Anda di halaman 1dari 16

JEJAK SEJARAH PRABU BRAWIJAYA DALAM GAYA

ARSITEKTUR KAMPUS UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Valentina Yuniasri Vania (165060501111029)

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya


Jalan MT. Haryono 167 Malang 65145, Indonesia
Alamat e-mail penulis: valentyuniasva@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini berisikan analisis pribadi tentang pengaruh nama Brawijaya


terhadap gaya arsitektur kampus Universitas Brawijaya. Tujuan dari artikel ini
adalah untuk menjelaskan kepada pembaca tentang pengaruh sebuah nama
terhadap gaya arsitektur suatu bangunan atau kompleks bangunan. Penelitian ini
dilakukan dengan metode pengamatan secara langsung. Dari artikel ini dapat
disimpulkan bahwa nama Brawijaya berpengaruh terhadap gaya arsitektur kampus
Universitas Brawijaya.

Kata kunci: gaya arsitektur, Universitas Brawijaya, sejarah Prabu Brawijaya

PENDAHULUAN

Gaya arsitektur diwakili oleh dua hal. Pertama, yang paling kasat mata
adalah arsitektur dalam pengertian formalistik (wujud), bentukan masa, teknik
membangun, fungsi-fungsi yang diwadahi, dan kesan keseluruhan karya tersebut.
Yang kedua lebih sulit dikenali, adalah dalam pengertian pra-anggapan,
interpretasi dan wacana yang melatari kehadiran wujud arsitektur. Pada tataran ini,
wujud hanya merupakan hasil dari proses desain. Yang harus diapresiasi adalah
bobot pemikiran, curahan emosi, maupun penyaluran kehendak dari si arsitek.
Beberapa karya yang dirancang dalam proses dan alur pemikiran yang kurang
lebih serupa bisa menjadi pemicu kehadiran gaya tertentu.
Secara taksonomis-simplistik, gaya arsitektur dapat dibagi menjadi tiga
kelompok. Pertama, gaya arsitektur yang bersifat kultural. Kedua, gaya yang lebih
berorientasi pada referensi personal. Dan ketiga, gaya yang tampil sebagai gaya
universal. Kehadiran ketiga gaya arsitektur tersebut sangat nyata di seluruh
belahan dunia dan sangat terkait dengan tarik-menarik kekuatan global versus
lokal, homogenitas versus heterogenitas kultur, keterbukaan versus ketertutupan
masyarakat terhadap ide baru.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa gaya arsitektur
Universitas Brawijaya adalah gaya arsitektur yang bersifat kultural. Bentuk
bangunan kampus Universitas Brawijaya terkesan seperti candi-candi, yang
identik dengan kultur pada zaman Raja Brawijaya. Oleh karena itu, saya meneliti
dengan mengamati secara langsung bagaimana nama Brawijaya berpengaruh
terhadap gaya arsitektur Universitas Brawijaya. Tujuan dari penelitian ini adalah
menjelaskan pengaruh nama Brawijaya terhdapa gaya arsitektur Universitas
Brawijaya. Manfaat dari penelitian ini adalah agar pembaca dapat memahami
pengaruh nama Brawijaya terhdapa gaya arsitektur Universitas Brawijaya. Metode
penelitian yang digunakan adalah analisis dan pengamatan secara langsung.

KISAH HIDUP PRABU BRAWIJAYA

Prabu Brawijaya (lahir: ? - wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V


adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat,
yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini nyata dan sangat legendaris. Ia
sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan
dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa
Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada
tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri, setelah
berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.

Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia
naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian
memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya yang
bernama Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena
dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Arya
Damar.

Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim


dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya
Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati
Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah


Angkawijaya, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya
adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan
Menak Jingga bupati Blambangan.

Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat
bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya
terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja
terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut
urutan raja-raja Majapahit ialah:

Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana


Prabu Brakumara
Prabu Brawijaya I
Ratu Ayu Kencanawungu
Prabu Brawijaya II
Prabu Brawijaya III
Prabu Brawijaya IV
dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalahpahaman dengan menganggap Brawijaya (bhre
Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan
memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.

ASAL USUL NAMA BRAWIJAYA

Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai


dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan
Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah
babad dan serat memperoleh nama tersebut.

Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah
singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang
banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang
bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara
Wijaya.

Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun
1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota
kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena
yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk
Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini
kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu
tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan
Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain,
saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh
akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui
dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara
Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya
merupakan raja Daha yang terakhir.

Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan


masyarakat Jawa sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian
disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan
daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun "ditempatkan" sebagai raja
yang memerintah di sana, bukan di Daha.

TEORI KERUNTUHAN MAJAPAHIT

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan


masyarakat Jawa berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun
dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui
masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis
naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan
Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha. Peristiwa runtuhnya Kerajaan
Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun
1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi.

Peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan,


Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam
berbagai versi, antara lain:

Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari


Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Pulau
Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat
ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer
dalam masyarakat Jawa.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah.
Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Kesultanan Demak. Teori ini
muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong
Semarang.
Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini
muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah
terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak
Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan
secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir Majapahit
atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah
yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah
Bhre Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut
Bhre Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478,
anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi,
menurut teori ini, Bhre Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi
dan sudara-saudaranya pada tahun 1478.

PENGGUNAAN NAMA BRAWIJAYA

Meskipun kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal
dan tidak masuk akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah
Jawa Timur. Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur
menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan
menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas
Brawijaya. Juga terdapat Museum Brawijaya di kota Malang dan Stadion
Brawijaya di Kediri. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam
V/Brawijaya.
CANDI SUKUH

Menurut kisah, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, muncul kerajaan


Islam yang berkembang cukup pesat yaitu Kerajaan Demak yang dipimpin oleh
seorang raja bernama Raden Patah, yang masih merupakan putra Raden
Brawijaya.

Beliau menjadikan Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar di Jawa. Pada


saat itu Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya yaitu Raden Brawijaya
memeluk agama Islam, akan tetapi Raden Brawijaya menolak ajakan anaknya
untuk memeluk ajaran yang dianut Raden Patah.

Raden Brawijaya tidak ingin berperang dengan anaknya sendiri dan


kemudian Raden Brawijaya melarikan diri. Penolakan ayahnya untuk memeluk
agama Islam membuat Raden Brawijaya terus dikejar-kejar oleh pasukan Demak
yang dipimpin oleh Raden Patah.

Untuk menghindari kejaran pasukan Demak, Raden Brawijaya melarikan


diri ke daerah Karanganyar. Disini Raden Brawijaya sempat mendirikan sebuah
candi yang diberi nama Candi Sukuh yang terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo
Karanganyar. Tetapi belum juga merampungkan candinya, Raden Brawijaya
keburu ketahuan oleh pasukan Demak, pasukan Demak dan pengikut-pengikut
Raden Patah terus mengejarnya sehingga Raden Brawijaya harus meninggalkan
Karanganyar dan meninggalkan sebuah candi yang belum rampung.

Kemudian Raden Brawijaya melarikan diri menuju kearah timur dari


Candi Sukuh. Di tempat persembunyiannya, Raden Brawijaya sempat pula
mcndirikan sebuah Candi, tetapi sayang tempat persembunyian Raden Brawijaya
akhirnya diketahui oleh Pasukan Demak.
CANDI CETHO

Raden Brawijaya melarikan diri lagi dengan meninggalkan sebuah candi


yang sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Candi Cetho. Karena
merasa dirinya telah aman dari kejaran Pasukan Demak, Raden Brawijaya sejenak
beristirahat akan tetapi malapetaka selanjutnya datang lagi kali ini pengejaran
bukan dilakukan oleh Pasukan Demak tetapi dilakukan oleh pasukan Cepu yang
mendengar bahwa Raden Brawijaya yang merupakan Raja Majapahit bermusuhan
dengan kerajaan Cepu masuk wilayahnya sehingga dendam lama pun timbul.

Pasukan Cepu yang dipimpin oleh Adipati Cepu bermaksud menangkap


Raden Brawijaya hidup atau mati. Kali ini Raden Brawijaya lari ke arah puncak
Gunung Lawu menghindari kejaran Pasukan Cepu tapi tak satu pun dari pasukan
Cepu yang berhasil menangkap Raden Brawijava yang lari ke arah puncak
Gunung Lawu melalui hutan belantara.

Didalam persembunyian di Puncak Gunung Lawu, Raden Brawijaya


merasa kesal dengan ulah Pasukan Cepu lalu ia mengeluarkan sumpatan kepada
Adipati Cepu yang konon isinya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari
keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan
celaka atau mati di Gunung Lawu.

Dan katanya bahwa sumpatan dari Raden Brawijaya ini sampai sekarang
tuahnya masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu terutama keturunan
Adipati Cepu yang ingin mendaki ke Gunung Lawu, mereka masih merasa takut
jika melanggarnya.

Di Candi Cetho ini terdapat sebuah gapura yang khas. Bentuknya ramping
dan bertingkat-tingkat yang lalu dibelah menjadi dua, sehingga bagian dalam
gapura rata. Gapura dengan karakteristik seperti ini disebut juga sebagai Candi
Bentar.
Pada keadaannya sejak renovasi, kompleks Candi Ceto terdiri dari
sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk Candi Bentar,
pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura
masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa
halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur
masyarakat Dusun Ceto.

CANDI DUKUH

Candi Dukuh adalah salah satu Candi Hindu, yang berada Desa Rowoboni,
Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Candi Dukuh keletakannya berada
pada sebuah bukit kecil, yang lokasinya bersebelahan dengan Rawa Pening. Candi
ini diperkirakan dibangun sekitar abad IX atau di zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi Dukuh ini berbentuk kubus, namun tanpa atap karena terjadi kerusakan.
Namun bentuk dinding dan pintu Candi Dukuh ini mirip dengan Candi Angka
Tahun.

Selama ini candi ini dikenal dangan nama Candi Brawijaya. Nama ini
muncul karena persepsi masyarakat sekitar yang menduga bahwa candi ini
sebagai tempat pertapaan Raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Candi ini erat
kaitannya dengan pelarian Prabu Brawijaya V menuju Gunung Lawu untuk
menghindari peperangan dengan anak kandungnya yang bernama Raden Patah.
Beliau juga merupakan Raja Demak yang berniat mengajak ayahnya memeluk
keyakinan sama dengan dirinya yang beragama Islam. Karena latar belakang
sejarah tersebut juga, kadang candi ini disebut juga dengan Candi Brawijaya.

Perbedaan pendapat antara Raja Brawijaya V dengan anaknya Raden


Patah menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri. Ketika perbedaan itu
diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang ayah untuk menyelesaikan dengan
arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut?
Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa Raden Patah tidak mau
menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan
menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan
brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan.

Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa "watu


gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai
seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju
laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala"
dengan mata yang tajam.

Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus


utusan memanggil Raden Patah. Tetapi Raden Patah tidak mau menemui ayahnya
yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan
meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah
Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Para pengikut raja membangun
singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.

Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa Raden


Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang
Prabu bersikap arif dan bijak, karena Raden Patah adalah anak kandungnya
sendiri. Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat.

Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna


mencari akar persoalan (susuh angin). Maka didapat kesimpulan bahwa ada
kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang
Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil
untuk menghadap ke Banyubiru keraton dikosongkan.

Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikir yang


berbunga arif dan berbuah bijaksana. Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang
Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota
adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan
raga sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan
"Jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak
kandungnya sendiri, maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".

Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti


busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat adalah
Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang
"lawe" (bermakna laku gawe) menjadi bahan lurik.

CANDI ANGKA TAHUN

Candi Angka Tahun berada di dalam area Candi Pentaran. Candi Angka
Tahun berangka tahun 1291 Saka atau 1369 Masehi. Masyarakat Jawa Timur lebih
mengenalnya dengan nama Candi Brawijaya yang merupakan bangunan yang
paling dikenal dalam kompleks Candi Penataran dan juga digunakan sebagai
lambang kodam V Brawijaya. Terkadang ada juga yang menyebutnya Candi
Ganesha karena di dalam bilik candinya terdapat sebuah arca Ganesha.

Lokasi candi berada di sebelah tenggara bangunan pendopo teras dalam


jarak sekitar 20 meter. Pintu masuk candi terletak di bagian barat, pipi tangganya
berakhir pada bentuk ukel besar dengan hiasan tumpal yang berupa bunga-
bungaan dalam susunan segitiga sama kaki.

Bagian dalam relung candi terdapat sebuah arca Ganesha dari batu dalam
posisi duduk di atas padmasana. Pada bagian atas bilik candi pada batu penutup
cungkup terdapat relief Surya Majapahit yakni lingkaran yang dikelilingi oleh
jurai pancaran sinar yang berupa garis-garis lurus dalam susunan beberapa
segitiga sama kaki. Relief Surya Majapahit juga ditemukan di beberapa candi
yang lain di Jawa Timur ini dalam variasi yang sedikit berbeda sebagai lambang
kerajaan.
Candi Angka Tahun seperti umumnya bangunan-bangunan candi lain,
terdiri dari bagian-bagian yang disebut kaki candi yaitu bagian candi yang bawah,
kemudian tubuh candi, terdapat bilik atau kamar candi (garbagriha) dan kemudian
mastaka atau kemuncak bangunan yang berbentuk kubus.

Pada bagian mahkota terdapat hiasan yang raya dan pada masing-masing
dinding tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang berupa pintu semu
yang di bagian atasnya terdapat kepala raksasa kala yang rupanya menakutkan.
Kepala makhluk seperti ini disebut kepala kala yang di Jawa Timur sering disebut
Banaspati yang berarti raja hutan. Penempatan kepala kala di atas relung candi
dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk komplek
percandian.

Sementara itu pada sekeliling bangunan ini terdapat sisa-sisa tembok bata
yang tinggal bagian dasarnya dengan pintu masuk di sisi barat laut. Bangunan-
bangunan di halaman pertama ini seluruhnya terbuat dari batu andesit. Kecuali
dua buah pondasi dari bata berdenah persegi panjang, terletak di sebelah timur
laut candi angka tahun ini. Di sebelah kiri candi angka tahun terdapat arca wanita
yang ditafsirkan sebagai arca perwujudan Gayatri Rajapatni.

CANDI BENTAR WRINGINLAWANG

Meskipun tidak ada hubungan secara langsung dengan kisah hidup Prabu
Brawijaya, Candi Bentar Wringinlawang ini masih erat kaitannya dengan kerajaan
Majapahit. Candi Bentar Wringinlawang terletak di Dukuh Wringin Lawang, desa
Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Gapura
WringinLawang sering disebut pula sebagai candi Jati Pasar. Sebutan yang
digunakan terkadang gapura, terkadang candi. Akan tetapi lebih tepat jika Wringin
Lawang disebut sebagai gapura, dengan candi bentar karena serupa dengan
bangunan candi, tetapi seolah-olah dibelah menjadi dua bagian yang sama. Di
situs ini dulunya tumbuh sepasang pohon beringin dan karena itulah disebut
Wringin Lawang. Begitu besar dan megahnya bangunan ini maka sering disebut
candi (sedangkan tipe bangunan yang masuk definisi candi sebenarnya adalah
tempat pemujaan).

Candi Wringin Lawang merupakan salah satu peninggalan kerajaan


Majapahit yang masih berdiri hingga kini. Para ahli purbakala menyebutkan
bahwa Gapura Wringin Lawang ini merupakan pintu gerbang kerajaan Majapahit,
meskipun pusat sentris kerajaan Majapahit itu sendiri belum ditentukan secara
pasti. Gapura Wringin Lawang merupakan salah satu peninggalan kerajaan
Majapahit yang masih berdiri hingga kini. Wringin artinya pohon beringin dan
lawang artinya pintu. Gapura ini berbentuk candi bentar yang dibangun
menggunakan bahan dasar bata merah. Sementara areal candi ini bertahun-tahun
menjadi tempat pemakaman umum pendudukan sekitarnya.

Kini telah dipugar, pohon beringin ditebang dan makam-makam dipindah.


Akan tetapi dapat kita lihat bahwa pemugaran tahun 1990 dapat dikatakan kurang
sempurna karena antara bentar kanan dengan kiri tidak sama ukurannya. Situs
Gapura Wringin Lawang sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat
sekitar sebagai tempat untuk mencari berkah seperti selamatan dengan sesaji atau
ritual-ritual lainnya seperti Ritual Suro.

SEJARAH PRABU BRAWIJAYA DALAM KAMPUS UNIVERSITAS


BRAWIJAYA

Nama Universitas Brawijaya berasal dari gelar raja-raja Majapahit yang


merupakan kerajaan besar di Indonesia pada abad 12 sampai 15. Nama ini
diberikan oleh Presiden Republik Indonesia melalui kawat nomor 258/K/61
tanggal 11 Juli 1961, dipilih dari 3 alternatif yang diajukan, yakni Tumapel,
Kertanegara, dan Brawijaya. Nama itu secara resmi baru dipakai 3 Oktober 1961,
setelah penggabungan Yayasan Perguruan Tinggi Malang (Universitas Kotapraja
Malang) dengan Yayasan Perguruan Tinggi Ekonomi Malang (PTEM) menjadi
Yayasan Universitas Malang, yang disahkan akta notaris nomor 11 tanggal 12
Oktober 1961.

Berdasarkan nama tersebut, bangunan-bangunan yang berada di dalam


kampus Universitas Brawijaya mengadopsi dari bentuk candi-candi yang
berhubungan dengan Prabu Brawijaya dan kerajaan Majapahit.

Di kampus Universitas Brawijaya, terdapat bangunan yang mengambil


rupa dari Candi Angka Tahun dan Candi Dukuh. Bangunan tersebut berada di area
taman kecil samping Fakultas Ilmu Administrasi, tepatnya di samping gerbang
Suhat. Bentuk bangunannya ramping dengan alas berbentuk kubus, atapnya
bertingkat-tingkat dan puncaknya berbentuk kubus. Bentuk-bentuk tersebut sesuai
dengan karakteristik candi Dukuh dan Candi Angka Tahun.

Gerbang Veteran merupakan salah satu akses keluar dan masuk kampus
Universitas Brawijaya yang berada di Jalan Veteran. Gerbang ini mengambil rupa
dari Candi Bentar Wringinlawang. Karakteristik candi tersebut mirip dengan
gapura yang ada di gerbang Veteran, yaitu bentuknya besar dan megah serta
bertingkat-tingkat yang seperti dibelah menjadi dua, sehingga bagian dalam
gapura rata. Selain itu, pagar kampus Universitas Brawijaya juga memiliki ciri
khas candi-candi. Sehingga nuansa candi begitu terasa di dalam Kampus
Universitas Brawijaya.

Candi Dukuh dan Candi Angka Tahun memiliki kesamaan, yaitu ketiganya
sama-sama pernah disinggahi oleh Raja Brawijaya. Sedangkan Candi Bentar
Wringinlawang adalah pintu gerbang kerajaan Majapahit. Menurut pendapat
pribadi saya, hal inilah yang membuat kampus Universitas Brawijaya mengambil
rupa dari ketiga candi tersebut, karena nama Universitas Brawijaya diambil dari
nama Raja Brawijaya.

PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa gaya Arsitektur dan bentuk bangunan kampus Universitas
Brawijaya dipengaruhi oleh nama Brawijaya yang digunakan Universitas
Brawijaya berdasarkan sejarah Raja Brawijaya V. Bentuk-bentuk bangunan di
dalam kampus Universitas Brawijaya banyak mengambil dari candi-candi yang
pernah disinggahi oleh Raja Brawijaya V.

DAFTAR PUSTAKA

Vaa. 03 Aug 2015 Candi Dukuh, Tempat Pelarian Prabu Brawijaya, (Online),
(http://www.katawarta.com/asal-usul/candi-dukuh-tempat-pelarian-prabu-
brawijaya diakses 5 Desember 2016).

11 Juni 2014. Candi Panataran, (Online),


(http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_panataran_27
diakses 5 Desember 2016).

Sejarah Singkat (http://www.oldsite.ub.ac.id/id/1_about/sejarah.php diakses 2


Januari 2016).

Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon.


Semarang: Aneka Ilmu

Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah

Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi

H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press
Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS

Anda mungkin juga menyukai