Anda di halaman 1dari 8

SEJARA PULAU SUMBA

TUGAS SEJARAH FILSAFAT

OLEH

KAREL BILI

NO. REG. : 611 14 030

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS KATHOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belaka

Ada beberapa hipotesis yang beralasan mengenai pergerakan dan pembentukan Pulau

Sumba. Pulau Sumba yang berada di Kepulauan Nusa Tenggara bagian timur merupakan

bagian dari busur depan (fore arc) atau busur luar ( outer arc) dari kesatuan Busur Banda

bagian barat, dimana selain pulau Sumba terdapat Pulau Timor (NTT), kepulauan Leti,

kepulauan Basar, kepulauan Tanimbar dan kepulauan Kei ( Maluku) yang merupakan satu

deret auter arclfore arc. Untuk inner arc dari Busur Banda sendiri terdiri atas Pulau Flores,

pulau-pulau di timur pulau Flores (pulau Adonara,Solor,Lombe,Alor), Pulau Wetar,

kepulauan Damar dan kepulauan Badan (Maluku) yang memanjang dengan orintas barat ke

timur lalu beruba arah (membusur) ke arah utara ( Minarwan,) Busur luar merupakan

kepulauan non-vulkanik, sedangkan busur dalam umumnya merupakan kepulauan vulkanik.

Hipotesis tersebut antara lain.

1.2 Gambaran Umum Pulau Sumba

Pulau Sumba merupakan salah satu pulau besar yang berada dalam kawasan Provinsi

Nusa Tenggara Timur, yang terletak pada posisi 9*22*-10*20 LS, 118*50*-120*23*BT.

Posisi ini menjadi sangat strategis dalam kaitan dengan usaha menarik garis relasi antara

Negara Kesatuan Republik Indonesia (Indonesia) dan Australia. Juga dipandang dari

sudut peristiwisata, Pulau Sumba merupakan Tambang emas yang dapat menarik

perhatian kawasan selatan ke kawasan utara NKRI dan bahkan tembus ke doimain dan

kawasan besar Asia secara keseluruhan.

Apa arti Sumba. Banyak pakar telah berupaya menelusuri usul-asal pemberian nama

pulau tersebut, dan pendapat umum penyebutkan bahwa nama Sumba diasalkan dari kata
Humba atau Hubba yang berartin asli, tidak diturunkan, atau kawasan yang tak pernah

dicitrakan sebagai pengembangan dari suku-suku di pulau sekitarnya. Atas dasar

pemikiran inilah Orang Sumba acapkali menyebut wilayah yang dihuninya sebagai Tana

Humba atau Tanah Asli. Oleh karena tempat itu disebut Tanan Asli, maka semua

penduduk di wilayah itu dijuluki dengan sebutan Tau Humba atau Orang Asli.

Pulau Sumba kini terbagi menjadi 4 bah kabupaten : Sumba Timur,Sumba Tengah,

Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, kualifikasi penduduknya cukup homogen, terlebih

di wilayah perkotaan, dimana penduduk terdiri dari orang asli Sumba, Rote, Sabu, Flores,

Timor, Bima, Jawa, dan bahkan Arab dan Cina. Dalam tata kelola pemerintahan asli,

nampaknya perlu studi cermat untuk dapat menempatkan kerajaan-kerajaan awal pra

masuknya Penjajahan Belanda. Dari catatan sejarah ketika Belanda menetap dan

ditetapkan A.J.L.Couvreur sebagai pemerintah sipil dengan status “Kontroleur”,

kemudian diangkat sebagai asisten Residen Sumba. Pada jaman pemerintahannya, Pulau

Sumba ditetapkan sebagai satu afdeeling dalam kerisidenan Timor dan daerah takluknya

dibagi menjadi (1) Onder Afdeeling Sumba Timur dengan ibu kota Melolo, (2) Onder

Afdeeling Sumba Tengah dengan pusat Waingapu, (3) Onder Afdeeling Sumba Barat

Utara dengan pusat Karuni, (4) Onder Afdeeling Sumba Barat Selatan dengan pusat

Waikabubak.

Tahun 1922, Onder Afdeeling Sumba Timur dan Onder Afdeeling Sumba Tengah

digabungkan dalam Onder Afdeeling Sumba Timur dengan ibu kota Waingapu.

Sedangkan Onder Afdeeling Sumba Barat Utara dan Onder Afdeeling Sumba Barat

Selatan digabungkan menjadi Onder Afdeeling Sumba Barat dengan ibu kota

Waikabubak (Bamulim 2013: 20, mengutip Widyatmika 2010).


1.3 Letak Geografis dan Keadaan Alam

Pulau Sumba merupakan bagian dari Sundalan dan awalnya terletak di sekitar Teluk

Bone di selatan Pulau Sulawesi. Pulau Sumba bergerak menuju selatan akibat adanya escape

tectonics .Escape tectonics merupakan reaksi berupa pergerakan blik lempeng ke arah luar

(menjauhi pusat tumbukan lempeng).

1.3.1 Sekilas Asal-usul Orang Sumba

Penduduk orang Sumba berasal dari Malaka, Tanabar (singapura), Riau,Jawa, Bali, Bima,

Makasar, Ende, Ambarai (Manggarai), Endan (Rote), Ndau, Haban (ini pulau Seba atau

Sabu) dan Rae Jua. Jadi dari hampir semua pulau yang terletak di sebelah barat dan sebelah

timur pulau Sumba, ada sejumlah orang dahulu kala pernah mengadahkan transmigrasi

masuk pulau Sumba. Juga ada sebuah tradisi yang menyebut tempat di mana nenek-moyang

orang Sumba mendarat. Tradisi ini diketahui oleh hampir semua orang Sumba. Pada bulah-

bulan tertentu, apa bila padi sudah menguning di ladangm ‘’li’i Marapu’’ ialah hikayat suci

tentang asal-usul nenek moyang, dalam upacara khusus di waktu malam dikisahkan oleh

seorang penyanyi dan oleh seorang pendaras, secara bergantia-gantian, saut-menyahut,di

selingi bunyi gong dan genderang. Dalam suasana khidmat dan dengan hati terharu penduduk

kampung mendengarkan sejarah kuno yang diceritakan dengan meriah. Di pantai utara, di

mana daratan pulau sumba masuk jauh ke laut, di sanalah nenek-moyang menjejakan

kakinya.Pantai itu adalah Pantai Tanjung Sasar namanya. Genderang di bunyikan dengan

irama yang sesuai. Lalu ceritra di lanjutkan sampai tamat pada waktu pagi-pagi benar bilah

bintang kejora terbit di ufuk timur. Ceritra kudus itu diwariskan oleh ayah ke anak, dari

anak ke cucu, demikian turun-temurun. Juga dikatakan, bahwa dekat Tanjung Sasar itu

dahulu ada “Lende Watu” ‘jembatan batu’, yang menyambung pulau sumba dengan Bima di
pulau Sumbawa, bahkan ada yang yang menceritakan, bahwa jembatan batu tersebut

membentang jauh sampai ke pantai Manggarai di Flores Barat.

Lewat jembatan itulah nenek-moyang orang Sumba mendarat di Tanjung Sasar. Di daerah

Waijewa, Lauli, Lamboya, Kodi ada tradisi yang agak berlain. “Ama Kalada Iana Kalada”, “

Ayah Besar Bunda Agungr”, Suatu pasanga kata untuk menyebut Tuhan Pencipta, dahulu

kala meneptkan di puncak gunung Yawila nenek-moyang mereka.Lima abad lamanya Sumba

tenggelam di belakang cakrawala sejarah. Sementara itu, menurut tradisi, kelompok-

kelompok para leluhur yang mendarat di Tanjung Sasar maupun di tempat lain, setelah

mengadakan musyawarah dan berjanji sumpah untuk tetep bersatu, menyebar sebagian ke

Timur, sebagian ke Selatan, menyusup alang-alang, masuk semak belukar, naik gunung atau

turun jurang-jurang. Kelompo-kelompok, atau “kabihu”, “kabizu” dalam bahasa daerah,

setelah mendapat tempat yang cocok, menetap di situ, membangunkan apa yang dinamakan

dalam bahasa daera Waijewa “ Wano Kalada” dalam bahasa Kamberan “ Paraigu”, yang

artinya Kampung besar. Kampong itu biasanya ditempatkan di atas bukit, dikeliling pagar

batu yang ditimbun-timbun, supaya aman dari serangan musuh.

Sementara itu pria dan wanita Sumba pertama, Umbu Pati Mangsar bersama istrinya

beranak-cucu, berkembang-biak, memenuhi daerah Waijewa, Lauli, Lamboya dan Kodi.

Demikian abad berabad.

1.3.2 Perkembangan Pulau Sumba

Pulau Sumba sangat berkembangan, dan pulau sumba adalah salah satu pulau di

yang memiliki kemajemukan kebudayaan. Ada begitu banyak praktek-praktek budaya yang

dihasilkan oleh oleh pulah ini, baik budaya yang bersifat praktis yang menjadi rutinitas setiap

hari maupun budaya yang memiliki nilai formal yang hanya bisa ditampilkan pada saat

upacara adat orang Marapu. Semua praktek budaya ini merupakan produk asli dipulau sumba
yang secara turun-temurun diwariskan oleh para leluhur dan nenek moyang mereka. Karena

itu diyakini bahwa setiap budaya yang dihasilkan merupakan sesuatu yang sakral dan berjalan

diatas perlindungan Marapu sesuai dengan Suku yang dianut.

Seiring berkembangnya dunia yang semakin modern, perkembangan budaya di pulau

sumba semakin di kenal di mata dunia, karena alam dan kebudayaan yang begitu menari bagi

para pengunjung dari luar pulau sumba. Ada beberapa hal yang melatar belakangi

kebudayaan pulau sumba menjadi merosot antaralain, pertama, karena masuknya

kebudayaan lain yang datang dari luar yaitu masuknya Agama Kristen Katolik dan Protestan

yang mempengaruhi dan merubah seluruh aspek kehidupan mereka, kedua, banyaknya orang

disitu yang sudah berpendidikan tinggi sehingga tidak menghiraukan lagi kebudayaan yang

asli karena dianggap kuno, ketiga, banyaknya orang yang pergi merantau ke luar daerah dan

ketika pulang kampung mereka lebih senang mempraktekkan kebudayaan baru yang mereka

peroleh dari tempat mana mereka merantau dari pada mempraktekan kebudayaan asli mereka.

Keempat, adanya kawin masuk untuk laki-laki dan adanya kawin keluar untuk perempuan,

sehingga dalam perkembangannya dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk penyesuaian

terhadap kebudayaan mereka, dan juga terdapat kemungkinan seorang perempuan yang

dibawah masuk akan mempraktekan kebudayaan yang dimilikinya lalu ditiru oleh orang-

orang sumba asli. Ini merupakan alasan mendasar yang mempengaruhi kemerosotan

kebudayaan mereka.

Selain memiliki kemerosotan, dipihak lain juga dengan masuknya kebudayaan yang

baru dapat membawah dampak positif bagi perkembangan penduduk di pulau sumba.

Misalnya dengan masuknya agama baru seperti agama Kristen Katolik dan Protestan dapat

membuat perkembangan spiritualitas iman mereka di kampung itu semakin baik dan

pandangan hidup mereka tidak hanya terarah pada hal-hal yang bernuansa gaib. Dengan

kenyataan bahwa sudah hampir setengah bagian dari penduduk disitu sudah menganut agama
baru tersebut kecuali orang tua yang lanjut usia yang masih belum. Dengan masuknya

kebudayaan baru juga dapat merubah pola pikir seseorang betapa pentingnya hidup

berpendidikan, karena dengan berpendidikan mereka dapat memperoleh banyak pengetahuan

dan dari pengetahuan itu mereka dapat memecahkan beberapa persoalan hidup secara ilmiah

sesuai dengan pengetahuan yang mereka peroleh di bangku pendidikan. Dengan pendidikan

itu juga mereka dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan mulia selain menjadi petani

tradisional. Orang yang pergi merantau juga dapat membawah dampak yang positif misalnya

dengan merantau mereka dapat memperbaiki ekonomi keluarga mereka, mereka dapat

membangun rumah yang layak huni, juga mereka dapat membiayai sekolah anak mereka.

PENUTUP

1.3.4 kesimpulan

Salah satu akar kehidupan Masyarakat Sumba adalah kepercayaan Marapu, yang

sudah mengakar dalam mindset masyarakat setempat. Berbagai matra kehidupan masyarakat

hendaknya setempat tidak boleh menganggap sepele akar kehidupan yang sama. Termasuk di

dalamnya matra terpenting dalam kehidupan bermasyarakat yakni pola ekonomi yang

mestinya mengambil inspirasi pada prinsip yang sama.

Untuk itu strategi dan system ekonomi yang telah dikembangkan selama ini pada

pelana dan konteks Sumba, yang meliputi bidang pertanian, perternakan, dan perikanan harus

terus dikembangkan dengan terus mencari bisanya pada citra dan nilai-nilai Marapu. Selain

itu masyarakat sangat membutuhkan perhatian serius untuk beberapa bidan seperti berikut ini.
DAFTAR PUSTAKA

Haripranata H. S.J. Cerita Sejarah Gereja Katolik Sumba Dan Sumbawa,( Arnoldus Ende-
Flores, 1984.)

Neonbasu Gregor, SVD,PhD, Akar Kehidupan Masyarakat Sumba,(Lapopp Press-


Jakarta,2016. )

Wellem, F.D, Injil Dan Marapu, (Jakarta : Gunung Mulia,2004)

Woha, Umbu Pura, Sejarah, Musyawarah dan Adat Istiadat Sumba Timur,( Cipta Sarana
Jaya,2008)

Anda mungkin juga menyukai