Anda di halaman 1dari 3

Kisah Pasukan Brigade Bambu Runtjing dan Pasukan Siliwangi dalam perjuangan Revolusi

Kemerdekaan

Selama revolusi kemerdekaan dan belasan tahun setelah pengakuan kedaulatan, Jawa Barat
adalah medan laga yang rumit. Kelompok-kelompok bersenjata saling berhadapan. Seperti di
kota-kota lain di Jawa, laskar-laskar bermunculan dengan perilaku yang berlain-lainan. Ada yang
berdisiplin dengan garis perjuangan, ada juga yang sekadar gerombolan kriminal. Namun yang
pasti, mereka sama-sama keras kepala.Dalam peristiwa Bandung Lautan Api—palagan yang
kerap dijadikan sebagai tengara utama perlawanan rakyat Jawa Barat—misalnya, belasan laskar
tercatat ikut dalam rangkaian aksi revolusioner yang berujung pada pembumihangusan Kota
Bandung pada Maret 1946. Saat revolusi semakin memburuk dengan dijalankannya Agresi
Militer Belanda I pada Juli-Agustus 1947, kemudian berlanjut dengan perundingan Renville pada
Januari 1948 yang berujung pada hijrah Siliwangi ke Jawa Tengah, laskar-laskar di Jawa Barat
tetap bertahan di wilayahnya dan meneruskan pertempuran.Dalam rentang waktu itu,
pertempuran bukan hanya antara pasukan Belanda melawan pasukan TNI, tapi juga antara
Belanda melawan laskar dan TNI melawan laskar.Saat serangan lewat Agresi Militer Belanda I
membuat Siliwangi kewalahan, sejumlah laskar di Jawa Barat tetap bertahan.Menurut catatan
Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), gabungan
sejumlah laskar mula-mula dipimpin oleh Soetan Akbar yang berhasil meyakinkan Soedirman
bahwa laskar di Jawa Barat masih efektif melakukan perlawanan. “Kekalahan Divisi Siliwangi
ini memberikan kesempatan bagi Sutan Akbar yang masih berada di Yogyakarta, dan didukung
dengan sebuah kesatuan kecil yang memiliki logistik lengkap. Kesatuan tersebut diperoleh dari
razia pelarian Divisi Siliwangi di Jawa Barat,” tulisnya.

Pasukan yang dipimpin Soetan Akbar bernama Divisi Gerilya Bambu Runtjing. Lewat program
khusus Radio Sungai Citarum dan kurir yang ia kirim, Akbar memberi instruksi umum kepada
rekan-rekannya di Jawa Barat agar meneruskan perjuangan dan memberitahu mengenai status
resmi mereka.Selain itu, ia juga membagi pasukannya di Jawa Barat ke dalam lima brigade yang
meliputi Banten, Bogor, Jakarta, Priangan, dan Cirebon.Menurut Harry A. Poeze dalam Tan
Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3: Maret 1947-Agustus 1948 (2010)
pembagian brigade tersebut adalah: Brigade-A Banten, dipimpin oleh Achmad Chatib. Brigade-
B Bogor dipimpin oleh Waloejo dan Armansjah, yang beroperasi di pergunungan sekitar
Sukabumi dan Cianjur. Kemudian Brigade-C dipimpin oleh Wahidin Nasution, seorang pengikut
Tan Malaka yang sebelumnya berdinas pada Biro Perjuangan. Ia yang berhasil melarikan diri
dari tahanan di Purwakarta bergerak menuju Gunung Sanggabuana dan bergabung dengan sisa-
sisa Laskar Karawang.Brigade-D di Priangan timur dipimpin oleh Achmad Astrawinata yang
dilepaskan dari Penjara Tasikmalaya sesaat sebelum tentara Belanda memasuki kota. Dan
terakhir Brigade-E di Ciwaru, Cirebon, dan merupakan yang paling kuat dipimpin oleh
Sastrosoewirjo dan Maulana. Soetan Akbar bersama kesatuannya dari Jawa Tengah bergabung
dengan brigade ini.“Ciwaru terletak di daerah pergunungan yang strategis, sukar dicapai oleh
pasukan Belanda, dan pada jalan penghubung bagi Republik, yaitu dari Jawa Tengah ke Jawa
Barat. Di sepanjang jalan inilah Soetan Akbar menerima suplai dan senjata,” tulis Poeze.Sebagai
penerima arus utama dan logistik dari Yogyakarta, Brigage-E tempat Soetan Akbar tak optimal
menjalin koordinasi dengan brigade-brigade lainnya. Komunikasi yang sulit dan watak khas
laskar yang keras kepala menjadi penyebabnya.Brigade-D di Priangan Timur yang relatif lemah,
kemudian diambilalih oleh Soetan Akbar karena wilayah ini masih memungkinkan suplai dari
Yogyakarta berjalan baik. “Namun dengan Bambu Runtjing di Jakarta, Bogor, dan Banten,
hubungan mereka lebih seperti sekutu jauh daripada atasan dan bawahan,” tulis Robert Cribb
dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010). Keberadaan Bambu
Runtjing yang berhasil mengonsolidasikan sejumlah laskar, khususnya Brigade-E, dalam catatan
Poeze mendapat pujian dan penghargaan yang luas dari rakyat. Menurutnya, Kepala Kepolisian
Karesidenan Cirebon bahkan memberikan pujian karena mereka disiplin dan berhasil melawan
musuh di garis depan.

Selain itu, rakyat juga merasa aman dan bangga terhadap Bambu Runtjing.Namun, keadaan
kemudian berbalik saat kekuatan-kekuatan baru yang datang Yogyakarta bergabung. Mereka
menyalahgunakan posisinya dan staf Soetan Akbar sendiri melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan rakyat.Menurut Nasution sebagai pemimpin Divisi Siliwangi seperti dikutip Poeze,
para laskar termasuk yang tergabung dalam Bambu Runtjing, memang berjasa besar dalam
perlawanan gerilya tapi mereka juga melucuti kesatuan TNI dan terlibat dalam sejumlah aksi lain
seperti perampokan, penahanan, dan pertikaian bersenjata dengan sesama laskar. Nasution
menilai aksi-aksi ini merusak dan tidak bisa dibiarkan. “Pada 30 Desember 1947 seorang
Komisaris Polisi dari Cirebon mengirim surat kepada Kepala Tertinggi Polisi di Yogyakarta agar
mengambil tindakan terhadap Divisi Bambu Runtjing, yang telah dijauhi oleh masyarakat. Dan
tentara, polisi, serta pemerintah merasa terganggu dalam melaksanakan tugas mereka,” imbuh
Poeze.Dalam situasi seperti itu, pertikaian antara Bambu Runtjing dengan TNI semakin tajam.
Soetan Akbar dan Bambu Runtjing dinilai TNI telah melakukan tudingan terhadap Siliwangi
bahwa kekalahan divisi yang dipimpin Nasution ini adalah karena kurangnya semangat
bertempur, bukan karena faktor senjata. Selain itu, menurut catatan intelijen Belanda seperti
dikutip Robert Cribb, sejumlah propaganda dilakukan Bambu Runtjing untuk melawan TNI.
Salah satu proganda itu menyatakan bahwa tindakan heroik TNI hanya khayalan dan rakyat lebih
mendapatkan masalah dari TNI bukan dari Belanda.

Perseteruan terus berlanjut saat Soetan Akbar berhasil merekrut unit-unit laskar untuk bergabung
dengan Bambu Runtjing. Bahkan pada sebuah kesempatan ia berhasil merekrut seorang staf
pribadi Nasution dan menangkap Rukman—seorang komandan kompi Siliwangi.Nasution tentu
saja marah, Januari 1948 ia segera memerintahkan pasukannya untuk menghabisi Soetan Akbar
dan pengikutnya. Dalam penyerbuan itu para pemimpin Bambu Runtjing di Ciwaru berhasil
ditangkap. Sastrosoewirjo dan Maulana ditembak di tempat. Sementara Soetan Akbar ditembak
saat ia melarikan diri dengan berenang menyeberangi sungai di pergunungan.“Perkiraan jumlah
anggota Bambu Runtjing yang dieksekusi sekitar 17-64 orang, namun tidak disangsikan bahwa
kepemimpinan Brigade-E Bambu Runtjing telah benar-benar disapu bersih,” tulis Cribb. Bulan
saat pembersihan Bambu Runtjing Brigade-E di Ciwaru bersamaan dengan dilaksanakan
perjanjian Renville yang mengharuskan Siliwangi mengosongkan Jawa Barat. Situasi ini
dimanfaatkan para laskar untuk berkonsolidasi kembali. Sebagian memutuskan untuk bergabung
dengan TNI. Sementara sebagian lagi memilih bertahan di Jawa Barat. Wahidin Nasution
pimpinan Bambu Runtjing Brigade-C yang tidak ikut hijrah, menekankan kepada laskar-laskar
lain tentang pentingnya persatuan. Ia bersama kawan-kawannya kemudian mendirikan sebuah
federasi yang bernama Divisi 17 Agustus. Unit-unit yang tergabung dalam divisi ini terdiri dari
Bambu Runtjing pimpinan Wahidin, Hizbullah pimpinan Tabrani Idris, dan Persiapan Lapangan
pimpinan Usman Sumantri yang namanya berubah menjadi SP88 (Satuan Pemberontak 88). Pada
perjalanannya, karena Siliwangi telah pergi ke Jawa Tengah, Belanda menjadi lebih fokus dalam
memerangi laskar di Jawa Barat.

Menghadapi serangan-serangan Belanda, Divisi 17 Agustus kewalahan. Konsentrasi mereka


pecah sehingga terbentuk unit-unit kecil yang sulit dikendalikan meski mereka tetap mengaku
setiap kepada Bambu Rutjing dan SP88. “Unit-unit ini memakai nama yang muluk-muluk seperti
yang umum dipakai gerombolan-gerombolan sebelum perang. Mereka memakai nama Pasukan
Siluman, Serigala Hitam, Pemotong Leher, dan Garuda Putih. Nama-nama komandan mereka
juga menarik, seperti misalnya Phantom Bom,” tulis Cribb. Secara militer, mereka jelas tertekan.
Namun, keberadaan unit-unit yang berupa gerombolan-gerombolan ini tetap memberikan
kesulitan bagi Belanda karena mereka menjadi ancaman keamanan dan membatasi gerak
Belanda dalam usaha mendirikan kembali kekuasaan administratifnya di Jawa Barat.Dalam
catatan Cribb, gerombolan-gerombolan ini menyerang pos-pos militer Belanda. Orang-orang
Eropa, Cina, dan Indonesia yang bekerja untuk Belanda dibunuh. Sejumlah pabrik dan gudang di
pelbagai perkebunan mereka bakar serta mengadang truk-truk pengangkut hasil bumi dari
daerah-daerah terpencil. Oktober 1948, para laskar menyusun pemerintahan sendiri bernama
Pemerintahan Republik Jawa Barat (PRJB). Mereka menolak di bawah pemerintahan Republik
dan menyatakan setia kepada prinsip-pronsip dasar proklamasi kemerdekaan.

Anda mungkin juga menyukai