentingan baru yang saling bertentangan dan dalam kondisi tertentu rentan

kembali menimbulkan konflik. Konflik diasumsikan sebagai proses yang timbul

dari kekuatan-kekuatan yang bertentangan dalam struktur sosial.28 Hal tersebut

dapat diartikan bahwa penyelesaian konflik mungkin menimbulkan situasi yang

mengakibatkan terjadinya konflik lain.

Dalam konsep kekuasaan Jawa, diperlukan penafsiran dan penggunaan

konsep magis-religius yang menjadi sarana utama untuk melaksanakan kekuasaan

raja dan untuk mempertahankan serta melindungi keutuhan negara.29 Pemikiran

Soemarsaid Moertono dalam Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa

Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX akan membantu

studi ini, khususnya dalam memahami konsep magis-religius dengan segala

perangkatnya untuk melihat kedudukan raja. Dalam konsep magis-religius,

kepercayaan dan agama menjadi daya dukung paling kuat untuk kedudukan raja.

Dasar kedudukan raja berlandaskan agama. Menurut konsep Mataram Kuno, raja

merupakan perpanjangan dari kekuasaan para dewa. Masuknya Islam ke dalam

keraton menggeser pemahaman tersebut hingga konsep dewa-raja ditransformasi

27
Soerjono Soekanto, et.al. 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik
dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 79.
28
Ibid.
29
Soemarsaid Moertono. op.cit. 2.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
21

ke konsep kawula-gusti (hamba dan tuan)30. Hubungan tersebut mengemukakan

tiga konsep pokok, yaitu:

1. Hubungan pribadi yang akrab yang disertai oleh perasaan saling mengasihi

dan menghormati dianggap sebagai pola atau model baku dalam

komunikasi sosial;

2. Takdir menetapkan kedudukan manusia dalam masyarakat apakah ia

dilahirkan sebagai abdi atau tuan. Akibatnya ialah bahwa manusia tidak

punya pilihan lain kecuali melakukan kewajibannya seperti yang telah

ditentukan oleh takdir. Kedua faktor ini menghasilkan suatu jenis praktek

pemerintahan. Dalam praktek seperti ini:

3. Penguasa (dan para pejabatnya), dari segi kebijaksanaan pemerintahan

praktis, harus memperhatikan para warganya seperti seorang tua mengasuh

anak-anaknya. Dengan demikian sesungguhnya sang penguasa memiliki

sikap keunggulan (superioritas) yang melindungi, sedangkan yang

diperintah memiliki sikap pengabdian yang tulus.31

Konsep tersebut, menurut Soemarsaid Moertono, kemudian diproyeksikan

ke dalam bentuk keris sebagai senjata kebesaran. Alhasil, pusaka merupakan salah

satu bentuk pemikiran imaginatif-proyektif orang Jawa atas konsep kekuasaan

Jawa sehingga setiap raja-raja Jawa selalu memilikinya sebagai simbol dari

30
Ibid, 17, dijelaskan bahwa menurut bahasa Jawa Kuna, kawula berarti
orang jaminan, pelayanan; sementara menurut bahasa Jawa modern berarti lebih
luas yakni rakyat umumnya. Sedangkan gusti menurut bahasa Jawa Kuna artinya
pemilik tanah, tuan; sedangkan menurut bahasa Jawa modern berarti raja dan
Tuhan Allah.
31
Ketiga konsep tersebut dikemukakan oleh Soemarsaid Moertono, Ibid,
31-32.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
22

kekuasaan yang diemban. Keris terdiri dari warangka dan curiga. Warangka atau

sarung merupakan simbol rakyat dan curiga atau mata adalah raja. Hubungan ini

mutlak harus ada untuk mencapai kesempurnaan. Satu sama lain saling

memerlukan. Konsep tersebut dapat ditafsirkan, kehilangan pusaka berarti

kehilangan kekuasaan.

Dalam lingkungan dengan konsep magis-religius, konsep kesinambungan

takhta menjadi sangat penting. Menguatkan gagasan tersebut, buku Konsep

Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram32 karya G. Moedjanto

digunakan untuk menjelaskan perihal pergeseran dan legitimasi kekuasaan dalam

sejarah Mataram hingga sistem politik patrimonial atau konsep trah dalam

kerajaan Mataram, termasuk bagaimana kekuasaan dilanggengkan.

Perlu diketahui sebelumnya bahwa Mataram adalah sebuah dinasti yang

lahir dari perjuangan membebaskan diri dari kekuasaan Pajang. Kunci

keberlangsungan dinasti Mataram adalah keunggulan para pengemban kekuasaan

tersebut yang dikembangkan menurut konsep keagungbinataraan. Konsep ini

dapat dirunut melalui dua hal, yaitu (1). Kekuasaan raja-raja Mataram begitu besar

yang digambarkan sebagai gung binathara, bau dendha nyakrawati (sebesar

kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia. Keluasan konsep

tersebut diimbangi dengan (2). Berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta

(meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya terhadap semua yang hidup, atau adil

dan penuh kasih).33 Artinya, kekuasaan raja yang bersifat absolut, mutlak dan

32
G. Moedjanto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh
Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
33
Ibid, 77-78.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
23

begitu besar dapat berjalan apabila diimbangi dengan sifat adil. Apabila raja

menerapkan konsep keagungbinataraan secara menyeluruh, maka negara dan

rakyat akan diuntungkan. Sebaliknya kalau hanya sebagian dari isi konsep itu

yang diterapkan, khususnya hanya yang menyangkut hak penguasa, biasanya

kerajaan (negara) mengalami kemunduran dan rakyat menderita.34

Merunut pada tinjauan historis, sebenarnya tidak sedikit karya tulisan dari

masa lalu yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti

Negarakertagama yang ditulis pada masa Majapahit. Sayanglah bahwa negara-

negara Asia tersebut kesusasteraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir

abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat

yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan

Belanda dalam rangka imperialisme.35 Dengan memahami kembali sejarah

khususnya pada pola-pola tingkah laku politik dari masa lalu, akan mungkin

diperoleh sebuah gambaran bahwa suatu keadaan telah berkembang atau stagnan.

Hal lain yang ingin digarisbawahi sebagai landasan teori dari skripsi ini

adalah pemahaman pada konsep politik tradisional. Dalam historiografi

tradisional tidak ditemui penjelasan lengkap tentang teori politik lokal. Alhasil,

muncul pandangan bahwa kepustakaan klasik Indonesia tidak memiliki penjelasan

sistematis tentang teori politik. Ketiadaan itu tidak menyurutkan penelitian atas

karya ini. Pandangan ini didukung oleh gagasan Parsuadi Suparlan, bahwa semua

34
Ibid, 82.
35
Miriam Budiardjo. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia, hlm. 2.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
24

masyarakat manusia itu menghasilkan dan mempunyai politik dan bahwa

semuanya adalah subyek dari sejarah.36

G. Moedjanto berpendapat bahwa sebagai sebuah monarki, sistem politik

Kartasura merupakan sistem politik patrimonial. Patrimonial adalah istilah dalam

bidang antropologi yang berasal dari kata Latin pater atau patris yang berarti

bapak. Sistem patrimonial berarti sistem pewarisan menurut garis ayah; akan

tetapi dapat juga diberi arti yang lebih luas, sistem pewarisan dari nenek moyang

yang mementingkan laki-laki dari perempuan dengan perbandingan dua lawan

satu.37 Dalam sejarah Kartasura yang merupakan perpanjangan dari Mataram,

sistem tersebut dapat dirunut hingga masa Ki Gede Pemanahan, sebelum masa

Sultan Agung (1613-1645), ketika keraton beribukota di Kota Gede (Pasar Gede).

Menurut adat Jawa, seorang raja yang meninggal digantikan oleh putra

mahkota yang bergelar Pangeran Adipati (Dipati) Anom.38 Putra mahkota adalah

keturunan laki-laki. Maka dari kurun itu, Mataram tidak pernah dipimpin oleh

seorang Sultan(ah). Sistem politik patrimonial dengan sendirinya akan

menggugurkan keturunan perempuan sebagai pemimpin.

Pemakaian gelar merupakan hal yang sangat penting, karena dalam

masyarakat Jawa, pemakaian gelar mempunyai efek sosial yang kuat. 39 Gelar

bukan saja dihubungkan dengan martabat tetapi perolehan tunjangan finansial

36
Parsuadi Suparlan dalam pengantar buku Balandier, Georges. 1986.
Antropologi Politik. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali, hlm. v.
37
Keterangan singkat tentang patrimonial, Student’s Standard Dictionary
dan The Consolidated Webster Encyclopedic Dictionary dalam G. Moedjanto.
1987. op.Cit. 101.
38
Ibid, 30.
39
Ibid, 21.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
25

seperti menerima daerah kekuasaan atau tanah lungguh40 seluas beberapa ratus

cacah.41 Konsep politik gelar sebenarnya sangat beresiko karena sewaktu-waktu

raja tidak berkenan, maka penerima gelar dapat kehilangan gelar beserta tanah

lungguh yang diterimanya.

Pandangan sistem politik patrimonial secara tidak langsung membuka

sebuah ruang intrik, di antaranya jika permaisuri tidak mempunyai keturunan laki-

laki, penerus takhta adalah putra dari selir-selir raja yang tertua, tidak menutup

kemungkinan ia berasal dari selir keberapapun. Hal ini memicu bahwa pangeran

adipati anom terkadang tidak lantas dinobatkan menjadi raja. Pada kasus seperti

itu, tidak sedikit keturunan laki-laki yang merasa lebih berhak sebagai penerus

takhta. Hal tersebut terjadi karena keturunan garis laki-laki bersifat istimewa.

Terjadinya pergeseran penerus takhta keraton yang mampu memicu konflik

internal hingga konflik suksesi menunjukkan bahwa konsep pewarisan takhta dan

kekuasaan di Jawa belum mapan.

40
Soemarsaid Moertono. op.cit. 136 menjelaskan bahwa tanah lungguh
(apanage) menurut definisi Van Vollenhoven sebagai daerah yang telah
diserahkan dan yang menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari
tanah itu dan dari penduduk; di sini raja dapat menarik keuntungan-keuntungan
(pajak, jasa-jasa, penghasilan dari daerah milik sendiri), tapi raja tidak memiliki
hak atas tanah itu sendiri.
41
BK II. op.cit. 336 dijumpai pemberian gelar dan pangkat beserta
lungguh-lungguhnya di antaranya kepada:
1. Pangeran Mangkunagara namanya diganti dengan Pangeran
Wiramanggala.
2. Pangeran Wiramanggala mendapatkan dongkol dengan bagian
lungguhnya dua ratus.
3. Pangeran Tepasana mendapatkan lungguh seribu.
4. Raden Jayakusuma mendapatkan lungguh tigaratus.
Sedangkan sentana raja yang bungsu mendapatkan jabatan sebagai menteri muda,
lungguhnya lima puluh.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
26

G. Moedjanto menegaskan bahwa faktor utama munculnya konflik suksesi

adalah ketidakjelasan dan ketidaktepatan aturan suksesi.42 Alasan tersebut

dipandang kurang memadai menurut pendapat Heather Sutherland. Sutherland

beranggapan bahwa ada beragam faktor yang ikut berpengaruh menjadi penyebab

munculnya konflik internal di dalam keraton. Dalam The Making of a

Bureaucratic Elite43 digambarkan bahwa dalam konteks kepercayaan, Jawa bisa

dilihat sebagai masyarakat feodal yang korup yang sangat kuat budayanya dengan

sistem birokrasi sangat kompleks. Para priyayi lebih tertarik pada hal-hal mistik

dan mengedepankan ritual daripada kekuasaan yang berlandaskan pada kerja

keras.44 Irrationality atau ketidakrasionalan dipandang Sutherland memegang

peran dominan dalam mengendalikan kekuasaan. Namun apabila mengacu pada

pandangan politik modern, berkembangnya konflik di dalam jaring kekuasaan

lebih disebabkan oleh pembagian policy (kebijaksanaan) dan alokasi yang tidak

merata.45

Pandangan-pandangan tersebut digunakan untuk melihat variabel-variabel

sejarah yang bisa menerangkan bentuk-bentuk perilaku politik di masa lalu yang

memunculkan konflik internal di Kartasura khususnya pada masa pemerintahan

Pakubuwana II. Secara implisit, kajian ini diperkuat oleh gagasan Benedict R.O’G

Anderson bahwa dengan mengemukakan persoalan seperti ini diharap dapat

42
G. Moedjanto. 2002. op.cit. 62.
43
Sutherland, Heather. 1979. The Making of a Bureaucratic Elite: The
Colonial Transformation of the Javanese Priyayi. Singapura: Heinemann
Educational Books (ASIA) Ltd., hlm. vii.
44
Ibid, vii.
45
Miriam Budiardjo. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia, hlm. 13.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
27

menjelaskan bahwa kebudayaan Jawa tradisional memang mempunyai teori

politik, yang memberikan penjelasan sistematis dan logis tentang tingkah laku

politik, dalam bentuk yang berbeda sekali dari perspektif ilmu politik modern, dan

malah dalam banyak hal secara fundamental bertentangan dengannya.46 Perlu

diketahui juga bahwa konsepsi-konsepsi politik Jawa, unsur demi unsurnya, tidak

bisa dilihat bersifat khas Jawa semata sebab kebudayaan Jawa secara keseluruhan

melibatkan suatu unsur gabungan yang unik, sebagai contoh unsur magis-

religius47.

Dari berbagai pandangan dan studi kasus tersebut, dapat ditarik garis

pemahaman bahwa Kartasura sebagai sebuah monarki menganut sistem politik

patrimonial yang mengedepankan garis keturunan laki-laki sebagai penerus

takhta. Penerus takhta keraton didukung oleh elemen-elemen magis sebagai salah

satu struktur mendasar bagi pemegang kekuasaan tertinggi dengan medium

budaya sebagai pengokoh, salah satunya adalah pusaka keraton. Konsep-konsep

tersebut digunakan untuk meninjau munculnya konflik internal di Kartasura pada

masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749).

46
Benedict R.O’G. Anderson “Gagasan tentang Kekuasaan dalam
Kebudayaan Jawa” dalam Mirriam Budiardjo (ed.). 1984. Aneka Pemikiran
tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hlm. 45.
47
Pandangan tentang unsur magis-religius dalam kekuasaan Jawa dapat
dijumpai dalam Ricklefs, M.C. 1998. op.cit. 15, “There was an intimate
connection between the unseen world and the temporal realm in Java, so courtly
ideas of supernatural were not suspended in some metaphysical ether, but were
embedded in the hard world of Realpolitik.” Hal ini ditegaskan juga oleh
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
28

Untuk itu kita tinjau terlebih dahulu kasus Puger. Pangeran Puger dapat

naik takhta dengan menggeser kedudukan Amangkurat III sebagai raja sah

Kartasura meski bukan dari sistem pewarisan langsung dari ayah (patrimonial). Ia

adalah paman Amangkurat III. Puger mendapat dukungan dari VOC baik secara

politik maupun militer. Menariknya, keberhasilannya merebut takhta didorong

oleh kapasitasnya dalam menghubungkan takhta dengan hal-hal mistik

sebagaimana yang disebut Sutherland. Dalam hal ini peralihan kekuasaan dari

Amangkurat III ke Puger didasarkan atas wahyu keraton yang diterimanya. Hal

tersebut juga ditulis dalam Babad Tanah Jawi. Dari situ dapat diketahui bahwa

sesungguhnya konsep patrimonial dalam kerajaan Jawa mudah digoyahkan

dengan kekuatan magis-religius yang menjadi konsep dasar dalam mendudukkan

kekuasaan raja. Wahyu bisa sebagai bentuk klaim sepihak demi melanggengkan

kekuasaan. Puger juga membangun legitimasi melalui babad sebagai penguat.

Sepanjang kurun pemerintahan Puger, kekuasaannya hampir tidak tergoyahkan,

dalam hal ini bukan karena ia didukung oleh VOC melainkan ia menjunjung

tinggi prinsip keagungbinataraan yang menjadi salah satu elemen untuk

melanggengkan kekuasaannya.

H. Metode Penelitian

Disiplin ilmu sejarah memiliki metodenya sendiri. Metode sejarah adalah

proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
29

lampau.48 Untuk merekonstruksi masa lalu dibutuhkan tahap demi tahap

pengkajian sumber-sumber primer. Menurut Ernst Bernheim, metode sejarah

terdiri atas empat tahap, yaitu 1) Heuristik, mencari dan menemukan sumber-

sumber sejarah, 2) Kritik, menilai otentik atau tidaknya sesuatu sumber dan

seberapa jauh kredibilitas sumber itu, 3) Auffassung, sintesis dari fakta yang

diperoleh melalui kritik sumber atau disebut juga analisis sumber, dan 4)

Dastellung, penyajian hasilnya dalam bentuk tertulis.49 Sumber-sumber tersebut

diperoleh sepanjang penelitian di Perpustakaan Universitas Sanata Dharma,

Perpustakaan Kota Yogyakarta dan Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta.

Penyelidikan dimulai dengan memilih dokumen sejarah. Dalam hal ini

sumber primer yang digunakan adalah Babad Kartasura II atau disebut BK II. BK

II dipilih setelah serangkaian proses pemilahan sumber primer didasari oleh

minimnya sumber tersebut digunakan sebagai sumber sejarah. Dalam

menggunakan babad, disadari persoalan metodologis yang menurut Bambang

Purwanto paling sering muncul adalah: 1) penulis tidak membaca langsung

naskah yang asli, dan hanya tergantung pada naskah yang sudah dilatinkan karena

ketidakmampuan penulis membaca naskah dengan aksara Jawa, dan 2) naskah

yang diterima tidak lengkap.50 Tentu hal itu dipahami sepenuhnya, sehingga

skripsi ini diharapkan mampu meminimalisir kelemahan metodologis tersebut.

48
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah. 1975.
Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, hlm. 32.
49
Bernheim, Ernst. 1903. Lehbuch der histosirchen Methode und der
Geschichtsphilosophie dalam makalah Teuku Ibrahim Alfian. “Paradigma dalam
Merekonstruksi Suatu Fenomena Sejarah”. 2003, hlm. 6.
50
Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!.
Yogyakarta: Penerbit Ombak, hlm. 94-95.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
30

Kegelisahan Bambang Purwanto hampir senada dengan yang diungkapkan C.C.

Berg:

“Bahasa Jawa kuna masih menghadapkan kita kepada demikian banyak


kesulitan, sehingga tentang makna pelbagai berita di dalam Nagarakrtagama dan
Pararaton –untuk hanya menyebutkan dua sumber berita tentang zaman lampau Tanah
Jawa- masih belum tercapai kebulatan pendapat, dan beberapa buah naskah sudah dikenal
dalam bahasa Jawa kuna, namun masih merupakan buku tertutup karena satu sebab yang
mudah dimengerti, ialah pengarangnya telah menuliskan berita-beritanya dengan suatu
cara, yang kiranya hanya dapat ditangkap oleh sesama bangsanya yang tahu akan apa
51
yang dikatakannya.”

Teknik yang ditempuh untuk meminimalisir kesalahan tafsir dalam

membaca babad sebagai sumber historiografi tradisional sekaligus sumber primer

adalah dengan mendudukkan babad pada tempat penting dalam konteks sejarah

Jawa. Sudah semestinya babad menjadi medan penelitian yang diperhitungkan

bagi penelitian sejarah Jawa dan Indonesia. Bagi M.C. Ricklefs, semua sumber

baik lokal maupun asing harus diperlakukan sama, yang penting adalah perlu

diterapkannya kritik sejarah yang normal dan kritis terhadap sumber-sumber itu.52

Pandangan tersebut menjelaskan bahwa kajian penelitian sejarah tidak

memandang sebelah mata pada sumber tradisi maupun sumber kolonial karena

melalui dokumen-dokumen tersebut tabir masa lalu yang jaraknya cukup lama

bisa disingkap. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah babad merupakan

sebuah teks yang memiliki fungsi:

Pertama, sebagai alat dokumentasi. Kedua, sebagai media untuk mentransfer


memori masa lalu antar generasi. Ketiga, sebagai alat untuk membangun legitimasi.
53
Keempat, sebagai bentuk ekspresi intelektual.

51
C.C. Berg. 1985. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara Karya
Aksara, hlm. 2-3.
52
Bambang Purwanto. op.cit. 96.
53
Ibid, 98.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
31

Secara metodis, berita dari luar atau arsip kolonial dapat dihubungkan

dengan babad untuk memperoleh gambaran sejarah secara lebih komprehensif dan

analitis. Dengan menggabungkan kedua data dan melakukan validitas kebenaran

dari sumber baik arsip kolonial maupun babad, maka akan ditemukan gambaran

sejarah yang lebih jelas.

Untuk sampai pada tujuan tersebut, setidaknya masih perlu disadari betapa

pentingnya mengetahui ciri-ciri historiografi tradisional karena akan sangat

membantu pada analisis kritis, di antaranya: a) kebanyakan karya-karya tersebut

kuat dalam genealogi, tetapi lemah dalam kronologi dan detil-detil biografis, b)

tekanannya adalah pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan penggunaan

sejarah sebagai alat pengajaran agama, c) bila karya-karya tersebut bersifat

sekuler maka nampak adanya persamaan dalam hal perhatian pada kingship

(konsep mengenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas

yang ortodoks, dan d) pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan astrologis

cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan mengenai sebab-akibat

dan ide kemajuan (progress).54

Metode sebagai bagaimana orang memperoleh pengetahuan (how to know)

dan metodologi sebagai mengetahui bagaimana harus mengetahui (to know how to

know)55 ibarat pisau bedah dalam penelitian sejarah. Karenanya dua hal tersebut

menjadi sangat penting. Namun, ada empat perangkat yang perlu terlebih dahulu

dikemukakan, sebagaimana Louis Gottschalk, yaitu di mana (geographical), siapa

54
Taufik Abdullah (red.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan
Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 9.
55
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 1-4.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
32

(biographical), bilamana (chronological), dan apa (functional atau

occupational).56 Pertanyaan-pertanyaan ini nantinya yang dibutuhkan untuk

memahami detil setiap peristiwa sejarah dan menemukan fakta-fakta historis.

Adapun perangkat babad yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Babad Kartasura57 yang dialih aksara dari aksara Jawa ke aksara Latin dan

dialihbahasakan dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia oleh Moelyono

Sastronaryatmo sebagai sumber primer. Pemilihan babad tersebut mulanya

dilatarbelakangi oleh minimnya kajian atas Babad Kartasura sebagai sumber

primer ketika mengkaji persoalan Kartasura. Babad Kartasura versi ini terbagi ke

dalam dua buah buku, yakni Babad Kartasura I dan Babad Kartasura II.

Ketika menghadapi babad sebagai sumber primer, sulit untuk dipastikan

karya-karya tersebut ditulis oleh segelintir orang atau ditulis oleh beberapa orang

(gubahan). Menurut Ricklefs, pengarang pertama yang identitasnya dapat

diketahui dari dokumen-dokumen VOC dan dari tradisi-tradisi Jawa ialah Carik

Braja (juga dikenal sebagai Tirtawiguna), yang aktif di istana Kartasura sejak

sekitar tahun 1718 serta menjadi penasihat utama raja pada tahun 1730-an dan

1740-an lalu menjabat sebagai patih hingga wafat pada tahun 1751. Ia telah

menulis sebuah kronik (Babad Kartasura).58 Masih menurut pandangan Ricklefs,

56
Teuku Ibrahim Alfian, op.cit. 11.
57
Babad Kartasura I dan II dialih aksara dan bahasa oleh Moelyono
Sastronaryatmo dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
pada tahun 1981.
58
Ricklefs, M.C. 2008. op.cit. 110.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
33

M.C. disebutkan ada kemungkinan Babad Kartasura ditulis ulang kembali pada

masa Nahuys pada sekitar tahun 1869.59

Dari koleksi naskah-naskah di Kraton Yogyakarta60 dan Museum

Sonobudoyo Yogyakarta61, dapat ditelusuri beberapa versi Babad Kartasura.

Sebagian malah ada yang ditulis pada masa Hamengkubuwono. Di sini, temuan

yang paling mendekati karakter Babad Kartasura I dan II adalah Babad

Kartasura koleksi W.63 Babad Kartasura: Amangkurat III dumugi Pakubuwana

II yang mengisahkan sejarah Kartasura di bawah Amangkurat III (Mas), PB I,

Amangkurat IV dan PB II. Teks mulai dengan penobatan Amangkurat III tahun

1703.62

Sumber penelitian ini tidak menyantumkan kolofon sehingga ada

kemungkinan babad ditulis oleh pujangga lain yang mungkin berbeda zaman.

Narasi dalam Babad Kartasura II ditulis terhenti begitu saja ketika Kanjeng Ratu

Kancana, istri Pakubuwana II, meninggal dan saudaranya Pangeran Purubaya

dituduh makar, yakni pada sekitar tahun 1737.63 Memang, sekali lagi, tidak

diketahui dengan pasti mengapa naskah tersebut tidak selesai ditulis. Dalam hal

59
Ricklefs, M.C. 1998. op.cit. 33 dijelaskan, “A remarkable reference
pointing in a different direction occur in a Babad Kartasura written in Surakarta in
AD 1798 (1869). Here it is said that the person who yasa the work was a
European named Tuwan Naheis (Nahuys), while he who was ordered to copy it
was named Jayengpremadi.”
60
Lindsay, Jennifer, et.al. 1987. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara
Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
61
Behrend, T.E. (ed.). 1990. Katalog Naskah-naskah Nusantara Jilid 1:
Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.
62
Lindsay, Jennifer, et.al. op.cit. 105.
63
BK II. op.cit. 338-340.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
34

ini, disadari masih perlunya penelitian lebih lanjut mengenai versi asli dari Babad

Kartasura tersebut.

Mengacu pada pandangan Bambang Purwanto, babad ini diterima dalam

kondisi tidak lengkap. Lalu seberapa terpercaya Babad Kartasura bisa dijadikan

sebagai sumber primer? Persoalan metodologis tersebut diselesaikan dengan:

1. Babad tersebut ditempatkan pada zamannya;

2. Ketidakjelasan atau kerancuan temuan dari babad tersebut akan

dibandingkan dengan menghadirkan sumber-sumber lain berupa babad

lain atau sumber sekunder sebagai pembanding, dalam hal ini digunakan

hasil-hasil penelitian yang sudah ada, seperti karya-karya Thomas

Stamford Raffles, M.C. Ricklefs, Aminuddin Kasdi dan Daradjati. Hal ini

berlaku juga untuk periode yang diteliti dari skripsi ini.

Skripsi ini khusus menggunakan Babad Kartasura II sebagai sumber

primer dilandaskan pada ruang lingkup kajian skripsi secara temporal dibatasi

pada kurun pemerintahan Pakubuwana II. Babad Kartasura II menarasikan masa

pemberontakan Pangeran Balitar dan Pangeran Purbaya melawan Amangkurat IV

atau Amangkurat Jawa (1719-1726) dan berakhir ketika Pangeran Purubaya,

saudara Kanjeng Ratu Kancana, dituduh makar, atau sekitar tahun 1737. Periode

tersebut dipandang paling relevan dengan kajian skripsi ini.

Adapun gambaran bentuk isi dari Babad Kartasura II adalah sebagai

berikut: terdiri dari dua bagian, yaitu Bahasa Jawa yang terdiri atas 7 (tujuh) Bab

dengan susunan Pupuh 1: Durma (242 bait), Pupuh 2: Sinom (145 bait), Pupuh 3:

Pangkur (73 bait), Pupuh 4: Sinom (82 bait), Pupuh 5: Dhandhanggula (103 bait),
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
35

Pupuh 6: Asmaradana (118 bait), dan Pupuh 7: Sinom (30 bait); dan bagian kedua

dalam versi Bahasa Indonesia yang hadir dari halaman 203-340. Babad Kartasura

II dilengkapi dengan catatan dan penjelasan mengenai istilah-istilah di seputaran

kehidupan keraton, jabatan, hingga detil arsitek seperti interior dan fungsi

bangunan di dalam keraton yang dimuat dari halaman 341-378. Pada bagian akhir

dari Babad Kartasura II dihadirkan keterangan dan singkatan sumber. Sumber

primer ini diperoleh dari Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dengan nomor

panggil 899.222 BAB/II/K koleksi ruang baca dan koleksi sirkulasi.

I. Sistematika Penulisan

Skripsi berjudul “Kartasura Bergolak: Studi tentang Konflik Internal Masa

Kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749)” akan ditulis dalam 5 (lima) bab,

yaitu:

Bab I, pendahuluan yang membahas latar belakang penulisan,

permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori,

pendekatan, metode dan sumber penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II menyajikan deskripsi singkat Kartasura pada periode sebelum dan

ketika tahun 1726-1749 sekaligus kemunculan konflik-konflik internal di dalam

keraton.

Bab III membahas dinamika konflik internal di dalam Kartasura,

kebijakan, dan penyelesaian dari Paku Buwono II dalam membendung meluasnya

konflik internal di dalam keraton.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
36

Bab IV menggambarkan dampak-dampak yang ditimbulkan dari gejolak

konflik internal bagi Kartasura.

Bab V, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan sekaligus jawaban

atas masalah yang diajukan dalam bab pendahuluan.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
37

BAB II
SITUASI MATARAM PADA MASA PAKUBUWANA II

A. Kartasura Sebelum Tahun 1726

Dalam tulisan ini dibicarakan perihal konsep politik dan faktor-faktor yang

menyebabkan munculnya konflik internal di Kartasura, khususnya pada periode

kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749). Pembahasan bab ini disampaikan

menurut periodisasi yakni (a). sebelum tahun 1726, dan (b). sepanjang kurun

pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II tahun 1726-1749. Pembabakan

dilakukan untuk mengetahui akar historis dari kecenderungan perilaku elit politik

yang berkembang di Kartasura pada masa sebelum dan semasa Pakubuwana II.

Perilaku elit politik pada masa susuhunan tidak bisa dilepaskan dari perilaku elit

politik para pendahulunya. Dari tinjauan tersebut, di bagian akhir bab, diuraikan

faktor-faktor yang cenderung menjadi penyebab munculnya konflik internal di

Kartasura.

Dirunut melalui historiografi tradisional, sejarah konflik kekuasaan

Mataram telah berlangsung lama. Mataram (Baru) didirikan oleh Ki Ageng

Pemanahan pada tahun 1575. Mataram awalnya adalah vassal1 dari Pajang,

1
Penggunaan istilah vassal dapat dijumpai dalam G. Moedjanto. 2002.
Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Vassal
juga berarti orang yang memegang perdikan; orang yang berhutang kesetiaan dan
pelayaan kepada tuan feodal. Dalam Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik:
Suatu Orientasi. Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 40-41 vassal bertujuan
mengenai perlindungan dan/atau tanah dengan hubungan timbal balik antara
kesetiaan dan jasa. Perlindungan tersebut harus dibayar, diminta balas jasa,
terutama jasa dalam peperangan.

37
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
38

namun kemudian melepaskan diri dari kekuasaan Pajang dan berdiri sebagai

kerajaan sendiri pada tahun 1586.

Mataram menganut sistem monarki. Monarki berasal dari bahasa Yunani

monos yang berarti satu dan archein yang berarti pemerintahan, satu pemerintah.

Dalam sistem kekuasaan tersebut, raja memerintah seumur hidup dan jabatan

diwariskan secara turun temurun. Dalam konsep monarki secara umum, keturunan

yang menjadi pewaris takhta tidak mutlak laki-laki. Penguasa monarki ada yang

perempuan di antaranya memiliki gelar Sultanah, Tsarina, atau Ratu.

Di Jawa, raja tinggal di sebuah kompleks yang disebut dengan kraton.

Kraton berasal dari kata ke-ratuan yang artinya tempat pemimpin, pimpinan atau

tempat menyelenggarakan kepemimpinan. Ratu dari kata rat yang artinya jagad,

dunia, yang hayu atau damai. Kraton merupakan pusat jagad raya. Menurut

Darsiti Soeratman, istilah kraton memiliki beberapa arti, di antaranya adalah (1)

negara atau kerajaan, (2) pekarangan raja, meliputi wilayah di dalam tembok

Baluwerti, dan (3) termasuk mencakup wilayah yang lebih luas, yakni alun-alun.2

Sebagai kelanjutan dari Mataram, Kartasura yang dibangun pada masa

Amangkurat II (1677-1703) tak lepas dari konflik. Sebagian besar konflik yang

muncul erat dikaitkan dengan suksesi3. Perebutan kekuasaan di antara keturunan

raja membuat dinamika sejarah politik di dalam istana tidak pernah reda dari

gejolak konflik internal.

2
Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939.
Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa, hlm. 1.
3
Merujuk pada istilah yang digunakan oleh G. Moedjanto yang berarti
pergantian. Dalam konteks sejarah, hal tersebut berkaitan dengan pergantian raja
atau penguasa. Lihat G. Moedjanto. op.cit. 2.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
39

Pada Juni 1704, VOC mengakui Puger sebagai Susuhunan Pakubuwana I

(1704-1719), dan meletuslah konflik yang terkenal sebagai Perang Suksesi Jawa I

(1704-1708).4 Dalam konflik tersebut, VOC terlibat secara langsung dengan

Mataram, khususnya pada bantuan di bidang militer. Secara historis, keterlibatan

VOC pertama kali dengan kraton Jawa terjadi saat mengatasi serangan Trunajaya

atas Mataram pada periode Amangkurat I (1646-1677). Sejak meletus Perang

Perebutan Takhta Jawa Pertama (1704-1708), kemudian terjadi dua perang besar

lagi yang berhubungan dengan perebutan kekuasaan, yakni Perang Perebutan

Takhta Jawa Kedua (1719-1723), dan Perang Perebutan Takhta Jawa Ketiga

(1746-1757).

Sosok Puger sebelumnya pernah dituduh sebagai salah satu tokoh pemicu

pemberontakan ketika Amangkurat II mangkat. Salah satu alasannya, Raden

Suryakusuma, putra Puger, mangkir kembali ke Kartasura setelah mengiringi

jenazah Amangkurat II ke pemakaman di Imogiri. Sebaliknya, pangeran malah

menyatakan diri sebagai raja dengan gelar Prabu Panatagama. Puger dituduh

susuhunan menghasut Suryakusuma memberontak.5

Pada tahun 1703 Amangkurat II wafat dan digantikan oleh putranya,

Amangkurat III (1703-1708).6 Puger adalah paman Amangkurat III. Puger dikenal

sosok yang suka mbalelo. Beberapa kali upaya Puger untuk melemahkan kekuatan

Kartasura berhasil dipatahkan oleh susuhunan berkat bantuan VOC. Dipandang

sebagai sosok yang cukup kontroversial, Puger akhirnya berhasil menjadi raja di

4
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, hlm. 187.
5
G. Moedjanto. op.cit. 76.
6
M.C. Ricklefs. op.cit. 186.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
40

Kartasura. Dalam diplomasi politiknya, Puger melibatkan Tumenggung

Yudanegara, Bupati Semarang, dan berhasil melicinkan upayanya menguasai

Kartasura meski sebelumnya pihak VOC sempat dikecewakan oleh Kartasura atas

peristiwa terbunuhnya Kapten Tack7 dan menduga peristiwa tersebut melibatkan

Puger. Dikemukakan pula bahwa Puger mendapat dukungan dari sebagian besar

pembesar di Jawa seperti Angabei Jangrana II dari Semarang dan Cakraningrat II

dari Madura. Puger juga menekankan perihal persekutuan antara Amangkurat III

dengan Surapati, sang pemberontak.8

7
Penelitian tentang peristiwa ini dilakukan oleh De Graff, H.J. melalui
disertasinya tahun 1935 yang kemudian diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti
pada 1989 dengan judul Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut di Kartasura Abad
XVII. Tulisan tersebut menyajikan peristiwa terbunuhnya Kapten François Tack
pada 8 Februari 1686 dalam suatu huru-hara yang disulut oleh Surapati bersama
gerombolannya di Kartasura dan dikaitkan dengan aspek-aspek sosial, ekonomi,
dan politik pada masa pemerintahan Amangkurat II. Di masa Amangkurat II,
sikap politik susuhunan sebagai pemimpin Kartasura terhadap VOC dinilai
mendua atas peristiwa tersebut. Di satu sisi Amangkurat II dikenal sebagai ‘anak
emas’ Kompeni, namun di sisi lain susuhunan ‘merestui’ gerombolan Surapati
membunuh Kapten Tack. Tack adalah sosok duta istimewa VOC untuk Kartasura.
Dari penelitian tersebut disimpulkan jika yang membunuh Kapten Tack adalah
Surapati. Namun dalam versi Babad Tanah Jawi Buku III, hlm. 189 dikisahkan
kehebatan Puger melawan dan mengalahkan Kapten Tack dengan menggunakan
tombak Kiai Plered. Di situ dijelaskan ia melakukan penyamaran seperti pasukan
Surapati. Ricklefs, M.C. op.cit. 182 menyebutkan, “Pangeran Puger-lah, yang
keselamatannya menjadi perhatian khusus VOC, yang sebenarnya membunuh
Tack.”
8
M.C. Ricklefs, “Surat Pangeran Puger yang sedang dalam pelarian
kepada Pemerintah Agung, 5 Mei 1704”, dalam Harta Karun, Khazanah Sejarah
Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 4. Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia, 2013. Diakses melalui http://www.sejarah-
nusantara.anri.go.id/media/dasadefined/HartaKarunArticles/HK004/Doc_4_Ind.p
df pada 9 September 2014 13:37 WIB.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
41

Puger kemudian secara terbuka dilantik menjadi penguasa oleh Belanda di

Semarang pada tanggal 19 Juni 1704.9 Puger dan kekuatannya mulai bergerak ke

Kartasura pada September 1705. Amangkurat III yang terdesak, akhirnya lari ke

Jawa Timur. Bersamanya dibawa serta semua tanda kebesaran (pusaka)

kerajaan.10

Setelah memerintah Kartasura, Puger yang dikenal dengan Pakubuwana I

(1704-1719) mangkat. Dari narasi tersebut dapat dianalisis bahwa naiknya Puger

ke takhta sebagai ‘raja tandingan’ Amangkurat III melanggar adat kebiasaan

suksesi. Waktu itu, Amangkurat III adalah pewaris sah dengan gelar putra

mahkota dan dinobatkan sebagai raja pada tahun 1703. Menurut konsep politik

patrimonial dalam kerajaan yang merunut pada garis ayah sebagai pewaris takhta,

hal itu tidak selaras. Karenanya, Puger merasa perlu memperkuat legitimasinya. Ia

kemudian membangun legitimasinya dengan dalil wahyu kraton. Wahyu tersebut

berupa sinar yang memancar dari organ vital jenazah Amangkurat Amral, yang

hanya dilihat oleh si penganggap-diri calon penerima wahyu kraton itu sendiri.11

9
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Yogyakarta:
Penerbit Narasi, hlm. 542.
10
Ricklefs, M.C. op.cit. 189 menulis bahwa “Amangkurat III mungkin
telah membagi-bagikan pusaka-pusaka tersebut kepada para pengikutnya,
menyembunyikannya di Jawa Timur, atau menyelundupkannya ke tempat
pengasingan bersamanya, atau meleburnya.” Namun dalam Babad Tanah Jawi
disebutkan kisah heroik Puger yang mengalahkan Kapten Tack dengan tombak
Kyai Plered. Menurut G. Moedjanto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa:
Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 32 tombak
tersebut diperoleh Puger dari Amangkurat I, ayahnya: “Sebagai tanda pemberian
kekuasaan Amangkurat I memberikan pusaka kerajaan antara lain tombak Kyai
Plered.” Untuk pendapat mengenai pusaka dapat dilihat kembali di hlm. 21.
11
Poespaningrat, Pranoedjoe. 2012. Kisah Para Leluhur dan Yang
Diluhurkan. Yogyakarta: BP. Kedaulatan Rakyat, hlm. 66. Hal senada juga
dikemukakan dalam G. Moedjanto. 2002. op.cit. 85.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
42

Puger kemudian digantikan oleh Amangkurat IV atau Amangkurat Jawa

(1719-1726). Menurut G. Moedjanto, belum lama setelah Amangkurat IV naik

takhta, ia mencabut gelar pangeran adipati dari Pangeran Purbaya dan Pangeran

Balitar. Kecewa atas perlakuan Amangkurat IV, kedua pangeran tersebut

menghimpun kekuatan untuk melawan susuhunan. Mereka bergerak ke Nagari

Kartasari12 (Mataram lama). Di Kartasari, Balitar dinobatkan sebagai raja dengan

gelar Sultan Ibnu Mustapa Pakubuwana Alagan Senapati Abdulrahman Sayid

Panatagama.13 Sementara Purbaya memangku jabatan sebagai panglima perang.

Seiring waktu, Panembahan Purbaya memerintahkan kepada para mantrinya

untuk mengembangkan daerah dan memperluas tanah jajahan.14 Dalam Babad

Kartasura II yang selanjutnya disebut BK II disebutkan wilayah taklukan

Kartasari meliputi Parimana, Kedu, Toyamas (Banyumas), Wanakarta, Pamreden,

Bandar, Sigaluh dan Dersanan. Dikisahkan bahwa kondisi Kartasura sedikit sepi

karena banyak warganya mengungsi ke Mataram Kartasari.

Sementara itu, Herucakra, saudara tua Amangkurat IV, pada mulanya

memilih bergerak sendiri dan tidak bergabung dengan kedua saudaranya yang

lain. Melihat sikap Herucakra, Amangkurat IV mengirim utusan agar ia datang ke

Kartasura. Permintaan itu ditolak dengan halus. Raja menerima laporan Ki

12
BK II. Alih aksara dan bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo. 1981.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lokasi ini awalnya disebut
Nagari Kartawinatan, lalu oleh Purbaya diganti menjadi Nagari Kartasari.
13
Ibid, 208. Dalam Ricklefs, M.C. 1998. The Seen and Unseen Worlds in
Java, 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II.
Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai'i Press, hlm. 311
diungkapkan, “In 1719 Png. Blitar rebelled with his brother Png. Purbaya against
Susuhunan Amangkurat IV. The rebels were driven from Kartasura to Mataram.”
14
BK II, op.cit. 209.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
43

Demang Kenceng, amatlah murka hatinya sebab merasa dirinya diremehkan oleh

Panembahan Herucakra.15 Ia kemudian mengutus Demang Kenceng agar

mengusir Herucakra yang saat itu bermukim di Semanggi. Herucakra akhirnya

bergabung dengan kedua saudaranya di Kartasari.16

Pada tahun 1719, Amral Baritman, perwakilan VOC, bersama Adipati

Mangkupraja menyerang Kartasari.17 Dalam serangan itu, Mataram Kartasari

berhasil diduduki. Perlawanan dari para pangeran tersebut memicu Perang

Perebutan Takhta Jawa Kedua yang berlangsung sepanjang kurun 1719-1723.

Perang tersebut adalah perebutan kekuasaan di antara putera-putera Puger. Perang

yang memecah-belah persaudaraan. Balitar wafat pada tahun 1721. Nasib dua

pangeran lainnya, sebagaimana disebutkan dalam BK II adalah sebagai berikut:

Panembahan Herucakra
Wus binucal dhateng Pulo Kap anenggih
Punika putra tuwa18

Terbukti Panembahan Herucakra sebagai putra tertua Ingkang Sinuhun Kartasura dengan
sengaja membantu atau mendorong Pangeran Balitar mengadakan makar terhadap
kekuasaan yang sah di Kartasura. Hukuman yang dijatuhkan, dibuang ke Pulo Kap. 19

Panembahan Purbaya
Aneng beteng Ngalang-alang ing Betawi
Saputra garwanira20

Panembahan Purbaya, menerima hukuman diasingkan dalam penjara Alang-alang di


Betawi bersama-sama istri dan putranya.21

Berdasarkan narasi di atas dapat diketahui bahwa intrik dan konflik

internal di Kartasura sudah terbentuk sebelum pemerintahan Pakubuwana II. Pada

15
Ibid, 224.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid, 137.
19
Ibid, 299.
20
Ibid, 137.
21
Ibid, 300.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
44

masa sebelumnya kecenderungan konflik internal terjadi karena suksesi. Periode

kepemimpinan Pakubuwana II ibarat puncak ‘bola salju’ dari intrik yang terus

menggelinding dari periode ke periode. Konflik internal yang terjadi pada masa

pemerintahan Pakubuwana II dipicu oleh faktor dan alasan yang lebih beragam

hingga berakhir dengan perpecahan kraton ke dua wilayah kekuasaan yaitu

Surakarta dan Yogyakarta.

B. Kartasura pada Periode 1726-1749

Kematian Amangkurat IV mengawali takhta Pakubuwana II.22 Sebelum

mangkat, susuhunan memanggil Patih Danureja. Peristiwa tersebut dalam BK II

digambarkan sebagai berikut:

Yata sanget gerahe Narpati


Datan samar karsane Hyang Suksma
Yen wus tekeng ing jangjine
Sang Nata saya nglayung
Para garwa pepak neng ngarsi
Kiya Patih Danurja
Tinimbalan gupuh
Prapteng ngarsa den pitungkas
Heh Danureja ingsun wus prapta ing jangji
Putrengong Ki Dipatya

Sira junjunga dadi narpati


Gumantiya marang jenengingwang
Yen sarta Allah karsane
Yen putrangong kang sepuh
Tan rinilan marang Hyang Widhi
Ki Dipati arinya
Ki Buminateku
Anadene Ki Dipatya
Papat iku singaa salah sawiji
Liyane sun tan lila

22
Ibid, 307 disebutkan tahun kematian Amangkurat IV adalah pada tahun
1677. Mengacu pada Daradjati. 2013. Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan
Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta: Kompas, hlm. 125, Amangkurat IV tutup
usia pada tahun 1726. Hal ini senada dengan pendapat Ricklefs, M.C. 2008.
op.cit. 194, tahun kematian Amangkurat IV disebut juga pada tahun 1726.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
45

Kiya Patih Danurja wotsari


Srinarendra malih angandika
Yen wekasingsun apateh
Poma sira den gupuh
Akirima laying tumuli
Mring Jendral Gurnadur
Ki Dipati matur sandika
Punang carik tinimbalan sampun prapti
23
Nulya akarya serat.

Raja yang sedang sakit, bukannya tambah baik malahan sebaliknya. Semua
abdidalem raja berjaga-jaga, segala sesuatunya sudah dipersiapkan manakala setiap saat
raja mangkat.
Suatu ketika raja memanggil Patih Danureja, di samping istri-istri raja yang
sudah menghadapnya. Kepada Patih Danureja, Raja berpesan, “Danureja, sudah dekat
waktunya aku akan menghadap Tuhan Yang Mahaesa. Padamu kuperintahkan:
1. Sesurud saya, putraku Pangeran Adipati Anom Amangkunagara-lah yang kupilih
mengganti takhta kerajaan. Untuk itu sewaktu-waktu aku mangkat, laksanakanlah
penobatannya dengan baik-baik.
2. Akan halnya, putraku yang terlahir dari Kanjeng Ratu Ageng, si Pangeran Adipati,
sudah menjadi takdirnya tak dapat menggantikan takhtaku. Tuhan tak
mengijinkannya.
3. Salah seorang dari keempat putranya, diharapkan raja untuk menjadi adipati di
samping penunjukan raja pada adiknya Pangeran Adipati Mangkunagara yang
bernama Buminata.
4. Pada Patih Danureja, raja mengharapkan selekas mungkin untuk melaporkan perihal
24
tersebut ke Betawi, guna minta persetujuan Gubernur Jenderal.

Atas dasar titah tersebut, Patih Danureja menemui Kanjeng Ratu Ageng

dan memberikan penjelasan kepadanya bahwa Pangeran Adipati Anom

Amengkunagara yang akan dinobatkan menjadi raja menggantikan susuhunan.

Dijelaskan di situ bahwa Ratu Ageng sendiri menerima keris pusaka dari

susuhunan.25 Menurut paugeran (aturan), pangeran adipati anom yang menjadi

raja. Kanjeng Ratu Ageng sebenarnya tidak menghendaki Kanjeng Pangeran Arya

23
BK II. op.cit. 145-146.
24
Ibid, 305-306. VOC pada periode ini dipimpin oleh Gubernur Jenderal
Mattheus de Haan (1725-1729). Profil lebih lengkap mengenai dia dapat dilihat
melalui http://www.vocsite.nl/geschiedenis/personalia/dehaan.html diakses pada
tanggal 4 Mei 2015 pkl. 18:16 WIB.
25
Ibid, 306: “Ratu Ageng, terimalah keris pusaka ini. Anakku Pangeran
Adipati Arya Amangkunagaralah yang berhak untuk memakainya.” Tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai detil pusaka tersebut.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
46

duduk di takhta.26 Ia masih mengharapkan putranya yang menjadi raja. Sebaliknya

raja menginginkan pangeran adipati anom Amengkunegara sebagai

penggantinya. Ketidakcocokan itu sempat membuat raja mengirim kedua putra

putri Kanjeng Ratu Ageng untuk dikebonkan.27 Untuk mengatasi kemelut

tersebut, Patih Danureja segera mengirim utusan ke Batavia dan mengambil

langkah-langkah antisipasi. Ia melakukan pengamanan di sekitar Kartasura dan

diam-diam mengumpulkan dipati-dipati, para punggawa, bupati, wedana di

istana.28

Mengenai putera dan puteri Amangkurat IV dalam BK II dinarasikan

sebagai berikut:

Kuneng kacarita Sang Aji


Akathah putranira
Kang estri wewolu
Ingkang jalu kalihdasa
Ingkang sampun diwasa amung kekalih
Kang satunggal wus nama

Pangeran Arya Mangkunagari


Garwa kawitan ingkang peputra
Den Mas Ambiya arine
Kang miyos sing jeng ratu
Kacarita amung kekalih
Pambajengipun priya
Warnane abagus
Nama Dyan Mas Prabayeksa
Maksih timur sampun sinungan kekasih
Pangeran Adipatya

Ginadhang-gadhang gumantya aji


Mring kang ibu Ratu Geng kang asma
Dene karsane Sang Rajeng
Anging putra kang sepuh
Pangran Arya Mangkunagari
Gumantya dadya nata
Karsane sang prabu

26
Ibid, 308.
27
Ibid, 305 dan 365. Dikebonkan berarti dipindah tempat kediamannya,
biasanya keluar lingkungan istana.
28
Ibid, 309-311.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
47

Ratu Geng kedah kang putra


Pangran Dipati Anom gumantya aji
Sang Nata dereng karsa

Kang pirembag maksih apradongdi


Pangran Dipati rayi wanodya
Mangkana ing caritane
Dene ratu kang sepuh
Ri sampunya peputra kalih
Kinebon mring Sang Nata
Kang rayi pinundhut
Anama Ratu Kancana
Pan jumeneng Ratu Kadipaten nenggih
Ngarangulu kang raka

Wus patutan sakawan winarni


Samya priya dene para putra
29
Miyos saking ampeyane.

Tepat pada hari Senin, di bangsal pasowanan ageng dinobatkan Pangeran

Adipati Arya Amengkunagara menjadi raja Kartasura.30 Anugerah gelarnya

adalah Susuhunan Pakubuwana Senapati Alaga Abdurahman Sayidin

Panatagama. Peristiwa penobatannya dalam BK II jatuh pada tahun 173131 dan

disaksikan oleh Kumendur Ritlup Diyansah, utusan dari VOC.

29
Ibid, 143-144 disebutkan bahwa susuhunan memiliki dua puluh delapan
orang putera-puteri, delapan orang puteri dan duapuluh orang putera. Pangeran
Adipati Anom Amengkunagara terlahir dari istri pertama. Sementara dari Kanjeng
Ratu Ageng memiliki dua orang anak, satu putera bernama Raden Mas
Prabayeksa dan seorang lagi wanita. Raja juga memperistri adik perempuan
Kanjeng Ratu Ageng yang kemudian diberi nama Ratu Kancana (Ratu Kadipaten)
dan memiliki empat orang putera. Sisanya adalah anak-anak yang lahir dari garwa
ampeyan (selir) raja.
30
Ibid, 311.
31
Ibid, 312 ditandai dengan candrasengkala, “Warsi Tinata Rasa Tunggal”
yang menunjuk angka tahun 1656 AJ atau 1731 AD. Peristiwa penobatan
Pakubuwana II ini versinya berbeda dari beberapa sumber sekunder seperti dalam
Daradjati, op.cit. 127 yang menyebut, “Pada hari Minggu, 2 Juni 1726, bertepatan
dengan rakyat Mataram merayakan Idul Fitri, Pangeran Adipati Anom akhirnya
naik takhta.” Sementara Ricklefs, M.C. 2008. op.cit. 194 secara implisit
menyebutkan bahwa Pakubuwana II memerintah sejak tahun 1726.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
48

Susuhunan kemudian menikah dengan salah seorang putri Panembahan

Purbaya32, yakni Raden Ajeng Suwiyah, atau Kanjeng Ratu Kancana. Menurut

ramalan ahli nujum, kelak di kemudian hari cucunda Panembahan Purbaya akan

jadi raja, dan Kartasura akan berpindah ke timur di sebelah barat bengawan.33

Peristiwa perkawinan agung ini terjadi pada tahun 1726.34

Pernikahan susuhunan dengan Kanjeng Ratu Kancana dipandang

mengandung muatan politis karena susuhunan secara simbolis hendak

menunjukkan bahwa ia didukung oleh kekuatan yang dulu pernah berseberangan

dengan Amangkurat IV, ayahandanya. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pada

masyarakat Jawa tradisional politik perkawinan semacam itu memiliki tujuan

untuk menjaga hubungan baik, rekonsiliasi, atau ruang diplomasi dan menekan

ancaman bahaya seperti kudeta yang mungkin akan dilakukan oleh saudara-

saudara Kanjeng Ratu Kancana.

Konsep integrasi yang dibangun Susuhunan Pakubuwana II dengan trah

Purbaya melalui pernikahan, menurut G. Moedjanto adalah upaya pembinaan

kekuasaan35 atau rekonsiliasi yang dilakukan dengan menyusun silsilah politik.

32
Sejak tertangkap dalam pemberontakan melawan Amangkurat IV,
Purbaya ditawan di beteng alang-alang Betawi (Batavia) dan dikirim kembali ke
Kartasura dalam keadaan meninggal pada tahun 1737. Dalam rombongan
Panembahan Purbaya, ikut serta putra-putri, istri-istri dan punggawa Kapurbayan.
Lihat BK II. op.cit. 316-317.
33
Ibid, 313.
34
Versi Ricklefs, M.C. 1998. op.cit. 5 menyebutkan bahwa peristiwa
penobatan Pakubuwana II menjadi raja adalah sekaligus peristiwa pernikahannya
dengan permaisuri Kanjeng Ratu Kancana, “His (Pakubuwana II) marriage to his
uncle Purbaya’s 14-year-old daughter was also announced on that day (2 June
1726), and was subsequently celebrated on 10 June.”
35
Konsep pembinaan kekuasaan ini merujuk pada pandangan G.
Moedjanto. 1987. op.cit. 89. Pandangan ini hampir senada dengan gagasan P.J.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
49

Perkawinan bisa menjadi sarana untuk menghindari konflik. Selain dengan trah

Purbaya, Pakubuwana II juga menikah dengan Retno Dumilah, keturunan dari

Amangkurat III yang diasingkan ke Ceylon.

Di saat Amangkurat III meninggalkan Kartasura pada tahun 1705, ia

membawa hampir seluruh pusaka kraton yang penting hingga ke tempat

pembuangannya di Ceylon.36 Kurun Amangkurat IV (1719-1726),

pemerintahannya diguncang Perang Perebutan Takhta Jawa Kedua (1719-1723).

Satu di antara penyebab tragedi tersebut dipercaya bahwa Amangkurat IV tidak

memegang pusaka kraton. Sebagaimana disebutkan di muka, dalam konteks

masyarakat Jawa, kehilangan pusaka dapat ditafsirkan sebagai kehilangan

kekuasaan. Pusaka-pusaka tersebut berwujud: waos (tombak), keris, rasukan

(baju) yang konon disebut “Kotang Antakusuma”, dan bende Ki Bicak.37

Pusaka dipandang sebagai lambang kekuasaan. Bagi orang Jawa

kanggonan pusaka (ketempatan pusaka) berarti kanggonan pangkat (memperoleh

kedudukan tinggi) dan kanggonan panguwasa (memegang kekuasaan). Regalia

menjadi simbolnya. Ketiadaan pusaka mengindikasikan bahwa legitimasi raja

tidak kokoh hingga mudah untuk digoyahkan.

Suwarno. 1989. Sejarah Birokrasi Pemerintah Indonesia Dahulu dan Sekarang.


Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 28, yang mengedepankan bahwa dalam
perkembangan selanjutnya unsur-unsur integrasi yang menggejala dalam kerajaan
Mataram ialah: (1) unsur magis yaitu wahyu kraton, (2) kekuatan fisik yang
dipegang raja lewat pejabat-pejabat yang diangkatnya baik di pusat maupun di
daerah, (3) pejabat-pejabat untuk memusatkan kekuasaan pada tangan raja (4)
sistem penyerahan upeti dari penguasa-penguasa daerah.
36
Aminuddin Kasdi. 2003. Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni
Jawa: Relasi Pusat-Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745).
Yogyakarta: Jendela, hlm. 70.
37
BK II, op.cit. 334.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
50

Atas dasar peristiwa-peristiwa tersebut, Pakubuwana II yang dinobatkan

tanpa regalia berupaya mengumpulkan kembali pusaka-pusaka kraton dari masa

Amangkurat III. Upaya tersebut menunjukkan hasil, ketika pada tahun 1737,

bersamaan dengan kedatangan keturunan Amangkurat III dari Ceylon, pusaka-

pusaka tersebut dipulangkan kembali ke Kartasura.

Sebelum kedatangan pusaka-pusaka kraton dari Ceylon, sejak tahun 1715,

Ratu Mas Balitar telah merintis dan mengembangkan konsep magis-religius di

Kartasura, di antaranya dengan penulisan ulang dan penggubahan karya sastra,

seperti Serat Menak, Carita Sultan Iskandar, Carita Nabi Yusuf dan Serat

Cabolek. Ratu Mas Balitar, nenek, adalah permaisuri Pakubuwana I (Ratu

Pakubuwana I). Ia merupakan sosok yang memprakarsai Jawanisasi teks-teks

kuna sekaligus penyerapan unsur-unsur mistik Islam ke dalam kraton.

Ratu Mas Balitar membangun upaya politis dengan menyatakan bahwa

penulisan serat-serat itu dimaksudkan sebagai pengganti pusaka kerajaan untuk

cucunya, Pakubuwana II.38 Tindakan Ratu Mas Balitar menciptakan regalia baru

adalah sebuah pembaharuan dalam birokrasi Kartasura. Usaha kultural tersebut

berhasil karena tokoh Ratu Pakubuwana I pada awal pemerintahan Pakubuwana II

merupakan sosok yang sangat berpengaruh dan disegani.39 Di kurun dua tahun

awal pemerintahan Pakubuwana II kondisi Kartasura relatif stabil dan belum

menampakkan gejolak konflik yang mampu mengguncang takhta susuhunan.

Dalam kerajaan-kerajaan yang keramat sifatnya, seperti kerajaan-kerajaan

Jawa, konsep magis-religius memang memainkan peranan yang menentukan tidak

38
Aminuddin Kasdi, op.cit. 70.
39
Ibid, 69.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
51

hanya dalam membenarkan dan memperkokoh kekuasaan raja, tetapi juga dalam

menjelaskan peranan orang yang memerintah dan yang diperintah maupun

hubungan antara raja dan rakyatnya.40 Menurut Van Baal, konsep religi tersebut

meliputi anggapan-anggapan baik yang implisit maupun yang eksplisit yang

diterima kebenarannya dan berhubungan dengan realitas yang tidak dapat dikaji

secara empiris.41 Raja yang keramat dipandang memiliki kemampuan untuk

menempatkan diri di luar alam manusia. Balandier menegaskan bahwa hakekat

hubungan kekuasaan diresapi kekeramatan, sebab setiap masyarakat

menghubungkan dirinya sendiri dengan suatu kenyataan di luar kenyataan

duniawi, dalam hal ini antara masyarakat tradisional dengan kosmos.42 Dalam

masyarakat Jawa, sifat keramat tersebut salah satunya disimbolkan melalui

regalia. Penciptaan konsep regalia baru, menurut pandangan Ratu Mas Balitar,

mampu memperkokoh kekuasaan raja. Tanpa upaya tersebut, kedudukan

susuhunan sebagai raja dari Kartasura akan mudah digoyang.

Suksesi Amangkurat IV berjalan sesuai harapan, namun hal itu tidak

berlangsung lama. Intrik di dalam Kartasura kembali menguat. Pakubuwana II

terbukti tidak diterima oleh seluruh unsur kekuasaan di istana. Ironi yang muncul

di Kartasura adalah, saat raja naik takhta usianya baru empat belas tahun dan

belum menikah43.

40
Soemarsaid Moertono. op.cit. 2.
41
Claessen, H.J.M. op.cit. 51.
42
Ibid, 54.
43
Raffles, Thomas Stamford. op.cit. 561. Mengenai usia Pakubuwana II
saat naik takhta ada beberapa versi. Ricklef, M.C. 2008. op.cit. 194 menyebutkan
bahwa Pakubuwana II baru berusia enam belas tahun ketika diangkat menjadi
raja. Sedang G. Moedjanto. 2002. op.cit. 114 menulis hampir senada dengan
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
52

Dari sisi kematangan psikologi, kemampuan sosok ini dipandang belum

cukup matang dan mudah dipengaruhi. Artinya, kekuasaan Pakubuwana II di awal

pemerintahan seperti berada dalam bayang-bayang tokoh-tokoh yang mampu

mempengaruhinya. Dari segi pemerintahan, pengaruh Patih Danureja berperan

besar mengendalikan stabilitas kraton pada awal-awal kepemimpinannya. Dari

segi kewibawaan, Ratu Mas Balitar menjadi sosok yang berperan menempatkan

susuhunan sebagai penguasa agung dengan membangun unsur-unsur magis-

religius. Dari segi militer, susuhunan didukung oleh VOC dengan komandan

garnisun di Surakarta yang dipimpin oleh Kapten Johan Andries Baron von

Hohendorff. Kesimpulannya, Susuhunan Pakubuwana II adalah sosok raja yang

mudah dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya. Sering dikatakan bahwa

pengaruh (influence) adalah bentuk lunak dari kekuasaan.44 Biasanya orang yang

mempunyai kekuasaan memiliki pengaruh yang sama besar dengan besarnya

kekuasaan orang tersebut. Namun bisa saja orang yang tidak mempunyai

kedudukan, artinya ia tidak mempunyai kekuasaan, tetapi memiliki pengaruh.

Bakat ini muncul dari orang-orang di sekeliling Pakubuwana II.

Besarnya pengaruh dari orang-orang terdekat susuhunan mendorong

munculnya faksi di dalam kraton. Faksi terkuat secara perlahan dan pasti mulai

melancarkan pengaruhnya seiring dengan berjalannya pemerintahan Pakubuwana

Ricklefs, “Pada waktu muda, ia bernama R.M. Prabayasa dan ketika naik takhta
baru berumur 16 tahun.” Adapun menurut BK II, tidak dijelaskan secara rinci usia
Pakubuwana II ketika naik takhta. Namun dapat dijumpai ucapan Jendral Matiyus
Daham kepada Patih Danureja di Betawi mengenai hal tersebut, “Bukankah raja
masih muda, dan masih banyak kekurangannya perihal mengelola pemerintahan?”
(hlm. 322-333).
44
Miriam Budiardjo, op.cit. 36.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
53

II. Untuk membina kekuasaan raja, Patih Danureja berusaha mengumpulkan dan

memusatkan kekuasaan di satu tangan. Dalam hal ini, ia akan menyingkirkan

orang atau golongan yang dianggap sanggup menandingi kekuasaan susuhunan.

Arya Mangkunegara, putra sulung Amangkurat IV, kakak tiri Pakubuwana II

adalah sosok yang dipandang memiliki kewibawaan lebih dari susuhunan. Dalam

BK II, Arya Mangkunegara disebut dengan Pangeran Arya dengan gelar pangeran

adipati. Dalam sekejap Arya Mangkunegara berhasil merebut simpati banyak

bangsawan di istana. Mencium gelagat tersebut, Patih Danureja yang sejak awal

penobatan Susuhunan Pakubuwana II menjadi tangan kanan susuhunan berupaya

melindungi raja dengan segenap cara. Lahirlah skandal Arya Mangkunegara. Ia

terlibat affair dengan salah satu selir susuhunan. Skandal tersebut memungkinkan

untuk membuang Arya Mangkunegara ke pengasingan.

Campur tangan yang berlebihan dari orang-orang di sekeliling susuhunan

semakin memperlihatkan betapa lemahnya kekuasaan raja. Jika kekuasaan adalah

kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-

lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu

menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai

kekuasaan itu,45 maka di titik ini, susuhunan lebih banyak dipengaruhi oleh orang-

orang di sekelilingnya. Dampaknya, muncul konflik internal karena kepentingan

beberapa kelompok tidak terpenuhi.

Di sisi ini tuntutan bahwa kekuasaan raja dipandang besar terlihat

kontradiktif. Kedudukan raja berarti ia adalah pemilik segala sesuatu dan ia

45
Ibid, 35.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
54

memegang kekuasaan tertinggi di seluruh wilayah kekuasaannya. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa birokrasi pemerintahan kerajaan Mataram

berpusat pada raja.46 Bahkan ikatan kekeluargaan dengan raja tidak akan

menjamin seseorang menduduki suatu jabatan, kalau dia tidak berkenan kepada

raja.47

Dalam sistem politik patrimonial, gambaran ideal seorang raja ibaratnya

adalah seperti bapak terhadap anak dan kerabat. Ia memiliki kemuliaan sekaligus

kekuasaan seperti dewa. Ia juga bertindak sebagai wakil Allah. Hal ini tidak

dijumpai dari diri Susuhunan Pakubuwana II. Demi untuk membina kekuasaan

raja, ditempuhlah berbagai cara seperti raja melakukan pengawasan ketat atas

bupati-bupatinya. Di antara yang dilakukan Pakubuwana II ketika menghadapi

Adipati Cakraningrat IV, ia memilih mengawinkan Cakraningrat IV dengan

adiknya untuk memperkuatnya sebagai sosok manpower Kartasura. Dari segi

pembinaan kekuatan militer, susuhunan hampir sepenuhnya bergantung pada

VOC. Ini terlihat ketika kekuatan militer susuhunan Pakubuwana II tak sanggup

membendung pertumbuhan kekuatan serupa baik yang ada di wilayah

mancanegara maupun di seputaran istana, salah satunya pada peristiwa Geger

Pacinan (1740-1743).

Dari berbagai rincian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya konflik internal masa

kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749) di Kartasura, di antaranya adalah:

46
P.J. Suwarno. op.cit. 27.
47
Ibid, 27.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
55

1. Konsep politik patrimonial monarki tanpa aturan suksesi yang jelas

memicu munculnya konflik internal di kraton.

2. Konsep pembaharuan magis-religius yang diformulasi oleh Ratu

Pakubuwana I diduga belum berjalan efektif. Hal tersebut ditunjukkan

oleh sikap Pakubuwana II yang masih memerlukan pusaka dengan titah-

nya untuk mengumpulkan kembali pusaka-pusaka dari masa Amangkurat

III di samping masyarakat juga masih memandang tinggi regalia sebagai

salah satu simbol kekuasaan.

3. Berkembangnya faksi-faksi di dalam istana dengan kepentingan masing-

masing yang diawali oleh polarisasi kepentingan faksi Patih Danureja dan

faksi Ratu Mas Balitar yang meningkatkan konflik internal di Kraton

Kartasura ke arah yang semakin kompleks.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
56

BAB III
PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK DAN KONFLIK
INTERNAL DI SEPUTAR PAKUBUWANA II:
ANTARA KEBIJAKAN DAN SIKAP INKONSISTEN

Bab III membahas seputar peristiwa-peristiwa politik dan konflik internal

di Kartasura pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749). Banyak

peristiwa politik dan konflik internal yang terjadi di seputar Pakubuwana II (1726-

1749). Konflik tersebut utamanya dipicu oleh orang-orang terdekat susuhunan

yang memainkan kekuasaan politik untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan.

Uraian akan dimulai dari Cakraningrat IV, sosok yang kemudian dikenal sebagai

counter-elit dari Pakubuwana II. Cakraningrat IV adalah pemimpin

mancanagara1 dari Madura. Semua berawal dari hadiah perkawinan Cakraningrat

IV dengan Raden Ayu Bengkring, adik susuhunan, berupa pemberian daerah

Pasuruan, Bangil dan Probolinggo.

Lalu muncul skandal Pangeran Arya Mangkunegara. Arya Mangkunegara

adalah sosok yang dipandang sebagai saingan berat susuhunan dalam takhta. Ia

adalah kakak tiri susuhunan. Pembuangan Arya Mangkunegara ke Ceylon pada

tahun 1728, dua tahun setelah susuhunan berkuasa, memicu reaksi dari seputaran

1
Wilayah kerajaan Jawa direncanakan menurut lingkaran konsentris.
Susunannya adalah sebagai berikut: negara (ibukota), nagaragung (daerah inti)
dan mancanagara termasuk pesisir (daerah luar) serta tanah sabrang (tanah di
seberang laut). Raja memiliki tuntutan kewilayahan yang lebih kuat di negara dan
nagaragung. Penjelasan lebih lanjut lihat Soemarsaid Moertono. 1985. Negara
dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II,
Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 130-131.

56
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
57

istana bahwa susuhunan mulai menyingkirkan saingan dan orang-orang yang

dipandang tidak diharapkannya. Dari situ konflik internal di dalam Kartasura terus

berkembang dan memunculkan semakin banyak faksi dengan berbagai

kepentingan. Politik memang dibuat oleh elit politik, akan tetapi hakekatnya

ditentukan oleh pertentangan kepentingan di antara bermacam-macam kelompok

yang terdapat di dalam masyarakat tersebut.2

Dalam konsep kekuasaan, melalui kekuasaan seseorang memiliki

kemampuan untuk membuat orang-orang di sekitarnya bersedia tunduk dan patuh

bahkan mengikuti dan membantu segala hal yang ingin dicapai oleh penguasa.

Berbagai perangkat untuk membina kekuasaan disusun demi langgengnya takhta.

Di antara hal tersebut, diperlukan kebijakan yang bisa diterima oleh semua

kalangan dan sikap konsisten atas keputusan-keputusan yang diambil. Tuntutan

bermunculan ketika susuhunan dipandang tidak mampu mengambil sikap atas

beberapa pengaruh yang berupaya mengendalikan setiap kebijakannya dan

memicu konflik internal di dalam kraton.

Dugaan bahwa Amangkurat IV meninggal karena diracun3, menjadi awal

babak dari pemerintahan Pakubuwana II pada tahun 1726. Kenaikan susuhunan

2
Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik: Suatu Orientasi. Jakarta:
Penerbit Erlangga, hlm. 22.
3
Hal tersebut disebut oleh Ricklefs, M.C. 1998. The Seen and Unseen
Worlds in Java, 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of
Pakubuwana II. Honolulu: Allen & Unwin and University of Hawai'i Press, hlm.
xxiii yang juga ditegaskannya dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: Serambi, hlm. 194: “Bulan Maret 1726, raja jatuh sakit. Sebelum sempat
memutuskan siapa di antara keluarganya dan para pembesar kraton yang
meracuninya, dia wafat pada tanggal 20 April.” Dalam BK II, hal tersebut tidak
dijumpai. Hanya disebutkan bahwa raja jatuh sakit. “Raja yang sedang sakit,
bukannya tambah baik malahan sebaliknya semua abdidalem raja berjaga-jaga,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
58

Pakubuwana II ke takhta diharapkan oleh banyak kalangan mampu membawa

Kartasura ke sebuah era baru yang lebih jernih dari intrik dan konflik internal di

dalam istana. Sejarah Kartasura pada masa Amangkurat IV (1719-1926) dipenuhi

perebutan kekuasaan dengan saudara-saudaranya dan memuncak pada Perang

Perebutan Takhta Jawa Kedua (1719-1723). Dua tahun pada awal masa

pemerintahan Pakubuwana, harapan tersebut sepertinya akan terpenuhi, namun

tidak pada masa sesudahnya.

Menurut Aminuddin Kasdi, ada dua faksi besar yang saling berebut

pengaruh atas diri susuhunan Pakubuwana II di masa awal kepemimpinannya,

yakni faksi Patih Danureja dan faksi Ratu Pakubuwana I. Keduanya memiliki

pengalaman dengan kehidupan di Kartasura sejak masa Pakubuwana I. Sepak

terjang dan profil mereka dipandang memiliki pengaruh tidak hanya di diri

susuhunan tetapi juga para pengikut mereka. Menurut gosip yang beredar,

Amangkurat IV diracun oleh persekongkolan yang dipimpin Danureja.4 Hal itu

dapat menjadi alasan mengapa pihak Ratu Mas Balitar memiliki kepentingan

untuk menjauhkan Pakubuwana II dari pengaruh Patih Danureja. Setelah dua

tahun memerintah, muncul keberanian dari susuhunan untuk melepaskan diri dari

pengaruh patihnya tersebut.

Awalnya, susuhunan mengirim surat ke VOC dan menyampaikan

keinginannya untuk menunjuk Cakraningrat IV sebagai wedana yang berkuasa

segala sesuatunya sudah disiapkan manakala setiap saat raja mangkat. Lihat hlm.
305.
4
Aminuddin Kasdi. 2003. Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni
Jawa: Relasi Pusat-Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745).
Yogyakarta: Jendela, hlm. 125.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
59

atas beberapa wilayah di bagian timur, yaitu Pasuruan, Bangil dan Probolinggo.

Pasang surut hubungan Kartasura dengan trah Cakraningrat dari masa

sebelumnya mengawali munculnya berbagai reaksi dari kalangan bangsawan dan

pejabat di Kartasura atas sikapnya tersebut. Konflik internal muncul sebagai

akibat dari diferensiasi distribusi kekuasaan. Kesenjangan dalam distribusi

tersebut memungkinkan adanya upaya beberapa kelompok (faksi) untuk

memperbaiki kedudukan mereka. Artinya, melihat kebijakan susuhunan yang

dinilai memberi hak berlebihan atas Cakraningrat IV menimbulkan beberapa

pihak tidak sejalan dengan pandangan tersebut.

Berikut adalah situasi politik Kartasura sepanjang masa kepemimpinan

Pakubuwana II:

(1) Ambisi Cakraningrat IV

Munculnya instabilitas politik pada masa Pakubuwana II diawali tatkala

susuhunan berkeinginan menunjuk Cakraningrat IV sebagai wedana yang

berkuasa atas beberapa wilayah di bagian timur, yaitu Pasuruan, Bangil, dan

Probolinggo.5 Keinginan tersebut didorong atas dasar untuk melepaskan diri dari

pengawasan Patih Danureja. Cakraningrat IV diketahuinya memiliki hubungan

buruk dengan Patih Danureja. Untuk merealisasikannya, Pakubuwana II

menggalang dukungan di antaranya dengan meminta persetujuan Gubernur

Jenderal VOC di Batavia.

5
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Yogyakarta:
Penerbit Narasi, hlm. 561. Dalam BK II, op.cit. 321 wilayah tersebut adalah
Pasedahan, Bangil dan Prabalingga.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
60

Jika ditinjau lebih jauh, keinginan Susuhunan Pakubuwana II untuk

melepaskan diri dari pengaruh Patih Danureja bisa dinilai sebagai sebuah

keberhasilan dari faksi Ratu Mas Balitar dalam mengendalikan kepribadian

susuhunan. Dari segi politis, peran Ratu Mas Balitar bukan untuk memperoleh

kekuasaan secara administratif seperti halnya kekuasaan patih. Tetapi politik

selalu berhubungan dengan tujuan tertentu (goals).6

Pernikahan Cakraningrat IV di tahun 1726 dengan adik susuhunan yaitu

Raden Ayu Bengkring atau Raden Ayu Siti Sundari yang nantinya lebih dikenal

dengan Kanjeng Ratu Maduretna7 adalah sebuah upaya sentralisasi kekuasaan dari

wilayah-wilayah mancanagara. Wilayah-wilayah yang dikuasai tersebut diberi

tanggung jawab untuk tetap tunduk pada kebijakannya. Penguasa mengaitkan

dirinya dengan para pemegang kekuasaan lokal, apakah dengan menghubungkan

mereka dengan keluarganya, atau dengan menciptakan fungsi-fungsi yang

mengimbangi atau bahkan menggantikan mereka sama sekali.8 Seorang

perempuan dikirimkan keluar melalui perkawinan.9 Politik perkawinan

merupakan upaya kompromis yang dikait erat melalui hubungan kekerabatan.

Seiring waktu, keputusan untuk memberikan hadiah berupa beberapa

wilayah atas Cakraningrat IV tersebut tidak dipenuhi oleh susuhunan Pakubuwana

II sendiri. Kebijakan susuhunan yang awalnya dimaksudkan baik, karena dalam

distribusinya tidak sesuai dengan ketetapan awal, pada akhirnya berdampak pada

6
Claessen, H.J.M. op.cit. 23.
7
Ricklefs, M.C. 1998. op.cit. 16, “Danureja said that this marriage was
necessary to avoid future trouble.”
8
Ibid, 180.
9
Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik. Jakarta: Penerbit CV.
Rajawali, hlm. 74.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
61

munculnya konflik. Hal ini memicu awal instabilitas politik, termasuk ketegangan

dengan Cakraningrat IV.10

Dampak dari kebijakan yang tidak kunjung terealisasi tersebut adalah

Cakraningrat IV kemudian lebih memilih berpihak terhadap dominasi VOC

daripada Kartasura. Di masa-masa berikutnya, ia terus berupaya untuk menjadi

vassal VOC dan melepaskan diri dari Kartasura. Pakubuwana II memiliki

kekuasaan dan kewenangan untuk menyelesaikan kecenderungan konflik yang

mungkin berkembang, namun berbagai langkah persuasif yang dilakukannya

dalam menghadapi Cakraningrat IV menunjukkan hasil yang jauh dari harapan.

Tiga tahun kemudian, pada 1729, Kanjeng Ratu Maduretna diceraikan oleh

Cakraningrat IV dan dikembalikan ke Kartasura dalam keadaan hamil.

Sejak tahun 1733, susuhunan kemudian membebaskan Cakraningrat IV

dari kewajiban untuk menghadap ke istana. Pada tahun 1738, Cakraningrat IV

dipanggil menghadap ke Kartasura, tetapi ia menolak tanpa alasan.11 Peristiwa itu

makin memperkeruh hubungan Pakubuwana II-Cakraningrat IV.

10
BK II, op.cit. 321-323, dijelaskan pandangan Gubernur Jenderal VOC
dan Patih Danureja (dalam kunjungan patih tersebut ke Batavia pada tahun 1726)
mengenai keputusan Pakubuwana II untuk menjadi wedana yang berkuasa atas
tiga wilayah sekaligus. Gubernur Jenderal VOC juga menanyakan sebab-sebab
mengapa rencana tersebut terhenti atau alasan mengapa wilayah-wilayah tersebut
tidak jadi diberikan kepada Cakraningrat IV. Patih Danureja menegaskan jika,
saat ini, Adipati Cakraningrat IV telah menjadi ipar dari susuhunan dan menjadi
bagian dari sentana kerajaan. Dalam pandangan Gubernur Jenderal VOC, “Saya
rasa Dipati Cakraningrat akan sakit hatinya. Sekarang bayangkan, akibat sakit
hatinya kemungkinan Dipati Cakraningrat akan berbuat sesuatu yang jelas akan
mengganggu ketentraman. Umpamanya, mengadakan makar pada raja.”
11
Daradjati. 2013. Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-
Jawa Melawan VOC. Jakarta: Kompas, hlm. 141.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
62

Pada November 1742, pasukan-pasukan Cakraningrat IV berhasil merebut

Kartasura dalam peristiwa Geger Pacinan dan memukul mundur pihak

pemberontak.12 Istana Kartasura berhasil dikuasai oleh Cakraningrat IV, namun

diserahkan kembali kepada Pakubuwana II.

Menyadari kekuatan Cakraningrat IV, VOC mulai mengkhawatirkan

ambisi sekutunya tersebut. VOC tidak segera memberikan hak untuk Cakraningrat

IV di sebagian besar wilayah Jawa Timur atas jasanya, melainkan terus

menundanya. VOC lebih senang bersekutu dengan raja yang lemah dari Mataram,

yang pada waktu itu tak ada yang lebih lunak ketimbang Pakubuwana II.13

Cakraningrat IV akhirnya memutuskan untuk menghentikan pembayaran-

pembayaran beras dan cukai pelabuhan dari Jawa Timur kepada VOC.14 Setahun

setelah VOC mengupayakan perundingan dengan pihak Cakraningrat IV, tepatnya

pada Juli 1744, adipati tersebut diturunkan dari takhta dan diperlakukan sebagai

seorang pemberontak. Tidak henti memberikan perlawanan, Cakraningrat IV

terdesak dan akhirnya melarikan diri ke Banjarmasin. Ambisi Cakraningrat IV

untuk menguasai sebagian besar Jawa Timur, pada akhirnya kandas setelah ia

12
Ricklefs, M.C. 2008. op.cit. 208. Sementara pada saat yang bersamaan,
sekutu Pakubuwana II yakni VOC tidak memiliki kekuatan setara untuk
melumpuhkan pemberontak hingga akhirnya menggunakan kekuatan
Cakraningrat IV dan pasukannya untuk merebut kembali Kartasura. Hal ini
dijelaskan Ricklefs, M.C. 1998. op.cit., hlm. 289, “The VOC was anxious about
Cakraningrat IV’s intentions, and preferred that VOC forces retake the court. But
the Company had not enough men to break through to Kartasura itself.”
13
Poespaningrat, Pranoedjoe. 2012. Kisah Para Leluhur dan Yang
Diluhurkan. Yogyakarta: BP. Kedaulatan Rakyat, hlm. 74.
14
Ricklefs, M.C. 2008. op.cit. 210. Sementara dalam Ricklefs, M.C. 1998.
op.cit. 307 dijelaskan, “The Company’s suspicions of Cakraningrat IV led to
tension and finally to open warfare in 1745. This ended, after difficult
campaigning, in the defeat and exile of Cakraningrat IV in 1746.”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
63

tertangkap dalam pelarian di Kalimantan, kemudian dibuang ke Tanjung Harapan

pada 1746. Peristiwa pembuangan Cakraningrat IV tersebut mengakhiri babak

intrik politik di Kartasura dengan para bangsawan dan penguasa di Madura.15

(2) Skandal Pangeran Arya Mangkunegara

Arya Mangkunegara adalah putra sulung Amangkurat IV, kakak tiri

Pakubuwana II. Hanya selang beberapa tahun, ketika Arya Mangkunegara

kembali dari pengasingan pertama, Susuhunan Pakubuwana II membuat sebuah

permintaan agar pemerintah Belanda memindahkan Arya Mangkunegara keluar

dari Pulau Jawa.16 Alasannya, Arya Mangkunegara diketahuinya telah menjalin

hubungan yang tidak pantas dengan salah satu selir susuhunan.17 Raden

Tumenggung Natawijaya dan Raden Tumenggung Nitinagara ditugaskan untuk

15
Ibid, 307 menegaskan bahwa, “Never again did the lords of Madura play
a major role in Javanese dynastic affairs.”
16
Raffles, Thomas Stamford. op.cit., hlm. 561.
17
Dugaan bahwa skandal tersebut adalah suatu rancangan jebakan atas
Pangeran Arya Mangkunegara dikemukakan oleh Ricklefs, M.C. 2008. op.cit.
195: “Pada tahun 1728, Danureja merancang suatu jebakan terhadap Pangeran
Arya Mangkunegara. Dia dituduh mencoba menjalin hubungan gelap dengan
salah seorang istri Raja. Raja pun meminta supaya VOC membuangnya.” Dalam
BK II. op.cit. 316-318, jebakan yang dimaksud Ricklefs, M.C. lebih mengarah
pada peristiwa penangkapan Pangeran Arya Mangkunegara. Namun secara politis,
hal ini dapat diasumsikan bahwa upaya penangkapan Pangeran Arya
Mangkunegara adalah untuk menyingkirkan salah satu saingan terkuat
Pakubuwana II dalam kekuasaan, maka dapat diterima jika alasan terjadinya
peristiwa tersebut dibuat oleh sebuah skenario yang dalam hal ini diprakarsai oleh
Patih Danureja: “Berita perihal kesedihan raja, yang disebabkan tingkah Pangeran
Adipati (Arya Mangkunegara) yang menghendaki bekas ampil raja terdengar pula
oleh Patih Danureja. Patih Danureja sebagai pamong raja, sangat tertusuk hatinya
akan ulah Pangeran Dipati. Dipandangnya tidak pantas dan patut. Oleh sebab itu
tekad Kyai Patih Danureja tak ada lain kecuali akan membekuk Pangeran Adipati.
Dengan perangkap yang dipasangnya, berhasillah Pangeran Adipati digiring
masuk loji untuk selanjutnya ditangkap dan dijebloskan dalam penjara.”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
64

membawa Adipati Arya Mangkunegara ke Semarang, untuk seterusnya

dikirimkan ke Betawi.18 Ia meninggalkan putranya R.M Said yang masih kecil.

Skandal tersebut dapat diasumsikan sebagai sebuah manipulasi untuk

membalik keadaan sehingga seseorang dapat disalahkan dalam pandangan sosial.

Dugaan kuat pembuat skenario adalah Patih Danureja, namun perlu digarisbawahi

bahwa tidak semua orang yang berperan serta dalam proses politik harus

mengetahui tujuannya. Demikian juga tujuan itu tidak perlu jelas untuk setiap

orang.19

Tak berselang lama, susuhunan memerintahkan Patih Danureja untuk

pergi ke Batavia. Di antara utusan yang berangkat menghadap Gubernur Jenderal

Matiyus Daham20 pada 1728 adalah Patih Danureja, Raden Tumenggung

Natawijaya, Raden Tumenggung Nitinagara, seorang lurah, dan Raden Angabehi

Tirtawiguna.21 Berkaitan dengan kasus Arya Mangkunegara, Gubernur Jenderal

VOC mempertanyakan kepada patih mengapa tidak sempat mencegah susuhunan

sebelum menjatuhkan hukuman pembuangan kepada Arya Mangkunegara karena

Gubernur Jenderal mengetahui bahwa dalam perkara tersebut belum dapat

dibuktikan apakah pangeran benar-benar bersalah melakukan penghinaan terhadap

susuhunan.22 Danureja mengklaim bahwa telah banyak yang tahu perihal bahwa

Arya Mangkunegara menjalin hubungan dengan salah seorang selir susuhunan.

18
Ibid, 318.
19
Claessen, H.J.M. op.cit. 23.
20
BK II disebut dengan Jenderal Matiyus Daham. Pada periode ini VOC
dipimpin oleh Gubernur Jenderal Mattheus de Haan.
21
Ibid, 318.
22
Raffles, Thomas Stamford. op.cit, hlm. 561.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
65

Danureja hampir setahun lebih sebulan berada di Batavia.23 Beberapa kali

mengajukan pamit hendak kembali ke Kartasura tetapi selalu ditolak oleh

Gubernur Jenderal dengan berbagai alasan. Hingga kemudian Gubernur Jenderal

VOC Mattheus de Haan meninggal dan digantikan oleh Gubernur Jenderal

Pakenir24. Keberadaan Danureja yang cukup lama di Batavia sebagai utusan

Kartasura disinyalir karena campur tangan Ratu Mas Balitar yang sengaja ingin

menjauhkan susuhunan dari patihnya. Dalam hal ini, Ratu Mas Balitar memiliki

kedekatan dengan VOC karena peran besar lembaga tersebut dalam kenaikan

takhta suaminya, Susuhunan Pakubuwana I.

Dengan Gubernur Jenderal baru, Patih Danureja menjalin kesepakatan

untuk membayar biaya hidup Arya Mangkunegara selama di pembuangan ke

Afrika Selatan sebesar dua ratus real setiap tahun. Untuk selanjutnya, ia

diperkenankan kembali ke Kartasura.25

(3) Kesalahpahaman Pakubuwana II dan Patih Danureja

Upaya Ratu Mas Balitar untuk menjauhkan pengaruh Patih Danureja atas

diri Susuhunan Pakubuwana II mulai menunjukkan hasil. Pada tahun 1732,

23
Dari September 1728 hingga September 1729, Patih Danureja diutus ke
Batavia. Sepanjang kurun itu, pemerintahan Kartasura mengalami kekosongan
salah satu patihnya.
24
Ibid, 324. Selepas Gubernur Jenderal Mattheus de Haan, VOC kemudian
dikepalai oleh Gubernur Jenderal Diederik Durven (1729-1731).
25
Ibid, 327 disebutkan kalau Patih Danureja kembali ke Kartasura pada
tahun 1707 dalam bentuk Candrasengkala. Menurut versi Ricklefs, M.C. 2008.
op.cit. Patih Danureja kembali ke Kartasura pada tahun 1729. Mengacu pada masa
pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749), pandangan Ricklefs, M.C. lebih bisa
diterima.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
66

Pakubuwana II mulai berbalik melawan patihnya.26 Kesalahpahaman antara

Pakubuwana II dan Patih Danureja akhirnya terjadi. Dalam BK II dijelaskan, suatu

hari raja menyetujui usulan dari Adipati Pakalongan Jayaningrat dalam sebuah

pasowanan27. Beberapa bagian dari haknya santana raja, sebanyak 1.000 cacah28

diberikan kepada saudaranya Jayaningrat yang bernama Suradiningrat, sekaligus

diangkat sebagai bupati.29 Pakubuwana II mengangkat Suradiningrat sebagai

bupati di Pakalongan dan diberi kepuasan atas 1.000 cacah. Pengangkatan

Suradiningrat di luar sepengetahuan Patih Danureja.

Keadaan tersebut memburuk ketika Danureja mengetahuinya. Patih

Danureja segera mengubah keputusan raja. Suradiningrat dicabut kedudukan dan

hak-haknya sebagai bupati.30 Putusan raja dianggap tidak ada. Hal itu terjadi

setelah selang beberapa hari sesudah Patih Danureja menghadap raja. Sikap feodal

korup Patih Danureja tersebut membuktikan pandangan Heather Sutherland atas

perilaku elit birokrat Jawa.

26
Ibid, 197.
27
Pada waktu-waktu tertentu masuk ke kraton, dinamakan sowan. Hari
pasowanan, ialah hari masuk (tugas, dinas) ke kraton. Konon setiap hari Senin,
Kamis, dan lain sebagainya. Kadangkala, pada hari pasowanan (masuk untuk
menghadap), raja tampak juga. Namun belum tentu pada hari pasowanan itu
menghadap raja. Lihat BK II. op.cit. 374.
28
Cacah: 1. Jumlah orang yang mendapat bagian tanah komunal di daerah
tertentu: 2. Ukuran tanah untuk perpajakan.
29
Aminuddin Kasdi. op.cit. 109 disebutkan: Puspanagara pernah membuat
kisruh karena pengangkatannya sebagai bupati Batang menjadi penyebab
pemecatan Danureja adalah adik Ki Pusparaga alias Jayaningrat I. Ia memerintah
hingga 1733 untuk kemudian digantikan oleh Jayaningrat II. Sementara dalam
Raffles, Thomas Stamford. op.cit., peristiwa kesalahpahaman ini dijelaskan
dengan gamblang pada hlm. 562-563.
30
BK II, op.cit. 331.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
67

Konflik ini meruncing ketika raja mendapat laporan dari Tirtawiguna dan

Wirajaya perihal tindakan patihnya. Pakubuwana II kemudian memerintahkan

kepada Tirtawiguna untuk membuat surat kepada Gubernur Jenderal Parkenis di

Batavia yang menghendaki agar Patih Danureja secepat mungkin harus

disingkirkan keluar Tanah Jawa.31

Menolak untuk mengakui Suradiningrat sebagai Bupati Pakalongan, Patih

Danureja ditahan oleh VOC pada tahun 173332 atas pengaduan Susuhunan

Pakubuwana II. Nasibnya kemudian berakhir di pembuangan di Ceylon. Ketika

berada di kapal yang sama dengan Arya Mangkunegara, Danureja menjatuhkan

diri di depan pangeran dan memohon untuk segera dihukum karena ia berpikir

telah ikut berperan dalam peristiwa pembuangan Pangeran Arya Mangkunegara.

Beberapa pihak yang diuntungkan dari pembuangan Danureja adalah faksi

Ratu Kencana (ibu ratu) dan Ratu Mas Balitar (nenek) yang berseberangan paham

dengan Danureja, karena ingin membebaskan susuhunan dari pengaruhnya dan

membentuknya menjadi raja yang menunjukkan komitmen yang kuat terhadap

keislaman. Pihak lain adalah VOC yang pernah dirugikan atas kebijakan Patih

Danureja yang membuat nilai mata uang VOC terdevaluasi dan berdampak

31
Ibid., hlm. 331-332: “Beritakan maksud-maksudku: 1) Ternyata Patih
Danureja, bukannya membantu saya, tetapi jelas merintangi kehendakku sebagai
raja. 2) Aku sudah tak sudi memakai tenaga Patih Danureja lagi. Untuk
kelanjutannya, dia kuserahkan kepada kompeni. 3) Aku menghendaki, Patih
Danureja secepat mungkin harus disingkirkan keluar Tanah Jawa.” Dalam
Raffles, Thomas Stamford. op.cit, hlm. 563 dijelaskan bahwa Danureja
diberangkatkan ke Ceylon dengan menggunakan kapal yang sama untuk
membawa Pangeran Arya Mangkunegara. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1733.
32
Tindakan hukum terhadap Patih Danureja itu dilaksanakan pada hari
Kamis Legi, bulan Sura tahun 1733 tanggal 17 sebagaimana dalam BK II, hlm.
332. Ricklefs, M.C. 1998. op.cit. 335 mengemukakan, “Danureja influence over
the king was diminishing by 1730 and eliminated by his exile in 1733.”
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
68

mengurangi jumlah utang kerajaan. Pihak ketiga adalah Cakraningrat IV yang

merasa puas dengan tindakan pembuangan Danureja karena keduanya memang

sudah lama berseberangan. Namun begitu tindakan susuhunan tidak mengubah

ambisi Cakraningrat IV atas beberapa wilayah di Jawa Timur.

Jabatan Patih, kemudian diserahkan kepada Tumenggung Natawijaya.33

Natawijaya bertugas mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan dan

bergelar Patih Natakusuma.

(4) Patih Natakusuma

Natakusuma dilantik sebagai patih pada 3 Agustus 1733.34 Susuhunan

Pakubuwana II kemudian mengutus Patih Natakusuma ke Batavia dengan tujuan

memohon kepada VOC untuk memulangkan kembali para sentananya dari

Kanjeng Susuhunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III dan dibawa kembali

ke Tanah Jawa. Alasannya, raja ingin segala pusaka yang dibawa oleh

Amangkurat Mas dapat kembali. Ditemani oleh Tumenggung Tirtawiguna, Patih

Natakusuma pergi ke Batavia. Pada tahun 1736, rombongan dari Ceylon tiba di

Kartasura di antaranya: Pangeran Mangkunagara, Pangeran Pakuningrat, Raden

Jayakusuma dan Pangeran Emas.35 Para pangeran dari Ceylon menghaturkan

kembali pusaka-pusaka Tanah Jawa kepada susuhunan.36

33
BK II, op.cit. 333.
34
Daradjati. op.cit. 138.
35
Ibid, 335.
36
Ibid, 336. Sementara dalam Raffles, Thomas Stamford. op.cit, hlm. 563
dijelaskan, “Pada kesempatan tersebut, juga diberikan beberapa gelar yang
termasyhur dan kekuasaan atas tanah yang cukup luas kepada sejumlah orang
kepada Mangkunegara, Sang Susuhunan menganugerahkan nama Wiramenggala,
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
69

Setelah itu, Purubaya diangkat menjadi patih kedua, mendampingi patih

Natakusuma pada 1737. Susuhunan menjadi sangat terikat dengan Purubaya.

Pengaruh besar Purubaya yang semakin kuat membuat beberapa sentana waspada

dan diam-diam mengatakan masalah tersebut kepada VOC sehingga Purubaya

kemudian dipindahkan dan ditempatkan di suatu tempat yang jauh dari ibukota

kerajaan.37 Akhirnya, setelah istri Pakubuwana II, Kanjeng Ratu Kancana, saudara

perempuan Purubaya tutup usia pada tahun 1737, Purubaya diserahkan oleh

susuhunan kepada VOC dan akhirnya dibuang kembali ke Sri Lanka pada tahun

1738 atas dugaan makar. Ketika ada tanda-tanda ia akan berbuat makar pada raja,

ia kehilangan bukan hanya gelar tetapi juga semua harta miliknya. 38 Jabatannya

kemudian digantikan oleh Tumenggung Natayuda.

Pada tahun 1740, terjadi pemberontakan minoritas Tionghoa di Batavia

yang kemudian lebih dikenal dengan peristiwa Muara Angke. Peristiwa ini

merupakan peristiwa pembantaian terhadap etnis Tionghoa selama tiga hari yang

dilatarbelakangi oleh kebijakan VOC yang dinilai mengekang kebebasan etnis

Tionghoa.

dengan kekuasaan atas 1.000 cacah tanah. Kepada Mangkuningrat, ia memberi


nama Pangeran Tepasara, dengan kekuasaan atas 900 cacah. Dan kepada Raden
Jayakusuma, Sang Susuhunan menganugerahkan gelar pangeran dengan
kekuasaan 300 cacah.
37
Ibid, 563.
38
Ibid, 339-340 diilustrasikan sebagai berikut: Pangeran Purubaya
dipanggil raja. Keputusan raja atasnya adalah, “Tinggalkan malam ini juga Negeri
Kartasura!” lalu Purubaya dicabut gelar kehormatannya dan diharuskan memakai
nama yang lama yaitu Raden Purwakusuma dan diharuskan pindah ke Pademen.
Bersamanya hanya boleh ikut enam orang kawula yang kesemuanya wanita.
Susuhunan menyebut bahwa Kompeni akan menangkap Pangeran Purubaya.
Purubaya menanggalkan busananya. Rumahnya diobrak-abrik punggawa,
hartanya dirayah para kawula. Sedangkan pusaka-pusaka, kuda, gamelan diangkut
dari Purbayan dan diserahkan ke keraton.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
70

Dampak peristiwa tersebut akhirnya merembet ke Kartasura. Susuhunan

Pakubuwana II menerima laporan dari beberapa wilayah mengenai kesiapsiagaan

orang-orang Tionghoa yang telah mempersenjatai diri untuk menghadapi VOC.39

Selebihnya, susuhunan berkonsultasi dengan Patih Natakusuma mengenai

keputusan apa yang mesti diambilnya menghadapi dua kekuatan sekaligus, VOC

melawan Laskar Tionghoa. Patih Natakusuma kemudian melakukan rapat dengan

beberapa bupati. Sikap dari seluruh pemimpin yang hadir pada waktu itu terbagi

ke dalam dua kubu. Kelompok yang satu, dipimpin oleh Patih Natakusuma,

memilih melawan VOC dengan jalan bergabung dengan orang-orang Tionghoa.40

Sementara itu, kelompok para pemimpin daerah pesisir seperti Jayaningrat, Bupati

Pakalongan, memiliki pandangan bahwa VOC akan menang, sehingga

pertimbangannya adalah raja sebaiknya menunggu hingga bisa menakar bahwa

keadaan VOC benar-benar sulit, lalu menawarinya bantuan dengan imbalan

perlunya meninjau kembali perjanjian-perjanjian yang sudah dibuat antara VOC-

Kartasura dari masa-masa sebelumnya sekaligus membuat mekanisme baru

pembayaran dan jumlah hutang-hutang.

Akhirnya disepakati bahwa rekomendasi yang akan disampaikan kepada

susuhunan adalah agar Raja memilih berpihak kepada Laskar Tionghoa. Dalam

39
Dalam menanggapi peristiwa tersebut, Susuhunan Pakubuwana II
meminta pertimbangan dari seluruh bupati yang kebetulan sedang berada di
kraton untuk memperingati perayaan Mulud, “Apakah perlu memberikan bantuan
kepada tentara Belanda ataukah kepada orang Tionghoa?” Lihat detilnya di
Raffles, Thomas Stamford. op.cit. 568.
40
Ricklefs, M.C. 2008. op.cit. 204.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
71

hal ini pengaruh Patih Natakusuma cukup dominan41. Dari peristiwa tersebut,

diketahui bahwa keabsahan Susuhunan Pakubuwana II sebenarnya masih diterima

dengan baik di kalangan para bangsawan di Kartasura. Mereka tetap

berpandangan bahwa lebih baik susuhunan tidak mencari pengakuan tersebut dari

VOC yang telak memberinya beban hutang yang tetap harus dibayar dengan

jumlah yang tidak sedikit. Kekuasaan Susuhunan Pakubuwana cukup rentan

dengan adanya pengaruh dari Patih Natakusuma sehingga keputusan awal raja

lebih dekat dengan pandangan patihnya.

Ketegangan dari kedua kubu tersebut awalnya masih bisa dihindari namun

mencapai puncaknya pada tahun 1740 karena pemberontakan orang-orang

Tionghoa di Batavia merembet ke Timur42 hingga ke wilayah Kartasura. Sejak

41
Raffles, Thomas Stamford. op.cit. 568-572 menggambarkan peristiwa
pertemuan antara Patih Natakusuma dan beberapa bupati, setelah mengetahui
bahwa susuhunan membutuhkan saran dari beberapa bupati mengenai sikap yang
semestinya diambil menghadapi peristiwa tersebut. Terdiskripsi dengan jelas
pandangan Natakusuma yang berpihak kepada kelompok Tionghoa: “Pendapat
tersebut kemudian disampaikan kepada Sang Susuhunan pada keesokan harinya
oleh Raden Adipati (Natakusuma). Lebih lanjut, ia menyarankan kepada Sang
Susuhunan bahwa akan sangat baik apabila mereka dapat mendorong orang-orang
Tionghoa tersebut agar segera berperang melawan Belanda.” Mengenai
keterlibatan Patih Natakusuma secara langsung dalam peristiwa tersebut, di
antaranya adalah ketika ia memerintahkan Mertapura ke Grobogan untuk
mendorong orang-orang Tionghoa agar melawan Belanda sambil menjanjikan
pada mereka bahwa Sang Susuhunan bersedia bergabung dengan mereka supaya
mereka memperoleh kemenangan. Di sini, Raffles, berpegang pada sumber
historiografi tradisional memaparkan bahwa Jayaningrat, Bupati Pakalongan,
awalnya berpendapat, “Sang Susuhunan akan memberikan bantuan kepada
Belanda, tetapi hanya dengan ketentuan bahwa mereka bersedia membebaskan
Sang Susuhunan dari seluruh biaya yang telah dibebankan kepada pendahulunya.”
42
Alex Sudewa. 1995. Dari Kartasura ke Surakarta: Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia, hlm. 241.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
72

bulan Agustus 1741, Raja Mataram yang bertakhta di Kartasura memberi perintah

kepada seluruh jajarannya untuk membantu Laskar Tionghoa melawan VOC.43

Kekuatan orang-orang Tionghoa ini dimanfaatkan oleh Pakubuwana II

untuk membebaskan diri dari VOC dan sekaligus merangkul para pembesar yang

anti persahabatan dengan VOC.44 Sementara itu, partai pendukung VOC di bawah

Ratu Ageng (ibu) berusaha menghalangi terjadinya persekutuan susuhunan-

Tionghoa.45 Awalnya konflik tersebut menghadapkan dua kekuatan, yaitu

Pakubuwana II dan Laskar Tionghoa berhadapan dengan VOC dan Cakraningrat

IV. Namun di kemudian hari, susuhunan berbalik arah. Begitu susuhunan

mengetahui kekuatan Laskar Tionghoa bisa dipukul mundur oleh VOC, ia

memilih berkomplot dengan kompeni. Pakubuwana II merasa pesimistis untuk

memenangkan peperangan berkongsi dengan Laskar Tionghoa. Beliau juga

merasa takut karena mendapat ancaman dari VOC untuk digantikan

kedudukannya oleh beberapa pangeran lain yang mengincar takhta Raja

Mataram.46

Belum setahun berselang, pada awal tahun 1742, Pakubuwana II mencabut

perintahnya lalu memihak kepada VOC sekaligus memerangi Laskar Tionghoa.

Inkonsistensi tersebut membuat beberapa bangsawan sependapat bahwa

Pakubuwana II selaku penguasa Mataram sudah tidak dapat dianut perintahnya

karena dianggap melanggar konsep keagungbinataraan. Sikap ini semakin

menguatkan pemberontakan dan sikap anti-VOC hingga meletus Geger Pacinan

43
Daradjati. op.cit. 2.
44
Alex Sudewa, op.cit. 241.
45
Aminuddin Kasdi. op.cit. 345.
46
Daradjati, op.cit. 2.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
73

(1740-1743). Ribuan penduduk Jawa terlibat dalam peristiwa tersebut dan

memperkuat Laskar Tionghoa sebagai reaksi terbuka atas kekecewaan mereka

terhadap raja.

Ketika peristiwa Geger Pacinan mengguncang Kartasura, diduga beberapa

petinggi kerajaan ikut terlibat menyokong pasukan Tionghoa, salah satunya

adalah Patih Natakusuma. Pada 14 Maret 1742, Hugo Verijsel melalui perjanjian

dengan Tirtowiguno yang menjadi utusan Pakubuwana II menyepakati untuk

mengirim suatu detasemen kecil yang dipimpin oleh Kapten Andries Baron van

Hohendorff sebagai tanda kehadiran VOC di ibukota Kartasura. Pasukan tersebut

juga digunakan untuk memata-matai kraton, khususnya untuk mengetahui

aktivitas Patih Natakusuma.47 Pada pertengahan Juni 1742, susuhunan mengutus

Patih Natakusuma ke Semarang. Dengan persetujuan susuhunan, VOC menawan

Patih Natakusuma di sana kemudian mengirimnya ke pengasingan.48 Kedudukan

Natakusuma sebagai patih kemudian digantikan oleh Pringgalaya.

Tindakan Pakubuwana dengan membuang Natakusuma jika ditinjau dari

pandangan Gluckman lebih menonjolkan karakter kelemahan penguasa. Raja

berusaha menghindari kelemahan tersebut dengan melemparkan kesalahannya

kepada menteri atau pejabat-pejabat negara yang lain.49 Susuhunan berupaya

menggeser pertanggungjawabannya kepada pegawai yang lebih rendah dari

kedudukannya.

47
Ibid, 9.
48
Ricklefs, M.C. 2008. op.cit. 206. Dalam Aminuddin Kasdi, op.cit. 348
disebut dengan jelas bahwa Natakusuma sebagai aktor intelektual gerakan pro-
Tionghoa dan anti-VOC.
49
Claessen, H.J.M. op.cit. 19.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
74

(5) Sunan Kuning dan Klan Tepasana

Pada 16 April 1742 dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743),

pemberontak mengangkat raja baru, cucu laki-laki Amangkurat III, Raden Mas

Garendi (Sunan Kuning) dengan gelar Susuhunan Amangkurat Prabu Kuning

Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama. Usianya kala itu dua belas tahun. Sosok

Sunan Kuning yang mendapat dukungan penuh dari komunitas Tionghoa adalah

satu-satunya anak Tepasana yang selamat dari pembantaian yang menimpa

seluruh keluarga besarnya.

Ketika mereka baru kembali ke Kartasura, sebuah isu dihembuskan bahwa

Pangeran Tepasana akan mengambil alih kekuasaan. Tepasana terjebak dalam

intrik di dalam istana dan dianggap berkomplot akan menggulingkan susuhunan.

Semula, keluarga tersebut pernah dibuang ke Ceylon pada tahun 1734 di masa

pemerintahan Pakubuwana I. Tepasana adalah putra Amangkurat III. Atas

permintaan Pakubuwana II, mereka dikembalikan ke Jawa dengan syarat pusaka-

pusaka kraton yang dibawa oleh mendiang Amangkurat III ke Sri Lanka

dikembalikan ke kraton.50 Atas perintah Natakusuma, keturunan Amangkurat III

yang kembali dari Sri Lanka ke Kartasura pada 1737 dibunuh semua.51 Jelaslah

bahwa paksaan dan kekerasan merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan

politik.52 Keluarga Tepasana menjadi salah satu korban dari faksi yang

menghendaki mereka agar dibersihkan dari Kartasura.

50
Taufik Abdullah, et.al. (ed.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah:
Kolonisasi dan Perlawanan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, hlm. 344.
51
Aminuddin Kasdi. op.cit. 346.
52
Claessen, H.J.M. op.cit. 23.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
75

Keluarga Tepasana terdiri dari lima orang, yang tertua bernama Raden

Wiratmaja. Seorang putri yang diperistri oleh Ki Puspadirja Batang, Retno

Dumilah yang diperistri raja, seorang putri diperistri oleh Buminata dan si bungsu,

Raden Mas Garendi.53 Raden Mas Garendi, anak Tepasana, lolos dari

pembunuhan yang kemudian menjadi simbol perlawanan melawan Susuhunan

Pakubuwana II.

Dalam Geger Pacinan (1740-1743), kekuatan pasukan Sunan Kuning pada

waktu itu di bawah pimpinan Adipati Mangunoneng dan Adipati Martapura,

tangan kanan Natakusuma. Mereka berhasil menguasai Kartasura dan sempat

melakukan pengejaran atas Pakubuwana II hingga wilayah Madiun. Namun

kekuatan pasukan VOC-Cakraningrat IV akhirnya bisa memukul mundur pihak

Sunan Kuning dan pasukannya hingga ke arah Prambanan. Kelompok

Mangunoneng terpojok hingga Bagelen dan dapat ditangkap. Mangunoneng

disingkirkan ke Batavia. Kelompok Kapitan Sepanjang beserta Sunan Kuning

berhasil lolos ke arah timur dan terus melakukan perlawanan. Namun di Kediri,

Sunan Kuning menyerah kepada VOC beserta sedikit pengikutnya. Ia kemudian

dibawa ke Semarang. Kapitan Sepanjang terus bergerak hingga Bali. Adapun

kelompok Adipati Martapura memilih berdomisili di Grobogan. Dengan

dukungan Raden Mas Said dan Buminata, meskipun pasukan ini kecil, gerak

mereka cukup menyulitkan VOC. Ini adalah satu-satunya pasukan sisa Laskar

Tionghoa-Jawa yang mampu bertahan hingga meletusnya Perang Perebutan

53
Ibid, 337-338.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
76

Takhta Jawa Ketiga (1749-1755), dan kemudian bergabung dengan kekuatan

Mangkubumi.

Dari kelima kasus tersebut di atas dapat diketahui bahwa kecenderungan

konflik internal yang memicu peristiwa-peristiwa politik sepanjang kurun

pemerintahan Pakubuwana II berhubungan dengan: (1) meregangnya hubungan

negara dan mancanagara, (2) distribusi kekuasaan: wewenang yang melampaui

kekuasaan, dan (3) makar dan suksesi. Untuk menggalang simpati atas ketiga

kecenderungan tersebut, Susuhunan Pakubuwana II mengedepankan politik

silsilah atau politik perkawinan, politik gelar, hingga politik sayembara demi

mempertahankan kekuasaannya.

Namun dalam upaya untuk meredam gejolak konflik internal dan

membendung meluasnya dampak dari konflik tersebut, celakanya, beberapa

kebijakannya justru meningkatkan konstelasi konflik di dalam istana. Sehingga

penyelesaian suatu konflik menimbulkan perangkat kepentingan baru yang

kembali saling bertentangan dan dalam kondisi tertentu sangat rentan

menimbulkan konflik lagi. Kecenderungan tersebut di antaranya disebabkan oleh:

1. Sikap inkonsisten dari susuhunan Pakubuwana II;

2. Demi memusatkan dan mempertahankan kekuasaannya, Pakubuwana II

memiliki kecenderungan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya

dengan dibuang, diasingkan, atau dibunuh;

3. Memiliki ketergantungan besar dengan kekuatan di luar istana, dalam hal

ini adalah VOC.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
77

Beberapa sikap dan tindakannya dipandang bertentangan dengan konsep

keagungbinataraan. Sikap yang dinilai merugikan kekuasaannya. Salah satu

dampak konkrit adalah ketika sebagian besar rakyat bergabung dan memperkuat

Laskar Tionghoa dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743) hingga membuat

susuhunan tersingkir dari kraton. Perlahan dan pasti, legitimasinya sebagai gusti

mulai tidak manunggal dengan kawula-nya.


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
78

BAB IV
DAMPAK KONFLIK INTERNAL PADA MASA
PAKUBUWANA II

A. Legitimasi yang Memudar

Pembahasan pada bab ini diawali dengan uraian legitimasi Pakubuwana II

yang mulai memudar, khususnya pada saat ia kembali ke tampuk kekuasaan

setelah Geger Pacinan (1740-1743). Demi membayar biaya pemulihan kekuasaan

tersebut, ia menyepakati Perjanjian November 1743 terhadap VOC yang

mengawali hilangnya sebagian wilayah kedaulatan Kartasura.

Kemudian dibahas dampak yang ditimbulkan dari gejolak konflik internal

bagi Kartasura pada masa kepemimpinan Pakubuwana II. Gejolak konflik internal

di Kartasura memunculkan konsekuensi pada perpindahan istana, perpecahan

hingga kejatuhan kraton akibat hilangnya kedaulatan. Tahap-tahap kejatuhan

kraton diuraikan dari peristiwa perpindahan istana dari Kartasura ke Surakarta,

dilanjutkan dengan penyerahan Mataram secara total ke VOC (11 Desember

1749) yang memicu terjadinya Perang Perebutan Takhta Jawa Ketiga (1746-

1757) dan diselesaikan melalui Palihan Negari (13 Februari 1755).

Kekalahan Pakubuwana II sehingga ia melarikan diri dari Kartasura akibat

serangan Laskar Tionghoa mulai memudarkan pamor susuhunan. Peristiwa

semacam itu bukan kali pertama dalam sejarah Mataram. Kekalahan susuhunan

menyurutkan citra bahwa raja yang ideal semestinya adalah pusat segala

kekuasaan. Dari sisi kekuatan militer, meskipun Pakubuwana II disokong oleh

78
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
79

VOC, karena pada saat yang bersamaan VOC dihadapkan pada peristiwa Muara

Angke 1740 dan masih berdampak luas, terlihat dengan jelas bahwa

sesungguhnya kekuatan militer Kartasura keropos. Keunggulan memimpin

(superiority in leadership) dan keunggulan militernya lemah.

Pada peristiwa ini, Kartasura dibakar oleh orang Tionghoa.1 Pakubuwana

II melarikan diri ke arah Timur. Sementara Ibu Suri dan para putri yang tertinggal

di Kartasura diserahkan kepada Sunan Kuning. Para pangeran dan adipati

Kartasura ada yang hendak mengungsi dari kraton dan banyak yang kembali

menyerahkan diri ke Sunan Kuning.

Susuhunan menggantungkan sepenuhnya upaya untuk merebut kembali

Kartasura dari Sunan Kuning pada bantuan militer dari VOC yang dalam hal ini

bersekutu dengan Cakraningrat IV. Legitimasi Pakubuwana II mulai memudar di

antaranya disebabkan oleh keterlibatan dan campur tangan pihak-pihak seperti

VOC di Batavia berhubungan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan.

Demi mendudukkan kembali Susuhunan Pakubuwana II di tampuk kekuasaan,

VOC memulihkannya melalui Perjanjian November 1743.

“Jasa” VOC melindungi Pakubuwana II dari serbuan orang-orang Tionghoa


dibayar dengan perjanjian yang ditandatangani pada 11 November 1743 yang isinya:
1. VOC menerima penyerahan seluruh pantai utara Jawa dan Madura;
2. Patih dan bupati-bupati pesisir sebelum memangku jabatannya harus bersumpah
setia kepada pimpinan VOC di Semarang;
3. Penyerahan yang diwajibkan diperluas dan biaya tangsi VOC di Surakarta
ditanggung Sunan;

1
Babad Pacina IV, hal. 10. Lebih detil runutan peristiwa ini dideskripsikan
dalam historiografi tradisional yakni Babad Pacina I-V. Sedang dalam
historiografi modern dapat diperoleh dari Remmelink, Willem. 2002. Perang Cina
dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Penelitian
terbaru mengenai Geger Pacinan dapat dibaca buku Daradjati. 2013. Geger
Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta:
Kompas.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
80

2
4. VOC memperoleh hak membuat uang.

Susuhunan harus menyerahkan Madura, Blambangan, Surabaya,

Rembang, Jepara dan mengizinkan VOC untuk menguasai jalur pesisir selebar

600 tombak. VOC juga diperbolehkan membuat kebijakan sendiri, tidak sebatas

membuat mata uang sendiri, melainkan kebijakan militer, dan lain-lain. Bahkan

raja hanya dapat mengangkat patih dengan persetujuan VOC.

Kemerosotan legitimasi Susuhunan Pakubuwana II berhadapan dengan

VOC ini terus berkembang seiring dengan semakin bergantungnya susuhunan

dengan sekutunya tersebut. Pada awal Perang Perebutan Takhta Jawa Ketiga

(1746-1757), susuhunan kembali terjebak dengan serangkaian isi perjanjian yang

harus ditandatanganinya dengan VOC demi mempertahankan legitimasinya

sebagai penguasa di Kartasura. Untuk mendapat dukungan dari VOC dalam

perang tersebut, ditandatangani Perjanjian 1746. Serangkaian isinya adalah:

1. Tegal dan Pekalongan harus diserahkan kepada VOC (jadi bukan hanya daerah
pantai);
2. VOC memperoleh hak memungut penghasilan semua daerah pantai dengan ganti
rugi kepada susuhunan sebanyak 5.000 real setiap tahun;
3. Semua hak pemungutan bea pengangkutan sepanjang jalan dan sungai dimiliki
VOC dengan ganti rugi yang tetap setiap tahun 9.000 ringgit untuk susuhunan
dan 2.000 ringgit untuk adipati anom dan 1.000 ringgit bagi punggawa kraton
lainnya.
4. Tiap bulan Oktober para bupati pesisir harus menghadap pembesar VOC di
3
Jakarta (sebagai pengganti menghadap susuhunan tiap bulan Mulud).

Dari kedua rangkaian perjanjian tersebut, dapat dimaklumi kiranya

ungkapan G. Moedjanto bahwa di masa ini Mataram vassal, VOC kerajaan.

Terlebih setelah ditandatanganinya Perjanjian 11 Desember 1749 antara

2
G. Moedjanto. 2002. Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, hlm. 117.
3
Ibid, 120.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
81

Pakubuwana II dengan Hohendorff. Tahap tersebut menjadi titik akhir dari

legitimasi susuhunan.

B. Hilangnya Kedaulatan Kartasura

Kartasura diwarnai konflik internal dan intrik politik yang tajam di

sepanjang kurun pemerintahan Pakubuwana II.4 Kondisi tersebut menunjukkan

merosotnya kekuasaan susuhunan. Kemerosotan itu ditandai dengan semakin

melemahnya kekuasaan politik susuhunan di wilayah tepi kedaulatannya.

Susuhunan kemudian lebih memilih berafiliasi dengan kekuatan VOC karena

kehilangan orang-orang kepercayaannya dari dalam lingkup istana. Hal tersebut

merupakan masa hilangnya kedaulatan Kartasura. Melemahnya kekuasaan

Pakubuwana II semakin memicu intrik dan pemberontakan yang meluas keluar

istana. Hal ini terlihat pada keterlibatan masyarakat pribumi dengan menyokong

Laskar Tionghoa ketika terjadi peristiwa Geger Pacinan (1740-1743).

Di luar hal-hal yang kurang menguntungkan tersebut, penting dicatat

bahwa di sepanjang kurun pemerintahan Pakubuwana II lahir karya-karya

intelektual yang diprakarsai oleh Ratu Mas Balitar. Masa kepemimpinan

Pakubuwana II dapat dilihat sebagai masa kebangkitan tradisi intelektual di

kalangan istana dan menunjukkan sisi positif serta legacy yang tidak bisa

dilepaskan dari sejarah kraton. Dari periodenya, produktivitas karya-karya sastra

4
Ricklefs, M.C. menyebut kondisi pemerintahan Pakubuwana II sebagai
“perhaps the most disastrous of the entire Mataram dynasty.” Lihat Ricklefs, M.C.
1998. The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History, Literature and
Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu: Allen & Unwin and University of
Hawai'i Press, hlm. 1.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
82

dalam bentuk babad dan serat yang berhasil digubah di antaranya: Babad

Sangkala, Serat Menak, Serat Iskandar Dulkarnaen (kisah Sultan Iskandar)5,

Serat Yusup (kisah Nabi Yusuf)6, dan Serat Cabolek7. Periode Pakubuwana II

menjadi cikal bakal lahirnya pujangga-pujangga besar Jawa dari era Tirtawiguna

dan nantinya berlanjut ke Yasadipura I hingga Ranggawarsita.

C. Akhir Babak Kartasura

Kejatuhan Kartasura bergulir sepanjang beberapa tahun. Dalam tulisan

berikut, akan dijelaskan babak-babak kehancuran Kartasura secara kronologis:

1. Dari Kartasura ke Surakarta

Peristiwa kekalahan yang diderita oleh Pakubuwana II dalam Geger

Pacinan (1740-1743) membuat susuhunan melarikan diri dari kraton. Ia bersama

Von Hohendorff lari dari kraton ke arah timur hingga tiba di Ponorogo. Serangan

5
Roman sejarah mengisahkan riwayat hidup Sultan Iskandar, raja
Ngerum. Sultan Iskandar menjadi raja pendeta yang besar dan memerintah sekian
ratus tahun. Pemrakarsa utama dari teks ini adalah Kanjeng Ratu Pakubuwana I.
Perintahnya kepada pujangga untuk mengarang Serat Iskandar Dulkarnen
diberikan pada masa pemerintahan Pakubuwana II dan masih terus dilakukan pada
masa Pakubuwana III dan selesai penggarapannya pada masa Pakubuwana IV,
sekitar tahun 1791. Lihat Behrend, T.E. (ed.). 1990. Katalog Naskah-naskah
Nusantara Jilid 1: Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit
Djambatan, hlm. 82-83. Lebih lanjut mengenai Serat Iskandar dapat dibaca hasil
penelitian Alex Sudewa. 1995. Dari Kartasura ke Surakarta: Studi Kasus Serat
Iskandar. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
6
Sastra roman bercorak Islam yang mengisahkan kehidupan Nabi Yusuf.
Teks ini babonnya merujuk pada angka tahun 1717 adalah milik Pakubuwana
yang dulunya dibuat atas prakarsa K. Ratu Pakubuwana, garwa dalem
Pakubuwana I. Lihat Ibid, 424-429.
7
Kisah didaktik berisi diskusi mistik Jawa antara Haji Ahmad Mutamakin
dari Cabolek (Tuban) dan berbagai ulama raja Pakubuwana II di bawah ketib
Anom Kudus. Pada sebagian teks ada bahasan dan tafsiran Suluk Dewa Ruci.
Lihat Lindsay, Jennifer, et.al. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2:
Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 191-192.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
83

Sunan Kuning dan Laskar Tionghoa pada 30 Juni 1742 tersebut meruntuhkan

kekuasaan susuhunan. Kraton mengalami kerusakan fisik dan porak-poranda

akibat serangan dan pendudukan tersebut. Sunan Kuning kemudian didaulat

sebagai raja sehari setelah penyerbuan. Mulai tanggal 1 Juli 1742 Sunan

Amangkurat V secara resmi bertakhta di Kraton Kartasura yang merupakan

ibukota Mataram.8

Meski Pakubuwana II dapat berkuasa kembali setelah Laskar Tionghoa

dikalahkan berkat bantuan Cakraningrat IV dan VOC, kondisi di Kartasura tak

sepenuhnya dapat pulih. Keraton Kartasura tidak pernah dibangun kembali.

Pemerintahan Pakubuwana II terus jatuh ke titik nadir.

Dalam pandangan kosmologi Jawa diperlukan sebuah pusat kosmologi

baru dari keadaan yang sudah tercerai-berai tersebut. Hal tersebut dimaksudkan

untuk menyokong kekuatan raja agar kekuasaannya kembali kokoh. Menurut

Benedict R.O’G. Anderson, pandangan kosmologi Jawa memiliki urutan historis

yang khas yaitu terpusat-terpencar-terpusat-terpencar tanpa ada titik istirahat

apapun.9 Didirikannya pusat kekuasaan baru adalah sekaligus untuk menciptakan

kesatuan kembali disebabkan oleh terpencarnya kekuasaan. Kondisi terpencar

mengakibatkan kekuasaan surut dari pusat sehingga dinasti kehilangan hak untuk

memerintah dan menimbulkan kekacauan. Proses pemusatan kembali ini

8
Daradjati. 2013. Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa
Melawan VOC. Jakarta: Kompas, hlm. 226.
9
Lihat Benedict R.O’G. Anderson “Gagasan tentang Kekuasaan dalam
Kebudayaan Jawa” dalam Mirriam Budiardjo (ed.). 1984. Aneka Pemikiran
tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hlm. 67.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
84

dilakukan salah satunya dengan mendirikan kraton baru10. Sebagai ganti, ia

mendirikan kraton di Desa Sala. Proses pemusatan kembali itu sekaligus untuk

mengukuhkan kembali kekuasaan raja. Di samping ada kepercayaan bahwa

tempat yang membawa malapetaka seyogyanya tidak dipergunakan lagi.

Lokasi yang dipilih berada di Desa Sala, sekitar 12 km sebelah timur

Kartasura. Pertimbangan lokasi tersebut didasarkan pada letaknya yang

merupakan pertemuan dua sungai yakni Sungai Pepe dan Sungai Bengawan Sala.

Sungai sejak dahulu memiliki arti penting sebagai penghubung jalur ekonomi

hingga militer. Sampai pada abad XIX bepergian lewat sungai ternyata lebih aman

daripada lewat daratan.11

Pakubuwana II membangun kraton secara tergesa-gesa. Desa Sala diganti

nama menjadi Surakarta Hadiningrat. Perpindahan kraton dari Kartasura ke

Surakarta dilakukan ketika kraton baru itu masih dalam keadaan belum selesai.12

Pakubuwana II pindah ke kraton Surakarta pada hari Rabu Pahing, 17 Februari

1745.13 Dengan perpindahan kraton dari Kartasura ke Surakarta, ternyata tidak

10
Sepanjang kurun Kraton Mataram Islam, istana pernah mengalami
beberapa kali perpindahan. Dari Plered ke Kartasura, dan dari Kartasura ke
Surakarta. Perpindahan ini beberapa didorong oleh kehancuran fisik kraton akibat
dari bencana atau peperangan. Dalam sejarah, Sunan Amangkurat II (1677-1703),
ia memindahkan kraton dari Plered ke Kartasura setelah diduduki oleh Trunajaya
bersama laskar Makasar. Demikian halnya dengan perpindahan Kraton Kartasura
ke Surakarta salah satu alasannya adalah kondisi kraton yang porak-poranda pasca
diduduki oleh pemberontak Tionghoa dan dikuasai Sunan Kuning.
11
Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-
1939. Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa, hlm. 19.
12
Ibid, 25.
13
Poespaningrat, Pranoedjoe. 2012. Kisah Para Leluhur dan Yang
Diluhurkan. Yogyakarta: BP. Kedaulatan Rakyat, hlm. 75.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
85

membuat pemerintahan Pakubuwana II kembali stabil sebagaimana yang

diharapkan.

2. Penyerahan Mataram Secara Total ke VOC (11 Desember 1749)

Pada akhir tahun 1749, kondisi Surakarta tak lebih baik dari keadaan

pemimpinnya. Susuhunan Pakubuwana II jatuh sakit. Di akhir masa hidupnya ia

mengambil sebuah kebijakan yang cukup ironis. Hal tersebut dipicu oleh

susuhunan kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya. Bentuk

kebijakannya adalah susuhunan menyerahkan Mataram secara total kepada VOC

pada 11 Desember 1749 yang tercatat dalam dokumen sebagai Perjanjian 1749

antara Kompeni dan Pakubuwana II.14

Dalam traktat Perjanjian 1749 tersebut dijelaskan kondisi kesehatan

susuhunan. Diungkapkan bahwa saking sangette gerrah kawula yang artinya

saking beratnya sakit saya (Susuhunan Pakubuwana II) menunjukkan bahwa

kondisi susuhunan dalam keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut oleh G. Moedjanto

dimaknai bahwa Pakubuwana II yang sakit setengah sadar setengah ingat,

setengah mengerti setengah tak mengerti isinya, menandatangani perjanjian

tersebut.15 Pemimpin Kartasura tersebut dipandangnya kurang logis ketika

membuat keputusan. Meski susuhunan sendiri menegaskan bahwa di dalam

14
Ibid, 79, perjanjian tersebut disebut Het Allerbelangrijkste Contract.
Menurut Poepaningrat, penandatanganan perjanjian tersebut tidak mengikuti
aturan dasar yang berlaku di Kartasura bahwa setiap keputusan strategis harus
diambil melalui konsensus elit kraton.
15
G. Moedjanto. 2002. Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, hlm. 122.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
86

Perjanjian 1749 ia melakukannya tanpa ada paksaan, botennawit jen

kaparipeksaha, kahaturaken dumateng Kumpni16.

Pakubuwana II juga menjaminkan keamanan generasi penerusnya di

bawah perlindungan VOC, khususnya putra mahkota Pangeran Adipati Anom.

Hal ini ditegaskan melalui:

“Hinggih sakalangkung gen kawula hanitipaken putra putri kawula kang kantun
kantun punnapa denning Pangerannadipati Hanom kawula lindungngaken dumateng
17
hahub hing Kumpni.”

Perjanjian 1749 kemudian melahirkan dikotomi tafsir bagi kedua belah

pihak, baik VOC maupun kalangan kraton. VOC berpandangan bahwa isi

perjanjian memberikan muatan bahwa kekuasaan Mataram diserahkan secara total

kepadanya. Menurut VOC hanya atas izinnya susuhunan berikutnya dapat

memerintah Mataram dengan status tanah pinjaman. Pangurangan kekuasaan

susuhunan sebelum beliau meninggal, memberi sebuah kesempatan yang

menguntungkan untuk tidak dilewatkan oleh pihak pemerintah Belanda untuk

mencapai sebuah hasil yang besar pada semua interferensi politik secara

keseluruhan, penguasaan atas negeri ini.18 Hal ini didasarkan pada apa yang

tersurat dalam Perjanjian 1749 yang mengungkapkan:

“Punika serat prakawis denning hangutjullaken sartta hannrahhaken menggah


karaton Matawis, saking Kangdjeng Susuhunan Paku Buwana Sennapati Hangalaga
Ngabdulrahman Sajidin Panatagama, hinggih hawit saking parentah Kangdjeng Kumpni
kangngageng wahu, karaton punnika kasrah dateng Kangdjeng Tuwan Gupernur sertta
19
Direktur hing tanah Djawi Djohan Handrijas Baron Van Hodendoref.”

16
Artinya: “Bukan karena dipaksa, diserahkan kepada Kompeni.”
17
Artinya: “Untuk selanjutnya, saya titipkan putra putri saya khususnya
Pangeran Adipati Anom saya mintakan perlindungan pada Kompeni.”
18
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Yogyakarta:
Penerbit Narasi, hlm. 579.
19
Isi keseluruhan perjanjian termuat dalam lampiran 6a buku Soekanto,
1952. Perjanjian Gianti: Perang Pahlawan Dipanegara. Jakarta: N.V.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
87

Kemudian muncul reaksi dari Pangeran Mangkubumi. Sehari selepas

Pangeran Mangkubumi mendengar keputusan susuhunan, pada 12 Desember

1749, ia menobatkan diri sebagai raja Mataram dan berkraton di Yogyakarta

dengan gelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurakhman

Sayidin Panatagama. Penyebab perlawanan ini dipicu juga oleh masalah

susuhunan mengingkari janji terhadap Mangkubumi. Mangkubumi melakukan

perlawanan terhadap VOC yang bersekutu dengan Susuhunan Pakubuwana II dan

III bukanlah semata-mata ambisi pribadi, melainkan juga masalah etika.20

Masalah etika tersebut terkait pada persoalan kekesatriaan, bahwa Pakubuwana II

pernah melanggar janji ketika susuhunan mengurangi luas hadiah sayembara

mengalahkan R.M. Said dari 3.000 cacah menjadi hanya 1.000 cacah sehingga

Mangkubumi menuntut haknya. Diduga, keputusan susuhunan itu dipengaruhi

oleh Patih Pringgalaya dan VOC.21

Soeoengan, hlm. 178-179. dan disertakan juga sebagai lampiran dalam skripsi ini.
G. Moedjanto op.cit. 121-123 merujuk sebagian isi Perjanjian 11 Desember 1749,
“... Paprentahan Mataram punika, sarta sawengkonipun sedaya, kang ing mangke
sampun kawula hasta, punika sedaya sami kahaturaken dhumateng Kumpeni ...
Inggih sakalangkung nggen kawula nitipaken putra-putra kawula kang kantun-
kantun punapa dene Pangeran Adipati Anom kawula lindhungaken dhumateng
habubing Kumpeni ...” (note:33). Raffles, Thomas Stamford. op.cit, 579 juga
mencatat, “Selama dirinya dan para warinsnya turun dari takhta kerajaan,
kekuasaan negeri ini diberikan kepada Pemerintah Belanda Hindia Timur, dan
menyerahkan kekuasaannya kepada mereka untuk mengaturnya, di masa depan,
kekuasaan akan diserahkan kepada orang yang mempunyai kemampuan untuk
memerintah dan untuk kebaikan bagi Kompeni dan juga bagi Jawa.”
20
G. Moedjanto. op.cit. 123.
21
Poespaningrat, Pranoedjoe. op.cit. 76 mendeskripsikan bahwa, Van
Imhoff membenarkan pokal (perilaku) Pringgalaya untuk menahan pemberian
hadiah tanah Sokawati karena dikhawatirkan akan memberikan kekuasaan yang
terlalu besar bagi Mangkubumi.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
88

Sementara dari pihak VOC, Gubernur Van Hohendorff menobatkan

Pangeran Adipati Anom menjadi Pakubuwana III pada 15 Desember 174922. Saat

itu, Pakubuwana II masih hidup. Pakubuwana II masih sempat menyaksikan

Mataram terbelah menjadi dua. Selang lima hari selepas penobatan Pakubuwana

III, persisnya pada 20 Desember 1749, Pakubuwana II tutup usia. Susuhunan

Pakubuwana II dimakamkan di Laweyan karena kondisi istana masih terjadi

peperangan dengan Mangkubumi.

3. Perang Perebutan Takhta Jawa Ketiga (1746-1757)23

Peristiwa sejarah politik mampu melahirkan dampak yang cukup panjang

dalam kehidupan manusia. Realitas pada hari ini, tidak dapat sepenuhnya

dilepaskan dari peristiwa-peristiwa di masa lalu. Instabilitas politik selama masa

pemerintahan Pakubuwana II melahirkan dampak yang cukup berat bagi

Kartasura dan yang paling menyolok adalah Perang Perebutan Takhta Jawa

Ketiga (1746-1757) yang melibatkan Pakubuwana II, Pakubuwana III,

Mangkubumi dan R.M. Said yang berlangsung sepanjang 19 Mei 1746 sampai

dengan 13 Februari 1755.

Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi didorong oleh

melemah dan merosotnya kekuasaan Mataram di bawah kepemimpinan

Pakubuwana II terhadap VOC, khususnya berhubungan dengan keputusan

susuhunan dalam Perjanjian 1749 dengan menyerahkan kedaulatan Mataram

22
Raffles, Thomas Stamford. op.cit. 580 menjelaskan bahwa Pakubuwana
III naik takhta pada usia 9 tahun.
23
Ulasan mengenai Perang Perebutan Takhta Jawa Ketiga (1746-1757)
dapat dijumpai dalam G. Moedjanto. op.cit. 103-134.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
89

kepada VOC. Sikap politik Mangkubumi dengan memproklamirkan diri sebagai

raja Mataram yang berkraton di Yogyakarta dapat dinilai sebagai sebuah upaya

untuk memegang harkat kedaulatan kraton.

Hal lain, pemberontakan Mangkubumi dipicu oleh sengketa pribadi antara

dirinya dengan Pakubuwana II tentang hadiah sayembara mengalahkan R.M. Said

yang diingkari oleh susuhunan. Akibat perang saudara yang dikenal sebagai

Perang Perebutan Takhta Jawa Ketiga (1746-1757) yang terus menerus tersebut,

VOC semakin mudah ikut campur tangan di Jawa. Persentuhan ini disadari atau

tidak berhasil perlahan-lahan mengubah sistem birokrasi kraton, khususnya yang

diatur dalam perjanjian resmi dengan VOC. Dalam realisasinya, kuatnya pengaruh

kolonial tidak bisa diterapkan secara langsung dalam masyarakat pribumi

sehingga VOC tetap mempertahankan keberadaan raja dan seluruh birokrasinya

untuk mengontrol orang-orangnya sendiri. Pemerintah (kolonial) memerlukan

pejabat-pejabat lokal.24 Keberadaan mereka merupakan perpanjangan tangan dari

kepentingan politik kolonial.

Pola ini merugikan karena tidak terjadi transformasi secara menyeluruh,

khususnya dalam aliran kebudayaan yang dipengaruhi oleh VOC. Bisa dilihat hal

itu terhenti di kalangan bangsawan. Masyarakat pada umumnya kurang mendapat

perhatian dari sistem kebijakan semacam ini sehingga semakin memperuncing

ketimpangan pada masyarakat pribumi. Hal-hal inilah yang nantinya melahirkan

semangat emansipasi di kalangan masyarakat pribumi.

24
Kloos 1971, hlm. 184 dalam Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi
Politik: Suatu Orientasi. Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 118.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
90

4. Palihan Negari (13 Februari 1755) melalui Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti lahir atas dampak perseteruan antara R.M. Said25 dan

Pakubuwana II. Pakubuwana II menjanjikan daerah Martapura bagi siapa saja

yang berhasil memadamkan pemberontakan R.M. Said. Pangeran Mangkubumi

muncul sebagai sosok yang berhasil meredam gerakan R.M. Said. Namun

kemudian ia kecewa akibat susuhunan tidak menepati janjinya tersebut, balik

bersekutu dengan R.M. Said melawan Kartasura hingga meletus Perang

Perebutan Takhta Jawa Ketika yang berkepanjangan antara 1746-1757.

Agar perang tak berlangsung lebih lama, VOC dalam hal ini Gubernur

Nicolaas Hartingh dengan juru runding Seh Ibrahim alias Tuan Sayid Besar26

melakukan kontak pertama dengan Mangkubumi pada bulan April 1754. Dalam

pertemuan itu, Mangkubumi berkenan menerima gelar sultan supaya tidak ada

dua susuhunan. Secara pribadi Hartingh bertemu Mangkubumi dalam bulan

September 1754 di Pedagangan, Grobogan.27

Perjanjian Giyanti diprakarsai oleh Gubernur Jendral Hartingh dan

ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi (nantinya Hamengkubuwana I) dan

Pakubuwana III pada 13 Februari 1755 di Giyanti, dekat Karanganyar, Surakarta.

Inilah awal praktek dari politik divide et impera secara resmi diberlakukan oleh

VOC atas Mataram.

Dalam perjanjian ini disepakati beberapa hal sebagai berikut:


1. Pengakuan VOC atas kedudukan Mangkubumi sebagai raja dengan wilayah
seperdua dari Mataram;

25
Ibid, 580-581, ia disebut juga Pakunagara.
26
Ricklefs, M.C. op.cit. 216 menjelaskan sosok Seh Ibrahim sebagai
seorang penengah berkebangsaan Turki.
27
G. Moedjanto. op.cit. 129.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
91

2. Kerjasama VOC, Surakarta dan Yogyakarta untuk memelihara perdamaian


dan menghadapi gerakan R.M. Said;
3. Pembagian wilayah, Yogyakarta menerima 33.950 cacah (rumah tangga)
dalam mancanegara dan 53.100 cacah dalam negara agung, sedangkan
Surakarta menerima 32.350 cacah dalam mancanegara dan juga 53.100
28
cacah dalam negara agung.

Dalam perjanjian ini wilayah Surakarta kekuasaan Pakubuwana III meliputi

Pajang, Sukowati, Jogorogo, Ponorogo, sebagian Pacitan, Kediri, Blitar dengan

Srengat (termasuk Lodoyo), Pace (Nganjuk-Berbek), Wirosobo (Mojoagung),

Blora, Banyumas (termasuk Pamerden atau Banyumas Timur dan Dayeuhluhur),

Keduwang di sebelah tenggara Surakarta serta sebagian Kedu yang dibagi dua. 29

Wilayah Kesultanan Yogyakarta dipimpin Hamengkubuwana I meliputi Madiun,

Magetan, Caruban, sebagian Pacitan, Kertosono, Kalangbret dan Ngrowo

(Tulungagung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro), Teras Karas (Ngawen),

Selo (daerah Grobogan), Warung (di Blora), Bagelen, Rema (Karanganyar), serta

sebagian wilayah Kedu. Pada tahun 1755, Mangkubumi dengan khidmat

diproklamirkan oleh Gubernur Belanda, dengan gelar Sultan Amangkubuana

Senapati Ingalaga Abdul Rachman Sahedin Panatagama Kulifatulloh.30

5. Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757)

Terbelahnya Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan

Kasultanan Yogyakarta pada 1755 ternyata bukan babak akhir dari merosotnya

28
Ibid, 129-130.
29
Harto Juwono. 2011. Persewaan Tanah di Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta 1818-1912: Penerapan Prinsip Konkordari di Wilayah
Projo Kejawen. Disertasi Universitas Indonesia. unpublished, hlm. 125. dalam
skripsi Rechardus Deaz Prabowo.2013. Sejarah dan Perkembangan Stasiun
Kereta Api Tugu di Yogyakarta 1887-1930. Universitas Sanata Dharma, hlm. 21.
30
Raffles, Thomas Stamford, op.cit. 581.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
92

kerajaan tersebut. Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III

masih menghadapi goncangan dari R.M. Said. Puncak konflik dua keturunan

besar Mataram ini akhirnya dapat diselesaikan melalui Perjanjian Salatiga pada

17 Maret 1757 yang membelah wilayah Surakarta menjadi dua bagian lagi dengan

mengakui keberadaan Pura Mangkunegaran sebagai sebuah wilayah independen.

Pada kesempatan itu, Pakunagara, yang lebih umum dikenal sebagai Mas Said,

memangku jabatan dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunagara, dengan sebuah

penyerahan tanah sebesar 4.000 cacah di Distrik Karawang, Malesa, dan

pegunungan sisi selatan.31

Perjanjian tersebut mengakhiri perang panjang yang terjadi hampir

sepanjang kurun dua belas tahun. Akhir babak yang mirip nantinya akan menimpa

Kasultanan Yogyakarta. Selama pemerintahan sementara Britania Raya atas

Belanda (1812-1816), Gubernur Thomas Stamford Raffles menghadiahkan

sebagian kecil daerah Yogyakarta kepada Pangeran Natakusuma, saudara Sultan

Hamengkubuwono II yang memerintah kala itu, dan diakui sebagai pangeran yang

merdeka dengan nama Pakualam.32 Di sini letak keberhasilan politik divide et

impera. Kekuasaan raja dibelah-belah hingga kekuatannya mengecil dan ia

kehilangan kedaulatan di tanah kekuasaannya sendiri. Maka ketika Belanda

kembali (berkuasa) pada tahun 1816, kerajaan Mataram lama telah terpecah

31
Ibid.
32
Lebih lanjut lihat Selo Soemardjan. 1986. Perubahan Sosial di
Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 20-21.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
93

menjadi empat kerajaan, yaitu Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta dan

Pakualaman.33

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dampak yang ditimbulkan

dari gejolak konflik internal di Kartasura sungguh tidak kecil. Konflik internal dan

intrik di dalam istana bukan semata mampu memecah belah kekuatan yang ada di

dalam sebuah sistem pemerintahan kraton tetapi sanggup membawanya ke

ambang kehancuran: Kraton Kartasura kehilangan kedaulatan.

33
Ibid, 21.
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
94

BAB V
KESIMPULAN

Skripsi ini adalah sebuah hasil studi tentang konflik internal masa

kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749). Umum diketahui bahwa konflik

internal pada masa kraton secara mendasar dipicu oleh sistem birokrasi kraton,

khususnya pada sistem politik patrimonial monarki. Sistem politik patrimonial

monarki tanpa aturan suksesi yang jelas akan selalu memunculkan konflik

internal. Setiap keturunan memiliki kecenderungan untuk mengambil alih takhta

karena merasa berhak. Maka pada setiap periode kepemimpinan, setiap raja

dicemaskan oleh kemungkinan adanya perebutan kekuasaan.

Pada masa kepemimpinan Pakubuwana II (1726-1749), aktor yang diduga

kuat mampu mengguncang stabilitas kekuasaan Pakubuwana II dari sistem politik

patrimonial monarki adalah Pangeran Arya Mangkunegara. Ia kemudian

disingkirkan oleh Patih Danureja melalui sebuah skandal politik. Pengasingan

Pangeran Arya Mangkunegara merupakan salah satu upaya untuk meminimalisir

rongrongan kekuasaan dari dalam. Namun hal tersebut tidak menghilangkan

kemungkinan munculnya konflik di dalam kraton oleh faktor-faktor yang lain.

Sebab secara mendasar kemudian melalui skripsi ini diketahui bahwa konflik

internal di dalam kraton tidak hanya dipicu oleh problem suksesi.

Pada masa kepemimpinan Pakubuwana II gejala konflik di Kraton

Kartasura timbul di antaranya karena meregangnya hubungan negara dan

mancanagara. Awal hilangnya kedaulatan Kraton Kartasura bermula dari

94
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
95

melemahnya kekuasaan kraton atas mancanagara. Luasnya daerah kekuasaan

kraton membuat VOC melirik wilayah-wilayah potensial yang dimiliki oleh

Kartasura. Wilayah-wilayah potensial tersebut berada di pesisir utara Jawa.

Kawasan ini merupakan bandar-bandar yang menjadi jalur perdagangan utama di

Pulau Jawa. Melalui serangkaian perjanjian politik dengan VOC, wilayah-wilayah

tersebut kemudian berpindah tangan.

Otoritas kraton di wilayah-wilayah tersebut semakin menyempit. Di saat

yang bersamaan, pemimpin daerah tidak mau lagi berkiblat ke pusat dan memilih

VOC sebagai sekutu. Kebijakan Pakubuwana II dalam memperkuat hubungan atas

mancanagara mengalami kegagalan. Manuver yang dilakukan oleh Patih

Danureja membuat kebijakan Pakubuwana II untuk memperkokoh wilayah pesisir

utara kandas. Problem distribusi kekuasaan dan wewenang yang melampaui

kekuasaan menjadi faktor yang memperkeruh keadaan di Kartasura. Politik gelar

yang digagas Pakubuwana II untuk Suradiningrat (Bupati Bapang) yang

mengendalikan wilayah jalur ekonomi di sebelah utara Jawa digagalkan oleh Patih

Danureja: Suradiningrat dicabut kedudukan dan hak-haknya sebagai bupati.

Kasus lain adalah kebijakan politik perkawinan yang diputuskan oleh

Pakubuwana II atas Cakraningrat IV (Madura). Kebijakan ini dalam pelaksanaan

keputusannya mengalami penundaan terus menerus yang mengakibatkan pihak

Cakraningrat IV tidak puas dan memutuskan untuk berbelok arah dan bersekutu

langsung dengan VOC.

Kondisi kekuasaan susuhunan yang secara politis kian menyusut semakin

menunjukkan gejala involutif. Pakubuwana II gemar mengedepankan dan


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
96

mengagungkan wibawa kultural-sakral-magis. Hal tersebut terlihat dari upayanya

untuk tetap mengumpulkan pusaka-pusaka kraton dari masa Amangkurat III yang

dibuang ke Ceylon. Sedangkan gagasan regalia baru yang diprakarsai oleh Ratu

Mas Balitar yang mengedepankan kecerdasan intelektual kurang diperhatikan.

Problem-problem yang bermunculan pada masa kepemimpinannya, sudah

sedari awal disadari oleh Pakubuwana II. Ia menggalang simpati dan dukungan

dengan mengedepankan politik silsilah atau politik perkawinan,

menganugerahkan berbagai gelar dan tanah lungguh melalui politik gelar dan

menerapkan politik sayembara dalam mengendalikan pemberontakan. Beberapa

kebijakan tersebut sayangnya tidak terealisasi dengan baik sehingga melahirkan

konflik.

Realitas sosial-politik pada masa tersebut diperkeruh oleh Tragedi Muara

Angke pada tahun 1740 di Batavia yang berimbas hingga ke wilayah Surakarta

dan memicu terjadinya Geger Pacinan (1740-1743). Susuhunan Pakubuwana II

kehilangan legitimasinya sebagai sosok raja ketika ia melarikan diri ke Timur dan

kraton dikuasai oleh Sunan Kuning.

Dari peristiwa tersebut, problem keagungbinataraan dapat ditengarai

sebagai salah satu penyumbang dalam kegagalan kepemimpinan Susuhunan

Pakubuwana II. Rakyat berbalik membantu Laskar Tionghoa sebagai respon

sosial dari sikap susuhunan yang awalnya mendukung laskar tersebut, namun

kemudian balik memihak VOC. Krisis kepercayaan diri Pakubuwana II mencapai

klimaksnya pada akhir hidupnya, ketika ia merasa telah kehilangan kepercayaan

terhadap orang-orang kepercayaannya (Jawa) dan lebih percaya kepada pihak


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
97

asing (VOC), termasuk untuk melindungi semua keturunannya. Sikap ini

tercermin dalam kebijakan 11 Desember 1749: penyerahan kedaulatan Mataram

atas VOC.

Kasus yang terjadi di Kartasura sepanjang masa kepemimpinan

Pakubuwana II (1726-1749) menunjukkan bahwa upaya penyelesaian konflik

menimbulkan situasi yang mengakibatkan munculnya konflik baru. Hal ini terjadi

karena terlalu banyak kepentingan yang saling bertentangan di dalam kraton.

Faksi-faksi tersebut lebih mengedepankan kepentingan golongannya dan

membuat kebijakan susuhunan terkesan inkonsisten. Perkara tersebut membawa

Kartasura ke dalam perpecahan yang semakin tajam.

Bagaimanapun bentuknya, konflik selalu memiliki dampak merugikan.

Berkembangnya faksi-faksi di dalam istana dengan kepentingan masing-masing

memicu elit keraton terpecah belah. Kepentingan faksi mengemuka dan

mensahkan apa saja demi tercapainya tujuan yaitu kekuasaan. Kerugian yang

mesti diderita oleh Keraton Kartasura dari konflik internal sepanjang kurun

pemerintahan Pakubuwana II adalah hilangnya sebagian besar kedaulatan, dengan

terpecahnya keraton menjadi dua wilayah yakni Surakarta dan Kartasura di tahun

1755 dan mengakui kedaulatan Pura Mangkunegaran di dalam wilayahnya pada

tahun 1757. Era ini baru dapat disebut sebagai pemberlakuan politik divide et

impera secara de facto atas Keraton Kartasura oleh VOC.

Di luar hal-hal tersebut di atas, diperoleh kajian menarik tentang

kecenderungan perilaku politik pada masa Pakubuwana II 91726-1749) adalah

sebagai berikut:
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
98

1. Skandal merupakan perlakuan wajar dalam politik Keraton Kartasura

khususnya untuk menyingkirkan lawan-lawan politik. Dalam studi ini

dijumpai skandal yang berorientasi affair, antara Pangeran Arya

Mangkunegara dengan selir Susuhunan Pakubuwana II.

2. Untuk menyingkirkan lawan-lawan politik, susuhunan melakukan

pembuangan dari aktor-aktor tersebut. Hal itu dipandang memiliki

dampak langsung untuk melemahkan bukan hanya kekuasaan yang

bersangkutan, melainkan juga para pengikut loyal mereka. Metode

yang lain adalah dengan cara dibunuh atau dicabut gelar dan

kedudukannya.

3. Penciptaan narasi baru digunakan sebagai upaya untuk membangun

legitimasi kekuasaan. Bentuk konkritnya dapat berupa babad atau

serat hingga tari-tarian.

Skripsi ini juga membuktikan bahwa babad sebagai bentuk historiografi

tradisional dapat digunakan sebagai sumber primer dalam penulisan sejarah.

Diperlukan ketelitian dan naskah-naskah lain sebagai pembanding dalam kerja

serupa terlebih ketika menjumpai sejumlah data sejarah yang rancu. Kerancuan

membuat proses penelitian lebih hati-hati dalam menerima fakta sejarah yang

disodorkan oleh babad. Terlepas dari segala kelemahannya, Babad Kartasura II

berhasil menyodorkan serangkaian fakta yang menarik untuk dikaji dari sisi intrik

dan konflik internal Keraton Kartasura, khususnya berkaitan dengan periode

pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749).


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
99

DAFTAR PUSTAKA

BABAD

Babad Kartasura I dan II dialih aksara dan bahasa oleh Moelyono


Sastronaryatmo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981.

Babad Pacina IV alih aksara Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan. 1981.
Babad Tanah Jawi Buku III penerjemah Amir Rochkyatmo, et.al. Jakarta:
Amanah-Lontar. 2004.

BUKU

Alex Sudewa. 1995. Dari Kartasura ke Surakarta: Studi Kasus Serat Iskandar.
Yogyakarta: Lembaga Studi Asia

Aminuddin Kasdi. 2003. Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa:


Relasi Pusat-Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745).
Yogyakarta: Jendela

Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali

Balk, G.L., et.al. 2007. The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and
the Local Institutions in Batavia (Jakarta). Arsip Nasional Republik
Indonesia, Leiden, Boston

Bambang Purwanto. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris!. Yogyakarta:


Penerbit Ombak

Bauer, Susan Wise. 2011. Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-Cerita Tertua sampai
Jatuhnya Roma. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Behrend, T.E. (ed.). 1990. Katalog Naskah-naskah Nusantara Jilid 1: Museum


Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan

Boxer, C.R. 1983. Jan Kompeni: Dalam Perang dan Damai 1602-1799. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan

Carey, Peter. 2011. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV
Jakarta

C.C. Berg. 1985. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
100

Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik: Suatu Orientasi. Jakarta: Penerbit


Erlangga

Daradjati. 2013. Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa


Melawan VOC. Jakarta: Kompas

Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939.


Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa

De Graff, H.J. 1949. Geschiedenis van Indonesie. Bandung: N.V. Uitgeverij W.


van Hoeve’s Gravenhage

_________. 1987. Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti

_________. 1987. Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Jakarta: Pustaka


Grafitipers

_________. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut di Kartasura Abad XVII.


Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah. Jakarta:


Yayasan Penerbit Universitas Indonesia

G. Moedjanto. 2002. Suksesi dalam Sejarah Jawa. Yogyakarta: Universitas


Sanata Dharma

___________. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja


Mataram. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Lindsay, Jennifer, et.al. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2: Kraton


Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Mirriam Budiardjo. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia

Mirriam Budiardjo (ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan

P.J. Suwarno. 1989. Sejarah Birokrasi Pemerintah Indoensia Dahulu dan


Sekarang. Yogyakarta: Andi Offset

Poespaningrat, Pranoedjoe. 2012. Kisah Para Leluhur dan Yang Diluhurkan.


Yogyakarta: BP. Kedaulatan Rakyat

Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java. Yogyakarta: Penerbit


Narasi

Remmelink, Willem. 1990. Emperor Pakubuwana II, Priyayi & Company and
The Chinese War. Leiden: Proefschrif aan Rijksuniverseit te Leiden
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
101

______________. 2002. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743.


Yogyakarta: Penerbit Jendela

Ricklefs, M.C. 1978. Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an


Original Kartasura Chronicle and Related Materials. London: School Of
Oriental And African Studies University

__________.1998. The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726-1749: History,


Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. Honolulu: Allen &
Unwin and University of Hawai'i Press

__________. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.


Jakarta: PT. Gramedia

________________. 1959. Catatan tentang Segi-segi Mesianistis dalam Sejarah


Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Selo Soemardjan. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press

Soekanto. 1952. Perjanjian Gianti: Perang Pahlawan Dipanegara. Jakarta: N.V.


Soeoengan

Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa


Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia

Soerjono Soekanto, et.al. 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam


Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika

Sutherland, Heather. 1979. The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial


Transformation of the Javanese Priyayi. Singapura: Heinemann
Educational Books (ASIA) Ltd.

Taufik Abdullah, et.al. (ed.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah: Kolonisasi dan
Perlawanan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve

Taufik Abdullah (red.). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan
Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia

JURNAL, SKRIPSI, MAKALAH, ARTIKEL

Ricklefs, M.C. “Surat Pangeran Puger yang sedang dalam pelarian kepada
Pemerintah Agung, 5 Mei 1704”, dalam Harta Karun, Khazanah Sejarah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
102

Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 4. Jakarta:


Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.

Rechardus Deaz Prabowo.2013. Sejarah dan Perkembangan Stasiun Kereta Api


Tugu di Yogyakarta 1887-1930. Universitas Sanata Dharma (skripsi)

Teuku Ibrahim Alfian. 2003. Paradigma dalam Merekonstruksi Suatu Fenomena


Sejarah. Naskah ini belum diterbitkan, tapi ada bagian-bagian dalam
makalah yang pernah dimuat dalam buku 80 Tahun Prof. Dr. Sartono
Kartodirdjo.

_________________. Dimensi Teori dalam Wacana Ilmu Pengetahuan. Naskah


tidak diterbitkan.

WEB:

http://www.sejarah-nusantara.anri.go.id/media/dasadefined/HartaKarunArticles
/HK004/Doc_4_Ind.pdf
http://gallica.bnf.fr/
http://wiktionary.org/
http://www.vocsite.nl/geschiedenis/personalia/dehaan.html
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
105

LAMPIRAN

103
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
104

Peta Keraton Kartasura pada masa perang Untung Suropati 1700-1799.


Sumber: http://gallica.bnf.fr/
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
105

Silsilah Mataram (sumber: Geschiedenis van Indonesie, hlm. 483)


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
106

PERDJANJIAN 1749*)

(Paku Buwana II – Kompeni)

Punnika serat prakawis denning hangutjullaken sartta hannrahhaken


menggah karaton Matawis, saking Kangdjeng Susuhunan Paku Buwana Sennapati
Hangalaga Ngabdulrahman Sajidin Panatagama, hinggih saking hikang parentah
Kangdjeng Kumpni kangngageng wahu, karaton punika kasrah dateng Kangdjeng
Tuwan Gupernur sartta Direktur hing tanah Djawi Djohan Handrijas Baron Van
Hodendoref.

Kawula Kangdjeng Susuhunnan Paku Buwana Sennapati Hing Ngalaga


Ngabdulrahman Sajidin Panatagama, hangngakenni sartta hamratelakkaken
kalajan iklasing manah jenning make hawit saking sangette gerah kawula, saking
karsanning Allah kawula sangsaja saja boten kenging jennanjekkella karaton
Matawis kalayan parentah kangngapenned, hinggih rehnning hamrih dadosa
kapenneddan paparentahhan karaton Matawia punnika, sartta sawewengkonnipun
sadaja, kang hing make sampun kawula hasta, punnika sadaja sami kahaturraken
dumateng Kumpni kangngageng, katampen dateng Tuwan Gupernur sartta
Direktur kang wahu punnika, kang hing mangke wontenning Surakartta saking
nama Kumpni, hinggih sawab padamellan punnika, mila kalampahhan
kahutjullaken sadaja, kawula boten pisan jennaderbeja karsa hagadahha malih,
nanging ta wahu karaton kang kasebuttingngadjeng punnika hinggih hami turut
kadi kang kasebut wahu punnika, hing mangke sukannipun manah kawula,
botennawit jen kaparipeksaha, kahaturraken dumateng Kumpni, supados kenginga
kaparentahhan, hamrih dadosa, kapenneddanning bumi bumi sartta
satitijangngipun saking witjaksananning Kang parentah Kangdjeng Gurnnadur
Djendral Gustaf Wilem Baron Van Imhof, sartta Tuwanrat vanindija, kang
punnika sami kinawasakkakennapaparentah denning Kangdjeng Kumpni
Kangngageng, hinggih hing make kawula hangakenni sartta pratela, jen kawula
menggah wahu prakawis kangngageng punnika boten pisan jen kawula hadjeng
munasikaha, sandyan kawula sahupami saking sih pitulung hing Allah
kalampahhan waluja malih, punnapa denning jen sinahossenna juswa kawula,
nanging sukanne manah kawula sahupami wontena pandjangnge juswa kawula,
hinggih kalampahhana santosa kendel kewala, boten pisan jen kawula hakarsaha,
hamiharsa, sartta munnasika, menggah salwirring prakawis kang hing mangke
sampun kawula haturaken. Hinggih sakalangkung gen kawula hanitipaken putra
putra kawula kang kantun kantun punnapa denning Pangerannadipati Hanom
kawula lindungngaken dumateng hahub hing Kumpni, hinggih darapon dadosa
pratanda jen kawula temen temen hasedya hanglampahi sahungelling serat
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
107

punnika, mila kawula hasuka tanda tapak tangan, sartta hetjap kawula
kangngageng.

Kaseratti Surakartta tanggal 11 Desember hing tahun 1749.

(Sumber: Soekanto. 1952. Perjanjian Gianti: Perang Pahlawan Dipanegara.


Jakarta: N.V. Soeoengan, hlm. 178-179)

Anda mungkin juga menyukai