Anda di halaman 1dari 116

Tafsir Perjanjian Baru I

PENGANTAR SURAT ROMA

Signifikansi

Surat Roma merupakan surat paling panjang dan secara teologis paling penting di
antara semua surat Paulus (Carson & Moo, An Introduction to the New Testament, 2nd
ed., 391).
▪ Jumlah total kata dalam Surat Roma yang mencapai 7100 jelas sangat istimewa
dbandingkan dengan panjang rata-rata tulisan Paulus yang hanya 1300 kata.
▪ Dari sisi kedalaman teologis pun, tidak ada orang yang memberikan bantahan
serius terhadap nilai penting Surat Roma. Martin Luther, pelopor reformasi gereja
pada abad ke-16, menyebut ini sebagai “bagian Perjanjian Baru yang utama dan
Injil yang paling murni...makanan pokok setiap hari bagi jiwa”. Tokoh reformator
lain yang bernama Philip Melanchton menganggap surat ini sebagai “garis besar
dan ringkasan seluruh doktrin Kristen”. Karakteristik ini pula yang membuat
Surat Roma sangat sulit untuk dipahami.
▪ Paulus sendiri bahkan menutup pembahasan doktrinal di pasal 1-11 dengan
sebuah pujian kepada Allah “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat,
pengetahuan Allah, sungguh tak terselidiki keputusan-Nya dan jalan-jalan-Nya”
(Rom 11:33-34).
▪ Keistimewaan lain terletak pada cakupan topik pembahasan. Surat Roma ibarat
miniatur seluruh Alkitab. Artinya, surat ini mencakup semua tema besar Alkitab:
dari penciptaan (1:19-20) - kejatuhan Adam (5:12-21) – perjanjian dengan
patriakh (4:1-25) – Taurat (muncul lebih dari 50x), dll. John Calvin mengatakan,
“jika kita memahami surat ini, kita memiliki sebuah bagian yang terbuka untuk
kita guna memahami seluruh Kitab Suci” (Cranfield, Vol. I, 31)
▪ Kelebihan terakhir dari Surat Roma adalah pengaruhnya yang luar biasa di dalam
sejarah gereja. Dalam perkembangan gereja sepanjang abad, orang pasti mengenal
kontribusi yang sudah diberikan oleh bapa gereja Agustinus, tokoh reformator
Martin Luther, maupun pelopor gerakan Metodis John Wesley. Ketiga tokoh
besar ini mengalami perubahan kehidupan spiritual yang radikal sebagai hasil
perjumpamaan mereka secara pribadi dengan Surat Roma. Agustinus berbalik dari
kehidupannya yang amoral setelah ia membaca Roma 13:13. Luther akhirnya
menemukan jawaban atas ketidakpastian keselamatan yang ia gumulkan setelah
memahami Roma 1:17. Wesley mengalami trasformasi konsep dan cara hidup
sesudah mendengar pembacaan dari introduksi tafsiran Surat Roma yang ditulis
oleh Luther.

Penulis

Identitas penulis Surat Roma merupakan salah satu topik yang sangat jarang
diperdebatkan para teolog. Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ada sanggahan
yang serius terhadap Paulus sebagai penulis surat ini (1:1). Hanya sedikit teolog yang
meragukan hal ini, itu pun terlalu mengada-ada dan merupakan hasil keingintahuan
teolog yang dianggap berlebihan. Sampai sekarang tidak ada satu pun argumen yang
meyakinkan untuk membantah pengaruh Paulus dalam surat ini.

1
Tafsir Perjanjian Baru I

Berdasarkan Roma 16:22 kita bisa melangkah lebih jauh dengan menyatakan
bahwa Paulus menggunakan amanuensis (penulis/sekretaris), yaitu Tertius. Peranan
seorang amanuensis sangat variatif: (1) mengembangkan ide utama yang diberikan
atasan, mengembangkan rancangan pendek, (2) mencatat kata per kata yang didiktekan
kepadanya. Para teolog umumnya meyakini bahwa peranan Tertius dalam surat ini tidak
terlalu besar. Paulus tidak mungkin hanya memberikan ide utama dan Tertius yang
mengembangkan itu. Ada beberapa alasan yang diajukan untuk mendukung dugaan ini.
1. Surat Roma sangat berarti bagi Paulus untuk menjelaskan Injil yang ia percayai
kepada jemaat di Roma. Mengingat fitnahan terhadap Paulus sudah didengar oleh
jemaat di Roma (3:8) dan Paulus sendiri memang belum dikenal secara langsung oleh
jemaat di sana (1:10, 13), sulit dimengerti apabila ia berani mengambil resiko dengan
menyerahkan proses penulisan kepada Tertius.
2. Struktur Surat Roma sangat teratur dan progresif. Hal ini mengindikasikan bahwa
Paulus memonitor penulisan surat ini sampai pada tingkat yang detil.
3. Kemiripan gaya penulisan Surat Roma dengan surat-surat Paulus lain yang diakui
sebagai tulisan yang otentik. Sebagai contoh, gaya di Surat Roma sangat mirip
dengan Surat Galatia dan Surat 1 Korintus, padahal dalam dua surat tersebut tidak ada
keterangan tentang peranan Tertius

Pentarikhan

Tidak ada petunjuk yang secara eksplisit menjelaskan waktu penulisan surat ini.
Upaya untuk mengetahui hal ini biasanya peneliti melakukan penyelidikan terhadap data
implisit dalam Surat Roma, membandingkan dengan catatan Kisah Para Rasul, dan
sedikit informasi dari sejarah. Berdasarkan tiga langkah di atas, kita dengan tingkat
kepastian cukup tinggi dapat menentukan penulisan surat ini pada sekitar tahun 55
sampai 57 M.
Kesimpulan ini berdasarkan :
1. Petunjuk yang ada di Surat Roma.
Pada waktu menulis surat ini Paulus memberitahukan bahwa ia telah selesai dengan
upaya misi yang ia lakukan di daerah timur (15:19-23). Ia juga sedang merencanakan
untuk mengunjungi Roma setelah ia menyelesaikan misi sosial di Yerusalem (15:24-
32).
2. Membandingkan dari Kisah Para Rasul.
Surat Roma ditulis menjelang berakhirnya perjalanan misi Paulus yang ke-3. Pada
tahap pelayanan ini Paulus mengungkapkan bahwa ia sedang bersiap menuju
Yerusalem dengan Roma sebagai tujuan berikutnya (Kis 19:21; 20:16). Yang tidak
bisa kita tentukan dengan pasti adalah apakah rencana ini diucapkan Paulus sebelum
atau sesudah ia menulis Surat Roma. Jawaban terhadap persoalan ini untuk sementara
harus ditangguhkan dahulu sampai kita berhasil menentukan tempat penulisan Surat
Roma.

Berikut ini adalah beberapa argumen yang mengarah pada Kota Korintus sebagai
tempat penulisan Surat Roma :
▪ Permintaan Paulus agar jemaat Roma menyambut kedatangan Febe menyiratkan
bahwa Febe adalah pembawa Surat Roma (Rom 16:1-2). Mempertimbangkan

2
Tafsir Perjanjian Baru I

bahwa Febe melayani di Kengkrea, sebuah kota yang sangat dekat dengan
Korintus, kita dapat menyimpulkan bahwa ia diutus oleh Paulus untuk mengantar
surat tersebut ke Roma setelah Paulus selesai menulis surat itu di Korintus.
▪ Pada saat menulis Surat Roma Paulus berada di rumah Gayus (Rom 16:23a).
Walaupun nama Gayus cukup umum pada masa itu, tetapi kemungkinan besar
Gayus yang memberi tumpangan kepada Paulus adalah Gayus yang berasal dari
Korintus (1Kor 1:14)
▪ Erastus yang disebut sebagai bendahara negeri (Rom 16:23b) kemungkinan besar
adalah Erastus yang tinggal di Korintus (2Tim 4:20). Nama ini juga mungkin
sama dengan yang tertulis dalam sebuah prasasti di Korintus.

Paulus berada di Korintus pada dua kesempatan :


▪ Awal perintisan jemaat (Kis 18:1-18)
▪ Setelah kembali dari pelayanan di Efesus (Kis 20:1-3).
Di antara dua kemungkinan ini, yang terakhir adalah yang lebih masuk akal. Ketika
menulis Surat Roma Paulus menyatakan bahwa daerah kerjanya di timur sudah habis
dan ia selama beberapa tahun sudah merencanakan untuk mengunjungi Roma (Rom
15:23). Pada awal pelayanan di Korintus, daerah kerja Paulus masih belum habis (Kis
18:19-23; 19:1) dan ia pun belum memiliki rencana bulat untuk mengunjungi Roma.
Rencana ini baru terkristal pada waktu ia berada di Efesus (Kis 19:21). Di samping itu,
keterlibatan jemaat-jemaat di Makedonia dan Akhaya dalam pengumpulan bantuan
untuk orang-orang Yerusalem (Rom 15:26) mengindikasikan bahwa Paulus baru saja
kembali dari daerah tersebut. Catatan ini lebih cocok dengan pelayanan Paulus di
Korintus untuk kedua kalinya (Kis 20:2-3; bdk. 19:21).

3. Meneliti waktu Paulus berada di Korintus untuk kedua kalinya. Untuk mengetahui hal
ini kita perlu kembali pada pelayanan pertama di Korintus. Setelah hampir dua tahun
merintis pelayanan di Korintus (Kis 18:11), Paulus mendapat banyak kesulitan serius
pada waktu Galio menjadi prokonsul di Korintus (Kis 18:12, 14, 17). Dengan
mempertimbangkan bahwa Galio mendapatkan posisi tersebut pada tahun 51 atau 52
M dan bahwa setelah meninggalkan Korintus Paulus melayani di Efesus sekitar 2
tahun (Kis 19:10), kita bisa menentukan bahwa Surat Roma ditulis antara tahun 55
sampai 57 M.

Kitab Roma merupakan kitab yang paling penting. Ditulis sekitar tahun 55 sampai 57 A.D..
Ditulis di Korintus ketika Paulus menjadi tamu di rumah Gayus, orang yang telah dia baptiskan.
Surat ini dibawa kepada jemaat Roma oleh Phebe, yang merupakan seorang pelayan di jemaat
Kengkrea, suatu kota pelabuhan yang terletak di sebelah selatan kota Korintus. Dan surat ini
merupakan salah satu dokumen yang paling penting yang ditemukan dalam seluruh literatur.

Penerima

Surat Roma ditujukan pada orang-orang Kristen di kota tersebut (1:7). Rujukan
ini jelas tidak memadai untuk mengetahui seluk-beluk keberadaan jemaat Roma. Dua
pertanyaan yang sering diperdebatkan adalah tentang perintis jemaat di Roma dan
komposisi etnis dari jemaat itu.

3
Tafsir Perjanjian Baru I

1. Hal paling pasti yang kita dapatkan dari catatan Surat Roma sendiri adalah bahwa
jemaat Roma bukan dirintis oleh Paulus (1:10, 13). Sebagian kecil penafsir
mengusulkan Petrus sebagai pendiri jemaat Roma ketika menyembunyikan diri setelah
dipenjara beberapa saat (Kis 12:17). Dukungan untuk teori ini didasarkan pada catatan
bapa gereja Eusebius yang mengatakan bahwa Petrus berada di Roma pada tahun 42
M.
Pandangan ini memiliki beberapa kelemahan serius. Catatan Eusebius tampaknya bisa dipercaya.
Seandainya Petrus melarikan diri setelah pemenjaraannya (Kis 12:17), maka ia kemungkinan
besar lari ke Anthiokia (Gal 2:11-14) yang lebih dekat, karena pada waktu konsili gereja di
Yerusalem (Kis 15) ia sudah berdomisili di Yerusalem. Selain itu, seandainya Petrus pernah ke
Roma dan mendirikan jemaat di sana, maka Lukas - sebagai penulis Kisah Para Rasul yang
sangat menekankan nilai penting Kota Roma - pasti akan menyinggung tentang hal itu. Dalam
Surat Roma sendiri Paulus tidak memberikan indikasi apapun bahwa Petrus pernah berada di
Kota Roma. Lebih jauh, seandainya jemaat di sana merupakan perintisan Petrus, sulit dimengerti
mengapa Paulus menganggap bahwa jemaat Roma berada dalam pengaruh dan otoritasnya.

2. Kita sebaiknya melihat keberadaan jemaat Roma sebagai buah pelayanan orang-orang
Kristen yang biasa (bukan dari kalangan para rasul). Bapa gereja Ambrosiaster
menyatakan bahwa jemaat Roma kekurangan pondasi rasuli (tidak dimulai oleh
seorang rasul). Bapa gereja Irenaeus menyebut Petrus dan Paulus sebagai “pendiri”
jemaat, dalam arti bahwa keduanya pernah melayani dan mati syahid di sana.
Mayoritas teolog tampaknya memikirkan orang-orang Yahudi yang datang pada Hari Raya
Pentakosta (Kis 2:1, 10) sebagai para perintis kekristenan di Roma. Setelah mereka mengalami
pertobatan melalui khotbah Petrus (Kis 2:41), mereka kembali ke Roma dan memberitakan Injil di
sana. Jumlah mereka dengan cepat bertambah, sehingga sempat menimbulkan keresahan di Kota
Roma (lihat pembahasan selanjutnya).

3. Sekarang kita akan membahas komposisi etnis jemaat Roma. Jemaat ini pasti terdiri
dari orang-orang Yahudi (2:17; 4:1; 6:14-15; 7:1, 4; ps. 9-11) dan Yunani (1:5-6, 13;
11:13-32; 15:14-21). Pertanyaannya, etnis manakah yang lebih mendominasi pada saat
Paulus menulis Surat Roma? Bagaimana dominasi satu suku ini bisa terjadi?
Bagaimana kita bisa mengetahui hal ini? Penjelasan berikut ini akan menunjukkan
bahwa jemaat Roma mula-mula didominasi oleh etnis Yahudi, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang non-Yahudilah yang memegang peranan
penting.
Kita memiliki petunjuk yang cukup meyakinkan untuk menduga bahwa cikal-bakal jemaat Roma
adalah orang-orang Yahudi. Seperti sudah dissinggung sebelumnya, perintis jemaat adalah orang-
orang Yahudi yang pulang dari Hari Raya Pentakosta di Yerusalem (Kis 2:1, 10, 41). Ketika mereka
kembali ke Roma, kemungkinan besar mereka memfokuskan penginjilan pada orang Yahudi terlebih
dahulu. Dugaan ini tidak berlebihan, karena orang-orang Yahudi secara ekstrim menganggap etnis
mereka sebagai yang terbaik. Mereka sulit untuk bergaul dengan orang lain. Halangan budaya
seperti ini tampaknya menyulitkan mereka untuk langsung menjangkau orang-orang non-Yahudi
(bdk. Kis 10:9-16, 28-29). Di samping itu, pola pekabaran Injil yang dilakukan oleh orang-orang
Kristen mula-mula memang terfokus pada orang Yahudi (Kis 11:19-20). Paulus pun selalu memulai
pekerjaan misi di rumah ibadat Yahudi (Kis 13:14-15; 14:1; 17:1-2; 18:4, dsb).

4
Tafsir Perjanjian Baru I

Keadaan ini akhirnya berubah seiring dengan sebuah peristiwa besar yang terjadi
di Roma. Menurut catatan historis yang dikarang oleh Suestonius (120 M), pada tahun 49
M Kaisar Klaudius pernah mengusir semua orang Yahudi dari Kota Roma (Kis 18:2),
sehubungan dengan kerusuhan yang berkaitan dengan “Krestus” (Suestonius dalam hal
ini salah memahami “Kristus” sebagai “Krestus” karena nama ini lebih umum dalam
masyarakat Romawi). Ketika orang-orang Kristen Yahudi terpaksa pergi ke perantauan,
gereja di Roma praktis berada di bawah pengaturan orang-orang non-Yahudi. Mereka
pun terus mengembangkan diri.
Ketika Kaisar Klaudius meninggal dunia, orang-orang Yahudi akhirnya kembali
ke Kota Roma. Situasi inilah yang menimbulkan ketegangan etnis-teologis dalam jemaat,
karena kekristenan Yahudi dalam banyak hal pasti masih dikemas dalam budaya Yahudi
yang kental, sedangkan kekristenan non-Yahudi yang sekarang mendominasi bercorak
lebih umum). Ketegangan ini tercermin dalam Surat Roma. Paulus membutuhkan 5 pasal
secara khusus untuk mendiskusikan hal ini. Roma 9-11 membicarakan tentang posisi
bangsa Yahudi dalam sejarah keselamatan, sedangkan Roma 14-15 membahas tentang
perbedaan pola makan antara Yahudi dan non-Yahudi. Jemaat non-Yahudi dinasehati
untuk tidak sombong (11:17-24) dan menerima jemaat lain yang Yahudi dengan segala
kebiasaan mereka (14:1-15:13).
Dominasi jemaat non-Yahudi ketika Surat Roma ditulis juga terlihat dari cara
Paulus menujukan suratnya. Di 1:5-6 Paulus menegaskan cakupan kerasulannya yang
universal, termasuk orang-orang di Roma. Beberapa ayat sesudahnya Paulus
mengungkapkan kerinduannya untuk menemukan buah di Roma “seperti juga di tengah-
tengah bangsa bukan Yahudi yang lain” (1:13). Ia menyebut penerima surat sebagai “hai
bangsa-bangsa bukan Yahudi” (11:13). Di akhir surat ini Paulus memberikan alasan bagi
keberaniannya menulis surat kepada jemaat di Roma, yaitu karena ia adalah rasul untuk
bangsa-bangsa non-Yahudi (15:15-16).

Tujuan penulisan

Isu ini merupakan salah satu yang paling sering diperdebatkan oleh para penafsir
karena ketiadaan tujuan penulisan secara eksplisit yang diungkapkan Paulus. Pasal 1:10-
15 hanya menerangkan tujuan Paulus datang ke Roma, sedangkan 15:15 “telah menulis
kepadamu untuk mengingatkan kamu” terlalu umum dan tidak banyak membantu. Para
teolog memiliki pendapat yang sangat beragam. Morris mencatat paling sedikit 12
pandangan (The Epistle to the Romans, 7-18). Dunn (Romans 1-8, lv) memberikan dua
alasan utama bagi perdebatan ini: (1) tujuan yang ditulis di 1:8-15 dan 15:14-33
menunjukkan hal yang berbeda; (2) hubungan dua teks tersebut dengan tubuh surat
(1:16-15:13) kurang eksplisit.
Beragam pendapat yang diusulkan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
utama :
▪ Pertama, tujuan misi. Pandangan ini terutama didasarkan pada 15:18, 24, 28. Paulus
memandang dirinya sebagai rasul untuk orang Yunani (11:13-15) yang menginginkan
‘jumlah penuh’ orang Yunani diselamatkan (11:25-26). Ia telah menyelesaikan satu
daerah kerja di daerah timur laut Mediteranian (15:19, 23) dan sekarang ia ingin pergi
ke sebelah barat laut Mediteranian (Spanyol, 15:24, 28). Untuk mencapai semua target

5
Tafsir Perjanjian Baru I

ini ia membutuhkan pangkalan kerja dan dukungan. Berkaitan dengan dua kebutuhan
ini, kota Roma adalah alternatif terbaik.
▪ Kedua, tujuan apologetik. Pandangan ini didasarkan pada penekanan Paulus terhadap
isi Injil yang ia beritakan. Inti Injil ini (1:16-17) juga menjadi dasar/tema bagi seluruh
surat Paulus. Pendahuluan surat yang panjang dan tidak lazim serta berfokus pada Injil
yang ia beritakan dianggap mendukung gagasan di atas. Selain itu, 3:8 menunjukkan
adanya kesalahpahaman tentang ajaran Paulus. Pendeknya, Paulus ingin memberikan
argumen bagi ajarannya untuk menangkis kesalahpahaman.
▪ Ketiga, tujuan pastoral. Menurut pandangan ini Surat Roma bertujuan untuk
menyelesaikan perpecahan yang berpotensi timbul antar gereja-rumah yang ada waktu
itu. Disharmoni ini sangat mungkin melibatkan golongan Yunani dan golongan
Yahudi yang cenderung ketat dalam memelihara kebiasaan mereka (11:17-25; 12:3,
16; 14:3). Usaha Paulus untuk memperkenalkan Febe (16:1-2) dan daftar nama setiap
individu (16:3-16) dimaksudkan Paulus untuk memastikan bahwa suratnya mendapat
respon yang luas dari seluruh gereja-rumah yang ada.

Para penafsir sekarang cenderung untuk tidak membatasi tujuan penulisan Surat Roma pada salah satu
kategori di atas. Masing-masing kategori dianggap terlalu sempit dan tidak dapat mewakili seluruh
petunjuk yang ada dalam surat ini. Salah satu tujuan adalah meredakan ketegangan etnis di dalam
jemaat (pasal 9-11, 14-15). Bagaimanapun, Paulus tidak mungkin secara langsung melibatkan diri
dalam situasi internal ini tanpa memperkenalkan keunikan kerasulan sebagai rasul untuk semua orang
non-Yahudi (1:13). Panggilan yang unik inilah yang membuat dia berani untuk menuliskan Surat Roma
sebagai jawaban atas persoalan yang sedang dihadapi jemaat (15:15-16).

Selain menegaskan kerasulannya, Paulus juga perlu mendiskripsikan teologinya (Injil)


secara komprehensif dan mendalam karena dua alasan:
▪ Ia sering difitnah dan disalahpahami (Rom 3:8; 16:17-19; Kis 21:21);
▪ Ia belum dikenal secara pribadi oleh sebagian jemaat di Roma;
▪ Otoritas dan wewenang Paulus untuk menangani urusan internal jemaat Roma tidak
hanya terletak pada panggilannya sebagai rasul untuk bangsa non-Yahudi, melainkan
juga berita Injil yang ia beritakan. Ia ingin menunjukkan bagaimana Injil seharusnya
menjadi jawaban bagi setiap persoalan dan pemersatu jemaat.

Ketika jemaat Roma sudah bersatu, maka mereka akan menjadi sebuah kekuatan yang
besar, terutama untuk mendukung pekerjaan Tuhan melalui Paulus di daerah Spanyol
(15:22-24). Mereka tidak mungkin menjadi gereja pendukung yang efektif jika mereka
masih diributkan dengan persoalan internal. Mereka juga tidak akan membantu
pekabaran Injil yang dilakukan Paulus jika mereka tidak memahami dengan benar apa
yang diajarkan Paulus. Seandainya mereka terpengaruh oleh fitnahan tentang Paulus (3:8;
16:17-19), maka mereka pasti tidak akan menyambut dan mendukung Paulus.

Kesatuan surat

Mayoritas teolog menerima kesatuan seluruh bagian Surat Roma. Beberapa


bantahan terhadap hal ini juga beberapa kali sempat dimunculkan : Sebagian orang
menduga 16 pasal dari surat ini dihasilkan dari beberapa tahap penulisan yang berbeda.
Mereka berusaha memilah-milah bagian surat ini dan memberikan spekulasi tentang

6
Tafsir Perjanjian Baru I

waktu dan tempat penulisan masing-masing bagian tersebut. Sebagai contoh, ada seorang
ahli yang meyakini bahwa surat ini mula-mula terdiri dari 3 bagian terpisah yang
selanjutnya dikumpulkan menjadi satu: (1) pasal 16; (2) tulisan untuk orang-orang
Yahudi (2:1-5; 2:17-3:20; 3:27-4:5; 5:12-7:25; 9:1-11:36; 14:1-15:3; 15:4-13); (3)
khotbah tentang misi kepada orang-orang non-Yahudi (1:1-32; 2:6-16; 3:21-26; 5:1-11;
8:1-39; 12:1-13:14; 15:14-33).
Menariknya, di antara semua yang memegang teori seperti ini, tidak ada dua
orang yang mengusulkan pendapat yang sama persis. Hasil seperti ini memang sudah bisa
diperkirakan sebelumnya, karena mereka tidak memiliki dasar yang kuat dan jelas untuk
memisahkan dan menebak latar belakang di balik setiap bagian. Yang paling penting,
tidak ada satu bukti tekstual apa pun (bukti dari manuskrip kuno) yang mendukung teori
yang sangat spekulatif itu.
Walaupun upaya beberapa ahli di atas tidak dapat dipertahankan, tetapi bukan
berarti isu tentang kesatuan Surat Roma telah selesai. Berdasarkan beberapa salinan tua
yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa surat ini pernah disirkulasikan dengan
komposisi bagian yang sedikit berbeda. Beberapa variasi yang penting antara lain:
1) 1:1-14:23; 15:1-16:23; 16:25-27 → p61 (?) B C D 1739, et al
2) 1:1-14:23; 16:25-27; 15:1-16:23; 16:25-27; 16:25-27 → A P 5 33 104
3) 1:1-14:23; 16:25-27; 15:1-16:24 → Y, MT, syh
4) 1:1-14:23; 15:1-16:24 → F G 629
5) 1:1-15:33; 16:25-27; 16:1-23 → p46
Permasalahan di atas sangat berkaitan dengan posisi doksologi (16:25-27) yang biasa
terletak di akhir sebuah surat. Doksologi ini ternyata ditemukan dalam posisi yang
berbeda-beda dalam salinan Surat Roma. Semua petunjuk ini mendorong para ahli untuk
menduga bahwa Surat Roma pada mulanya terdiri dari 14, 15, atau 16 pasal.
Argumen yang sering diajukan untuk mendukung teori 14 pasal antara lain:
1. Salah satu satu manuskrip Latin Vulgata yang awal (Kodeks Amiatinus) menyebut
14:13-23 sebagai rangkuman ke-50, sedangkan 16:25-27 sebagai rangkuman ke-51.
2. Dalam beberapa manuskrip bagian doksologi (16:25-27) langsung berada setelah
14:23 (Y 0209vid 1881 MT, syh, Orlat mss).
3. Pendahuluan Marcion (Marcionite prologue) mengatakan bahwa Surat Roma ditulis
dari Atena, sedangkan Roma 15-16 mengindikasikan Korintus sebagai tempat
penulisan.
4. Bapa gereja Tertulianus menyebut Roma 14 sebagai konklusi surat. Ia juga tidak
pernah mengutip Roma 15-16.
5. Beberapa bapa gereja yang lain juga tidak pernah mengutip dari Roma 15-16,
misalnya Irenaeus dan Cyprian.
6. Paulus tidak mungkin mengenal 26 anggota jemaat di Roma (16:1-23) yang belum
pernah ia kenal secara pribadi (1:10, 13).
7. Rujukan tentang “guru palsu” (16:17-20) tidak berhubungan dengan pasal 1-15,
karena di bagian sebelumnya Paulus sama sekali tidak menyinggung tentang ajaran
sesat yang perlu diwaspadai.
Argumen yang mendukung 15 pasal terutama didasarkan pada salinan p 46 yang
tergolong tua dan secara umum dapat dipercaya. Dalam salinan ini doksologi terletak
persis setelah 15:33. Walaupun salinan ini juga memiliki 16:1-23, tetapi posisi doksologi

7
Tafsir Perjanjian Baru I

di antara pasal 15 dan pasal 16 mungkin member petunjuk bahwa Surat Roma sempat
disirkulasikan dalam 15 pasal, sedangkan pasal 16 merupakan tambahan dari orang lain.
Walaupun dua teori di atas (14 dan 15 pasal) dalam beberapa hal tampak begitu
meyakinkan, namun penyelidikan yang lebih mendalam justru memberi dukungan ke
arah sebaliknya (16 pasal). Penjeasan untuk teori 16 pasal adalah :
▪ Tidak ada satu salinan pun yang tidak memiliki pasal 16, walaupun posisi doksologi
memang bervariasi. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa sejauh salinan kuno
yang berhasil ditemukan, Surat Roma tidak pernah disirkulasikan tanpa pasal 16.
Salinan p46 yang meletakkan doksologi setelah pasal 15 pun tetap memiliki pasal 16.
Ketidakadaan pasal 15-16 di beberapa tulisan bapa gereja atau terjemahan kuno dapat
diterangkan sebagai hasil dari upaya untuk membuat surat ini lebih bernuansa umum
(lihat pembahasan selanjutnya).
▪ Kita memang tidak mengetahui secara pasti bagaimana Paulus mengenal setiap nama
dalam daftar itu namun kemampuan Paulus untuk mengenali 26 orang Kristen di
Roma tidak boleh dibesar-besarkan, seolah-olah hal tersebut mustahil dilakukan oleh
Paulus. Paling tidak kita dapat menjadikan kasus Priskila dan Akwila (16:3) sebagai
salah satu contoh. Paulus secara pribadi pernah bertemu dan melayani bersama mereka
di Korintus, ketika semua orang Yahudi diusir keluar dari Kota Roma (18:2). Ada
kemungkinan beberapa nama lain pun memiliki pengalaman serupa. Selain itu,
perjalanan keliling di kekaisaran Romawi merupakan hal yang mudah dan umum,
terutama bagi mereka yang bergerak dalam bidang perdagangan. Ada banyak
kemungkinan bahwa beberapa nama yang disebut Paulus merupakan para pedagang
yang pernah berjumpa dengan dia secara pribadi. Terakhir, kita tidak perlu menduga
bahwa Paulus secara pribadi mengenal semua orang yang ia sebut. Semua nama yang
disebut adalah orang-orang Kristen yang memiliki pengaruh di dalam jemaat.
Beberapa memang dikenal Paulus secara langsung, tetapi beberapa mungkin hanya
dikenal Paulus dari Priskila dan Akwila atau jemaat Roma lain yang pernah bertemu
Paulus. Keberadaan Kota Roma sebagai pusat kekaisaran juga memungkinkan bagi
rekan-rekan Paulus untuk berkunjung ke sana dan menyampaikan informasi penting
kepada Paulus.
▪ Berkaitan dengan nasehat tentang kesesatan di 16:17-20 yang dianggap tidak
berhubungan dengan pembahasan di pasal 1-15, mayoritas para penafsir meyakini
bahwa nasehat ini merupakan tindakan pencegahan (preventif). Dengan kata lain,
guru-guru palsu belum mempengaruhi jemaat di Roma. Bagaimanapun, Paulus tetap
perlu memberikan nasehat ini, mengingat ajaran sesat merupakan bahaya yang sangat
umum terjadi. Sangat mungkin ia mengantisipasi orang-orang tertentu yang
bermaksud memutarbalikkan ajaran Paulus tentang kasih karunia (3:8).
▪ Karakteristik bagian akhir dari surat-surat Paulus.
Seandainya suat ini hanya terdiri dari 14 atau 15 pasal, maka surat ini ditutup dengan
14:23 atau 15:33 yang langsung diikuti oleh doksologi. Dugaan semacam ini tidak
sesuai dengan cara Paulus menutup surat-suratnya yang lain. Hampir semua surat-
surat Paulus diakhiri dengan nasehat-nasehat praktis, harapan tentang kedamaian,
salam, dan doa berkat. Kerakteristik ini lebih sesuai dengan teori yang meyakini
bahwa Surat Roma terdiri dari 16 pasal.
▪ Mempertimbangkan konteks Surat Roma sendiri. Seandainya surat ini terdiri dari 16
pasal seperti yang kita miliki sekarang, maka penutup surat ini tergolong cukup

8
Tafsir Perjanjian Baru I

panjang. Ini lebih cocok dengan pendahuluan Surat Roma yang memang tergolong
panjang (1:1-7). Di samping itu, kita tidak boleh melupakan bahwa pasal 15 secara
logis dan eksplisit sangat berkaitan dengan pasal 14. Kedua pasal ini masih
menyinggung tentang relasi antara yang kuat dan yang lemah serta kesatuan di dalam
jemaat.
Pertanyaannya sekarang adalah jika memang pada mulanya Surat Roma terdiri
dari 16 pasal, mengapa kita menemukan salinan-salinan yang tanpa pasal 16 (juga
tanpa pasal 15) atau yang memiliki doksologi di akhir pasal 14 atau 15? Seandainya
Paulus dari awal memang menulis 16 pasal, bukankah seharusnya hal itu tidak boleh
diubah oleh siapapun juga?
Terhadap jawaban di atas para ahli biasanya menduga bahwa keindahan dan
kedalaman teologi dalam Surat Roma telah mendorong beberapa gereja lokal untuk
memakainya dalam ibadah atau membuatnya lebih relevan bagi semua gereja yang
ada. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa bagian yang dianggap terlalu spesifik berkaitan
dengan situasi jemaat Roma sengaja dihilangkan. Upaya inilah yang menyebabkan
penghilangan pasal 16, karena bagian tersebut dipenuhi dengan nama jemaat Roma,
ehingga dianggap tidak cocok untuk keperluan pembacaan kitab suci dalam ibadah.
Dugaan ini didukung oleh fakta bahwa kata evn ~Rw,mh| (1:7) atau toi/j evn ~Rw,mh|
(1:15) di beberapa manuskrip sengaja dihilangkan.

Teologi

Perdebatan seputar tema/teologi surat Roma masih terus berlanjut. Para


reformator – dipengaruhi oleh Martin Luther – melihat ‘pembenaran oleh iman’ sebagai
tema utama surat ini. Pandangan ini mulai ditentang oleh Schweitzer yang menganggap
pandangan ini terlalu memaksakan pemikiran modern ke dalam surat Roma. Sebagai
gantinya, ia mengusulkan ‘persatuan mistis dengan Kristus’ (pasal 5-8) sebagai tema
surat Roma. Beberapa dekade terakhir sebagian sarjana mengusulkan tema baru: ‘sejarah
keselamatan’ (pasal 9-11). Selanjutnya beberapa tema yang diusulkan antara lain:
kebenaran Allah (Kasemann; Schreiner), peranan orang Yahudi dalam sejarah
keselamatan (Sanders), Allah (Morris), pengharapan (Heil).
Menurut Moo (NICNT: The Epistle, 24), ada dua hal penting seputar
permasalahan ini yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak ada alasan (dan keharusan)
untuk menemukan satu tema bagi surat Roma. Paulus mungkin saja memiliki beberapa
tema yang ingin ia sampaikan. Kedua, perdebatan muncul karena para sarjana berbeda
pandangan tentang definisi tema/teologi.
Berdasarkan hal di atas, Moo mengusulkan satu tema yang cukup luas, sehingga
bisa mencakup beragam tema yang muncul. Tema tersebut adalah “Injil”. Kata
euvagge,lion maupun euvaggeli,zw sangat penting dalam bagian pendahuluan (1:1, 2, 9,
15) dan penutup (15:16, 19). Kata ini juga muncul dalam tema surat di 1:16-17 “sebab
aku tidak malu terhadap Injil”.

Dari perspektif ini, semua tema lain yang penting dianggap sebagai elaborasi tema ‘Injil’.
➢ Hukum (Taurat)

9
Tafsir Perjanjian Baru I

Surat Roma memberikan petunjuk yang cukup jelas bahwa Hukum Taurat (no,moj)
merupakan salah satu topik penting.
1. Kata no,moj – yang biasanya merujuk pada hukum Musa (Taurat) – muncul 74 kali.
Jumlah ini melebihi pemunculan kata yang sama di seluruh tulisan Paulus yang lain
(47 kali).
2. Paulus membahas topik ini secara khusus dalam satu pasal (Rom 7).
3. Topik ini muncul di hampir semua topik lain yang dibahas Paulus (2:12-16; 4:13-
15; 5:13-14, 20; 6:14-15; 8:2-4; 9:31-10:5; 13:8-10).
Penekanan pada arti dan kontinuitas Taurat merupakan hal yang bisa dipahami. Paulus
sedang berusaha menjelaskan kaitan antara perjanjian Musa (Taurat) dengan
perjanjian baru di dalam Kristus (Injil). Isu ini sudah muncul di awal surat (1:2): “Injil
itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-
kitab suci”. Klimaks pembahasan ini terletak di pasal 9-11. Dalam kerangka ini, isu
yang harus dijawab adalah tentang kontinuitas Israel dalam sejarah keselamatan dan
kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya dengan Israel (bdk. 3:1-8, 31; 9:6).
Berikut ini adalah rangkuman dari jawaban Paulus terhadap dua isu tersebut:
1. Taurat bukanlah elemen permanen dalam sejarah keselamatan, meskipun hal itu
merupakan ‘keuntungan’ bagi orang Yahudi (3:1-2).
2. Ketidakpermanenan tersebut sudah sangat jelas: tidak ada seorang pun yang
dibenarkan karena melakukan Taurat (3:20; bdk. 2:13) dan justru melalui hukum
Taurat orang mengenal dosa (3:20; 7:7). Berdasarkan hal ini orang Yahudi yang
memiliki Taurat tidak bisa menggunakan perjanjian ini sebagai sarana untuk
menghindari hukuman Allah (2:1-29). Hukum Taurat memang kelebihan orang
Yahudi (3:1-2), tetapi bukan keuntungan untuk bebas dari dosa dan hukuman Allah
(3:9).
Seandainya Taurat – sebagai tanda perjanjian Allah – tidak bisa menyelamatkan
bangsa Yahudi, bagaimana tentang kesetiaan Allah terhadap janji-Nya? Jawaban
Paulus terhadap isu ini terangkum dalam 3:1-8: (1) Ketidaksetiaan manusia tidak bisa
membatalkan kesetiaan Allah, ayat 3, 7. (2) Ketidaksetiaan (keberdosaan) manusia
justru menyatakan kebenaran Allah, ayat 4-5. Allah tetap benar terhadap perjanjian-
Nya (setia), bahkan ketika Ia menghukum bangsa Israel, karena perjanjian Allah
mencakup dua hal: berkat dan hukuman. Hukuman Allah terhadap bangsa Israel tidak
bisa dianggap sebagai ketidaksetiaan Allah. Ia tetap memenuhi perjanjian-Nya, tetapi
dari sisi pemberian hukuman karena Israel telah gagal memenuhi perjanjian tersebut.
(3) Allah adalah hakim dunia, sehingga bagaimanapun juga Ia tetap benar, ayat 6

➢ Kebenaran Allah melalui iman


Signifikansi topik ini dalam surat Roma sudah sangat jelas:
1. Topik ini menjadi isi dari tema utama surat, yaitu Injil. Bagi Paulus, Injil adalah
berita tentang Allah membawa orang berdosa kepada-Nya dan memperoleh hidup
kekal dengan jalan membenarkan mereka melalui iman kepada Yesus.
2. Topik ini menjadi bagian utama dari teks yang dianggap semua sarjana sebagai inti
surat, yaitu 1:16-17 “pembenaran oleh iman”. Seluruh surat Roma dianggap sebagi
elaborasi tentang inti ini.
Pokok pikiran Paulus tentang tema ini dapat diterangkan sebagai berikut:

10
Tafsir Perjanjian Baru I

1. Semua manusia sudah berdosa dan berada di bawah hukuman Allah (1:18; 3:19).
Keberdosaan ini juga menguasai mereka yang hidup di luar Taurat (wahyu umum,
1:18-32; 2:14-16) maupun bangsa Yahudi yang memiliki Taurat (wahyu khusus,
2:1-29). Keberdosaan ini bukan karena wahyu tersebut tidak bisa menyelamatkan
mereka, tetapi karena mereka tidak mampu menaatinya (1:19-21; 3:20)
2. Karena manusia tidak mungkin membebaskan diri dari hukuman Allah
(dibenarkan) melalui perbuatan mereka, Allah mengambil inisitaif – berdasarkan
anugerah-Nya – untuk membenarkan manusia melalui iman kepada Yesus Kristus
(3:21-31). Hal ini berlaku untuk semua orang, baik orang Yahudi maupun Yunani,
karena semua orang telah berbuat dosa (3:22-24).
3. Paulus membuktikan bahwa ‘pembenaran melalui iman’ bukanlah ide yang baru.
Doktrin ini konsisten dengan wahyu Allah sebelumnya dalam PL (1:2-3). Untuk
menjelaskan hal ini Paulus perlu mengetengahkan tokoh PL yang dianggap sebagai
bapa bangsa Yahudi dan sebagai tokoh yang dianggap dibenarkan Allah karena
perbuatannya, yaitu Abraham (4:1-25, bdk. Kej 15:6). Paulus membuktikan dari PL
bahwa Abraham dibenarkan juga karena iman, bukan perbuatan (4:2-5). Abraham
dibenarkan (Kej 15) sebelum ia disunat (Kej 17, bdk. Rom 4:9-11) maupun
sebelum ada Taurat (bdk. Rom 4:12-15). Karena Abraham dibenarkan karena iman
(bukan Taurat), ia berhak menjadi bapa bagi semua bangsa, sesuai dengan janji
Allah (4:11b-12, 16-18; bdk. Kej 12:1-3; 17:5).
4. Paulus juga menjelaskan bahwa pembenaran melalui iman bagi semua bangsa
merupakan doktrin yang sesuai dengan natur Allah. Allah adalah Allah semua
orang, baik orang Yahudi maupun Yunani, sehingga Ia juga menerapkan prinsip
keselamatan yang sama bagi semua orang (3:29-30).
5. Pembenaran melalui iman ini hanya diterima melalui apa yang sudah dilakukan
oleh Yesus Kristus. Sebagaimana Adam sebagai representasi seluruh umat manusia
telah gagal dan dosa menjalar ke seluruh umat manusia, demikian pula Kristus telah
taat dan memberikan kebenaran kepada semua umat pilihan-Nya (5:12-21)

Struktur kitab

Perbedaan struktur surat Roma yang diusulkan para sarjana dapat ditelusuri dari dua
pendekatan: secara topikal (memilih topik tertentu sebagai tema utama dan menafsirkan
semua teks dalam kaitan dengan hal itu) dan secara logis (mengikuti pola pikir Paulus
paragraf demi paragraf). Pendekatan kedua tampaknya menjadi alternatif paling baik
dan semakin banyak dianut para sarjana.

Ada beberapa perbedaan pendapat di antara para sarjana yang menganut pendekatan logis
di atas, namun perbedaan tersebut hanya berkaitan dengan hal-hal detail. Secara umum
struktur surat Roma adalah seperti di bawah ini:

PENDAHULUAN (1:1-17)
Salam (1:1-7)
Ucapan syukur dan topik pribadi (1:8-15)
Tema surat (1:16-17)

11
Tafsir Perjanjian Baru I

BAGIAN DOKTRINAL (1:18-11:36)


Pembenaran melalui iman (1:18-4:25)
Universalitas dosa (1:18-3:20)
Dasar pembenaran melalui iman (3:21-4:25)
Hidup di dalam pembenaran (5:1-8:39)
Pengharapan tentang kemuliaan (5:1-21)
Kebebasan dari perbudakan dosa (6:1-14)
Kebebasan dari perbudakan Taurat (7:1-25)
Jaminan hidup kekal dalam Roh Kudus (8:1-30)
Perayaan keamanan orang percaya (8:31-39)
Pembenaran melalui iman dan ketidakpercayaan Israel (9:1-11:36)
BAGIAN PRAKTIKAL (12:1-15:13)
Inti: trasformasi total (12:1-2)
Saling melayani (12:3-8)
Saling mengasihi (12:9-21)
Menghormati pemerintah sekuler (13:1-7)
Kasih dan hukum (13:8-10)
Hidup dalam terang (13:11-14)
Nasehat untuk bersatu (14:1-15:13)
PENUTUP (15:14-16:27)
Pelayanan Paulus dan rencana ke depan (15:14-33)
Salam (16:1-23)
Doksologi (16:25-27)

STRUKTUR ROMA 1:1-7

Tidak seperti surat Hellenis pada umumnya maupun surat-surat Paulus yang lain,
pendahuluan Surat Roma merupakan pendahuluan yang tergolong panjang. Bagian ini
dapat dibagi menjadi 5 bagian:

Identitas pengirim (ayat 1)


Penjelasan tentang Injil yang diberitakan (ayat 2-4)
Penjelasan tentang tugas khusus (ayat 5-6)
Identitas penerima (ayat 7a)
Salam (ayat 7b)

Para sarjana biasanya mengusulkan dua alasan bagi pendahuluan yang tidak lazim ini:1
1. Paulus ingin memperkenalkan diri dan ajarannya sedini mungkin kepada jemaat yang
ia tidak pernah kunjungi atau dirikan (Moo, 40).
2. Paulus ingin ‘membela diri’ sedini mungkin terhadap kesalahpahaman konsep tentang
ajarannya yang mungkin sempat terdengar oleh jemaat di Roma (Murray).

FIGUR SEORANG HAMBA TUHAN (ROMA 1:1)

1
Untuk penjelasan lain, lihat Kasemann, 3.

12
Tafsir Perjanjian Baru I

Dalam bagian ini Paulus memberikan 3 deskripsi penting tentang dirinya. Seperti
kebiasaan Paulus di suratnya yang lain, deskripsi diri ini berkaitan dengan isi surat secara
keseluruhan (bdk. terutama Gal 1:1, 10). Di ayat ini ia mendeskripsikan dirinya sebagai
hamba Kristus Yesus, dipanggil menjadi rasul dan dikhususkan untuk pemberitaan Injil.

Hamba Tuhan yang memiliki dedikasi total (1a)


Ungkapan dou/loj Cristou/ VIhsou/ hanya dipakai Paulus di bagian ini dan Fil 1:1. Dalam
konteks ini, mayoritas sarjana2 menduga adanya makna sosiologis dalam ungkapan ini,
yang menunjukkan dedikasi total seseorang kepada tuannya. Mengingat Paulus
mengaitkan “hamba” dengan “Kristus Yesus”, latar belakang pemikiran di balik konsep
ini berakar dalam konsep “hamba TUHAN” di PL. Kata kerja douleu,ein dalam LXX
merupakan ekspresi umum untuk pelayanan kepada Allah dalam arti ‘total allegiance’
dan bukan hanya ‘isolated acts of worship’ (Cranfield, 50).

Beberapa sarjana yang meyakini adanya nuansa ‘otoritatif’ dalam ungkapan ini (merujuk
pada tokoh-tokoh penting sebagai hamba TUHAN yang spesial, misalnya Musa [Yos
14:7; 2Raj 18:12], Yosua [Yos 24:29], Elia [2Raj 10:10], Nehemia [Neh 1:6] dan
terutama Daud) bahkan tetap memberikan penekanan yang lebih pada aspek totalitas
dedikasi. Moo mengatakan, “the phrase connotes total devotion, seggesting that the
servant is completely at the disposal of his or her Lord” (40). Cranfield menulis, “the
term expresses the total unconditional character of his belonging and dependence. The
phrase is belongingness, total allegiance, correlative to the absolute ownership and
authority denoted by ku,rioj used of Christ” (h. 50-51). Makna ini juga didukung oleh Gal
1:10 “Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah?
Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan
kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus”.

Hamba Tuhan yang memiliki otoritas (1b)


Deskripsi kedua yang dipakai Paulus adalah ‘terpanggil [sebagai] rasul’ (klhto.j
avpo,stoloj). Istilah “rasul”3 yang dipakai di sini bukan hanya dimaksudkan sebagai
rujukan umum, tetapi Paulus ingin menunjukkan bahwa apa yang akan ia sampaikan
bukan didasarkan pada hikmat dan kelayakan pribadi Paulus, tetapi melalui panggilan
(pengutusan) khusus yang ia terima dari Kristus.4 Beberapa sarjana bahkan melihat
ungkapan ini dalam kaitan dengan otoritas Paulus yang bersumber dari panggilan Kristus
untuk pendirian gereja (1Kor 9:1-2, Dunn, h. 9; Ef 2:20, Moo, h. 41).

Agumentasi yang mendukung nuansa otoritas dalam kata avpo,stoloj antara lain:

2
Lihat Cranfield, Moo, Dunn. Kasemann menolak nuansa kerendahhatian di balik ungkapan ini.
Sebaliknya, ia mengusulkan nuansa heroik, karena ungkapan ‘hamba TUHAN’ di PL menunjukkan jabatan
khusus yang menunjukkan otoritas (h. 5).
3
Kata avpo,stoloj dalam PB kadangkala dipakai secara umum (merujuk pada utusan/yang diutus,
bdk. Yoh 13:16; 2Kor 8:23; Fil 2:25), tetapi kata ini seringkali dipakai dalam arti teknis. Dalama pengertian
ini, secara sempit merujuk pada 12 murid Tuhan Yesus dan secara lebih luas pada beberapa orang yang
dikategorikan sebagai rasul, misalnya Barnabas dan Paulus (Kis 14:14), Andronikus dan Yunias (Rom
16:7).
4
Cranfield, h. 52.

13
Tafsir Perjanjian Baru I

1. Pemakaian kata sifat klhto.j di depan avpo,stoloj. Paulus biasanya hanya


menggunakan kata avpo,stoloj (tanpa klhto.j), kecuali di 1Kor 1:1. Dengan memakai
kata ini ia ingin menegaskan bahwa kerasulannya tidak didasarkan pada keinginan
atau pilihan manusia, tetapi langsung bersumber dari Allah.5
2. Paulus belum dikenal jemaat di Roma, sedangkan kerasulannya termasuk hal yang
unik. Ia tidak termasuk dalam golongan 12 murid Tuhan Yesus. Ia tidak mewarisi
langsung tradisi kehidupan Yesus (tidak memenuhi kriteria di Kis 1:21-22), sehingga
ia hanya menerima tradisi dari para rasul (Gal 1:17). Ia bahkan telah menganiaya
orang Kristen (Kis 7:58; 8:1; 9:1-2; 1Kor 15:9). Dengan kondisi latar belakang seperti
ini, Paulus perlu menegaskan bahwa kerasulannya diterima langsung dari Tuhan
Yesus (Kis 9:15-16).

Hamba Tuhan yang memiliki panggilan khusus (1c)


Deskripsi ketiga yang dipakai Paulus adalah ‘dikhususkan untuk [pemberitaan] Injil’
(avfwrisme,noj eivj euvagge,lion qeou/). Beberapa sarjana berpendapat bahwa
avfwrisme,noj (dipisahkan) menerangkan kata avpo,stoloj, tetapi kata ini lebih baik
dipahami dalam kedudukan sejajar dengan avpo,stoloj dan keduanya menerangkan
Pau/loj.6

Beberapa sarjana berspekulasi tentang pemikiran Paulus di balik kata avfwrisme,noj.


Meskipun kata kerja avforizw bisa merujuk pada ide pemisahan secara umum (Mat 13:49
Matt. 25:32; Luk 6:22; Kis 13:2; 19:9; 2Kor 6:17; Gal 1:15; 2:12), namun Paulus
kemungkinan besar merujuk pada pengkhususan dirinya sejak dari kandungan. 7 Dalam
Gal 1:15 Paulus menggunakan kata ini untuk panggilan Allah sejak dalam kandungan,
sedangkan untuk panggilan kerasulannya di Damaskus ia memakai kata yang memiliki
akar sama dengan klhto.j. Gal 1:15 “Tetapi waktu Ia, yang telah memilih (avfori,saj) aku
sejak kandungan ibuku dan memanggil (kale,saj) aku oleh kasih karunia-Nya”.

Terlepas dari benar tidaknya asumsi di atas, penekanan frase ‘dikhususkan untuk
[pemberitaan] Injil’ terletak pada bagian terakhir (Injil), karena kata inilah yang
kemudian dijelaskan Paulus dari ayat 2-4. Paulus bukan hanya menyadari panggilan
Allah sebagai rasul, tetapi ia juga mengerti tugas/panggilan khusus yang ia terima dari
Allah, yaitu pemberitaan Injil. Seorang rasul memang bisa menjabat sebagai pemimpin
gereja (Yohanes, Yakobus, Petrus), tetapi Paulus sadar bahwa ia sejak dari kandungan
sudah ditetapkan untuk memfokuskan diri pada pemberitaan Injil.

INJIL YANG BENAR (ROMA 1:2-4)

Setelah Paulus menjelaskan deskripsi dirinya, sekarang ia menjelaskan berita yang ia


sampaikan. Ada berapa penjelasan tentang “Injil” (euvagge,lion) dalam konteks ini?
Dengan menganggap bentuk genitif qeou/ (Allah) pada kata euvagge,lion qeou/ (ayat 1c)
sebagai penjelasan terhadap euvagge,lion,8 berarti ada 3 macam deskripsi tentang “Injil”.

5
Cranfield, h. 51; Kasemann, 6; Sanday, h. 4-5; Moule, h. 49.
6
Cranfield, h. 53; McClain, h. 35-37. Untuk penjelasan, lihat Cranfield, h. 53, n. 1.
7
Kasemann, h. 6; Cranfield, h. 53; Dunn, h. 22; Bruce, h. 71.
8
Cranfield, h. 55, 57.

14
Tafsir Perjanjian Baru I

1. [Dari] Allah (ayat 1c)


2. Dijanjikan sebelumnya melalui nabi-nabi dalam Kitab Suci (ayat 2).
3. Mengenai Yesus Yesus – Anak Allah (ayat 3-4).

Injil bersumber dari Allah sendiri (ayat 1c).


Terlepas dari pandangan bahwa genitif qeou/ di sini harus dipahami sebagai genitive of
source (‘berasal dari Allah)9 atau subjective genitive (‘dinyatakan oleh Allah’)10, frase
euvagge,lion qeou/ tetap menegaskan keterlibatan Allah dalam penyataan Injil. Allah
adalah sumber sekaligus inisitator penyataan kebenaran-Nya melalui Injil (1:19). Hal ini
konsisten dengan penekanan Surat Roma yang berfokus pada Allah. Penambahan genitif
ini diperlukan untuk menjelaskan spesifikasi berita baik yang diberitakan Paulus,
mengingat kata euvagge,lion (berita baik) merupakan kata yang sangat umum pada waktu
itu.11 Berita baik (euvagge,lion) ini bukan hanya sekadar berita baik yang biasa atau
umum – seperti berita baik tentang kemenangan perang atau ulang tahun kaisar – tetapi
berita ini sangat istimewa, karena dinyatakan oleh Allah dan tentang Allah sendiri.

Injil sudah dijanjikan sebelumnya dalam PL (ayat 2).


Ayat ini dimulai dengan kata ganti orang relatif (relative pronoun) yang menerangkan
kata euvagge,lion di ayat 1c. Ayat ini merupakan introduksi bagi argumentasi Paulus
selanjutnya yang banyak memakai ayat-ayat PL sebagai argumentasi (bdk. Rom 3:11-20;
4:1-25). Paulus perlu menegaskan hal ini untuk menunjukkan bahwa Injil bukanlah
penemuan baru para rasul, bukan pula diberikan kepada orang-orang Yunani melulu
sebagai akibat penolakan bangsa Yahudi terhadap Mesias. Pola keselamatan yang
diterapkan Allah dalam PL dan PB adalah sama. Keselamatan melalui iman kepada Injil
bukanlah perubahan strategi Allah karena kegagalan wahyu sebelumnya.12

Ada beberapa hal dalam teks ini yang menunjukkan bahwa Paulus memang ingin
menekankan kontinuitas Injil dari PL sampai PB.
1. Pengulangan ide dalam kata kerja proephggei,lato (dijanjikan sebelumnya).
Selain di sini, kata proephggei,lato hanya dipakai di 2Kor 9:5. Penambahan kata
depan pro di depan kata evpaggellomai merupakan pengulangan yang sebenarnya
tidak diperlukan. Melalui penambahan ini Paulus ingin menekankan urutan waktu
antara janji Allah (dalam PL) dan penggenapannya (dalam PB).13
2. Pemakaian frase dia. tw/n profhtw/n auvtou/ (melalui nabi-nabi-Nya).
Mayoritas sarjana meyakini bahwa istilah ‘nabi-nabi’ di sini tidak hanya merujuk
pada arti teknis kata tersebut (merujuk pada orang-orang tertentu yang berperan
khusus sebagai nabi), tetapi seluruh penulis PL (Ibr 1:1). Musa (Kis 3:21-22) dan
Daud (Kis 2:30) juga disebut sebagai nabi.
3. Pemakaian frase evn grafai/j a`gi,aij (dalam Kitab Suci).

9
Cranfield, h. 55; Murray, h. ?; Dunn, h. 40; Morris, h. 40.
10
Moo, h. 43; Kasemann, h. 8.
11
Arthur, h. 9.
12
Arthur, h. 11.
13
Moo, h. 44; Cranfield, h. 55, n. 3.

15
Tafsir Perjanjian Baru I

Penambahan frase ‘dalam Kitab Suci’ pada frase ‘melalui nabi-nabi-Nya’ sebenarnya
hanya berfungsi sebagai penekanan. Seperti sudah dijelaskan di atas, ‘nabi-nabi’
merujuk pada penulis PL secara umum, sehingga arti frase ‘melalui nabi-nabi-Nya’
tersebut sebenarnya sama dengan ‘dalam Kitab Suci’. Mayoritas sarjana meyakini
bahwa Paulus tidak sedang memikirkan teks PL tertentu pada saat ia memakai istilah
‘Kitab Suci’.

Injil berfokus pada Yesus sebagai Anak Allah (ayat 3-4).


Terlepas dari perdebatan apakah ayat 3-4 menerangkan kata proephggei,lato (dijanjikan
sebelumnya)14 di ayat 2 atau kata euvagge,lion di ayat 1c,15 inti ayat 3-4 tetaplah sama:
fokus Injil adalah pribadi Yesus sebagai Anak Allah.16 Paulus kemungkinan besar hanya
mengutip formula kredo Kristologis yang ada pada waktu itu. Pertama, bentuk
paralelisme yang dipakai. Kedua, Paulus perlu memakai kredo ini sebagai dasar pijakan
(common ground) dengan jemaat yang belum ia kenal atau mengenal dirinya. Ketiga,
konsep ‘keturunan Daud’ hanya muncul sekali dalam tulisan Paulus (2Tim 2:8).
Keempat, kata o`ri,zein tidak pernah dipakai oleh Paulus.17

Ayat 3-4 ditulis dalam bentuk paralelisme yang menerangkan kata tou/ ui`ou/ auvtou/
(Anak-Nya) di bagian awal ayat 3. Perhatikan struktur berikut ini (berdasarkan
terjemahan literal):
3
Mengenai Anak-Nya
yang telah datang dari keturunan Daud menurut daging
4
yang telah dipilih sebagai Anak Allah menurut Roh kekudusan
sejak kebangkitan dari antara orang mati
Yesus Kristus Tuhan kita

Paralelisme di atas mencakup dua sisi dari kehidupan Yesus sebagai Anak Allah
(menurut daging dan menurut Roh).
1. Yesus adalah Anak Allah dalam keadaan-Nya sebagai manusia.
“Menurut daging” (kata. sa,rka) dalam ayat 3 tidak menunjukkan natur manusiawi
Yesus yang tercemar dosa (baca: kedagingan), meskipun sarx dalam tulisan Paulus
sering merujuk pada arti ini (Rom 7:5; 8:8; 13:14; Gal 5:13-18). sarx bisa merujuk
pada daging makhluk hidup secara fisik (1Kor 15:39), aspek jasmaniah manusia
(Rom 4:1), suku/keturunan (Rom 11:14), dll. Jadi, sarx sendiri merupakan kata yang
netral dan artinya sangat ditentukan oleh konteks pemakaian. Dalam konteks ini, kata.
sa,rka (muncul 21 kali dalam tulisan Paulus) sebaiknya dipahami sebagai sinonim
dari “sebagai manusia” dengan penekanan pada natur eksistensi tersebut yang bersifat
sementara dan lemah.18
2. Yesus dipilih menjadi Anak Allah dalam kuasa sejak kebangkitan-Nya.

14
Lihat Shedd, h. 8; Moule, h. 50.
Lihat Cranfield, h. 57; Morris, h. 41-42; Barret, h. 18. RSV menerjemahkan ayat 3: “the gospel
15

concerning his Son...”.


16
Moo, h. 44.
17
Lihat Cranfield, h. 57; Moo, h. 45.
18
Moo, h. 47; Cranfield, h. 60; Barret, h. 18-19; Morris, h. 44.

16
Tafsir Perjanjian Baru I

Mayoritas terjemahan mengartikan o`risqe,ntoj dengan ‘mendeklarasikan’


(KJV/NKJV, NIV, LAI:TB, dll) untuk menghindari kesan bahwa ayat ini mendukung
pandangan bidat Adoptionist yang mempercayai Yesus baru diangkat sebagai Anak
Allah pada saat kebangkitan (atau baptisan). Usaha ini umumnya ditolak oleh para
sarjana karena arti ini tidak ditemukan dalam literatur sebelum maupun pada masa
PB. o`risqe,ntoj memang harus diterjemahkan ‘dipilih’,19 namun ayat ini sama sekali
tidak mendukung pandangan Adoptionist.
➢ Ayat 3b dan 4a adalah penjelasan tentang “Anak Allah” di ayat 3a. “This is the
Son who is ‘appointed’ Son”.20
➢ Dalam Kisah 13:33 (“telah digenapi Allah kepada kita, keturunan mereka, dengan
membangkitkan Yesus, seperti yang ada tertulis dalam mazmur kedua: Anak-Ku
Engkau! Aku telah memperanakkan Engkau pada hari ini”), pemilihan Yesus
sebagai Anak Allah pada saat kebangkitan dikaitkan dengan Mzm 2:7 (bdk. Ibr
1:5). Kutipan ini jelas mengindikasikan penahbisan Mesias dari keturunan Daud.
Pernyataan ini tidak berkaitan dengan perubahan esensi/natur, tetapi perubahan
status atau fungsi.21 Ia sudah dinyatakan sebagai Mesias di bagian sebelumnya
(bandingkan frase “dari keturunan Daud”), sekarang Ia dinyatakan sebagai Mesias
sekaligus Tuhan yang berkuasa.
➢ Frase “Anak Allah dalam kuasa”22 merupakan kontras yang sesuai dengan
gambaran Anak Allah di ayat 3 (Anak Allah dalam eksistensi manusiawi-Nya
yang tampak lemah dan miskin).23 Seandainya Paulus ingin mengajarkan
perubahan esensi dari manusia menjadi Anak Allah, ia tidak perlu menambahkan
frase “dalam kuasa”. Tambahan ini justru untuk menunjukkan bahwa ayat 3 dan 4
sama-sama berbicara tentang Anak Allah, tetapi dalam keadaan-Nya yang
berbeda.
➢ Dalam tulisannya yang lain, Paulus secara eksplisit mengajarkan kekekalan
esensi Yesus sebagai Allah (bdk. Fil 2:6-7).

TUGAS KERASULAN PAULUS (ROMA 1:5)


Setelah menjelaskan deskripsi diri (ayat 1) dan Injil yang ia sampaikan (ayat 2-4), Paulus
sekarang menjelaskan tugas khusus yang ia terima dari Tuhan Yesus. Bagian ini
dihubungan dengan bagian sebelumnya dengan menggunakan kata depan dia (‘melalui’)
dan kata ganti orang relatif ou- yang merujuk pada Tuhan Yesus Kristus di ayat 4b. Hal
ini menunjukkan bahwa Paulus menerima kasih karunia dan jabatan rasul melalui
perantaraan Tuhan Yesus yang sudah bangkit dan berkuasa sebagai Tuhan. Ada dua hal

19
Cranfield, h. 61-62; Moo, h. 47-48. Bandingkan pemunculan kata ini di Luk 22:22; Kis 2:23;
10:42; 11:29; 17:26, 31; Ibr 4:7.
20
Moo, h. 48.
21
Moo, h. 48.
22
Beberapa sarjana menafsirkan “dalam kuasa” sebagai penjelasan bagi “dipilih”, bukan “Anak
Allah” (Hodge, bdk. NIV “was declared with power to be the Son of God”). Mayoritas sarjana modern
umumnya menganggap “dalam kuasa” sebagai keterangan bagi “Anak Allah”. Berdasarkan analogi dari
2Kor 13:4 “Ia telah disalibkan oleh karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah”, ‘dengan
kuasa’ lebih tepat dilihat sebagai penjelasan tentang ‘Anak Allah’ (Morris, h. 45). Kontras ini juga sesuai
dengan kontras di Rom 1:3-4.
23
Cranfield, h. 62.

17
Tafsir Perjanjian Baru I

penting yang perlu diperhatikan sebelum membahas deskripsi Paulus tentang tugas
kerasulannya. Pertama, ungkapan “kami” di ayat 5 hanyalah sebuah gaya penulisan surat
(editorial).24 Paulus tidak sedang memikirkan orang Kristen pada umumnya25 maupun
rasul-rasul lain.26 Gaya ini sangat mungkin dipilih karena nuansa formal dan otoritatif
ayat 1-7 (bandingkan ayat 8 dst yang lebih pribadi dan memakai kata ganti “aku”).27
Asumsi ini juga didukung oleh frase “di antara bangsa Yunani” (evn pa/sin toi/j e;qnesin)
di ayat 5 yang secara khusus merujuk pada diri Paulus. Ia juga menulis surat ini atas
namanya sendiri, sehingga ia tidak memiliki kepentingan untuk menyertakan rasul-rasul
lain, apalagi penjelasan selanjutnya tidak berbicara tentang rasul-rasul lain sama sekali.28
Kedua, kata sambung “dan” (kai.) dalam ayat ini berfungsi secara epexegetical.29
Artinya, kai. di sini tidak menunjukkan dua hal yang berbeda, sebaliknya kata sesudah
kai. menerangkan kata sebelum kai.. Berdasarkan fungsi kai. ini, frase ca,rin kai.
avpostolh.n sebaiknya diterjemahkan “kasih karunia, yaitu jabatan kerasulan”.

Setelah menjelaskan mediator dalam panggilan kerasulannya (ayat 5a), Paulus kemudian
memaparkan tiga aspek penting dalam panggilan tersebut. Tiga aspek yang menerangkan
kerasulan Paulus tersebut dapat dilihat dari pemakaian tiga kata depan yang dipakai di
ayat 5.
1. Tujuan: membawa kepada ketaatan iman (eivj u`pakoh.n pi,stewj, ayat 5b).
2. Area: di antara bangsa Yunani (evn pa/sin toi/j e;qnesin, ayat 5c).
3. Fokus: demi nama Tuhan Yesus Kristus (u`pe.r tou/ ovno,matoj auvtou/, ayat 5d).

Tujuan kerasulan Paulus: membawa kepada ketaatan iman (ayat 5b)


Tujuan ini dinyatakan melalui kata depan eivj, yang dalam konteks ini bisa berarti
“membawa kepada” (RSV, NASB) atau “untuk” (NIV, KJV). Frase u`pakoh.n pi,stewj
(secara literal ‘ketaatan iman’) telah menimbulkan beragam interpretasi di kalangan
sarjana. Menurut Cranfield, paling sedikit ada 7 macam interpretasi tentang frase ini.30
Beragam interpretasi tersebut secara umum dapat dibagi menjadi tiga:
1. Genitif pi,stewj sebagai objective genitive, sehingga diterjemahkan “kepada iman”.
Mereka yang memegang pandangan inipun berbeda pendapat tentang definisi iman.
Ada yang beranggapan ‘iman’ dalam arti seluruh doktrin/ajaran Kristen, 31 ada yang
menganggap ‘iman’ itu sendiri sebagai bukti ketaatan kepada Allah, sedangkan yang
lain menganggap ‘iman’ sebagai ‘otoritas iman’.

24
Moo, h. 51.
25
Kontra Barret, h. 21.
26
Kontra Sanday, h. 10.
27
Cranfield, h. 65.
28
Morris, h. 48.
29
Moo, h. 51; Cranfield, h. 65-66; Dunn, h. 17; Bruce, h. 74. Kontra Barret, h. 21.
30
h. 66. (1) ketaatan kepada iman dalam arti seluruh doktrin Kristen; (2) ketaatan kepada otoritas
iman; (3) ketaatan kepada kesetiaan Allah yang dinyatakan dalam Injil; (4) ketaatan yang dihasilkan oleh
iman; (5) ketaatan yang dituntut oleh iman; (6) ketaatan yang beriman; (7) ketaatan yang berisi iman.
31
Arthur, h. 24, menulis, “the idea is that of the faith, referring to the whole teaching of
Scriptures, especially the New Testament”.

18
Tafsir Perjanjian Baru I

2. Genitif pi,stewj sebagai subjective genitive atau genitive of source, sehingga


diterjemahkan “dihasilkan oleh iman” atau “bersumber dari iman”.
3. Genitif pi,stewj sebagai epexegetical genitive, sehingga diterjemahkan “yaitu/yang
berisi iman”.

Mayoritas sarjana memegang alternatif ketiga. 32 Beberapa argumentasi penting diajukan


untuk mendukung pandangan ini: ‘ketaatan’ dan ‘iman’ sering muncul dalam bentuk
paralel (Rom 1:8 dan 16:19; 10:16a dan 10:16b; 11:23 dan 11:30, 31); frase ‘menaati
Injil’ yang dipakai Paulus (Rom 10:16a; 2Tes 1:8; 3:14).

Pandangan di atas sebenarnya memiliki dua kelemahan. Seandainya ketaatan dan iman di
sini artinya sama, mengapa Paulus menggunakan dua kata tersebut sekaligus? 33 Selain
itu, pandangan ini tidak sesuai dengan gambaran pelayanan Paulus di surat ini (1:11-13)
maupun pelayanan Paulus secara umum (Fil 2:12-13).34 Pilihan yang paling bijak
mungkin adalah memahami u`pakoh.n pi,stewj sebagai dua hal yang berbeda, tetapi tidak
terpisahkan.35 Iman tidak bisa dipisahkan dari ketaatan, karena objek iman kita adalah
Yesus Kristus sebagai Tuhan (ayat 4b dan 7b). Ketaatan tidak bisa dipisahkan dari iman,
karena ketaatan hanya bisa terwujud ketika seseorang memberikan hidupnya kepada
Yesus Kristus dalam iman. Pandangan ini sekaligus bisa berfungsi sebagai benteng
terhadap bahaya antinomianisme (yang hanya mementingkan kebebasan dalam Kristus
melalui iman tetapi tanpa disertai ketaatan) maupun bahaya Yudaisme (yang
mementingkan ketaatan sebagai syarat keselamatan dan menganggap iman saja tidak
cukup untuk menyelamatkan).

Area kerasulan Paulus: di antara bangsa Yunani (ayat 5c)


Area kerasulan Paulus dinyatakan melalui penggunaan kata depan evn (‘dalam’ atau ‘di’)
yang diikuti kata benda datif jamak. Ketika diikuti oleh kata benda jamak, kata depan evn
biasanya diterjemahkan “di antara”. Perbedaan interpretasi biasanya berkaitan dengan arti
kata toi/j e;qnesin dalam konteks ini. Sebagian versi Inggris menerjemahkan “bangsa-
bangsa” (KJV, NKJV, RSV, LAI:TB), sedangkan sebagian yang lain menerjemahkan
“bangsa-bangsa Yunani” (NIV, NASB). Secara literal bentuk jamak evqnh memang bisa
menunjuk pada semua bangsa. Kata ini bisa menunjuk kepada bangsa Yahudi maupun
bangsa lain (1Tim 3:16 dan mungkin Rom 4:17-18). Bagaimanapun, dalam konteks
panggilan kerasulan Paulus, bentuk jamak evqnh seharusnya dimengerti sebagai bangsa-
bangsa selain bangsa Yahudi,36 yang biasanya disebut dengan istilah ‘bangsa-bangsa
Yunani’ (Rom 15:16, 18; Gal 1:16; 2:1-11; Ef 3:1, 6, 8; 1Tes 2:16; 1Tim 2:7; 2Tim 4:17).
Rujukan lain tentang arti ini dalam Surat Roma bisa dilihat di 2:14, 24; 3:29[2x]; 9:24,
30; 11:11, 12, 13 [2x], 25; 15:9[2x], 10, 11, 12[2x], 16[2x], 18, 27; 16:4, 26. Berdasarkan
statistik pemunculan kata evqnh di PB (162x di PB; 54 di antaranya di tulisan Paulus [di
Roma 29x]; 43x di Kisah Rasul), Morris bahkan berani mengatakan bahwa Kisah Rasul
menjelaskan pekerjaan misi yang sedang berlangsung untuk bangsa-bangsa Yunani,

32
Cranfield, h. 66; Murray, h. 13.
33
Morris, h. 50.
34
Moo, h. 52.
35
Morris, h. 50; Moo, h. 52; Barret, h. 21.
36
Moo, h. 53; Barret, h. 21-22; Sanday, h. 11; Murray, h. 14.

19
Tafsir Perjanjian Baru I

sedangkan Surat Roma memberikan fondasi teologis bagi pekerjaan tersebut.37


Seandainya bentuk jamak berarti “bangsa-bangsa”, maka frase “kamu termasuk di
dalamnya” (evn oi-j) di ayat 6 menjadi tidak berguna sama sekali.38

Dengan menegaskan area kerasulannya di antara bangsa-bangsa Yunani (khususnya ayat


6 “kamu termasuk di dalamnya”), Paulus ingin menunjukkan kepada jemaat di Roma
bahwa jemaat Roma – yang mayoritas adalah orang Yunani - termasuk dalam area
kerjanya (bdk. ayat 11-13). Hal ini juga dipertegas dengan pemakaian kata “semua”
(pa/sin) di depan “bangsa-bangsa Yunani” (toi/j e;qnesin), yang mengindikasikan
luas/besarnya visi Paulus.39 Ia berhutang kepada semua golongan dan segmen bangsa
Yunani (Rom 1:14-15). Berdasarkan hal ini Paulus berani menyatakan kerinduannya
untuk memberitakan Injil di Roma (1:14-15).

Penjelasan di atas tidak berarti bahwa Paulus tidak dipanggil untuk memberitakan Injil
kepada bangsa Yahudi (bdk. Kis 9:15; 20:21). Paulus bahkan sering pergi ke synagoge
lebih dahulu sebelum ia mengabarkan Injil di suatu kota. Frase di atas hanya menyatakan
prioritas, kekhususan dan kejelasan panggilan Paulus.

Fokus kerasulan Paulus: demi nama-Nya (ayat 5d)


Fokus ini ditunjukkan melalui penggunaan kata depan u`pe.r, yang biasanya berarti
“demi”. Kata ganti orang “nya” pada frase ‘nama-Nya” pasti merujuk pada Tuhan Yesus
Kristus di ayat 4b. Dengan menyatakan hal ini Paulus ingin menegaskan bahwa fokus
pelayanan-Nya bukan untuk keuntungan pribadi maupun keuntungan para petobat. Fokus
pelayanan Paulus adalah nama Tuhan Yesus Kristus.

Pengertian “nama” (tou/ ovno,matoj) di sini bukan hanya sekadar panggilan atau label
untuk membedakan seseorang dari orang lain. Dalam konteks berpikir bangsa Yahudi
nama merupakan ekspresi dari seluruh kepribadian seseorang, karena itu Allah beberapa
kali mengganti nama seseorang ketika Ia memberikan karakter baru kepada orang
tersebut (Kej 17:5, 15; 32:28). Para sarjana umumnya melihat pengertian “demi nama-
Nya” di sini sebagai sinonim dari “demi kemuliaan Tuhan Yesus” (bdk. 1:21; 15:7).40
Melalui hal ini Paulus ingin menunjukkan bahwa “ketaatan iman” (ayat 5b) yang menjadi
tujuan kerasulannya akan mencapai puncaknya ketika kemuliaan Kristus semakin nyata
di dunia. Sebagai kontras dengan situasi ketika nama Allah dihujat karena ketidaktaatan
bangsa Yahudi (2:24), di sini Paulus menegaskan bahwa ketaatan bangsa Yunani akan
membawa nama Allah (Kristus) dipermuliakan.41

IDENTITAS PENERIMA SURAT (ROMA 1:6-7A)


Setelah memaparkan identitas diri (ayat 1), inti berita yang disampaikan (ayat 2-4) dan
tugas khusus kerasulannya (ayat 5), Paulus sekarang menyapa jemaat di Roma dengan
beberapa frase yang menunjukkan identitas mereka. Bagian surat ini yang berisi ‘salam’

37
Morris, h. 51, n. 82.
38
Cranfield, h. 67.
39
Morris, h. 51.
40
Cranfield, h. 67; Moo, h. 53;
41
Dunn, h. 18.

20
Tafsir Perjanjian Baru I

memang hanya ada di ayat 7a, tetapi identitas penerima surat ini dapat ditelusuri mulai
ayat 6. Dengan menggabungkan informasi di ayat 6 dan 7a, identitas jemaat di Roma
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mereka [mayoritas] adalah bangsa Yunani (ayat 6a).
2. Mereka dipanggil Kristus Yesus (ayat 6b).
3. Mereka merupakan jemaat gereja-rumah (ayat 7).
4. Mereka dikasihi Allah (ayat 7).
5. Mereka terpanggil menjadi orang-orang kudus (ayat 7).

Mereka [mayoritas] adalah bangsa Yunani (ayat 6a)


Kata ganti orang relatif “di antara mereka” (evn oi-j) di awal ayat 6 secara gramatikal
merujuk pada frase “di antara semua bangsa-bangsa Yunani” (evn pa/sin toi/j e;qnesin) di
ayat 5b, karena keduanya memiliki jenis kelamin, kasus dan jumlah yang sama. Dengan
demikian, ayat 6a bisa diterjemahkan “di antara mereka [adalah] kamu juga”.

Berbeda dengan sebagian sarjana yang menganggap frase ‘di antara mereka [adalah]
kamu juga’ hanya sebagai indikasi bahwa jemaat di Roma tinggal di tengah-tengah
bangsa Yunani,42 frase ini tampaknya menunjukkan bahwa mayoritas jemaat di Roma
adalah bangsa Yunani (1:13, 14-15; 11:13, 17-21).43 Pertama, sebagaimana frase ‘di
antara semua bangsa-bangsa Yunani’ di ayat 5b merujuk bangsa Yunani secara etnis,
frase ini juga seharusnya dipahami dari sisi etnis, bukan geografis. Kedua, pengertian
etnis di sini lebih sesuai dengan konteks Rom 1:1-16a. Ayat 13-15 (terutama ayat 15)
secara eksplisit mengindikasikan bahwa alasan Paulus ingin memberitakan Injil di Roma
adalah karena ia berhutang pada semua segmen masyarakat Yunani.

Mereka dipanggil Tuhan Yesus (ayat 6b)


Para penerjemah Alkitab berbeda pendapat tentang hubungan bagian ini (ayat 6b) dengan
bagian sebelumnya (ayat 6a). Sebagian menganggap seluruh ayat 6 merupakan satu
identifikasi (tanpa tanda koma di antara dua bagian tersebut), sehingga ayat ini
diterjemahkan “di antara mereka kamu juga adalah dipanggil Yesus Kristus” (NIV,
NASB). Sebagian yang lain menganggap bahwa di antara dua bagian tersebut seharusnya
diberi tanda koma, sehingga terjemahan ayat 6 menjadi “di antara mereka adalah kamu
juga, kamu dipanggil Yesus Kristus” (RSV). Para sarjana umumnya lebih memilih
terjemahan terakhir,44 sehingga ayat 6b harus dimengerti sebagai identifikasi lain tentang
jemaat Roma. Dalam bagian ini Paulus ingin menunjukkan sesuatu yang lebih penting
daripada sekadar aspek etnis, yaitu aspek spiritual. Jemaat di Roma adalah orang-orang
yang dipanggil Yesus Kristus.45

Ada dua pokok penting sehubungan dengan frase panggilan ini:


1. Mereka dipanggil berdasarkan anugerah.

42
Cranfield, h. 68.
43
Moo, h. 54; Barret, h. 22; Sanday, h. 12; Morris, h. 51; Dunn, h. 19.
44
Cranfield, h. 67; Moo, h. 53; Morris, h. 51.
45
Kata ‘panggilan’ dalam surat kiriman harus dipahami dalam konteks ‘panggilan efektif’
(meminjam istilah dari teologi sistematik, bdk. Rom 8:28: 11:29; 1Kor 1:24; Yud 1). Ini bukan sekadar
‘tawaran’ (bandingkan kontras antara ‘panggilan’ dan ‘pilihan’ di kitab-kitab Injil). Lihat, Moule, h. 52.

21
Tafsir Perjanjian Baru I

Sebagaimana Paulus menerima anugerah kerasulan (ayat 5a) karena ia dipanggil


Yesus Kristus (ayat 1b), penggunaan kata yang sama (klhtoi. ayat 6b; klhto.j ayat 1b)
di sini juga mengindikasikan bahwa panggilan kepada jemaat di Roma ini juga
merupakan suatu anugerah.46 Pilihan bukan berada di tangan mereka, tetapi ditangan
Allah (bdk. Yoh 15:16).
2. Mereka dipanggil menjadi milik Yesus Kristus.
Para sarjana umumnya memperdebatkan fungsi genitif VIhsou/ Cristou/ di ayat ini.
Seandainya genitif ini adalah subjective genitive atau genitive of agent, maka VIhsou/
Cristou/ di sini harus diterjemahkan “oleh Yesus Kristus”.47 Di sisi lain, seandainya
genitif ini adalah posessive genitive, maka terjemahannya menjadi “[menjadi] milik
Yesus Kristus”.48 Argumentasi kuat yang mendukung terjemahan terakhir adalah
konsep Paulus bahwa yang memanggil orang berdosa adalah Allah, bukan Yesus
Kristus (Rom 4:17; 8:30; 11:29; 1Kor 1:9; 2Tim 1:9). Allah memanggil orang
berdosa ke dalam persekutuan dengan Anak-Nya (1Kor 1:9).

Mereka merupakan jemaat gereja-rumah (ayat 7)


Pendahuluan surat Paulus yang lain umumnya memakai frase ‘kepada jemaat di...”,
tetapi di sini Paulus tidak menggunakan kata “jemaat”. Ia hanya mengatakan “kepada
semua di Roma”. Beberapa menganggap fenomena ini hanya sebagai variasi dalam surat
Paulus, karena ia juga tidak memakai kata ini di Fil 1:1 dan Kol 1:2.49 Fenomena ini lebih
baik dilihat sebagai identifikasi lain tentang orang-orang Kristen di Roma. Absennya kata
‘jemaat’ di sini sangat mungkin mengindikasikan bahwa orang-orang Kristen di Roma
beribadah di beberapa gereja-rumah.50 Hal ini mungkin disebabkan jumlah mereka yang
besar sehingga tidak bisa berkumpul bersama dalam satu tempat di sebuah tempat.51

Mereka dikasihi Allah (ayat 7)


Dalam bagian ini Paulus kembali menegaskan keutamaan Allah dalam proses
keselamatan. Panggilan Allah kepada jemaat di Roma (ayat 6b) hanya bisa terjadi karena
Allah mengasihi mereka. Yang paling penting bukanlah kasih mereka kepada Allah,
tetapi kasih Allah kepada mereka (bdk. 1Yoh 4:10). Kasih Allah merupakan dasar
eksistensi orang Kristen (bdk. 5:5, 8; 8:39).52

Mereka dipanggil menjadi orang-orang kudus (ayat 7)


Terjemahan LAI:TB ‘dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus’ sebenarnya tidak
sesuai dengan teks Yunani. Dalam teks Yunani tidak ada kata ‘dan dijadikan’. Frase
‘dipanggil [oleh Allah]’ (klhtoi/j) memiliki latar belakang di PL (Yes 49:1; 50:2; 65:12;
66:4; Yer 7:13) dan Yudaisme (1QM 3:2; 4:9-11). Dalam literatur tersebut ‘dipanggil
[oleh Allah]’ merujuk pada bangsa Israel secara komunal. Mereka adalah bangsa yang
dipanggil secara khusus oleh Allah untuk menjadi umat-Nya. Ungkapan ini sangat

46
Murray, h. 14; Morris, h. 51-52; Moo, h. 54.
47
Cranfield, h. 68.
48
Murray, h. 14-15; Sanday, h. 12; Barret, h. 22; Morris, h. 52; Dunn, h. 19; Moo, h. 54; lihat juga
NIV, RSV/NRSV; LAI:TB.
49
Murray, h. 15; bdk. Moo, h. 54.
50
Moo, h. 54.
51
Dunn, h. 19.
52
Cranfield, h. 69; Moo, h. 55; Morris, h. 52.

22
Tafsir Perjanjian Baru I

mungkin terkait dengan frase klhth. a`gi,a di LXX (Kel 12:16; Im 23[10x], Bil 28:25).53
Dengan mengaplikasikan ungkapan PL ini kepada orang-orang percaya dalam Kristus,
Paulus sekali lagi menekankan kontinuitas karya keselamatan Allah dalam konteks
sejarah keselamatan.54 Dengan kata lain, ia menegaskan bahwa orang percaya adalah
Israel yang baru.

Berdasarkan latar belakang PL di atas – yang menerapkan ungkapan ‘dipanggil sebagai


orang-orang kudus’ kepada bangsa Israel sebagai umat Allah – pengertian ‘orang-orang
kudus’ di ayat ini harus dipahami dalam arti posisi, bukan tindakan atau pencapaian
tingkat etika tertentu.55 Orang Kristen disebut ‘orang-orang kudus’ karena sudah
dikuduskan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah (1Kor 6:11). Makna
ini juga didukung oleh bentuk jamak yang dipakai. Ungkapan ini berlaku untuk semua
orang Kristen, bukan hanya individu-individu tertentu. Mereka telah ‘dipisahkan’ dari
dunia (secara negatif) dan ‘dikhususkan’ untuk Allah (secara positif). Hal ini tentu saja
tidak berarti bahwa orang Kristen boleh hidup bebas dalam dosa (bdk. 6:17, 18, 22; 12:1-
2). Dalam PL, status Israel sebagai umat Allah (umat yang kudus) merupakan dasar yang
menuntut mereka hidup dalam kekudusan.

SALAM (ROMA 1:7B)


Salam yang dipakai Paulus berbeda dengan salam yang lazim dipakai dalam surat-surat
pada waktu itu. Biasanya pengirim surat hanya memakai kata cai,rein yang berarti
“salam” (lihat Kis 15:23; 23:26; Yak 1:1). Salam ini bisa dibagi menjadi tiga bagian:

Isi salam : Anugerah dan damai


Sumber : Allah Bapa
Mediator : Tuhan Yesus Kristus

Anugerah. Perubahan dari cai,rein menjadi ca,rij dalam salam ini sangat signifikan,
karena dalam PB kata ca,rij biasanya merujuk pada kasih Allah yang diberikan kepada
manusia yang sebetulnya tidak layak diterima.56 Kata ini muncul 24 kali dalam Surat
Roma (3:24; 4:4, 16; 5:2, 15[2x], 17, 20, 21; 6:1, 14, 15, 17; 7:25; 11:5, 6[3x]; 12:3, 6;
15:15; 16:20).

Damai. Orang Yunani hanya memahami dalam arti ‘ketidakadaan perang’, namun dalam
konteks ini arti tampaknya lebih mendalam. eivrh,nh juga muncul di Rom 2:10; 3:17; 5:1;
8:6; 14:17, 19; 15:13, 33; 16:20. Kata ini memiliki arti yang beragam tergantung
konteks. Kemungkinan besar eivrh,nh merujuk pada perdamaian dengan Allah (Rom 5:1,
10, 11) atau berkat yang berasal dari perdamaian tersebut.57

53
Moo, h. 54, n. 84; Sanday, h. 12-13. Untuk sanggahan terhadap pandangan ini, lihat Cranfield,
h. 70.
54
Lihat, Moo, h. 54-55.
55
Morris, h. 53; Barret, h. 22; Kasemann, h. 16; Moo, h. 55.
56
Cranfield, h. 71.
57
Cranfield, h. 72.

23
Tafsir Perjanjian Baru I

Dengan menggabungkan dan Paulus tampaknya ingin menyampaikan salam yang lebih
bermakna daripada salam yang umum. Bagi Paulus, damai (eivrh,nh) yang sesungguhnya
(bukan hanya dalam arti absennya peperangan) hanya berasal dari anugerah (ca,rij) Bapa
melalui karya Yesus Kristus.58

PERHATIAN PAULUS TERHADAP JEMAAT DI ROMA (ROMA 1:8-16a)


Sebagaimana surat Hellenis pada umumnya, setelah menyampaikan salam Paulus
melanjutkan dengan ucapan syukur dan doa untuk penerima surat. Dalam bagian ini
Paulus menyatakan dengan jelas perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap jemaat di
Roma. Perhatian ini perlu diungkapkan secara eksplisit, mengingat Paulus sebagai rasul
untuk bangsa-bangsa Yunani tidak pernah mengunjungi kota Roma yang merupakan
pusat dunia Yunani. Ia perlu menegaskan bahwa meskipun ia tidak pernah mengunjungi
mereka, namun itu tidak berarti bahwa ia tidak memperhatikan mereka. Ia sangat rindu
mengunjungi mereka, tetapi belum ada kesempatan. Struktur bagian ini dapat dibagi
menjadi 3 bagian:

Perhatian Paulus yang terekspresi dalam ucapan syukur (ayat 8)


Perhatian Paulus yang terekspresi dalam kesungguhan doa (ayat 9-10)
Perhatian Paulus yang terekspresi dalam motivasi kedatangan (ayat 11-16a)

Perhatian Paulus yang terekspresi dalam ucapan syukur (ayat 8)


Paulus turut mengucap syukur atas eksistensi jemaat di kota Roma, meskipun jemaat
tersebut tidak didirikan oleh Paulus. Ia memang tidak mau memberitakan Injil di tempat
yang sudah dimulai oleh orang lain (15:20), namun itu tidak berarti bahwa ia tidak
menaruh perhatian terhadap mereka. Ia mengucap syukur karena iman mereka telah
dikabarkan ke seluruh dunia. Ucapan syukur ini mungkin terkait dengan keyakinan
Paulus terhadap panggilannya untuk bangsa Yunani (1:5, 14-15) dan universalitas Injil
(1:16b). Hal ini tidak berhubungan dengan keistimewaan iman mereka. Tidak ada
indikasi bahwa iman mereka lebih kuat atau hebat daripada orang Kristen di tempat lain.
Eksistensi iman mereka sendiri sudah cukup sebagai alasan untuk mengucap syukur (bdk.
Ef 1:16; Kol 1:3; 1Tes 1:2; 2Tes 1:3; Fil 4).

Perhatian Paulus yang terekspresi dalam kesungguhan doa (ayat 9-10)


Seperti surat Hellenis pada umumnya, setelah mengucapkan syukur, Paulus memanjatkan
doa (petisi) kepada Allah. Yang unik dari bagian ini adalah usaha Paulus untuk
menunjukkan kesungguhannya dalam berdoa. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan
kesungguhan doa Paulus:
1. Ia memanggil Allah sebagai saksi.
Paulus biasanya menggunakan “formula kesaksian” apabila ia ingin menekankan
sesuatu yang penting (2Kor 1:23; 11:31; Gal 1:20; Fil 1:8; 1Tes 2:5, 10). Paulus di
sini merasa perlu memanggil Allah sebagai saksi karena baik Paulus maupun jemaat
di Roma tidak dapat membuktikan sendiri kesungguhan Paulus. Hanya Allah yang
mengetahui kesungguhan doa Paulus.

58
Morris, h. 54.

24
Tafsir Perjanjian Baru I

Untuk menekankan “sumpah” ini, Paulus menjelaskan bahwa Allah – sebagai


saksinya - adalah “yang kulayani dengan rohku dalam Injil Anak-Nya”. Ungkapan ini
menunjukkan dedikasi dan kesungguhan Paulus dalam pelayanan.
➢ Kata ‘kulayani’ (latreu,w) merupakan kata yang menunjukkan aspek vertikal
penyembahan kepada Allah. Kata ini dalam LXX merujuk pada ibadah kepada
Allah (Kel 7:16; 8:1; 20:5; Ul 5:9). Konotasi ini juga tersirat dalam pemakaian
kata ini di Rom 1:25; Fil 3:3; 2Tim 1:3. Bentuk kata benda latrei,a di Rom 9:4 dan
12:1 juga mengindikasikan arti ini. Pemakaian kata di sini menunjukkan konsep
Paulus terhadap pelayanannya: pelayanan bukan sekadar profesi, tetapi ibadah
kepada Allah.
➢ Kata ‘dalam rohku’ (evn tw/| pneu,mati, mou) merupakan ungkapan yang
menunjukkan kesungguhan Paulus dari dalam. Apapun arti yang tepat dari
ungkapan ini (lihat Cranfield, h. 76-77), intinya tetap sama: Paulus melayani
Allah bukan dari fenomena luar saja, sebaliknya ia sungguh-sungguh melayani
Allah dari dalam.
2. Ia selalu mengingat mereka.
Paulus menyatakan bahwa Allah adalah saksi bahwa ia selalu (avdialei,ptwj)
mengingat jemaat Roma. Kalimat ini selanjutnya diterangkan dengan frase “selalu
meminta di dalam doaku” (ayat 10a, pa,ntote evpi. tw/n proseucw/n mou deo,menoj).
Bentuk participle deo,menoj (“meminta”) mengindikasikan bahwa frase ini bersifat
sub-ordinate dan menerangkan frase sebelumnya. Dengan kata lain, frase ini
menerangkan bahwa setiap kali Paulus mengingat mereka (ayat 9), ia selalu meminta
dalam doa agar ia bisa mengunjungi mereka (ayat 10). Paulus tidak hanya selalu
mengingat, tetapi ia juga selalu berdoa bagi mereka. Kesungguhan doa ini juga
tampak dari penggunaan kata “selalu” sebanyak dua kali (avdialei,ptwj dan pa,ntote).
Dua kata ini biasanya dipakai untuk menunjukkan tindakan yang sering dan teratur
dilakukan.
3. Ia sangat berhasrat dengan isi doanya.
Hasrat Paulus yang dalam untuk mengunjungi jemaat di Roma – sebagai isi doanya di
ayat 10b – terlihat dari penggunaan ungkapan h;dh pote. (LAI:TB ‘akhirnya’).
Ungkapan ini dalam literatur Hellenis maupun PB (Fil 4:10) mengekspresikan
perasaan bahwa telah ada cukup waktu untuk menunggu atau ketidaksabaran terhadap
penundaan/penungguan tersebut. KJV secara tepat menerjemahkan h;dh pote. dengan
“now at length”. Paulus sudah tidak tahan untuk melihat jemaat di Roma. Perasaan ini
juga tampak dalam ayat-ayat berikutnya. Ia telah lama menunggu kesempatan
tersebut (ayat 11). Ia secara khusus meminta jemaat di Roma untuk mengerti (ayat
13a) bahwa ia telah beberapa kali membuat rencana (proeqe,mhn) untuk
merealisasikan hasrat tersebut (ayat 13b). Para sarjana berpendapat bahwa kata dasar
proti,qemai di ayat 13b mengekspresikan sesuatu yang lebih daripada sekadar
niat/keinginan (kontra LAI:TB ‘berniat’). Kata ini menunjukkan suatu kerinduan
yang sudah teraplikasikan dalam suatu rencana (KJV ‘purposed’; NKJV, NIV, NASB
‘planned’). Rencana ini bukan hanya dibuat sekali, tetapi berulang kali (polla,kij, ayat
13b).

Semua ekspresi di atas perlu disampaikan kepada jemaat di Roma supaya mereka
mengetahui bahwa ketidakdatangan Paulus ke Roma bukan disebabkan keengganan

25
Tafsir Perjanjian Baru I

Paulus untuk datang. Ia sering menghadapi kendala (ayat 13b). Kendala yang dimaksud
adalah tuntutan pekabaran Injil di daerah timur Mediteranian (15:19). Hal ini bagi Paulus
menunjukkan bahwa Allah belum menghendaki ia untuk datang (bdk. ayat 10). Paulus
memang sangat berhasrat untuk datang, tetapi ia menyerahkan semua ke dalam rencana
Allah.

Perhatian Paulus yang terekspresi dalam motivasi kedatangan (ayat 11-16)


Setelah mengungkapkan perhatian (ayat 8) dan kerinduannya untuk datang ke Roma
(ayat 9-10), Paulus menjelaskan tujuan di balik rencana kedatangannya ke Roma.
Menggalang dukungan dari jemaat Roma untuk misi ke Spanyol (15:24) mungkin
merupakan salah satu tujuan kedatangan Paulus, tetapi itu bukan yang terpenting.
Motivasi/tujuan yang terpenting dikemukakan Paulus secara eksplisit dan panjang lebar
di bagian awal suratnya. Dari tiga tujuan yang disebutkan Paulus di bagian ini, semuanya
mengindikasikan perhatian Paulus yang besar terhadap jemaat di Roma.

Tiga tujuan tersebut masing-masing adalah:


1. Untuk membagikan karunia rohani (ayat 11-12).
Tujuan pertama dari kedatangan Paulus ke Roma dinyatakan dengan kata sambung
i[na (‘supaya’, ayat 11). Paulus ingin membagikan karunia rohani (ca,risma
pneumatiko.n) kepada jemaat di Roma. Penambahan ‘rohani’ pada kata ‘karunia’
hanya berfungsi sebagai penekanan, karena ide yang ingin disampaikan sudah tersirat
dalam kata benda ‘karunia’. Paulus tidak perlu menyebut suatu karunia bersifat
rohani, karena semua karunia berasal dari Roh Kudus, sehingga karunia tersebut
dengan sendirinya bersifat rohani. Kata ca,risma secara sempit bisa merujuk pada
sederetan karunia di Roma 12:6 (nubuat, administrasi, pengajaran, nasehat) atau 1Kor
12:1-11 (iman, bahasa roh, dsb). Secara luas, kata ini juga bisa ditujukan pada setiap
orang Kristen (5:15; 1Pet 4:10). Dalam ayat 11 ini Paulus tampaknya tidak sedang
memikirkan karunia tertentu yang spesifik. Ada dua argumentasi utama yang
mendukung gagasan ini. Pertama, ia memakai partikel ti (‘suatu’) yang menunjukkan
sesuatu yang tidak spesifik. Partikel ini dalam LAI:TB tidak diterjemahkan. Kedua,
ia belum mengetahui keadaan rohani jemaat Roma secara spesifik - karena ia belum
pernah mengunjungi mereka – sehingga ia tidak mengetahui karunia apa yang
dibutuhkan mereka. Beberapa sarjana berspekulasi tentang identitas karunia ini.
Berdasarkan keterbatasan informasi dari teks, ca,risma di sini sebaiknya dipahami
sebagai apa saja yang dimiliki Paulus dari Roh Kudus - baik pandangan rohani,
keahlian maupun karunia tertentu - yang bisa berguna bagi jemaat di Roma. Paulus
akan mengetahui hal ini secara jelas setelah ia melihat keadaan mereka.

Pembagian karunia ini bukanlah tujuan akhir maupun hanya sekadar demonstrasi
kehebatan Paulus, karena karunia selalu dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang
sesungguhnya, yaitu ‘pembangunan jemaat’ (1Kor 12:7). Tujuan pembagian karunia
dalam bagian ini dinyatakan melalui kata depan eivj + infinitive. Tujuan akhir adalah
supaya jemaat di Roma dikuatkan (sthricqh/nai). Tanpa bermaksud berbasa-basi
Paulus menerangkan bahwa hal itu juga akan ‘menguatkan’ dia (ayat 12, bdk. 15:32).
Penjelasan ini bukanlah suatu koreksi, seperti yang diduga sebagian sarjana. Paulus
hanya ingin meminimalisasi kesan sombong yang mungkin akan tersirat dari

26
Tafsir Perjanjian Baru I

pernyataannya di ayat 11, apalagi jemaat di Roma bukan hasil pelayanan Paulus dan
belum mengenal Paulus. Kata sumparaklhqh/nai bisa berarti ‘bersama-sama
dikuatkan’ (NIV, NASB, RSV, NKJV) atau ‘bersama-sama dihiburkan’ (KJV).
Kedua alternatif di atas tetap menunjukkan hal yang sama: Paulus juga dikuatkan
dalam hal tertentu melalui iman jemaat di Roma. Relasi mutual ini dipertegas Paulus
dengan menggunakan frase u`mw/n te kai. evmou/ (‘baik milikmu dan milikku’)
untuk menjelaskan frase avllh,loij pi,stewj (‘iman masing-masing’). Penjelasan ini
sebenarnya tidak diperlukan, tetapi Paulus justru menambahkan hal itu untuk
menekankan relasi mutual tersebut. Penekanan ini mengindikasikan kesungguhan
kalimat Paulus di ayat 12, sekaligus menyiratkan kerendahhatiannya.
2. Untuk memiliki buah di antara mereka (ayat 13).
Paulus biasanya menggunakan kata ‘buah’ (karpo,j) secara figuratif untuk menunjuk
pada tingkah laku orang Kristen (6:21, 22; Gal 5:22; Ef 5:9; Fil 1:11) atau hasil
pelayanannya (Fil 1:22; 4:17). karpo,j di ayat 13 jelas merujuk pada arti yang
terakhir. Paulus ingin menemukan buah pelayanannya di Roma, seperti yang ia telah
lakukan di tempat lain. Berdasarkan penggunaan kata karpo,j di Fil 1:22 dan 4:17,
kata ini tampaknya bukan hanya berarti pertambahan jumlah petobat baru, tetapi juga
menyangkut penguatan iman jemaat di Roma (bdk. 11b).
3. Untuk memberitakan Injil (ayat 14-16a).
Mengikuti pendapat Cranfield (h. 86-87), ayat 16a “karena aku memiliki keyakinan
yang kokoh dalam Injil” sebaiknya dihubungkan dengan bagian sebelumnya (ayat 14-
15). Inti ayat 14-16a terletak pada kerinduan Paulus untuk memberitakan Injil di
Roma (ayat 15). Bagian ini sekaligus menjadi alasan ke-3 di balik rencana
kedatangan Paulus ke Roma. Ayat 14 dan 16a menerangkan alasan mengapa Paulus
sangat rindu mengabarkan Injil di Roma. Perhatikan struktur kalimat ayat 14-16a di
bawah ini:
Aku berhutang kepada orang-orang Hellenis maupun barbarian
kepada orang berhikmat maupun orang tidak terpelajar

itulah sebabnya, aku sangat rindu mengabarkan Injil kepadamu yang diam di Roma

karena aku memiliki keyakinan yang kokoh dalam Injil

Tujuan Paulus ini tampaknya berkontradiksi dengan prinsip yang selama ini
dipegangnya, yaitu bahwa ia tidak mau membangun di atas pondasi yang sudah
didirikan oleh orang lain (15:20 dan 2Kor 10:15-16). Beberapa sarjana mencoba
memberikan solusi dengan mengartikan kata ‘menginjil’ (euvaggeli,zw) di sini tidak
hanya merujuk pada pemberitaan untuk pertobatan, tetapi juga langkah-langkah
pembangunan iman setelah pertobatan (ayat 11-13). Pendapat ini tetap tidak
menghilangkan kesan “membangun di atas pondasi orang lain”. Solusi lain adalah
dengan menganggap frase “kamu yang diam di Roma” sebagai representasi dari
penduduk kota Roma lainnya. Dengan kata lain, frase ini menunjuk pada orang-orang
Kristen dan orang-orang tidak percaya di Roma. Pendapat ini memiliki kelemahan,
karena kata ganti “kamu” yang muncul di ayat 8-13 menunjuk pada orang-orang
Kristen di Roma. Selain itu, seandainya pendapat di atas benar, Paulus pasti akan
memakai frase “mereka yang diam di Roma”.

27
Tafsir Perjanjian Baru I

Solusi terbaik adalah menerima ayat ini secara literal (karena artinya sudah jelas),
tetapi mengaji ulang pernyataan Paulus di 15:20 dan 2Kor 10:15-16. Pernyataan
Paulus tersebut tidak bisa dianggap sebagai suatu peraturan baku. Pernyataan itu
hanya merupakan suatu preferensi pribadi Paulus dan prioritas (bukan eksklusivitas)
panggilan yang khusus dari Allah. Paulus diutus secara khusus untuk bangsa Yunani,
tetapi ia selalu menyempatkan diri mengabarkan Injil kepada bangsa Yahudi lebih
dahulu di sinagoge. Paulus juga tidak anti terhadap pekerjaan seseorang yang
membangun di atas pondasi orang lain (1Kor 3:6-10). Selain itu, ia tidak pernah
merencanakan kota Roma sebagai pusat misinya. Roma hanyalah tempat transit
sebelum ia pergi ke Spanyol dan daerah sekitarnya. Kisah Rasul 28:29-31 mencatat
bahwa Paulus ‘tidak keberatan’ tinggal di Roma selama dua tahun penuh.
Berdasarkan pemaparan ini, tujuan Paulus memberitakan Injil di Roma harus
dimengerti secara lebih luas: ia memang ingin membangun iman jemaat sekaligus
memberitakan Injil kepada penduduk di Roma yang belum mendengar Injil.

Kerinduan Paulus untuk mengabarkan Injil di Roma bukan hanya sekadar keinginan
yang biasa saja (lihat ayat 10-13, kontra LAI:TB). Kesungguhan keinginannya
diungkapkan dalam frase to. katV evme. pro,qumon. Dalam KJV dan NKJV frase ini
diterjemahkan “as much as in me”. Mayoritas sarjana dan penerjemah memilih
“keinginanku yang dalam” (NRSV) atau “aku sangat ingin” (NIV, RSV). Pilihan
yang paling tepat adalah “keinginan yang dalam”. Pertama, pemakaian kata sifat
neuter (pro,qumon) sebagai substantif merupakan ciri khas Paulus (to. gnwsto.n, 1:19
dan ta. avo,rata, 1:20). Kata sifat to. pro,qumon di sini seharusnya diterjemahkan
“keinginan yang dalam” (bdk. Mat 26:41//Mar 14:36; 1Pet 5:2; Louw-Nida; Friberg).
Kedua, katV evme. (lit. ‘menurut aku’) merupakan ungkapan Hellenistik yang umum
untuk ‘milikku’. Jadi, frase to. katV evme. pro,qumon sebaiknya diterjemahkan
“keinginanku yang dalam adalah untuk...”.

Dalam bagian ini Paulus juga menjelaskan dua alasan bagi keinginannya yang dalam
tersebut, seperti terlihat dalam bagan struktur ayat 14-16a di atas. Ada dua alasan di
balik hasrat yang dalam untuk menginjil:
1. Pemahaman terhadap tanggung jawab memberitakan Injil (ayat 14).
Paulus sangat menyadari bahwa ia dikhususkan untuk memberitakan Injil kepada
bangsa Yunani (1:1, 5), sehingga ia berani mengatakan “celakalah aku kalau aku
tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16b). Berangkat dari kesadaran bahwa
pemberitaan Injil adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi, Paulus
menganggap dirinya berhutang kepada semua orang yang belum mendengarkan
Injil (bdk. ovfeile,thj di 8:12; Gal 5:3). Ia juga menegaskan tanggung jawabnya
kepada semua lapisan masyarakat Yunani. Frase {Ellhsi,n te kai. barba,roij
menunjuk pada orang-orang Yunani yang berbudaya Romawi dan orang-orang
Yunani lainnya, sedangkan sofoi/j te kai. avnoh,toij menunjuk pada orang-orang
Yunani yang pandai/berpendidikan dan yang tidak berpendidikan formal.
2. Keyakinan pada Injil yang diberitakan (ayat 16a).
Alasan kedua di balik hasrat Paulus yang dalam untuk memberitakan Injil di
Roma adalah keyakinan pada Injil. Mayoritas EV’s menerjemahkan ayat 16a

28
Tafsir Perjanjian Baru I

“karena aku tidak malu terhadap Injil” (bdk. LAI:TB “aku memiliki keyakinan
yang kokoh”). Sikap malu terhadap Injil sangat mungkin terjadi pada orang
percaya (Mar 8:38//Luk 9:26; 2Tim 1:8), karena tekanan dari dunia dan natur
berita Injil yang merupakan kebodohan bagi pemikiran Yunani (1Kor 1:18).
Berita Injil (Allah menjadi daging, Allah yang bisa ‘mati’, kebangkitan orang
mati) bagi masyarakat Yunani merupakan sesuatu yang tidak masuk akal (Kis
17:32a).

TEMA SURAT: PEMBENARAN OLEH IMAN (ROMA 1:16b-17)

Terlepas dari minoritas sarjana yang menolak (misalnya Achtemeier), hampir semua
sarjana setuju bahwa bagian ini merupakan tema Surat Roma, yaitu dikaiosu,nh qeou/
(kebenaran Allah), yang menjadi dasar dan inti pembahasan di 1:18-8:39. Cranfield
bahkan membagi 1:18-8:39 berdasarkan ayat 17 “orang yang benar melalui iman akan
hidup”: 1:18-4:25 merupakan elaborasi ‘orang yang benar melalui iman’, sedangkan 5:1-
8:39 tentang ‘akan hidup’. Pembagian Cranfield mungkin tidak konklusif dan masih bisa
diperdebatkan, namun signifikansi bagian ini bagi Surat Roma tetap sulit dibantah.

Relasi ayat 16b-17 dengan bagian sebelumnya ditunjukkan dengan kata sambung
“karena” (ga.r). Ada tiga kata ga.r yang dipakai dalam ayat 15-17. Kata ini merupakan
penjelasan tentang alasan bagi pernyataan sebelumnya. Alur pemikiran dalam bagian ini
dapat digambarkan sebagai berikut:

Paulus sangat ingin memberitakan Injil di Roma (ayat 15)

Karena (ga.r) ia tidak malu terhadap Injil (ayat 16a)

Karena (ga.r) Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (ayat 16b)
Setiap orang percaya
Orang Yahudi dan Yunani

Karena (ga.r) di dalamnya nyata kebenaran Allah (ayat 17)


Seperti tertulis dalam Habakuk 2:4

Berkaitan dengan inti pembahasan ayat 16b-17 – yaitu dikaiosu,nh qeou/ - pandangan
para sarjana tentang frase ini secara umum dapat dibagi menjadi tiga:
1. Genitif qeou/ adalah genitive of possesion: “kebenaran milik Allah” → merujuk pada
sifat Allah.
2. Genitif qeou/ adalah genitive of source: “kebenaran dari Allah” → merujuk pada
status yang diberikan Allah.
3. Genitif qeou/ adalah genitive of subjective: “kebenaran yang ditunjukkan oleh Allah”
→ merujuk pada aktivitas Allah.
Pembahasan detail tentang isu ini merupakan sesuatu yang mustahil. Tiga faktor yang
menentukan konklusi terhadap isu ini (konsep dikaiosu,nh qeou/ dalam PL, penggunaan
dikaiosu,nh qeou/ dalam Surat Roma dan konteks dekat) ternyata memberikan dukungan
yang relatif seimbang untuk setiap alternatif. Kesulitan ini menjadi lebih rumit, karena

29
Tafsir Perjanjian Baru I

pengertian kata dikaiosu,nh juga sangat bias. Beberapa sarjana menggabungkan dua atau
tiga alternatif tersebut yang memang tidak dapat dipisahkan (Kasemann, Moo).
Menimbang semua argumentasi yang ada, alternatif kedua tampaknya lebih masuk akal
(Cranfield).

Ada beberapa argumentasi penting yang mendukung konklusi di atas:


(1) Frase evk pi,stewj eivj pi,stin (dari iman kepada iman) yang menerangkan “kebenaran
Allah” tidak sesuai dengan alternatif 1 dan 3.
(2) Kutipan dari Habakuk 2:4 di ayat 17 lebih terfokus pada “orang yang
benar/dibenarkan” daripada “aktivitas Allah yang membenarkan orang”.
(3) Alternatif 2 lebih sesuai dengan konteks Roma 1-8. 1:18-4:25 membahas tentang
“orang yang benar melalui iman” dan 5:1-8:39 tentang “bagaimana orang yang benar
tersebut hidup”. Konsep dikaiosu,nh qeou/ sebagai “status kebenaran yang diberikan
Allah” beberapa kali muncul dalam konteks ini (bdk. 2:13; 3:20, 28; 4:2, 13; 5:1, 9,
21; 8:10).

Seperti yang dilakukan Paulus di tempat lain, ia di sini juga menjelaskan bahwa Injil
yang berisi kebenaran Allah melalui iman bukanlah ide yang baru. Ide ini didukung oleh
Perjanjian Lama (ayat 17, bdk. 1:2; 3:21; 4:1-8, dll). Kutipan dari Habakuk 2:4
menimbulkan dua isu yang signifikan.
Pertama, pemahaman Paulus tentang teks ini tampaknya berbeda dengan konteks mula-
mula Habakuk 2:4. Konteks Habakuk 2:4 adalah jawaban Tuhan terhadap keluhan nabi
tentang ‘ketidakadilan’ Allah. Teks tersebut membahas bagaimana orang yang sudah
benar harus hidup dengan iman meskipun di tengah ‘ketidaksesuaian’ antara realita dan
janji Allah. Dalam Roma 1:16a-17 Paulus tampaknya membicarakan tentang bagaimana
orang dapat benar di hadapan Allah, dan karena itu ia akan hidup kekal. Perbedaan di atas
sebenarnya bisa diharmonisasikan. Inti Habakuk 2:4 yang ingin dikutip oleh Paulus
adalah bahwa iman memegang peranan penting dalam relasi dengan Allah (Moo, 78).
Kedua, kalimat o` de. di,kaioj evk pi,stewj zh,setai secara gramatikal bisa diterjemahkan
dalam dua cara.
(1) “Tetapi orang benar akan hidup oleh/melalui imannya” (KJV, NIV dan NASB).
(2) “Tetapi orang yang benar melalui imannya akan hidup” (TEV, NEB).
Terlepas dari argumentasi bagi terjemahan 1 yang tidak konklusif (lihat Cranfield, 101-
102), konteks Roma 1-8 tampaknya lebih mendukung terjemahan 2. Paulus sering
menghubungkan antara ‘kebenaran’ dengan ‘iman’, dan sebagai hasilnya adalah ‘hidup
kekal’. Rujukan penting yang mendukung antara lain 5:1 (Dikaiwqe,ntej ou=n evk
pi,stewj), 4:11 (th/j dikaiosu,nhj th/j pi,stewj), 4:13 (dia. dikaiosu,nhj pi,stewj), 10:6 (h`
de. evk pi,stewj dikaiosu,nh).

Berdasarkan pertimbangan sintaks ayat 14-17 dengan ayat 15 sebagai induk kalimat,
ayat 14-17 dapat dilihat sebagai keterangan/penjelasan tentang ‘memberitakan Injil’ di
ayat 15 (lihat Stott, 59-65). Dengan kata lain, ayat 14-17 menjelaskan keyakinan Paulus
terhadap Injil yang membuat ia begitu bersemangat dan tidak malu terhadap Injil.
1. Injil adalah hutang kepada semua orang (ayat 14).
Paulus menganggap dirinya berhutang kepada semua orang Yunani karena ia
meyakini bahwa Kristus telah mempercayakan Injil-Nya untuk diberikan kepada

30
Tafsir Perjanjian Baru I

mereka melalui dirinya (1Kor 4:1; Gal 2:7; 1Tes 2:4; 1Tim 1:11; Tit 1:3). Adalah hak
mereka untuk memiliki Injil Kristus, sehingga sebelum Paulus memberitakan
(memberikan) Injil tersebut kepada mereka, ia adalah orang yang berhutang.
2. Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (ayat 16).
Ada banyak tantangan untuk menjadi malu terhadap Injil, tetapi satu alasan yang
dapat mengatasi tantangan tersebut adalah keyakinan bahwa Injil tersebut berkuasa
menyelamatkan. Ada beberapa pemikiran penting keselamatan yang diajarkan dalam
ayat ini:
a. Keselamatan ditentukan oleh kekuatan (kuasa) Allah. Fungsi genitif qeou/ sebagai
genitive of possession dalam frase du,namij ga.r qeou/ (kekuatan Allah)
mengindikasikan peranan sentral Allah dalam keselamatan. Keselamatan
seseorang bukanlah ditentukan oleh kefasihan bicara pemberita Injil (bdk. 1Kor
2:1-5).
b. Keselamatan diterima melalui iman. Berbeda dengan konsep Yahudi yang
menekankan ketaatan kepada Taurat (perbuatan), Paulus di sini mengajarkan
bahwa keselamatan melalui kuasa Allah tersebut diperuntukan ‘bagi yang
percaya’ (tw/| pisteu,onti). Keutamaan iman dalam bagian ini juga dipertegas
dengan frase evk pi,stewj eivj pi,stin (ayat 17 “dari iman kepada iman”) yang
merupakan gaya bahasa retoris yang berarti “iman, dan hanya iman” (bdk. 2Kor
2:16, Barret, Cranfield, Moo).
c. Keselamatan disediakan bagi semua orang. Berbeda dengan konsep Yahudi
tentang eksklusivitas posisi mereka di hadapan Allah, Paulus menempatkan posisi
bangsa Yahudi dalam posisi yang sebenarnya. Di satu sisi ia mengakui kelebihan
bangsa Yahudi. Ia menggunakan kata prw/ton (pertama-tama) untuk menjelaskan
kelebihan bangsa Yahudi dalam hal aplikasi janji Allah. Mereka adalah penerima
janji yang pertama dan janji itu juga masih berlaku untuk mereka (11:29).
Kelebihan lain disinggung Paulus di 3:2 dan 9:4-5, sedangkan posisi Israel dalam
sejarah keselamatan akan dibahas Paulus secara khusus di pasal 9-11. Di sisi lain,
dalam kaitan dengan keselamatan dari Allah melalui iman, bangsa Yahudi berdiri
pada posisi yang sama dengan bangsa lain (3:22; 10:12). Keselamatan adalah
untuk bangsa Yahudi dan Yunani. Frase VIoudai,w| te prw/ton kai. {Ellhni tidak
boleh diartikan “setiap individu tanpa terkecuali” (universalisme), tetapi “siapa
saja tanpa batasan kebangsaan”.
3. Injil adalah pernyataan kebenaran Allah melalui iman (ayat 17).
Injil bukan hanya memberitakan keberdosaan manusia dan kebutuhan mereka untuk
diselamatkan (1:18-3:20), tetapi juga menyatakan jalan keselamatan anugerah dari
Allah, yaitu kebenaran melalui iman. Seandainya Allah membenarkan manusia
berdasarkan perbuatan baik mereka, maka tidak ada seorangpun yang bisa benar di
hadapan Allah, karena semua orang telah berbuat dosa (Rom 3:23). Pendeknya, Injil
tidak hanya menunjukkan ketidakberdayaan manusia karena dosa, tetapi juga
memberitakan harapan dalam iman.

ROMA 1:18-3:20 UNIVERSALITAS DOSA


Bukti bahwa 1:18-3:20 merupakan satu unit pemikiran dapat dilihat dari dua hal.
Pertama, inclusio tentang keberdosaan manusia di 1:18 dan 3:20. Kutipan panjang dari
PL di 3:9-18 dan 3:19-20 merupakan konklusi (klimaks) yang menyatakan keberdosaan

31
Tafsir Perjanjian Baru I

semua manusia. Kedua, setelah memaparkan 1:18-3:20 Paulus kembali lagi ke tema
surat (3:21 “kebenaran Allah telah dinyatakan”, bdk. 1:17). Struktur seperti ini
menunjukkan bahwa 1:18-3:20 merupakan satu kesatuan yang berfungsi sebagai
introduksi bagi pembahasan tentang “pembenaran melalui iman” di 3:21-32.

Ada dua alasan penting mengapa Paulus menghubungkan keberdosaan semua manusia
(3:9-20) - baik bangsa Yunani (1:18-32) maupun bangsa Yahudi (2:1-3:8) - dengan
pembenaran melalui iman. Pertama, universalitas dosa membuktikan bahwa manusia
tidak mungkin dibenarkan Allah melalui perbuatan mereka (3:21-26). Kedua,
universalitas dosa menunjukkan bahwa posisi semua manusia adalah sama di hadapan
Allah, karena itu mereka semua mendapat akses yang sama dalam keselamatan (Rom
3:27-31).

ROMA 1:18-32 KEBERDOSAAN BANGSA YUNANI


Isu utama berkaitan dengan 1:18-32 adalah identitas golongan manusia yang dimaksud
Paulus dalam bagian ini. Sebagian sarjana modern berpendapat bahwa Paulus
memaksudkan bagian ini untuk semua orang (bukan hanya bangsa Yunani). Beberapa
argumentasi yang dipakai untuk mendukung pandangan ini antara lain:
(1) Objek murka Allah dalam bagian ini (ayat 18) adalah manusia (a;nqrwpoj), bukan
bangsa Yunani (e;qnoj atau {Ellhn). Dua kata tersebut bahkan tidak muncul sama
sekali dalam 1:18-32.
(2) Penyembahan berhala di sini digambarkan melalui diskripsi PL tentang peristiwa
kejatuhan manusia dalam dosa (Kej 1-3): rujukan tentang penciptaan dunia (ayat 20);
pembagian makhluk hidup ke dalam golongan burung, binatang dan binatang melata
(ayat 23); rujuan tentang ‘gambar’ (ayat 23); rujuan tentang pengetahuan (ayat 19,
21) dan kebijaksanaan palsu manusia (ayat 22); penggantian kebenaran dari Allah
dengan dusta (ayat 25).
(3) Rujukan tentang berhala ‘binatang berkaki empat’ (ayat 23) mengingatkan pada dosa
bangsa Israel di Keluaran 32-34 (bdk. Mzm 106:20 dan Yer 2:11).
(4) Transisi dari 1:32 ke 2:1 akan lebih masuk akal jika golongan manusia yang
dimaksud di 2:1-4 (bangsa Yahudi) telah termasuk dalam pembahasan sebelumnya
(1:18-31).

Terlepas dari beberapa argumentasi di atas yang meyakinkan, pandangan tradisional yang
menganggap bagian ini sebagai rujukan pada bangsa Yunani tetap lebih bisa diterima,
meskipun bagian ini tidak secara eksklusif merujuk pada bangsa Yunani.
(1) Bagian ini mengingatkan pada argumentasi apologetik Yahudi yang melecehkan
praktek penyembahan berhala yang dilakukan bangsa kafir dan menganggapnya
sebagai akar dari dosa perzinahan (bdk. 1:23-27 dan Keb. Sal pasal 12-15, lihat Moo,
97, note 18). Bangsa Yahudi sendiri merasa mendapat dispensasi dalam hukuman
Allah atas dasar relasi spesial dengan Allah (Keb Sal pasal 15). Rasa superioritas
Yahudi ini selanjutnya akan ditentang Paulus di pasal 2.
(2) Pengetahuan yang dibahas di 1:18-32 hanya terbatas pada pengetahuan alami (melalui
ciptaan). Hal ini sangat berbeda dengan pemaparan Paulus tentang bangsa Yahudi di
pasal 2 yang banyak menyangkut isu tentang Taurat.

32
Tafsir Perjanjian Baru I

(3) Struktur 1:18-3:20 lebih mendukung pendapat ini. 1:18-32 = keberdosaan bangsa
Yunani, 2:2-3:8 = keberdosaan bangsa Yahudi, 3:9-20 = konklusi: keberdosaan
semua manusia. Hal ini juga didukung oleh beberapa rujukan Paulus yang
mengontraskan bangsa Yahudi (2:9-10; 3:9).

Struktur bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut:


Murka Allah bagi manusia yang menindas kebenaran (ayat 18-20)
Penjelasan detail tentang menindas kebenaran (ayat 21-31)
Bagian ini dibagi menjadi tiga berdasarkan paralelisme antara tindakan manusia dan
respon Allah. Respon Allah ini terlihat dari pengulangan frase “Allah menyerahkan
mereka” yang muncul 3 kali (ayat 24, 26, 28).
Mereka mengganti kemuliaan Allah – Allah menyerahkan... (21-24)
Mereka mengganti kebenaran dengan dusta – Allah menyerahkan... (25-27)
Mereka tidak mau mengakui Allah – Allah menyerahkan...(28-31)
Konklusi (ayat 32)

Murka Allah bagi manusia yang menindas kebenaran (ayat 18-20)


Alur pemikiran Paulus dalam bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Murka Allah dinyatakan dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia (18a)

Dosa di atas merupakan tindakan menindas [part. kateco,ntwn] kebenaran (18b)

Karena [dio,ti] Allah telah memberikan pengetahuan ttg diri-Nya (19-20a)

Karena itu [eivj to. + infinitif] mereka tidak dapat berdalih (20b)

Konsep tentang Allah yang murka seringkali dianggap kontradiktif dengan eksistensi
Allah, sehingga menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang. Filsafat Yunani
menganggap Allah yang murka berkontradiksi dengan keilahian-Nya. Marcion sengaja
menghilangkan kata “Allah” dalam bagian ini. C. H. Dodd, salah satu penafsir modern,
bahkan menganggap konsep ini sebagai sesuatu yang kuno. Ia melihat “murka Allah” di
sini tidak lebih daripada sekadar realisasi hukum sebab-akibat yang sifatnya alamiah dan
tidak terkait secara langsung dengan Allah.

Semua pendapat di atas justru berkontradiksi dengan ajaran Alkitab tentang Allah. Sifat
Allah yang selalu benar membuat Ia tidak bisa mentolerir dosa sekecil apapun. Allah
selalu meresponi dosa dengan murka (Kel 4:14; 15:7; 32:10-12; Ul 11:1; Yer 21:3-7).
Respon ini tetap sejalan dengan sifat Allah yang pengasih, karena setelah menyatakan
murka-Nya Ia memberikan anugerah supaya manusia bisa dibebaskan dari murka
tersebut.

Ayat 18-20 memaparkan berbagai aspek dari penyataan murka Allah.


1. Cara murka Allah dinyatakan (18a).
a. Murka Allah dinyatakan dalam kekinian.

33
Tafsir Perjanjian Baru I

Alkitab sering mengajarkan bahwa murka Allah dinyatakan secara futuris pada
jaman akhir (1Tes 1:10). Konsep ini juga sering disinggung Paulus di Rom 2:5, 8;
3:5; 4:15; 5:9; 9:22. Tense present pada kata VApokalu,ptetai (“sedang
dinyatakan”, bdk. NIV ‘is being revealed) bagaimanapun mengindikasikan bahwa
Paulus sedang memikirkan aspek kekinian dari penyataan murka Allah. Murka
Allah memang akan dinyatakan secara total di jaman akhir, tetapi sekarang
manusia juga bisa melihat antisipasi (gambaran nyata) murka tersebut dalam
kehidupan sekarang.
b. Murka Allah dinyatakan melalui tindakan dalam sejarah.
Kata avpokalu,ptw bukan hanya berarti penyataan (pemberitahuan) secara
kognitif kepada pikiran manusia (kontra Barth), meskipun Paulus kadangkala
memakai kata ini dalam arti kognitif (1Kor 2:10; 14:30; Ef 3:5). Penyataan ini
juga bukan sekadar pemberitaan tentang murka dalam pemberitaan Injil (kontra
Cranfield). Penggunaan kata avpokalu,ptw dalam Surat Roma mendukung arti
sebagai pemanifestasian tindakan dalam sejarah. Allah benar-benar menunjukkan
murka-Nya dalam dunia. Ada dua argumentasi yang mendukung arti di atas:
(1) Paralelisme penggunaan kata avpokalu,ptw di ayat 17 dan 18.
Penggunaan kata yang sama dalam dua ayat yang berurutan seperti ini
mengindikasikan bahwa kata tersebut memiliki arti yang sama. Berdasarkan
penggunaan tense perfect pada kata pefane,rwtai di 3:21 (“sekarang
kebenaran Allah tanpa hukum Taurat telah dinyatakan”) yang jelas merujuk
pada karya penebusan Kristus di kayu salib (3:22-25) sebagai penyingkapan
karya keselamatan Allah dalam sejarah, kata avpokalu,ptw di 1:17 sangat
mungkin juga berarti penyataan kebenaran Allah dalam sejarah. Seandainya
tafsiran di atas diterima, maka arti kata avpokalu,ptw di ayat 1:18 juga akan
identik, yaitu penyataan dalam sejarah. Arti ini juga didukung oleh mayoritas
penggunaan kata avpokalu,ptw dalam tulisan Paulus (Rom 2:5; 8:18, 19; 1Kor
1:7; Gal 1:16; 3:23; 2Tes 1:7; 2:3, 6, 8).
(2) Konteks 1:18-32.
Konteks ayat 18-32 secara eksplisit mengindikasikan bahwa penyataan Allah
yang bersifat kekinian diwujudkan dalam bentuk “Allah menyerahkan
manusia pada jalan dosa yang dipilih dengan segala konsekuensinya” (ayat
24, 26, 28). Sikap Allah yang meninggalkan manusia berdosa pada
keberdosaan mereka merupakan salah satu bentuk penghukuman Allah (bdk.
Mzm 81:13; Hos 4:17; Kis 7:42; 14:16).
c. Murka Allah dinyatakan dari surga.
Frase “dari surga” (avpV ouvranou/) bisa menerangkan kata “Allah”, sehingga
terjemahan ayat 18a menjadi “murka Allah yang dari surga dinyatakan”.
Bagaimanapun, semua sarjana dan penerjemah menganggap hal tersebut kurang
lazim. Mereka umumnya melihat sebagai keterangan terhadap avpokalu,ptetai.
Penambahan frase “dari surga” di sini mungkin dimaksudkan untuk menerangkan:
(1) Kemuliaan murka Allah. Dalam arti ini, “dari surga” merujuk pada tempat
Allah (Cranfield). Murka Allah merupakan konsekuensi logis dari
kekudusannya. Seorang pribadi yang tidak marah terhadap suatu
dosa/kejahatan adalah pribadi yang tidak kudus.

34
Tafsir Perjanjian Baru I

(2) Jangkauan murka Allah. Murka Allah ditujukan pada segala sesuatu di bawah
langit (Moo). Dalam arti ini, “dari surga” merujuk pada tempat yang tertinggi,
tetapi tidak selalu berarti tempat Allah berdiam.
2. Objek murka Allah (18b).
Preposisi evpi. (“atas”) dalam ayat 18 menunjukkan objek dari murka. Murka ini
ditujukan pada segala kefasikan dan kelaliman manusia (evpi. pa/san avse,beian kai.
avdiki,an avnqrw,pwn). Para sarjana berbeda pendapat tentang arti kata avse,beian
dan avdiki,an di sini. Beberapa menganggap dua istilah tersebut sebagai sinonim.
Mayoritas sarjana umumnya melihat perbedaan makna dalam dua istilah ini. Pendapat
mayoritas ini tampaknya lebih bisa diterima. Paulus memang kadangkala memakai
dua kata tersebut dalam arti yang sama, tetapi fenomena tersebut tidak berarti bahwa
setiap kali dua kata tersebut muncul maka artinya selalu sinonim. Selain itu,
seandainya dua kata tersebut benar-benar identik, sulit dijelaskan mengapa Paulus
tidak memilih salah satu saja.

Para sarjana yang menganggap dua kata tersebut tidak sinonim juga berbeda pendapat
tentang perbedaan makna yang ada. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor,
perbedaan makna dalam kata avse,beian dan avdiki,an sebaiknya dipahami sebagai
“dosa yang bersifat religius” dan “dosa yang bersifat moral”.
(1) Konteks 1:18-32 menunjukkan perkembangan konsep yang sama. Dosa religius
terhadap Allah (ayat 19-27) akan berdampak pada dosa moral terhadap sesama
(ayat 28-32).
(2) Pemikiran ini juga sesuai dengan konsep Yudaisme di kitab Kebijaksanaan
Salomo yang menjadi latarbelakang pemikiran Paulus di 1:18-32.
(3) Pemikiran ini juga sesuai dengan komposisi Sepuluh Perintah (perintah 1-4 relasi
dengan Allah, sedangkan perintah 5-10 relasi dengan sesama).
Apapun pendapat sarjana tentang perbedaan makna yang ada, inti ayat 18a adalah
murka Allah dinyatakan atas segala macam bentuk dosa manusia. Inti ini dinyatakan
dalam penambahan kata pa/san (“segala”) di depan kata avse,beian dan avdiki,an.
3. Justifikasi bagi murka Allah (18c-20).
Komposisi ayat 18-20 mengindikasikan bahwa fokus pembahasan Paulus terletak
pada justifikasi bagi penyataan murka Allah. Fokus ini dibahas mulai dari ayat 18b
(lihat “menindas kebenaran”) sampai ayat 20 (lihat “mereka tidak dapat berdalih”).
Dengan kata lain, ayat 18-20 sebenarnya hanya menerangkan “menindas kebenaran”.
Fokus ini bahkan juga menjadi inti pembahasan seluruh ayat 18-32. Hal ini
dibuktikan dengan penggunaan frase seperti “sekalipun mereka mengenal Allah”
(ayat 21), “menggantikan kebenaran Allah” (ayat 25), “mengakui Allah” (ayat 28).
Pemikiran ini juga akan dipakai Paulus ketika ia membahas keberdosaan bangsa
Yahudi (2:1, 18, 20). Bangsa Yahudi memiliki kebenaran melalui Taurat, tetapi
mereka menindas kebenaran tersebut, sehingga mereka juga tidak bisa berdalih.

Semua dosa yang dibahas di bagian ini pada dasarnya adalah tindakan menindas
kebenaran. Allah telah menyatakan diri-Nya melalui ciptaan. Wahyu umum ini
seharusnya membuat manusia menyadari eksistensi Allah dan menyembah Dia.
Sebaliknya, manusia justru menyembah ciptaan Allah (ayat 21-27). Mereka juga

35
Tafsir Perjanjian Baru I

menggantikan tatanan alam yang ditetapkan Allah dalam bidang seksual dengan
pilihan mereka sendiri (ayat 28-31). Semua ini membuat mereka tidak bisa berdalih.

Penjelasan detail tentang menindas kebenaran (ayat 21-31)


Seperti sudah disinggung sebelumnya, ayat 21-32 masih berpusat pada inti pembahasan
di ayat 18b, yaitu tentang tindakan menindas kebenaran melalui ketidakbenaran (bdk.
ayat 21, 25, 28). Relasi tersebut juga bisa dilihat dari penggunaan kata sambung dio,ti
(“sebab”) di ayat 21 yang menerangkan alasan mengapa manusia tidak dapat berdalih
(ayat 20).

Mereka mengganti kebenaran dengan berhala – Allah menyerahkan... (21-24)


Bagian ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu diskripsi tentang dosa (ayat 21-23) dan
konsekuensi dari dosa tersebut (ayat 24). Selanjutnya, ayat 21-23 dapat dibagi lagi
menjadi dua bagian utama berdasarkan kata kerja participle yang memulai ayat 21 dan
22. Dua kata kerja participle tersebut diikuti oleh beberapa kata kerja dalam bentuk aorist
indikatif.

Berdasarkan sintaks teks Yunani, struktur bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

→ mereka tidak dapat berdalih (ayat 20)

sebab sekalipun mengenal (participle) Allah

mereka tidak memuliakan (Dia) sebagai Allah


atau
mengucap syukur (kepada-Nya)

sebaliknya,

mereka menjadi sia-sia dalam pikiran mereka


dan
hati mereka yang tidakberpenertian menjadi gelap

(sebab) sekalipun mengklaim (participle) sebagai orang berhikmat

mereka menjadi bodoh


dan
mereka mengganti kemuliaan Allah yang tidak fana
dengan gambaran yang mirip dengan
manusia yang tidak fana
burung-burung
hewan-hewan berkaki empat
hewan-hewan melata

Karena itu (Dio.), Allah menyerahkan mereka dalam hawa nafsu hati kepada kecemaran
sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka

36
Tafsir Perjanjian Baru I

Inti ayat 21-23 adalah penyembahan berhala, seperti dijelaskan secara eksplisit di ayat 23.
Dengan kata lain, ayat 21-23 sebenarnya memberikan penjelasan terhadap penyembahan
berhala.
1. Penyembahan berhala secara esensial adalah respon manusia yang salah terhadap
wahyu Allah (ayat 21a).
Allah telah mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya yang tidak terlihat melalui
ciptaan yang dapat dilihat (ayat 19-20), sehingga manusia bisa mengenal Dia (ayat
21). Pengenalan ini pasti bukan dalam pengertian pribadi (subjektif), karena
pengetahuan pribadi hanya dimungkinkan bagi orang yang percaya (bdk. 1Kor 1:21;
2Kor 5:16; Gal 4:9; Fil 3:8, 10). Pengetahuan yang bersifat objektif ini meliputi
penyataan tentang hikmat, kemahakuasaan dan kebaikan Allah.

Respon yang tepat dari wahyu ini seharusnya adalah memuliakan dan mengucap
syukur kepada-Nya. Kenyataannya, manusia tidak mau meresponi dengan tepat,
sehingga tindakan tersebut dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Konsep ini
juga terlihat dari peristiwa penyembahan anak lembu emas di Kel 32-34. Bangsa
Israel tetap menyebut ‘Allah’ mereka sebagai Yahweh yang telah membebaskan
mereka dari tanah Mesir (Kel 32:4-6), tetapi tindakan mereka tidak tepat, sehingga
dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Pendeknya, pengetahuan tentang Allah
harus tercermin dalam praktek hidup. Kegagalan mengintegrasikan konsep Allah ke
dalam kehidupan nyata pada dasarnya adalah penyembahan berhala.
2. Penyembahan berhala adalah pikiran yang sia-sia (ayat 21b).
Frase ‘pikiran mereka menjadi sia-sia’ sangat mungkin merujuk pada penyembahan
berhala, karena kata mataio,w biasanya dikaitkan dengan penyembahan berhala. Dari
tujuh pemunculan kata kerja mataio,w di LXX, tiga di antaranya terkait dengan
penyembahan berhala (2Sam 17:15; Yer 2:5; 51:17). Kata benda ma,taia juga dipakai
beberapa kali untuk berhala. Perhatian Paulus tampaknya terletak pada aspek kognitif
manusia: dialogismoi/j (“pemikiran”), avsu,netoj (“tidak berpengertian”) dan kardi,a
(“hati”) yang merujuk pada seluruh aspek hidup manusia tetapi secara khusus
merujuk pada sikap mental.
3. Penyembahan berhala adalah tindakan yang bodoh (ayat 22-23).
Orang-orang yang menyembah berhala menyangka bahwa mereka berhikmat, tetapi
mereka sebenarnya bodoh (Yer 10:14; 1Kor 1-3). Manusia lebih memilih ilusi
(gambaran) daripada realita (eksistensi). Mereka lebih memilih yang fana (ciptaan)
daripada yang tidak fana (Pencipta).

Kata sambung dio. (“karena itu”) di awal ayat 24 mengindikasikan konsekuensi dari
tindakan manusia di ayat 21-23. Respon (baca: hukuman Allah) atas mereka adalah Ia
menyerahkan (pare,dwken) mereka dalam hawa nafsu hati mereka terhadap kecemaran.
Tindakan ini tidak berarti bahwa Allah menyebabkan mereka berbuat dosa (Yak 1:13).
Hati mereka sudah penuh dengan hawa nafsu (evn tai/j evpiqumi,aij tw/n kardiw/n
auvtw/n eivj avkaqarsi,an). Tindakan ini juga bukan hanya sekadar bentuk kepasifan
Allah. Dari istilah yang dipakai dan konteks 1:18-32 terlihat bahwa Allah secara aktif
menyerahkan mereka. Allah bukan hanya membiarkan sebuah kapal yang terserang angin
ribut tenggelam, tetapi Ia juga memberi dorongan ke bawah supaya kapal tersebut

37
Tafsir Perjanjian Baru I

tenggelam (Calvin, Moo). Pengertian ini juga lebih sesuai dengan kitab Kebijaksanaan
yang menjadi latar belakang bagian ini. Kebijaksanaan 11:15-16 menulis “sebagai
balasan terhadap pemikiran mereka [bangsa Yunani] yang bodoh dan fasik, yang
menyesatkan mereka ke penyembahan ular-ulat yang tidak rasional dan binatang-
binatang yang tidak layak, Engkau mengirim ke atas mereka sejumlah besar ciptaan-
ciptaan yang tidak rasional untuk menghukum mereka, supaya mereka dapat belajar
bahwa seseorang dihukum melalui hal-hal yang ia pakai untuk berdosa”.

Isu penting seputar hal ini terkait dengan pertanyaan apakah tindakan ini bersifat final
(tidak mungkin ada kemungkinan keselamatan) atau reformatoris (bertujuan untuk
menyadarkan). Pilihan pertama disiratkan dalam terjemahan “give them up” (ASV, KJV,
RSV), sedangkan pilihan kedua dalam terjemahan “give them over” (NIV, NASB). PL
berkali-kali menunjukkan bahwa tindakan Allah menyerahkan umat-Nya ke tangan
musuh mereka atau dosa mereka hanyalah sebuah instrumen untuk mempertobatkan
mereka (Yes 19:22). Hal ini juga sesuai dengan pemikiran Paulus di Gal 3:21-25. Selain
itu, konsep tersebut didukung oleh penggunaan kata kerja paradido,nai di Surat Roma
(8:32; 4:25; 6:17). Jika pendapat ini benar, maka tindakan Allah menyerahkan mereka ke
dalam keberdosaan yang lebih parah bertujuan untuk menyadarkan betapa mereka telah
berdosa, sehingga mereka bisa berbalik pada Allah.

Mereka mengganti kebenaran dengan dusta – Allah menyerahkan... (25-27)


Beberapa versi menerjemahkan permulaan ayat 25 dengan kata sambung “karena” (RSV,
JB, NEB dan LAI:TB). Terjemahan ini diambil dengan pertimbangan bahwa induk
kalimat adalah “Allah menyerahkan mereka..” dan bahwa ayat 25 adalah alasan bagi
tindakan Allah di ayat 24. Pendapat ini tampaknya kurang tepat. Ayat 25 sebaiknya
dipahami sebagai bagian pemikiran baru (NIV). Pertama, ayat 23 sudah memberikan
alasan bagi tindakan Allah yang menyerahkan orang berdosa, sehingga Paulus tidak perlu
membahas ulang di ayat 25. Kedua, Paulus tidak memakai kata sambung ga.r atau dio,ti.
Ketiga, kata oi[tinej di awal ayat 25 biasanya dipakai Paulus untuk menghubungkan satu
kalimat yang independen dari bagian sebelumnya (Rom 1:32; 2:15; Gal 4:24; Fil 3:7).

Struktur ayat 25-27 dapat digambarkan sebagai berikut:


Mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta
dan
[Mereka] menyembah
dan
[Mereka] melayani ciptaan daripada Pencipta
yang adalah terpuji selamanya

Karena itu (Dia.), Allah menyerahkan mereka ke dalam hawa nafsu yang
memalukan
Karena wanita2x mereka menggantikan seksualitas yang
wajar dengan yang tidak
dan
begitu juga laki-laki saling birahi satu sama lain

38
Tafsir Perjanjian Baru I

dengan meninggalkan (participle) seksualitas wajar


dengan wanita2x

melakukan (participle) kemesuman laki-laki dengan laki-laki


dan
menerima (participle) dalam diri mereka balasan
yang setimpal dengan
kesalahan mereka
Mereka tidak mau mengakui Allah – Allah menyerahkan...(28-31)
Mayoritas penerjemah umumnya mengartikan kata sambung kaqw.j secara causal, yaitu
“sebab”. Terjemahan literal dari ayat 28a sebenarnya adalah “dan karena mereka tidak
menganggap layak untuk memiliki Allah dalam pengetahuan mereka” (ASV, KJV).
Penerjemah modern biasanya melihat frase di atas sebagai sebuah ungkapan yang berarti
“tidak mau mengakui Allah”. Hukuman Allah atas tindakan ini adalah menyerahkan
mereka kepada pikiran-pikiran yang tidak layak dengan akibat mereka melakukan hal-hal
yang tidak patut. Selanjutnya “hal-hal yang tidak patut” ini diterangkan dalam tiga
kelompok: (1) di bawah kategori participle peplhrwme,nouj pa,sh| (“dipenuhi oleh
berbagai...”, ayat 29a); (2) di bawah kategori kata sifat mestou.j (“penuh dengan”, ayat
29b); (3) kata sifat + kata benda akusatif (ayat 30-31).

Struktur ayat 28-31 dapat digambarkan sebagai berikut:

Dan karena mereka tidak menganggap layak untuk mengakui Allah

Allah menyerahkan mereka kepada pikiran yang tidak layak

sehingga melakukan hal-hal yang tidak patut

Dipenuhi segala kelaliman,


kejahatan,
keserakahan
dan
kebusukan
Penuh kedengkian,
pembunuhan,
perselisihan,
tipu muslihat
dan
kefasikan

[adalah] pengumpat,
pemfitnah,
pembenci Allah,
kurang ajar,
congkak,
sombong,

39
Tafsir Perjanjian Baru I

pandai dalam kejahatan,


tidak taat kepada orang tua
tidak berakal,
tidak setia,
tidak penyayang,
tidak mengenal belas kasihan

Konklusi (ayat 32)


Fungsi ayat ini sebagai konklusi bagi ayat 18-31 sangat kentara, karena Paulus
mengulang fokus utama bagian ini – yaitu menindas kebenaran (ayat 18) – dengan frase
“sebab sekalipun mereka mengetahui hukum Allah...”. Frase to. dikai,wma tou/ qeou/
(“hukum Allah”) dalam Surat Roma bisa merujuk pada perintah-perintah Musa (2:26),
prinsip hidup Kristiani (8:4) dan kebenaran tindakan Kristus (5:16, 18). Dalam konteks
ini Paulus tampaknya memikirkan semua prinsip moralitas dan religius yang umum.

Ayat ini menimbulkan kesulitan karena Paulus tampaknya menganggap tindakan


menyetujui perbuatan dosa orang lain lebih berdosa daripada melakukan dosa (bdk.
“bukan hanya melakukan, tetapi juga menyetujui mereka yang melakukannya”). Ada
beberapa bukti bahwa menyetujui tindakan dosa memang lebih berdosa daripada
melakukan dosa.
(1) Orang yang melakukan dosa biasanya berada dalam tekanan atau cobaan yang kuat
dalam situasi tertentu, sedangkan mereka yang menyetujui dosa tidak selalu
menghadapi tekanan tersebut.
(2) Mereka yang menyetujui dosa berarti memiliki mentalitas terhadap dosa yang
memang sudah buruk, sedangkan mereka yang melakukannya belum tentu secara
pikiran menyetujui bahwa perbuatannya diperbolehkan.
(3) Mereka yang menyetujui dosa memiliki potensi untuk mempengaruhi opini publik,
sehingga semakin membuka peluang untuk tindakan dosa.

KEBERDOSAAN BANGSA YAHUDI (2:1-3:8)


Setelah menjelaskan bahwa bangsa Yunani berada dalam murka Allah dan mereka tidak
dapat berdalih, Paulus di 2:1-3:8 mengubah target pembicaraan kepada bangsa Yahudi. Ia
juga mengubah gaya penulisan mulai pasal 2. Kalau di 1:18-32 ia menyebut bangsa
Yunani dengan kata ganti orang ketiga jamak (‘mereka’), mulai pasal 2 ia menggunakan
orang kedua tunggal (‘kamu’/’engkau’). Gaya ini merupakan ciri khas diatribe yang biasa
dipakai oleh seorang rabi atau filsuf pada waktu mempertahankan pendapat mereka.

Berikut ini adalah beberapa karakteristik diatribe:


(1) Penggunaan dialog imajiner dengan musuh debat - yang biasanya menggunakan kata
ganti orang kedua tunggal. Perlu diketahui, meskipun dialog ini bersifat imajiner,
tetapi yang disampaikan bisa menyiratkan situasi nyata yang mungkin timbul.
(2) Antisipasi sanggahan dari musuh debat imajiner.
(3) Ungkapan mh. ge,noito\ (LAI:TB menerjemahkan “sekali-kali tidak”, bandingkan
Rom 3:4, 6, 31; 6:2, 15; 7:7, 13; 9:14; 11:1, 11; 1Kor 6:15; Gal 2:17; 3:21; 6:14).
(4) Teguran atau sapaan keras kepada musuh debat, misalnya “engkau tidak dapat
berdalih” (2:1), “Apakah engkau menyadari hal ini?” (2:3).

40
Tafsir Perjanjian Baru I

Dalam 2:1-3:8 Paulus mula-mula menjelaskan hubungan penghakiman Allah dan posisi
bangsa Yahudi sebagai umat pilihan (2:1-16). Ia membuktikan bahwa bangsa Yahudi
berada dalam posisi yang sama dengan bangsa lain di depan penghakiman Allah. Setelah
itu ia menjelaskan keterbatasan sunat dan hukum Taurat dalam melepaskan bangsa
Yahudi dari penghakiman Allah (2:17-29). Dua hal tersebut – sebagai tanda perjanjian –
tidak menjamin bangsa Yahudi bebas dari hukuman Allah. Terakhir, Paulus membahas
isu tentang kesetiaan Allah kepada bangsa Yahudi (3:1-8). Kalau perjanjian memang
tidak menjamin keselamatan bangsa Yahudi, bagaimana Allah bisa disebut setia terhadap
perjanjian-Nya?

BANGSA YAHUDI DAN PENGHAKIMAN ALLAH (2:1-16)


Ayat 1-16 hampir dapat dipastikan terdiri dari 3 bagian besar. Masing-masing bagian
memiliki ciri penulisan yang berbeda. Ayat 1-5 menggunakan dialog imajiner dengan
kata ganti orang kedua tunggal. Ayat 6-16 menggunakan kata ganti orang ketiga jamak.
Mengingat ayat 6-11 membentuk gaya chiastic, dapat dipastikan bahwa ayat 6-16 terdiri
dari dua bagian: ayat 6-11 dan 12-16.

Ayat 1-5 merupakan inti pembahasan Paulus dalam bagian ini, yaitu bahwa bangsa
Yahudi tidak menerima perlakuan khusus dalam penghakiman Allah. Posisi mereka di
hadapan penghakiman Allah adalah sama dengan posisi bangsa Yunani yang melakukan
dosa di 1:18-32. Setelah itu Paulus memberikan argumentasi untuk pandangannya
tersebut, yaitu bahwa penghakiman Allah bersifat tidak memandang bulu (ayat 6-11).
Allah menghakimi manusia secara sama berdasarkan perbuatan mereka. Selanjutnya ia
menjelaskan argumentasi tersebut. Orang yang memiliki Taurat akan binasa dengan
Taurat dan mereka yang tidak memiliki juga akan binasa tanpa Taurat (ayat 12-16).
Memiliki Taurat bukanlah jaminan dalam penghakiman, karena yang paling penting
adalah melakukan Taurat (ayat 12-16). Bangsa Yunani pun sebenarnya memiliki ‘Taurat’
dalam hati mereka, yaitu hati nurani.

Struktur 2:1-16 dapat digambarkan sebagai berikut:

Kritik terhadap asumsi Yahudi tentang dispensasi khusus penghakiman Allah (ayat 1-5)

Penghakiman adalah tanpa memandang bulu: berdasarkan perbuatan (ayat 6-11)

Yang terpenting adalah melakukan Taurat (ayat 12-16)

Kritik terhadap asumsi Yahudi (ayat 1-5)


Isu utama berkaitan dengan bagian ini adalah tentang identitas orang yang menganggap
diri superior (menghakimi orang lain). Sebagian sarjana menduga Paulus ‘menyerang’
semua kaum moralis pada waktu itu, baik Yahudi maupun Yunani (Calvin, Barret, Stott).
Mereka berpendapat bahwa topik tentang Yahudi baru muncul di ayat 17, sedangkan ayat
1-5 memakai sapaan ‘manusia’ (ayat 1, 3). Hal ini diperkuat dengan frase “siapapun
engkau” (ayat 1).

41
Tafsir Perjanjian Baru I

Mayoritas sarjana umumnya menolak identifikasi di atas (Nygren, Cranfield, Murray,


Dunn, Moo). Mereka berpendapat bahwa Paulus sudah memikirkan bangsa Yahudi sejak
ayat pertama, meskipun hal itu baru eksplisit di ayat 17. Target utama Paulus di bagian
ini adalah bangsa Yahudi, walaupun aplikasi inti pembahasan bisa diterapkan pada semua
orang yang menganggap diri superior. Beberapa argumentasi yang mendukung pendapat
ini antara lain:
(1) Pembahasan di ayat 1-5 (terutama ayat 4) sangat sesuai dengan kitab Kebijaksanaan
Salomo 12-15 yang melatarbelakangi pembahasan Paulus sejak 1:18. Dalam Keb Sal
12-15 bangsa Yahudi mengutuk perbuatan dosa bangsa Yunani (terutama
penyembahan berhala yang diaanggap sebagai akar dari dosa seksual) dan
menegaskan bahwa bangsa Yunani pantas mendapat hukuman Allah. Untuk bangsa
Yahudi sendiri mereka beranggapan Allah memperlakukan mereka secara khusus.
Superioritas ini sangat sesuai dengan inti ayat 1-5.
(2) Ayat 6-11 dan 12-16 - yang membahas kesamaan kedudukan bangsa Yahudi dan
Yunani - akan lebih masuk akal jikalau ayat 1-5 berbicara tentang bangsa Yahudi.
(3) Ayat 17 sama sekali tidak mengindikasikan adanya perubahan target pembicaraan.

Kata sambung “karena itu” di 2:1 merujuk balik pada 1:18-20: murka Allah adalah atas
semua manusia, karena mereka telah menindas kebenaran dengan kelaliman (Dunn,
Moo). Sebagaimana bangsa Yunani yang memiliki wahyu umum telah menindas
kebenaran, demikian juga bangsa Yahudi yang memiliki wahyu khusus. Ayat 1-5 secara
konsisten menunjukkan bahwa bangsa Yahudi yang merasa lebih bermoral juga tidak
lepas dari hukuman Allah (terutama ayat 1, 3, 5). Alur pemikiran Paulus tentang
kesalahan asumsi bangsa Yahudi dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Mereka yang menghakimi orang lain tidak lepas dari murka Allah → karena mereka
pada dasarnya menghakimi diri mereka sendiri → karena mereka juga melakukan
dosa-dosa yang sama (ayat 1).
(2) Padahal mereka juga tahu bahwa hukuman Allah atas orang berdosa adalah benar
(ayat 2), tetapi mereka tetap melakukan dosa.
(3) Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa mereka dapat melepaskan diri dari
murka Allah karena posisi mereka sebagai umat Allah (ayat 3). Rasa aman ini adalah
suatu kekeliruan.
(4) Mereka yang merasa aman justru telah memandang rendah kemurahan Allah yang
seharusnya dimaksudkan untuk menuntun pada pertobatan (ayat 4).
(5) Dengan terus-menerus melakukan hal di atas, mereka sebenarnya sedang menimbun
murka Allah pada hari penghakiman (ayat 5).

Ayat 1. Tuduhan Paulus bahwa bangsa Yahudi melakukan dosa-dosa yang sama telah
menimbulkan persoalan. Para sarjana berbeda pendapat tentang jenis dosa yang dimaksud
Paulus di sini. Bukankah bangsa Yahudi pasca pembuangan Babel relatif tidak pernah
terlibat penyembahan berhala? Bukankah mereka juga tidak mempraktekkan pelanggaran
seksualitas yang begitu bobrok? Mengapa Paulus menuduh mereka melakukan dosa-dosa
yang sama di ayat 1:18-32? Barret berpendapat bahwa sikap menghakimi di sini pada
dasarnya sama dengan penyembahan berhala, karena dengan berbuat demikian mereka
telah mengambil hak prerogatif Allah (bdk. 1:23, 25). Dunn dan Moo memahami dosa-
dosa di sini identik dengan di 1:29-31. Pandangan Barret cukup menarik, tetapi tidak

42
Tafsir Perjanjian Baru I

sesuai dengan bentuk jamak ‘hal-hal itu’ (ta. auvta.). Pandangan Dunn dan Moo tidak
sesuai dengan 2:21-22. Deretan dosa bangsa Yahudi yang disebut Paulus di 2:21-22 –
misalnya mencuri, berzinah dan merampok rumah berhala – tidak terdapat dalam 1:29-
31. Deretan dosa tersebut justru mengindikasikan bahwa bangsa Yahudi secara esensial
melakukan dosa yang sama dengan apa yang dilakukan bangsa Yunani, walaupun bentuk
pelanggaran tersebut sedikit berbeda (bdk. Cranfield).

Ayat 2. Frase oi;damen de. (LAI:TB “tetapi kita tahu”) mengindikasikan bahwa apa yang
dikatakan di ayat 2 sama-sama diterima oleh dua pihak, karena Paulus biasanya memakai
frase oi;damen de. atau oi;damen ga,r sebagai pijakan bersama (common ground) dengan
pihak yang ia ajak bicara (Rom 3:19; 7:14; 8:22, 28; 2Kor 5:1; 1Tim 1:8). Hal ini
menunjukkan bahwa orang Yahudi yang melakukan dosa-dosa di ayat 1 (dan 1:18-32)
sebenarnya sudah mengetahui bahwa Allah akan menghukum setiap orang berdosa dan
bahwa penghukuman Allah tersebut adalah adil (terjemahan LAI:TB “berlangsung secara
jujur” kurang tepat, karena frase kata. avlh,qeian seharusnya diterjemahkan “sesuai
kebenaran atau fakta” [dalam arti adil]).

Ayat 3. Pertanyaan retorik Paulus di ayat ini kesalahan konsep bangsa Yahudi tentang
hukuman Allah. Ayat ini sekaligus menjelaskan mengapa mereka tetap melakukan dosa-
dosa (ayat 1) padahal mereka sudah mengetahui bahwa Allah akan menghukum orang
berdosa (ayat 2). Mereka berpikir bahwa mereka dapat melepaskan diri dari murka Allah
karena posisi mereka sebagai umat pilihan. The Psalms of Solomon 15:8 menegaskan
bahwa mereka yang tidak memegang tidak akan lepas dari hukuman Allah, tetapi ‘orang-
orang benar’ akan diperkecualikan.

Ayat 4. Paulus menganggap konsep Yahudi di atas merupakan bentuk penghinaan


terhadap kekayaan anugerah Allah. Dari tiga kata yang dipakai di sini (kemurahan,
kesabaran, kelapangan hati - crhsto,thj avnoch, makroqumi,a), dua di antaranya muncul
di Keb Sal 15:1-2. Setelah penulis Kebijaksanaan Salomo menjelaskan keberdosaan
bangsa Yunani di pasal 12-14, ia mengatakan di pasal 15:1-2 “But thou, our God, art kind
(crhsto.j) and true, patient (makro,qumoj), and ruling all things in mercy. For even if we
sin we are thine, knowing thy power; but we will not sin, because we know that we are
accounted thine” (RSV). Konsep yang hampir sama dapat dilihat di Psalms of Solomon
9-10. Rasa aman yang palsu ini sebenarnya sudah lama ditentang oleh para nabi sebelum
pembuangan. Paulus selanjutnya menjelaskan bahwa kemurahan Allah dimaksudkan
untuk pertobatan. Konsep ini sebenarnya sudah ada di Keb Sal 11:23 “But thou art
merciful to all, for thou canst do all things, and thou dost overlook men's sins, that they
may repent”.

Ayat 5. Paulus menegaskan bahwa sikap bangsa Yahudi di ayat 1-4 hanya akan
menimbun murka Allah di hari penghakiman. Murka ini disebabkan kekerasan
(sklhro,thta,) dan ketidakbertobatan (avmetano,hton) hati mereka. Penggunaan kata
“menimbun” (qhsauri,zw) bersifat ironis, karena kata ini biasanya dipakai untuk hal-hal
yang baik (Ams 1:18; Mat 6:20). Nuansa ironis ini sesuai dengan kontras antara rasa
aman bangsa Yahudi dan kepastian hukuman mereka.

43
Tafsir Perjanjian Baru I

Penghakiman Allah adalah tanpa memandang bulu (ayat 6-11)


Ayat 6-16 merupakan argumentasi Paulus untuk membuktikan bahwa posisi bangsa
Yahudi di hadapan penghakiman Allah adalah sama dengan bangsa lain. Pada bagian
pertama (ayat 6-11) ia menjelaskan bahwa Allah menghakimi tanpa memandang bulu.
Hal ini diulang sebanyak dua kali di ayat 6 dan 11. Tidak ada seorang pun yang
diperlakukan berbeda dalam penghakiman Allah. Allah menghakimi bukan didasarkan
pada faktor keturunan, kebangsaan, kultur maupun agama. Ia menghakimi semua
manusia dengan kriteria yang sama, yaitu perbuatan mereka. Prinsip ini berlaku untuk
bangsa Yahudi maupun bangsa Yunani (ayat 9 dan 10).

Struktur ayat 6-11 adalah chiastic, tetapi intinya terletak di awal dan akhir.
A Allah membalas setiap orang menurut perbuatan-Nya (ayat 6)
B Mereka yang melakukan kebaikan akan memperoleh hidup kekal (ayat 7)
C Mereka yang berbuat jahat akan mengalami murka (ayat 8)
C’ Murka bagi yang berbuat jahat (ayat 9)
B’ Mereka yang berbuat baik akan menerima kemuliaan (ayat 10)
A’ Allah tidak memandang bulu (ayat 11)

Bagian ini secara sekilas berkontradiksi dengan ajaran Paulus yang menentang perbuatan
baik sebagai syarat keselamatan (3:20). Paling tidak ada 10 pendapat yang berbeda untuk
menjelaskan hal ini. Bapa-bapa gereja biasanya mengaplikasikan prinsip ini hanya pada
orang-orang saleh, baik Yahudi maupun Yunani, sebelum kedatangan Kristus. Sebagian
sarjana melihat adanya kemungkinan jalan keselamatan di luar Kristus. Sebagian
menganggap bagian ini hanya sebagai pengandaian, jikalau Kristus tidak datang ke dalam
dunia. Mayoritas sarjana modern sekarang melihat hal ini sebagai rujukan pada orang
Kristen yang dimampukan untuk melakukan perbuatan baik melalui persatuan dengan
Kristus.

Semua pandangan di atas tidak sesuai dengan konteks ayat 6-11. Bagian ini secara
eksplisit memang mengajarkan keselamatan melalui perbuatan baik. Solusi yang paling
tepat adalah dengan melihat hal ini apa adanya. Memang manusia bisa diselamatkan
melalui perbuatan baik. Persoalannya adalah “siapa yang bisa memenuhi kriteria ini?”.
Pembahasan Paulus selanjutnya menunjukkan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa
memenuhi prinsip ini (Hodge, Murray, Moo). Alasan bagi pandangan ini antara lain:
(1) Pandangan ini lebih sesuai dengan inti 1:18-3:8, yaitu “menindas kebenaran”.
Manusia seharusnya hidup sesuai dengan pengetahuan tentang Allah yang mereka
terima – baik wahyu umum (bagi bangsa Yunani, 1:18-32) maupun wahyu khusus
(bangsa Yahudi, 2:1-3:8), namun mereka justru menindas pengetahuan tersebut.
Pengetahuan tersebut seharusnya membawa manusia pada relasi yang benar dengan
Allah, namun mereka tidak mampu hidup menurut pengetahuan tersebut. Prinsip di
Roma 2:6-11 menunjukkan bahwa wahyu Allah tidak salah. Manusialah yang tidak
mampu hidup sesuai dengan wahyu tersebut.
(2) Pandangan ini konsisten dengan inti pembahasan di 2:12-16, yaitu Allah menghakimi
semua orang dengan cara yang sama (berdasarkan respon mereka terhadap wahyu
yang telah diberikan Allah).

44
Tafsir Perjanjian Baru I

(3) Berdasarkan fungsi 1:18-3:20 sebagai introduksi bagi doktrin pembenaran oleh iman,
2:6-11 (juga 2:12-16) memberikan justifikasi kuat bagi doktrin tersebut. Manusia
seharusnya mampu berbuat benar dan dibenarkan, tetapi dosa dalam diri mereka (bdk.
Rom 5, 6 dan 7) menghalangi usaha tersebut. Sebagai konklusi, Paulus
menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memenuhi kriteria ini
(3:9-20). Ketika semua manusia tidak bisa melakukan kebaikan seperti yang dituntut
Allah (Rom 3:9-20), mereka semua juga memerlukan jalan keselamatan yang
sesungguhnya, yaitu melalui iman (Rom 3:21-31).

Ayat 6.
Hubungan ayat 6 dengan bagian sebelumnya terlihat dari penggunaan kata ganti
penghubung {os (lit. “yang”) di awal ayat 6. Terjemahan “Ia” dalam NIV, RSV maupun
LAI:TB sebenarnya harus diterjemahkan “yang” (KJV/ASV/NASB/BBE) dan merujuk
pada “Allah” di ayat 5 (catatan: dalam teks asli, ayat 5 diakhiri dengan kata “Allah” (tou
qeou). Alkitab di bagian lain juga mengajarkan bahwa dalam penghakiman Allah, Ia
melihat perbuatan yang telah dilakukan seseorang (Mzm 62:12; Ams 24:12; Pengkh 1:14;
Hos 12:2; Mat 16:27; 2Kor 11:15; 2Tim 4:14).

Ayat 7.
Ayat 7 merupakan kontras terhadap ayat 8. Kedua ayat ini sama-sama membicarakan
tentang dua kemungkinan hasil dari penghakiman Allah yang berdasarkan perbuatan
(ayat 6): hasil positif – hidup kekal (ayat 7) dan hasil negatif – murka (ayat 8). Kontras
ini terlihat dari pemakaian “men...de...” (men ada di ayat 7, sedangkan de ada di ayat
8), yang biasanya diterjemahkan “di satu sisi...sedangkan di sisi lain...”.

Ayat 7 diterjemahkan secara berbeda oleh para penerjemah. Perbedaan ini dipicu oleh
posisi “hidup kekal” (zwhn aiwnion) di akhir ayat 7 yang tidak begitu jelas (terjemahan
LAI:TB bisa menimbulkan kesan bahwa frase “hidup kekal” terletak di awal ayat 7,
padahal dalam teks aslinya terletak di akhir ayat 7). Secara tata bahasa, ayat 7 bisa
diterjemahkan sebagai berikut:
(1) Kepada mereka yang tekun berbuat baik, mencari kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan, yaitu hidup kekal → hidup kekal menjelaskan kekekalan.
(2) Kepada mereka yang tekun berbuat baik, mencari kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan, hidup kekal → hidup kekal adalah salah satu dari objek yang dicari.
(3) Kepada mereka yang tekun berbuat baik, mencari kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan, [Ia/Allah] akan memberikan hidup kekal → hidup kekal adalah objek
dari tindakan Allah.

Dari tiga kemungkinan di atas, terjemahan #1 lebih baik ditolak, karena frase “hidup
kekal” dan “kekekalan” letaknya tidak berdampingan. Kedua kata ini dipisahkan oleh
kata kerja “mencari” (zhtousin), sehingga frase “hidup kekal” kemungkinan besar tidak
menjelaskan “kekekalan”. Terjemahan #2 juga tidak didukung oleh struktuk kalimat yang
ada. Kata “kemuliaan” (doxan), “kehormatan” (timhn) dan “kekekalan” (afqarsian)
merupakan suatu kesatuan/kesejajaran, yang dihubungkan dengan kata sambung kai
(“dan”) dan ditutup dengan kata kerja zhtousin (“mencari”). Frase doxan kai timhn kai

45
Tafsir Perjanjian Baru I

afqarsian zhtousin di ayat 7 seharusnya diterjemahkan “[kepada] mereka yang mencari


kemuliaan dan kehormatan dan kekekalan”. Dari struktur tersebut terlihat bahwa “hidup
kekal” (zwhn aiwnion) tidak termasuk ke dalam hal-hal yang dicari oleh mereka yang
ada di ayat 7, karena zwhn aiwnion terletak setelah kata kerja zhtousin dan tidak
dihubungkan dengan kata sambung kai. Jadi, terjemahan #3 tampaknya yang paling tepat
mengekspresikan apa yang dimaksud Paulus di ayat ini.

Dalam ayat ini Paulus tidak hanya menekankan perbuatan baik. Inti yang ingin
disampaikan justru terletak pada konsistensi dalam melakukan perbuatan baik.
Konsistensi ini terlihat dari penggunaan kata “menurut ketekunan” (kaq’ {ypomonhn)
yang menerangkan perbuatan baik. Ide tentang konsistensi ini juga tampak dari kata kerja
“mencari” (zhtousin) yang memakai present tense (menunjukkan tindakan yang terus-
menerus dilakukan). Mereka yang “bisa” selamat bukanlah yang sekadar melakukan
perbuatan baik, tetapi yang terus-menerus melakukan perbuatan baik sampai hidup
mereka mencapai standar kekudusan yang diinginkan Allah. Berdasarkan kriteria ini
tentu saja tidak ada seorang pun yang pernah, sedang dan akan hidup di dunia ini yang
mampu selamat berdasarkan perbuatan baik.

Dari hal-hal yang menjadi objek pencarian di ayat ini (kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan), semuanya merujuk pada apa yang akan orang percaya terima di kehidupan
kekal kelak. Kemuliaan dan kehormatan di sini bukanlah hal-hal yang sifatnya kekinian
dan sekuler (misalnya jabatan, kekayaan, gelar, dsb).
(1) Kata “kekekalan” (afqarsia) jelas menunjukkan bahwa kemuliaan dan kehormatan
yang dimaksud Paulus di sini adalah kemuliaan dan kehormatan yang kekal. Kata
afqarsia dalam Perjanjian Baru hanya dipakai oleh Paulus dan itupun hanya sebanyak
7 kali (termasuk Roma 2:7). Dari pemunculan tersebut, empat di antaranya dipakai
Paulus ketika ia membicarakan tentang kehidupan kekal (1Kor 15:42, 50, 53, 54).
(2) Petrus pernah menyinggung “kemuliaan” (doxa) dan “kehormatan” (timh) secara
bersamaan pada saat ia berbicara tentang kedatangan Kristus kedua kali. 1Petrus 1:7b
“sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan (doxa) dan kehormatan
(timh) pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya”.

Ayat 8.
Bagian ini menjelaskan jenis tindakan yang akan membawa hasil negatif dalam
penghakiman Allah berupa murka dan geram. Pertama-tama Paulus menyinggung mereka
yang hidupnya lahir dari kepentingan diri sendiri (ex eriqeias secara literal “keluar dari
kepentingan diri sendiri”). Kata dasar eriqeia muncul 7 kali dalam Perjanjian Baru (Rom
2:8; 2Kor 12:20; Gal 5:20; Flp 1:17; 2:3; 3:14, 16). Dari semua pemunculan ini, kata
eriqeia menyiratkan “kepentingan diri sendiri” Di Filipi 1:17 frase ex eriqeia (bdk. Rom
2:8) dipakai untuk merujuk pada motivasi orang-orang tertentu yang tidak tulus dalam
memberitakan injil. Mereka hanya bermaksud mencapai ambisi mereka sendiri, yaitu
menyusahkan hati Paulus di penjara. Dalam Filipi 2:7 kata eriqeia dikontraskan dengan
sikap pengutamaan orang lain (“dengan tidak mencari kepentingan sendiri [eriqeia] atau

46
Tafsir Perjanjian Baru I

puji-pujian yang sia-sia, sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang
menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”). Dalam konteks Roma
2:8, sikap mementingkan diri sendiri ini dikontraskan dengan sikap mencari kemuliaan,
kehormatan dan kekekalan di Roma 2:7. Dengan kata lain, tindakan di ayat 7 adalah
mencari hal-hal yang di atas (Kol 3:1), sedangkan tindakan di ayat 8 adalah tindakan-
tindakan yang sifatnya sementara (Moo).

Hidup yang didasarkan pada pencarian hal-hal sementara di atas akan berpengaruh pada
sikap hidup yang lain, yaitu tidak menaati kebenaran (apeiqousi th alhqeia), sebaliknya
menaati ketidakbenaran (peiqomenois th alhqeia). Bentuk present tense yang dipakai
dalam kata :menaati” maupun “tidak menaati” menunjukkan bahwa apa yang dilakukan
di ayat ini adalah sebuah gaya hidup. Orang yang tidak peduli terhadap apa yang akan dia
terima dalam kekekalan kekal pasti akan menjalani hidup dengan sembarangan. Paulus
sendiri mengatakan bahwa kalau tidak ada kebangkitan orang mati, ia tidak akan mau
bersusah-payah memberitakan injil. Sebaliknya, ia akan menikmati hidup ini dalam
kesenangan (1Kor 15:32). Petrus juga menyinggung orang-orang yang tidak
mempercayai kedatangan Kristus kedua kali sebagai pengejek-pengejek yang hidupnya
tidak seturut kebenaran (2Pet 3:1-4, 7). Sebaliknya, ia menasehati orang-orang percaya
untuk hidup dalam kekudusan (2Pet 3:11, 14).

Ayat 9-10.
Bagian ini mengulang apa yang telah dijelaskan di ayat 7 dan 8, tetapi dalam urutan yang
terbalik (yang negatif dulu, setelah itu yang positif) supaya tercipta sebuah struktur
chiastic dara ayat 6-11. Bagaimanapun, ayat 9-10 tidak hanya berfungsi untuk mengulang
(dengan demikian juga menegaskan) pemikiran di ayat 7-8. Penambahan dan
pengulangan frase “pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani” di ayat 7 dan 8
menunjukkan bahwa inti yang ingin disampaikan Paulus adalah jangkauan penerapan dari
prinsip yang sudah dia sebutkan di ayat 6 dan jelaskan di ayat 7-8. Prinsip itu berlaku
untuk semua orang. Hal ini selanjutnya akan dibahas Paulus secara lebih mendalam di
ayat 12-16.

Dalam frase di atas, orang Yahudi disebut lebih dahulu daripada orang non-Yahudi. Cara
penyebutan ini pasti memiliki maksud khusus, yaitu untuk menyiratkan situasi yang
ironis. Dalam konteks keselamatan, orang Yahudi disebut pertama kali (Rom 1:16).
Ironisnya, dalam konteks penghakiman, mereka juga disebut pertama kali (Rom 2:9, 10).
Pembalikan urutan penyebutan ini mungkin diarahkan pada kesombongan orang Yahudi
yang merasa lebih baik daripada orang lain.

Ayat 11.
Bagian ini hanyalah pengulangan (penegasan) dari prinsip di ayat 6. Kalau di ayat 6
prinsip itu disampaikan dalam bentuk positif (“Allah membalas setiap orang berdasarkan
perbuatan”), di ayat 11 prinsip itu dinyatakan dalam bentuk negatif (“Allah tidak
memandang bulu). Istilah “memandang bulu” (proswpolhmyia) secara literal berarti
“menerima wajah”. Kata yang muncul sebanyak 4 kali dalam Perjanjian Baru ini (Rom
2:11; Ef 6:9; Kol 3:25; Yak 2:1) menyiratkan sikap menghakimi yang tidak adil dengan
cara memperlakukan seseorang lebih baik daripada orang lain atau menunjukkan

47
Tafsir Perjanjian Baru I

favoritisme (Louw-Nida). Kata ini biasanya diterjemahkan “menunjukkan favoritisme”


(NIV) atau “membeda-bedakan” (RSV/NASB).

Selain sebagai penegasan bagi ayat 6, penggunaan kata sambung gar (“karena”) di ayat
11 menunjukkan bahwa ayat ini juga merupakan alasan bagi ayat 9-10, secara khusus
bagi frase “pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani”. Dengan kata lain,
ayat 11 menjelaskan alasan mengapa semua orang – baik Yahudi maupun Yunani – akan
dihakimi menurut apa yang mereka lakukan, yaitu karena Allah tidak pernah memandang
muka.

Yang terpenting adalah melakukan Taurat (ayat 12-16)


Beberapa sarjana menganggap bagian ini berkaitan dengan bagian selanjutnya (ayat 17-
29), bukan dengan ayat 1-11. Anggapan ini didasarkan pada kesamaan topik tentang
Taurat yang dibahas di ayat 12-16 dan ayat 25-29. Bagaimanapun, ayat 12-16 sebaiknya
dipahami sebagai kelanjutan ayat 1-11.
(1) Topik tentang “penghakiman terakhir” di ayat 16 membentuk inclusio dengan ayat 1-
5.
(2) Ayat 12-16 lebih tepat dipahami sebagai penjelasan ayat 6-11 daripada sebagai
introduksi bagi ayat 17-29. Ayat 12-16 menjelaskan cara kerja dari prinsip
penghakiman di ayat 6-11.

Ayat 12.
Dalam ayat 12 Paulus menjelaskan penghakiman Allah yang tidak memandang muka.
Karena Allah memperlakukan orang secara sama (tidak memandang muka), maka Ia juga
menerapkan prinsip penghakiman yang sama. Penghakiman Allah tidak didasarkan pada
apakah suatu golongan orang memiliki wahyu yang lebih lengkap atau tidak. Setiap
orang akan dihakimi berdasarkan pengetahuan tentang Allah (wahyu) yang sudah
dinyatakan pada mereka. Orang Yahudi akan dihakimi berdasarkan Taurat (wahyu
khusus), sedangkan orang Yunani berdasarkan hati nurani (wahyu umum).

Ayat 13.
Ayat 13-15 selanjutnya menjelaskan alasan bagi pernyataan Paulus di ayat 12 (kata
sambung gar = “karena” di ayat 13 dan 14). Dalam penghakiman Allah, orang Yahudi
yang memiliki hukum Taurat berada dalam posisi yang sama dengan orang Yunani. Ada
dua alasan yang melandasi hal ini. Pertama, orang yang dibenarkan adalah mereka yang
melakukan hukum Taurat (ayat 13). Memiliki hukum Taurat saja tidak akan
membebaskan bangsa Yahudi dari hukuman Allah. Mereka harus melakukan hukum
Taurat (Gal 3:12; bdk. m. ‘Abot 1.17; Mat 7:24-27; Yak 1:19-27). Kenyataannya, bangsa
Yahudi telah gagal menjadi pelaku Taurat (Rom 2:21-23; bdk. Yoh 7:19; Kis 7:53).

Dalam perspektif Paulus, ketaatan terhadap Taurat ini merupakan sesuatu yang mustahil
bisa dicapai oleh bangsa Yahudi, karena ketaatan yang dituntut harus konsisten dan
sempurna (lihat tafsiran Roma 2:7 di bagian sebelumnya). Galatia 3:10b “terkutuklah
orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum
Taurat” (bdk. Ul 27:26 dalam LXX). Galatia 5:2 “ia wajib melakukan seluruh hukum
Taurat”. Tuntutan untuk menaati Taurat secara sempurna juga diajarkan oleh Yesus dan

48
Tafsir Perjanjian Baru I

rasul lainnya. Yesus menyatakan bahwa setiap iota dari hukum Taurat harus digenapi
(Mat 5:17-19). Yakobus mengajarkan bahwa melanggar satu perintah sama dengan
melanggar keseluruhan hukum Taurat (Yak 2:10). Tidak heran, dalam bagian selanjutnya
Paulus menegaskan bahwa semua orang, termasuk orang Yahudi yang memiliki Taurat,
telah berdosa dan berada dalam hukuman Allah (Rom 3:9, 20), karena tidak ada seorang
pun yang bisa memenuhi tuntutan Taurat. Paulus sendiri – yang secara manusia hidupnya
tidak bercela (Gal 1:14; Flp 3:4-6) – mengakui bahwa ia adalah orang yang paling
berdosa (1Tim 1:15).

Ayat 14.
Alasan kedua mengapa orang Yahudi yang memiliki hukum Taurat diperlakukan secara
sama dengan orang Yunani adalah karena bangsa-bangsa lain juga memiliki “hukum
Taurat” yang tertulis dalam hati mereka (ayat 14-15). Dari pengulangan frase “tidak
memiliki hukum Taurat” sebanyak 2 kali di ayat 14 terlihat bahwa Paulus ingin
menekankan hal ini. Maksudnya, mereka memang sungguh-sungguh tidak memiliki
hukum Taurat yang tertulis, tetapi mereka sebenarnya telah menjadi hukum Taurat bagi
diri mereka sendiri.

Di ayat 14 Paulus menyatakan bahwa bangsa-bangsa non Yahudi oleh dorongan diri
sendiri melakukan tuntutan hukum Taurat. Terjemahan “oleh dorongan sendiri” dalam
bahasa Yunani hanya terdiri dari satu kata, yaitu fysis (mayoritas versi Inggris “by
nature” = “secara alamiah”). Dari 11 kali pemunculan kata fysis di Perjanjian Baru, kata
ini merujuk pada tatanan alam sejak penciptaan/kelahiran (Rom 1:26 LAI:TB “wajar”;
2:27 LAI:TB tidak menerjemahkan kata ini; 11:21, 24 LAI:TB “asli”; 1Kor 11:14; Gal
2:15 LAI:TB “menurut kelahiran”; Ef 2:3 LAI:TB “pada dasarnya”; Yak 3:7 LAI:TB
“liar” = “alamiah”) atau hakekat (Gal 4:8; 2Pet 1:4).

Dari arti kata fysis di atas, kita bisa melihat bahwa terjemahan LAI:TB “oleh dorongan
diri sendiri” kurang tepat. Terjemahan ini memberi kesan bahwa manusia sebagai sumber
“hukum Taurat” yang dimaksud Paulus di Roma 2:14. “Hukum Taurat” dalam diri
manusia ini bukanlah keinginan maupun ciptaan manusia. Sebagaimana hukum Taurat
yang tertulis adalah berasal dari Allah, maka “hukum Taurat” dalam hati manusia juga
berasal dari Allah. Hal ini sesuai dengan konteks Roma 1:18-3:8 secara keseluruhan yang
menunjukkan bahwa manusia telah menindas kebenaran (wahyu) Allah (1:18, 19, 21, 25,
32).

Ayat 15.
Di ayat 15 Paulus selanjutnya menghubungkan “hukum Taurat” ini dengan “suara hati”
atau “hati nurani” (syneidhsis). Para sarjana berbeda pendapat tentang apakah hukum
Taurat yang tertulis dalam hati manusia adalah identik dengan hati nurani. Jawaban
terhadap isu ini ditentukan oleh pemahaman seseorang terhadap kata Yunani “turut
bersaksi” (symmartyroushs) di ayat 15. Kata ini terdiri dari dua kata: syn = bersama-sama
dan martyrew = bersaksi. Seandainya kata depan syn di sini memiliki arti khusus, maka
syneidhsis berbeda dengan hukum Taurat (hati nurani turut bersaksi bersama hukum
Taurat yang tertulis dalam hati). Seandainya kata depan syn dalam kata kerja

49
Tafsir Perjanjian Baru I

symmartyrew hanya sekadar sinonim dari martyrew, maka syneidhsis sama dengan
hukum Taurat yang tertulis dalam hati.

Di antara dua pilihan di atas, kemungkinan yang pertama tampaknya lebih bisa diterima
(Schreiner, 123). Dalam Roma 8:16 Paulus memakai kata kerja ini dengan subjek Roh
Kudus dan roh orang percaya. Dalam Roma 9:1 ia juga menyatakan bahwa hati nuraninya
(syneidhsis) turut bersaksi (symmartyrew) dalam Roh Kudus tentang kedukaannya
sehubungan dengan kekerasan hati bangsa Yahudi. Dalam konteks Roma 9:1, hati nurani
yang turut bersaksi ini jelas tidak mungkin merujuk pada hukum Taurat yang tertulis
dalam hati, karena yang disaksikan tidak berkaitan dengan masalah moral. Sebaliknya,
hati nurani ini memang hati nurani Paulus yang dalam Roh Kudus turut meneguhkan
pernyataan Paulus di Roma 9:1. Dalam Roma 13:5 Paulus membedakan antara
pertimbangan teologis dengan hati nurani. Jadi, hati nurani ini berbeda dengan standar
moral dalam hati manusia, tetapi keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu menjaga
tingkah laku manusia.

Seandainya hukum Taurat yang tertulis dalam hati manusia memang berbeda dengan hati
nurani, maka hukum Taurat di sini lebih merujuk pada hukum moral alamiah yang
diberikan Allah kepada semua manusia. Setiap manusia diberi kesadaran moral untuk
menilai suatu tindakan. Supaya hukum ini tetap mengontrol (atau paling tidak
mempengaruhi) hidup manusia, Allah juga memberikan hati nurani dalam diri manusia.
Melalui hati nurani ini, manusia berjuang untuk menaati hukum moral dalam diri mereka.
Pikiran mereka turut meneguhkan tindakan yang sesuai dengan hukum moral atau
menuduh suatu tindakan yang menentang hukum itu.

Keberadaan hukum lain selain hukum Taurat yang tertulis seharusnya tidak asing bagi
orang Yahudi. Bukankah sebelum ada hukum Taurat yang tertulis melalui Musa, Allah
telah memberikan perintah-perintah-Nya secara lisan kepada para leluhur? Allah sendiri
bahkan menyatakan bahwa Abraham telah menaati segala ketetapan dan hukum-Nya (Kej
26:5). Seandainya tidak hukum sebelum hukum Taurat, bagaimana manusia pada waktu
itu bisa membedakan apakah suatu tindakan benar atau salah? Bukankah hukum sekuler
waktu itu juga memiliki kemiripan dalam tingkat tertentu dengan Perjanjian Lama,
misalnya hukum Hammurabi?

Sekalipun setiap manusia diberi hukum moral dan hati nurani, tetapi tidak ada seorang
pun yang bisa diselamatkan. Situasi ini diindikasikan melalui beberapa cara: (1) Roma
2:12, sebagai inti dari Roma 2:13-16, menyatakan “semua orang yang berdosa tanpa
hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat”. Di Roma 3:9-18 Paulus menandaskan
bahwa semua orang tanpa terkecuali, termasuk orang Yunani (terutama Rom 3:9), telah
berdosa dan layak dimurkai; (2) dalam frase “pikiran mereka saling menuduh dan
membela” di ayat 15, “menuduh” diletakkan di depan lebih dahulu untuk menyiratkan ide
bahwa hati nurani dan pikiran manusia lebih banyak menuduh daripada membela
(Cranfield, Moo, Dunn, Schreiner).

Ada beberapa alasan mengapa tidak ada orang Yunani yang mampu menaati hukum
moral dan hati nurani.

50
Tafsir Perjanjian Baru I

(1) Manusia dikuasai oleh dosa, sehingga sekalipun mengetahui apa yang baik, mereka
tetap tidak mampu memilih dan melakukan yang baik tersebut. Kain dan Petrus sama-
sama sudah diperingatkan tentang tipu daya iblis dan dosa, tetapi mereka tetap tidak
berkuasa mengatasi godaan itu (Kej 4:6-7; Mat 26:34//Mar 14:30//Luk 22:34).
Gambaran paling jelas dari ketidakmampuan ini tercermin dalam pengalaman Paulus
di Roma 7:14-17. Dalam konteks ini, Paulus mengetahui apa yang baik menurut
hukum Taurat, tetapi dia tetap cenderung memilih yang salah.
(2) Hati nurani manusia telah tercemar oleh dosa dan perlu diperbarui oleh Allah (1Tim
4:2; Ibr 9:14; 10:22). Nilai moral dan suara hati nurani lebih banyak ditentukan oleh
pandangan hidup manusia yang, sayangnya, juga telah tercemar oleh dosa. Lamekh,
keturunan Kain, membanggakan keberdosaannya (Kej 4:23-24). Manusia juga
seringkali menilai suatu tindakan sebagai tindakan yang benar, tetapi kenyataannya
hal itu justru merupakan pemberontakan terhadap Allah. Dalam Roma 10:2-3 Paulus
menyinggung bangsa Yahudi yang giat untuk Tuhan tetapi tanpa pengetahuan yang
benar (bdk. Yoh 16:2). Paulus sendiri dulu adalah tipikal orang seperti ini (Kis 8:1-3;
1Kor 15:9; Gal 1:13). Keadaan menjadi semakin parah karena mereka yang terus
memberontak kepada Allah diserahkan Allah pada hati dan pikiran yang jahat (Rom
1:21, 24, 26, 28).

Ayat 16.
Para sarjana memperdebatkan hubungan antara ayat ini dengan bagian sebelumnya.
Mereka mengalami kesulitan melihat kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya.
Hubungan ini tampak problematis karena “menuduh dan membela” di ayat 15 merujuk
pada masa kini, sedangkan ayat 16 sekilas merujuk pada penghakiman terakhir.

Untuk menjelaskan masalah di atas, sebagian sarjana menganggap ayat ini adalah sisipan
yang dilakukan oleh seorang penyalin atau editor Surat Roma. Sebagian yang
menganggap ayat 16 berhubungan dengan ayat 13, sedangkan ayat 14 dan 15 hanyalah
sisipan. Sarjana lain menolak ide tentang penghakiman terakhir di ayat 16. Kata kerja
present “menghakimi” (krinei) di ayat 16 dianggap merujuk pada pemberitaan injil Paulus
yang berfungsi sebagai hakim bagi hati nurani manusia.

Usulan yang paling tepat adalah dengan melihat ayat 16 sebagai kelanjutan dari ayat 15.
Kedua ayat ini sama-sama menyiratkan ide tentang penghakiman (ayat 15 “menuduh dan
membela”, ayat 16 “menghakimi”). Selain itu, kedua ayat ini juga sama-sama
menyinggung apa yang ada dalam diri manusia (ayat 15 “hati nurani”, ayat 16 “hal-hal
yang tersembunyi dalam diri manusia”).

Ayat 16 berfungsi untuk menunjukkan bahwa penghakiman Allah bersifat komprehensif.


Penghakiman ini mencakup segala aspek (baik tindakan maupun mativasi manusia).
Penghakiman ini juga berlaku untuk bangsa Yahudi maupun Yunani. Perbedaan antar
bangsa bukanlah halangan bagi Allah untuk menghakimi secara adil (ayat 6, 11), karena
Allah mengetahui kedalaman hati setiap manusia.

Dengan karakteristik seperti ini, tidak ada seorang pun yang mampu selamat dari
penghakiman Allah. Ketaatan kepada Taurat yang dilakukan orang Yahudi secara

51
Tafsir Perjanjian Baru I

lahiriah belum tentu membuat seseorang benar di hadapan Allah, karena Allah juga
melihat motivasi di balik ketaatan itu. Yesus beberapa kali menegur kesalehan orang
Farisi yang dianggap sebagai kemunafikan, karena hanya ingin dipuji manusia (Mat
23:5a). Bagi orang Yunani, karakteristik penghakiman ini juga memungkinkan Allah
untuk melihat kualitas hati nurani mereka. Dalam hal ini, Allah pasti akan mengetahui
kecemaran hati mereka.

KETERBATASAN PERJANJIAN (ROMA 2:17-29)


Gaya diatribe yang kembali dipakai dalam bagian ini mengindikasikan bahwa ayat 17-29
merupakan pemikiran yang baru. Relasi bagian ini dengan bagian sebelumnya yang tidak
terlalu eksplisit telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sarjana.
Pendapat yang paling memungkinkan adalah menghubungkan bagian ini dengan ayat 1-
16 secara umum. Setelah menyatakan bahwa bangsa Yahudi juga berada dalam murka
Allah (ayat 1-5) dan memberikan alasan untuk pernyataan tersebut (ayat 6-16), Paulus
sekarang membahas hal yang lebih mendasar, yaitu status bangsa Yahudi sebagai umat
perjanjian. Bukankah posisi ini cukup menjadi alasan bagi jaminan keselamatan bangsa
Yahudi? Untuk menjawab isu ini, Paulus secara khusus membahas dua tanda perjanjian,
yaitu Taurat (ayat 17-24) dan sunat (ayat 25-29). Ia membuktikan bahwa status khusus –
yang ditandai dengan Taurat dan sunat – tidak membawa pengaruh apa-apa dalam
penghakiman Allah.

KETERBATASAN TAURAT (ROMA 2:17-24)


Bagian ini terdiri dari dua bagian besar. Pertama, Paulus memaparkan hak-hak istimewa
bangsa Yahudi, meskipun hal itu disampaikan dalam bahasa sindiran (ayat 17-20).
Kedua, Paulus menunjukkan bahwa bangsa Yahudi justru telah melakukan perbuatan
yang berkontradiksi dengan ‘kelebihan-kelebihan’ di atas (ayat 21-24).

Dalam ayat 17-20 Paulus menggunakan 6 kata kerja indikatif dan beberapa participle
yang menerangkan sebagian kata kerja indikatif yang ada. Selanjutnya Paulus mengecam
bangsa Yahudi dengan menggunakan 4 pertanyaan retorik di ayat 21-22. Terakhir, Paulus
memberikan konklusi dari apa yang sudah dituduhkan (ayat 23-24). Berdasarkan
fenomena ini, ayat 17-24 dapat dibagi sebagai berikut:

Jika kamu menganggap diri Yahudi


bersandar kepada hukum Taurat
bermegah dalam Allah
mengetahui kehendak-Nya
mengetahui apa yang baik dan jahat
karena telah diajar dalam hukum Taurat
yakin bahwa kamu adalah penuntun orang buta
terang bagi mereka yang dalam kegelapan
pendidik orang bodoh
pengajar orang yang belum dewasa
karena dalam Taurat kamu memiliki pengetahuan dan kebenaran

Jadi, engkau yang mengajar orang lain → tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri?

52
Tafsir Perjanjian Baru I

engkau yang melarang mencuri → mengapa engkau sendiri mencuri?


engkau yang melarang zinah → mengapa engkau sendiri berzinah?
engkau jijik dengan penyembahan berhala → mengapa engkau merampok kuil?

Konklusi: engkau bermegah dalam Taurat, tetapi engkau sendiri melanggarnya

Asumsi kelebihan bangsa Yahudi (ayat 17-20)


Menganggap diri Yahudi. Kata evponoma,zh| dalam PB hanya muncul di sini. Di LXX
kata ini muncul sebanyak 36 kali dalam bentuk aktif. Bentuk middle-pasif di sini
mungkin berarti “menyandang nama” (ASV), “disebut sebagai” (NKJV) atau
“memanggil dirimu sebagai” (NIV, RSV, LAI:TB). Nama “Yahudi” pada waktu itu
menunjukkan status khusus yang dinikmati bangsa Israel, sebagai perbedaan dengan
bangsa-bangsa lain (bdk. 1:16; 2:9, 11). Jadi, frase su. VIoudai/oj evponoma,zh|
mengindikasikan status keagamaan khusus yang dimiliki oleh mereka yang termasuk ke
dalam umat perjanjian.

Bersandar pada Taurat. Memiliki Taurat merupakan berkat khusus dari Allah (3:2; 9:4),
tetapi bersandar pada Taurat dalam penghakiman merupakan kesalahan besar. Menaati
Taurat adalah baik, tetapi bukan melalui perbuatan, tetapi iman (bdk. 9:32). Moo (159-
160) membandingkan sikap ini dengan teguran nabi Mikha di Mikha 3:11 “padahal
mereka bersandar kepada TUHAN dengan berkata: "Bukankah TUHAN ada di tengah-
tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!”.

Bermegah dalam Allah. Bermegah tidak selalu berarti negatif (sombong), terutama jika
dikaitkan dengan Allah/hal-hal rohani sebagai dasar kemegahan (Yer 9:23-24; 1Kor 1:31;
2Kor 10:7). Paulus sangat mungkin sedang memikirkan Psalms of Solomon 17:1 “Tuhan,
engkau adalah raja kami selama-lamanya, karena dalam engkau, Ya Allah, jiwa kami
bermegah”. Permasalahan di sini adalah pada dasar keyakinan yang salah. Bangsa
Yahudi menganggap mereka perlu bermegah dalam Allah karena perbuatan mereka (bdk.
3:27; 4:2).

Mengetahui kehendak-Nya. Frase ginw,skeij to. qe,lhma secara literal berarti “engkau
mengetahui kehendak itu”, tetapi terjemahan mayoritas EV’s “engkau mengetahui
kehendak-Nya” juga bisa dibenarkan. Pemakaian artikel di depan kata kehendak (to.
qe,lhma) merupakan bentuk absolut yang umum bagi bangsa Yahudi untuk merujuk pada
kehendak Allah (1QS 8:6; 9:23; 1Kor 16:12).

Mengetahui apa yang baik dan yang jahat. Frase dokima,zeij ta. diafe,ronta bisa
ditafsirkan dalam beberapa cara. Hal ini terkait dengan arti kata dokima,zw dan diafe,rw
yang memang beragam. dokima,zw bisa berarti menyetujui, menguji, menyetujui,
membuktikan, dll. diafe,rw dalam bentuk intransitif bisa berarti menjadi lebih layak,
lebih superior atau berbeda.
(1) dokima,zeij ta. diafe,ronta berarti “menyetujui hal-hal yang terbaik” (Murray, Moo).
(2) dokima,zeij ta. diafe,ronta berarti “membedakan hal-hal yang berbeda [dari kehendak
Allah]”. Dengan kata lain, “membedakan apa yang jahat dan yang baik (NEB,
LAI:TB, Hodge).

53
Tafsir Perjanjian Baru I

(3) dokima,zeij ta. diafe,ronta berarti “membedakan hal-hal yang sungguh-sungguh


penting” (Kasemann, Cranfield, Dunn).
Pilihan yang lebih memungkinkan adalah poin (1) atau (3). Pilihan ini tersirat dalam
mayoritas EV’s “approve things that are superior/excellent”. Apapun arti yang tepat dari
dokima,zeij ta. diafe,ronta, frase ini tetap mengindikasikan kelebihan bangsa Yahudi
daripada bangsa lain dalam hal mengenal kehendak Allah.

Bentuk participle pasif kathcou,menoj di frase kathcou,menoj evk tou/ no,mou harus
dipahami sebagai participle of cause yang memberikan suatu alasan (LAI:TB “karena
diajar dalam Taurat”). NEB menganggap frase ini hanya menerangkan dokima,zeij ta.
diafe,ronta, tetapi hampir semua sarjana mengaitkan hal ini dengan ginw,skeij to. qe,lhma
dan dokima,zeij ta. diafe,ronta.

Yakin bahwa mereka adalah penuntun bangsa-bangsa lain. Bangsa Yahudi menganggap
diri mereka mengemban tugas untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada kebenaran
melalui ketaatan kepada Taurat. Ungkapan “penuntun orang buta” dan “terang bagi
mereka yang dalam kegelapan” menyiratkan nuansa misi dalam ayat ini (bdk. Yes 42:6-
7; 49:6; bdk. Mat 23:15). Ungkapan “pendidik orang bodoh” dan “pengajar orang yang
belum dewasa” mungkin merujuk pada fase follow up setelah aktivitas misi.

Frase “karena engkau memiliki kegenapan pengetahuan dan kebenaran dalam Taurat”
(e;conta th.n mo,rfwsin th/j gnw,sewj kai. th/j avlhqei,aj evn tw/| no,mw|) menerangkan
alasan mengapa bangsa Yahudi memiliki keyakinan di ayat 19-20a. Frase ini juga
berguna untuk menunjukkan bahwa dosa bangsa Yahudi di ayat 21-22 bisa dikategorikan
sebagai “menindas kebenaran”, karena mereka sudah memiliki pengetahuan dan
kebenaran.

Sanggahan terhadap asumsi sebelumnya (ayat 21-22)


Pertanyaan retorik pertama merupakan sanggahan inti. Hal ini selanjutnya diterangkan
dengan tiga pertanyaan retorik lainnya. Dengan kata lain, tiga pertanyaan retorik terakhir
merupakan contoh dari pertanyaan pertama. Bangsa Yahudi yang menganggap diri
sebagai pengajar Taurat ternyata malah menjadi pelanggar Taurat (ayat 21).

Teguran Paulus di sini sebenarnya bukanlah ajaran yang baru (bdk. Mzm 50:16-21; ‘Abot
R. Nat 29[8a]; Mat 23:3). Para rabi sendiri mengakui eksistensi para pengajar Taurat
yang memiliki cara hidup berbeda dengan yang mereka ajarkan. Beberapa contoh yang
mereka berikan bahkan sama dengan tuduhan Paulus di ayat 21-22. Keunikan konsep
Paulus adalah bahwa ia mengaplikasikan hal ini pada semua bangsa Yahudi (bukan hanya
pada pengajar Taurat). Hal ini tentu saja membawa permasalahan, karena tidak semua
orang Yahudi melakukan dosa seperti yang dituduhkan. Solusi terhadap masalah ini
adalah dengan menganggap Paulus sedang memikirkan pemahaman yang radikal
(esensial) tentang Taurat (bdk. Mat 5:21-48). Dari perspektif ini, semua orang pasti patut
dikategorikan sebagai pelanggar Taurat.

Isu utama bagian ini terkait dengan pengertian “merampok kuil” (i`erosulei/j). Ada tiga
pandangan utama berkenaan dengan hal ini:

54
Tafsir Perjanjian Baru I

(1) Mayoritas sarjana memahami i`erosulei/j sebagai rujukan pada sikap bangsa Yahudi
yang semakin toleran terhadap penggunaan barang-barang curian dari kuil berhala
(Godet, Murray, Kasemann, Dunn, Moo). Tindakan ini tentu saja berkontradiksi
dengan sikap mereka yang menentang penyembahan berhala.
(2) Sebagian mengaitkan dengan kelalaian bangsa Yahudi dalam membayar bea bait
Allah. Pelanggaran ini bukanlah sesuatu yang asing pada waktu itu (Psalms of
Solomon 8:11-13; T. Levi 14:5). Dengan tidak membayar bea, mereka sebenarnya
telah merampok bait Allah (Hodge).
(3) Sebagian melihat hal ini sebagai pelanggaran-pelanggaran umum terhadap hal-hal
yang keramat (Calvin, Barret, Cranfield). Argumentasi yang biasa dipakai adalah
tulisan Philo yang menyebut pembunuh sebagai i`erosuli,a, dalam arti ia telah
mengambil milik Allah yang paling berharga (jiwa manusia). Catatan lain adalah
2Mak 13:6 dan Kis 19:37 yang memakai istilah tersebut tanpa mengaitkannya dengan
pencurian barang-barang kuil.
Poin (1) terlihat membuat kontras yang sesuai dengan ayat 22b (mengecam penyembahan
berhala tapi mengambil keuntungan di dalamnya), sedangkan poin (2) memiliki catatan
historis yang mendukung. Bagaimanapun, dua tafsiran ini kurang sesuai dengan
pemakaian yang umum dari kata i`erosulw. Pandangan terakhir tampaknya paling
memungkinkan. Satu-satunya ‘kelemahan’ pandangan ini adalah bahwa arti i`erosulw di
sini tidak membuat kontras yang sesuai dengan ayat 22. Sanggahan ini sebenarnya tidak
terlalu tepat. Poin (3) tetap membuat kontras yang sesuai: sebagaimana bangsa Yahudi
mengecam penyembahan berhala sebagai pelanggaran terhadap hal-hal yang sakral,
mereka ternyata juga menjadi pelanggar yang sama, meskipun bentuk konkret
pelanggaran tersebut berbeda. Pelanggaran mereka tetap dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap hal-hal yang sakral.

Konklusi: mereka yang mengagungkan Taurat ternyata justru telah memalukan


nama Tuhan (ayat 23-24)
Mayoritas versi mengambil ayat 23 sebagai kalimat pertanyaan (LAI:TB, KJV, NASB,
RSV, NIV). Ayat ini dianggap sebagai kelanjutan dari rangkaian pertanyaan retorik
sebelumnya. Bagaimanapun, ayat 23 sebaiknya dipahami sebagai kalimat pernyataan
(NA27, NEB, JB).
(1) Konstruksi kalimat o]j + kata kerja indikatif berbeda dengan ayat 21-22 yang
memakai konstruksi o` + participle.
(2) Penjelasan di ayat 24 lebih masuk akal jikalau ayat 23 berupa kalimat pernyataan.
Perubahan sintaks di ayat 23-24 mengindikasikan bahwa bagian ini merupakan pemikiran
baru. Bagian ini lebih tepat dianggap sebagai konklusi bagi ayat 17-22. Orang Yahudi
yang bermegah atas Taurat dan menganggap diri sebagai penuntun bangsa-bangsa lain
ternyata justru menjadi penyebab nama Allah dihujat oleh bangsa-bangsa lain. Mereka
yang bermegah atas Allah dan Taurat justru telah menghina Allah dengan cara melanggar
Taurat.

Untuk mendukung pernyataannya di ayat 23, Paulus mengutip Yes 52:5 sebagai alasan
(bdk. ga.r). Apa yang dituduhkan di ayat 21-22 pada dasarnya sama dengan yang
dilakukan bangsa Yehuda pada jaman Yesaya. Kemalangan bangsa Yehuda – sebagai
akibat dari pelanggaran dan dosa mereka – telah menjadi bahan cemoohan bagi bangsa

55
Tafsir Perjanjian Baru I

lain. Hal ini terkait dengan pola pikir kuno yang menganggap kemalangan suatu bangsa
identik dengan ketidakberdayaan ‘allah’ yang disembah bangsa tersebut.

KETERBATASAN SUNAT (ROMA 2:25-29)


Dalam bagian ini Paulus membahas tanda perjanjian yang lain, yaitu sunat (bdk. Kej 17).
Signifikansi praktek sunat pada jaman Paulus merupakan sesuatu yang sangat ditekankan.
Penghinaan dan penganiayaan kepada bangsa Yahudi yang bersunat pada jaman
pemerintahan Yunani justru telah menimbulkan loyalitas yang semakin besar terhadap
praktek sunat. Bangsa lain yang ingin disebut sebagai proselit sejati dituntut untuk
menyunatkan diri. Tulisan Yudaisme yang lebih kemudian bahkan mengklaim bahwa
tidak ada orang bersunat yang akan pergi ke neraka.

Penjelasan Paulus di bagian ini secara esensial sama dengan yang di ayat 17-24, yaitu
pentingnya perbuatan. Ia menjelaskan bahwa sunat tidak memiliki signifikansi apa-apa
jika tidak disertai dengan ketaatan terhadap Taurat (ayat 25). Sebaliknya, bangsa lain
yang secara fisik tidak bersunat bisa disebut sebagai orang yang bersunat apabila mereka
melakukan tuntutan Taurat (ayat 26). Bangsa lain ini bahkan akan menjadi hakim atas
mereka yang bersunat secara fisik tetapi tidak memenuhi tuntutan Taurat (ayat 27). Ayat
28-29 merupakan alasan (bdk. ga.r di ayat 28) bagi pandangan Paulus di ayat 25-27. Alur
pemikiran Paulus dapat digambarkan sebagai berikut:

Inti: sunat berguna jika disertai dengan ketaatan kepada Taurat (ayat 25a)
Implikasi (ayat 25b-27)
Bangsa Yahudi yang melanggar Taurat tidak mendapat manfaat sunat (ayat 25b)
Bangsa lain yang menaati Taurat dianggap bersunat (ayat 26)
Bangsa lain yang menaati Taurat akan menghakimi bangsa Yahudi (ayat 27)
Argumentasi: Allah melihat yang tidak kelihatan (ayat 28-29)

Inti: sunat berguna jika disertai dengan ketaatan kepada Taurat (ayat 25a)
Para sarjana berbeda pendapat tentang maksud Paulus di ayat ini. Apakah Paulus
sungguh-sungguh mengakui manfaat sunat? Apakah batasan ‘ketaatan kepada Taurat’ di
sini? Pertanyaan pertama tidak terlalu sulit dijawab, karena pada bagian lain Paulus juga
menegaskan kegunaan sunat (3:1-2). Berdasarkan konteks 2:17-29 dan 3:1-8, kegunaan
sunat di sini harus dipahami dalam hubungan dengan penghakiman dan keselamatan.
Sunat memang berguna dalam relasi dengan Allah, karena hal itu diperintahkan oleh
Allah sebagai tanda perjanjian. Permasalahannya adalah kegunaan itu tidak bersifat
magis. Sunat per se tidak membawa manfaat, karena sunat sebenarnya adalah tanda
seseorang menjadi umat Allah. Inti dari sunat adalah gaya hidup yang sesuai dengan
status sebagai umat perjanjian. Dengan kata lain, sunat bukanlah substitusi bagi ketaatan
kepada Allah.

Pertanyaan terakhir biasanya dipahami dalam dua cara.


(1) Ketaatan di sini merujuk pada kesungguhan hati dan ketulusan motivasi dalam
menaati Taurat (Murray, Cranfield).
(2) Ketaatan di sini merujuk pada kesempurnaan hidup (Calvin, Hodge, Bruce, Moo).

56
Tafsir Perjanjian Baru I

Jika pandangan pertama benar, maka ayat ini mengajarkan kemungkinan kegunaan sunat
dalam penghakiman jika itu disertai dengan kesungguhan hati. Pandangan ini didukung
oleh konteks dekat 2:25-29. Pertama, Ayat 26-27 menyiratkan bahwa ketaatan kepada
Taurat merupakan hal yang mungkin dicapai. Kedua, kesungguhan hati ini sesuai dengan
ayat 28-29.

Bagaimanapun, pandangan kedua tampaknya lebih bisa diterima. Pertama, PL bukan


hanya menuntut ketaatan yang sungguh-sungguh, tetapi ketaatan yang sempurna. Ul
27:26 “seluruh perkataan hukum ini”. Gal 3:10 “Karena semua orang, yang hidup dari
pekerjaan hukum Taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang
yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat."” dan
Gal 5:3 “Sekali lagi aku katakan kepada setiap orang yang menyunatkan dirinya, bahwa
ia wajib melakukan seluruh hukum Taurat”. Kedua, konteks selanjutnya menunjukkan
bahwa baik bangsa Yahudi maupun Yunani tidak ada yang bisa mendapatkan manfaat
dari konsep ini (3:9-20). Ketiga, pertanyaan bangsa Yahudi tentang manfaat sunat di 3:1
akan lebih masuk akal jikalau Paulus sebelumnya telah menentang kegunaan sunat.

Implikasi (ayat 25b-27)


Implikasi pertama terkait dengan bangsa Yahudi. Mengingat sunat – sebagai tanda
perjanjian - hanya akan berguna jikalau disertai ketaatan yang sempurna, pelanggaran
bangsa Yahudi (2:17-24) membuktikan bahwa sunat mereka tidak ada gunanya. Dengan
demikian mereka sebenarnya bukanlah umat perjanjian (bukan orang Yahudi yang sejati),
karena tanda perjanjian tersebut telah kehilangan maknanya.

Implikasi kedua dari ayat 25a adalah bahwa semua orang dari bangsa lain yang sanggup
memenuhi tuntutan Taurat adalah bangsa Yahudi yang sejati. Meskipun mereka tidak
sunat secara fisik, tetapi mereka memenuhi konsekuensi sunat, yaitu ketaatan.

Implikasi terakhir benar-benar pemikiran yang radikal. Bangsa Yahudi percaya bahwa
orang benar akan menghakimi orang fasik (1Kor 6:2; 1Enoch 91:12; 98:12; Apoc. Abr
29:19-21; Wis 3:8), tetapi mereka selalu menempatkan diri mereka sendiri sebagai orang
yang akan menghakimi, sedangkan bangsa lain sebagai orang fasik. Pandangan Paulus di
sini sangat mungkin berakar dari ajaran Yesus (Mat 12:41-42; Luk 11:31-32).
Penghakiman di sini bisa merujuk pada status bangsa Yunani yang ditunjuk Allah
sebagai hakim atas bangsa Yahudi, tetapi kemungkinan besar ayat ini berarti bahwa
ketaatan bangsa Yunani sendiri telah menjadi hakim atas ketidaktaatan bangsa Yahudi.

Perdebatan para sarjana tentang ayat 27 biasanya terfokus pada fungsi preposisi dia.
dalam frase dia. gra,mmatoj kai. peritomh/j (LAI:TB menerjemahkan “kamu yang
memiliki hukum tertulis dan sunat”). Sebagian sarjana mengambil arti dia. yang lebih
umum, yaitu ‘melalui’ (instrumental). Jika ini benar, maka ayat 27 diterjemahkan
“...menghakimi engkau yang melalui hukum tertulis dan sunat adalah pelanggar hukum”.
Terjemahan ini menunjukkan bahwa hukum tertulis dan sunat merupakan
sarana/penyebab mereka menjadi pelanggar hukum. Mereka umumnya melihat ayat ini
sebagai rujukan pada pemahaman tentang Taurat yang hanya sampai pada aktivitas ritual
dan tindakan superficial. Dengan kata lain, dosa bangsa Yahudi di sini adalah kegagalan

57
Tafsir Perjanjian Baru I

mereka dalam menaati Taurat secara sungguh-sungguh dalam hati mereka dan bukan
hanya praktek keagamaan yang eksternal. Anggapan ini terkesan lebih sesuai dengan ayat
28-29.

Pandangan di atas tidak sesuai dengan inti pembicaraan Paulus di pasal 2. Tuduhan
Paulus tidak terletak pada praktek keagamaan yang superficial, tetapi pada
ketidakmampuan bangsa Yahudi dalam menaati Taurat. Berdasarkan pertimbangan ini
mayoritas penerjemah mengambil dia. sebagai attendant circumstances yang berarti
“dengan” (ASV) atau “bahkan” (NIV, NKJV). Jadi, ayat 27 seharusnya diterjemahkan
“..menghakimi engkau yang walaupun dengan (memiliki) hukum tertulis dan sunat adalah
pelanggar hukum”.

Argumentasi: Allah melihat yang tidak kelihatan (ayat 28-29)


Kata sambung ga.r mengindikasikan bahwa ayat 28-29 merupakan alasan bagi bagian
sebelumnya. Ayat 28-29 berbentuk paralel:
A Karena bukan orang Yahudi yang lahiriah yang disebut Yahudi
B atau sunat lahiriah yang disebut sunat
A tetapi orang yang batiniah yang disebut Yahudi
B dan sunat yang dalam hati, dalam Roh, bukan menurut huruf, yang disebut sunat
Allah tidak melihat sesuatu secara superficial (dari segi eksternal). Perbuatan memang
menjadi kriteria penghakiman Allah (ayat 6-11), tetapi perbuatan tersebut terkait dengan
hati manusia yang paling dalam. Penekanan pada aspek batiniah di sini merupakan
kritikan terhadap sikap bangsa Yahudi yang cenderung mengagungkan hal-hal yang
lahiriah, misalnya hukum Taurat yang tertulis, sunat, kebangsaan, dll.

Pemikiran Paulus di sini sebenarnya bukan merupakan ajaran yang baru. PL berkali-kali
menekankan perlunya sunat secara rohani (Ul 10:16; Yer 4:4). Tulisan Yahudi bahkan
menyiratkan pengharapan bahwa Allah akan menyunatkan setiap hati bangsa Yahudi
melalui Roh Kudus (Jub 1:23; Od Sol 11:2).

KESETIAAN ALLAH DAN PENGHAKIMAN BANGSA YAHUDI (ROM 3:1-8)


Para sarjana umumnya setuju bahwa bagian ini merupakan bagian Surat Roma yang
paling sulit dipahami. Dodd mengkritik alur pemikiran Paulus di sini yang dianggap tidak
sistematis dan terkesan tidak jelas. Inti perdebatan terkait dengan pembahasan Paulus di
pasal 2 (terutama ayat 25-29) yang secara sekilas tampak bertentangan dengan 3:1-4a.
Selain itu, identifikasi tentang rangkaian pertanyaan dalam bagian ini juga menjadi pokok
perdebatan yang rumit. Para sarjana berbeda pendapat tentang pertanyaan mana yang
berasal dari Paulus sendiri dan pertanyaan mana yang berasal dari musuh dialog
imajinernya. Permasalahan ini diperparah dengan perbedaan pendapat tentang tanda baca
di ayat 3.

Untuk memudahkan pemahaman, alur pemikiran Paulus dapat dijelaskan sebagai berikut:
P Posisi bangsa Yahudi di depan murka Allah sama dengan bangsa-bangsa lain
(2:17-29)
Y Lalu, apakah kelebihan bangsa Yahudi sebagai umat Allah? (3:1)
P Banyak sekali – kepada mereka dipercayakan Firman Allah (3:2)

58
Tafsir Perjanjian Baru I

P Kenyataannya banyak orang Yahudi tidak setia; dapatkah itu membatalkan


kesetiaan Allah? (3:3)
P Tidak! Dosa manusia justru menunjukkan bahwa Allah benar (3:4)
P Apakah hal itu berarti bahwa Allah tidak adil dalam menghukum manusia? (3:5)
P Tidak! Allah adalah hakim dunia, sehingga Ia selalu adil (3:6)
Y Sehubungan dengan ayat 4, mengapa manusia berdosa harus dihakimi? Bukankah
sebaiknya kita berbuat dosa yang banyak? (3:7-8a)
P Orang seperti ini pasti dihukum! (3:8b)

Ayat 1.
Di pasal 2 Paulus menjelaskan bahwa posisi bangsa Yahudi di depan penghakiman Allah
adalah sama dengan bangsa lain. Ia juga secara khusus menolak keistimewaan Taurat dan
sunat dalam penghakiman. Pertanyaan wajar dari pihak bangsa Yahudi yang diantisipasi
Paulus adalah “apakah bangsa Yahudi memiliki kelebihan dibanding bangsa lain?” dan
“apakah sunat memiliki manfaat”? Pertanyaan ini sebenarnya berkaitan dengan
kredibilitas janji-janji di PL dan kesetiaan Allah terhadap umat-Nya. PL berkali-kali
menyatakan bahwa Allah telah memanggil bangsa Yahudi secara khusus sebagai umat-
Nya dan menetapkan sunat sebagai tanda kepemilikan tersebut. Seandainya bangsa
Yahudi tidak memiliki kekhususan (kelebihan) dibanding bangsa lain, hal itu bisa berarti
PL tidak benar atau Allah tidak bisa dipercaya.

Ayat 2.
Jawaban Paulus di ayat 2 tidak bertentangan dengan pembahasan di 2:17-29. Dalam
konteks penghakiman bangsa Yahudi memang sama dengan bangsa lain, tetapi hal itu
tidak berarti mereka tidak memiliki kelebihan apa-apa. Kelebihan bangsa Yahudi adalah
“banyak dalam segala hal”, salah satunya adalah kepada mereka telah dipercayakan
Firman Allah. Dalam bagian ini Paulus tidak melanjutkan daftar kelebihan yang lain,
meskipun ia memakai ungkapan “pertama-tama” (prw/ton). Fenomena ini merupakan
karakteristik Paulus (bdk. 1:8). Roma 9:4-6 memaparkan banyak kelebihan bangsa
Yahudi yang sangat mungkin termasuk dalam ungkapan “banyak dalam segala hal”
dalam bagian ini. Frase ta. lo,gia tou/ qeou/ telah ditafsirkan secara beragam, karena
ungkapan tersebut dalam PL memang bisa berarti “penyataan Allah secara umum”.
Berdasarkan konteks 3:1-8 sebaiknya dimengerti sebagai seluruh wahyu Allah di PL,
terutama yang berhubungan dengan janji-janji Allah.

Ayat 3.
Setelah menyebutkan kelebihan di ayat 2, Paulus menghubungkan hal itu dengan fakta
bahwa sebagian bangsa Yahudi telah tidak setia. Kata hvpi,sthsa,n di sini bisa berarti
“tidak percaya” (NIV, ASV, KJV, NKJV) atau “tidak setia” (RSV, LAI:TB). Terjemahan
pertama didukung oleh arti umum avpisteu,w dan avpisti,a dalam PB dan Surat Roma
(4:20; 11:20, 23; band, Cranfield). Bagaimanapun, terjemahan kedua tampaknay lebih
tepat.
(1) Dosa utama bangsa Yahudi di PL, dalam kaitan dengan janji-janji Allah, bukanlah
ketidakpercayaan, tetapi ketidaksetiaan.
(2) Tuduhan Paulus terhadap bangsa Yahudi di pasal 2 berfokus pada kegagalan mereka
dalam hidup sesuai dengan posisi sebagai umat Allah. Mereka tampaknya justru

59
Tafsir Perjanjian Baru I

bersandar pada wahyu Allah di PL (meskipun pemahaman mereka salah). Dosa-dosa


mereka merupakan bukti bahwa mereka tidak setia terhadap perjanjian.
(3) Terjemahan “tidak setia” sesuai dengan ayat 3. Apakah “ketidaksetiaan”
(faithlessness) bangsa Yahudi bisa membatalkan “kesetiaan” (faithfulness) Allah?
(4) Terjemahan kedua membentuk permainan kata antara ayat 2 dan 3. Mereka
dipercayakan (evpisteu,qhsan, “entrusted”) Firman Allah, tetapi mereka telah
bertindak tidak setia (hvpi,sthsa,n, did not trust) – apakah ketidaksetiaan (avpisti,a)
mereka bisa membatalkan kesetiaan (pi,stin) Allah?

Isu utama berkaitan dengan peletakan tanda tanya dalam ayat ini. Mayoritas EV’s
memilih tanda tanya setelah kata “tidak setia” (hvpi,sthsa,n), sehingga ayat ini
diterjemahkan “jadi bagaimana jika sebagian mereka tidak setia? Dapatkan
ketidaksetiaan tersebut membatalkan kesetiaan Allah?”. Dengan mengambil pilihan ini,
pertanyaan pertama merupakan sanggahan dari pihak Yahudi, sedangkan pertanyaan
kedua adalah jawaban retorik Paulus. Bagaimanapun, mayoritas sarjana dan NA27
memilih peletakan tanda tanya setelah ti, ga,rÈ (“jadi bagaimana?”; LAI:TB) dan tanda
koma setelah hvpi,sthsa,n. Jika pilihan ini diambil, seluruh ayat 3 merupakan pertanyaan
Paulus sendiri. Ada beberapa alasan untuk mengambil bacaan ini:
(1) Bacaan ini sesuai dengan karakteristik gaya diatribe Paulus yang cenderung
menggunakan kalimat pertanyaan pendek (Moo).
(2) Bentuk pertanyaan retorik mh. yang mengharapkan jawaban negatif lebih cocok
dianggap sebagai kontinuitas daripada kontras dengan ayat 2.
(3) Penggunaan kata ganti “mereka” lebih cocok dikaitkan dengan Paulus. Seandainya
pertanyaan ini adalah sanggahan dari pihak Yahudi, Paulus sangat mungkin akan
memakai “kami” atau “aku” (bdk. ayat 7).

Ayat 4.
Pertanyaan retorik di ayat 3 sebenarnya sudah menyiratkan jawaban negatif, tetapi Paulus
ingin menekankan jawaban tersebut dengan menggunakan ungkapan mh. ge,noito\
(“sekali-kali tidak”). Ketidaksetiaan sebagian bangsa Yahudi tidak membatalkan
kesetiaan Allah. Allah tetap “benar” (avlhqh,j) walaupun semua manusia adalah
pembohong (yeu,sthj). Kata sifat “benar” jika dihubungkan dengan pribadi Allah
biasanya berarti “Allah benar dalam kaitan dengan Firman-Nya”. Dengan kata lain,
Allah setia atau dapat dipercaya. Berdasarkan hal ini, kebohongan manusia di sini
(kutipan dari Mzm 116:11) juga harus dimengerti sebagai ketidakbisaan manusia untuk
dipercaya. Penghukuman Allah atas sebagian orang Yahudi tetap membuktikan bahwa
Allah adalah setia. Beberapa ayat PL secara eksplisit mengajarkan bahwa Allah benar
sekalipun pada waktu Ia melakukan penghukuman (Neh 9:32-33; Mzm 54:7; 96:3; Rat
1:18; Pss Sol 2:18; 3:5; 4:8; 8:7). Perjanjian Allah mengandung dua sisi: berkat dan kutuk
(Ul 11:26-28; 30;1, 19). Ketika ia menghukum, Ia tetap setia terhadap Firman-Nya.

Untuk mendukung jawaban di atas Paulus mengutip Mzm 51:6. Frase “supaya ternyata
Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu” di Mzm 51:6b bisa
menerangkan tujuan pengakuan dosa Daud di ayat 5 maupun keberdosaan Daud di ayat
6a. Jika pilihan pertama benar, maka pengakuan Daud membuktikan bahwa
penghukuman Allah atasnya adalah benar. Konteks Rom 3:5-8a dan kata sambung o[pwj

60
Tafsir Perjanjian Baru I

(“supaya”) tampaknya lebih sesuai dengan kemungkinan kedua: keberdosaan Daud justru
menunjukkan kebenaran Allah. Apapun pilihan yang benar Paulus dalam ayat ini hanya
memberikan bukti bahwa penghukuman Allah atas Daud tetap menunjukkan kebenaran
Allah.

Ayat 5.
Jikalau keberdosaan Daud memanifestasikan sesuatu yang positif dari pihak Allah (ayat
4b), pertanyaan logis yang mungkin muncul berkaitan dengan keadilan Allah. Pertanyaan
ini berasal dari Paulus sendiri, seperti terlihat dari alasan berikut:
(1) Frase “apakah yang akan kita katakan?”.
(2) Pertanyaan retorik mh. yang mengharapkan jawaban negatif.
(3) Frase “aku berkata sebagai manusia”.
Melalui pertanyaan retorik di ayat ini Paulus menegaskan bahwa Allah tetap adil ketika ia
menghukum dosa manusia, meskipun dosa tersebut justru menunjukkan kebenaran Allah.

Ayat 6.
Jawaban Paulus di sini kelihatan tidak memuaskan bagi pembaca modern. Jawaban ini
tampaknya tidak memberikan penjelasan apa-apa tentang pertanyaan di ayat 5.
Bagaimanapun, jawaban ini sebenarnya sangat mendasar. Paulus menggunakan sebuah
axiom teologis yang dipercayai seluruh orang Yahudi. Allah adalah hakim seluruh bumi
(Kej 18:25; Ul 32:4; Ay 8:3; 34:10; bdk. Ul 32:4). Seandainya Ia tidak adil, maka Ia tidak
bisa menjadi hakim seluruh bumi.

Ayat 7-8a.
Bagian ini merujuk balik pada ayat 4b. Para sarjana berbeda pendapat tentang ayat 8a.
Apakah pertanyaan merupakan sanggahan dari pihak Yahudi atau jawaban Paulus?
Mempertimbangkan kata sambung “dan” (kai.) di ayat 8a, ayat ini harus dipahami
sebagai sanggahan lain dari pihak Yahudi. Seandainya ini benar, maka ayat 8a
seharusnya diterjemahkan seperti mayoritas EV’s (kontra LAI:TB): “dan mengapa tidak
mengatakan (seperti kita sering dihujat dan mereka mengatakan kita mengajarkannya),
‘marilah berbuat yang jahat supaya yang baik timbul daripadanya?’”. Kalimat yang
berada dalam tanda kurung merupakan tambahan dan interupsi Paulus pada pertanyaan
sanggahan pihak Yahudi. Jadi, sehubungan dengan ayat 4, ada dua sanggahan dari pihak
Yahudi yang diantisipasi Paulus:
1. Ayat 4b merupakan alasan untuk tidak dihukum, karena dosa justru membawa
kebaikan bagi Allah (ayat 7).
2. Ayat 4b merupakan alasan bagi gaya hidup antinomianisme (tanpa hukum, ayat 8a).

Ayat 8b.
Terhadap dua sanggahan di atas, Paulus tidak memberikan jawaban apa-apa. Ia hanya
mengucapkan kalimat penghukuman atas orang tersebut, karena pemikiran tersebut
merupakan “penghujatan” (bdk. kata kaqw.j blasfhmou,meqa = “seperti kita sering
dihujat” di ayat 7a). Mereka menghujat Paulus mengajarkan antinomianisme, tetapi
Paulus justru menganggap sanggahan mereka di ayat 7-8a tersebut sebagai penghujatan.

KONKLUSI: SEMUA MANUSIA BERDOSA (ROMA 3:9-20)

61
Tafsir Perjanjian Baru I

Ayat 9.
Mengembalikan pembahasan lagi – setelah tersisipi ayat 1-8 – pada keberdosaan bangsa
Yahudi. Dengan menekankan kembali keberdosaan bangsa Yahudi dan
menghubungkannya dengan keberdosaan bangsa Yunani, Paulus kembali pada 1:18
(murka Allah atas semua manusia). Ayat 9-20 merupakan konklusi dari semua
pembahasan di 1:18-3:8. Strukitur 3:9-20 dapat digambarkan sebagai berikut:

Konklusi : Semua manusia berdosa (ayat 9)


Konfirmasi dari Kitab Suci (ayat 10-18)
Implikasi : Semua berada dalam murka Allah dan tidak bisa membebaskan diri
melalui perbuatan sendiri (ayat 19-20).

Ada beberapa aspek dosa yang ingin diajarkan Paulus melalui pengutipan beragam teks
PL yang sebetulnya saling terpisah:
1. Sifat dosa yang anti Allah.
Dosa bukan hanya ketidaksesuaian dengan kriteria moral. Dosa berlawanan langsung
dengan natur Allah. Bagian ini dimulai dan diakhiri dengan rujukan tentang Allah
(ayat 11 dan 18). Dosa pada dasarnya adalah penindasan kebenaran tentang Allah
(1:18-20). Manusia tidak mencari Allah sama sekali (ayat 11//Rat 7:20). Keberdosaan
mereka berakar dari penyangkalan terhadap eksistensi Allah (ayat 12//Mzm 14:1-
4//53:1-4).
2. Kekuatan dosa yang merasuk seluruh sisi kehidupan.
Ayat 13-17 menyebutkan berbagai bagian tubuh manusia yang terkait dengan dosa:
tenggorokan, lidah, bibir, mulut, kaki, mata. Pikiran manusia pun dikontaminasi oleh
dosa (ayat 11). Dalam istilah teologis ini disebut dengan ‘total depravity’ (kerusakan
total’). Manusia memang bisa melakukan kebaikan dalam batas tertentu, tetapi
kerusakan total yang mereka alami menghalangi mereka untuk berbuat baik seperti
yang seharusnya.
3. Jangkauan dosa yang mencakup semua manusia.
Universalitas dosa di sini diungkapkan dalam dua sisi. Secara negatif, “tidak ada
seorang pun” yang benar, yang mencari Allah, dsb. Secara positif, “semua orang”
telah menyeleweng, tidak berguna, dsb. Kata “semua” dalam PB memang tidak selalu
merujuk pada setiap individu (misalnya 1Tim 2:2, 4) dan ditentukan oleh konteks,
tetapi pernyataan secara negatif di atas jelas memberikan indikasi yang kuat bahwa
“semua orang” di sini adalah “setiap orang”.

Ayat 19-20.
Sebagian sarjana menemui kesulitan dalam mengharmonisasikan nuansa ke-Yahudian
(ayat 19a) dan keuniversalitasan (ayat 19b) dalam ayat ini. Mengapa Paulus tampaknya
lebih berfokus pada bangsa Yahudi di ayat 19-20? Ada tiga jawaban bagi pertanyaan di
atas:
(1) Ayat-ayat PL yang dikutip di 3:10-18 pada konteks aslinya tidak merujuk langsung
pada bangsa Israel, sehingga Paulus merasa perlu menegaskan lagi bahwa
universalitas dosa di ayat 10-18 mencakup bangsa Yahudi juga (ayat 9).
(2) Paulus menggunakan metode penafsiran rabi – dari yang utama ke yang kecil: apa
yang benar pada hal-hal yang signifikan pasti berlaku untuk hal-hal yang kurang

62
Tafsir Perjanjian Baru I

signifikan. Dengan kata lain, Paulus ingin menyatakan bahwa kalau bangsa Yahudi
sebagai umat Allah saja tidak bebas dari murka Allah, apalagi bangsa-bangsa lain
yang bukan umat Allah. Kalau bangsa Yahudi saja tidak bisa dibenarkan melalui
perbuatan mereka menaati Taurat, apalagi bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki
Taurat (Cranfield).
(3) Penekanan utama dalam 1:18-3:20 bukan terletak pada keberdosaan bangsa Yunani
(karena hal itu sudah bisa diasumsikan sebelumnya), tetapi pada keberdosaan bangsa
Yahudi (Moo).

Ada dua implikasi yang ditarik Paulus dari ayat 9-18:


1. Semua manusia di dunia berada dalam murka Allah (ayat 19).
2. Tidak ada seorang pun yang mampu membenarkan diri di hadapan Allah melalui
perbuatannya (ayat 20)
Implikasi tersebut penting bagi Paulus sebelum ia menjelaskan secara panjang lebar
tentang pembenaran oleh iman (terutama 3:21-26). Pembenaran oleh iman merupakan
satu-satunya cara manusia bisa dibenarkan di hadapan Allah, karena mereka semua telah
dikuasai oleh dosa, sehingga tidak mungkin mengerjakan kebenaran mereka sendiri.

PEMBENARAN OLEH IMAN (ROMA 3:21-26)


Para sarjana umumnya menganggap bagian ini sebagai inti seluruh pembahasan dari
3:21-4:25, bahkan inti seluruh Surat Roma. Bagian-bagian selanjutnya hanya merupakan
elaborasi dari salah satu aspek inti ayat 21-26. Berikut ini adalah beberapa karakteristik
yang menunjukkan kekhususan bagian ini:
(1) Pengulangan kata kunci. Dalam 6 ayat ini kata benda “kebenaran Allah” muncul
sebanyak 4 kali (ayat 21, 22, 25, 16). Kata kerja “membenarkan” muncul 2 kali (ayat
24, 26) dan kata sifat “benar” muncul sekali (ayat 26).
(2) Nuansa proklamatoris bagian ini.
(3) Penekanan pada “tetapi sekarang” (Nuni. de.) yang diikuti oleh perfect.
(4) Jumlah kata kerja yang minim dalam bagian ini (hanya ada 5 kata kerja finite).
(5) Deretan prepositional phrase yang berurutan tanpa penggunaan kata sambung. Dalam
ayat 25-26 terlihat ...evn...eivj...dia....evn...pro.j...evn...eivj.

Bagian ini terdiri dari 4 bagian besar:


Manifestasi pembenaran Allah (ayat 21-22a)
Alasan: semua manusia berdosa (ayat 22b-23)
Sumber: penebusan dan pendamaian Kristus (ayat 24-25a)
Tujuan: menunjukkan bahwa Allah adalah benar dalam penghakiman-Nya (ayat
25b-26)

Manifestasi pembenaran Allah (ayat 21-22a)


Frase “kebenaran Allah dinyatakan” di ayat 21 mengingatkan kembali pada tema Surat
Roma 1:17. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa 1:18-3:20 merupakan pendahuluan
bagi tema ini. Para sarjana umumnya melihat ungkapan “tetapi sekarang” (ayat 21)
sebagai kontras antara era lama (dominasi dosa, 1:18-3:20) dengan era keselamatan yang
baru. Kebenaran Allah (status benar yang diberikan Allah) di sini bukanlah pemikiran

63
Tafsir Perjanjian Baru I

baru. Konsep ini berhubungan dengan Perjanjian Lama (bdk. 3:21 dan 1:2). Ada 4 hal
yang menjelaskan pembenaran Allah di bagian ini:
1. Pembenaran Allah dinyatakan tanpa Taurat (ayat 21a).
Frase ‘tanpa hukum Taurat’ (cwri.j no,mou) bisa menerangkan kebenaran Allah
(“kebenaran Allah tanpa hukum Taurat dinyatakan...”, KJV, NIV) atau dinyatakan
(“kebenaran Allah dinyatakan tanpa hukum Taurat”, RSV, ASV, NAB, LAI:TB).
Pilihan kedua tampaknya lebih tepat, karena Paulus tidak sedang membandingkan
dua macam pembenaran, tetapi mengajarkan cara pembenaran Allah dinyatakan. Para
sarjana berbeda pendapat tentang arti frase “tanpa hukum Taurat”. Mayoritas
menafsirkan frase ini dengan “tanpa melakukan hukum Taurat”, sehingga ayat ini
mengajarkan bahwa kebenaran Allah diperoleh manusia tanpa melakukan hukum
Taurat (Calvin, Murray, Cranfield). Arti ini, bagaimanapun, kurang sesuai dengan
ayat ini. Fokus ayat ini bukanlah bagaimana manusia bisa menerima pembenaran
(dari sisi manusia), tetapi bagaimana pembenaran tersebut dinyatakan (dari sisi
Allah). Hukum Taurat di sini harus dimengerti sebagai suatu sistem – suatu tahap
dalam penyingkapan sejarah keselamatan – yang mencakup identitas bangsa Yahudi.
Artinya, Allah menyatakan kebenaran-Nya terlepas dari semua parameter nasional
dan religius yang ditentukan oleh hukum Taurat (Dunn, Moo).
2. Pembenaran Allah disaksikan oleh kitab Taurat dan para nabi (ayat 21b).
Diskontinuitas karya Allah di ayat 21a tidak berarti bahwa Allah memberlakukan
pola keselamatan yang berbeda antara PL dan PB. Pembenaran yang akan dibahas
dalam ayat 21-26 merupakan konsep yang disaksikan oleh kitab Taurat dan para nabi.
Frase ‘oleh kitab Taurat dan para nabi’ (u`po. tou/ no,mou kai. tw/n profhtw/n)
merujuk pada seluruh bagian PL (Mat 5:17; 7:12; 11:13; 24:14; Luk 16:16; Yoh 1:45;
Kis 13:15; 24:14; 28:24; 4Mak 18:10).
3. Pembenaran Allah diberikan melalui iman dalam Yesus (ayat 22a).
Berbeda dengan bangsa Yahudi yang mencoba mendirikan kebenaran melalui
ketaatan Taurat, pembenaran Allah di sini diperoleh melalui iman (dia. pi,stewj).
Paulus seringkali menggunakan preposisi evk yang dihubungkan dengan “iman”
(pi,stij) atau “percaya” (pisteu,w), tetapi ia juga beberapa kali memakai preposisi dia.
(Rom 3:25, 30; 2Kor 5:7; Gal 2:16; 3:14, 26; Ef 2:8; 3:12, 17; Fil 3:9; Kol 2:12; 1Tes
3:7; 2Tim 3:15). Frase pembenaran oleh iman atau melalui iman sebenarnya merujuk
pada hal yang sama: iman adalah alat/instrumen untuk menerima pembenaran, bukan
agen/pribadi yang membenarkan. Untuk menghindari kerancuan, mungkin lebih baik
menggunakan frase ‘melalui iman’.

Sejumlah sarjana mengusulkan interpretasi lain tentang dia. pi,stewj VIhsou/ Cristou/.
Mereka berpendapat bahwa pi,stij di sini berarti kesetiaan (bdk. 3:3) dan genitif
VIhsou/ Cristou sebagai genitive of possession atau genitive of subjective, sehingga
ayat 22a diterjemahkan “kebenaran Allah melalui iman milik Yesus Kristus” atau
“kebenaran Allah melalui kesetiaan yang ditunjukkan oleh Yesus”. Mereka
berargumentasi bahwa kata pisti,j jika diikuti oleh genitif personal (merujuk pada
pribadi), genitif tersebut biasanya berfungsi sebagai genitive of possession atau
subjective genitive (bdk. 4:12 dan 16). Frase “bagi semua yang percaya” (ayat 22)
juga dianggap pengulangan yang tidak diperlukan apabila pisti,j di sini merujuk pada
iman manusia.

64
Tafsir Perjanjian Baru I

Bagaimanapun, terjemahan tradisional mungkin lebih bisa diterima. Bukti linguistik


yang dipaparkan di atas sebenarnya tidak terlalu meyakinkan. Ada banyak contoh
yang menunjukkan bahwa genitif nama ilahi yang mengikuti kata pisti,j justru
berfungsi sebagai objective genitive (Mar 11:22; Kis 3:16; Yak 2:1; Wah 2:13; 14:12;
juga Kol 2:12; Fil 1:27; 2Tes 2:13). Dengan kata lain, fungsi genitif yang mengikuti
kata pisti,j harus ditentukan oleh konteks. Penggunaan kata pisti,j di 3:21-4:25 sendiri
lebih mendukung pada terjemahan tradisional (merujuk pada iman manusia).

4. Pembenaran Allah diberikan kepada semua orang yang percaya (ayat 22a).
Dengan memahami pisti,j sebagai iman manusia, frase “bagi semua orang yang
percaya” sebenarnya bukan merupakan pengulangan yang tidak memiliki arti.
Penekanan frase ini bukan pada kata “percaya” tapi pada “bagi semua orang”, karena
ide tentang “percaya” sudah termasuk dalam frase “melalui iman dalam Yesus
Kristus”. Universalitas ini bukanlah universalisme, karena semua di sini dalam
kategori “yang percaya”. Ide ini ditekankan Paulus beberapa kali (1:16; 10:4, 11-12)
untuk menunjukkan bahwa pembenaran Allah bukan hanya eksklusif bagi bangsa
Yahudi saja.

Alasan: semua manusia berdosa (ayat 22b-23)


Kata sambung “karena” (ga,r) di ayat 22b merupakan alasan yang menerangkan mengapa
pembenaran disediakan bagi semua orang yang percaya. Posisi bangsa Yahudi dan
Yunani adalah sama. Mereka tidak memiliki perbedaan apapun dalam konteks
penghakiman (ayat 22b, bdk. 2:9; 3:9), karena mereka semua telah berbuat dosa dan
kehilangan kemuliaan Allah (ayat 23). Bentuk aorist pada kata h[marton (“telah
berdosa”) bisa merujuk pada kesatuan dengan dan di dalam Adam (Dunn, 5:12), tetapi
mayoritas sarjana berpendapat bahwa aorist di sini merupakan pengumpulan seluruh dosa
semua orang di masa lampau ke satu waktu tertentu (Cranfield, Moo). Frase “kehilangan
kemuliaan Allah” merupakan konsekuensi dari h[marton. Perubahan tense ke present dan
keterangan pa,ntej (“semua”) mengindikasikan bahwa konsekuensi ini juga dialami oleh
orang percaya sampai saat ini. Menurut pemahaman Yahudi, kemuliaan Allah ini adalah
kemuliaan yang diberikan kepada manusia sebelum ia jatuh ke dalam dosa dan akan
direstorasi kembali pada akhir jaman (Yes 35:2). Pemahaman ini mungkin yang sedang
dimaksud Paulus di sini (5:2; 8:18, 21, 30). Moo melihat hal ini dalam kaitan dengan
keserupaan dengan Kristus (Rom 8:29-30; Fil 3:21).

Sumber: penebusan dan pendamaian Kristus (ayat 24-25a)


Bagian ini menjelaskan sumber pembenaran orang berdosa di ayat 23. Mengapa hanya
beriman saja bisa membawa seseorang dinyatakan benar oleh Allah? Semua itu
bersumber dari anugerah Allah. Penekanan pada hal ini terlihat dari pemakaian dwrea.n
(“secara cuma-cuma”) dan th/| auvtou/ ca,riti (“oleh anugerah-Nya”). Ada dua aspek
karya Yesus Kristus yang disinggung dalam bagian ini:
1. Penebusan (avpolu,trwsij, ayat 24).
Kata avpolu,trwsij secara prinsip berarti pembebasan melalui pembayaran suatu
harga. Pada abad ke-1 dan ke-2 SM kata ini dipakai untuk penebusan tawanan perang,
budak atau penjahat. Dalam PL avpolu,trwsij dipakai untuk pembebasan budak (Im

65
Tafsir Perjanjian Baru I

25:47), pembebasan dari perbudakan di Mesir (Kel 15:13) atau Babel (Yes 43:1).
Pandangan tradisional biasanya mengaitkan kata ini dengan penebusan manusia dari
perbudakan dosa (bdk. ps. 6).
2. Pendamaian (i`lasth,rion, ayat 25a).
Konsep ini telah menimbulkan kesulitan bagi sebagian sarjana, karena ide tentang
Allah yang disiratkan melalui kata tersebut tidak berbeda dengan dewa kafir yang
sedang marah dan meminta sesuatu sebagai bayaran pendamaian. Bagaimanapun, ada
dua perbedaan mendasar antara konsep Allah dan dewa kafir. Pertama, kemarahan
Allah merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dari naturnya yang mahakudus.
Kedua, Allah sendiri yang berinisiatif mengadakan pendamaian (ayat 25a). Terlepas
dari sanggahan yang sering dikemukakan, pandangan yang menghubungkan istilah ini
dengan “tutup pendamaian” di ruang mahakudus (Im 16:2) tetap lebih masuk akal. 21
dari 27 pemunculan kata ini di LXX merujuk pada “tutup pendamaian”. Kata ini
muncul di Ibr 9:5 dengan arti yang sama. Jikalau alusi ini benar, maka ayat 25
merupakan penggenapan dari tipologi di Imamat 16:2. Kalau duhulu tutup
pendamaian tersebut tersembunyi dalam ruang maha kudus, sekarang Yesus
ditampilkan (proe,qeto, bdk. mayoritas EV’s kontra LAI:TB) sebagai tutup
pendamaian yang sejati.

Tujuan: menunjukkan bahwa Allah adalah benar dalam penghakiman-Nya (ayat 25b-26)
Hampir semua versi melihat prepositional phrase eivj e;ndeixin th/j dikaiosu,nhj auvtou/
(“untuk indikasi kebenaran-Nya”) menunjukkan tujuan dari pendamaian Kristus.
Pendamaian Kristus menunjukkan kebenaran Allah. Apakah arti “kebenaran Allah” di
sini? Para sarjana berbeda pendapat tentang arti frase ini. Menimbang kekuatan
argumentasi masing-masing, pandangan tradisional yang mengambil “kebenaran Allah”
di sini sebagai salah satu aspek sifat Allah (keadilan-Nya) tampaknya lebih bisa diterima.
Interpretasi lebih sesuai dengan ayat 25b: kesabaran Allah dalam membiarkan dosa-dosa
yang terdahulu bisa menimbulkan kesan Allah tidak adil, karena keadilan-Nya
seharusnya menuntut semua dosa tersebut ditindak. Kata “yang terdahulu” merujuk pada
periode waktu sebelum salib (Kis 14:16; 17:30). Jadi, pendamaian yang dilakukan
Kristus bertujuan untuk menunjukkan bahwa Allah adalah benar (adil) dan membenarkan
orang berdosa (ayat 26).

SOLA FIDE (ROMA 3:27-31)


Dalam ayat 21-26 Paulus sudah menjelaskan beberapa aspek atau elemen penting dalam
konsep pembenaran oleh iman (terutama ayat 21-22). Dalam ayat 27-31 ia sekarang
secara khusus menjelaskan salah satu aspek tersebut, yaitu masalah iman. Paulus ingin
menjelaskan tentang implikasi dan dasar lain dari pembenaran oleh iman di ayat 21-26.
Alur berpikir Paulus di ayat 27-31 dapat dideteksi dari penggunaan tiga pertanyaan
retorik di ayat 27, 29 dan 31. Masing-masing pertanyaan tersebut menjadi tiga pokok
pikiran dalam perikop ini, sebagaimana tampak dalam struktur berikut ini:
Implikasi pembenaran oleh iman: manusia tidak bisa bermegah (ayat 27-28)
Argumentasi bagi pembenaran oleh iman: Allah adalah Allah semua orang (ayat 29-30)
Antisipasi: iman tidak membatalkan Taurat (ayat 31)

66
Tafsir Perjanjian Baru I

Implikasi: manusia tidak memiliki alasan untuk bermegah (ayat 27-28)


Setelah menjelaskan bahwa pembenaran hanya bisa dicapai melalui iman (ayat 21-22),
Paulus sekarang menjelaskan implikasi dari konsep ini dalam kaitan dengan kemegahan
manusia. Secara hurufiah ayat 27a seharusnya diterjemahkan “lalu di manakah
kemegahan?” Kata Yunani kauchsis (“kemegahan”) muncul 10 kali dalam surat-surat
Paulus (Rom 3:27; 15:17; 1Kor 15:31; 2Kor 1:12; 7:4, 14; 8:24; 11:10, 17; 1Tes 2:19).
Baik kauchsis maupun kata lain yang berkaitan – misalnya kauchma dan kaucaomai –
pada dirinya sebenarnya bisa bermakna positif atau negatif, tergantung pada dasar atau
objek kemegahan tersebut. Paulus bahkan menegaskan bahwa orang Kristen perlu
bermegah, tetapi di dalam Allah (Rom 5:2-3, 11; 15:17; 1Kor 1:31). Dari konteks Roma
3:27-31 terlihat bahwa kemegahan di sini adalah kemegahan yang negatif.

Walaupun sikap memegahkan diri merupakan masalah semua manusia – bukan hanya
bangsa Yahudi (bdk. 1:30) - namun dalam bagian ini Paulus tampaknya sedang
menujukan pertanyaan di ayat 27 kepada orang Yahudi. Hal ini dapat dilihat dari
pemunculan kata “hukum Taurat” (ayat 28, 31) dan “orang Yahudi” (29). Selain itu,
Paulus sebelumnya juga sudah menyinggung tentang kemegahan orang Yahudi atas
hukum Taurat (2:17, 23).

Kemegahan apa yang secara khusus dibahas Paulus di sini? Para sarjana mengusulkan
dua jawaban yang saling melengkap.

Pertama, sebagian sarjana menduga Paulus sedang membicarakan kesombongan bangsa


Yahudi yang merasa lebih baik dari orang lain karena memiliki hukum Taurat dan
bersunat (Dunn). Kenyataannya, mereka telah gagal melakukan apa yang mereka
banggakan (Rom 2:21-24; 3:9-20) dan Allah sendiri membenarkan orang berdosa tanpa
hukum Taurat (Rom 3:21-22). Jadi, semua kemegahan itu sudah tidak berlaku lagi. Jika
ini benar, maka kemegahan bangsa Yahudi terhadap hukum Taurat baru tidak berlaku
setelah kedatangan Kristus ke dunia.

Kedua, sebagian sarjana lain melihat kemegahan ini secara umum dalam konteks
perbandingan antara iman dan perbuatan (ayat 27b-28). Berdasarkan Roma 4 (terutama
ayat 2 yang menyatakan Abraham tidak boleh bermegah), mereka berpendapat bahwa
kemegahan yang dimaksud di sini sejak semula memang tidak berlaku (tidak usah
menunggu karya penebusan Kristus). Jika ini benar, berarti Paulus sedang menyoroti
segala macam kemegahan manusiawi yang merasa diri berjasa atau mampu
menyelamatkan diri mereka sendiri, tetapi secara khusus ia memfokuskan pada
kemegahan bangsa Yahudi atas hukum Taurat.
Setelah memberikan pertanyaan “di manakah kemegahan?” (ayat 27a), Paulus
selanjutnya menjawab, “ini [adalah] ditiadakan” (ayat 27b; semua versi Inggris “it is
excluded”; kontra LAI:TB). Beberapa sarjana (Cranfield) menafsirkan tense aorist pada
kata exekleisqh (“ditiadakan”) sebagai tindakan yang sekali dilakukan untuk selama-
lamanya (once for all), tetapi makna ini didasarkan pada pemahaman yang salah tentang
tense aorist. Bentuk aorist di sini sebaiknya dilihat dalam arti “kesungguhan dari tindakan
tersebut”.

67
Tafsir Perjanjian Baru I

Yang menarik untuk diselidiki adalah bentuk pasif dari dari kata exekleisqh. Berdasarkan
tata bahasa dan konteks terlihat bahwa bentuk pasif ini merupakan divine passive (suatu
tindakan yang dilakukan oleh Allah, tetapi kata “Allah” tidak disebutkan secara
eksplisit). Jika Allah sendiri yang meniadakan kemegahan ini, bagaimana cara Allah
meniadakan kemegahan ini? Berdasarkan konteks, Allah meniadakan kemegahan
manusia (terutama orang Yahudi) melalui dua cara: (1) apa yang sudah dilakukan Yesus
di atas kayu salib sebagai dasar pembenaran orang percaya (Rom 3:24-25a). Karya ini
bukan usaha manusia maupun diberikan karena manusia layak untuk menerima, tetapi
kasih karunia Allah yang diberikan secara cuma-Cuma (ayat 24a); (2) kesaksian kitab
suci (PL) bahwa kemegahan manusiawi memang salah (Rom 4).

Dalam bagian selanjutnya dari ayat 27 Paulus membahas dasar atau prinsip yang dipakai
untuk meniadakan kemegahan manusia. Dia menanyakan, “melalui hukum (nomos) apa?
[melalui] perbuatan-perbuatan? sama sekali tidak, tetapi melalui hukum (nomos) iman”
(ayat 27; kontra LAI:TB). Penggunaan kata nomos sebanyak dua kali dalam ayat ini
menimbulkan sedikit masalah, karena Paulus sebelumnya menggunakan nomos dalam
arti “hukum Taurat”, sedangkan arti ini tidak sesuai dengan ayat 27. Beragam terjemahan
versi Inggris berikut ini menyiratkan kesulitan tersebut.
ASV Where then is the glorying? It is excluded. By what manner of law? of works?
Nay: but by a law of faith.
NIV Where, then, is boasting? It is excluded. On what principle? On that of observing
the law? No, but on that of faith.
RSV Then what becomes of our boasting? It is excluded. On what principle? On the
principle of works? No, but on the principle of faith.
Pendapat yang lebih tepat adalah yang mengartikan kedua nomos di ayat ini secara
umum, yaitu sebagai prinsip atau aturan (RSV), walaupun bagi orang Yahudi prinsip ini
pasti melibatkan hukum Taurat (bdk. kata “perbuatan” yang sering dikaitkan dengan
Taurat). Arti nomos seperti ini juga dipakai Paulus di bagian lain (Rom 7:21, 23-25; 8:2).
Pendeknya, Paulus mengajarkan bahwa pembenaran oleh iman merupakan sebuah
prinsip/hukum dan prinsip ini tidak mungkin berdampingan dengan prinsip perbuatan
(bdk. Ef 2:8-9).

Ayat 28 merupakan penjelasan terhadap ayat 27 (bdk. kata sambung gar = “karena”),
entah menjelaskan seluruh ayat 27 (Cranfield) atau hanya frase “hukum iman” di bagian
akhir ayat 27 (Moo). Kata logizomai (LAI:TB “yakin”) bukan hanya masalah
perasaan/emosi, tetapi melibatkan penilaian mental/rasio (Kis 19:27 “kehilangan arti” =
“dianggap tidak ada”; Rom 2:3; 1Kor 13:11). Berdasakan pemunculan kata ini di Roma 4
(ayat 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 22, 23, 24), kata logizomai di Roma 3:28 sebaiknya
diterjemahkan “memperhitungkan” (ASV/YLT “reckon”). Arti ini menyiratkan bahwa
apa yang disampaikan Paulus di ayat 28 bukan sekadar iman yang buta, tetapi didasarkan
pada argumen logis yang bisa dipertahankan: semua manusia berdosa (1:18-3:20), karena
itu keselamatan mereka hanya bergantung pada anugerah Allah melalui iman (3:21-26).

Argumentasi bagi pembenaran oleh iman: Allah adalah Allah semua orang (ayat
29-30)

68
Tafsir Perjanjian Baru I

Ayat 29-30 memberikan alasan bagi ayat 28 (pembenaran oleh iman). Paulus ingin
menjelaskan mengapa pembenaran hanya bisa diterima melalui iman, bukan pekerjaan
Taurat. Dengan demikian, ayat 29-30 merupakan dasar kedua bagi pembenaran oleh
iman. Di pasal 3:22b-23 Paulus telah menjelaskan dasar yang pertama, yaitu kesamaan
status bangsa Yahudi dan Yunani sebagai orang berdosa. Kali ini dia menjelaskan
kesamaan yang lain antara bangsa Yahudi dan Yunani, yaitu keesaan Allah.

Pertanyaan retorik (memakai ouci) di ayat 29 mengasumsikan jawaban yang positif


(“ya”). Untuk mempertegas hal ini Paulus selanjutnya memberikan jawaban eksplisit
yang tegas: “ya, juga [Allah] bangsa-bangsa lain” (nai, kai eqnwn). Dalam pertanyaan
retorik, jawaban eksplisit sebenarnya tidak diperlukan. Kalau Paulus tetap memberikan
jawaban seperti ini, maka ia sedang memberikan penekanan yang khusus.

Pertanyaan retorik di atas juga mengindikasikan bahwa Paulus sedang memaparkan


pandangan yang sudah diketahui dan pasti disetujui oleh bangsa Yahudi. Ia mulai dengan
kepercayaan terhadap keesaan Allah (Ul 6:4). Ayat ini sangat penting bagi orang Yahudi
dan selalu diucapkan berulang kali setiap hari. Kepercayaan ini mengimplikasikan bahwa
tidak ada allah lain selain Yahweh. Orang Yahudi juga menerima bahwa Allah bukan
hanya Allah orang Yahudi, tetapi Allah atas seluruh bumi (Yes 54:5). Jika Allah hanya
satu dan Dia berkuasa atas seluruh bumi, maka Allah pasti memakai pola kerja yang
sama untuk semua bangsa. Pola ini harus melewati batasan Taurat dan sunat, karena tidak
semua bangsa memiliki dua hal tersebut. Cara keselamatan yang univesal itu adalah
melalui anugerah yang diterima berdasarkan iman. Dengan demikian, orang bersunat
maupun tidak bersunat mendapatkan akses kepada keselamatan yang sama (ayat 30).

Penjelasan yang diberikan Paulus di sini merupakan kritikan terhadap konsep berpikir
Yahudi. Sekalipun mereka mengakui Allah berkuasa atas seluruh bumi, tetapi hubungan
Allah dengan bangsa-bangsa lain hanya bersifat umum dalam konteks penciptaan
(Pencipta dan ciptaan). Relasi khusus hanya untuk bangsa Yahudi. Allah bukanlah Allah
bangsa kafir, tetapi Alah bangsa Yahudi (Exod. Rab. 29 [88d]). Jika bangsa kafir ingin
menikmati relasi khusus dengan Allah seperti bangsa Yahudi, mereka harus menerima
Taurat. Karena pembenaran Allah dinyatakan tanpa Taurat (3:21, 28), maka tembok
yang memisahkan bangsa Yahudi dan bangsa kafir ini telah dirobohkan. Semua orang
memiliki akses kepada Allah yang sama.

Antisipasi: iman tidak membatalkan Taurat (ayat 31)


Setelah menegaskan beberapa kali bahwa iman bertolak belakang dengan perbuatan,
Paulus mengantisipasi pertanyaan (kesalahpahaman) yang mungkin timbul berkaitan
dengan relasi antara iman dan Taurat. Orang lain mungkin akan mendapatkan kesan
bahwa tidak ada kaitan antara iman dan Taurat. Mereka mungkin menduga bahwa cara
keselamatan yang baru ini menyebabkan cara yang lama tidak berlaku. Lebih jauh,
mereka juga mungkin mempertanyakan signifikansi Taurat. Kalau memang kebenaran
Allah dinyatakan tanpa Taurat, lalu untuk apa Allah memberikan Taurat kepada bangsa
Yahudi? Bukankah hal itu sia-sia saja?

69
Tafsir Perjanjian Baru I

Terhadap pertanyaan di atas, Paulus menjawab dengan tegas “sama sekali tidak!” (mh
genoito). Iman tidak membatalkan Taurat, tetapi, sebaliknya, meneguhkannya. Frase
“kami meneguhkan Taurat” (nomon {istanomen) telah menimbulkan perdebatan
panjang di kalangan sarjana. Perdebatan ini terkait dengan jangkaun arti yang sangat luas
dari kata benda nomos maupun kata kerja {isthmi. Paling tidak ada tiga pandangan utama
berkaitan dengan arti nomon {istanomen di ayat 31.
(1) Sebagian sarjana melihat nomos di sini sebagai sinonim dari seluruh PL (3:19, 21;
4:1-3). Jika ini benar, maka nomon {istanomen berarti pembenaran oleh iman
meneguhkan kesaksian PL.
(2) Sebagian melihat nomos dalam arti Taurat (3:21, 28; Gal 3:15-4:7). Jika arti ini yang
diambil, maka Taurat berfungsi menunjukkan pelanggaran manusia (Rom 4:15) dan
dengan demikian telah menyiapkan dasar bagi pembenaran oleh iman.
(3) Sebagian melihat nomos dalam arti Taurat, tetapi dalam perspektif Kristiani..
Berdasarkan arti ini, Taurat tetap berlaku, tetapi tentu saja dengan pemahaman yang
baru dari perspektif penebusan Kristus.

Dari tiga alternatif yang sama-sama kuat di atas, yang terakhir tampaknya yang paling
sesuai dengan kontek. Isu yang ingin diantisipasi Paulus terutama berhubungan dengan
kontinuitas Taurat dalam era pebenaran melalui iman. Arti seperti ini tetap bisa
mencakup arti di dua alternatif yang lain (seluruh PL memang meneguhkan injil [1:2;
3:21] dan Taurat memang berfungsi menunjukkan kesalahan), hanya saja dua arti itu
bukanlah pikiran utama Paulus di Roma 3:31.

Permasalahan selanjutnya adalah batasan ketaatan Kristiani terhadap Taurat. Apakah


orang Kristen terikat untuk menaati setiap perintah dalam Taurat? Beberapa sarjana
beranggapan bahwa mereka yang beriman kepada penebusan Yesus dan didiami oleh
Roh Kudus (Rom 8:4) telah memenuhi tuntutan Taurat (Yer 31:33-34). Yang lain hanya
membatasi Taurat dalam arti hukum moralnya saja yang masih berlaku. Beberapa sarjana
lain menganggap bahwa orang Kristen sudah menaati Taurat apabila mempraktekkan
kasih, karena kasih adalah inti dan pemenuhan Taurat (13:8-10; Mat 22:39-40).

Dari tiga kemungkinan di atas, yang kedua adalah yang paling lemah. Pembedaan Taurat
menjadi hukum seremonial (ibadah/kurban), sipil (kehidupan dalam masyarakat) dan
moral (biasanya dikaitkan dengan 10 perintah Allah) memiliki keberatan yang serius.
Dalam Alkitab tidak pernah disebutkan adanya perbedaan hukum dalam Taurat.
Kelemahan lain berkaitan dengan batasan yang tidak jelas. Suatu perintah/larangan dalam
Taurat serngkali menyentuh beberapa aspek sekaligus, misalnya apakah perintah untuk
menghormati Sabat termasuk seremonial atau moral? apakah memberikan bantuan
kepada orang miskin termasuk hukum sipil atau moral?.

Dari dua alternatif yang masih tersisa, sulit ditentukan mana yang lebih tepat, namun
alternatif pertama tampaknya lebih sesuai konteks. Isu utama dalam ayat ini adalah kaitan
antara Taurat dan iman. Paulus tidak sedang membahas kaitan Taurat dan orang Kristen.
Selain itu, alternatif ini juga didukung oleh konteks Roma 4. Dalam pasal ini Paulus

70
Tafsir Perjanjian Baru I

menunjukkan bahwa dari semula sejak jaman Abraham, seperti yang tertulis dalam kitab
Taurat Musa, iman selalu memegang peranan penting, bahkan sebelum ada Taurat (ayat
1-8). Setelah Taurat diberikan pun, iman tetap memegang peranan penting. Yang satu
tidak meniadakan yang lain.

ABRAHAM DIBENARKAN KARENA IMAN (ROMA 4:1-25)


Bagian ini memiliki proposisi yang sama dengan 3:27-31, yaitu pembenaran oleh iman
meniadakan kemegahan manusia (3:27 dan 4:1-2). Kesamaan tema inilah yang
menghubungkan dua bagian tersebut. Ada dua tujuan utama Paulus dalam mengelaborasi
hidup Abraham di pasal 4.
(1) Tujuan polemis.
Bangsa Yahudi bukan hanya menganggap Abraham sebagai bapa mereka (Yes 51:1-
2; m. Qidd. 4.14), tetapi juga sebagai model kualifikasi relasi Allah dengan umat-
Nya. Abraham dianggap sempurna dalam seluruh perbuatannya (Jub 23:10), tidak
berdosa (Pr. Man. 8) dan tidak ada orang lain seperti Abraham dalam kemuliaan (Sir
44:19; 1Mak 2:52; m. ‘Abot 5:3; Philo, On Abraham 52-54). Ia bahkan dianggap telah
menaati Taurat dengan sempurna sebelum Taurat itu diberikan (M. Qidd. 4:14; Sir
44:19-21). Konsep seperti ini sangat mungkin dijadikan senjata oleh orang-orang
Yahudi untuk menolak konsep pembenaran hanya melalui iman. Berangkat dari
pemikiran seperti ini, Paulus ingin membuktikan bahwa semua pandangan tersebut
tidak sesuai dengan PL. Ia sedang menunjukkan bahwa Abraham bukan merupakan
suatu perkecualian dalam prinsip “pembenaran oleh iman meniadakan kemegahan
manusia” (3:27-28).
(2) Tujuan teologis.
Paulus memiliki beberapa tujuan teologis dengan menampilkan Abraham di sini:
➢ Untuk membuktikan bahwa berita yang ia sampaikan merupakan ajaran yang
konsisten dengan dan bersumber dari PL (bdk. 1:2; 3:10-18, 21).
➢ Untuk meletakkan dasar bagi inklusivitas Injil. Paulus bukan hanya membuktikan
bahwa Abraham dibenarkan karena iman (4:1-8). Ia justru lebih menekankan
implikasi konsep di atas bagi inklusivitas bangsa Yunani.
(a) Abraham dibenarkan sebelum sunat → Abraham juga menjadi bapa bagi
bangsa Yunani yang tidak bersunat (4:11-12).
(b) Abraham diberi janji menjadi bapa banyak bangsa dan janji ini tidak
didasarkan pada Taurat, melainkan iman → Abraham juga menjadi bapa
semua orang yang memiliki iman seperti Abraham, meskipun mereka tidak
memiliki Taurat (4:16).

Roma 4:1-25 terdiri dari 4 bagian besar:


Dasar: Abraham dibenarkan karena iman, bukan perbuatan (ayat 1-8)
Argumentasi (ayat 9-22)
Abraham dibenarkan sebelum ia disunat (ayat 9-12)
Abraham dijanjikan menjadi bapa banyak bangsa bukan berdasarkan
Taurat, tetapi iman (ayat 13-22)
Implikasi bagi orang Kristen (ayat 23-25)

Dasar: Abraham dibenarkan karena iman, bukan perbuatan (ayat 1-8)

71
Tafsir Perjanjian Baru I

Bagian ini dapat dibagi sebagai berikut:


Abraham termasuk dalam hukum iman di 3:26-27 (ayat 1-2)
Dasar: Abraham dibenarkan karena iman (ayat 3. Kejadian 15:6)
Implikasi ayat 3: pembenaran adalah anugerah, bukan upah (ayat 4-5)
Konfirmasi bagi ayat 3: Mazmur 32:1-2 (ayat 6-8)

Ayat 1-2.
Penambahan frase “menurut daging” (kata sarka; LAI:TB “jasmani”) pada kata “bapa
leluhur kita” di ayat 1 merupakan sesuatu yang signifikan, karena di bagian selanjutnya
Paulus membuktikan bahwa Abraham adalah bapa semua orang secara iman (bukan
hanya bangsa Yahudi, ayat 12, 16-18). Sayangnya, NIV tidak menerjemahkan frase ini
sama sekali.

Kata sambung “karena” (gar) di awal ayat 2 menyiratkan alasan bagi pertanyaan di ayat
1. Jika Abraham dibenarkan karena perbuatan, maka ia memiliki kemegahan. Jawaban
Paulus adalah “tetapi tidak di hadapan Allah”. Jawaban ini tidak berarti bahwa Abraham
bisa bermegah di hadapan manusia tetapi tidak di hadapan Allah. Isu yang dibahas di sini
bukan penilaian orang terhadap perbuatan baik Abraham, melainkan relasi antara
perbuatan baik dan pembenaran. Jawaban ini mengajarkan bahwa Abraham yang sangat
diagung-agungkan bangsa Yahudi sebagai model orang yang dibenarkan karena
perbuatan ternyata juga termasuk dalam prinsip di 3:26-27. Ia tidak memiliki alasan
apapun di hadapan Allah untuk bermegah.

Ayat 3.
Kejadian 15:6 merupakan ayat yang dianggap sangat penting dalam kehidupan Abraham.
Paulus memakai ayat ini untuk membuktikan bahwa Abraham dibenarkan pada saat ia
percaya pada janji Allah di Kejadian 15:5. Ada beberapa alasan mengapa Paulus
mengutip teks PL dalam pasal ini.
(1) Kejadian 15:6 merupakan ayat pertama yang memakai kata “percaya”.
(2) Kejadian 15:6 merupakan ayat pertama dan salah satu ayat dari segelintir bagian PL
yang menghubungkan “iman” dan “kebenaran”.
(3) Kejadian 15:6 terkait dengan janji bahwa Abraham akan menjadi bapa bagi banyak
bangsa (Kej 15:4). Kaitan inilah yang akan dielaborasi lebih lanjut dalam pasal 4.
Cara pengutipan Kejadian 15:6 di ayat ini sangat sesuai dengan konteks Kejadian
15. Ketika Abraham kuatir tentang keturunannya, Yahweh meyakinkan dia bahwa
keturunannya akan sebanyak bintang di langit. Walaupun Abraham sadar bahwa dengan
kekuatannya sendiri dia tidak mungkin memiliki keturunan, namun dia percaya bahwa
Allah sanggup melakukan hal itu. Kesadaran tentang ketidakmampuan manusiawi dan
persandaran kepada Allah inilah yang dperhitungkan sebagai kebenaran.

Dari penjelasan Paulus di ayat 3 ini terlihat bahwa tindakan beriman tidak termasuk ke
dalam perbuatan baik. Kontras antara beriman dan berbuat baik bahkan semakin jelas di
ayat 4-5. Ketika seseorang beriman kepada Allah, ia tidak dapat membanggakan tindakan
itu, seolah-olah keselamatannya juga ditentukan oleh dia. Dalam Efesus 2:8-9 Paulus

72
Tafsir Perjanjian Baru I

mengajarkan bahwa seluruh proses keselamatan (pemberian anugerah dan iman)


bukanlah pekerjaan manusia, tetapi karya Allah.

Ayat 4-5.
Ayat 4-5 berfungsi untuk menerangkan kata “diperhitungkan” (logizomai) yang ada di
ayat 3. Signifikansi kata ini terlihat dari pemunculan sebanyak 5 kali dalam ayat 3-8.
Paulus membuat kontras antara hutang/hak (ofeilhma) dan hadiah (caris). Orang yang
bekerja menerima pahala sebagai haknya, karena ia telah berusaha mendapatkannya.
Mengingat pembenaran orang berdosa diberikan melalui iman (tanpa perbuatan), maka
pembenaran tersebut merupakan anugerah dari Allah (ayat 5).

Ayat 6-8.
Bagian ini diyakini sebagai contoh aplikasi metode exegesis para rabi yang disebut
dengan gezerah shewa: satu teks utama dibahas, lalu diperjelas atau diteguhkan dengan
ayat lain yang memiliki kesamaan/paralel verbal. Walaupun dugaan ini benar, tetapi
Paulus tidak sekadar mengabungkan Kejadian 15:6 dan Mazmur 32:1-2 dengan
paralelisme kata “diperhitungkan” (logizomai). Mazmur 32:1-2 juga menghubungkan
pengampunan dengan ‘tidak diperhitungkannya dosa’. Hal ini mengajarkan beberapa hal
tentang pembenaran:
(1) Pengampunan merupakan bagian integral dari pembenaran.
(2) Pembenaran berkaitan dengan status (tidak diperhitungkan sebagai dosa), bukan
transformasi moral. Pembenaran bukanlah sesuatu yang dimasukkan Allah ke dalam
diri orang berdosa. Yang berubah adalah relasi orang tersebut d hadapan Allah. Dia
bukan lagi sebagai orang berdosa, tetapi orang yang benar. Status bar ini bukan hasil
usaha orang tersebut, tetapi iman kepada apa yang dikerjakan Kristus.

Abraham dibenarkan sebelum ia disunat (ayat 9-12)


Bagian ini memiliki tiga fungsi dalam pasal 4. Pertama, ayat 9-12 merupakan
argumentasi Paulus yang pertama untuk membuktikan bahwa Abraham dibenarkan
berdasarkan iman (bdk. 4:9b dan 4:3). Kedua, ayat 9-12 merupakan penjelasan tentang
cakupan anugerah di ayat 6-8 (bdk. kata sambung ‘karena itu’ dan ‘berkat ini’). Ketiga,
ayat 9-12 meletakkan dasar bagi inklusivitas bangsa Yahudi (bdk. ayat 11).

Pembahasan Paulus di sini disajikan secara induktif. Ia mulai dengan sebuah pertanyaan:
apakah anugerah pembenaran untuk orang tak bersunat juga? (ayat 9). Selanjutnya ia
menjelaskan beberapa hal tentang sunat Abraham (ayat 10-11a). Dari pembahasan ini ia
menarik implikasi (ayat 11b-12). Untuk mempermudah, struktur ayat 9-12 dapat dibagi
sebagai berikut:
Pertanyaan: apakah orang tak bersunat tercakup dalam anugerah pembenaran (9)
Dasar jawaban (10-11a)
Abraham dibenarkan sebelum ia disunat (10)
Sunat hanyalah meterai dari status benar yang ia peroleh sebelumnya (11)
Implikasi: yang penting adalah iman, bukan bersunat/tidak (11b-12)

Ayat 9.

73
Tafsir Perjanjian Baru I

Terjemahan literal ayat 9a adalah “karena itu, apakah berkat ini ({o
makarismos....{outos) atas (epi) orang bersunat atau juga atas (epi) orang yang tidak
bersunat?”. Artikel di depan {o makarismos dan kata ganti penunjuk {outos
mengindikasikan bahwa yang Paulus maksud dengan berkat di sini adalah berkat di ayat
7-8. Ada kemungkinan Paulus mengenal tradisi Yahudi yang mengatakan bahwa
pengampunan di Mazmur 32 hanya berlaku untuk bangsa Israel (Pesiq. R. 45, 185b). Jika
ini benar, maka Paulus sedang mengkritisi pemahaman ini dari perspektif kehidupan
Abraham. Apakah perhitungan kebenaran kepada orang berdosa hanya berlaku untuk
bangsa Yahudi saja atau untuk semua orang?

Ayat 10-11a.
Paulus mendasarkan argumentasinya pada faktor kronologis hidup Abraham. Bentuk
pertanyaan yang dipakai mengindikasikan bahwa lawan debat Paulus sudah mengetahui
kronologi tersebut. Abraham dibenarkan di Kejadian 15:6, sedangkan ia disunat di
Kejadian 17. Interval waktu antara dua teks tersebut diduga para rabi sekitar 29 tahun.
Setelah mengingatkan bahwa Abraham disunat setelah ia dibenarkan, Paulus selanjutnya
menjelaskan hubungan antara sunat dan pembenaran. Apakah guna sunat dalam
pembenaran Abraham? Jawaban Paulus berakar dari ucapan Allah di Kejadian 17:11
“itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu”. Sunat hanyalah meterai dari
kebenaran oleh iman yang sudah diberikan Allah sebelum ia bersunat.

Ayat 11b-12.
Bagian ini merupakan implikasi dari ayat 10-11a. Karena Abraham dibenarkan melalui
iman sebelum ia bersunat, maka ia juga menjadi bapa bagi orang-orang tidak bersunat
yang beriman (ayat 11b). Karena Abraham disunat sebagai tanda ia sudah dibenarkan,
maka ia juga menjadi bapa bagi orang-orang bersunat yang mengikuti langkah imannya
(ayat 12). Dengan kata lain, yang paling penting adalah iman. Bagian ini merupakan
konsep yang sangat penting. Bagi bangsa Yahudi, memiliki Abraham sebagai bapa secara
jasmani (bdk. 4:1) merupakan sesuatu yang sangat eksklusif dan memberikan kemegahan
spiritual. Para proselit bahkan dilarang memanggil Abraham sebagai bapa mereka
(Barret). Di sini Paulus menginterpretasikan ulang konsep Yahudi tentang “keturunan
Abraham”. Reinterpretasi ini juga sejalan dengan pemahaman Yohanes Pembaptis (Mat
3:9) dan Yesus (Luk 19:8-9; Yoh 8:33-40).

Abraham dijanjikan menjadi bapa banyak bangsa bukan berdasarkan Taurat, tetapi
iman (ayat 13-22)

Tema bagian ini adalah janji Allah kepada Abraham. Hal ini dapat dilihat dari
pemunculan kata benda ‘janji’ sebanyak 4 kali (ayat 13, 14, 16, 20) dan kata kerja
“berjanji” yang muncul sekali (ayat 14). Ayat 13-22 merupakan argumentasi Paulus
kedua untuk membuktikan bahwa Abraham dibenarkan karena iman, bukan karena
perbuatan. Kalau di ayat 9-12 Paulus memberikan argumentasi dari sisi kronologi hidup
Abraham (ia dibenarkan sebelum ia bersunat), kali ini Paulus menyinggung tentang
peranan Taurat dalam pemenuhan janji Allah kepada Abraham. Ia ingin menunjukkan
bahwa janji Allah kepada Abraham bukan diberikan berdasarkan Taurat (ayat 13-15),
tetapi berdasarkan iman (ayat 16-22).

74
Tafsir Perjanjian Baru I

Ayat 13-15.
Paulus perlu membahas posisi Taurat di bagian ini, karena orang Yahudi mempercayai
bahwa seseorang hanya bisa menjadi keturunan Abraham jikalau ia memikul kuk Taurat,
sedangkan Paulus sebelumnya menyatakan bahwa siapa saja yang beriman bisa menjadi
anak Abraham (ayat 9-12). Pembahasan tentang Taurat di sini berbeda dengan
argumentasi Paulus tentang topik yang sama di Galatia 3. Di Galatia 3:15-17 Paulus
mendasarkan argumentasinya pada aspek kronologi: Taurat baru diberikan sekitar 430
tahun setelah Abraham, sehingga tidak memiliki kaitan sama sekali dengan pemenuhan
janji Allah kepada Abraham. Pendekatan kronologis ini tidak dipakai Paulus di Roma
4:13-22. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa janji Allah kepada Abraham justru tidak
akan terpenuhi seandainya diberikan berdasarkan Taurat.

Tiga kata sambung gar (‘karena’) di masing-masing ayat memberikan alasan bagi
pernyataan sebelumnya.

Orang bersunat/tidak menjadi keturunan Abraham melalui iman (9-12)

Karena (gar) janji kepada Abraham diberikan tidak melalui Taurat (13)

Karena (gar) kalau melalui Taurat, janji itu akan sia-sia (14)

Karena (gar) Taurat justru menimbulkan murka (15)

Janji di ayat 13 tentang menjadi “ahli waris dunia” tidak memiliki rujukan eksplisit di PL.
Paulus tampaknya memang tidak memikirkan teks tertentu. Ia hanya menyarikan elemen-
elemen penting janji Allah kepada Abraham: keturunan yang sangat besar (Kej 12:2;
13:16; 15:5; 17:4-6, 16-20; 22:17), memiliki tanah (Kej 13:15-17; 15:12-21; 17:8), sarana
berkat bagi semua bangsa di muka bumi (Kej 12:3; 18:18; 22:18), terutama elemen
kedua. Ada indikasi bahwa janji “memiliki tanah” selanjutnya dimengerti dalam
pengertian mewarisi seluruh bumi (Yes 55:3-5; Sir 44:21; Jub 22:14; 32:19; 2 Apoc. Bar.
14:13; 51:3).

Struktur kalimat Yunani di ayat 14a sedikit sulit untuk diterjemahkan. Hampir semua
versi menerjemahkan “jika mereka yang berasal dari Taurat adalah ahli waris” (kontra
LAI:TB). Apa maksud “mereka yang berasal dari Taurat” ({oi ek nomou)? NIV
memahami frase ini sebagai rujukan pada “mereka yang hidup oleh Taurat”, sedangkan
RSV memilih “para penganut Taurat”. Berdasarkan penjelasan di ayat 14b, {oi ek
nomou di sini sebaiknya dipahami secara umum sebagai rujukan pada semua orang
Yahudi. Mereka sejak lahir memang sudah memiliki Taurat, terlepas dari isu apakah
mereka menaati Taurat atau tidak. Penjelasan di ayat 14b menunjukkan bahwa kalau
mereka yang sejak lahir sudah memiliki Taurat secara otomatis menjadi ahli waris, maka
janji dan iman akan batal. Apa yang sudah dimiliki seseorang sejak lahir tidak bisa
disebut “janji”, melainkan “hak”. Orang tersebut juga tidak perlu mengimani hal itu,

75
Tafsir Perjanjian Baru I

karena itu merupakan sesuatu yang otomatis diberikan. Jika ini yang terjadi, maka janji
dan iman tidak akan ada lagi gunanya.

Paulus selanjutnya memberikan penjelasan dari perspektif lain. Janji Allah kepada
Abraham tidak mungkin bisa digenapi jika diberikan melalui Taurat, karena tidak ada
seorangpun yang sanggup memenuhi tuntutan Taurat (pasal 2:1-3:8, terutama 19-20).
Paulus bahkan menyatakan bahwa Taurat justru membawa murka (ayat 15a), karena
Taurat mendatangkan pelanggaran (ayat 15b). Penjelasan ini tidak mengajarkan bahwa
Taurat adalah dosa (bdk. Rom 7:12) atau kalau tidak ada Taurat berarti tidak ada dosa.
(1) Kata ‘pelanggaran’ (parabasis) berbeda dengan dosa. Parabasis merujuk pada dosa
khusus yang melibatkan tindakan melampaui batasan atau aturan (TDNT). Dengan
kata lain, setiap pelanggaran adalah dosa, tetapi tidak setiap dosa adalah pelanggaran.
Paulus hanya menyatakan tidak ada pelanggaran seandainya tidak ada Taurat (bdk.
5:13).
(2) Konsep murka di sini harus dimengerti dalam konteks “menindas kebenaran”,
sehingga manusia tidak dapat berdalih (1:18-20; 2:1-5). Taurat membawa murka
dalam arti eksistensi Taurat membuat orang tidak bisa berdalih pada penghakiman
Allah. Eksistensi Taurat justru menjadi justifikasi bagi murka Allah.
(3) Tanpa Taurat pun manusia telah berdosa (1:18-32). Taurat, sebagai wahyu khusus,
justru memberikan konfirmasi lebih berat terhadap keberdosaan orang yang
memilikinya.

Ayat 16-22.
Setelah membahas dari segi negatif (janji tidak diberikan melalui Taurat), Paulus
sekarang memaparkan sisi positif (janji diberikan melalui iman). Alur berpikir Paulus di
ayat 16-22 dapat digambarkan sebagai berikut:
Implikasi pemberian janji melalui iman (ayat 16-17a)
Janji tersebut merupakan anugerah (ayat 16a)
Janji itu berlaku untuk semua orang yang beriman (ayat 16b-17a)
Diskripsi iman Abraham (ayat 17b-22)

Ayat 16-17a.
Dalam bagian ini Paulus mengulang apa yang sudah dia jelaskan sebelumnya di ayat 9-
12. Dia menegaskan ulang bahwa pembenaran hanya bisa disebut anugerah (ayat 16a)
kalau tidak diusahakan oleh manusia, melainkan melalui iman. Dia juga menegaskan lagi
bahwa pembenaran melalui iman ini membuka akses bagi semua orang untuk dibenarkan
dan menjadi keturunan Abraham. Dengan demikian, janji Allah kepada Abraham bahwa
ia akan menjadi bapa dari banyak bangsa dapat direalisasikan (ayat 16b-17a).

Ayat 17b-22.
Setelah menjelaskan ulang implikasi dari pembenaran Abraham melalui iman (ayat 16-
17a), Paulus lalu menjelaskan seluk-beluk iman Abraham. Ia membahas objek iman (ayat
17), tantangan yang dihadapi (ayat 18-19) dan kualitas iman yang dimiliki oleh Abraham
(ayat 20-22). Diskripsi detil ini berguna untuk memberikan penekanan pada fakta bahwa
Abraham adalah bapa orang beriman.

76
Tafsir Perjanjian Baru I

Objek iman (ayat 17)


Melalui dua bentuk participle yang ada, Paulus menjelaskan karakter Allah yang
dipercayai oleh Abraham.
1. Allah yang menghidupkan (zwopoiountos) orang mati.
Konsep ini merupakan sesuatu yang umum dalam PL (Ul 32:39; 1Sam 2:6). Paulus
mungkin sedang merujuk pada iman Abraham di Kej 22:5 “kami akan kembali”.
Yang menarik tentang ayat ini adalah pada jaman Abraham belum ada satu contoh
pun seorang mati yang bangkit kembali. Kasus pengangkatan Henokh (Kej 5:24)
dalam hal ini sedikit berbeda.
2. Allah yang memanggil (kalountos) yang tidak ada menjadi ada.
Frase ini bisa ditafsirkan dalam dua cara. Pertama, terkait dengan konteks Rom
4:17b-22 dan Kej 17, ‘memanggil’ di sini ditujukan pada keturunan-keturunan
Abraham yang pada saat itu belum ada tetapi di hadapan Allah eksistensi mereka
merupakan suatu yang pasti. Kedua, frase ini lebih bersifat umum yang merujuk balik
pada kisah penciptaan. Kata kerja “memanggil” beberapa kali dikaitkan dengan Allah
dalam konteks penciptaan (Yes 41:4; 48:13). Dalam istilah teologi, hal ini disebut
creatio ex nihilo. Interpretasi pertama tampaknya lebih bisa diterima:
➢ Interpretasi 1 lebih sesuai dengan konteks pembicaraan Paulus.
➢ Frase kalountos ta mh onta {ws onta (lit. “memanggil hal-hal yang tidak ada
seolah-olah [{os] mereka ada”) merupakan sesuatu yang janggal jika dikaitkan
dengan penciptaan.

Tantangan iman (ayat 18-19)


Inti ayat 17b-22 terletak pada iman Abraham yang tetap berharap sekalipun tidak ada
alasan untuk berharap (ayat 18a; EV’s “in hope believed against hope”). Ketidakadaan
alasan untuk berharap didasarkan pada keadaan fisik mereka ketika janji untuk menjadi
bapa sejumlah besar bangsa diberikan (ayat 19b). Tubuh Abraham telah sangat lemah (lit.
hdh nenekrwmenon = “telah mati”; EV’s “as good as dead”), karena pada saat ia
menerima janji tersebut ia berumur 95 tahun (Kej 17:1). Masalah yang lebih pelik
bukanlah usia Abraham (faktanya ia masih bisa memiliki keturunan dari Hagar [Kej 16]
dan Kethura [Kej 25]), tetapi kemandulan Sara. Paulus memakai istilah ‘mati’ (nekrwsin)
untuk kemandulan rahim. Istilah ini (juga tubuh Abraham yang telah mati di bagian
sebelumnya) mungkin dimaksudkan sebagai kontras terhadap iman Abraham kepada
Allah yang menghidupkan orang mati (ayat 17).

Kualitas iman (ayat 19-21)


Ada beberapa ungkapan yang dipakai untuk menunjukkan kualitas iman Abraham:
1. Ia tidak lemah dalam iman (ayat 19).
2. Ia tidak dibimbangkan oleh ketidakpercayaan (ayat 20a).
3. Ia dikuatkan dalam iman (ayat 20b).
Frase terakhir ini selanjutnya diterangkan dengan memakai dua participle. Keduanya
berfungsi sebagai hasil dari iman Abraham yang dikuatkan.
➢ Memberi (dous) kemuliaan pada Allah.
➢ Diyakinkan secara penuh (plhroforhqeis) bahwa Allah mampu melakukan apa
yang Ia telah janjikan.

77
Tafsir Perjanjian Baru I

Pujian Paulus terhadap iman Abraham di atas, terutama ayat 20a, tampaknya
berkontradiksi dengan Kej 17:17 “Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata
dalam hatinya”. Beberapa mencoba melihat tindakan itu bukan sebagai bentuk
ketidakpercayaan, tetapi kekaguman. Solusi ini justru bertentangan dengan Kej 17:18 dan
18:12-15. Yang lain berpendapat bahwa Paulus sedang memikirkan Kej 15. Solusi ini
tetap tidak memuaskan. Ayat 19-20b jelas menunjukkan pertumbuhan iman Abraham
sepanjang hidupnya. Solusi yang lebih tepat adalah melihat hal ini dari sisi permanensi
waktu. Abraham memang pernah ragu dalam beberapa kesempatan, tetapi keraguan itu
bukanlah sikap hati Abraham. Hal itu sifatnya tidak permanen.

Implikasi bagi orang Kristen (ayat 23-25)


Paulus secara implisit sudah mengemukakan beberapa implikasi dari pembahasannya
tentang Abraham di ayat 1-22. Bagaimanapun, ayat 23-25 merupakan konklusi dan
implikasi eksplisit yang ingin ditekankan Paulus. Posisi ayat 23-25 sebagai penutup
diskusi di pasal 4 dapat dilihat dari beberapa hal:
(1) Ayat 3 dan 22 membentuk sebuah inclusio.
(2) Ayat 23 mengikat semua pembahasan dalam lingkup inclusio tersebut.
(3) Identitas “kita” di ayat 24 berbeda dengan “kita” di ayat 1. Di ayat 1 Paulus
memposisikan diri sebagai keturunan Abraham secara jasmani, sedangkan di ayat 24
ia memposisikan diri sebagai keturunan Abraham secara rohani.

Struktur teks ayat 23-25 dapat digambarkan sebagai berikut:

Dan ini ditulis bukan hanya untuk dia

Tetapi juga untuk kita

yang akan diperhitungkan


yang percaya pada Dia
yang membangkitkan Yesus dari orang mati

yang diserahkan karena pelanggaran kita


yang dibangkitkan karena pembenaran kita

HIDUP SETELAH PEMBENARAN (ROMA 5-8)


Mayoritas sarjana menganggap pasal 5-8 merupakan satu pemikiran besar (major section)
yang baru dengan 5:1 sebagai transisi.
(1) Frase “kita yang telah dibenarkan karena iman” (5:1) merangkum semua pembahasan
di 1:18-4:25.

78
Tafsir Perjanjian Baru I

(2) Perubahan gaya mulai 5:1. 1:18-4:25 lebih banyak bernuansa perdebatan, terutama
dengan orang Yahudi. Paulus sering memakai kata ganti “kamu” atau “mereka”.
Fenomena ini berbeda dengan pasal 5-8. Paulus memakai kata ganti “kita”.
(3) Perbedaan kata kunci/topik pembahasan antara 1:18-4:25 dengan 5:1-8:39.
➢ Kata “iman” dan “percaya” muncul 33 kali di 1:18-4:25, tetapi kata tersebut
hanya muncul 3 kali di 5:1-8:39. Dari tiga pemunculan tersebut, dua di antaranya
merujuk balik ke 1:18-4:25.
➢ Kata “kehidupan” atau “hidup” hanya muncul dua kali di 1:18-4:25, tetapi kata
tersebut muncul 24 kali di 5:1-8:39.
(4) Kesamaan beberapa kata kunci yang muncul di bagian awal pasal 5 (ayat 1-11) dan
bagian akhir pasal 8 (ayat 18-39). Fenomena ini lebih meyakinkan jika dikaitkan pada
fakta bahwa kata-kata tersebut hampir tidak ada (sangat jarang sekali) muncul di
5:12-8:17.
Kata kunci 5:1-11 5:12-8:17 8:18-39
Kasih Allah/Kristus 5:5, 8 - 8:35, 39
Membenarkan 5:1, 9 6:7 8:30(2x), 33
Kemuliaan 5:2 6:4 8:18, 21, 30
Pengharapan 5:2, 4, 5 - 8:20, 24(4x), 25
Penderitaan 5:3(2x) - 8:35
Menyelamatkan 5:9, 10 - 8:24
Ketekunan 5:3, 4 - 8:25
(5) Di bagian akhir pasal 5, 6, 7 dan 8 selalu ditemukan frase “melalui/dalam/oleh Yesus
Kristus Tuhan kita” (5:21; 6:23; 7:25; 8:39). Fenomena ini akan tampak lebih
signifikan jika dihubungkan dengan pemunculan frase ini sebanyak dua kali di 5:1-11
(ayat 2 dan 11).

Para sarjana mencoba mengusulkan satu topik yang bisa memayungi pasal 5-8. Cranfield
menganggap bagian ini sebagai elaborasi lanjutan dari ayat 17 “orang yang benar oleh
iman akan hidup”. 1:18-4:25 menjelaskan “orang yang benar oleh iman”, sedangkan 5:1-
8:39 menjelaskan “akan hidup”. Bagian 5:1-8:39 diberi tema “Kehidupan yang dijanjikan
bagi mereka yang dibenarkan oleh iman”. Pembagian ini bisa dibenarkan dari segi isi
1:18-4:25 dan 5:1-8:39, meskipun penggunaan kutipan PL di ayat 17 sebagai dasar masih
bisa dipertanyakan.

Bagaimanapun, pembagian Cranfield masih bisa dibuat lebih spesifik. Fokus khusus
dalam pembahasan pasal 5-8 adalah kepastian/jaminan keselamatan. Hal ini tampak dari
5:1-11 dan (terutama) 8:18-39. Orang yang sudah dibenarkan oleh iman memang masih
mengalami berbagai tantangan, namun tantangan tersebut tidak akan membahayakan
keselamatan orang percaya. Orang percaya tidak perlu kuatir tentang maut sebagai
implikasi dosa Adam (pasal 5), dosa (pasal 6), Taurat (pasal 7) maupun penderitaan
jaman ini (pasal 8).

HASIL PEMBENARAN: DAMAI (ROMA 5:1-11)


Para sarjana memiliki usulan tema yang berbeda untuk 5:1-11 (juga 5:12-21). Tema yang
diusulkan sangat beragam dan kompleks. Konklusi yang pasti dalam hal tersebut
tampaknya sulit dicapai. Secara umum dapat dikatakan bahwa para sarjana menyetujui

79
Tafsir Perjanjian Baru I

5:1-11 berbicara tentang hasil pembenaran, namun mereka belum mencapai konsensus
tentang hasil spesifik yang dimaksud Paulus. Ada dua usulan yang sangat mungkin
menjadi inti 5:1-11: damai dengan Allah (Cranfield) atau kepastian pengharapan (Moo).
Alternatif pertama didukung dengan pemunculan ide ‘pendamaian’ di awal dan akhir 5:1-
11. Alternatif kedua didukung oleh isi pembahasan ayat 2-10 yang berpusat pada
pengharapan. Ayat 10 secara khusus menyiratkan maksud Paulus yang lebih dari sekadar
‘pendamaian’ dengan Allah. Selain itu, ide tentang kepastian pengharapan di 5:1-11 akan
membuat inclusio yang indah dengan ide yang sama di 8:18-39. Walaupun dua ide
tersebut saling terkait, namun ide tentang pengharapan tampaknya lebih mendominasi
bagian ini.

Alur pemikiran ayat 1-11 dapat dijelaskan sebagai berikut:


Hasil pembenaran (ayat 1-2)
Hidup damai dalam Allah (ayat 1)
Akses pada anugerah (ayat 2a)
Sukacita dalam pengharapan tentang kemuliaan Allah (ayat 2b)
Kepastian pengharapan (ayat 2b-10)
Inti: bermegah dalam pengharapan (ayat 2b)
Penderitaan bahkan memimpin pada pengharapan (ayat 3-4)
Dasar pengharapan 1: kasih Allah yang besar (ayat 5-8)
Dasar pengharapan 2: pembenaran (ayat 9-10)
Rangkuman: kita bermegah dalam Allah (ayat 11)

Ayat 1-2. Frase dikaiwqe,ntej [participle] ou=n evk pi,stewj (EV’s “being therefore
justified by faith”) merupakan rangkuman dari pembahasan tentang pembenaran oleh
iman di 1:18-4:25. Frase ini diikuti oleh tiga kata kerja indikatif yang menunjukkan hasil
dari pembenaran tersebut, meskipun dari segi sintaks dua kata kerja terakhir posisinya
tidak sepenting kata kerja pertama.
1. Orang percaya memiliki damai dengan Allah (ayat 1).
Arti kata “damai” (eivrh,nh) bersumber dari pemakaian di LXX (terjemahan untuk
~Alv'). Tidak seperti penggunaan kata eivrh,nh di literatur Yunani sekuler yang
hanya mengindikasikan ketidakadaan perang atau pertikaian, eivrh,nh di LXX lebih
bermakna positif: kemakmuran, kesejahteraan dan keselamatan orang benar. Yang
lebih penting adalah penggunaan kata eivrh,nh oleh para nabi untuk menggambarkan
keselamatan yang akan dilakukan Allah di akhir jaman (Yes 54:10; Yer 37:26; Yeh
34:25). Ayat PL yang terpenting mungkin adalah Yes 52:7 (dikutip Paulus di 10:15):
“Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita,
yang mengabarkan berita damai (eivrh,nh) dan memberitakan kabar baik, yang
mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!". Dalam
tulisan Paulus, kata eivrh,nh bukan hanya menyiratkan perasaan aman, meskipun hal
itu tidak terpisahkan. eivrh,nh merujuk pada situasi eksternal manusia yang sifatnya
objektif: orang percaya yang dulu adalah musuh Allah telah diperdamaikan dengan
diri-Nya (ayat 10). Allah membawa orang percaya pada relasi yang baru dengan diri-
Nya bahkan ketika mereka masih lemah dan berdosa (ayat 6-8).
2. Orang percaya memiliki akses ke anugerah (ayat 2a).

80
Tafsir Perjanjian Baru I

NASB menerjemahkan prosagwgh, (LAI:TB “jalan masuk”) dengan “introduksi”.


Terjemahan ini menyiratkan proses masuk yang pertama (initial entry) tanpa
menjelaskan kontinuitas proses tersebut. Bagaimanapun terjemahan mayoritas EV’s
“akses” lebih bisa diterima. Penggunaan tense perfect pada kata “memiliki”
(evsch,kamen; LAI:TB “beroleh”) mengindikasikan penekanan pada kontinuitas
suatu tindakan. Di tempat lain Paulus juga menggunakan kata prosagwgh, untuk
kondisi kekinian orang percaya (Ef 2:18; 3:12). Selain itu, bentuk kata kerja perfect
pada frase evn h-| e`sth,kamen (“di dalamnya kita berdiri”) juga mendukung ide
kontinuitas.
Kata “anugerah” (ca,rij; LAI:TB “kasih karunia”) bisa merujuk pada pemberian
Allah (11:5-6), tindakan Allah (5:15, 17), dll. Dalam ayat ini ca,rij tampaknya
merujuk pada domain (state atau realm). Terjemahan ini didukung oleh frase “dalam
kasih karunia kita berdiri” di ayat 2a. Orang percaya tidak lagi di bawah hukum (6:14,
16), tetapi di bawah kasih karunia (5:21). Dengan kata lain, hasil pembenaran oleh
iman adalah orang percaya memiliki akses ke dimensi kehidupan yang penuh dengan
kasih karunia/anugerah.
3. Orang percaya bersukacita dalam pengharapan tentang kemuliaan Allah (ayat 2b).
Memiliki kemuliaan Allah yang dulu kurang (3:23) memang baru akan dinikmati di
masa yang akan datang, namun sukacita pengharapan tersebut bisa dirasakan
sekarang (bdk. bentuk present kaucw,meqa). Kata kauca,omai bisa diterjemahkan
“bermegah” (LAI:TB, JB) maupun “bersukacita” (mayoritas EV’s). Berdasarkan
kontras dengan penderitaan di ayat 3-4, terjemahan mayoritas EV’s tampaknya lebih
tepat. Selain itu, ide sukacita memang sering dihubungkan dengan pengharapan
(12:12; 15:13). Dalam pemahaman Paulus, pengharapan dalam Kristus lebih daripada
sekadar angan-angan. Pengharapan menyiratkan antisipasi yang penuh keyakinan
tentang apa yang belum terlihat (5:2-5[3x]; 4:18[2x]; 8:20, 24[3x]; 12:12; 15:4,
13[2x]). “Kemuliaan Allah” di sini memiliki arti yang sama dengan 3:23, yaitu
kemuliaan mula-mula yang diberikan Allah kepada manusia sebelum mereka berdosa
(bdk. 8:17, 18, 21, 30). Sikap bersukacita ini harus menjadi karakteristik orang yang
sudah dibenarkan melalui iman.

Ayat 3-4.
Paulus sangat mungkin sedang memikirkan (mengantisipasi) pandangan Yahudi pada
waktu ia menulis ayat 3a (Moo). Orang Yahudi berpikir bahwa orang yang benar di mata
Allah dapat dilihat dari kemakmuran, kesehatan dan keselamatan fisik orang tersebut (Ul
30; Mzm 73; Yoh 9:1-3). Konsep ini tentu saja akan tampak berkontradiksi dengan fakta
bahwa orang yang sudah dibenarkan melalui iman ternyata masih mengalami penderitaan
(8:17-30; 35-38). Paulus bukan hanya menegaskan bahwa penderitaan tidak akan
menggagalkan pengharapan, tetapi ia juga melihat penderitaan sebagai alasan (objek)
untuk bersukacita. Paulus menggunakan kata “penderitaan” (qli/yij) secara beragam dan
luas (Rom 2:9; Ef 3:13; Kol 1:24; 2Tes 2:9), sehingga cakupan di sini tidak perlu dibatasi
(bdk. 8:17-22; 35-38). Orang percaya bukan hanya harus bertahan dalam penderitaan,
tetapi juga bersukacita dalam penderitaan.

Ayat 3b-4.

81
Tafsir Perjanjian Baru I

Memberikan alasan mengapa orang percaya harus bersukacita dalam penderitaan (lihat
participle eivdo,tej = “kita tahu” yang menerangkan sebab). Konsep tentang penderitaan
menimbulkan karakter yang saleh merupakan sesuatu yang umum bagi gereja mula-mula
(Yak 1:2-4; 1Pet 1:6b-7; bdk. frase “kita tahu”). Ada tiga hasil positif jika penderitaan
disikapi dengan benar (dengan bersukacita):
1. Ketekunan.
Ketekunan (u`pomonh,) tidak bersifat pasif maupun sementara (2:7; 8:25; 15:4, 5).
u`pomonh, merupakan sikap hidup (komitmen) dalam segala situasi. Di tempat lain
Paulus juga menghubungkan dengan sukacita (Kol 1:11) dan pengharapan (1Tes 1:3).
Karakter ini harus menandai hidup seorang rasul maupun setiap orang percaya (2Kor
6:4; 2Kor 12:12; 2Tes 1:4; 1Tim 6:11; 2Tim 3:10). Paulus sangat mungkin sedang
memikirkan ketekunan Yesus dalam menghadapi penderitaan yang akhirnya
menghasilkan sesuatu yang positif (pembenaran orang percaya; bdk. Rom 5:6-10;
2Tes 3:5).
2. Karakter yang teruji.
Ketekunan akan menghasilkan dokimh, (LAI:TB “tahan uji”). Berdasarkan rumpun
kata ini (doki,mioj) dalam tulisan Paulus, dokimh, di sini lebih tepat dipahami sebagai
karakter yang teruji (bdk. 2Kor 2:9; 8:2; 9:13; 13:3; Fil 2:22).
3. Pengharapan yang semakin dikuatkan.
Rantai karakter ini berakhir pada pengharapan lagi. Orang yang berhasil meresponi
penderitaan dengan baik – karena itu menghasilkan ketekunan dan karakter yang
teruji – akan mendapati bahwa pengharapannya akan semakin dikuatkan.
Kemampuan seseorang untuk tetap berharap di tengah situasi yang tanpa harapan
justru akan menyebabkan pengharapan tersebut menjadi kuat (bdk. 4:18-19).

Ayat 5-8.
Paulus menegaskan kepastian pengharapan dengan frase “pengharapan tidak
mengecewakan”. Mayoritas EV’s menerjemahkan ouv kataiscu,nei dengan “tidak
mengecewakan” (RSV, NIV, NASB), tetapi kata tersebut bisa diterjemahkan “tidak akan
memalukan” (KJV, ASV; band, Rom 9:33; 10:11). Keyakinan ini didasarkan pada
konsep PL bahwa orang yang berharap kepada Allah tidak akan dipermalukan (Mzm
22:6; 25:3, 20; Yes 28:16[dikutip di 9:33 dan 10:11]).

Selanjutnya ia memberikan alasan (lihat o[ti yang berfungsi secara causal) mengapa
pengharapan orang percaya tidak mengecewakan, yaitu natur kasih Allah yang besar.
1. Kasih itu diberikan secara pribadi dan melimpah (ayat 5).
Keyakinan pengharapan tidak didasarkan pada persetujuan intelek terhadap kasih
Allah maupun sekadar demonstrasi kasih Allah di kayu salib (meskipun itu penting).
Keyakinan ini bersifat pribadi (subjektif) melalui karya Roh Kudus. Bentuk perfect
evkke,cutai (“dicurahkan”) menekankan kontinuitas hasil tindakan tersebut.
Kontinuitas ini juga tampak dari pilihan preposisi evn (“dalam”), bukan eivj (“ke
dalam”). Selain itu, penggunaan ungkapan “dicurahkan” mengindikasikan jumlah
yang melimpah. Kasih Allah bukan hanya diberikan, tetapi dicurahkan (bdk. Rom
3:15; Tit 3:6). Ide tentang kasih Allah yang melimpah ini sesuai dengan penekanan
Rom 5:6-8.
2. Kasih itu diberikan kepada yang tidak layak menerima (ayat 6-8).

82
Tafsir Perjanjian Baru I

Kesatuan pemikiran ayat 6-8 terlihat dari penggunaan kata avpoqnh,skw (“mati”)
untuk mengakhiri setiap ayat. Penekanan ayat 6-8 terletak pada ketidaklayakan pihak
yang menerima kasih Allah. Hal ini terlihat dari penggunaan frase “ketika kita masih
lemah” (ayat 6) dan “ketika kita masih berdosa” (ayat 8). Inti yang ingin disampaikan
Paulus terletak pada perbandingan antara kasih Allah dengan kasih manusia (ayat 7).

Argumentasi di ayat 7 “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar
tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati” telah
menimbulkan kebingungan di antara para sarjana. Beberapa bahkan menganggap ayat
7b sebagai koreksi Paulus terhadap ayat 7a, namun Tertius (16:22) lupa menghapus
bagian pertama. Inti permasalahan sebenarnya terletak pada arti kata keterangan
mo,lij (LAI:TB “tidak mudah”) dan kata sambung ga.r (LAI:TB “tetapi”). Kata mo,lij
biasanya memang menyiratkan kesulitan dalam mencapai sesuatu (Luk 9:39; Kis
14:18; 27:7-8, 16; 1Pet 4:18), namun arti mo,lij yang tersirat di sini adalah betapa
jarangnya tindakan tersebut dilakukan (ASV, KJV, NIV; bdk. BAGD). Berkaitan
dengan penggunaan kata ga.r, kata ini bisa memiliki arti “walaupun” apabila kata
tersebut diulang dalam satu kalimat dengan arti yang sama (NIV, NASB, RSV; bdk.
BAGD). Jika dua penjelasan di atas diterima, maka ayat 7 seharusnya diterjemahkan
“sebab sangat jarang seorang mau mati untuk orang yang benar, walaupun untuk
orang yang baik seorang bersedia mati”. Orang mungkin bersedia mati untuk orang
yang baik (berbuat baik kepadanya [Cranfield]) karena kebaikan orang tersebut telah
menjadi ikatan emosional yang kuat. Fenomena ini juga disinggung dalam beberapa
literatur Yunani waktu itu (lihat Cranfield). Situasi akan menjadi semakin langka bagi
seorang yang bersedia mati untuk orang yang benar, karena kebenaran orang tersebut
belum tentu memberikan ikatan emosional maupun keuntungan pribadi. Kasih Allah
adalah luar biasa dan sangat langka, karena Kristus mati untuk orang berdosa. Kalau
mati untuk orang benar saja sudah langka, apalagi mati untuk orang yang tidak benar.

Ayat 9-10.
Bagian ini memberikan dasar yang lain bagi kepastian pengharapan orang percaya.
Argumentasi yang dipakai merupakan aplikasi metode eksegese para rabi qal
wayyOmer (“ringan dan berat”): apa yang benar untuk hal-hal yang prinsip akan
berlaku juga untuk hal-hal yang kurang penting. Hal ini terlihat dari pengulangan kata
pollw/| ma/llon (“lebih-lebih lagi”; EV’s “much more”) di ayat 9 dan 10. Inisitif Allah
untuk membenarkan dan mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui kematian
Anak-Nya pada saat mereka masih berdosa merupakan dasar yang kuat bahwa orang
percaya tidak akan mengalami murka Allah di penghakiman terakhir. Allah telah
melakukan hal yang sangat luar biasa, karena itu Ia juga akan melakukan hal-hal lain
yang lebih mudah daripada apa yang sudah Ia lakukan.

Ayat 11.
Bagian ini merangkum beberapa kata kunci yang dipakai di ayat 1-10:
“bersukacita/bermegah” (ayat 2-3), “mendamaikan” (ayat 1b, 10) dan “melalui Tuhan
kita Yesus Kristus” (ayat 1, 2, 6-8, 9, 10). Ayat ini bukan hanya memberikan
rangkuman, tetapi juga menambahkan ide baru yang lain. Hal ini tampak dari frase

83
Tafsir Perjanjian Baru I

ouv mo,non de, (LAI:TB “bukan hanya ini saja”) di awal ayat 11. Para sarjana
berbeda pendapat tentang rujukan frase ini. Berdasarkan penggunaan kalimat transisi
ouv mo,non de, dalam tulisan Paulus (5:3; 8:23; 9:10; 2Kor 7:7; 8:19; 1Tim 5:13),
frase ini tampaknya merujuk pada kalimat sebelumnya, yaitu tentang keselamatan
(ayat 10). Dengan demikian ayat 11 dapat diparafrasekan sebagai berikut “bukan
hanya kita akan diselamatkan, tetapi juga bersukacita/bermegah....”. Objek sukacita
kali ini sifat-Nya lebih luas, yaitu bersukacita dalam Allah oleh Tuhan kita Yesus
Kristus. Kehidupan orang yang sudah didamaikan dengan Allah harus ditandai
dengan sukacita atas semua yang telah dilakukan Allah.

ADAM DAN KRISTUS (ROMA 5:12-21)


Seperti pembahasan sebelumnya, para sarjana berbeda pendapat tentang inti 5:12-21
dan hubungan bagian tersebut dengan 5:1-11. Di antara semua usulan yang ada, tema
“kuasa ketaatan Kristus mengalahkan ketidaktaatan Adam” tampaknya lebih bisa
diterima. Hal ini tampak dari formula perbandingan yang muncul secara konsisten
dalam bagian ini: “sebagaimana...demikian juga” atau “sebagaimana...lebih lagi”
(ayat 12, 15-17, 18, 19, 21). Fokus ayat 12-21 bukanlah penjelasan tentang dosa asal.
Paulus bahkan lebih tertarik dengan akibat dosa Adam (maut) daripada dengan dosa
itu sendiri (bdk. ayat 15-18). Hal ini sesuai dengan inti perbandingan: akibat dosa
Adam dan akibat kebenaran Kristus.

Isu yang lebih kompleks adalah tentang relasi antara ayat 12-21 dengan ayat 1-11.
Dua bagian tersebut dihubungkan dengan frase transisional dia. tou/to (“karena hal
itu”), tetapi rujukan dari frase ini masih diperdebatkan. Solusi yang lebih tepat adalah
mengaitkan frase ini dengan seluruh pembahasan di ayat 1-11 dan melihat ayat 12-21
sebagai penjelasan bagi ayat 1-11. Ayat 12-21 memberikan alasan mengapa
pengharapan orang percaya begitu pasti: karena ketaatan Kristus menjamin
keselamatan semua yang berada di dalam Dia. Secara lebih spesifik, ayat 12-21
menjelaskan bagaimana pembenaran, pendamaian dan keselamatan orang percaya
terkait dengan Yesus Kristus (ayat 9-10).

Struktur ayat 12-21 agak sulit dijelaskan, karena Paulus memulai dengan
perbandingan (ayat 12 “sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu
orang), tetapi ia tidak pernah melanjutkan perbandingan tersebut. Sebaliknya, ia
mengelaborasi topik dosa di ayat 12b-14. Perbandingan yang sesungguhnya baru
muncul di ayat 18-19. Ayat 15-17 juga lebih banyak membahas tentang superioritas
(bukan hanya perbandingan) Kristus atas Adam. Untuk memudahkan pemahaman
tanpa melanggar struktur teks yang ada, ayat 12-21 dapat digambarkan sebagai
berikut:

Akibat ketidaktaatan Adam (ayat 12-14)


Superioritas hasil ketaatan Kristus atas ketidaktaatan Adam (ayat 15-17)
Inti perbandingan dinyatakan ulang (ayat 18-19)
Antisipasi: posisi Taurat (ayat 20-21)

Ayat 12-14.

84
Tafsir Perjanjian Baru I

Ada dua karakteristik dosa dalam bagian ini yang muncul secara konsisten di Surat
Roma.
(1) Dosa dalam bentuk tunggal. Dari pemunculan 64 kali, 42 di antaranya ditemukan
di 5:12-8:13 dalam bentuk tunggal.
(2) Dosa sebagai sesuatu yang aktif: dosa masuk ke dalam dunia (ayat 12),
memerintah (ayat 5:20; juga 6:13, 14), ditaati (6:16-17), memberikan upah (6:23),
menggunakan kesempatan (7:8, 11), menipu dan membunuh (7:11, 13). Hal ini
merupakan gaya bahasa personifikasi.
Pernyataan Paulus bahwa dosa masuk ke dalam dunia melalui satu orang dan melalui
dosa maut juga menyebar ke semua orang merupakan kebenaran yang juga diyakini
oleh orang Yahudi (Kej 2-3). Maut di sini sebaiknya dimengerti sebagai kematian
fisik dan spiritual. Kematian fisik merupakan manifestasi eksternal, sedangkan
kematian spiritual merupakan manifestasi internal, tetapi keduanya berujung pada
kematian kekal.

Isu utama dalam ayat 12 adalah arti “semua berdosa”. Apakah semua orang berdosa
pada dirinya sendiri? Hanya meniru dosa Adam? Atau ada relasi khusus antara dosa
Adam dan keberdosaan semua manusia? Ayat 18-19 jelas menunjukkan adanya
kaitan antara dosa Adam dan dosa semua orang. Kaitan ini lebih daripada sekadar
proses imitasi. Beberapa sarjana melihat kaitan dosa Adam dan keberdosaan semua
manusia pada tahap kerusakan natur saja. Natur manusia yang sudah rusak akibat
dosa menyebabkan manusia pada akhirnya juga berdosa. Dosa Adam bukanlah
penyebab langsung dari keberdosaan manusia. Pandangan ini memiliki sisi-sisi
kebenaran tertentu, tetapi belum cukup untuk menggambarkan pandangan Paulus di
ayat 12-21. Pembahasan di ayat 12-21 langsung mengaitkan dosa Adam dengan
kematian/penghukuman semua orang. Dosa Adam identik dengan dosa semua
manusia, karena semua manusia telah berdosa di dalam dan dengan Adam. Dasar
argumentasi ini berakar pada konsep Yahudi tentang corporate solidarity: apa yang
dilakukan satu orang mempengaruhi kelompok yang diwakilinya, begitu juga
sebaliknya (bdk. Yos 7). Dengan kata lain, dosa Adam mempengaruhi status dan
natur keberdosaan semua manusia.

Di ayat 13-14 Paulus tidak melanjutkan kalimat perbandingan di awal ayat 12.
Sebaliknya, ia memberikan penjelasan tentang universalitas dosa, bahkan sebelum
jaman Musa. Topik ini akan dibahas lagi di ayat 20-21. Mengapa Paulus tidak
melanjutkan kalimat perbandingan di ayat 12, sebaliknya ia menyinggung masalah
Taurat? Paulus tampaknya mengantisipasi pertanyaan yang mungkin muncul dalam
relasi antara dosa dan Taurat. Ia sebelumnya telah menjelaskan bahwa orang
mengenal dosa melalui Taurat (3:19-20) dan tanpa Taurat tidak akan ada pelanggaran
(4:15). Dua teks di atas bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa sebelum Taurat
dosa tidak ada. Untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahpahaman orang Yahudi
tentang relasi tersebut, Paulus menjelaskan tiga kebenaran yang saling terkait:
(1) Sebelum Taurat diberikan melalui Musa, dosa telah menguasai semua manusia
(ayat 13a).
(2) Tanpa Taurat dosa tidak akan diperhitungkan (ayat 13b). Kata dasar evlloge,w
dalam PB hanya muncul di ayat 13, 14 dan Fil 1:18. Kata ini tidak muncul sama

85
Tafsir Perjanjian Baru I

sekali di LXX. evlloge,w diambil dari istilah perdagangan yang merujuk pada
tindakan yang spesifik dan teliti dalam pembukuan. Berdasarkan arti ini, ayat 13b
tidak mengajarkan bahwa dosa baru dianggap dosa setelah Taurat. Sebaliknya,
ayat ini mengajarkan bahwa dosa baru bisa diperhitungkan secara detail dan
eksplisit pada setiap orang ketika seseorang secara sadar dan tahu telah melanggar
suatu perintah khusus. Pendeknya, eksistensi Taurat merupakan tolak ukur
tingkah laku manusia dan justifikasi hukuman Allah atas dosa manusia, tetapi hal
itu tidak berarti bahwa sebelum Taurat tidak ada dosa.
(3) Maut telah menguasai manusia sebelum ada Taurat (ayat 14). Ayat ini berfungsi
sebagai bukti/argumentasi bagi ayat 13a (eksistensi maut sebagai upah dosa [Kej
2:17; Rom 3:23] membuktikan eksistensi dosa) sekaligus antisipasi terhadap
kesalahpahaman yang mungkin timbul dari ayat 13b (tidak diperhitungkan tidak
berarti tidak dihukum). Untuk mempertegas hal tersebut Paulus menjelaskan
bahwa maut juga memerintah atas mereka yang berdosa dengan cara yang
berbeda dengan Adam. Frase ini berguna untuk menunjukkan bahwa orang lain
yang tidak mendapat perintah langsung dari Allah seperti Adam (bdk. Kej 2:17-
18) juga menerima hukuman atas dosa mereka.

Ayat 15-17.
Frase “Adam --- yang adalah gambaran Dia yang akan datang” di bagian akhir ayat
14 merupakan transisi bagi ayat 15-17. Ayat 15-17 lebih tepat disebut sebagai kontras
daripada komparasi. Ungkapan “tidak seperti” dan “lebih lagi” di ayat 15-17
mengindikasikan superioritas Kristus atas Adam.

Inti kontras terletak pada hasil tindakan Adam dan Kristus: anugerah Allah sebagai
hasil ketaatan Kristus tidak sebanding dengan maut sebagai hasil ketidaktaatan Adam
(ayat 15). Di ayat 16-17 Paulus selanjutnya menjelaskan mengapa anugerah Allah
tidak berimbangan dengan maut.
(1) Tindakan Adam menghasilkan sesuatu yang negatif (penghukuman), sedangkan
tindakan Kristus menghasilkan yang positif (pembenaran). Lihat ayat 16.
(2) Jumlah dosa yang diperhitungkan dalam penghukuman adalah satu (dosa Adam),
sedangkan pembenaran Kristus mencakup akumulasi dosa seluruh masa. Lihat
ayat 16.
(3) Hasil tindakan Kristus (hidup) telah membalikkan hasil tindakan Adam (maut).
Lihat ayat 17.
Poin yang ingin disampaikan Paulus dalam bagian ini adalah sebagaimana maut
merupakan kepastian bagi mereka yang berada dalam Adam, terlebih lagi
pembenaran merupakan sesuatu yang pasti bagi mereka yang berada dalam Kristus
(bdk. ayat 1-11).

Ayat 18-19.
Pada bagian ini Paulus baru melanjutkan ide perbandingan di awal ayat 12. Ayat 18-
19 bisa disebut sebagai inti atau rangkuman dari ayat 12-17. Isu utama dalam bagian
ini terletak pada aplikasi jangkauan pembenaran. Bagian ini tampaknya mengajarkan
universalitas pembenaran Kristus (bdk. “semua orang” di ayat 18-19). Jika
pembenaran memang universal, hal itu akan berkontradiksi dengan pernyataan Paulus

86
Tafsir Perjanjian Baru I

di tempat lain yang mengajarkan bahwa pembenaran hanya atas mereka yang
beriman. Sebaliknya, jika pembenaran bersifat eksklusif (terbatas), komparasi antara
hasil tindakan Adam dan Kristus tidak bersifat paralel. Mengapa hasil tindakan Adam
(maut) bersifat universal, sedangkan tindakan Kristus tidak?

Terkait dengan pertanyaan pertama, pembenaran Kristus tidak diperuntukkan bagi


semua orang. Ada dua argumentasi bagi hal ini:
(1) Kata “semua” dalam PB tidak selalu merujuk pada “setiap individu atau setiap
hal”. “Semua” harus dimengerti dalam kategori tertentu. Cakupan kata ini
ditentukan oleh konteks (bdk. ayat 17; 8:32; 12:17, 18; 14:2; 16:19; Kis 2:17;
19:10; 1Tim 2:2, 4; juga Yoh 12:19).
(2) Paulus di tempat lain juga mengajarkan hukuman bagi mereka yang tidak percaya
(2:12; 2Tes 1:8-9).

Terkait dengan pertanyaan kedua, ada beberapa alternatif yang telah diusulkan.
(1) Ayat 18-19 memang mengajarkan universalisme.
(2) Pembenaran Kristus memang untuk semua orang, tetapi hanya dalam batas
tawaran atau kuasanya saja.
(3) Ayat 18-19 merupakan salah satu paradoks yang tidak mungkin dimengerti
sekarang ini.
Alternatif (1) tidak sesuai dengan teologi Paulus secara umum. Alternatif (2) terlalu
dipengaruhi pemikiran teologi sitematik, tidak sesuai dengan konteks ayat 12-21 dan
secara esensial tidak menjawab permasalahan. Alternatif (3) juga tidak memberikan
jawaban yang meyakinkan. Tanpa bermaksud menyederhanakan permasalahan ini,
ada tiga hal yang mungkin bisa dijadikan pedoman:
(1) Suatu komparasi tidak dimaksudkan sebagai perbandingan setiap detail. Ada poin
khusus (utama) yang ingin disampaikan dalam sebuah komparasi. Dalam konteks
ayat 12-21, inti perbandingan terletak pada kepastian hasil tindakan Adam dan
Kristus. Pembenaran dan pengharapan di ayat 1-11 merupakan sesuatu yang pasti,
karena dijamin karya Kristus sebagai representasi orang percaya. Ayat 12-21
tidak membahas tentang jangkauan dari dosa asal maupun memberikan penjelasan
tentang cara dosa asal ditransmisikan. Dengan kata lain, isu tentang jangkauan
hasil tindakan Adam dan Kristus sebaiknya dijawab berdasarkan konteks Alkitab
secara umum (bukan terbatas pada konteks ini).
(2) Perbedaan antara jalur “biologis” untuk transmisi dosa Adam dan jalur “iman”
untuk pembenaran Kristus tidak perlu dibesar-besarkan. Hal tersebut merupakan
suatu kewajaran, karena semua manusia tidak bisa dikaitkan dengan Kristus
secara biologis. Dalam kasus Adam, jalur iman juga tidak akan mungkin, karena
orang cenderung tidak mau menerima (mempercayai) keberdosaan mereka dalam
Adam.
(3) Penjelasan Paulus di ayat 18-19 merupakan penjelasan yang paling rasional
dibandingkan dengan alternatif lain. Kaitan antara pembenaran dan karya Kristus
hanya memberikan beberapa kemungkinan:
➢ Tidak ada kaitan sama sekali antara pembenaran dan karya Kristus.
Kemungkinan ini sangat tidak mungkin.

87
Tafsir Perjanjian Baru I

➢ Ada kaitan dan secara otomatis (semua orang dibenarkan melalui karya
Kristus, terlepas dari iman mereka). Kemungkinan ini juga sangat tidak
mungkin.
➢ Ada kaitan, tetapi secara imani. Kemungkinan ini paling konsisten dengan
ajaran seluruh PB.

Ayat 20-21.
Sebagaimana di ayat 13-14, Paulus di ayat 20-21 juga menyinggung relasi antara
Taurat dan dosa. Kategorisasi manusia ke dalam Adam dan Kristus bagi orang
Yahudi bisa menimbulkan kesan simplifikasi. Mereka pasti akan menanyakan
kedudukan mereka yang khusus dalam sejarah keselamatan, terutama berkaitan
dengan Taurat Musa. Terhadap pertanyaan ini Paulus menjawab bahwa Taurat
tidak mengubah situasi manusia yang disebabkan oleh tindakan Adam.
Sebaliknya, tujuan Taurat diberikan justru supaya pelanggaran bertambah banyak
(ayat 20a). Calvin memahami frase ini dalam konteks Taurat memberikan
pemahaman tentang dosa kepada manusia. Penjelasan ini belum mampu
menerangkan ide “semakin banyak”. Arti yang paling mungkin adalah dengan
melihat tujuan Taurat sebagai sarana untuk mengintensifkan keseriusan dosa.
Dosa menjadi semakin serius ketika Taurat diberikan, karena penerima Taurat
akan dituntut lebih. Mereka telah diberi wahyu khusus tetapi tetap melanggar,
sehingga pelanggaran mereka menjadi lebih serius.

Seperti sikap Paulus tentang Taurat di tempat lain (3:26-31), ia juga menyikapi
Taurat secara positif. Dalam kaitan dengan dosa dan penghakiman Taurat
memang tidak berguna, tetapi hal itu tidak berarti Taurat tidak memiliki manfaat
sama sekali. Keseriusan dosa yang ditunjukkan melalui Taurat justru telah
menjadi sarana untuk melihat anugerah Allah yang lebih besar daripada dosa
tersebut (ayat 20b). Kesadaran tentang keseriusan yang telah ditumbuhkan oleh
Taurat seharusnya membawa orang Yahudi semakin bisa memahami keseriusan
anugerah Allah.

KEMENANGAN ATAS KUASA DOSA (ROM 6:1-23)


Relasi bagian ini dengan bagian sebelumnya terlihat jelas dari ayat 1 “apakah kita
bertekun supaya kasih karunia melimpah?”. Pertanyaan ini jelas merupakan
kontinuitas pemikiran (antisipasi) dari 5:20-21. Selain itu, 5:12-21 dan 6:1-23
menyinggung masalah yang sama, yaitu dosa. Kalau di bagian sebelumnya orang
percaya dibebaskan dari hukuman dosa, pasal 6 membahas kebebasan orang
percaya dari kuasa dosa. Meminjam istilah teologi sistematik, pasal 5 tentang
pembenaran, sedangkan pasal 6 tentang pengudusan, meskipun ide tentang Roh
Kudus yang memampukan orang percaya baru muncul di pasal 8.

Beberapa sarjana membagi pasal 6 menjadi ayat 1-11 dan 12-23. Pembagian ini
didasarkan pada perubahan mood dari indikatif (ayat 1-11) ke imperatif (ayat 12-
23). Bagaimanapun pembagian ini memiliki beberapa kelemahan:
(1) Ayat 12 jelas lebih terkait dengan bagian sebelumnya daripada sesudahnya.

88
Tafsir Perjanjian Baru I

(2) Pertanyaan ti, ou=nÈ (“Jadi, bagaimana?”) di ayat 15 jelas mengindikasikan


pemikiran baru (3:1; 3:9; 4:1; 6:1; 6:15).
(3) Pembagian ayat 1-14 dan 15-23 membuat dua perikop ini memiliki topik
yang paralel: ayat 1-14 membahas kebebasan dari dosa dari sisi negatif
(menjauhi dosa) dan ayat 15-23 dari sisi positif (mendedikasikan hidup
kepada kebenaran).
(4) Ayat 14b merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaan di ayat 1
(inclusio).

Struktur ayat 1-14 dapat dijelaskan sebagai berikut:


Orang percaya tidak boleh bertekun dalam dosa (ayat 1-2a)
Alasan: orang percaya telah mati dalam dosa (ayat 2b)
Cara: melalui baptisan orang percaya dipersatukan dalam karya Kristus (ayat 3-5)
Penjelasan: Orang percaya telah mati untuk dosa (ayat 6-7)
Orang percaya hidup dengan Kristus (ayat 8-10)
Konklusi: orang percaya mati bagi dosa, hidup bagi Allah (ayat 11)
Konsekuensi (ayat 12-13)
Tidak membiarkan dosa menguasai hidup (ayat 12)
Memakai hidup untuk kebenaran (ayat 13)
Kepastian: dosa tidak akan menguasai lagi (ayat 14)

Ayat 1-2a.
Pertanyaan di ayat ini dikemukakan oleh Paulus untuk mengantisipasi kesalahpahaman
yang mungkin timbul dari pernyataan Paulus di 5:20 (di mana dosa bertambah banyak, di
sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah). Bahaya ini akan semakin tampak apabila
dikaitkan dengan fakta bahwa anugerah yang melimpah tersebut bahkan sudah diberikan
pada saat orang percaya dahulu hidup dalam domain Taurat yang meningkatkan
keseriusan dosa mereka. Kalau pada jaman Taurat saja anugerah Allah sudah melimpah,
apalagi sekarang ketika orang percaya hidup dalam anugerah (bdk. 5:2). Eksistensi dosa
yang banyak memang membawa pada kesadaran tentang kasih karunia Allah yang
melimpah, tetapi bukan sebaliknya. Orang percaya tidak boleh dengan sengaja
melakukan dosa yang banyak dengan tujuan bisa merasakan anugerah yang besar (bdk.
3:7-8).

Ayat 2b.
Paulus memberikan alasan bagi larangan di ayat sebelumnya. Alasan ini disampaikan
dalam bentuk pertanyaan (lit. “bagaimana kita – yang telah mati untuk dosa – akan hidup
di dalamnya?”). Alasan bagi larangan ini adalah pemisahan total dari kuasa dosa (“kita
telah mati untuk dosa”). Metafora “mati” yang dipakai di sini selain berguna untuk
menghubungkannya dengan kematian Kristus (ayat 4-5) juga untuk menggambarkan
pemisahan yang total. Penekanan pada ide kematian total juga terlihat dari rujukan
tentang penguburan Yesus di ayat 4a (yang sebenarnya hanya berfungsi untuk
menekankan kesungguhan kematian) dan frase “sekali untuk selamanya” di ayat 10.

Ayat 3-5.

89
Tafsir Perjanjian Baru I

Bagian ini memberikan penjelasan bagaimana kematian untuk dosa di ayat 2b terjadi.
Kematian tersebut terkait dengan sakramen baptisan sebagai simbol pertobatan. Paulus di
ayat ini menjelaskan sesuatu yang sudah dimengerti dengan baik oleh jemaat Roma (bdk.
“apakah kamu tidak tahu?”) bahwa baptisan merupakan tanda pertobatan, sedangkan
pertobatan sendiri merupakan titik balik orang percaya mati untuk dosa. Paulus sedang
menerangkan relasi antara baptisan orang percaya dengan karya Kristus Yesus. Baptisan
– sebagai tanda pertobatan – merupakan sarana (bdk. dia. tou/ bapti,smatoj = “melalui
baptisan” di ayat 4) orang percaya berada dalam persekutuan dengan karya Kristus:
kematian, penguburan dan kebangkitan. Persekutuan ini dimungkinkan karena adanya
persekutuan yang lebih mendasar seperti telah dijelaskan oleh Paulus di 5:12-21.
Kebenaran di atas bukan hanya dalam batas analogi (ilustrasi), tetapi benar-benar
melibatkan partisipasi. Pertobatan orang percaya – yang ditunjukkan melalui baptisan –
membuat mereka mengalami kuasa penebusan Kristus (bdk. Fil 3:10-11). Dengan
demikian, kematian dan kebangkitan Yesus bukan hanya memberikan keteladanan, tetapi,
lebih jauh daripada itu, memberikan kuasa yang menghidupkan orang berdosa ke dalam
hidup yang baru, yang tidak dikuasai oleh dosa.

Ayat 6-7.
Bagian ini menjelaskan bagian pertama dari persekutuan dengan karya Kristus, yaitu
kematian. Frase “manusia lama” di sini tidak merujuk pada natur keberdosaan (bdk. Ef
4:22-24; Kol 3:9-11). Natur keberdosaan tetap ada dalam diri orang percaya. “Manusia
lama” merujuk pada seluruh eksistensi seseorang dalam arti relasional: semua manusia
dalam relasi dengan Adam yang dikuasai oleh kuasa dosa (5:12-21). Penyaliban manusia
lama ini bertujuan untuk menghilangkan kuasa tubuh dosa (i[na katarghqh/| to. sw/ma th/j
a`marti,aj). Kata sw/ma di sini merujuk pada seluruh hidup seseorang (bdk. ayat 12-13),
sehingga to. sw/ma th/j a`marti,aj merujuk pada seluruh eksistensi manusia dalam
kejatuhannya dalam Adam. Eksistensi tersebut sebelumnya dikuasai oleh dosa dalam
seluruh aspeknya (bdk. 3:10-19). Tujuan akhir dari hal ini adalah supaya orang percaya
tidak lagi melayani (douleu,ein) dosa. Ayat 7 merupakan kebenaran umum (maxim) yang
menjelaskan (bdk. ga.r) hubungan antara kematian dan kebebasan. Seseorang yang sudah
mati akan terbebas dari semua hal yang mengikatnya. Hal ini juga terlihat dalam tulisan
rabi Yahudi “ketika seorang mati ia terbebas dari tuntutan memenuhi Taurat”. Orang
percaya yang sudah mati dalam Kristus akan dibebaskan dari ikatan dosa yang
sebelumnya menguasainya.

Ayat 8-10.
Bagian ini menjelaskan bagian kedua dari persekutuan dengan karya Kristus, yaitu
kebangkitan. Sebagaimana kematian dan kebangkitan Kristus merupakan peristiwa yang
tidak terpisahkan, demikian juga persekutuan orang percaya dalam karya tersebut. Orang
percaya yang sudah mati dalam Kristus pasti akan hidup dengan Dia. Bentuk future “akan
hidup” memang sedikit banyak merujuk pada peristiwa eskhatologis (pada waktu orang
percaya meninggal atau saat parousia), tetapi hal itu sudah dinikmati pada kehidupan
sekarang (ayat 4b, 11, 13). Kepercayaan pada konsekuensi ini didasarkan pada
pemahaman (bdk. participle eivdo,tej = “karena kita tahu”) bahwa Kristus – setelah
dibangkitkan – tidak mati lagi. Maut tidak berkuasa lagi atas-Nya. Kristus adalah yang
sulung dari orang-orang yang bangkit (1Kor 15:23). Sebagaimana Kristus menang atas

90
Tafsir Perjanjian Baru I

semua kekuatan ‘era yang lama’ (dosa, Taurat dan maut), demikian juga orang percaya
yang dipersekutukan dengan kebangkitan Kristus akan tetap hidup. Ayat 10 menegaskan
bagian terakhir dari ayat 9 “maut tidak berkuasa lagi atas-Nya”. Kristus hanya mati satu
kali untuk selamanya dan setelah itu Ia hidup untuk Allah. Hal ini menunjukkan
kemenangan sekaligus pemisahan total dari kematian.

Ayat 11.
Kata ou[twj (“dengan cara [yang sama] ini”) mengindikasikan ayat ini sebagai
rangkuman dari apa yang sudah dijelaskan di ayat 2b-10. Sebagaimana Kristus mati
untuk dosa (ayat 10), demikian juga orang percaya yang mati dengan Kristus harus
mempertimbangkan (logi,zomai) diri mereka sebagai orang yang telah mati untuk dosa
(ayat 4a, 5a, 6, 8a). Sebagaimana kematian Kristus terjadi satu kali dan selanjutnya
diikuti oleh kebangkitan dan hidup untuk melayani Allah (ayat 10), demikian juga orang
percaya berpartisipasi dalam kehidupan yang dibangkitkan (ayat 4b, 5b, 8b). Jadi, logika
pemikiran di ayat 2b-10 dapat digambarkan sebagai berikut:
Kristus telah mati untuk dosa sekali dan hidup terus-menerus bagi Allah
Orang percaya - melalui baptisan-pertobatan – bersekutu dengan karya Kristus
Karena itu, orang percaya juga mati untuk dosa sekali dan hidup untuk Allah
Bentuk present pada kata kerja imperatif logi,zesqe (“pertimbangkanlah”) menyiratkan
bahwa konsep ini harus terus-menerus dimiliki oleh orang percaya.

Ayat 12-13.
Paulus pada bagian ini menarik dua konsekuensi dari seluruh pembahasan ayat 2b-10
yang telah dirangkum di ayat 10. Konsekuensi ini diutarakan dalam bentuk negatif (ayat
12-13a) dan positif (ayat 13b).
1. Tidak membiarkan dosa menguasai dalam tubuh yang fana (ayat 12).
Kata “menguasai” (basileu,w) di sini bisa berarti menguasai atau menjadi seperti
raja (1Kor 4:8). Kata “tubuh” (sw/ma) bisa berarti “tubuh secara fisik”. Hal ini
didukung oleh kata “fana” (ayat 12), “hawa nafsu” (ayat 12) dan “anggota-anggota”
(ayat 13a). Bagaimanapun, sw/ma di sini tampaknya lebih merujuk pada seluruh
eksistensi seseorang. Pertama, kata “tubuhmu” sinonim dengan “dirimu” (ayat 13b).
Kedua, pengaruh dosa bukan hanya pada aspek fisik, tetapi juga seluruh eksistensi
manusia. Ketiga, interpretasi ini konsisten dengan arti sw/ma di ayat 6. Penambahan
kata sifat qnhto,j (fana) pada kata sw/ma mengindikasikan kelemahan dan
ketidaksempurnaan yang menjadi ciri khas era yang lama (bdk. 8:11; 1Kor 15:53, 54;
2Kor 4:11; 5:4). Kehidupan orang percaya memang tidak lagi “tubuh dosa” (6:6)
maupun “tubuh kematian” (7:24), tetapi masih tetap “tubuh fana”. Hal ini akan
berubah pada waktu orang percaya ditebus secara penuh (8:23; bdk. 1Kor 15:53).
Tujuan dari tindakan di atas adalah supaya orang percaya tidak mengikuti
keinginannya. Kata evpiqumi,a bisa berarti netral (“keinginan”, Fil 1:23; 1Tes 2:17),
tetapi dalam konteks ini artinya lebih negatif (“hawa nafsu”, 1:24; 7:7, 8; 13:14; Gal
5:16, 24; Ef 2:3; 4:22). Mengingat sw/ma di bagian awal berarti seluruh eksistensi
manusia, hawa nafsu di sini tidak boleh dibatasi pada keinginan fisik saja. Kata ini
mencakup pikiran dan keinginan hati yang berdosa (bdk. 7:7-8).
2. Tidak menyerahkan anggota-anggota tubuh sebagai senjata ketidakbenaran (ayat
13a).

91
Tafsir Perjanjian Baru I

Istilah “anggota-anggota tubuh” tidak merujuk pada bagian fisik tubuh. Paulus
memakai ungkapan ini sebagai rujukan pada kapasitas natural manusia (bdk. 7:5, 23).
Istilah pari,sthmi (LAI:TB “menyerahkan”) seharusnya diartikan secara lebih aktif,
yaitu “memberikan diri dalam pelayanan kepada seseorang”. Genitif avdiki,aj pada
frase o[pla avdiki,aj sebaiknya dipahami sebagai objective genitive, sehingga frase ini
diterjemahkan “senjata-senjata untuk tujuan ketidakbenaran”. Dosa sudah tidak
menjadi tuan lagi, sehingga tidak perlu dilayani.
3. Menyerahkan diri kepada Allah sebagai senjata kebenaran (ayat 13b).
Secara positif orang percaya harus menyerahkan diri kepada Allah dan menyerahkan
anggota-anggota tubuh menjadi senjata kebenaran. Dasar untuk dua hal ini adalah
karena orang percaya sudah dihidupkan dari antara orang-orang mati. Hal ini
sekaligus juga sebagai syarat untuk mampu melakukan konsekuensi di ayat 12-13.

Ayat 14.
Bentuk imperatif di ayat 12-13 diikuti oleh indikatif di ayat ini. Kata sambung ga.r
(“sebab”) menerangkan alasan atau dasar bagi perintah di bagian sebelumnya. Pernyataan
“sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa” bukan sebuah perintah (kontra
Fitzmyer), janji (kontra Lloyd-Jones) maupun janji bersyarat (kontra Dodd). Hal ini
merupakan dasar (jaminan) bagi orang percaya. Terlepas dari kekuatiran terhadap “tubuh
fana” yang masih bisa dipengaruhi oleh dosa, ada jaminan yang memampukan orang
percaya tetap optimis. Mereka memang masih mungkin jatuh ke dalam dosa, tetapi
mereka tidak mungkin hidup dikuasai dosa lagi.

Kata ga.r kedua dalam ayat ini menjelaskan mengapa orang percaya tidak akan dikuasai
dosa lagi, yaitu karena mereka tidak hidup lagi di bawah Taurat, tetapi di bawah kasih
karunia. Kontras antara no,moj dan ca,rij di sini mewakili dua realitas: era lama dan baru.
Taurat memiliki fungsi menghasilkan dan mengintensifkan dosa (3:20; 4:15; 5:13-14;
bdk. 1Kor 15:56). Kecuali seseorang dibebaskan dari situasi ini, ia selamanya akan
terkungkung dalam dosa. Frase ini secara esensial terkait dengan 5:20-21 (“hubungan
antara Taurat dan kasih karunia”) dan membentuk inclusio dengan 6:1. Jadi, pertanyaan
“apakah kita bertekun dalam dosa karena kita hidup dalam kasih karunia?” (ayat 1)
dijawab Paulus dengan “Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu
tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (ayat 14).

DUA PERHAMBAAN (ROM 6:15-23)


Inti bagian ini tidak terletak pada kebebasan orang Kristen dari dosa, tetapi lebih pada
perhambaan orang Kristen kepada Allah.
(1) Kata “hamba” atau “menghambakan diri” muncul 8 kali. Statistik ini diperjelas
dengan munculnya kata yang berhubungan dengan ketaatan sebanyak 3 kali.
(2) Kebebasan dari dosa sudah dibahas di ayat 1-14.
(3) Ayat 15-23 merupakan antisipasi terhadap kesalahpahaman yang mungkin timbul dari
pernyataan Paulus di ayat 14b (bdk. ayat 1 “Apakah kita akan berbuat dosa, karena
kita tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia?”). Sebagai
sebuah antisipasi, bagian ini tidak mungkin menekankan poin kebebasan lagi.

92
Tafsir Perjanjian Baru I

Apa yang disampaikan Paulus di ayat 15-23 (juga 1-14) bisa menjadi respon yang
seimbang terhadap bahaya legalisme (yang terlalu mengikat orang dengan Taurat) dan
antinomianisme (yang menolak semua keterikatan moral). Orang percaya tidak terikat
dengan Taurat lagi (dalam arti kutuk Taurat dan tuntutan Taurat untuk keselamatan),
namun hal ini tidak berarti bahwa mereka bebas berbuat semau mereka. Pada saat orang
percaya dibebaskan dari perbudakan dosa, mereka pada saat yang sama menjadi budak
Allah. Inti pemikiran ini bersumber dari konteks penjualan budak yang berkembang
waktu itu. Sesuai aturan perdagangan budak waktu itu, ada dua kondisi (persyaratan)
yang memungkinkan seorang budak bebas dari kuasa tuannya:
(1) Jika budak tersebut dibeli oleh tuan lain.
(2) Jika budak tersebut meninggal dunia.
Dua ide ada dalam pikiran Paulus ketika ia memakai metafora dari dunia perbudakan.
Orang percaya telah mati untuk dosa dan itu berarti pembebasan dari budak dosa.
Mengingat pembebasan ini dilakukan oleh Allah, mereka sekarang menjadi budak Allah.
Struktur bagian ini adalah sebagai berikut:
Pertanyaan: apakah kita berbuat dosa karena di bawah kasih karunia? TIDAK! (ayat 15)
Argumentasi: (ayat 16-18).
Konsekuensi dosa: perhambaan dosa menuju pada kematian (ayat 16)
Dasar: orang percaya adalah hamba kebenaran (ayat 17-18)
Konsekuensi: menyerahkan anggota-anggota tubuh kepada kebenaran (ayat 19)
Alasan bagi konsekuensi: orang percaya adalah hamba kebenaran (ayat 20-23)

Ayat 15.
Bagian ini merupakan antisipasi terhadap kesalahpahaman yang mungkin timbul dari cara
berpikir Yahudi. Jika orang percaya tidak lagi berada di bawah Taurat (yang dipahami
orang Yahudi sebagai satu-satunya pedoman hidup sebelum adanya PB), maka hal ini
memberikan kesempatan untuk berbuat dosa. Pertanyaan retorik di sini memiliki banyak
kesamaan dengan ayat 1: dimulai dengan Ti, ou=n; isinya berkisar masalah kasih
karunia; jawaban tegas mh. ge,noito; diikuti penjelasan panjang di ayat 2-14 dan 16-23.

Ayat 16.
Bagian ini merupakan argumentasi pertama bagi jawaban mh. ge,noito di ayat 15. Paulus
memfokuskan pada konsekuensi kesalahpahaman di ayat 15. Frase “tidakkah kamu tahu”
(ouvk oi;date) menyiratkan bahwa jemaat di Roma sebenarnya sudah mengetahui apa
yang disampaikan di ayat ini. Paulus mungkin merujuk pada kultur perbudakan waktu
itu: orang-orang menyerahkan diri sebagai budak dengan pertimbangan finansial.
Keputusan ini membawa konsekuensi, yaitu ketaatan mutlak pada yang objek penyerahan
dirinya. Kemungkinan lain adalah Paulus sedang memikirkan proses kebalikannya:
kebiasaan menaati seseorang menjadikan orang yang menaati tersebut sebagai budak.
Struktur kalimat dan konteks ayat 15-23 tampaknya lebih mendukung kemungkinan
terakhir.

Alkitab secara konsisten hanya memberi dua pilihan: dosa atau ketaatan. Tidak ada
kehidupan manusia yang netral. Orang yang terus-menerus menyerahkan diri (bdk.
bentuk present pari,sthmi) kepada dosa untuk menaatinya adalah hamba dosa. Yoh 8:34
“sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa”. Perhambaan dosa

93
Tafsir Perjanjian Baru I

bukan hanya masalah legal, tetapi juga masalah praktek hidup. Orang percaya memang
sudah dibebaskan dari perhambaan dosa secara legal dan subjektif melalui persekutuan
dengan kematian-kebangkitan Kristus (ayat 1-14), tetapi dalam praktek hidup sehari-hari
orang percaya tetap harus bergumul untuk tidak lagi hidup seperti hamba dosa.

Konsekuensi perbuatan dosa bukan hanya pada fakta perhambaan saja (kehilangan
kebebasan), tetapi juga pada akibat (lihat dua eivj dalam ayat ini) yang ditimbulkan dari
ketaatan tersebut. Orang yang terus berbuat dosa akan mengalami kematian. qa,natoj di
sini sangat mungkin merujuk pada kematian kekal. Kematian ini pasti melibatkan
kematian spiritual di masa kini dan kematian fisik, tetapi penekanan terletak pada
kematian kekal.

Ayat 17-18.
Argumentasi dalam bagian ini lebih difokuskan pada fakta yang telah terjadi. Ekspresi
ca,rij de. tw/| qew/| (“syukur kepada Allah”) dan bentuk tense imperfect h=te (“adalah”)
pada kalimat “kamu [dahulu] adalah hamba dosa” menunjukkan bahwa orang percaya di
Roma tidak berada dalam perhambaan dosa yang mengakibatkan kematian kekal.
Sebaliknya, Paulus menggambarkan situasi orang percaya dengan dua kata kerja indikatif
aorist di ayat 17 dan 18.
1. Mereka telah menaati pola pengajaran (ayat 17).
Bentuk aorist u`phkou,sate (“telah menaati”) kemungkinan merujuk pada waktu
pertobatan. Yang menarik dalam ayat 17 adalah kata paredo,qhte (“diteruskan”).
Objek dalam bentuk orang kedua jamak pasif pada kata paredo,qhte bukanlah pola
pengajaran, tetapi jemaat di Roma. Mengikuti mayoritas EV’s, ayat 17b seharusnya
diterjemahkan “tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran
yang kepadanya kamu telah diteruskan” (kontra LAI:TB “pengajaran yang telah
diteruskan kepadamu”). Paulus biasanya menjadikan pengajaran (tradisi Kristen)
sebagai objek kata kerja pasif paradi,dwmi (1Kor 11:2, 23; 15:3), tetapi di sini ia
secara sengaja menjadikan penerima surat sebagai objek. Paulus ingin menyampaikan
sesuatu: menjadi orang Kristen berarti diletakkan dibawah otoritas tradisi pengajaran.
Ketaatan kepada pengajaran merupakan karakteristik orang Kristen.
2. Mereka telah dijadikan hamba kebenaran (ayat 18).
Ayat 18 seharusnya diterjemahkan “dan ketika dibebaskan (participle
evleuqerwqe,ntej) dari dosa, kamu dijadikan hamba kebenaran” (mayoritas EV’s;
kontra NIV dan LAI:TB). Pernyataan ini merupakan suatu paradoks yang bersumber
dari konsep penjualan budak waktu itu. Seorang budak yang dibeli akan bebas dari
tuannya, tetapi pada saat yang sama ia dijadikan budak orang yang membelinya.

Ayat 19.
Frase “Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu” (ayat 19a)
merupakan break yang menjelaskan metafora perbudakan di ayat 18 atau 19. h`
avsqe,neia th/j sarko.j (lit. “kelemahan daging”) mungkin menunjukkan ketidakpekaan
terhadap hal-hal spiritual, sehubungan dengan natur keberdosaan mereka. Kelemahan ini
terkait dengan segi kognitif. Dengan kata lain, penggunaan metafora perbudakan dipakai
Paulus untuk mempermudah pemahaman mereka. Frase di atas tidak dimaksudkan
terutama sebagai teguran, tetapi sebagai penjelasan mengapa Paulus menggunakan

94
Tafsir Perjanjian Baru I

metafora perbudakan. Metafora ini bisa menimbulkan kesan degradasi diri, ketakutan
yang berlebih, eksploitasi, dll., yang merupakan ciri khas orang yang hidup dalam
perbudakan. Hal ini tidak berarti bahwa Paulus ‘menyesal’ dengan metafora yang telah
dipakai, karena dalam ayat 19 dan 22 ia kembali meneruskan metafora ini. Paulus hanya
ingin meminimalisasi kesan negatif yang mungkin muncul. Poin analogi yang ingin
diambil Paulus terletak pada ketaatan mutlak seorang budak (tidak termasuk perasaan
takut, tereksploitasi, dsb) dan otoritas penuh dari tuan.

Perintah dalam ayat ini mirip dengan ayat 13. Sebagaimana mereka dulu menyerahkan
hidup sebagai hamba kecemaran dan kefasikan, demikian juga – dengan semangat yang
sama – mereka harus menyerahkan diri sebagai hamba ketaatan (bdk. w[sper...ou[twj =
“sebagaimana...dengan cara yang sama”). Perbandingan ini menunjukkan dedikasi yang
penuh dan terus meningkat. Ide peningkatan disiratkan dalam gaya retoris th/| avnomi,a|
eivj th.n avnomi,an yang dipakai untuk menggambarkan kehidupan yang lama (bdk. RSV
“to greater and greater iniquity”; NIV “to ever-increasing wickedness”; NASB “to
lawlessness, resulting in further lawlessness”). Demikian juga dalam kehidupan Kristiani.
Menyerahkan diri sebagai hamba kebenaran akan membawa pada pengudusan. Akhiran
moj pada suatu kata benda biasanya menyiratkan kualitas aktif dari kata benda tersebut,
sehingga a`giasmo,j di sini sebaiknya dimengerti sebagai proses menjadi kudus (bdk.
1Tes 4:3, 4, 7; 1Tim 2:15). Semakin orang percaya menyerahkan diri mereka untuk
menaati kebenaran, mereka akan menjadi semakin kudus.

Ayat 20-23.
Bagian ini memberikan dasar atau alasan bagi perintah di ayat 19 (bdk. ga.r di awal ayat
20). Secara esensial pemikiran Paulus di sini sama dengan di ayat 17-28, namun
argumentasi di ayat 20-23 jauh lebih lengkap, karena menggabungkan ide di ayat 17-18
dan 19. Penekanan Paulus terletak pada hasil (buah) dari dua macam kehidupan tersebut
(ayat 21-23; bdk. ayat 19). Di ayat 20-23 Paulus membuat kontras antara kehidupan lama
dalam perbudakan dosa (ayat 20-21) dan kehidupan baru dalam pelayanan kepada Allah
(ayat 22-23). Kontras ini terlihat dari ayat 20a “waktu kamu hamba dosa” dan ayat 22a
“tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa”.

Karakteristik hidup yang lama (ayat 20-21)


1. Menjadi budak dosa (ayat 20a).
Paulus kembali memakai metafora perbudakan untuk menggambarkan kekuatan dosa
dalam hidup manusia. Dosa bukan hanya terbatas pada apa yang dilakukan manusia,
tetapi apa yang menguasai manusia untuk melakukan hal tersebut. Manusia benar-
benar berada dalam kuasa mutlak dosa. Manusia selalu menuruti keinginan dosa
sebagai tuan mereka.
2. Bebas dari kebenaran (ayat 20b).
Paulus mengakui bahwa orang yang berada di luar Kristus memiliki semacam
“kebebasan”, yaitu bebas dari kebenaran. Datif th/| dikaiosu,nh| lebih ke arah dative
of respect, sehingga seharusnya diterjemahkan “dalam kaitan dengan kebenaran”
(ASV, NASB, RSV; kontra KJV, NIV, LAI:TB). “Kebenaran” di sini merujuk pada
kebenaran secara etis/moral (bukan status benar). Orang di luar Kristus memang
memiliki pengetahuan tentang baik dan benar (1:18-32; 2:14-15), tetapi mereka tidak

95
Tafsir Perjanjian Baru I

memiliki kemampuan untuk memilih dan melakukan yang benar, karena semua
berada di bawah dosa (3:9). Dalam istilah teologi, kebebasan yang dimiliki mereka
hanyalah kebebasan untuk berbuat dosa. Kebebasan semacam ini hanyalah kebebasan
yang semu, karena mereka justru terikat dengan dosa yang mereka lakukan.
3. Hanya menghasilkan rasa malu (ayat 21a).
Ada dua macam kemungkinan penerjemahan ayat 21. Inti permasalahan terletak
pada peletakan tanda tanya: setelah kata to,te atau evpaiscu,nesqe.
(1) “Karena itu, buah apakah yang lalu kamu miliki, yang sekarang kamu merasa
malu? Karena akhir dari semuanya ini adalah maut” (mayoritas EV’s; UBS 3).
(2) “Karena itu, buah apakah yang lalu kamu miliki? Itu adalah atasnya kamu
sekarang merasa malu. Karena akhir dari semuanya ini adalah maut” (NEB, NJB,
UBS4 dan NA27).
Alternatif terakhir tampaknya lebih tepat, karena terjemahan (2) memberikan
pernyataan yang eksplisit tentang buah hidup dalam dosa, yaitu rasa malu. Hal ini
akan membuat kontras yang ideal dengan hasil hidup dalam Allah di ayat 22, yaitu
pengudusan. Setelah mengenal prinsip kekristenan, jemaat di Roma melihat balik ke
kehidupan mereka yang lama dan menemukan bahwa buah dari kehidupan tersebut
hanyalah kefasikan yang - dalam terang Firman Tuhan – hanya menghasilkan rasa
malu. Perasaan malu (bukan bangga) terhadap dosa ini seharusnya menjadi ciri orang
Kristen yang sejati.
4. Berakibat pada kematian (ayat 21b).
Seperti bagian sebelumnya, Paulus kembali mengingatkan akibat akhir dari
kehidupan dalam dosa, yaitu kematian kekal.

Karakteristik hidup orang yang bebas dari dosa (ayat 22-23)


1. Dibebaskan dari dosa (ayat 22a).
2. Menjadi hamba Allah (ayat 22b).
3. Menghasilkan pengudusan (ayat 22c).
4. Berakibat pada kehidupan kekal (ayat 22d-23).

Ayat 23 bukan hanya memberikan penjelasan tambahan bagi ayat 22d, tetapi juga
menjadi klimaks pembahasan di pasal 6. Kontras antara maut dan kehidupan kekal
terletak pada bagaimana dua hal tersebut dicapai. Maut adalah upah (ovyw,nion),
sedangkan kehidupan kekal adalah pemberian (ca,risma) Allah. Maut adalah sesuatu yang
diusahakan oleh manusia (manusia layak menerimanya sebagai hasil usaha mereka),
sedangkan kehidupan kekal adalah murni pemberian Allah (manusia sebenarnya tidak
layak menerimanya). Kata ovyw,nion bisa dipakai untuk pembayaran uang dalam segala
sisi kehidupan, tetapi kata ini biasanya digunakan secara khusus untuk pembayaran upah
pada tentara (LS). Arti ini juga didukung oleh LXX (1Esdras 4:56; 1Mak 3:28; 14:32)
dan PB (Luk 3:14; 1Kor 9:7). Arti ini sesuai dengan gambaran kemiliteran yang dipakai
di bagian sebelumnya (bdk. istilah “senjata-senjata” di ayat 13). Ayat 23 semakin
melengkapi kontras antara kehidupan lama dan baru: tuan (dosa → Allah), akibat (maut
→ kehidupan kekal), cara (diusahakan → cuma-cuma).

BEBAS DARI TAURAT (ROM 7:1-25)

96
Tafsir Perjanjian Baru I

Dalam bagian ini Paulus membahas hubungan status pembenaran dengan Taurat. Kaitan
antara bagian ini dengan bagian-bagian sebelumnya terletak pada beberapa poin:
(1) Pasal ini merupakan elaborasi detail yang mencakup beberapa pembahasan singkat
tentang Taurat di bagian sebelumnya (3:19-20, 27-28; 4:13-15; 5:13-14, 20).
(2) Pasal 7:1-6 membentuk paralelisme yang kuat dengan 6:15-23.
Pasal 6:15-23 mati untuk dosa → bebas dari dosa → dosa tidak menguasai lagi
Pasal 7:1-6 mati untuk Taurat → bebas dari Taurat → Taurat tidak menguasai lagi
(3) Pasal ini terkait dengan pernyataan Paulus di 6:14 dan 15 (tidak di bawah Taurat
berarti kesempatan untuk berbuat dosa?). Dengan kata lain, kalau di 6:15-23 Paulus
lebih memfokuskan pada sisi dosanya, sekarang ia memfokuskan pada Taurat. Ia
ingin menjelaskan secara panjang lebar arti “tidak hidup di bawah Taurat”.

Paulus mula-mula –melalui metafora pernikahan - memberikan argumentasi bahwa orang


percaya telah dibebaskan dari Taurat (ayat 1-6). Metafora ini dilengkapi dengan beberapa
catatan “negatif” tentang Taurat dalam kaitan dengan dosa. Pernyataan ini pasti akan
menimbulkan pertanyaan tentang posisi Taurat dalam sejarah keselamatan, yaitu “apakah
Taurat pada dirinya sendiri adalah berdosa, padahal Taurat itu pemberian Allah?” (ayat
7). Pertanyaan kedua adalah “seandainya Taurat itu baik (ayat 7-12), mengapa hal itu
mendatangkan kematian?” (ayat 13).

MATI UNTUK TAURAT (ROMA 7:1-6)


Berbeda dengan pembagian perikop LAI:TB, ayat 1-6 seharusnya menjadi satu kesatuan
pemikiran dan ayat 7-12 perikop lain yang terpisah. Ayat 1-6 memaparkan inti
pembahasan Paulus, sedangkan ayat 7-12 merupakan antisipasi terhadap kemungkinan
kesalahpahaman yang mungkin timbul. Sebagaimana Paulus menggunakan metafora
perhambaan untuk menjelaskan relasi orang percaya dengan dosa, di pasal 7 ia juga
memakai metafora untuk menggambarkan relasi orang percaya dengan Taurat, yaitu
metafora hukum perkawinan.

Struktur ayat 1-6 adalah sebagai berikut:


Prinsip umum: hukum mengikat seseorang hanya selama ia hidup (ayat 1)
Contoh: hukum perkawinan (ayat 2-3)
Aplikasi metafora: mati untuk Taurat dan menjalin hubungan dengan Yesus (ayat 4)
Signifikansi transfer relasi (ayat 5-6)

Ayat 1.
Ungkapan “apakah kamu tidak tahu” ("H avgnoei/te) mengindikasikan bahwa isi
pernyataan Paulus sudah dimengerti oleh penerima surat. Ia hanya memakai prinsip
umum pada waktu itu. Beberapa sarjana menganggap o` no,moj di sini sebagai hukum
Romawi, hukum secara umum atau hukum Taurat. Ada beberapa alasan untuk
mengambil alternatif terakhir:
(1) Penggunaan no,moj di bagian-bagian sebelumnya merujuk pada Taurat.
(2) Pasal 7 merupakan elaborasi pertanyaan di 6:15, sedangkan no,moj di 6:15 merujuk
pada Taurat.

97
Tafsir Perjanjian Baru I

(3) Inti 7:1 paralel dengan beberapa tulisan para rabi (meskipun pentarikhan tulisan-
tulisan tersebut agak terlambat), misalnya b. Shabb. 30a, Shabb. 151b bar, Str-B,
3.232, yang menyatakan bahwa jika seseorang mati, ia bebas dari ikatan Taurat.
(4) Contoh hukum perkawinan di ayat 2-3 lebih bernuansa Yahudi (Taurat), misalnya
ungkapan “seorang istri” (lit. “seorang wanita yang berada di bawah suami” (h`
u[pandroj gunh., bdk. Bil 5:29).
Bagaimanapun, rujukan pada Taurat ini tidak berarti bahwa Paulus hanya menujukan
pasal 7 kepada jemaat Yahudi. Mereka yang berkultur non-Yahudi pasti juga sudah
memahami hal ini, karena yang disampaikan Paulus sifatnya sangat umum.

Ayat 2-3.
Untuk memperjelas poin yang ingin disampaikan, Paulus memberikan satu contoh
aplikasi dari prinsip umum di ayat 1. Ia memakai hukum perkawinan: seorang istri terikat
pada hukum perkawinan hanya selama suaminya hidup; jika suaminya meninggal, ia
bebas dari ikatan perkawinan dan bebas memilih laki-laki lain sebagai suami.
Implikasinya, jika seorang istri menikah lagi sebelum suaminya meninggal, ia telah
berbuat zinah. Poin yang ingin disampaikan Paulus sebenarnya sudah jelas, tetapi analogi
dari metafora ini dengan aplikasinya di ayat 4 tampak tidak sesuai. Dalam metafora ini
yang meninggal adalah suami dan istri boleh menikah dengan laki-laki lain. Dalam
aplikasi di ayat 4 – jika dipadankan secara detail – yang meninggal adalah istri (baca:
orang percaya) dan istri yang meninggal tersebut menjalin relasi dengan pihak lain
(Yesus Kristus). Permasalahan ini dapat dipecahkan dalam dua cara:
(1) Dari prinsip hermeneutika metafora/simbol. Suatu metafora biasanya hanya
menyampaikan satu poin utama. Dalam metafora ini intinya terletak pada kebebasan
yang dimiliki seseorang (entah itu suami atau istri) jika pasangannya meninggal.
(2) Dari rujukan ayat 4. Ayat 4 bukan hanya aplikasi dari ayat 2-3, tetapi ayat pertama
juga. Sebagaimana ayat 2-3 menjelaskan lebih lanjut tentang prinsip umum di ayat 1,
demikian juga ayat 4 merupakan aplikasi dari ayat 1-3. Asumsi ini didukung dengan
pemakaian kata sambung w[ste di ayat 4 (bukan ou[twj).

Ayat 4.
Kata sambung “sebab itu” (w[ste) menunjukkan Paulus sedang menarik konklusi atau
aplikasi dari ayat 2-3. “Mati bagi Taurat” di sini identik dengan “tidak berada di bawah
Taurat” di 6:14-15. Hal ini tidak hanya menjelaskan kebebasan dari hukuman Taurat,
tetapi – yang lebih penting - dari ‘kuasa’ Taurat sebagai representasi era lama yang
merangsang dosa. Ada dua argumentasi yang mendukung asumsi ini:
(1) Mati bagi dosa di pasal 6 – sebagai paralel dengan mati bagi Taurat – tidak
membahas kebebasan dari hukuman dosa (maut), tetapi kuasa dosa.
(2) Pasal 7:7-25 lebih memfokuskan pada hubungan antara dosa dan Taurat yang
menghasilkan dosa. Bagian ini membahas ‘akibat’ Taurat (bukan hukuman Taurat).
Orang percaya telah mati bagi Taurat, sehingga semua ikatan dengan Taurat telah
terputus. Ada tiga aspek dari kematian bagi Taurat di ayat 4:
1. Cara: melalui tubuh Kristus.
sw,ma tou/ Cristou/ di sini tidak merujuk pada gereja (bdk. 1Kor 12). Orang percaya
tidak mati bagi Taurat melalui koorperasi dengan orang percaya yang lain. sw,matoj
tou/ Cristou/ merujuk pada kematian Yesus. Persekutuan dengan kematian Kristus ini

98
Tafsir Perjanjian Baru I

sesuai dengan 6:3-5. Orang percaya memiliki relasi (persekutuan) objektif dengan apa
yang dilakukan Yesus di kayu salib (bdk. 5:12-21).
2. Konsekuensi: menjadi milik Kristus.
Struktur eivj to. + infinitif dalam ayat ini lebih mengindikasikan hasil daripada
tujuan. Setelah orang percaya mati bagi Taurat melalui penebusan Kristus, mereka
terikat dengan Yesus. Penambahan frase “kepada Dia yang dibangkitkan dari antara
orang mati” (tw/| evk nekrw/n evgerqe,nti) mengindikasikan bahwa relasi yang baru
dengan Kristus ini adalah sesuatu yang permanen (bdk. 6:9-10).
3. Tujuan: menghasilkan buah bagi Allah.
Beberapa sarjana memahami “menghasilkan buah” (karpofore,w) sebagai ungkapan
lain dari melahirkan (Barret, Sanday & Headlam, Fitzmyer), tetapi dugaan ini
memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan mendasar adalah penggunaan datif tw/|
qew/| (bagi Allah). Seandainya “menghasilkan buah” = “melahirkan” seharusnya
dipakai datif tw/| cristw/| (bagi Kristus), karena orang percaya digambarkan memiliki
ikatan dengan Kristus. karpofore,w di sini pasti merujuk pada arti buah secara umum
seperti di 6:21-22.

Ayat 5-6.
Seperti dalam 6:20-22, Paulus di 7:5-6 juga memuat kontras antara kehidupan lama dan
baru. Dalam bagian ini ia menjelaskan mengapa kematian bagi Taurat merupakan sesuatu
yang penting. Penjelasan ini tercermin dari kontras yang dipaparkan. Kata sa,rx
(“daging”) di ayat 5 tidak merujuk pada natur keberdosaan/kedagingan manusia (kontra
NIV). “Hidup di dalam daging” berarti hidup yang dikuasai oleh prinsip dan nilai
manusiawi. Paulus menggambarkan sa,rx sebagai kekuatan lain dari era lama. Tidak
heran sa,rx di pasal 7-8 selalu dikontraskan dengan Roh Kudus sebagai kekuatan dalam
kehidupan di era baru. Taurat merangsang (lit. “membangkitkan”) hawa nafsu dosa
bekerja dalam diri manusia. Taurat bukan hanya menyatakan dosa (3:20), mengubah dosa
menjadi pelanggaran (5:20), tetapi juga terlibat dalam menghasilkan dosa. Standard ilahi
yang dinyatakan dalam Taurat merangsang natur keberdosaan manusia untuk secara
sengaja melawan standard tersebut. Bentuk imperfect evnhrgei/to (“dibangkitkan”)
merujuk pada tindakan yang dilakukan terus-menerus pada masa lampau. Semua proses
ini terjadi dalam “anggota-anggota tubuh” (me,loj, bdk. 6:13, 19) – suatu frase yang
merujuk pada seluruh aspek kehidupan manusia: pikiran, perasaan, kehendak dan fisik.
Hasil dari semuanya ini adalah kematian (maut, bdk. 6:21, 23).

Berbeda dengan kehidupan lama di bawah Taurat – yang menghasilkan dosa dan
kematian (ayat 5) – kehidupan yang baru di luar Taurat membuat orang percaya sekarang
melayani dalam keadaan yang baru menurut Roh, bukan dalam keadaan yang lama dalam
huruf hukum Taurat. Ayat 6b secara literal diterjemahkan “dalam kebaruan Roh dan
kelamaan huruf”. Bentuk genitif pneu,matoj (Roh) dan gra,mmatoj (huruf) bisa berfungsi
secara epexegetical → “dalam kebaruan, [yaitu] Roh dan bukan dalam kelamaan, [yaitu]
huruf”. Genitif di ayat ini bisa juga berfungsi secara subjective “dalam kebaruan yang
dihasilkan oleh Roh dan bukan dalam kelamaan yang dihasilkan oleh huruf”. Perbedaan
makna di antara dua pilihan tersebut tidak terlalu mendasar. Isu yang lebih penting adalah
makna kontras “Roh” dan “huruf” di sini. Beberapa memahami kontras ini sebagai
“tuntutan internal versus tuntutan eksternal”, “Roh versus penggunaan Taurat secara

99
Tafsir Perjanjian Baru I

legalistik”, dsb. Berdasarkan pemakaian kontras “Roh” vs “huruf” di 2:27-29 dan 2Kor
3:6, kontras ini tampaknya antara perjanjian yang baru dengan yang lama. Interpretasi ini
didukung oleh kontras “ketika...sekarang” di ayat 5-6 dan penggunaan kontras “lama-
baru” dalam tulisan Paulus (2Kor 3:14; 5:17; Ef 4:22-24). Jadi, ayat ini mengajarkan
bahwa kematian bagi Taurat membawa orang percaya melayani Allah dalam keadaan
(era) yang baru yang berkaitan dengan Roh. Relasi antara karya Roh Kudus dan status
orang percaya dalam era yang baru akan dibahas secara lebih mendetail di pasal 8. Di
7:7-25 Paulus lebih terfokus pada penjelasan tentang bagaimana orang di luar Kristus
melayani dalam keadaan lama oleh hukum Taurat.

HUKUM TAURAT DAN DOSA (ROMA 7:7-25)


Sebagai antisipasi terhadap kesalahpahaman tentang ayat 5-6, Paulus membuktikan
bahwa Taurat pada dirinya sendiri adalah kudus. Taurat adalah milik Allah (ayat 22),
baik (ayat 12, 17), kudus (ayat 12), adil (ayat 12) dan rohani (ayat 14). Penyebab utama
bukanlah Taurat, tetapi dosa (ayat 7-12) dan kedagingan manusia (ayat 13-25). Hal ini
bukan berarti Paulus menarik kembali pernyataannya di ayat 5-6. Ia tetap
menghubungkan eksistensi Taurat dengan dosa. Taurat telah menjadi instrumen yang
dipakai oleh dosa dan kedagingan manusia untuk mengeksploitasi semua tindakan
kejahatan. Ide pemikiran di balik gagasan ini mungkin berasal dari Kejadian 2-3. Ular
(Iblis) justru telah menggunakan perintah Allah yang baik (Kej 2:16-17) untuk
menjatuhkan manusia.

Dalam bagian ini (ayat 7-25) ada dua isu utama yang biasanya diperdebatkan. Pertama,
apakah identitas dan maksud Paulus menggunakan kata ganti orang “aku” di ayat 7-25?
Apakah ia sekadar menceritakan pengalaman pribadi? Mewakili manusia pada
umumnya? Inti permasalahan biasanya dikaitkan dengan arti ayat 9-10 “Dahulu aku
hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup,
sebaliknya aku mati.”. Kedua, apakah “aku” di ayat 13-25 adalah Paulus sebelum atau
sesudah bertobat? Pertanyaan kedua akan dibahas secara khusus dalam bagian
selanjutnya. Bagian ini hanya mencoba menjelaskan pertanyaan pertama.

Ada beberapa interpretasi utama terkait dengan hal ini:


(1) “Aku” adalah pengalaman pribadi Paulus. Pengalaman ini dituliskan karena unik dan
mewakili pengalaman setiap manusia.
(2) “Aku” adalah Adam.
(3) “Aku” adalah bangsa Israel.
(4) “Aku” tidak merujuk pada siapa-siapa. Penggunaan kata ganti “aku” hanya sekadar
gaya retoris.
Mayoritas sarjana umumnya menyetujui bahwa “aku” adalah Paulus sendiri, tetapi
mereka berbeda pendapat tentang kapasitas Paulus sebagai “aku”. Paulus pasti tidak
sedang menceritakan pengalamannya per se, sebab hal itu tidak akan memiliki nilai
argumentatif sama sekali bagi pandangan Paulus di ayat 7-25. Ia kemungkinan sedang
menceritakan pengalamannya sebagai representasi semua orang (atau Israel secara
khusus).

HUKUM TAURAT YANG BAIK VS DOSA (ROMA 7:7-12)

100
Tafsir Perjanjian Baru I

Ayat 7-12 seharusnya merupakan satu perikop baru (kontra LAI:TB):


(1) Pertanyaan “Ti, ou=n” (lit. “Jadi bagaimana...?”) di ayat 7 selalu dipakai Paulus untuk
memulai suatu perikop yang baru (bdk. 3:1; 3:9; 4:1; 6:1; 6:15).
(2) Ayat 7 membentuk inclusio dengan ayat 12. Pertanyaan “apakah hukum Taurat
dosa?” dijawab dengan “hukum Taurat itu kudus dan benar”.

Struktur ayat 7-12 dapat dibagi sebagai berikut:


Taurat bukan merupakan dosa (ayat 7a)
Taurat berperanan dalam tindakan dosa (ayat 7b-8)
Akibat: dosa hidup, manusia mati (ayat 9-11)
Konklusi: Taurat adalah kudus, benar dan baik (ayat 12).

Ayat 7a.
Pernyataan Paulus di ayat 5-6 bisa menimbulkan kesan bahwa hukum Taurat bersifat
negatif (dosa). Untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahpahaman tentang hal ini
Paulus menyatakan bahwa hukum Taurat pada dirinya sendiri adalah benar dan kudus.
Pernyataan positif di atas tidak berarti bahwa tidak ada kaitan langsung antara Taurat dan
dosa.

Ayat 7b-8.
Dalam bagian ini Paulus menjelaskan ‘peranan’ Taurat dalam menghasilkan dosa. Kata
avlla. (LAI:TB “tetapi”) sebaiknya dimengerti secara restrictive “walaupun”. Taurat
bukan hanya memberitahu bahwa suatu tindakan adalah dosa (pelanggaran, 4:15; 5:13-
14), tetapi juga menyebabkan manusia ‘mengenal’ dosa. “Mengenal” di sini bukan hanya
secara kognitif, tetapi juga pengalaman. Setelah Taurat diberikan manusia menjadi
semakin memahami (merasakan langsung) keberdosaan dosa. Dosa menjadi bekerja (ayat
8) dan hidup (ayat 9-10). Pengambilan contoh dari genelarisasi perintah ke-10 bersumber
dari pemikiran Yahudi yang menganggap “keinginan” merupakan akar semua dosa
(4Mak 2:6; Yak 1:15; Philo), sehingga perintah “jangan mengingini” dianggap sebagai
rangkuman semua perintah yang ada. Paulus selanjutnya menjelaskan bagaimana
manusia bisa mengenal keberdosaan dosa dalam kaitan dengan Taurat:
1. Taurat membuat manusia paham tentang arti “mengingini” (ayat 7b).
Frase ini tidak berarti bahwa sebelum Taurat manusia tidak tahu arti keinginan. Ini
menunjukkan bahwa setelah ada Taurat manusia baru menyadari natur sesungguhnya
dari “keinginan”. Keinginan merupakan suatu kekuatan yang selalu ingin
memberontak terhadap Allah.
2. Taurat memberi kesempatan dosa untuk membangkitkan rupa-rupa keinginan (ayat
8).
Setelah perintah Allah – sebagai pedoman bagi manusia – diberikan, dosa justru
memanfaatkan hal itu untuk membangkitkan hal-hal yang bertentangan dengan
perintah tersebut. Dosa, sebagaimana digambarkan di pasal 6, adalah suatu kuasa
dalam era lama yang memang selalu berusaha membawa manusia melawan Allah.
Sebagaimana pemikiran etika umum, sebuah larangan justru memotivasi orang untuk
melanggar guna mengetahui alasan di balik pelarangan tersebut.

Ayat 9-11.

101
Tafsir Perjanjian Baru I

Penjelasan di atas membuktikan ketidakmampuan manusia melakukan Taurat. Taurat


diberikan dengan maksud yang baik, yaitu supaya manusia dapat hidup, namun kekuatan
dosa dalam diri manusia justru menghasilkan hal yang sebaliknya: bukan manusia yang
hidup, tetapi dosa yang justru hidup. Dosa telah menipu dan membunuh manusia.

Ayat 12.
Ayat ini merupakan konklusi bagi seluruh perikop atau penjelasan bagi ayat 7a. Taurat
tidak dosa. Sebaliknya, Taurat adalah kudus (karena berasal dari Allah yang kudus),
benar (tidak ada salah) dan baik (tujuannya untuk hidup manusia). Permasalahan bukan
terletak pada Taurat, tetapi pada dosa dalam diri manusia.

HUKUM TAURAT YANG BAIK VS EGO (ROMA 7:13-25)


Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, bagian ini menimbulkan banyak perdebatan
seputar identitas “aku”. Secara umum dapat dibagi menjadi dua: Paulus sebelum bertobat
atau sesudah bertobat. Solusi terhadap pertanyaan ini sebenarnya tidak mempengaruhi
inti ayat 13-25. Bagaimanapun, identifikasi ini tetap diperlukan.

Argumentasi yang mendukung “aku” sebagai Paulus yang belum bertobat:


(1) Relasi yang kuat antara “aku” dan “daging” (ayat 14, 18, 25) mendukung asumsi
bahwa Paulus sedang menjelaskan keadaan orang yang belum bertobat (bdk. 7:5).
(2) “Aku” dalam bagian ini berjuang dengan usaha sendiri (terutama ayat 25) tanpa
bantuan dari Roh Kudus.
(3) “Aku” berada di bawah kuasa dosa (ayat 14b), sedangkan orang percaya telah
dibebaskan dari situasi tersebut (6:2, 6, 11, 18-22).
(4) Perjuangan yang gagal di ayat 15-20 membuat “aku” menjadi tawanan hukum dosa
(ayat 23), padahal orang percaya sudah dibebaskan dari hukum dosa (8:2).
(5) Orang percaya memang masih bergumul dengan dosa (6:12-13; 13:12-14; Gal 5:17),
tetapi yang digambarkan di 7:14-25 bukan hanya pergumulan, sebaliknya sebuah
kekalahan dari dosa.
(6) “Aku” di sini bergumul dengan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan Taurat, padahal
Paulus sudah mengajarkan bahwa orang percaya bebas dari tuntutan Taurat (6:14;
7:4-6).

Argumentasi yang mendukung “aku” sebagai Paulus yang sudah bertobat:


(1) Sebagaimana ayat 7-12, “aku” di sini pasti merujuk pada Paulus. Pergantian tense
dari bentuk lampau (ayat 7-12) ke bentuk kekinian (present) di ayat 13-25
menunjukkan bahwa Paulus sedang memaparkan pengalamannya sebagai orang
Kristen.
(2) Orang yang belum bertobat tidak mencari Allah (3:11) dan tidak tunduk pada hukum
Allah (8:7), sedangkan “aku” mencintai hukum Allah (ayat 22), berusaha untuk
menaatinya (ayat 15-20) dan melayaninya (ayat 25).
(3) Pikiran orang yang belum bertobat biasanya digambarkan secara negatif oleh Paulus
(1:28; Ef 4:17; Kol 2:18; 1Tim 6:5; 2Tim 3:8; Tit 2:15), sedangkan pikiran “aku”
dalam konteks ini sifatnya positif (ayat 22, 25).
(4) Hanya orang percaya yang memiliki ‘manusia batiniah’ (e;sw a;nqrwpoj, ayat 22).
Paulus juga menggunakan istilah ini di 2Kor 4:16 dan Ef 3:16 untuk orang percaya.

102
Tafsir Perjanjian Baru I

(5) Konklusi bagian ini (ayat 25b) – setelah penyebutan pelepasan oleh Tuhan Yesus
(ayat 25a) – tetap menyebut perbedaan antara akal budi (melayani hukum Allah) dan
tubuh insani (melayani hukum dosa).

Masing-masing argumentasi di atas sama-sama kuat, namun alternatif pertama


tampaknya lebih bisa diterima. Berikut ini adalah kemungkinan jawaban bagi sanggahan
para sarjana yang menganggap “aku” sebagai orang percaya:
(1) Bentuk present mungkin dipakai Paulus untuk menggambarkan suatu situasi yang
benar secara umum atau Paulus sedang mewakili pengalaman bangsa Yahudi lain
yang hidup dalam Taurat.
(2) Mencintai hukum Allah dalam pikiran Paulus tidak selalu merujuk pada sifat orang
percaya. Orang Yahudi yang tidak percaya pun juga disebut “giat bagi Allah” (10:2).
Solusi ini sekaligus menjawab keberatan (3) di atas.
(3) Penggunaan istilah “manusia batiniah” harus dipahami dalam konteks antropologis,
bukan soteriologis. Dalam 2Kor 4:16 “manusia batiniah” dikontraskan dengan
“manusia lahiriah” dan keduanya dimiliki oleh orang percaya. Ef 3:16 “Aku berdoa
supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu
oleh Roh-Nya di dalam batinmu” tampaknya juga merujuk pada satu elemen tertentu
dalam diri manusia (sebagai kontras dengan elemen lain yang sifatnya material).
(4) Ayat 25b merupakan bantahan paling serius terhadap identifikasi “aku” sebagai orang
yang belum bertobat, karena orang yang sudah dibebaskan oleh Yesus Kristus (ayat
25a) ternyata masih menghadapi pengalaman kegagalan yang sama (ayat 25b).
Beberapa sarjana menganggap ayat 25b sebagai tambahan saja (Kasemann) atau
meletakkan ayat 25b setelah ayat 23 (Dodd). Solusi terhadap hal ini (meskipun tidak
konklusif) adalah dengan melihat ayat 25a sebagai antisipasi (belum terjadi) dari apa
yang akan dialami oleh orang yang dibebaskan Yesus Kristus. Jadi, ayat 25a bisa
dianggap sebagai break yang akan dijelaskan panjang lebar di pasal 8. Ayat 25b
sendiri merupakan konklusi dari seluruh pembahasan di ayat 13-24. Posisi sebagai
konklusi ini harus dibedakan dari posisi sebagai konsekuensi/situasi akhir.

Struktur ayat 13-25 dapat dijelaskan sebagai berikut:


Taurat yang baik tidak menjadi kematian (ayat 13a)
Alasan: dosa yang menghasilkan kematian melalui Taurat (ayat 13b-14)
Tujuan: menyatakan dosa yang sesungguhnya dan menjadikan dosa lebih berdosa
lagi (ayat 13b)
Cara: melalui kedagingan manusia yang terjual di bawah kuasa dosa (ayat 14)
Akibat dari kedagingan yang terjual di bawah dosa (ayat 15-20)
Konklusi: (ayat 21-23)
Ungkapan keputusasaan (ayat 24)
Break: jalan keluar → Tuhan Yesus (ayat 25a)
Konklusi: akali budi melayani hukum Allah, tetapi kedagingan melayani dosa (ayat 25b)

Ayat 13a.
Pertanyaan di ayat ini merupakan antisipasi terhadap kemungkinan kesalahpahaman
tentang pernyataan Paulus di ayat 7-12. Kalau memang Taurat itu baik (ayat 7, 12) -
tetapi justru menghasilkan kematian – apakah itu berarti bahwa Taurat yang baik tersebut

103
Tafsir Perjanjian Baru I

menjadi kematian bagi manusia? Jawaban Paulus adalah tegas: TIDAK! Ia selanjutnya
menjelaskan jawaban ini di ayat 13b-25. Pertanyaan ini sebenarnya mirip dengan isu di
ayat 7-12, namun perbedaannya terletak pada dua hal:
(1) Ayat 7-12 lebih terfokus pada aspek eksternal antara dosa dan Taurat, sedangkan ayat
13-25 pada aspek internal antara dosa dan kedagingan manusia.
(2) Ayat 13-25 relatif lebih detail daripada penjelasan di ayat 7-12.

Ayat 13b-14.
Struktur kalimat Yunani di ayat 13b agak rancu, karena tidak memiliki kata kerja pada
induk kalimat. Secara literal (tanpa penambahan kata kerja pada induk kalimat) ayat 13b
diterjemahkan “tetapi dosa, supaya terlihat sebagai dosa, melalui yang baik mengerjakan
(participle katergazome,nh) kematian dalam aku, supaya dosa itu menjadi semakin
berdosa melalui perintah itu”. Mayoritas penerjemah atau penafsir biasanya
mengasumsikan adanya kata kerja finite stative sebelum participle katergazome,nh atau
menganggap katergazome,nh sebagai kata kerja utama. Terlepas dari alternatif tersebut,
arti kalimat ini sebenarnya sudah cukup jelas: dosa menghasilkan kematian melalui
sesuatu yang baik (Taurat). Dua anak kalimat i[na (“supaya”) + kata kerja subjunctive
menunjukkan tujuan tindakan di induk kalimat.
1. Supaya dosa dinyatakan sebagai dosa.
Melalui Taurat seseorang memahami kesalahan yang ia lakukan adalah pelanggaran
terhadap hukum Allah, karena Taurat berasal dari Allah. Suatu tindakan bukan hanya
salah secara moral, tetapi secara teologis.
2. Supaya dosa menjadi semakin berdosa.
Taurat bukan hanya menyatakan bahwa suatu tindakan dosa, tetapi Taurat juga
menjadikan dosa menjadi semakin berdosa. Frase kaqV u`perbolh.n a`martwlo.j oleh
mayoritas EV’s diterjemahkan “berdosa secara luar biasa” (ASV, NKJV) atau
“berdosa melewati ukuran” (RSV). Frase ini berarti bahwa melalui Taurat dosa telah
menjadi tindakan pemberontakan yang disengaja untuk melawan Allah (bdk. 4:15;
5:13-14; 5:20).
Ayat 14 dimulai dengan kata sambung ga.r (“sebab”) yang menerangkan ayat 13b:
bagaimana sesuatu yang baik bisa digunakan untuk mendatangkan kematian? Paulus
kembali menegaskan bahwa Taurat adalah baik. Kali ini ia memakai istilah “rohani”
(pneumatiko,j). pneumatiko,j berfungsi untuk menunjukkan asal/sumber Taurat, yaitu
dari Allah sendiri (bdk. 1Kor 10:3-4 dan tulisan para rabi yang menyatakan kitab-kitab
kanonik diucapkan oleh Roh Kudus). Selain itu, pneumatiko,j membuat kontras dengan
“aku” (evgw.) di ayat 14b. Deskripsi tentang orang yang belum bertobat:
1. Bersifat kedagingan (sa,rkino,j).
Deskripsi ini sebenarnya tidak selalu merujuk pada orang yang belum bertobat.
Paulus pernah mengaplikasikan hal ini untuk orang percaya (1Kor 3:1).
Bagaimanapun, sifat ini pasti juga dimiliki oleh orang yang tidak percaya.
Berdasarkan kontras antara kata pneumatiko,j dan sa,rkino,j di 1Kor 3:1-3, sa,rkino,j
di sini tampaknya merujuk pada manusia yang dikuasai oleh prinsip-prinsip duniawi
(kefanaan).
2. Terjual di bawah dosa (peprame,noj u`po. th.n a`marti,an).
Deskripsi ini merupakan penjelasan lanjut tentang poin sebelumnya. Orang yang
belum bertobat berada dalam situasi terjual (participle peprame,noj) di bawah dosa.

104
Tafsir Perjanjian Baru I

Kata dasar pipra,skw dipakai 24 kali di LXX, 11 di antaranya merujuk pada penjualan
budak (bdk. Mat 18:25). Tense perfect yang dipakai dalam peprame,noj juga mungkin
menunjukkan keberdosaan di dalam Adam yang masih memiliki akibat sampai
sekarang. Istilah ini jelas mengindikasikan hal yang sama dengan metafora
perhambaan di pasal 6. Yang diindikasikan dalam frase ini adalah otoritas dosa atas
seseorang. Orang yang dikuasai dosa tidak memiliki keinginan lain kecuali menuruti
kehendak dosa.

Ayat 15-20.
Bagian ini merupakan penjelasan subjektif yang menerangkan akibat dari sifat
kedagingan dan situasi terjual di bawah dosa (ayat 14). Paulus memulai dengan
pernyataan “aku tidak tahu apa yang aku lakukan”. Kata “tidak tahu” (ouv ginw,skw)
lebih tepat dipahami sebagai “tidak menyetujui” (Cranfield, Moo, BAGD, bdk. KJV),
meskipun arti umum ginw,skw memang “mengetahui”. Arti ini juga didukung oleh
anak kalimat selanjutnya. Paulus melakukan apa yang justru ia benci, padahal
keinginannya melakukan yang baik. Ada pertentangan antara “keinginan” (sifatnya
positif) dan “ketidakmampuan” (sifatnya negatif). Situasi ini membuktikan dua hal:
1. Bahwa Taurat adalah baik.
Artinya, eksistensi konflik antara yang baik dan yang jahat dalam diri manusia
membuktikan bahwa Taurat adalah baik (diingini oleh elemen yang baik dalam
diri manusia).
2. Bahwa dosa begitu menguasai manusia.
Inti ayat 17-20 terletak pada eksistensi dosa yang menjadi penyebab
ketidakmampuan manusia melakukan apa yang baik (ayat 17, 20). Pernyataan ini
mirip dengan ajaran para rabi yang menyebut yeser (keinginan) yang jahat
sebagai penyebab dosa. Para rabi mengajarkan bahwa yeser tersebut harus
dilawan dengan Taurat atau yeser yang baik. Perbedaan esensial dengan teologi
Paulus terletak pada solusi untuk melawan yeser yang baik: Paulus mengajarkan
bahwa solusi hanya ada dalam Tuhan Yesus (ayat 25a). Eksistensi dosa
menyebabkan tidak ada yang baik dalam diri (“evn th/| sarki,”) Paulus. Sarx di
sini sebaiknya dipahami sebagai elemen dalam diri manusia yang sifatnya
material (sebagai kontras dengan keinginan/pikiran). Ini tidak berarti bahwa
Paulus mengadopsi dualisme Yunani yang menganggap tubuh secara fisik sebagai
kejahatan. Ini juga tidak berarti bahwa orang yang belum bertobat tidak memiliki
kebaikan sama sekali (bdk. 2:14-15). Gambar Allah dalam diri mereka tidak
hilang (Kej 9:6; Yak 3:9). Yesus pun mengakui bahwa bangsa-bangsa lain
memiliki kebaikan (Mat 5:46f; 7:11). Terjemahan LAI:TB di ayat 18b “Sebab
kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik” bisa
menimbulkan kesan kontradiktif dengan ayat 15-16, karena terjemahan tersebut
seakan-akan menyatakan bahwa kehendak yang dimiliki Paulus bukanlah
kehendak untuk melakukan apa yang baik. Ayat 18b secara literal seharusnya
diterjemahkan “sebab keinginan [itu] ada padaku, tetapi kelakuan [itu] tidak ada”.
Eksistensi dosa menyebabkan Paulus tidak mampu melakukan apa yang ia tahu
seharusnya ia lakukan.

Ayat 21-23.

105
Tafsir Perjanjian Baru I

Kata sambung a;ra (“demikianlah”) di ayat 21 mengindikasikan bahwa bagian ini


merupakan konklusi dari ayat 14-20. no,moj di ayat 21 – mengikuti mayoritas EV’s –
sebaiknya diterjemahkan secara umum, yaitu “prinsip” (bdk. 2;12). Prinsip tersebut
adalah: keinginan berbuat baik dalam diri manusia tidak bisa terealisasi karena eksistensi
dosa yang menguasai bagian lain dari diri manusia. Penggunaan istilah ini menyiratkan
situasi permanen yang sulit diubah, yaitu ketidakberdayaan manusia melakukan apa yang
dikehendaki/dipikirkan karena dosa (bdk. “hukum dosa” di ayat 23). Prinsip ini akan
terus berlaku dan membuat manusia putus asa (ayat 24). Ada pertentangan antara hukum
akal budi (yang berorientasi pada hukum Taurat) dan hukum lain (yang berorientasi pada
dosa). Kekuatan “hukum lain” ini digambarkan dengan ungkapan militer “berjuang”
(avntistrateu,omai) yang merupakan hapax legomena.

Ayat 24.
Situasi di ayat 14-23 membawa orang yang belum bertobat pada puncak keputusasaan.
Ungkapan “celaka” (talai,pwroj) dalam LXX dan PB biasanya dipakai untuk
kesengsaraan yang berhubungan dengan penghakiman Allah (Yes 47:11; Yer 6:7; 15:8;
20:8; 51:56; Amos 5:9; Mik 2:4; Yoel 1:15; Zef 1:15; Yak 5:1; Wah 3:17). Pertanyaan
“siapa” (bukan “apa”) di sini penting sebagai kontras terhadap konsep para rabi yang
menganggap Taurat dan yeser yang baik sebagai solusi. Kekuatan dosa yang beroperasi
dalam tubuh manusia – yang hanya membawa pada kematian (bdk. “tubuh kematian”) -
hanya bisa dibebaskan oleh Tuhan Yesus (ayat 25a).

Ayat 25a.
Ungkapan “syukur kepada Allah oleh Yesus Kristus Tuhan kita” menjelaskan solusi
yang telah disediakan. Solusi tersebut bersumber dari Allah, tetapi dikerjakan oleh Tuhan
Yesus.

Ayat 25b.
Bagian ini merupakan konklusi bagi semua pembahasan di ayat 13-25a. Pertentangan
konstan antara akal budi (dan keinginan) melawan daging yang dikuasai dosa akan terus
menjadi fenomena orang-orang yang belum bertobat. Bagi orang percaya sendiri, situasi
ini tidak perlu menjadi momok, karena Paulus sendiri sudah mengantisipasi kelepasan
dari situasi ini melalui Yesus Kristus.

ROH KUDUS DALAM HIDUP ORANG PERCAYA (ROMA 8:1-39)


Fenomena yang menarik dalam pasal 8 adalah munculnya kata pneu/ma sebanyak 21
kali. Semua (paling tidak 19 kali) pemunculan tersebut merujuk pada Roh (Kudus).
Statistik ini sangat penting, mengingat Roh Kudus hanya muncul 7 kali di pasal 1-7 dan 8
kali di pasal 9-16. Pasal ini adalah pasal yang paling banyak memuat kata Roh Kudus
dibanding dengan pasal lain di PB (Cranfield), bahkan mengalahkan 1Kor 12 (Moo).
Pemunculan pneu/ma di pasal 8 memang tidak terdistribusi secara konsisten dan
seimbang (15 kali di ayat 1-17, tetapi hanya 5 kali di ayat 18-39), namun statistik ini
cukup untuk memberikan indikasi bahwa tema pasal ini terkait dengan Roh Kudus.
Secara umum tema pasal ini adalah karya Roh Kudus dalam hidup orang percaya. Secara
lebih khusus, temanya adalah karya Roh Kudus dalam menjamin keselamatan orang
percaya.

106
Tafsir Perjanjian Baru I

LAI:TB membagi pasal ini menjadi 3 perikop: ayat 1-17, 18-30 dan 31-39. NIV juga
membagi menjadi 3, tetapi dengan pengaturan yang berbeda: ayat 1-17, 18-27, 28-39.
Mayoritas sarjana membagi pasal ini menjadi 4 perikop: ayat 1-11, 12-17, 18-30 dan 31-
39 (Kasemann, Cranfield, Dunn). Bagian yang masih diperdebatkan oleh beberapa
sarjana lain adalah perikop pertama. Mereka mengusulkan perikop pertama berakhir
sampai ayat 13. Mereka yang menganggap ayat 12 sebagi permulaan perikop ke-2
biasanya mendasarkan argumentasi pada penggunaan :Ara ou=n (LAI:TB “jadi”).
Bagaimanapun, ada beberapa alasan penting mengapa perikop ke-1 sebaiknya diakhiri
dengan ayat 13 (Fitzmyer, Moo):
(1) Mayoritas penggunaan :Ara ou=n dalam Surat Roma bukan terletak pada awal
perikop (5:18; 7:3, 25; 9:16, 18; 14:12, 19). Pemakaian tersebut bahkan menunjukkan
bahwa :Ara ou=n seringkali dipakai sebagai konklusi/implikasi/konsekuensi dari apa
yang sudah disampaikan sebelumnya.
(2) Ayat 12-13 masih membahas topik pertentangan daging melawan Roh yang sedang
dibahas di ayat 1-11, sedangkan ayat 14-17 tidak membicarakan tentang pertentangan
tersebut.
(3) Ayat 12-13 lebih cocok jika berfungsi sebagai konklusi/konsekuensi dari pembahasan
di ayat 1-11.

Jika argumentasi di atas diterima, struktur pasal 8 dapat dibagi sebagai berikut:
Roh yang menghidupkan (ayat 1-13)
Roh yang mengadopsi (ayat 14-17)
Jaminan di tengah penderitaan yang sementara (ayat 18-30)
Konklusi ayat 1-30 dan semua pembahasan mulai 1:18 (ayat 31-39)

ROH YANG MENGHIDUPKAN (ROMA 8:1-13)


Kata atau ide yang dominan dalam bagian ini adalah “hidup” atau “kehidupan” (Moo).
Kata benda zwh, muncul 3 kali (ayat 2, 6, 10), sedangkan kata kerja sebanyak 2 kali (ayat
12-13).
Ayat 1-13 terdiri dari beberapa bagian:
Situasi baru orang percaya: tidak ada penghukuman (ayat 1)
Alasan: karya Roh Kudus bagi orang percaya (ayat 2-11)
Roh mengaplikasikan karya penebusan Kristus (ayat 2-4)
Roh memimpin hidup yang berfokus pada Allah (ayat 5-9)
Roh menjamin kebangkitan tubuh orang percaya (ayat 10-11)
Konklusi (ayat 12-13)

Ayat 1.
Kata sambung “demikianlah” (a;ra) merangkum semua pembahasan yang ada di pasal 5-
7. Sebelumnya Paulus telah mengajarkan jaminan keselamatan (pengharapan) (5:1-11)
dan dasar objektif dari jaminan tersebut, yaitu karya penebusan Kristus (5:12-21). Ia juga
telah mempertahankan jaminan tersebut dalam kaitan dengan dosa (ps. 6) dan Taurat (ps.
7). Di sini ia merangkum semua pembahasan tersebut dalam satu kalimat: sekarang tidak
ada penghukuman bagi mereka yang berada dalam Kristus. “Sekarang” (nu/n) di sini

107
Tafsir Perjanjian Baru I

merujuk pada transfer dari era lama ke era baru (3:21; 5:9; 6:19, 22; 7:6). Ketidakadaan
penghukuman ini ditekankan Paulus melalui dua cara:
(1) Ia memakai kata ouvde.n, yang secara literal berarti “tidak satupun”.
(2) Ia meletakkan ouvde.n di awal kalimat.

Ayat 2-4.
Kata sambung ga.r (“karena”, dalam LAI:TB tidak diterjemahkan) di awal ayat 2
menerangkan alasan bagi ayat 1. Bagian ini merupakan dasar mengapa tidak ada
penghukuman. Ada satu kata di ayat 2 yang tidak diterjemahkan di LAI:TB, yaitu kata o`
no,moj (“hukum”) yang terletak sebelum frase Roh yang memberi hidup. Secara literal
ayat 2 diterjemahkan “karena hukum Roh yang menghidupkan melalui Kristus Yesus
telah memerdekakan kamu dari hukum dosa dan hukum maut”. Beberapa sarjana
memahami o` no,moj sebagai rujukan pada Taurat (Barth, Dunn). Mereka berpendapat
bahwa melalui pekerjaan Roh Kudus di era yang baru, Taurat benar-benar telah
ditempatkan pada posisi dan fungsinya yang semula, yaitu memberi hidup.
Bagaimanapun, o` no,moj lebih tepat dimengerti sebagai “prinsip” (mayoritas sarjana).
(1) Yang memenuhi tuntutan Taurat bukanlah orang percaya, tetapi Yesus (ayat 3).
(2) Asumsi di atas bertentangan dengan bagian lain Surat Roma yang mengajarkan
pembenaran Allah di luar Taurat (3:21; Gal 2;15-3:14) dan pembenaran hanya
melalui iman – bukan Taurat (4:12-15; Gal 3:15-18).
(3) o` no,moj dibandingkan dengan “hukum dosa dan hukum maut” yang menyiratkan
suatu prinsip atau kekuatan (bdk. 7:21-25).
Dengan menggunakan frase “hukum Roh yang menghidupkan” (o` no,moj tou/
pneu,matoj th/j zwh/j) Paulus ingin menekankan pada aspek otoritas dan kuasa Roh
Kudus yang membebaskan orang percaya dari era lama ke dalam era baru. Pembebasan
dari “hukum dosa dan maut” ini menyangkut pembebasan dari kuasa dosa (ayat 1) dan
juga hukuman dosa (ayat 5-10). Ada perbedaan terjemahan tentang kata ganti yang
dipakai di ayat ini. Mayoritas EV’s mengambil “aku”, sedangkan LAI:TB “kamu”.
Perbedaan ini terkait dengan faktor tekstual. UBS2 dan mayoritas EV’s mengambil
bacaan me (“aku”). Bagaimanapun, UBS3,4, NA26,27 dan mayoritas sarjana lebih memilih
bacaan se (“kamu”).
(1) Kombinasi a dan B tampaknya lebih meyakinkan daripada A, D dan MT.
(2) Pengubahan se ke me lebih bisa diterima dengan asumsi penyalin ingin menyamakan
bagian ini dengan pasal 7:7-25 yang memakai kata ganti “aku”.

Ayat 3.
Mengaitkan karya Roh Kudus dengan karya penebusan Kristus. Apa yang tidak mampu
dilakukan Taurat telah dilakukan oleh Allah, yaitu menjamin kehidupan eskhatologis
(Hodge, Barret). Ketidakmampuan Taurat disebabkan oleh kelemahan daging (bdk. 7:13-
25). Allah mengambil inisiatif untuk mengirimkan Anak-Nya sendiri sebagai solusi:
1. Yesus datang dalam keserupaan dengan daging yang dikuasai dosa.
Bidat docetisme memahami ayat ini sebagai keserupaan secara superfisial (secara
natur sebenarnya tidak sama). Pandangan ini bertentangan dengan teologi PB (Gal
4:4), meskipun makna superfisial o`moi,wma juga dipakai di Rom 1:23. Pada ekstrem
yang lain, beberapa sarjana berspekulasi bahwa Yesus sungguh-sungguh mengambil
kedagingan manusia yang berdosa. Penggunaan kata o`moi,wma jelas

108
Tafsir Perjanjian Baru I

mengindikasikan kehati-hatian Paulus supaya penerima tidak terjebak pada dua


ekstrem di atas. Seandainya ia setuju dengan ekstrem kedua, ia tidak perlu
menambahkan kata ini. Penggunaan o`moi,wma di 5:14 dan 6:5 menunjukkan adanya
kesamaan sekaligus perbedaan. Paulus ingin menegaskan bahwa Yesus sungguh-
sungguh masuk ke dalam kondisi manusia, tetapi ia tidak berada dalam tawanan
daging yang bersifat negatif (bdk. 7:5; 8:8-9).
2. Yesus datang sebagai kurban dosa.
Ada satu frase lagi yang menerangkan inkarnasi Kristus, yaitu kai. peri. a`marti,aj (lit.
“dan untuk dosa”). LAI:TB menggabungkan kai. peri. a`marti,aj dengan frase
sebelumnya, sehingga diterjemahkan “yang serupa dengan daging yang dikuasai oleh
dosa karena dosa”. Penggunaan kata sambung kai. lebih mendukung jika kai. peri.
a`marti,aj dianggap sejajar dengan prepositional phrase sebelumnya (evn
o`moiw,mati sarko.j a`marti,aj). Dengan demikian, kai. peri. a`marti,aj merupakan
keterangan lebih lanjut tentang inkarnasi Kristus. Data lexical mendukung asumsi
bahwa peri. a`marti,aj merujuk pada kurban penghapus dosa. 44 dari 54 penggunaan
peri. a`marti,aj di LXX merujuk pada kurban dosa. Arti ini juga didukung oleh PB
(Ibr 10:6, 8; 13:11). Makna ini terlihat jelas dalam terjemahan NIV dan NASB.
3. Yesus datang sebagai objek realisasi penghukuman Allah.
Para sarjana berbeda pendapat tentang arti frase “Allah menghukum dosa dalam
daging”. Mayoritas melihat sa,rx (“daging”) sebagai representasi dosa, sehingga frase
di atas dimengerti sebagai tindakan Allah menghancurkan kuasa dosa. Melihat frase
sebelumnya (“dalam keserupaan dengan daging yang berdosa”), evn th/| sarki, di sini
sebaiknya dimengerti sebagai rujukan pada manusia Kristus. Kristus telah dibuat
menjadi berdosa karena kita (2Kor 5:21) dan Ia telah menggantikan hukuman dosa
bagi kita (3:25; Gal 3:13).

Ayat 4.
Menyatakan tujuan (bdk. i[na = “supaya”) Allah mengirim Anak-Nya, yaitu tuntutan
yang benar dari Taurat digenapi (LAI:TB menerjemahkan to. dikai,wma hanya dengan
“tuntutan”, kontra mayoritas EV’s dan sarjana). Beberapa melihat kasih orang Kristen
sebagai penggenapan tuntutan Taurat (bdk. 13:8-10; Gal 5:14). Sebagian
menghubungkan dengan pimpinan Roh Kudus yang memampukan orang percaya
memenuhi tuntutan Taurat melalui kehidupan yang benar (Murray, Cranfield, Morris).
Bagaimanapun, frase ini lebih tepat dimengerti sebagai apa yang telah dilakukan Kristus
untuk orang percaya daripada apa yang dilakukan orang percaya. Tuntutan Taurat adalah
ketaatan yang sempurna (Yak 2:10) dan realita kehidupan orang percaya tampaknya tidak
pernah mencapai titik tersebut (meskipun secara teoritis mungkin). Selain itu, bentuk
pasif “digenapi” dan konteks ayat 2-4 tampaknya juga mendukung. Kristus telah
memenuhi tuntutan Taurat melalui hidupnya yang tanpa dosa. Ia juga memenuhi kutuk
Taurat dengan cara menggantikan hukuman orang percaya. Berdasarkan persekutuan
dengan karya Kristuslah orang percaya memenuhi tuntutan Taurat. Hal ini tidak berarti
bahwa kebenaran tersebut tidak terkait dengan kehidupan orang percaya. Orang percaya
yang telah memenuhi tuntutan Taurat melalui persekutuan dengan Kristus juga harus
menunjukkan tanda/bukti realita tersebut dengan cara hidup dalam Roh, bukan dalam
daging. Roh memberikan kuasa yang baru dan karya Kristus sudah menghancurkan kuasa
dosa, sehingga orang percaya tidak lagi kalah dalam pergumulan dengan dosa.

109
Tafsir Perjanjian Baru I

Ayat 5-9.
Bagian ini menerangkan bagian terakhir dari ayat 4 sekaligus menjelaskan karya Roh
Kudus yang lain dalam kehidupan orang percaya. Perpindahan status dari era lama ke
baru harus diikuti oleh kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus. Kontras antara daging
dan Roh dalam bagian ini mengindikasikan kebutuhan mutlak orang percaya terhadap
pimpinan Roh. Ayat 5-8 tidak berarti orang percaya ada kemungkinan berada dalam
daging. Kehidupan dalam daging yang dielaborasi di sini hanya untuk menunjukkan
kemustahilan bagi seseorang yang dalam daging untuk diselamatkan.
1. Orang yang berada dalam daging selalu memikirkan hal-hal kedagingan (ayat 5).
Memikirkan di sini bukan hanya masalah pengetahuan (kognitif), tetapi lebih ke arah
cara berpikir. Makna ini tersirat dari arti kata kerja frone,w dan tense present yang
dipakai.
2. Orang yang berada dalam daging pasti akan menerima maut (ayat 6).
Hubungan antara dagin/dosa dengan maut sudah sering diajarkan sebelumnya. Maut
di sini lebih bersifat eskhatologis (bdk. ayat 1).
3. Orang yang berada dalam daging merupakan seteru Allah (ayat 7).
Allah tidak pernah memberi jalan tengah. Orang yang dalam daging adalah musuh
Allah, karena mereka selalu tidak tunduk pada hukum Allah. Bagi Paulus, orang yang
belum pindah ke era baru tidak mungkin tunduk pada Allah. Mereka mengalami apa
yang disebut kerusakan total (total depravity).
4. Orang yang berada dalam daging tidak mungkin berkenan kepada Allah (ayat 8).
Bagian ini merupakan konsekuensi selanjutnya dari poin 1-3. Orang yang selalu
memikirkan perkara-perkara daging yang berujung pada maut dan yang menjadi
seteru Allah pasti tidak akan berkenan kepada Allah.
Ayat 9 dimulai dengan kata “tetapi kamu” (u`mei/j de.) yang menyiratkan penekanan
pada kontras antara situasi di ayat 5-8 dan 9. Orang percaya berada di dalam Roh, karena
(ei;per bisa berarti “jika” atau “karena” – tergantung pada konteksnya) Roh Allah tinggal
dalam diri mereka. Kata “tinggal” (oivke,w) yang dipakai di sini tidak bisa dijadikan
dasar untuk mengasumsikan ide permanensi Roh Kudus – meskipun ide tersebut
didukung seluruh PB - karena kata juga dipakai untuk dosa (kontra Moo, bdk. 7:17, 20).

Ayat 10-11. Bagian ini merujuk pada karya Roh Kudus secara futuris. Tubuh (sw/ma)
jelas merujuk pada tubuh secara fisik yang bisa mengalami kematian (bdk. “tubuh yang
fana” dan “membangkitkan” di ayat 11). Kematian fisik ini memang merupakan bagian
dari hukuman dosa yang juga akan dialami oleh orang percaya (bdk. “karena dosa” di
ayat 10). Di pihak lain, Roh (pneu/ma) adalah kehidupan karena kebenaran. Mayoritas
EV’s (juga LAI:TB) menganggap pneu/ma sebagai roh manusia, namun pneu/ma di sini
sebaiknya dipahami sebagai Roh Kudus (KJV/NKJV, NRSV).
(1) pneu/ma yang muncul di ayat 2-9 selalu merujuk pada Roh Kudus.
(2) Ayat 11 juga masih membicarakan apa yang dilakukan Roh Kudus.
Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari kematian adalah Roh yang sama yang akan
membangkitkan tubuh orang percaya dan mereka bisa menikmati hidup kekal.

Ayat 12-13. Kata sambung “demikian sekarang” (:Ara ou=n) mengindikasikan


konsekuensi/konklusi dari ayat 1-11. Orang percaya adalah orang yang berhutang [secara

110
Tafsir Perjanjian Baru I

implisit] kepada Roh, karena karya Roh Kudus bagi orang percaya di ayat 1-11. Hutang
ini membuat mereka terikat untuk mengikuti keinginan Roh. Perkataan Paulus di ayat 12
bukan berarti membuka kemungkinan bagi orang percaya untuk kembali pada hidup yang
dikuasai daging. Perkataan ini juga bukan berarti tidak memiliki keseriusan. Transfer
relaita dari era lama ke baru memang menjamin kehidupan kekal, tetapi hal tersebut tidak
bisa dipisahkan dari pergumulan untuk mematikan dosa melalui kekuatan Roh Kudus.
Berdasarkan penekanan konstan pasal 8 pada karya Roh Kudus, yang dipentingkan di
ayat 13 juga adalah karya Roh Kudus. Mematikan dosa anggota-anggota tubuh hanya
bisa dilakukan melalui Roh Kudus.

ROH KUDUS YANG MENGADOPSI (ROMA 8:14-17)

Inti perikop ini adalah status orang percaya sebagai anak-anak Allah. Tema ini begitu
mendominasi, sehingga bagian ini layak dikategorikan sebagai satu kesatuan pemikiran.
Hal ini tidak berarti bahwa ayat 14-17 tidak memiliki kaitan sama sekali dengan ayat 1-
13. Kedua bagian sama-sama mengajarkan peranan vital Roh Kudus. Keduanya juga
sama-sama berorientasi pada kepastian eskhatologis (ayat 1 dan 17). Selain itu, rujukan
tentang “dipimpin oleh Roh Kudus” di ayat 14 jelas berhubungan dengan pembahasan di
bagian sebelumnya.

Alur pemikiran dalam bagian ini adalah sebagai berikut:


Tanda anak-anak Allah: dipimpin oleh Roh Allah (ayat 14)
Alasan (ayat 15-16)
Roh Allah menjadikan orang percaya sebagai anak-anak Allah (ayat 15)
Roh Allah menyaksikan bahwa orang percaya adalah anak-anak Allah (ayat 16)
Implikasi: orang percaya berhak menerima janji-janji Allah (ayat 17)

Ayat 14. Kata sambung “karena” (ga.r, dalam LAI:TB tidak diterjemahkan)
menghubungkan ayat 14 dengan ayat 13b. Kepastian hidup kekal memang terkait dengan
tindakan orang percaya mematikan dosa (ayat 12-13), tetapi bukan itu yang menjadi inti.
Sebagaimana ayat 1-11 yang menekankan karya Roh Kudus sebagai jaminan
pengharapan eskhatologis, ayat 14-16 memfokuskan karya Roh Kudus dalam kaitan
dengan status orang percaya sebagai anak-anak Allah. Paulus memulai dengan
tanda/bukti seseorang menjadi anak-anak Allah, yaitu ia harus dipimpin oleh Roh Allah.
Pimpinan Roh Kudus dalam ayat ini bukan hanya menunjuk pada pengalaman
pengudusan, tetapi juga pada perubahan status. Dipimpin Roh Kudus merupakan kontras
terhadap dipimpin/di bawah dosa-Taurat (bdk. ayat 5-10 dan Gal 5:18). Penggunaan
istilah anak-anak Allah sangat mungkin berasal dari konsep PL. Ungkapan itu biasanya
dipakai untuk Israel (Kel 4:22; Ul 14:1; Yes 43:6; Yer 3:19; 31:9; Hos 11:1). Allah sering
disebut sebagai bapa Israel (Ul 32:6; Yes 64:8).

Ayat 15. Kata sambung “sebab” (ga.r) memberikan keterangan tambahan tentang ayat 14.
Frase “Roh yang menjadikan kamu anak-anak Allah” (LAI:TB) dalam bahasa Yunaninya
terdiri dari dua kata, yaitu pneu/ma ui`oqesi,aj (lit. “Roh adopsi”). Ungkapan ini jelas
merujuk pada Roh Kudus (ayat 14, 23; Gal 4:6). Roh ini dikontraskan dengan “roh
perbudakan (pneu/ma doulei,aj). Ungkapan ini tidak menunjuk pada roh manusia atau roh

111
Tafsir Perjanjian Baru I

lain. Penggunaan pneu/ma doulei,aj hanya sekadar gaya retoris. Tidak seperti roh
perbudakan yang menyebabkan ketakutan (karena kesadaran tentang eksistensi dan
konsekuensi dosa, 3:20; 7:7-13), Roh adopsi memberikan keberanian bagi orang percaya
untuk memanggil Allah sebagai Abba.

Ayat 16. Roh Kudus bukan hanya menjadikan dan memberikan keberanian, tetapi Ia juga
memberikan keyakinan dalam roh (pneu/ma) orang percaya. Roh Kudus bersaksi
bersama dengan roh orang percaya secara terus menerus (bdk. tense present di
summarturei/). Keyakinan ini terjadi dalam diri orang percaya yang paling dalam,
sebagaimana disiratkan oleh pemakaian pneu/ma (roh manusia).

Ayat 17. Dalam bagian ini Paulus menarik implikasi dari karya Roh Kudus di ayat 15-16.
Fokus dalam ayat ini bukan pada aspek kekinian, tetapi futuris. Dengan menjadi anak
angkat, orang percaya juga menjadi ahli waris yang berhak atas janji-janji Allah.
Metafora ini sesuai dengan hukum Romawi yang menyatakan bahwa anak angkat berhak
memiliki warisan sebagaimana anak kandung. Jaminan ini merupakan sesuatu yang pasti,
terlepas dari situasi yang dihadapi oleh orang percaya sekarang (penderitaan).
Sebagaimana Kristus sebagai dasar adopsi telah menderita, orang percaya juga harus
mengikuti jejak-Nya (bdk. Fil 1:29; 3:10; 2Kor 1:5). Inilah syarat (bdk. ei;per = “jika”)
menerima janji-janji bersama dengan Kristus dan dimuliakan bersama Dia.

PENGHARAPAN KEMULIAAN DI TENGAH PENDERITAAN (ROMA 8:18-30)

Kaitan antara bagian ini dengan bagian sebelumnya terletak pada:


(1) Ide tentang penderitaan di ayat 17.
(2) Rujukan tentang status sebagai anak-anak Allah (ayat 19, 21).
(3) Ide tentang kepastian pengharapan eskhatologis.
Elaborasi tentang topik penderitaan yang dihadapi anak-anak Allah merupakan sesuatu
yang penting, karena penderitaan yang dialami anak-anak Allah tampaknya
berkontradiksi dengan status mereka. Selain itu, semua penderitaan yang terjadi pasti
menimbulkan kekuatiran apakah hal tersebut bisa ‘membahayakan’ pengharapan
kemuliaan orang percaya.

Struktur perikop ini adalah sebagai berikut:


Inti: kepastian pengharapan kemuliaan di tengah penderitaan (ayat 18)
Situasi penantian kemuliaan: semua makhluk sama-sama mengeluh (ayat 19-25)
Intervensi ilahi sebagai jaminan dalam masa penantian (ayat 26-30)
Roh Kudus membantu menyampaikan keluhan kepada Allah (ayat 26-27)
Allah membuat segala sesuatu bekerja untuk kebaikan orang pilihan (ayat 28-30)

Ayat 18. Ayat ini mengajarkan konsep yang benar tentang cara pandang terhadap
penderitaan. Orang percaya perlu mengubah perspektif mereka. Mengarahkan diri pada
kemuliaan eskhatologis merupakan cara untuk menyadari bahwa penderitaan yang ada
sekarang adalah terlalu kecil. Ayat ini tidak bermaksud untuk mengecilkan permasalahan.
Ayat ini hanya menempatkan penderitaan pada porsi yang sebenarnya.

112
Tafsir Perjanjian Baru I

Mempertimbangkan deskripsi di ayat 19-25, penderitaan di sini bukan hanya terbatas


pada penderitaan Kristiani (misalnya penganiayaan dan pergumulan dengan dosa), tetapi
sifatnya lebih makro – mencakup semua makhluk.

Ayat 19-25. Bagian ini menerangkan keadaan semua mahkluk selama masa penantian.
Kata kti,sij (lit. “ciptaan”) yang dipakai merujuk pada semua manusia, tetapi tidak
mencakup ciptaan lain (tumbuhan, binatang, benda), karena di sini tampaknya merujuk
pada pribadi yang bisa merindukan dan mengeluh. Ada dua keadaan secara umum:
1. Semua makhluk menanti dengan sangat rindu (ayat 19).
Secara literal ayat 19 seharusnya diterjemahkan “pengharapan yang sangat (h`
avpokaradoki,a) dari semua makhkluk menunggu dengan sangat rindu
(avpekde,cetai) penyataan anak-anak Allah”. Kata avpokaradoki,a secara etimologis
berasal dari tiga kata: avpo = “dari”, kara = “kepala” dan de,comai = “meregangkan”.
Paduan kata ini menyiratkan sikap orang yang sedang melongokkan kepala untuk
melihat sesuatu. Orang percaya memang sudah menjadi anak-anak Allah (ayat 14-
17), tetapi secara penuh hal itu akan dinyatakan nanti. Hal ini juga dinantikan oleh
orang-orang lain, karena mereka telah ditaklukkan pada kesia-siaan oleh Allah.
Mereka memiliki alasan untuk menantikan ini karena Allah menaklukkannya pada
kesia-siaan dalam pengharapan (evfV e`lpi,di).
2. Semua makhluk mengeluh dan merasakan sakit (ayat 22-23).
Penantian di atas bukanlah sesuatu yang mengenakkan, karena mereka menanti
sambil bersama-sama mengeluh (sustena,zei) dan merasakan sakit (sunwdi,nei). Kata
biasanya dipakai untuk sakit waktu melahirkan anak, sehingga gambaran di sini mirip
dengan Yoh 16:20b-22. Orang percaya yang menerima “buah sulung” (avparch,) Roh
juga mengalami perasaan yang sama. avparch, dalam PL dipakai sebagai tanda berkat
awal yang akan diikuti oleh berkat-berkat selanjutnya. Pemakaian avparch, di sini
merujuk pada karya Roh Kudus yang sudah diterima oleh orang percaya (ayat 2-11,
14-17), tetapi pemenuhan sempurna dari pemberian tersebut baru akan diberikan di
kemudian hari. Ayat 24-25 menjelaskan sikap lain yang harus dimiliki oleh orang
percaya, yaitu memiliki pengharapan (ayat 24) dan sabar (ayat 25). Apa yang
diharapkan memang belum terlihat, tetapi itu justru jadi alasan untuk terus berharap.

Ayat 26-27. Bagian ini menjelaskan intervensi ilahi bagi orang percaya supaya mereka
tetap bisa memiliki pengharapan dan sabar. Roh Kudus membantu orang percaya dalam
kelemahan mereka. Kelemahan ini mungkin bersifat umum (semua kelemahan sebagai
karakter dasar manusia sebagai mahkluk), tetapi terutama soal memahami kehendak
Allah. Frase to. ga.r ti, proseuxw,meqa kaqo. dei/ ouvk oi;damen menyiratkan
ketidaktahuan tentang isi doa (NIV, NKJV), bukan cara berdoa (mayoritas EV’s dan
LAI:TB). Seandainya Paulus ingin memaksudkan cara berdoa, ia pasti akan
menambahkan preposisi kata, di depan ti,. Selain itu, doa syafaat Roh Kudus dengan
keluhan yang tidak terucapkan juga mendukung bahwa Ia hanya membantu dalam hal isi
doa yang benar, yang seringkali orang percaya gagal untuk memahaminya. Roh Kudus
tidak membantu orang percaya dalam hal cara berdoa, tetapi lebih ke arah isi doa. Jadi,
ayat ini pasti bukan rujukan pada bahasa roh (kontra Kasemann). Situasi rumit yang
dialami - ditambah dengan kelemahan sebagai manusia – seringkali menyebabkan orang
percaya sulit mencari kehendak Allah yang pasti. Mereka kadang meminta sesuatu yang

113
Tafsir Perjanjian Baru I

salah. Doa syafaat Roh Kudus ini pasti efektif, karena Ia berdoa sesuai dengan rencana
Allah (ayat 27).

Ayat 28-30. Ayat 28 menjelaskan intervensi ilahi yang lain yang menjamin pengharapan
orang percaya di tengah penderitaan, sedangkan ayat 29-30 menerangkan alasan bagi
intervensi tersebut dari sisi ilahi. Struktur kalimat Yunani di ayat 28 telah menimbulkan
3 pandangan berbeda. Kesulitan ini berhubungan dengan identifikasi subjek untuk kata
kerja “bekerja bersama-sama” (sunergei/).
(1) Allah sebagai subjek.
Pemunculan kata qeo.n (bentuk akusatif dari qeo,j) dan bentuk tunggal sunergei
memang memungkinkan untuk mengasumsikan Allah sebagai subjek. Jika Allah
sebagai subjek, maka “segala sesuatu” (pa,nta) berfungsi sebagai direct object (“Allah
menyebabkan segala sesuatu bekerja bersama untuk kebaikan”, NASB) atau sebagai
accusative of respect (“dalam segala sesuatu Allah bekerja bersama untuk kebaikan”,
NIV, NRSV). Ada dua keberatan serius terhadap usulan ini. Pertama, kata kerja
sunergei tidak pernah mengambil kata benda bentuk akusatif (objek langsung).
Kedua, jika usulan itu diterima dan ayat 28 diterjemahkan secara literal sesuai
struktur kalimat Yunani, maka hasil terjemahan menjadi “kita tahu sekarang bahwa
bagi orang yang mengasihi Allah, Allah bekerja bersama-sama...”. Pengulangan
“Allah” (meskipun yang terakhir hanya tersirat) merupakan tata bahasa yang tidak
lazim dalam bahasa Yunani, karena tidak ada objek participle yang juga berfungsi
sebagai subjek dalam induk kalimat.
(2) Roh Kudus sebagai subjek.
Usulan ini didasarkan pada ayat 26-27 yang memakai Roh Kudus sebagai subjek.
Usulan ini juga memiliki kelemahan serius. Pertama, subjek di ayat 29-30 jelas adalah
Allah. Kedua, ayat 28 jelas memulai pemikiran baru yang berbeda dengan ayat 26-27.
(3) Segala sesuatu sebagai subjek.
Terjemahan ini merupakan terjemahan yang paling wajar (KJV), karena pa,nta
memang bisa berbentuk nominatif (sebagai subjek). Terjemahan ini juga mengambil
sunergei sebagai kata kerja intransitif, seperti pemakaian umum kata tersebut di PB.
Beberapa orang menolak terjemahan ini dengan dasar pa,nta berbentuk jamak
sedangkan sunergei berbentuk tunggal. Bantahan ini tidak bisa diterima, karena
mayoritas subjek yang berjenis kelamin neuter memang mengambil kata kerja
tunggal. Satu-satunya kesulitan dengan terjemahan ini terkait dengan fenomena
bahwa sunergei biasanya dikaitkan dengan subjek yang personal.

Ada dua deskripsi tentang orang-orang yang kepadanya segala sesuatu – melalui
providensi Allah – mengerjakan kebaikan:
1. Mereka yang mengasihi Allah (ayat 28).
Kriteria ini dilihat dari sisi manusianya. Segala sesuatu akan mengerjakan kebaikan
hanya bagi mereka yang mengasihi Allah.
2. Mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (ayat 29-30).
Sisi manusiawi di atas hanya bisa terjadi jikalau ada inisiatif dari pihak Allah dahulu.
Allah memanggil orang percaya, sehingga mereka mampu mengasihi Allah. Fakta
menarik tentang ayat 29-30 adalah bentuk lampau yang dipakai untuk kata kerja
“dipilih” – “ditentukan” – “dipanggil” – “dibenarkan” – “dimuliakan”, meskipun

114
Tafsir Perjanjian Baru I

pemuliaan tersebut belum terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Allah semua
rencana-Nya adalah sesuatu yang pasti. Kepastian pemuliaan ini membentuk inclusio
dengan ayat 18.

KONKLUSI: JAMINAN KESELAMATAN (ROMA 8:31-39)

Penggunaan di ayat 31 mengindikasikan permulaan perikop yang baru. Selain itu, gaya
bahasa dalam perikop ini – yang banyak menggunakan kalimat interogatif – jelas berbeda
dengan bagian sebelumnya. Bagian ini memiliki dua fungsi: sebagai konklusi pasal 8 dan
konklusi semua pembahasan dari 1:18-8:30 (atau paling tidak pasal 5-8). Tema yang
ditekankan tetap “kepastian keselamatan/pengharapan”. Seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, bagian ini banyak menyinggung konsep yang ada di 5:1-11, sehingga bisa
dikatakan sebagai inclusio bagi pasal 5-8.

Struktur perikop ini dapat dibagi sebagai berikut:


Inti: Allah di pihak orang percaya (ayat 31-32).
Implikasi (ayat 33-39)
Tidak ada yang mendakwa mereka (ayat 33a)
Tidak ada menghukum mereka (ayat 33b-34)
Tidak ada yang memisahkan mereka dari kasih Kristus (ayat 35-39)

Ayat 31-32. Paulus merangkumkan semua pembahasan sebelumnya (bdk. “jadi apakah
yang akan kita katakan tentang semuanya ini?”) dengan kalimat “Allah di pihak kita”.
Fakta ini merupakan jaminan bahwa tidak ada yang dapat melawan orang-orang percaya.
Perlawanan pasti ada (ayat 35-39), tetapi hal itu tidak akan dapat menggagalkan jaminan
keselamatan/pengharapan orang percaya. Untuk menegaskan hal ini Paulus memakai
metode eksegese para rabi qal wayyOmer (“ringan dan berat”): apa yang benar untuk hal-
hal yang prinsip akan berlaku juga untuk hal-hal yang kurang penting. Allah telah
melakukan hal yang paling besar dan sulit, yaitu menyerahkan Anak-Nya sendiri, Ia pasti
akan memberikan segala sesuatu bersama-sama dengan Kristus. Penekanan pada hal ini
terlihat dari penggunaan kata ge (“bahkan”, LAI:TB tidak menerjemahkan kata ini) dan
penempatan tou/ ivdi,ou (“sendiri”) di bagian awal kalimat. “Segala sesuatu” dalam
konteks ini sebaiknya dibatasi pada segala hal yang diperlukan untuk keselamatan,
meskipun secara teologis kalimat ini juga bisa mencakup setiap hal.

Ayat 33a. Ada beberapa alternatif untuk peletakan tanda baca di ayat ini. Dari sekian
alternatif, pilihan NASB tampaknya lebih bisa diterima. Ayat 33a diterjemahkan
“siapakah yang akan mendakwa orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan
mereka” (kontra LAI:TB yang memakai tanda tanya setelah kata “mereka”. Bentuk future
dari kata “mendakwa” (evgkale,sei, kontra LAI:TB “menggugat”) merujuk pada
penghakiman terakhir. Kata ini sangat bernuansa legal (bdk. Kis 19:38, 40; 23:29, 38;
26:2, 7). Fokus yang bersifat futuris ini bukan berarti tidak memiliki relevansi dengan
kehidupan orang percaya sekarang. Iblis terus menerus mendakwa orang percaya (Wah
12:10). Selain itu, perasaan berdosa yang berlebihan juga sering mengikis perasaan aman
dalam Allah. Jaminan tidak adanya dakwaan didasarkan pada dua hal:
1. Yang didakwa adalah orang-orang pilihan Allah.

115
Tafsir Perjanjian Baru I

Pertanyaan Paulus di sini sifatnya retoris dan sudah menjadi jawaban bagi pertanyaan
itu sendiri. Orang-orang yang dipilih oleh Allah pasti dijamin keselamatan
eskhatologisnya (ayat 29-30).
2. Yang membenarkan orang percaya adalah Allah sendiri.
Frase ini memberikan jaminan lain. Allah adalah yang membenarkan orang-orang
pilihan. Kalau Allah saja – sebagai bojek pemberontakan manusia – mau
membenarkan orang-orang berdosa, maka siapapun tidak punya hak untuk mendakwa
mereka.

Ayat 33b-34. Implikasi kedua adalah tidak ada yang akan menghukum orang-orang
pilihan Allah. Allah atau makhluk lain tidak mungkin akan menghukum mereka, karena
apa yang telah dilakukan Kristus untuk mereka.
1. Kristus telah mati: menanggung hukuman dosa mereka.
2. Kristus bangkit: menghancurkan kuasa maut sebagai upah dosa.
3. Kristus duduk di sebelah kanan Allah (Mzm 110:1): menaklukkan semua kekuatan
yang berusaha menggagalkan keselamatan orang percaya.
4. Kristus berdoa syafaat: mengharapkan hal yang baik dari Allah untuk orang percaya
(Ibr 7:25).

Ayat 35-39. Implikasi terakhir adalah tidak ada yang memisahkan orang percaya dari
kasih Kristus. Tantangan memang ada dan melimpah, baik tantangan fisik (ayat 35-36)
maupun non fisik (ayat 38-39), baik tantangan sekarang maupun yang akan datang (ayat
38), baik tantangan dari atas maupun dari bawah (ayat 39). Jangkauan tantangan yang
dituliskan Paulus cukup untuk mewakili semua jenis tantangan yang mungkin dihadapi
oleh orang percaya, namun tidak ada satu pun yang dapat memisahkan orang percaya dari
kasih Kristus. Alasannya adalah karena orang percaya lebih daripada pemenang melalui
Kristus. Ungkapan “lebih daripada pemenang” di sini mungkin menunjukkan bahwa
orang percaya tidak hanya tidak bisa dikalahkan oleh tantangan, tetapi semua tantangan
tersebut justru mendatangkan kebaikan bagi mereka (ayat 28; 5:3-4).

116

Anda mungkin juga menyukai