Signifikansi
Surat Roma merupakan surat paling panjang dan secara teologis paling penting di
antara semua surat Paulus (Carson & Moo, An Introduction to the New Testament, 2nd
ed., 391).
▪ Jumlah total kata dalam Surat Roma yang mencapai 7100 jelas sangat istimewa
dbandingkan dengan panjang rata-rata tulisan Paulus yang hanya 1300 kata.
▪ Dari sisi kedalaman teologis pun, tidak ada orang yang memberikan bantahan
serius terhadap nilai penting Surat Roma. Martin Luther, pelopor reformasi gereja
pada abad ke-16, menyebut ini sebagai “bagian Perjanjian Baru yang utama dan
Injil yang paling murni...makanan pokok setiap hari bagi jiwa”. Tokoh reformator
lain yang bernama Philip Melanchton menganggap surat ini sebagai “garis besar
dan ringkasan seluruh doktrin Kristen”. Karakteristik ini pula yang membuat
Surat Roma sangat sulit untuk dipahami.
▪ Paulus sendiri bahkan menutup pembahasan doktrinal di pasal 1-11 dengan
sebuah pujian kepada Allah “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat,
pengetahuan Allah, sungguh tak terselidiki keputusan-Nya dan jalan-jalan-Nya”
(Rom 11:33-34).
▪ Keistimewaan lain terletak pada cakupan topik pembahasan. Surat Roma ibarat
miniatur seluruh Alkitab. Artinya, surat ini mencakup semua tema besar Alkitab:
dari penciptaan (1:19-20) - kejatuhan Adam (5:12-21) – perjanjian dengan
patriakh (4:1-25) – Taurat (muncul lebih dari 50x), dll. John Calvin mengatakan,
“jika kita memahami surat ini, kita memiliki sebuah bagian yang terbuka untuk
kita guna memahami seluruh Kitab Suci” (Cranfield, Vol. I, 31)
▪ Kelebihan terakhir dari Surat Roma adalah pengaruhnya yang luar biasa di dalam
sejarah gereja. Dalam perkembangan gereja sepanjang abad, orang pasti mengenal
kontribusi yang sudah diberikan oleh bapa gereja Agustinus, tokoh reformator
Martin Luther, maupun pelopor gerakan Metodis John Wesley. Ketiga tokoh
besar ini mengalami perubahan kehidupan spiritual yang radikal sebagai hasil
perjumpamaan mereka secara pribadi dengan Surat Roma. Agustinus berbalik dari
kehidupannya yang amoral setelah ia membaca Roma 13:13. Luther akhirnya
menemukan jawaban atas ketidakpastian keselamatan yang ia gumulkan setelah
memahami Roma 1:17. Wesley mengalami trasformasi konsep dan cara hidup
sesudah mendengar pembacaan dari introduksi tafsiran Surat Roma yang ditulis
oleh Luther.
Penulis
Identitas penulis Surat Roma merupakan salah satu topik yang sangat jarang
diperdebatkan para teolog. Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ada sanggahan
yang serius terhadap Paulus sebagai penulis surat ini (1:1). Hanya sedikit teolog yang
meragukan hal ini, itu pun terlalu mengada-ada dan merupakan hasil keingintahuan
teolog yang dianggap berlebihan. Sampai sekarang tidak ada satu pun argumen yang
meyakinkan untuk membantah pengaruh Paulus dalam surat ini.
1
Tafsir Perjanjian Baru I
Berdasarkan Roma 16:22 kita bisa melangkah lebih jauh dengan menyatakan
bahwa Paulus menggunakan amanuensis (penulis/sekretaris), yaitu Tertius. Peranan
seorang amanuensis sangat variatif: (1) mengembangkan ide utama yang diberikan
atasan, mengembangkan rancangan pendek, (2) mencatat kata per kata yang didiktekan
kepadanya. Para teolog umumnya meyakini bahwa peranan Tertius dalam surat ini tidak
terlalu besar. Paulus tidak mungkin hanya memberikan ide utama dan Tertius yang
mengembangkan itu. Ada beberapa alasan yang diajukan untuk mendukung dugaan ini.
1. Surat Roma sangat berarti bagi Paulus untuk menjelaskan Injil yang ia percayai
kepada jemaat di Roma. Mengingat fitnahan terhadap Paulus sudah didengar oleh
jemaat di Roma (3:8) dan Paulus sendiri memang belum dikenal secara langsung oleh
jemaat di sana (1:10, 13), sulit dimengerti apabila ia berani mengambil resiko dengan
menyerahkan proses penulisan kepada Tertius.
2. Struktur Surat Roma sangat teratur dan progresif. Hal ini mengindikasikan bahwa
Paulus memonitor penulisan surat ini sampai pada tingkat yang detil.
3. Kemiripan gaya penulisan Surat Roma dengan surat-surat Paulus lain yang diakui
sebagai tulisan yang otentik. Sebagai contoh, gaya di Surat Roma sangat mirip
dengan Surat Galatia dan Surat 1 Korintus, padahal dalam dua surat tersebut tidak ada
keterangan tentang peranan Tertius
Pentarikhan
Tidak ada petunjuk yang secara eksplisit menjelaskan waktu penulisan surat ini.
Upaya untuk mengetahui hal ini biasanya peneliti melakukan penyelidikan terhadap data
implisit dalam Surat Roma, membandingkan dengan catatan Kisah Para Rasul, dan
sedikit informasi dari sejarah. Berdasarkan tiga langkah di atas, kita dengan tingkat
kepastian cukup tinggi dapat menentukan penulisan surat ini pada sekitar tahun 55
sampai 57 M.
Kesimpulan ini berdasarkan :
1. Petunjuk yang ada di Surat Roma.
Pada waktu menulis surat ini Paulus memberitahukan bahwa ia telah selesai dengan
upaya misi yang ia lakukan di daerah timur (15:19-23). Ia juga sedang merencanakan
untuk mengunjungi Roma setelah ia menyelesaikan misi sosial di Yerusalem (15:24-
32).
2. Membandingkan dari Kisah Para Rasul.
Surat Roma ditulis menjelang berakhirnya perjalanan misi Paulus yang ke-3. Pada
tahap pelayanan ini Paulus mengungkapkan bahwa ia sedang bersiap menuju
Yerusalem dengan Roma sebagai tujuan berikutnya (Kis 19:21; 20:16). Yang tidak
bisa kita tentukan dengan pasti adalah apakah rencana ini diucapkan Paulus sebelum
atau sesudah ia menulis Surat Roma. Jawaban terhadap persoalan ini untuk sementara
harus ditangguhkan dahulu sampai kita berhasil menentukan tempat penulisan Surat
Roma.
Berikut ini adalah beberapa argumen yang mengarah pada Kota Korintus sebagai
tempat penulisan Surat Roma :
▪ Permintaan Paulus agar jemaat Roma menyambut kedatangan Febe menyiratkan
bahwa Febe adalah pembawa Surat Roma (Rom 16:1-2). Mempertimbangkan
2
Tafsir Perjanjian Baru I
bahwa Febe melayani di Kengkrea, sebuah kota yang sangat dekat dengan
Korintus, kita dapat menyimpulkan bahwa ia diutus oleh Paulus untuk mengantar
surat tersebut ke Roma setelah Paulus selesai menulis surat itu di Korintus.
▪ Pada saat menulis Surat Roma Paulus berada di rumah Gayus (Rom 16:23a).
Walaupun nama Gayus cukup umum pada masa itu, tetapi kemungkinan besar
Gayus yang memberi tumpangan kepada Paulus adalah Gayus yang berasal dari
Korintus (1Kor 1:14)
▪ Erastus yang disebut sebagai bendahara negeri (Rom 16:23b) kemungkinan besar
adalah Erastus yang tinggal di Korintus (2Tim 4:20). Nama ini juga mungkin
sama dengan yang tertulis dalam sebuah prasasti di Korintus.
3. Meneliti waktu Paulus berada di Korintus untuk kedua kalinya. Untuk mengetahui hal
ini kita perlu kembali pada pelayanan pertama di Korintus. Setelah hampir dua tahun
merintis pelayanan di Korintus (Kis 18:11), Paulus mendapat banyak kesulitan serius
pada waktu Galio menjadi prokonsul di Korintus (Kis 18:12, 14, 17). Dengan
mempertimbangkan bahwa Galio mendapatkan posisi tersebut pada tahun 51 atau 52
M dan bahwa setelah meninggalkan Korintus Paulus melayani di Efesus sekitar 2
tahun (Kis 19:10), kita bisa menentukan bahwa Surat Roma ditulis antara tahun 55
sampai 57 M.
Kitab Roma merupakan kitab yang paling penting. Ditulis sekitar tahun 55 sampai 57 A.D..
Ditulis di Korintus ketika Paulus menjadi tamu di rumah Gayus, orang yang telah dia baptiskan.
Surat ini dibawa kepada jemaat Roma oleh Phebe, yang merupakan seorang pelayan di jemaat
Kengkrea, suatu kota pelabuhan yang terletak di sebelah selatan kota Korintus. Dan surat ini
merupakan salah satu dokumen yang paling penting yang ditemukan dalam seluruh literatur.
Penerima
Surat Roma ditujukan pada orang-orang Kristen di kota tersebut (1:7). Rujukan
ini jelas tidak memadai untuk mengetahui seluk-beluk keberadaan jemaat Roma. Dua
pertanyaan yang sering diperdebatkan adalah tentang perintis jemaat di Roma dan
komposisi etnis dari jemaat itu.
3
Tafsir Perjanjian Baru I
1. Hal paling pasti yang kita dapatkan dari catatan Surat Roma sendiri adalah bahwa
jemaat Roma bukan dirintis oleh Paulus (1:10, 13). Sebagian kecil penafsir
mengusulkan Petrus sebagai pendiri jemaat Roma ketika menyembunyikan diri setelah
dipenjara beberapa saat (Kis 12:17). Dukungan untuk teori ini didasarkan pada catatan
bapa gereja Eusebius yang mengatakan bahwa Petrus berada di Roma pada tahun 42
M.
Pandangan ini memiliki beberapa kelemahan serius. Catatan Eusebius tampaknya bisa dipercaya.
Seandainya Petrus melarikan diri setelah pemenjaraannya (Kis 12:17), maka ia kemungkinan
besar lari ke Anthiokia (Gal 2:11-14) yang lebih dekat, karena pada waktu konsili gereja di
Yerusalem (Kis 15) ia sudah berdomisili di Yerusalem. Selain itu, seandainya Petrus pernah ke
Roma dan mendirikan jemaat di sana, maka Lukas - sebagai penulis Kisah Para Rasul yang
sangat menekankan nilai penting Kota Roma - pasti akan menyinggung tentang hal itu. Dalam
Surat Roma sendiri Paulus tidak memberikan indikasi apapun bahwa Petrus pernah berada di
Kota Roma. Lebih jauh, seandainya jemaat di sana merupakan perintisan Petrus, sulit dimengerti
mengapa Paulus menganggap bahwa jemaat Roma berada dalam pengaruh dan otoritasnya.
2. Kita sebaiknya melihat keberadaan jemaat Roma sebagai buah pelayanan orang-orang
Kristen yang biasa (bukan dari kalangan para rasul). Bapa gereja Ambrosiaster
menyatakan bahwa jemaat Roma kekurangan pondasi rasuli (tidak dimulai oleh
seorang rasul). Bapa gereja Irenaeus menyebut Petrus dan Paulus sebagai “pendiri”
jemaat, dalam arti bahwa keduanya pernah melayani dan mati syahid di sana.
Mayoritas teolog tampaknya memikirkan orang-orang Yahudi yang datang pada Hari Raya
Pentakosta (Kis 2:1, 10) sebagai para perintis kekristenan di Roma. Setelah mereka mengalami
pertobatan melalui khotbah Petrus (Kis 2:41), mereka kembali ke Roma dan memberitakan Injil di
sana. Jumlah mereka dengan cepat bertambah, sehingga sempat menimbulkan keresahan di Kota
Roma (lihat pembahasan selanjutnya).
3. Sekarang kita akan membahas komposisi etnis jemaat Roma. Jemaat ini pasti terdiri
dari orang-orang Yahudi (2:17; 4:1; 6:14-15; 7:1, 4; ps. 9-11) dan Yunani (1:5-6, 13;
11:13-32; 15:14-21). Pertanyaannya, etnis manakah yang lebih mendominasi pada saat
Paulus menulis Surat Roma? Bagaimana dominasi satu suku ini bisa terjadi?
Bagaimana kita bisa mengetahui hal ini? Penjelasan berikut ini akan menunjukkan
bahwa jemaat Roma mula-mula didominasi oleh etnis Yahudi, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang non-Yahudilah yang memegang peranan
penting.
Kita memiliki petunjuk yang cukup meyakinkan untuk menduga bahwa cikal-bakal jemaat Roma
adalah orang-orang Yahudi. Seperti sudah dissinggung sebelumnya, perintis jemaat adalah orang-
orang Yahudi yang pulang dari Hari Raya Pentakosta di Yerusalem (Kis 2:1, 10, 41). Ketika mereka
kembali ke Roma, kemungkinan besar mereka memfokuskan penginjilan pada orang Yahudi terlebih
dahulu. Dugaan ini tidak berlebihan, karena orang-orang Yahudi secara ekstrim menganggap etnis
mereka sebagai yang terbaik. Mereka sulit untuk bergaul dengan orang lain. Halangan budaya
seperti ini tampaknya menyulitkan mereka untuk langsung menjangkau orang-orang non-Yahudi
(bdk. Kis 10:9-16, 28-29). Di samping itu, pola pekabaran Injil yang dilakukan oleh orang-orang
Kristen mula-mula memang terfokus pada orang Yahudi (Kis 11:19-20). Paulus pun selalu memulai
pekerjaan misi di rumah ibadat Yahudi (Kis 13:14-15; 14:1; 17:1-2; 18:4, dsb).
4
Tafsir Perjanjian Baru I
Keadaan ini akhirnya berubah seiring dengan sebuah peristiwa besar yang terjadi
di Roma. Menurut catatan historis yang dikarang oleh Suestonius (120 M), pada tahun 49
M Kaisar Klaudius pernah mengusir semua orang Yahudi dari Kota Roma (Kis 18:2),
sehubungan dengan kerusuhan yang berkaitan dengan “Krestus” (Suestonius dalam hal
ini salah memahami “Kristus” sebagai “Krestus” karena nama ini lebih umum dalam
masyarakat Romawi). Ketika orang-orang Kristen Yahudi terpaksa pergi ke perantauan,
gereja di Roma praktis berada di bawah pengaturan orang-orang non-Yahudi. Mereka
pun terus mengembangkan diri.
Ketika Kaisar Klaudius meninggal dunia, orang-orang Yahudi akhirnya kembali
ke Kota Roma. Situasi inilah yang menimbulkan ketegangan etnis-teologis dalam jemaat,
karena kekristenan Yahudi dalam banyak hal pasti masih dikemas dalam budaya Yahudi
yang kental, sedangkan kekristenan non-Yahudi yang sekarang mendominasi bercorak
lebih umum). Ketegangan ini tercermin dalam Surat Roma. Paulus membutuhkan 5 pasal
secara khusus untuk mendiskusikan hal ini. Roma 9-11 membicarakan tentang posisi
bangsa Yahudi dalam sejarah keselamatan, sedangkan Roma 14-15 membahas tentang
perbedaan pola makan antara Yahudi dan non-Yahudi. Jemaat non-Yahudi dinasehati
untuk tidak sombong (11:17-24) dan menerima jemaat lain yang Yahudi dengan segala
kebiasaan mereka (14:1-15:13).
Dominasi jemaat non-Yahudi ketika Surat Roma ditulis juga terlihat dari cara
Paulus menujukan suratnya. Di 1:5-6 Paulus menegaskan cakupan kerasulannya yang
universal, termasuk orang-orang di Roma. Beberapa ayat sesudahnya Paulus
mengungkapkan kerinduannya untuk menemukan buah di Roma “seperti juga di tengah-
tengah bangsa bukan Yahudi yang lain” (1:13). Ia menyebut penerima surat sebagai “hai
bangsa-bangsa bukan Yahudi” (11:13). Di akhir surat ini Paulus memberikan alasan bagi
keberaniannya menulis surat kepada jemaat di Roma, yaitu karena ia adalah rasul untuk
bangsa-bangsa non-Yahudi (15:15-16).
Tujuan penulisan
Isu ini merupakan salah satu yang paling sering diperdebatkan oleh para penafsir
karena ketiadaan tujuan penulisan secara eksplisit yang diungkapkan Paulus. Pasal 1:10-
15 hanya menerangkan tujuan Paulus datang ke Roma, sedangkan 15:15 “telah menulis
kepadamu untuk mengingatkan kamu” terlalu umum dan tidak banyak membantu. Para
teolog memiliki pendapat yang sangat beragam. Morris mencatat paling sedikit 12
pandangan (The Epistle to the Romans, 7-18). Dunn (Romans 1-8, lv) memberikan dua
alasan utama bagi perdebatan ini: (1) tujuan yang ditulis di 1:8-15 dan 15:14-33
menunjukkan hal yang berbeda; (2) hubungan dua teks tersebut dengan tubuh surat
(1:16-15:13) kurang eksplisit.
Beragam pendapat yang diusulkan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
utama :
▪ Pertama, tujuan misi. Pandangan ini terutama didasarkan pada 15:18, 24, 28. Paulus
memandang dirinya sebagai rasul untuk orang Yunani (11:13-15) yang menginginkan
‘jumlah penuh’ orang Yunani diselamatkan (11:25-26). Ia telah menyelesaikan satu
daerah kerja di daerah timur laut Mediteranian (15:19, 23) dan sekarang ia ingin pergi
ke sebelah barat laut Mediteranian (Spanyol, 15:24, 28). Untuk mencapai semua target
5
Tafsir Perjanjian Baru I
ini ia membutuhkan pangkalan kerja dan dukungan. Berkaitan dengan dua kebutuhan
ini, kota Roma adalah alternatif terbaik.
▪ Kedua, tujuan apologetik. Pandangan ini didasarkan pada penekanan Paulus terhadap
isi Injil yang ia beritakan. Inti Injil ini (1:16-17) juga menjadi dasar/tema bagi seluruh
surat Paulus. Pendahuluan surat yang panjang dan tidak lazim serta berfokus pada Injil
yang ia beritakan dianggap mendukung gagasan di atas. Selain itu, 3:8 menunjukkan
adanya kesalahpahaman tentang ajaran Paulus. Pendeknya, Paulus ingin memberikan
argumen bagi ajarannya untuk menangkis kesalahpahaman.
▪ Ketiga, tujuan pastoral. Menurut pandangan ini Surat Roma bertujuan untuk
menyelesaikan perpecahan yang berpotensi timbul antar gereja-rumah yang ada waktu
itu. Disharmoni ini sangat mungkin melibatkan golongan Yunani dan golongan
Yahudi yang cenderung ketat dalam memelihara kebiasaan mereka (11:17-25; 12:3,
16; 14:3). Usaha Paulus untuk memperkenalkan Febe (16:1-2) dan daftar nama setiap
individu (16:3-16) dimaksudkan Paulus untuk memastikan bahwa suratnya mendapat
respon yang luas dari seluruh gereja-rumah yang ada.
Para penafsir sekarang cenderung untuk tidak membatasi tujuan penulisan Surat Roma pada salah satu
kategori di atas. Masing-masing kategori dianggap terlalu sempit dan tidak dapat mewakili seluruh
petunjuk yang ada dalam surat ini. Salah satu tujuan adalah meredakan ketegangan etnis di dalam
jemaat (pasal 9-11, 14-15). Bagaimanapun, Paulus tidak mungkin secara langsung melibatkan diri
dalam situasi internal ini tanpa memperkenalkan keunikan kerasulan sebagai rasul untuk semua orang
non-Yahudi (1:13). Panggilan yang unik inilah yang membuat dia berani untuk menuliskan Surat Roma
sebagai jawaban atas persoalan yang sedang dihadapi jemaat (15:15-16).
Ketika jemaat Roma sudah bersatu, maka mereka akan menjadi sebuah kekuatan yang
besar, terutama untuk mendukung pekerjaan Tuhan melalui Paulus di daerah Spanyol
(15:22-24). Mereka tidak mungkin menjadi gereja pendukung yang efektif jika mereka
masih diributkan dengan persoalan internal. Mereka juga tidak akan membantu
pekabaran Injil yang dilakukan Paulus jika mereka tidak memahami dengan benar apa
yang diajarkan Paulus. Seandainya mereka terpengaruh oleh fitnahan tentang Paulus (3:8;
16:17-19), maka mereka pasti tidak akan menyambut dan mendukung Paulus.
Kesatuan surat
6
Tafsir Perjanjian Baru I
waktu dan tempat penulisan masing-masing bagian tersebut. Sebagai contoh, ada seorang
ahli yang meyakini bahwa surat ini mula-mula terdiri dari 3 bagian terpisah yang
selanjutnya dikumpulkan menjadi satu: (1) pasal 16; (2) tulisan untuk orang-orang
Yahudi (2:1-5; 2:17-3:20; 3:27-4:5; 5:12-7:25; 9:1-11:36; 14:1-15:3; 15:4-13); (3)
khotbah tentang misi kepada orang-orang non-Yahudi (1:1-32; 2:6-16; 3:21-26; 5:1-11;
8:1-39; 12:1-13:14; 15:14-33).
Menariknya, di antara semua yang memegang teori seperti ini, tidak ada dua
orang yang mengusulkan pendapat yang sama persis. Hasil seperti ini memang sudah bisa
diperkirakan sebelumnya, karena mereka tidak memiliki dasar yang kuat dan jelas untuk
memisahkan dan menebak latar belakang di balik setiap bagian. Yang paling penting,
tidak ada satu bukti tekstual apa pun (bukti dari manuskrip kuno) yang mendukung teori
yang sangat spekulatif itu.
Walaupun upaya beberapa ahli di atas tidak dapat dipertahankan, tetapi bukan
berarti isu tentang kesatuan Surat Roma telah selesai. Berdasarkan beberapa salinan tua
yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa surat ini pernah disirkulasikan dengan
komposisi bagian yang sedikit berbeda. Beberapa variasi yang penting antara lain:
1) 1:1-14:23; 15:1-16:23; 16:25-27 → p61 (?) B C D 1739, et al
2) 1:1-14:23; 16:25-27; 15:1-16:23; 16:25-27; 16:25-27 → A P 5 33 104
3) 1:1-14:23; 16:25-27; 15:1-16:24 → Y, MT, syh
4) 1:1-14:23; 15:1-16:24 → F G 629
5) 1:1-15:33; 16:25-27; 16:1-23 → p46
Permasalahan di atas sangat berkaitan dengan posisi doksologi (16:25-27) yang biasa
terletak di akhir sebuah surat. Doksologi ini ternyata ditemukan dalam posisi yang
berbeda-beda dalam salinan Surat Roma. Semua petunjuk ini mendorong para ahli untuk
menduga bahwa Surat Roma pada mulanya terdiri dari 14, 15, atau 16 pasal.
Argumen yang sering diajukan untuk mendukung teori 14 pasal antara lain:
1. Salah satu satu manuskrip Latin Vulgata yang awal (Kodeks Amiatinus) menyebut
14:13-23 sebagai rangkuman ke-50, sedangkan 16:25-27 sebagai rangkuman ke-51.
2. Dalam beberapa manuskrip bagian doksologi (16:25-27) langsung berada setelah
14:23 (Y 0209vid 1881 MT, syh, Orlat mss).
3. Pendahuluan Marcion (Marcionite prologue) mengatakan bahwa Surat Roma ditulis
dari Atena, sedangkan Roma 15-16 mengindikasikan Korintus sebagai tempat
penulisan.
4. Bapa gereja Tertulianus menyebut Roma 14 sebagai konklusi surat. Ia juga tidak
pernah mengutip Roma 15-16.
5. Beberapa bapa gereja yang lain juga tidak pernah mengutip dari Roma 15-16,
misalnya Irenaeus dan Cyprian.
6. Paulus tidak mungkin mengenal 26 anggota jemaat di Roma (16:1-23) yang belum
pernah ia kenal secara pribadi (1:10, 13).
7. Rujukan tentang “guru palsu” (16:17-20) tidak berhubungan dengan pasal 1-15,
karena di bagian sebelumnya Paulus sama sekali tidak menyinggung tentang ajaran
sesat yang perlu diwaspadai.
Argumen yang mendukung 15 pasal terutama didasarkan pada salinan p 46 yang
tergolong tua dan secara umum dapat dipercaya. Dalam salinan ini doksologi terletak
persis setelah 15:33. Walaupun salinan ini juga memiliki 16:1-23, tetapi posisi doksologi
7
Tafsir Perjanjian Baru I
di antara pasal 15 dan pasal 16 mungkin member petunjuk bahwa Surat Roma sempat
disirkulasikan dalam 15 pasal, sedangkan pasal 16 merupakan tambahan dari orang lain.
Walaupun dua teori di atas (14 dan 15 pasal) dalam beberapa hal tampak begitu
meyakinkan, namun penyelidikan yang lebih mendalam justru memberi dukungan ke
arah sebaliknya (16 pasal). Penjeasan untuk teori 16 pasal adalah :
▪ Tidak ada satu salinan pun yang tidak memiliki pasal 16, walaupun posisi doksologi
memang bervariasi. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa sejauh salinan kuno
yang berhasil ditemukan, Surat Roma tidak pernah disirkulasikan tanpa pasal 16.
Salinan p46 yang meletakkan doksologi setelah pasal 15 pun tetap memiliki pasal 16.
Ketidakadaan pasal 15-16 di beberapa tulisan bapa gereja atau terjemahan kuno dapat
diterangkan sebagai hasil dari upaya untuk membuat surat ini lebih bernuansa umum
(lihat pembahasan selanjutnya).
▪ Kita memang tidak mengetahui secara pasti bagaimana Paulus mengenal setiap nama
dalam daftar itu namun kemampuan Paulus untuk mengenali 26 orang Kristen di
Roma tidak boleh dibesar-besarkan, seolah-olah hal tersebut mustahil dilakukan oleh
Paulus. Paling tidak kita dapat menjadikan kasus Priskila dan Akwila (16:3) sebagai
salah satu contoh. Paulus secara pribadi pernah bertemu dan melayani bersama mereka
di Korintus, ketika semua orang Yahudi diusir keluar dari Kota Roma (18:2). Ada
kemungkinan beberapa nama lain pun memiliki pengalaman serupa. Selain itu,
perjalanan keliling di kekaisaran Romawi merupakan hal yang mudah dan umum,
terutama bagi mereka yang bergerak dalam bidang perdagangan. Ada banyak
kemungkinan bahwa beberapa nama yang disebut Paulus merupakan para pedagang
yang pernah berjumpa dengan dia secara pribadi. Terakhir, kita tidak perlu menduga
bahwa Paulus secara pribadi mengenal semua orang yang ia sebut. Semua nama yang
disebut adalah orang-orang Kristen yang memiliki pengaruh di dalam jemaat.
Beberapa memang dikenal Paulus secara langsung, tetapi beberapa mungkin hanya
dikenal Paulus dari Priskila dan Akwila atau jemaat Roma lain yang pernah bertemu
Paulus. Keberadaan Kota Roma sebagai pusat kekaisaran juga memungkinkan bagi
rekan-rekan Paulus untuk berkunjung ke sana dan menyampaikan informasi penting
kepada Paulus.
▪ Berkaitan dengan nasehat tentang kesesatan di 16:17-20 yang dianggap tidak
berhubungan dengan pembahasan di pasal 1-15, mayoritas para penafsir meyakini
bahwa nasehat ini merupakan tindakan pencegahan (preventif). Dengan kata lain,
guru-guru palsu belum mempengaruhi jemaat di Roma. Bagaimanapun, Paulus tetap
perlu memberikan nasehat ini, mengingat ajaran sesat merupakan bahaya yang sangat
umum terjadi. Sangat mungkin ia mengantisipasi orang-orang tertentu yang
bermaksud memutarbalikkan ajaran Paulus tentang kasih karunia (3:8).
▪ Karakteristik bagian akhir dari surat-surat Paulus.
Seandainya suat ini hanya terdiri dari 14 atau 15 pasal, maka surat ini ditutup dengan
14:23 atau 15:33 yang langsung diikuti oleh doksologi. Dugaan semacam ini tidak
sesuai dengan cara Paulus menutup surat-suratnya yang lain. Hampir semua surat-
surat Paulus diakhiri dengan nasehat-nasehat praktis, harapan tentang kedamaian,
salam, dan doa berkat. Kerakteristik ini lebih sesuai dengan teori yang meyakini
bahwa Surat Roma terdiri dari 16 pasal.
▪ Mempertimbangkan konteks Surat Roma sendiri. Seandainya surat ini terdiri dari 16
pasal seperti yang kita miliki sekarang, maka penutup surat ini tergolong cukup
8
Tafsir Perjanjian Baru I
panjang. Ini lebih cocok dengan pendahuluan Surat Roma yang memang tergolong
panjang (1:1-7). Di samping itu, kita tidak boleh melupakan bahwa pasal 15 secara
logis dan eksplisit sangat berkaitan dengan pasal 14. Kedua pasal ini masih
menyinggung tentang relasi antara yang kuat dan yang lemah serta kesatuan di dalam
jemaat.
Pertanyaannya sekarang adalah jika memang pada mulanya Surat Roma terdiri
dari 16 pasal, mengapa kita menemukan salinan-salinan yang tanpa pasal 16 (juga
tanpa pasal 15) atau yang memiliki doksologi di akhir pasal 14 atau 15? Seandainya
Paulus dari awal memang menulis 16 pasal, bukankah seharusnya hal itu tidak boleh
diubah oleh siapapun juga?
Terhadap jawaban di atas para ahli biasanya menduga bahwa keindahan dan
kedalaman teologi dalam Surat Roma telah mendorong beberapa gereja lokal untuk
memakainya dalam ibadah atau membuatnya lebih relevan bagi semua gereja yang
ada. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa bagian yang dianggap terlalu spesifik berkaitan
dengan situasi jemaat Roma sengaja dihilangkan. Upaya inilah yang menyebabkan
penghilangan pasal 16, karena bagian tersebut dipenuhi dengan nama jemaat Roma,
ehingga dianggap tidak cocok untuk keperluan pembacaan kitab suci dalam ibadah.
Dugaan ini didukung oleh fakta bahwa kata evn ~Rw,mh| (1:7) atau toi/j evn ~Rw,mh|
(1:15) di beberapa manuskrip sengaja dihilangkan.
Teologi
Dari perspektif ini, semua tema lain yang penting dianggap sebagai elaborasi tema ‘Injil’.
➢ Hukum (Taurat)
9
Tafsir Perjanjian Baru I
Surat Roma memberikan petunjuk yang cukup jelas bahwa Hukum Taurat (no,moj)
merupakan salah satu topik penting.
1. Kata no,moj – yang biasanya merujuk pada hukum Musa (Taurat) – muncul 74 kali.
Jumlah ini melebihi pemunculan kata yang sama di seluruh tulisan Paulus yang lain
(47 kali).
2. Paulus membahas topik ini secara khusus dalam satu pasal (Rom 7).
3. Topik ini muncul di hampir semua topik lain yang dibahas Paulus (2:12-16; 4:13-
15; 5:13-14, 20; 6:14-15; 8:2-4; 9:31-10:5; 13:8-10).
Penekanan pada arti dan kontinuitas Taurat merupakan hal yang bisa dipahami. Paulus
sedang berusaha menjelaskan kaitan antara perjanjian Musa (Taurat) dengan
perjanjian baru di dalam Kristus (Injil). Isu ini sudah muncul di awal surat (1:2): “Injil
itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-
kitab suci”. Klimaks pembahasan ini terletak di pasal 9-11. Dalam kerangka ini, isu
yang harus dijawab adalah tentang kontinuitas Israel dalam sejarah keselamatan dan
kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya dengan Israel (bdk. 3:1-8, 31; 9:6).
Berikut ini adalah rangkuman dari jawaban Paulus terhadap dua isu tersebut:
1. Taurat bukanlah elemen permanen dalam sejarah keselamatan, meskipun hal itu
merupakan ‘keuntungan’ bagi orang Yahudi (3:1-2).
2. Ketidakpermanenan tersebut sudah sangat jelas: tidak ada seorang pun yang
dibenarkan karena melakukan Taurat (3:20; bdk. 2:13) dan justru melalui hukum
Taurat orang mengenal dosa (3:20; 7:7). Berdasarkan hal ini orang Yahudi yang
memiliki Taurat tidak bisa menggunakan perjanjian ini sebagai sarana untuk
menghindari hukuman Allah (2:1-29). Hukum Taurat memang kelebihan orang
Yahudi (3:1-2), tetapi bukan keuntungan untuk bebas dari dosa dan hukuman Allah
(3:9).
Seandainya Taurat – sebagai tanda perjanjian Allah – tidak bisa menyelamatkan
bangsa Yahudi, bagaimana tentang kesetiaan Allah terhadap janji-Nya? Jawaban
Paulus terhadap isu ini terangkum dalam 3:1-8: (1) Ketidaksetiaan manusia tidak bisa
membatalkan kesetiaan Allah, ayat 3, 7. (2) Ketidaksetiaan (keberdosaan) manusia
justru menyatakan kebenaran Allah, ayat 4-5. Allah tetap benar terhadap perjanjian-
Nya (setia), bahkan ketika Ia menghukum bangsa Israel, karena perjanjian Allah
mencakup dua hal: berkat dan hukuman. Hukuman Allah terhadap bangsa Israel tidak
bisa dianggap sebagai ketidaksetiaan Allah. Ia tetap memenuhi perjanjian-Nya, tetapi
dari sisi pemberian hukuman karena Israel telah gagal memenuhi perjanjian tersebut.
(3) Allah adalah hakim dunia, sehingga bagaimanapun juga Ia tetap benar, ayat 6
10
Tafsir Perjanjian Baru I
1. Semua manusia sudah berdosa dan berada di bawah hukuman Allah (1:18; 3:19).
Keberdosaan ini juga menguasai mereka yang hidup di luar Taurat (wahyu umum,
1:18-32; 2:14-16) maupun bangsa Yahudi yang memiliki Taurat (wahyu khusus,
2:1-29). Keberdosaan ini bukan karena wahyu tersebut tidak bisa menyelamatkan
mereka, tetapi karena mereka tidak mampu menaatinya (1:19-21; 3:20)
2. Karena manusia tidak mungkin membebaskan diri dari hukuman Allah
(dibenarkan) melalui perbuatan mereka, Allah mengambil inisitaif – berdasarkan
anugerah-Nya – untuk membenarkan manusia melalui iman kepada Yesus Kristus
(3:21-31). Hal ini berlaku untuk semua orang, baik orang Yahudi maupun Yunani,
karena semua orang telah berbuat dosa (3:22-24).
3. Paulus membuktikan bahwa ‘pembenaran melalui iman’ bukanlah ide yang baru.
Doktrin ini konsisten dengan wahyu Allah sebelumnya dalam PL (1:2-3). Untuk
menjelaskan hal ini Paulus perlu mengetengahkan tokoh PL yang dianggap sebagai
bapa bangsa Yahudi dan sebagai tokoh yang dianggap dibenarkan Allah karena
perbuatannya, yaitu Abraham (4:1-25, bdk. Kej 15:6). Paulus membuktikan dari PL
bahwa Abraham dibenarkan juga karena iman, bukan perbuatan (4:2-5). Abraham
dibenarkan (Kej 15) sebelum ia disunat (Kej 17, bdk. Rom 4:9-11) maupun
sebelum ada Taurat (bdk. Rom 4:12-15). Karena Abraham dibenarkan karena iman
(bukan Taurat), ia berhak menjadi bapa bagi semua bangsa, sesuai dengan janji
Allah (4:11b-12, 16-18; bdk. Kej 12:1-3; 17:5).
4. Paulus juga menjelaskan bahwa pembenaran melalui iman bagi semua bangsa
merupakan doktrin yang sesuai dengan natur Allah. Allah adalah Allah semua
orang, baik orang Yahudi maupun Yunani, sehingga Ia juga menerapkan prinsip
keselamatan yang sama bagi semua orang (3:29-30).
5. Pembenaran melalui iman ini hanya diterima melalui apa yang sudah dilakukan
oleh Yesus Kristus. Sebagaimana Adam sebagai representasi seluruh umat manusia
telah gagal dan dosa menjalar ke seluruh umat manusia, demikian pula Kristus telah
taat dan memberikan kebenaran kepada semua umat pilihan-Nya (5:12-21)
Struktur kitab
Perbedaan struktur surat Roma yang diusulkan para sarjana dapat ditelusuri dari dua
pendekatan: secara topikal (memilih topik tertentu sebagai tema utama dan menafsirkan
semua teks dalam kaitan dengan hal itu) dan secara logis (mengikuti pola pikir Paulus
paragraf demi paragraf). Pendekatan kedua tampaknya menjadi alternatif paling baik
dan semakin banyak dianut para sarjana.
Ada beberapa perbedaan pendapat di antara para sarjana yang menganut pendekatan logis
di atas, namun perbedaan tersebut hanya berkaitan dengan hal-hal detail. Secara umum
struktur surat Roma adalah seperti di bawah ini:
PENDAHULUAN (1:1-17)
Salam (1:1-7)
Ucapan syukur dan topik pribadi (1:8-15)
Tema surat (1:16-17)
11
Tafsir Perjanjian Baru I
Tidak seperti surat Hellenis pada umumnya maupun surat-surat Paulus yang lain,
pendahuluan Surat Roma merupakan pendahuluan yang tergolong panjang. Bagian ini
dapat dibagi menjadi 5 bagian:
Para sarjana biasanya mengusulkan dua alasan bagi pendahuluan yang tidak lazim ini:1
1. Paulus ingin memperkenalkan diri dan ajarannya sedini mungkin kepada jemaat yang
ia tidak pernah kunjungi atau dirikan (Moo, 40).
2. Paulus ingin ‘membela diri’ sedini mungkin terhadap kesalahpahaman konsep tentang
ajarannya yang mungkin sempat terdengar oleh jemaat di Roma (Murray).
1
Untuk penjelasan lain, lihat Kasemann, 3.
12
Tafsir Perjanjian Baru I
Dalam bagian ini Paulus memberikan 3 deskripsi penting tentang dirinya. Seperti
kebiasaan Paulus di suratnya yang lain, deskripsi diri ini berkaitan dengan isi surat secara
keseluruhan (bdk. terutama Gal 1:1, 10). Di ayat ini ia mendeskripsikan dirinya sebagai
hamba Kristus Yesus, dipanggil menjadi rasul dan dikhususkan untuk pemberitaan Injil.
Beberapa sarjana yang meyakini adanya nuansa ‘otoritatif’ dalam ungkapan ini (merujuk
pada tokoh-tokoh penting sebagai hamba TUHAN yang spesial, misalnya Musa [Yos
14:7; 2Raj 18:12], Yosua [Yos 24:29], Elia [2Raj 10:10], Nehemia [Neh 1:6] dan
terutama Daud) bahkan tetap memberikan penekanan yang lebih pada aspek totalitas
dedikasi. Moo mengatakan, “the phrase connotes total devotion, seggesting that the
servant is completely at the disposal of his or her Lord” (40). Cranfield menulis, “the
term expresses the total unconditional character of his belonging and dependence. The
phrase is belongingness, total allegiance, correlative to the absolute ownership and
authority denoted by ku,rioj used of Christ” (h. 50-51). Makna ini juga didukung oleh Gal
1:10 “Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah?
Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan
kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus”.
Agumentasi yang mendukung nuansa otoritas dalam kata avpo,stoloj antara lain:
2
Lihat Cranfield, Moo, Dunn. Kasemann menolak nuansa kerendahhatian di balik ungkapan ini.
Sebaliknya, ia mengusulkan nuansa heroik, karena ungkapan ‘hamba TUHAN’ di PL menunjukkan jabatan
khusus yang menunjukkan otoritas (h. 5).
3
Kata avpo,stoloj dalam PB kadangkala dipakai secara umum (merujuk pada utusan/yang diutus,
bdk. Yoh 13:16; 2Kor 8:23; Fil 2:25), tetapi kata ini seringkali dipakai dalam arti teknis. Dalama pengertian
ini, secara sempit merujuk pada 12 murid Tuhan Yesus dan secara lebih luas pada beberapa orang yang
dikategorikan sebagai rasul, misalnya Barnabas dan Paulus (Kis 14:14), Andronikus dan Yunias (Rom
16:7).
4
Cranfield, h. 52.
13
Tafsir Perjanjian Baru I
Terlepas dari benar tidaknya asumsi di atas, penekanan frase ‘dikhususkan untuk
[pemberitaan] Injil’ terletak pada bagian terakhir (Injil), karena kata inilah yang
kemudian dijelaskan Paulus dari ayat 2-4. Paulus bukan hanya menyadari panggilan
Allah sebagai rasul, tetapi ia juga mengerti tugas/panggilan khusus yang ia terima dari
Allah, yaitu pemberitaan Injil. Seorang rasul memang bisa menjabat sebagai pemimpin
gereja (Yohanes, Yakobus, Petrus), tetapi Paulus sadar bahwa ia sejak dari kandungan
sudah ditetapkan untuk memfokuskan diri pada pemberitaan Injil.
5
Cranfield, h. 51; Kasemann, 6; Sanday, h. 4-5; Moule, h. 49.
6
Cranfield, h. 53; McClain, h. 35-37. Untuk penjelasan, lihat Cranfield, h. 53, n. 1.
7
Kasemann, h. 6; Cranfield, h. 53; Dunn, h. 22; Bruce, h. 71.
8
Cranfield, h. 55, 57.
14
Tafsir Perjanjian Baru I
Ada beberapa hal dalam teks ini yang menunjukkan bahwa Paulus memang ingin
menekankan kontinuitas Injil dari PL sampai PB.
1. Pengulangan ide dalam kata kerja proephggei,lato (dijanjikan sebelumnya).
Selain di sini, kata proephggei,lato hanya dipakai di 2Kor 9:5. Penambahan kata
depan pro di depan kata evpaggellomai merupakan pengulangan yang sebenarnya
tidak diperlukan. Melalui penambahan ini Paulus ingin menekankan urutan waktu
antara janji Allah (dalam PL) dan penggenapannya (dalam PB).13
2. Pemakaian frase dia. tw/n profhtw/n auvtou/ (melalui nabi-nabi-Nya).
Mayoritas sarjana meyakini bahwa istilah ‘nabi-nabi’ di sini tidak hanya merujuk
pada arti teknis kata tersebut (merujuk pada orang-orang tertentu yang berperan
khusus sebagai nabi), tetapi seluruh penulis PL (Ibr 1:1). Musa (Kis 3:21-22) dan
Daud (Kis 2:30) juga disebut sebagai nabi.
3. Pemakaian frase evn grafai/j a`gi,aij (dalam Kitab Suci).
9
Cranfield, h. 55; Murray, h. ?; Dunn, h. 40; Morris, h. 40.
10
Moo, h. 43; Kasemann, h. 8.
11
Arthur, h. 9.
12
Arthur, h. 11.
13
Moo, h. 44; Cranfield, h. 55, n. 3.
15
Tafsir Perjanjian Baru I
Penambahan frase ‘dalam Kitab Suci’ pada frase ‘melalui nabi-nabi-Nya’ sebenarnya
hanya berfungsi sebagai penekanan. Seperti sudah dijelaskan di atas, ‘nabi-nabi’
merujuk pada penulis PL secara umum, sehingga arti frase ‘melalui nabi-nabi-Nya’
tersebut sebenarnya sama dengan ‘dalam Kitab Suci’. Mayoritas sarjana meyakini
bahwa Paulus tidak sedang memikirkan teks PL tertentu pada saat ia memakai istilah
‘Kitab Suci’.
Ayat 3-4 ditulis dalam bentuk paralelisme yang menerangkan kata tou/ ui`ou/ auvtou/
(Anak-Nya) di bagian awal ayat 3. Perhatikan struktur berikut ini (berdasarkan
terjemahan literal):
3
Mengenai Anak-Nya
yang telah datang dari keturunan Daud menurut daging
4
yang telah dipilih sebagai Anak Allah menurut Roh kekudusan
sejak kebangkitan dari antara orang mati
Yesus Kristus Tuhan kita
Paralelisme di atas mencakup dua sisi dari kehidupan Yesus sebagai Anak Allah
(menurut daging dan menurut Roh).
1. Yesus adalah Anak Allah dalam keadaan-Nya sebagai manusia.
“Menurut daging” (kata. sa,rka) dalam ayat 3 tidak menunjukkan natur manusiawi
Yesus yang tercemar dosa (baca: kedagingan), meskipun sarx dalam tulisan Paulus
sering merujuk pada arti ini (Rom 7:5; 8:8; 13:14; Gal 5:13-18). sarx bisa merujuk
pada daging makhluk hidup secara fisik (1Kor 15:39), aspek jasmaniah manusia
(Rom 4:1), suku/keturunan (Rom 11:14), dll. Jadi, sarx sendiri merupakan kata yang
netral dan artinya sangat ditentukan oleh konteks pemakaian. Dalam konteks ini, kata.
sa,rka (muncul 21 kali dalam tulisan Paulus) sebaiknya dipahami sebagai sinonim
dari “sebagai manusia” dengan penekanan pada natur eksistensi tersebut yang bersifat
sementara dan lemah.18
2. Yesus dipilih menjadi Anak Allah dalam kuasa sejak kebangkitan-Nya.
14
Lihat Shedd, h. 8; Moule, h. 50.
Lihat Cranfield, h. 57; Morris, h. 41-42; Barret, h. 18. RSV menerjemahkan ayat 3: “the gospel
15
16
Tafsir Perjanjian Baru I
19
Cranfield, h. 61-62; Moo, h. 47-48. Bandingkan pemunculan kata ini di Luk 22:22; Kis 2:23;
10:42; 11:29; 17:26, 31; Ibr 4:7.
20
Moo, h. 48.
21
Moo, h. 48.
22
Beberapa sarjana menafsirkan “dalam kuasa” sebagai penjelasan bagi “dipilih”, bukan “Anak
Allah” (Hodge, bdk. NIV “was declared with power to be the Son of God”). Mayoritas sarjana modern
umumnya menganggap “dalam kuasa” sebagai keterangan bagi “Anak Allah”. Berdasarkan analogi dari
2Kor 13:4 “Ia telah disalibkan oleh karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah”, ‘dengan
kuasa’ lebih tepat dilihat sebagai penjelasan tentang ‘Anak Allah’ (Morris, h. 45). Kontras ini juga sesuai
dengan kontras di Rom 1:3-4.
23
Cranfield, h. 62.
17
Tafsir Perjanjian Baru I
penting yang perlu diperhatikan sebelum membahas deskripsi Paulus tentang tugas
kerasulannya. Pertama, ungkapan “kami” di ayat 5 hanyalah sebuah gaya penulisan surat
(editorial).24 Paulus tidak sedang memikirkan orang Kristen pada umumnya25 maupun
rasul-rasul lain.26 Gaya ini sangat mungkin dipilih karena nuansa formal dan otoritatif
ayat 1-7 (bandingkan ayat 8 dst yang lebih pribadi dan memakai kata ganti “aku”).27
Asumsi ini juga didukung oleh frase “di antara bangsa Yunani” (evn pa/sin toi/j e;qnesin)
di ayat 5 yang secara khusus merujuk pada diri Paulus. Ia juga menulis surat ini atas
namanya sendiri, sehingga ia tidak memiliki kepentingan untuk menyertakan rasul-rasul
lain, apalagi penjelasan selanjutnya tidak berbicara tentang rasul-rasul lain sama sekali.28
Kedua, kata sambung “dan” (kai.) dalam ayat ini berfungsi secara epexegetical.29
Artinya, kai. di sini tidak menunjukkan dua hal yang berbeda, sebaliknya kata sesudah
kai. menerangkan kata sebelum kai.. Berdasarkan fungsi kai. ini, frase ca,rin kai.
avpostolh.n sebaiknya diterjemahkan “kasih karunia, yaitu jabatan kerasulan”.
Setelah menjelaskan mediator dalam panggilan kerasulannya (ayat 5a), Paulus kemudian
memaparkan tiga aspek penting dalam panggilan tersebut. Tiga aspek yang menerangkan
kerasulan Paulus tersebut dapat dilihat dari pemakaian tiga kata depan yang dipakai di
ayat 5.
1. Tujuan: membawa kepada ketaatan iman (eivj u`pakoh.n pi,stewj, ayat 5b).
2. Area: di antara bangsa Yunani (evn pa/sin toi/j e;qnesin, ayat 5c).
3. Fokus: demi nama Tuhan Yesus Kristus (u`pe.r tou/ ovno,matoj auvtou/, ayat 5d).
24
Moo, h. 51.
25
Kontra Barret, h. 21.
26
Kontra Sanday, h. 10.
27
Cranfield, h. 65.
28
Morris, h. 48.
29
Moo, h. 51; Cranfield, h. 65-66; Dunn, h. 17; Bruce, h. 74. Kontra Barret, h. 21.
30
h. 66. (1) ketaatan kepada iman dalam arti seluruh doktrin Kristen; (2) ketaatan kepada otoritas
iman; (3) ketaatan kepada kesetiaan Allah yang dinyatakan dalam Injil; (4) ketaatan yang dihasilkan oleh
iman; (5) ketaatan yang dituntut oleh iman; (6) ketaatan yang beriman; (7) ketaatan yang berisi iman.
31
Arthur, h. 24, menulis, “the idea is that of the faith, referring to the whole teaching of
Scriptures, especially the New Testament”.
18
Tafsir Perjanjian Baru I
Pandangan di atas sebenarnya memiliki dua kelemahan. Seandainya ketaatan dan iman di
sini artinya sama, mengapa Paulus menggunakan dua kata tersebut sekaligus? 33 Selain
itu, pandangan ini tidak sesuai dengan gambaran pelayanan Paulus di surat ini (1:11-13)
maupun pelayanan Paulus secara umum (Fil 2:12-13).34 Pilihan yang paling bijak
mungkin adalah memahami u`pakoh.n pi,stewj sebagai dua hal yang berbeda, tetapi tidak
terpisahkan.35 Iman tidak bisa dipisahkan dari ketaatan, karena objek iman kita adalah
Yesus Kristus sebagai Tuhan (ayat 4b dan 7b). Ketaatan tidak bisa dipisahkan dari iman,
karena ketaatan hanya bisa terwujud ketika seseorang memberikan hidupnya kepada
Yesus Kristus dalam iman. Pandangan ini sekaligus bisa berfungsi sebagai benteng
terhadap bahaya antinomianisme (yang hanya mementingkan kebebasan dalam Kristus
melalui iman tetapi tanpa disertai ketaatan) maupun bahaya Yudaisme (yang
mementingkan ketaatan sebagai syarat keselamatan dan menganggap iman saja tidak
cukup untuk menyelamatkan).
32
Cranfield, h. 66; Murray, h. 13.
33
Morris, h. 50.
34
Moo, h. 52.
35
Morris, h. 50; Moo, h. 52; Barret, h. 21.
36
Moo, h. 53; Barret, h. 21-22; Sanday, h. 11; Murray, h. 14.
19
Tafsir Perjanjian Baru I
Penjelasan di atas tidak berarti bahwa Paulus tidak dipanggil untuk memberitakan Injil
kepada bangsa Yahudi (bdk. Kis 9:15; 20:21). Paulus bahkan sering pergi ke synagoge
lebih dahulu sebelum ia mengabarkan Injil di suatu kota. Frase di atas hanya menyatakan
prioritas, kekhususan dan kejelasan panggilan Paulus.
Pengertian “nama” (tou/ ovno,matoj) di sini bukan hanya sekadar panggilan atau label
untuk membedakan seseorang dari orang lain. Dalam konteks berpikir bangsa Yahudi
nama merupakan ekspresi dari seluruh kepribadian seseorang, karena itu Allah beberapa
kali mengganti nama seseorang ketika Ia memberikan karakter baru kepada orang
tersebut (Kej 17:5, 15; 32:28). Para sarjana umumnya melihat pengertian “demi nama-
Nya” di sini sebagai sinonim dari “demi kemuliaan Tuhan Yesus” (bdk. 1:21; 15:7).40
Melalui hal ini Paulus ingin menunjukkan bahwa “ketaatan iman” (ayat 5b) yang menjadi
tujuan kerasulannya akan mencapai puncaknya ketika kemuliaan Kristus semakin nyata
di dunia. Sebagai kontras dengan situasi ketika nama Allah dihujat karena ketidaktaatan
bangsa Yahudi (2:24), di sini Paulus menegaskan bahwa ketaatan bangsa Yunani akan
membawa nama Allah (Kristus) dipermuliakan.41
37
Morris, h. 51, n. 82.
38
Cranfield, h. 67.
39
Morris, h. 51.
40
Cranfield, h. 67; Moo, h. 53;
41
Dunn, h. 18.
20
Tafsir Perjanjian Baru I
memang hanya ada di ayat 7a, tetapi identitas penerima surat ini dapat ditelusuri mulai
ayat 6. Dengan menggabungkan informasi di ayat 6 dan 7a, identitas jemaat di Roma
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mereka [mayoritas] adalah bangsa Yunani (ayat 6a).
2. Mereka dipanggil Kristus Yesus (ayat 6b).
3. Mereka merupakan jemaat gereja-rumah (ayat 7).
4. Mereka dikasihi Allah (ayat 7).
5. Mereka terpanggil menjadi orang-orang kudus (ayat 7).
Berbeda dengan sebagian sarjana yang menganggap frase ‘di antara mereka [adalah]
kamu juga’ hanya sebagai indikasi bahwa jemaat di Roma tinggal di tengah-tengah
bangsa Yunani,42 frase ini tampaknya menunjukkan bahwa mayoritas jemaat di Roma
adalah bangsa Yunani (1:13, 14-15; 11:13, 17-21).43 Pertama, sebagaimana frase ‘di
antara semua bangsa-bangsa Yunani’ di ayat 5b merujuk bangsa Yunani secara etnis,
frase ini juga seharusnya dipahami dari sisi etnis, bukan geografis. Kedua, pengertian
etnis di sini lebih sesuai dengan konteks Rom 1:1-16a. Ayat 13-15 (terutama ayat 15)
secara eksplisit mengindikasikan bahwa alasan Paulus ingin memberitakan Injil di Roma
adalah karena ia berhutang pada semua segmen masyarakat Yunani.
42
Cranfield, h. 68.
43
Moo, h. 54; Barret, h. 22; Sanday, h. 12; Morris, h. 51; Dunn, h. 19.
44
Cranfield, h. 67; Moo, h. 53; Morris, h. 51.
45
Kata ‘panggilan’ dalam surat kiriman harus dipahami dalam konteks ‘panggilan efektif’
(meminjam istilah dari teologi sistematik, bdk. Rom 8:28: 11:29; 1Kor 1:24; Yud 1). Ini bukan sekadar
‘tawaran’ (bandingkan kontras antara ‘panggilan’ dan ‘pilihan’ di kitab-kitab Injil). Lihat, Moule, h. 52.
21
Tafsir Perjanjian Baru I
46
Murray, h. 14; Morris, h. 51-52; Moo, h. 54.
47
Cranfield, h. 68.
48
Murray, h. 14-15; Sanday, h. 12; Barret, h. 22; Morris, h. 52; Dunn, h. 19; Moo, h. 54; lihat juga
NIV, RSV/NRSV; LAI:TB.
49
Murray, h. 15; bdk. Moo, h. 54.
50
Moo, h. 54.
51
Dunn, h. 19.
52
Cranfield, h. 69; Moo, h. 55; Morris, h. 52.
22
Tafsir Perjanjian Baru I
mungkin terkait dengan frase klhth. a`gi,a di LXX (Kel 12:16; Im 23[10x], Bil 28:25).53
Dengan mengaplikasikan ungkapan PL ini kepada orang-orang percaya dalam Kristus,
Paulus sekali lagi menekankan kontinuitas karya keselamatan Allah dalam konteks
sejarah keselamatan.54 Dengan kata lain, ia menegaskan bahwa orang percaya adalah
Israel yang baru.
Anugerah. Perubahan dari cai,rein menjadi ca,rij dalam salam ini sangat signifikan,
karena dalam PB kata ca,rij biasanya merujuk pada kasih Allah yang diberikan kepada
manusia yang sebetulnya tidak layak diterima.56 Kata ini muncul 24 kali dalam Surat
Roma (3:24; 4:4, 16; 5:2, 15[2x], 17, 20, 21; 6:1, 14, 15, 17; 7:25; 11:5, 6[3x]; 12:3, 6;
15:15; 16:20).
Damai. Orang Yunani hanya memahami dalam arti ‘ketidakadaan perang’, namun dalam
konteks ini arti tampaknya lebih mendalam. eivrh,nh juga muncul di Rom 2:10; 3:17; 5:1;
8:6; 14:17, 19; 15:13, 33; 16:20. Kata ini memiliki arti yang beragam tergantung
konteks. Kemungkinan besar eivrh,nh merujuk pada perdamaian dengan Allah (Rom 5:1,
10, 11) atau berkat yang berasal dari perdamaian tersebut.57
53
Moo, h. 54, n. 84; Sanday, h. 12-13. Untuk sanggahan terhadap pandangan ini, lihat Cranfield,
h. 70.
54
Lihat, Moo, h. 54-55.
55
Morris, h. 53; Barret, h. 22; Kasemann, h. 16; Moo, h. 55.
56
Cranfield, h. 71.
57
Cranfield, h. 72.
23
Tafsir Perjanjian Baru I
Dengan menggabungkan dan Paulus tampaknya ingin menyampaikan salam yang lebih
bermakna daripada salam yang umum. Bagi Paulus, damai (eivrh,nh) yang sesungguhnya
(bukan hanya dalam arti absennya peperangan) hanya berasal dari anugerah (ca,rij) Bapa
melalui karya Yesus Kristus.58
58
Morris, h. 54.
24
Tafsir Perjanjian Baru I
Semua ekspresi di atas perlu disampaikan kepada jemaat di Roma supaya mereka
mengetahui bahwa ketidakdatangan Paulus ke Roma bukan disebabkan keengganan
25
Tafsir Perjanjian Baru I
Paulus untuk datang. Ia sering menghadapi kendala (ayat 13b). Kendala yang dimaksud
adalah tuntutan pekabaran Injil di daerah timur Mediteranian (15:19). Hal ini bagi Paulus
menunjukkan bahwa Allah belum menghendaki ia untuk datang (bdk. ayat 10). Paulus
memang sangat berhasrat untuk datang, tetapi ia menyerahkan semua ke dalam rencana
Allah.
Pembagian karunia ini bukanlah tujuan akhir maupun hanya sekadar demonstrasi
kehebatan Paulus, karena karunia selalu dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang
sesungguhnya, yaitu ‘pembangunan jemaat’ (1Kor 12:7). Tujuan pembagian karunia
dalam bagian ini dinyatakan melalui kata depan eivj + infinitive. Tujuan akhir adalah
supaya jemaat di Roma dikuatkan (sthricqh/nai). Tanpa bermaksud berbasa-basi
Paulus menerangkan bahwa hal itu juga akan ‘menguatkan’ dia (ayat 12, bdk. 15:32).
Penjelasan ini bukanlah suatu koreksi, seperti yang diduga sebagian sarjana. Paulus
hanya ingin meminimalisasi kesan sombong yang mungkin akan tersirat dari
26
Tafsir Perjanjian Baru I
pernyataannya di ayat 11, apalagi jemaat di Roma bukan hasil pelayanan Paulus dan
belum mengenal Paulus. Kata sumparaklhqh/nai bisa berarti ‘bersama-sama
dikuatkan’ (NIV, NASB, RSV, NKJV) atau ‘bersama-sama dihiburkan’ (KJV).
Kedua alternatif di atas tetap menunjukkan hal yang sama: Paulus juga dikuatkan
dalam hal tertentu melalui iman jemaat di Roma. Relasi mutual ini dipertegas Paulus
dengan menggunakan frase u`mw/n te kai. evmou/ (‘baik milikmu dan milikku’)
untuk menjelaskan frase avllh,loij pi,stewj (‘iman masing-masing’). Penjelasan ini
sebenarnya tidak diperlukan, tetapi Paulus justru menambahkan hal itu untuk
menekankan relasi mutual tersebut. Penekanan ini mengindikasikan kesungguhan
kalimat Paulus di ayat 12, sekaligus menyiratkan kerendahhatiannya.
2. Untuk memiliki buah di antara mereka (ayat 13).
Paulus biasanya menggunakan kata ‘buah’ (karpo,j) secara figuratif untuk menunjuk
pada tingkah laku orang Kristen (6:21, 22; Gal 5:22; Ef 5:9; Fil 1:11) atau hasil
pelayanannya (Fil 1:22; 4:17). karpo,j di ayat 13 jelas merujuk pada arti yang
terakhir. Paulus ingin menemukan buah pelayanannya di Roma, seperti yang ia telah
lakukan di tempat lain. Berdasarkan penggunaan kata karpo,j di Fil 1:22 dan 4:17,
kata ini tampaknya bukan hanya berarti pertambahan jumlah petobat baru, tetapi juga
menyangkut penguatan iman jemaat di Roma (bdk. 11b).
3. Untuk memberitakan Injil (ayat 14-16a).
Mengikuti pendapat Cranfield (h. 86-87), ayat 16a “karena aku memiliki keyakinan
yang kokoh dalam Injil” sebaiknya dihubungkan dengan bagian sebelumnya (ayat 14-
15). Inti ayat 14-16a terletak pada kerinduan Paulus untuk memberitakan Injil di
Roma (ayat 15). Bagian ini sekaligus menjadi alasan ke-3 di balik rencana
kedatangan Paulus ke Roma. Ayat 14 dan 16a menerangkan alasan mengapa Paulus
sangat rindu mengabarkan Injil di Roma. Perhatikan struktur kalimat ayat 14-16a di
bawah ini:
Aku berhutang kepada orang-orang Hellenis maupun barbarian
kepada orang berhikmat maupun orang tidak terpelajar
itulah sebabnya, aku sangat rindu mengabarkan Injil kepadamu yang diam di Roma
Tujuan Paulus ini tampaknya berkontradiksi dengan prinsip yang selama ini
dipegangnya, yaitu bahwa ia tidak mau membangun di atas pondasi yang sudah
didirikan oleh orang lain (15:20 dan 2Kor 10:15-16). Beberapa sarjana mencoba
memberikan solusi dengan mengartikan kata ‘menginjil’ (euvaggeli,zw) di sini tidak
hanya merujuk pada pemberitaan untuk pertobatan, tetapi juga langkah-langkah
pembangunan iman setelah pertobatan (ayat 11-13). Pendapat ini tetap tidak
menghilangkan kesan “membangun di atas pondasi orang lain”. Solusi lain adalah
dengan menganggap frase “kamu yang diam di Roma” sebagai representasi dari
penduduk kota Roma lainnya. Dengan kata lain, frase ini menunjuk pada orang-orang
Kristen dan orang-orang tidak percaya di Roma. Pendapat ini memiliki kelemahan,
karena kata ganti “kamu” yang muncul di ayat 8-13 menunjuk pada orang-orang
Kristen di Roma. Selain itu, seandainya pendapat di atas benar, Paulus pasti akan
memakai frase “mereka yang diam di Roma”.
27
Tafsir Perjanjian Baru I
Solusi terbaik adalah menerima ayat ini secara literal (karena artinya sudah jelas),
tetapi mengaji ulang pernyataan Paulus di 15:20 dan 2Kor 10:15-16. Pernyataan
Paulus tersebut tidak bisa dianggap sebagai suatu peraturan baku. Pernyataan itu
hanya merupakan suatu preferensi pribadi Paulus dan prioritas (bukan eksklusivitas)
panggilan yang khusus dari Allah. Paulus diutus secara khusus untuk bangsa Yunani,
tetapi ia selalu menyempatkan diri mengabarkan Injil kepada bangsa Yahudi lebih
dahulu di sinagoge. Paulus juga tidak anti terhadap pekerjaan seseorang yang
membangun di atas pondasi orang lain (1Kor 3:6-10). Selain itu, ia tidak pernah
merencanakan kota Roma sebagai pusat misinya. Roma hanyalah tempat transit
sebelum ia pergi ke Spanyol dan daerah sekitarnya. Kisah Rasul 28:29-31 mencatat
bahwa Paulus ‘tidak keberatan’ tinggal di Roma selama dua tahun penuh.
Berdasarkan pemaparan ini, tujuan Paulus memberitakan Injil di Roma harus
dimengerti secara lebih luas: ia memang ingin membangun iman jemaat sekaligus
memberitakan Injil kepada penduduk di Roma yang belum mendengar Injil.
Kerinduan Paulus untuk mengabarkan Injil di Roma bukan hanya sekadar keinginan
yang biasa saja (lihat ayat 10-13, kontra LAI:TB). Kesungguhan keinginannya
diungkapkan dalam frase to. katV evme. pro,qumon. Dalam KJV dan NKJV frase ini
diterjemahkan “as much as in me”. Mayoritas sarjana dan penerjemah memilih
“keinginanku yang dalam” (NRSV) atau “aku sangat ingin” (NIV, RSV). Pilihan
yang paling tepat adalah “keinginan yang dalam”. Pertama, pemakaian kata sifat
neuter (pro,qumon) sebagai substantif merupakan ciri khas Paulus (to. gnwsto.n, 1:19
dan ta. avo,rata, 1:20). Kata sifat to. pro,qumon di sini seharusnya diterjemahkan
“keinginan yang dalam” (bdk. Mat 26:41//Mar 14:36; 1Pet 5:2; Louw-Nida; Friberg).
Kedua, katV evme. (lit. ‘menurut aku’) merupakan ungkapan Hellenistik yang umum
untuk ‘milikku’. Jadi, frase to. katV evme. pro,qumon sebaiknya diterjemahkan
“keinginanku yang dalam adalah untuk...”.
Dalam bagian ini Paulus juga menjelaskan dua alasan bagi keinginannya yang dalam
tersebut, seperti terlihat dalam bagan struktur ayat 14-16a di atas. Ada dua alasan di
balik hasrat yang dalam untuk menginjil:
1. Pemahaman terhadap tanggung jawab memberitakan Injil (ayat 14).
Paulus sangat menyadari bahwa ia dikhususkan untuk memberitakan Injil kepada
bangsa Yunani (1:1, 5), sehingga ia berani mengatakan “celakalah aku kalau aku
tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16b). Berangkat dari kesadaran bahwa
pemberitaan Injil adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi, Paulus
menganggap dirinya berhutang kepada semua orang yang belum mendengarkan
Injil (bdk. ovfeile,thj di 8:12; Gal 5:3). Ia juga menegaskan tanggung jawabnya
kepada semua lapisan masyarakat Yunani. Frase {Ellhsi,n te kai. barba,roij
menunjuk pada orang-orang Yunani yang berbudaya Romawi dan orang-orang
Yunani lainnya, sedangkan sofoi/j te kai. avnoh,toij menunjuk pada orang-orang
Yunani yang pandai/berpendidikan dan yang tidak berpendidikan formal.
2. Keyakinan pada Injil yang diberitakan (ayat 16a).
Alasan kedua di balik hasrat Paulus yang dalam untuk memberitakan Injil di
Roma adalah keyakinan pada Injil. Mayoritas EV’s menerjemahkan ayat 16a
28
Tafsir Perjanjian Baru I
“karena aku tidak malu terhadap Injil” (bdk. LAI:TB “aku memiliki keyakinan
yang kokoh”). Sikap malu terhadap Injil sangat mungkin terjadi pada orang
percaya (Mar 8:38//Luk 9:26; 2Tim 1:8), karena tekanan dari dunia dan natur
berita Injil yang merupakan kebodohan bagi pemikiran Yunani (1Kor 1:18).
Berita Injil (Allah menjadi daging, Allah yang bisa ‘mati’, kebangkitan orang
mati) bagi masyarakat Yunani merupakan sesuatu yang tidak masuk akal (Kis
17:32a).
Terlepas dari minoritas sarjana yang menolak (misalnya Achtemeier), hampir semua
sarjana setuju bahwa bagian ini merupakan tema Surat Roma, yaitu dikaiosu,nh qeou/
(kebenaran Allah), yang menjadi dasar dan inti pembahasan di 1:18-8:39. Cranfield
bahkan membagi 1:18-8:39 berdasarkan ayat 17 “orang yang benar melalui iman akan
hidup”: 1:18-4:25 merupakan elaborasi ‘orang yang benar melalui iman’, sedangkan 5:1-
8:39 tentang ‘akan hidup’. Pembagian Cranfield mungkin tidak konklusif dan masih bisa
diperdebatkan, namun signifikansi bagian ini bagi Surat Roma tetap sulit dibantah.
Relasi ayat 16b-17 dengan bagian sebelumnya ditunjukkan dengan kata sambung
“karena” (ga.r). Ada tiga kata ga.r yang dipakai dalam ayat 15-17. Kata ini merupakan
penjelasan tentang alasan bagi pernyataan sebelumnya. Alur pemikiran dalam bagian ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Karena (ga.r) Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (ayat 16b)
Setiap orang percaya
Orang Yahudi dan Yunani
Berkaitan dengan inti pembahasan ayat 16b-17 – yaitu dikaiosu,nh qeou/ - pandangan
para sarjana tentang frase ini secara umum dapat dibagi menjadi tiga:
1. Genitif qeou/ adalah genitive of possesion: “kebenaran milik Allah” → merujuk pada
sifat Allah.
2. Genitif qeou/ adalah genitive of source: “kebenaran dari Allah” → merujuk pada
status yang diberikan Allah.
3. Genitif qeou/ adalah genitive of subjective: “kebenaran yang ditunjukkan oleh Allah”
→ merujuk pada aktivitas Allah.
Pembahasan detail tentang isu ini merupakan sesuatu yang mustahil. Tiga faktor yang
menentukan konklusi terhadap isu ini (konsep dikaiosu,nh qeou/ dalam PL, penggunaan
dikaiosu,nh qeou/ dalam Surat Roma dan konteks dekat) ternyata memberikan dukungan
yang relatif seimbang untuk setiap alternatif. Kesulitan ini menjadi lebih rumit, karena
29
Tafsir Perjanjian Baru I
pengertian kata dikaiosu,nh juga sangat bias. Beberapa sarjana menggabungkan dua atau
tiga alternatif tersebut yang memang tidak dapat dipisahkan (Kasemann, Moo).
Menimbang semua argumentasi yang ada, alternatif kedua tampaknya lebih masuk akal
(Cranfield).
Seperti yang dilakukan Paulus di tempat lain, ia di sini juga menjelaskan bahwa Injil
yang berisi kebenaran Allah melalui iman bukanlah ide yang baru. Ide ini didukung oleh
Perjanjian Lama (ayat 17, bdk. 1:2; 3:21; 4:1-8, dll). Kutipan dari Habakuk 2:4
menimbulkan dua isu yang signifikan.
Pertama, pemahaman Paulus tentang teks ini tampaknya berbeda dengan konteks mula-
mula Habakuk 2:4. Konteks Habakuk 2:4 adalah jawaban Tuhan terhadap keluhan nabi
tentang ‘ketidakadilan’ Allah. Teks tersebut membahas bagaimana orang yang sudah
benar harus hidup dengan iman meskipun di tengah ‘ketidaksesuaian’ antara realita dan
janji Allah. Dalam Roma 1:16a-17 Paulus tampaknya membicarakan tentang bagaimana
orang dapat benar di hadapan Allah, dan karena itu ia akan hidup kekal. Perbedaan di atas
sebenarnya bisa diharmonisasikan. Inti Habakuk 2:4 yang ingin dikutip oleh Paulus
adalah bahwa iman memegang peranan penting dalam relasi dengan Allah (Moo, 78).
Kedua, kalimat o` de. di,kaioj evk pi,stewj zh,setai secara gramatikal bisa diterjemahkan
dalam dua cara.
(1) “Tetapi orang benar akan hidup oleh/melalui imannya” (KJV, NIV dan NASB).
(2) “Tetapi orang yang benar melalui imannya akan hidup” (TEV, NEB).
Terlepas dari argumentasi bagi terjemahan 1 yang tidak konklusif (lihat Cranfield, 101-
102), konteks Roma 1-8 tampaknya lebih mendukung terjemahan 2. Paulus sering
menghubungkan antara ‘kebenaran’ dengan ‘iman’, dan sebagai hasilnya adalah ‘hidup
kekal’. Rujukan penting yang mendukung antara lain 5:1 (Dikaiwqe,ntej ou=n evk
pi,stewj), 4:11 (th/j dikaiosu,nhj th/j pi,stewj), 4:13 (dia. dikaiosu,nhj pi,stewj), 10:6 (h`
de. evk pi,stewj dikaiosu,nh).
Berdasarkan pertimbangan sintaks ayat 14-17 dengan ayat 15 sebagai induk kalimat,
ayat 14-17 dapat dilihat sebagai keterangan/penjelasan tentang ‘memberitakan Injil’ di
ayat 15 (lihat Stott, 59-65). Dengan kata lain, ayat 14-17 menjelaskan keyakinan Paulus
terhadap Injil yang membuat ia begitu bersemangat dan tidak malu terhadap Injil.
1. Injil adalah hutang kepada semua orang (ayat 14).
Paulus menganggap dirinya berhutang kepada semua orang Yunani karena ia
meyakini bahwa Kristus telah mempercayakan Injil-Nya untuk diberikan kepada
30
Tafsir Perjanjian Baru I
mereka melalui dirinya (1Kor 4:1; Gal 2:7; 1Tes 2:4; 1Tim 1:11; Tit 1:3). Adalah hak
mereka untuk memiliki Injil Kristus, sehingga sebelum Paulus memberitakan
(memberikan) Injil tersebut kepada mereka, ia adalah orang yang berhutang.
2. Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (ayat 16).
Ada banyak tantangan untuk menjadi malu terhadap Injil, tetapi satu alasan yang
dapat mengatasi tantangan tersebut adalah keyakinan bahwa Injil tersebut berkuasa
menyelamatkan. Ada beberapa pemikiran penting keselamatan yang diajarkan dalam
ayat ini:
a. Keselamatan ditentukan oleh kekuatan (kuasa) Allah. Fungsi genitif qeou/ sebagai
genitive of possession dalam frase du,namij ga.r qeou/ (kekuatan Allah)
mengindikasikan peranan sentral Allah dalam keselamatan. Keselamatan
seseorang bukanlah ditentukan oleh kefasihan bicara pemberita Injil (bdk. 1Kor
2:1-5).
b. Keselamatan diterima melalui iman. Berbeda dengan konsep Yahudi yang
menekankan ketaatan kepada Taurat (perbuatan), Paulus di sini mengajarkan
bahwa keselamatan melalui kuasa Allah tersebut diperuntukan ‘bagi yang
percaya’ (tw/| pisteu,onti). Keutamaan iman dalam bagian ini juga dipertegas
dengan frase evk pi,stewj eivj pi,stin (ayat 17 “dari iman kepada iman”) yang
merupakan gaya bahasa retoris yang berarti “iman, dan hanya iman” (bdk. 2Kor
2:16, Barret, Cranfield, Moo).
c. Keselamatan disediakan bagi semua orang. Berbeda dengan konsep Yahudi
tentang eksklusivitas posisi mereka di hadapan Allah, Paulus menempatkan posisi
bangsa Yahudi dalam posisi yang sebenarnya. Di satu sisi ia mengakui kelebihan
bangsa Yahudi. Ia menggunakan kata prw/ton (pertama-tama) untuk menjelaskan
kelebihan bangsa Yahudi dalam hal aplikasi janji Allah. Mereka adalah penerima
janji yang pertama dan janji itu juga masih berlaku untuk mereka (11:29).
Kelebihan lain disinggung Paulus di 3:2 dan 9:4-5, sedangkan posisi Israel dalam
sejarah keselamatan akan dibahas Paulus secara khusus di pasal 9-11. Di sisi lain,
dalam kaitan dengan keselamatan dari Allah melalui iman, bangsa Yahudi berdiri
pada posisi yang sama dengan bangsa lain (3:22; 10:12). Keselamatan adalah
untuk bangsa Yahudi dan Yunani. Frase VIoudai,w| te prw/ton kai. {Ellhni tidak
boleh diartikan “setiap individu tanpa terkecuali” (universalisme), tetapi “siapa
saja tanpa batasan kebangsaan”.
3. Injil adalah pernyataan kebenaran Allah melalui iman (ayat 17).
Injil bukan hanya memberitakan keberdosaan manusia dan kebutuhan mereka untuk
diselamatkan (1:18-3:20), tetapi juga menyatakan jalan keselamatan anugerah dari
Allah, yaitu kebenaran melalui iman. Seandainya Allah membenarkan manusia
berdasarkan perbuatan baik mereka, maka tidak ada seorangpun yang bisa benar di
hadapan Allah, karena semua orang telah berbuat dosa (Rom 3:23). Pendeknya, Injil
tidak hanya menunjukkan ketidakberdayaan manusia karena dosa, tetapi juga
memberitakan harapan dalam iman.
31
Tafsir Perjanjian Baru I
semua manusia. Kedua, setelah memaparkan 1:18-3:20 Paulus kembali lagi ke tema
surat (3:21 “kebenaran Allah telah dinyatakan”, bdk. 1:17). Struktur seperti ini
menunjukkan bahwa 1:18-3:20 merupakan satu kesatuan yang berfungsi sebagai
introduksi bagi pembahasan tentang “pembenaran melalui iman” di 3:21-32.
Ada dua alasan penting mengapa Paulus menghubungkan keberdosaan semua manusia
(3:9-20) - baik bangsa Yunani (1:18-32) maupun bangsa Yahudi (2:1-3:8) - dengan
pembenaran melalui iman. Pertama, universalitas dosa membuktikan bahwa manusia
tidak mungkin dibenarkan Allah melalui perbuatan mereka (3:21-26). Kedua,
universalitas dosa menunjukkan bahwa posisi semua manusia adalah sama di hadapan
Allah, karena itu mereka semua mendapat akses yang sama dalam keselamatan (Rom
3:27-31).
Terlepas dari beberapa argumentasi di atas yang meyakinkan, pandangan tradisional yang
menganggap bagian ini sebagai rujukan pada bangsa Yunani tetap lebih bisa diterima,
meskipun bagian ini tidak secara eksklusif merujuk pada bangsa Yunani.
(1) Bagian ini mengingatkan pada argumentasi apologetik Yahudi yang melecehkan
praktek penyembahan berhala yang dilakukan bangsa kafir dan menganggapnya
sebagai akar dari dosa perzinahan (bdk. 1:23-27 dan Keb. Sal pasal 12-15, lihat Moo,
97, note 18). Bangsa Yahudi sendiri merasa mendapat dispensasi dalam hukuman
Allah atas dasar relasi spesial dengan Allah (Keb Sal pasal 15). Rasa superioritas
Yahudi ini selanjutnya akan ditentang Paulus di pasal 2.
(2) Pengetahuan yang dibahas di 1:18-32 hanya terbatas pada pengetahuan alami (melalui
ciptaan). Hal ini sangat berbeda dengan pemaparan Paulus tentang bangsa Yahudi di
pasal 2 yang banyak menyangkut isu tentang Taurat.
32
Tafsir Perjanjian Baru I
(3) Struktur 1:18-3:20 lebih mendukung pendapat ini. 1:18-32 = keberdosaan bangsa
Yunani, 2:2-3:8 = keberdosaan bangsa Yahudi, 3:9-20 = konklusi: keberdosaan
semua manusia. Hal ini juga didukung oleh beberapa rujukan Paulus yang
mengontraskan bangsa Yahudi (2:9-10; 3:9).
Murka Allah dinyatakan dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia (18a)
Karena itu [eivj to. + infinitif] mereka tidak dapat berdalih (20b)
Konsep tentang Allah yang murka seringkali dianggap kontradiktif dengan eksistensi
Allah, sehingga menimbulkan kesulitan bagi sebagian orang. Filsafat Yunani
menganggap Allah yang murka berkontradiksi dengan keilahian-Nya. Marcion sengaja
menghilangkan kata “Allah” dalam bagian ini. C. H. Dodd, salah satu penafsir modern,
bahkan menganggap konsep ini sebagai sesuatu yang kuno. Ia melihat “murka Allah” di
sini tidak lebih daripada sekadar realisasi hukum sebab-akibat yang sifatnya alamiah dan
tidak terkait secara langsung dengan Allah.
Semua pendapat di atas justru berkontradiksi dengan ajaran Alkitab tentang Allah. Sifat
Allah yang selalu benar membuat Ia tidak bisa mentolerir dosa sekecil apapun. Allah
selalu meresponi dosa dengan murka (Kel 4:14; 15:7; 32:10-12; Ul 11:1; Yer 21:3-7).
Respon ini tetap sejalan dengan sifat Allah yang pengasih, karena setelah menyatakan
murka-Nya Ia memberikan anugerah supaya manusia bisa dibebaskan dari murka
tersebut.
33
Tafsir Perjanjian Baru I
Alkitab sering mengajarkan bahwa murka Allah dinyatakan secara futuris pada
jaman akhir (1Tes 1:10). Konsep ini juga sering disinggung Paulus di Rom 2:5, 8;
3:5; 4:15; 5:9; 9:22. Tense present pada kata VApokalu,ptetai (“sedang
dinyatakan”, bdk. NIV ‘is being revealed) bagaimanapun mengindikasikan bahwa
Paulus sedang memikirkan aspek kekinian dari penyataan murka Allah. Murka
Allah memang akan dinyatakan secara total di jaman akhir, tetapi sekarang
manusia juga bisa melihat antisipasi (gambaran nyata) murka tersebut dalam
kehidupan sekarang.
b. Murka Allah dinyatakan melalui tindakan dalam sejarah.
Kata avpokalu,ptw bukan hanya berarti penyataan (pemberitahuan) secara
kognitif kepada pikiran manusia (kontra Barth), meskipun Paulus kadangkala
memakai kata ini dalam arti kognitif (1Kor 2:10; 14:30; Ef 3:5). Penyataan ini
juga bukan sekadar pemberitaan tentang murka dalam pemberitaan Injil (kontra
Cranfield). Penggunaan kata avpokalu,ptw dalam Surat Roma mendukung arti
sebagai pemanifestasian tindakan dalam sejarah. Allah benar-benar menunjukkan
murka-Nya dalam dunia. Ada dua argumentasi yang mendukung arti di atas:
(1) Paralelisme penggunaan kata avpokalu,ptw di ayat 17 dan 18.
Penggunaan kata yang sama dalam dua ayat yang berurutan seperti ini
mengindikasikan bahwa kata tersebut memiliki arti yang sama. Berdasarkan
penggunaan tense perfect pada kata pefane,rwtai di 3:21 (“sekarang
kebenaran Allah tanpa hukum Taurat telah dinyatakan”) yang jelas merujuk
pada karya penebusan Kristus di kayu salib (3:22-25) sebagai penyingkapan
karya keselamatan Allah dalam sejarah, kata avpokalu,ptw di 1:17 sangat
mungkin juga berarti penyataan kebenaran Allah dalam sejarah. Seandainya
tafsiran di atas diterima, maka arti kata avpokalu,ptw di ayat 1:18 juga akan
identik, yaitu penyataan dalam sejarah. Arti ini juga didukung oleh mayoritas
penggunaan kata avpokalu,ptw dalam tulisan Paulus (Rom 2:5; 8:18, 19; 1Kor
1:7; Gal 1:16; 3:23; 2Tes 1:7; 2:3, 6, 8).
(2) Konteks 1:18-32.
Konteks ayat 18-32 secara eksplisit mengindikasikan bahwa penyataan Allah
yang bersifat kekinian diwujudkan dalam bentuk “Allah menyerahkan
manusia pada jalan dosa yang dipilih dengan segala konsekuensinya” (ayat
24, 26, 28). Sikap Allah yang meninggalkan manusia berdosa pada
keberdosaan mereka merupakan salah satu bentuk penghukuman Allah (bdk.
Mzm 81:13; Hos 4:17; Kis 7:42; 14:16).
c. Murka Allah dinyatakan dari surga.
Frase “dari surga” (avpV ouvranou/) bisa menerangkan kata “Allah”, sehingga
terjemahan ayat 18a menjadi “murka Allah yang dari surga dinyatakan”.
Bagaimanapun, semua sarjana dan penerjemah menganggap hal tersebut kurang
lazim. Mereka umumnya melihat sebagai keterangan terhadap avpokalu,ptetai.
Penambahan frase “dari surga” di sini mungkin dimaksudkan untuk menerangkan:
(1) Kemuliaan murka Allah. Dalam arti ini, “dari surga” merujuk pada tempat
Allah (Cranfield). Murka Allah merupakan konsekuensi logis dari
kekudusannya. Seorang pribadi yang tidak marah terhadap suatu
dosa/kejahatan adalah pribadi yang tidak kudus.
34
Tafsir Perjanjian Baru I
(2) Jangkauan murka Allah. Murka Allah ditujukan pada segala sesuatu di bawah
langit (Moo). Dalam arti ini, “dari surga” merujuk pada tempat yang tertinggi,
tetapi tidak selalu berarti tempat Allah berdiam.
2. Objek murka Allah (18b).
Preposisi evpi. (“atas”) dalam ayat 18 menunjukkan objek dari murka. Murka ini
ditujukan pada segala kefasikan dan kelaliman manusia (evpi. pa/san avse,beian kai.
avdiki,an avnqrw,pwn). Para sarjana berbeda pendapat tentang arti kata avse,beian
dan avdiki,an di sini. Beberapa menganggap dua istilah tersebut sebagai sinonim.
Mayoritas sarjana umumnya melihat perbedaan makna dalam dua istilah ini. Pendapat
mayoritas ini tampaknya lebih bisa diterima. Paulus memang kadangkala memakai
dua kata tersebut dalam arti yang sama, tetapi fenomena tersebut tidak berarti bahwa
setiap kali dua kata tersebut muncul maka artinya selalu sinonim. Selain itu,
seandainya dua kata tersebut benar-benar identik, sulit dijelaskan mengapa Paulus
tidak memilih salah satu saja.
Para sarjana yang menganggap dua kata tersebut tidak sinonim juga berbeda pendapat
tentang perbedaan makna yang ada. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor,
perbedaan makna dalam kata avse,beian dan avdiki,an sebaiknya dipahami sebagai
“dosa yang bersifat religius” dan “dosa yang bersifat moral”.
(1) Konteks 1:18-32 menunjukkan perkembangan konsep yang sama. Dosa religius
terhadap Allah (ayat 19-27) akan berdampak pada dosa moral terhadap sesama
(ayat 28-32).
(2) Pemikiran ini juga sesuai dengan konsep Yudaisme di kitab Kebijaksanaan
Salomo yang menjadi latarbelakang pemikiran Paulus di 1:18-32.
(3) Pemikiran ini juga sesuai dengan komposisi Sepuluh Perintah (perintah 1-4 relasi
dengan Allah, sedangkan perintah 5-10 relasi dengan sesama).
Apapun pendapat sarjana tentang perbedaan makna yang ada, inti ayat 18a adalah
murka Allah dinyatakan atas segala macam bentuk dosa manusia. Inti ini dinyatakan
dalam penambahan kata pa/san (“segala”) di depan kata avse,beian dan avdiki,an.
3. Justifikasi bagi murka Allah (18c-20).
Komposisi ayat 18-20 mengindikasikan bahwa fokus pembahasan Paulus terletak
pada justifikasi bagi penyataan murka Allah. Fokus ini dibahas mulai dari ayat 18b
(lihat “menindas kebenaran”) sampai ayat 20 (lihat “mereka tidak dapat berdalih”).
Dengan kata lain, ayat 18-20 sebenarnya hanya menerangkan “menindas kebenaran”.
Fokus ini bahkan juga menjadi inti pembahasan seluruh ayat 18-32. Hal ini
dibuktikan dengan penggunaan frase seperti “sekalipun mereka mengenal Allah”
(ayat 21), “menggantikan kebenaran Allah” (ayat 25), “mengakui Allah” (ayat 28).
Pemikiran ini juga akan dipakai Paulus ketika ia membahas keberdosaan bangsa
Yahudi (2:1, 18, 20). Bangsa Yahudi memiliki kebenaran melalui Taurat, tetapi
mereka menindas kebenaran tersebut, sehingga mereka juga tidak bisa berdalih.
Semua dosa yang dibahas di bagian ini pada dasarnya adalah tindakan menindas
kebenaran. Allah telah menyatakan diri-Nya melalui ciptaan. Wahyu umum ini
seharusnya membuat manusia menyadari eksistensi Allah dan menyembah Dia.
Sebaliknya, manusia justru menyembah ciptaan Allah (ayat 21-27). Mereka juga
35
Tafsir Perjanjian Baru I
menggantikan tatanan alam yang ditetapkan Allah dalam bidang seksual dengan
pilihan mereka sendiri (ayat 28-31). Semua ini membuat mereka tidak bisa berdalih.
Berdasarkan sintaks teks Yunani, struktur bagian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
sebaliknya,
Karena itu (Dio.), Allah menyerahkan mereka dalam hawa nafsu hati kepada kecemaran
sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka
36
Tafsir Perjanjian Baru I
Inti ayat 21-23 adalah penyembahan berhala, seperti dijelaskan secara eksplisit di ayat 23.
Dengan kata lain, ayat 21-23 sebenarnya memberikan penjelasan terhadap penyembahan
berhala.
1. Penyembahan berhala secara esensial adalah respon manusia yang salah terhadap
wahyu Allah (ayat 21a).
Allah telah mengambil inisiatif untuk menyatakan diri-Nya yang tidak terlihat melalui
ciptaan yang dapat dilihat (ayat 19-20), sehingga manusia bisa mengenal Dia (ayat
21). Pengenalan ini pasti bukan dalam pengertian pribadi (subjektif), karena
pengetahuan pribadi hanya dimungkinkan bagi orang yang percaya (bdk. 1Kor 1:21;
2Kor 5:16; Gal 4:9; Fil 3:8, 10). Pengetahuan yang bersifat objektif ini meliputi
penyataan tentang hikmat, kemahakuasaan dan kebaikan Allah.
Respon yang tepat dari wahyu ini seharusnya adalah memuliakan dan mengucap
syukur kepada-Nya. Kenyataannya, manusia tidak mau meresponi dengan tepat,
sehingga tindakan tersebut dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Konsep ini
juga terlihat dari peristiwa penyembahan anak lembu emas di Kel 32-34. Bangsa
Israel tetap menyebut ‘Allah’ mereka sebagai Yahweh yang telah membebaskan
mereka dari tanah Mesir (Kel 32:4-6), tetapi tindakan mereka tidak tepat, sehingga
dikategorikan sebagai penyembahan berhala. Pendeknya, pengetahuan tentang Allah
harus tercermin dalam praktek hidup. Kegagalan mengintegrasikan konsep Allah ke
dalam kehidupan nyata pada dasarnya adalah penyembahan berhala.
2. Penyembahan berhala adalah pikiran yang sia-sia (ayat 21b).
Frase ‘pikiran mereka menjadi sia-sia’ sangat mungkin merujuk pada penyembahan
berhala, karena kata mataio,w biasanya dikaitkan dengan penyembahan berhala. Dari
tujuh pemunculan kata kerja mataio,w di LXX, tiga di antaranya terkait dengan
penyembahan berhala (2Sam 17:15; Yer 2:5; 51:17). Kata benda ma,taia juga dipakai
beberapa kali untuk berhala. Perhatian Paulus tampaknya terletak pada aspek kognitif
manusia: dialogismoi/j (“pemikiran”), avsu,netoj (“tidak berpengertian”) dan kardi,a
(“hati”) yang merujuk pada seluruh aspek hidup manusia tetapi secara khusus
merujuk pada sikap mental.
3. Penyembahan berhala adalah tindakan yang bodoh (ayat 22-23).
Orang-orang yang menyembah berhala menyangka bahwa mereka berhikmat, tetapi
mereka sebenarnya bodoh (Yer 10:14; 1Kor 1-3). Manusia lebih memilih ilusi
(gambaran) daripada realita (eksistensi). Mereka lebih memilih yang fana (ciptaan)
daripada yang tidak fana (Pencipta).
Kata sambung dio. (“karena itu”) di awal ayat 24 mengindikasikan konsekuensi dari
tindakan manusia di ayat 21-23. Respon (baca: hukuman Allah) atas mereka adalah Ia
menyerahkan (pare,dwken) mereka dalam hawa nafsu hati mereka terhadap kecemaran.
Tindakan ini tidak berarti bahwa Allah menyebabkan mereka berbuat dosa (Yak 1:13).
Hati mereka sudah penuh dengan hawa nafsu (evn tai/j evpiqumi,aij tw/n kardiw/n
auvtw/n eivj avkaqarsi,an). Tindakan ini juga bukan hanya sekadar bentuk kepasifan
Allah. Dari istilah yang dipakai dan konteks 1:18-32 terlihat bahwa Allah secara aktif
menyerahkan mereka. Allah bukan hanya membiarkan sebuah kapal yang terserang angin
ribut tenggelam, tetapi Ia juga memberi dorongan ke bawah supaya kapal tersebut
37
Tafsir Perjanjian Baru I
tenggelam (Calvin, Moo). Pengertian ini juga lebih sesuai dengan kitab Kebijaksanaan
yang menjadi latar belakang bagian ini. Kebijaksanaan 11:15-16 menulis “sebagai
balasan terhadap pemikiran mereka [bangsa Yunani] yang bodoh dan fasik, yang
menyesatkan mereka ke penyembahan ular-ulat yang tidak rasional dan binatang-
binatang yang tidak layak, Engkau mengirim ke atas mereka sejumlah besar ciptaan-
ciptaan yang tidak rasional untuk menghukum mereka, supaya mereka dapat belajar
bahwa seseorang dihukum melalui hal-hal yang ia pakai untuk berdosa”.
Isu penting seputar hal ini terkait dengan pertanyaan apakah tindakan ini bersifat final
(tidak mungkin ada kemungkinan keselamatan) atau reformatoris (bertujuan untuk
menyadarkan). Pilihan pertama disiratkan dalam terjemahan “give them up” (ASV, KJV,
RSV), sedangkan pilihan kedua dalam terjemahan “give them over” (NIV, NASB). PL
berkali-kali menunjukkan bahwa tindakan Allah menyerahkan umat-Nya ke tangan
musuh mereka atau dosa mereka hanyalah sebuah instrumen untuk mempertobatkan
mereka (Yes 19:22). Hal ini juga sesuai dengan pemikiran Paulus di Gal 3:21-25. Selain
itu, konsep tersebut didukung oleh penggunaan kata kerja paradido,nai di Surat Roma
(8:32; 4:25; 6:17). Jika pendapat ini benar, maka tindakan Allah menyerahkan mereka ke
dalam keberdosaan yang lebih parah bertujuan untuk menyadarkan betapa mereka telah
berdosa, sehingga mereka bisa berbalik pada Allah.
Karena itu (Dia.), Allah menyerahkan mereka ke dalam hawa nafsu yang
memalukan
Karena wanita2x mereka menggantikan seksualitas yang
wajar dengan yang tidak
dan
begitu juga laki-laki saling birahi satu sama lain
38
Tafsir Perjanjian Baru I
[adalah] pengumpat,
pemfitnah,
pembenci Allah,
kurang ajar,
congkak,
sombong,
39
Tafsir Perjanjian Baru I
40
Tafsir Perjanjian Baru I
Dalam 2:1-3:8 Paulus mula-mula menjelaskan hubungan penghakiman Allah dan posisi
bangsa Yahudi sebagai umat pilihan (2:1-16). Ia membuktikan bahwa bangsa Yahudi
berada dalam posisi yang sama dengan bangsa lain di depan penghakiman Allah. Setelah
itu ia menjelaskan keterbatasan sunat dan hukum Taurat dalam melepaskan bangsa
Yahudi dari penghakiman Allah (2:17-29). Dua hal tersebut – sebagai tanda perjanjian –
tidak menjamin bangsa Yahudi bebas dari hukuman Allah. Terakhir, Paulus membahas
isu tentang kesetiaan Allah kepada bangsa Yahudi (3:1-8). Kalau perjanjian memang
tidak menjamin keselamatan bangsa Yahudi, bagaimana Allah bisa disebut setia terhadap
perjanjian-Nya?
Ayat 1-5 merupakan inti pembahasan Paulus dalam bagian ini, yaitu bahwa bangsa
Yahudi tidak menerima perlakuan khusus dalam penghakiman Allah. Posisi mereka di
hadapan penghakiman Allah adalah sama dengan posisi bangsa Yunani yang melakukan
dosa di 1:18-32. Setelah itu Paulus memberikan argumentasi untuk pandangannya
tersebut, yaitu bahwa penghakiman Allah bersifat tidak memandang bulu (ayat 6-11).
Allah menghakimi manusia secara sama berdasarkan perbuatan mereka. Selanjutnya ia
menjelaskan argumentasi tersebut. Orang yang memiliki Taurat akan binasa dengan
Taurat dan mereka yang tidak memiliki juga akan binasa tanpa Taurat (ayat 12-16).
Memiliki Taurat bukanlah jaminan dalam penghakiman, karena yang paling penting
adalah melakukan Taurat (ayat 12-16). Bangsa Yunani pun sebenarnya memiliki ‘Taurat’
dalam hati mereka, yaitu hati nurani.
Kritik terhadap asumsi Yahudi tentang dispensasi khusus penghakiman Allah (ayat 1-5)
41
Tafsir Perjanjian Baru I
Kata sambung “karena itu” di 2:1 merujuk balik pada 1:18-20: murka Allah adalah atas
semua manusia, karena mereka telah menindas kebenaran dengan kelaliman (Dunn,
Moo). Sebagaimana bangsa Yunani yang memiliki wahyu umum telah menindas
kebenaran, demikian juga bangsa Yahudi yang memiliki wahyu khusus. Ayat 1-5 secara
konsisten menunjukkan bahwa bangsa Yahudi yang merasa lebih bermoral juga tidak
lepas dari hukuman Allah (terutama ayat 1, 3, 5). Alur pemikiran Paulus tentang
kesalahan asumsi bangsa Yahudi dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Mereka yang menghakimi orang lain tidak lepas dari murka Allah → karena mereka
pada dasarnya menghakimi diri mereka sendiri → karena mereka juga melakukan
dosa-dosa yang sama (ayat 1).
(2) Padahal mereka juga tahu bahwa hukuman Allah atas orang berdosa adalah benar
(ayat 2), tetapi mereka tetap melakukan dosa.
(3) Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa mereka dapat melepaskan diri dari
murka Allah karena posisi mereka sebagai umat Allah (ayat 3). Rasa aman ini adalah
suatu kekeliruan.
(4) Mereka yang merasa aman justru telah memandang rendah kemurahan Allah yang
seharusnya dimaksudkan untuk menuntun pada pertobatan (ayat 4).
(5) Dengan terus-menerus melakukan hal di atas, mereka sebenarnya sedang menimbun
murka Allah pada hari penghakiman (ayat 5).
Ayat 1. Tuduhan Paulus bahwa bangsa Yahudi melakukan dosa-dosa yang sama telah
menimbulkan persoalan. Para sarjana berbeda pendapat tentang jenis dosa yang dimaksud
Paulus di sini. Bukankah bangsa Yahudi pasca pembuangan Babel relatif tidak pernah
terlibat penyembahan berhala? Bukankah mereka juga tidak mempraktekkan pelanggaran
seksualitas yang begitu bobrok? Mengapa Paulus menuduh mereka melakukan dosa-dosa
yang sama di ayat 1:18-32? Barret berpendapat bahwa sikap menghakimi di sini pada
dasarnya sama dengan penyembahan berhala, karena dengan berbuat demikian mereka
telah mengambil hak prerogatif Allah (bdk. 1:23, 25). Dunn dan Moo memahami dosa-
dosa di sini identik dengan di 1:29-31. Pandangan Barret cukup menarik, tetapi tidak
42
Tafsir Perjanjian Baru I
sesuai dengan bentuk jamak ‘hal-hal itu’ (ta. auvta.). Pandangan Dunn dan Moo tidak
sesuai dengan 2:21-22. Deretan dosa bangsa Yahudi yang disebut Paulus di 2:21-22 –
misalnya mencuri, berzinah dan merampok rumah berhala – tidak terdapat dalam 1:29-
31. Deretan dosa tersebut justru mengindikasikan bahwa bangsa Yahudi secara esensial
melakukan dosa yang sama dengan apa yang dilakukan bangsa Yunani, walaupun bentuk
pelanggaran tersebut sedikit berbeda (bdk. Cranfield).
Ayat 2. Frase oi;damen de. (LAI:TB “tetapi kita tahu”) mengindikasikan bahwa apa yang
dikatakan di ayat 2 sama-sama diterima oleh dua pihak, karena Paulus biasanya memakai
frase oi;damen de. atau oi;damen ga,r sebagai pijakan bersama (common ground) dengan
pihak yang ia ajak bicara (Rom 3:19; 7:14; 8:22, 28; 2Kor 5:1; 1Tim 1:8). Hal ini
menunjukkan bahwa orang Yahudi yang melakukan dosa-dosa di ayat 1 (dan 1:18-32)
sebenarnya sudah mengetahui bahwa Allah akan menghukum setiap orang berdosa dan
bahwa penghukuman Allah tersebut adalah adil (terjemahan LAI:TB “berlangsung secara
jujur” kurang tepat, karena frase kata. avlh,qeian seharusnya diterjemahkan “sesuai
kebenaran atau fakta” [dalam arti adil]).
Ayat 3. Pertanyaan retorik Paulus di ayat ini kesalahan konsep bangsa Yahudi tentang
hukuman Allah. Ayat ini sekaligus menjelaskan mengapa mereka tetap melakukan dosa-
dosa (ayat 1) padahal mereka sudah mengetahui bahwa Allah akan menghukum orang
berdosa (ayat 2). Mereka berpikir bahwa mereka dapat melepaskan diri dari murka Allah
karena posisi mereka sebagai umat pilihan. The Psalms of Solomon 15:8 menegaskan
bahwa mereka yang tidak memegang tidak akan lepas dari hukuman Allah, tetapi ‘orang-
orang benar’ akan diperkecualikan.
Ayat 5. Paulus menegaskan bahwa sikap bangsa Yahudi di ayat 1-4 hanya akan
menimbun murka Allah di hari penghakiman. Murka ini disebabkan kekerasan
(sklhro,thta,) dan ketidakbertobatan (avmetano,hton) hati mereka. Penggunaan kata
“menimbun” (qhsauri,zw) bersifat ironis, karena kata ini biasanya dipakai untuk hal-hal
yang baik (Ams 1:18; Mat 6:20). Nuansa ironis ini sesuai dengan kontras antara rasa
aman bangsa Yahudi dan kepastian hukuman mereka.
43
Tafsir Perjanjian Baru I
Struktur ayat 6-11 adalah chiastic, tetapi intinya terletak di awal dan akhir.
A Allah membalas setiap orang menurut perbuatan-Nya (ayat 6)
B Mereka yang melakukan kebaikan akan memperoleh hidup kekal (ayat 7)
C Mereka yang berbuat jahat akan mengalami murka (ayat 8)
C’ Murka bagi yang berbuat jahat (ayat 9)
B’ Mereka yang berbuat baik akan menerima kemuliaan (ayat 10)
A’ Allah tidak memandang bulu (ayat 11)
Bagian ini secara sekilas berkontradiksi dengan ajaran Paulus yang menentang perbuatan
baik sebagai syarat keselamatan (3:20). Paling tidak ada 10 pendapat yang berbeda untuk
menjelaskan hal ini. Bapa-bapa gereja biasanya mengaplikasikan prinsip ini hanya pada
orang-orang saleh, baik Yahudi maupun Yunani, sebelum kedatangan Kristus. Sebagian
sarjana melihat adanya kemungkinan jalan keselamatan di luar Kristus. Sebagian
menganggap bagian ini hanya sebagai pengandaian, jikalau Kristus tidak datang ke dalam
dunia. Mayoritas sarjana modern sekarang melihat hal ini sebagai rujukan pada orang
Kristen yang dimampukan untuk melakukan perbuatan baik melalui persatuan dengan
Kristus.
Semua pandangan di atas tidak sesuai dengan konteks ayat 6-11. Bagian ini secara
eksplisit memang mengajarkan keselamatan melalui perbuatan baik. Solusi yang paling
tepat adalah dengan melihat hal ini apa adanya. Memang manusia bisa diselamatkan
melalui perbuatan baik. Persoalannya adalah “siapa yang bisa memenuhi kriteria ini?”.
Pembahasan Paulus selanjutnya menunjukkan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa
memenuhi prinsip ini (Hodge, Murray, Moo). Alasan bagi pandangan ini antara lain:
(1) Pandangan ini lebih sesuai dengan inti 1:18-3:8, yaitu “menindas kebenaran”.
Manusia seharusnya hidup sesuai dengan pengetahuan tentang Allah yang mereka
terima – baik wahyu umum (bagi bangsa Yunani, 1:18-32) maupun wahyu khusus
(bangsa Yahudi, 2:1-3:8), namun mereka justru menindas pengetahuan tersebut.
Pengetahuan tersebut seharusnya membawa manusia pada relasi yang benar dengan
Allah, namun mereka tidak mampu hidup menurut pengetahuan tersebut. Prinsip di
Roma 2:6-11 menunjukkan bahwa wahyu Allah tidak salah. Manusialah yang tidak
mampu hidup sesuai dengan wahyu tersebut.
(2) Pandangan ini konsisten dengan inti pembahasan di 2:12-16, yaitu Allah menghakimi
semua orang dengan cara yang sama (berdasarkan respon mereka terhadap wahyu
yang telah diberikan Allah).
44
Tafsir Perjanjian Baru I
(3) Berdasarkan fungsi 1:18-3:20 sebagai introduksi bagi doktrin pembenaran oleh iman,
2:6-11 (juga 2:12-16) memberikan justifikasi kuat bagi doktrin tersebut. Manusia
seharusnya mampu berbuat benar dan dibenarkan, tetapi dosa dalam diri mereka (bdk.
Rom 5, 6 dan 7) menghalangi usaha tersebut. Sebagai konklusi, Paulus
menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memenuhi kriteria ini
(3:9-20). Ketika semua manusia tidak bisa melakukan kebaikan seperti yang dituntut
Allah (Rom 3:9-20), mereka semua juga memerlukan jalan keselamatan yang
sesungguhnya, yaitu melalui iman (Rom 3:21-31).
Ayat 6.
Hubungan ayat 6 dengan bagian sebelumnya terlihat dari penggunaan kata ganti
penghubung {os (lit. “yang”) di awal ayat 6. Terjemahan “Ia” dalam NIV, RSV maupun
LAI:TB sebenarnya harus diterjemahkan “yang” (KJV/ASV/NASB/BBE) dan merujuk
pada “Allah” di ayat 5 (catatan: dalam teks asli, ayat 5 diakhiri dengan kata “Allah” (tou
qeou). Alkitab di bagian lain juga mengajarkan bahwa dalam penghakiman Allah, Ia
melihat perbuatan yang telah dilakukan seseorang (Mzm 62:12; Ams 24:12; Pengkh 1:14;
Hos 12:2; Mat 16:27; 2Kor 11:15; 2Tim 4:14).
Ayat 7.
Ayat 7 merupakan kontras terhadap ayat 8. Kedua ayat ini sama-sama membicarakan
tentang dua kemungkinan hasil dari penghakiman Allah yang berdasarkan perbuatan
(ayat 6): hasil positif – hidup kekal (ayat 7) dan hasil negatif – murka (ayat 8). Kontras
ini terlihat dari pemakaian “men...de...” (men ada di ayat 7, sedangkan de ada di ayat
8), yang biasanya diterjemahkan “di satu sisi...sedangkan di sisi lain...”.
Ayat 7 diterjemahkan secara berbeda oleh para penerjemah. Perbedaan ini dipicu oleh
posisi “hidup kekal” (zwhn aiwnion) di akhir ayat 7 yang tidak begitu jelas (terjemahan
LAI:TB bisa menimbulkan kesan bahwa frase “hidup kekal” terletak di awal ayat 7,
padahal dalam teks aslinya terletak di akhir ayat 7). Secara tata bahasa, ayat 7 bisa
diterjemahkan sebagai berikut:
(1) Kepada mereka yang tekun berbuat baik, mencari kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan, yaitu hidup kekal → hidup kekal menjelaskan kekekalan.
(2) Kepada mereka yang tekun berbuat baik, mencari kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan, hidup kekal → hidup kekal adalah salah satu dari objek yang dicari.
(3) Kepada mereka yang tekun berbuat baik, mencari kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan, [Ia/Allah] akan memberikan hidup kekal → hidup kekal adalah objek
dari tindakan Allah.
Dari tiga kemungkinan di atas, terjemahan #1 lebih baik ditolak, karena frase “hidup
kekal” dan “kekekalan” letaknya tidak berdampingan. Kedua kata ini dipisahkan oleh
kata kerja “mencari” (zhtousin), sehingga frase “hidup kekal” kemungkinan besar tidak
menjelaskan “kekekalan”. Terjemahan #2 juga tidak didukung oleh struktuk kalimat yang
ada. Kata “kemuliaan” (doxan), “kehormatan” (timhn) dan “kekekalan” (afqarsian)
merupakan suatu kesatuan/kesejajaran, yang dihubungkan dengan kata sambung kai
(“dan”) dan ditutup dengan kata kerja zhtousin (“mencari”). Frase doxan kai timhn kai
45
Tafsir Perjanjian Baru I
Dalam ayat ini Paulus tidak hanya menekankan perbuatan baik. Inti yang ingin
disampaikan justru terletak pada konsistensi dalam melakukan perbuatan baik.
Konsistensi ini terlihat dari penggunaan kata “menurut ketekunan” (kaq’ {ypomonhn)
yang menerangkan perbuatan baik. Ide tentang konsistensi ini juga tampak dari kata kerja
“mencari” (zhtousin) yang memakai present tense (menunjukkan tindakan yang terus-
menerus dilakukan). Mereka yang “bisa” selamat bukanlah yang sekadar melakukan
perbuatan baik, tetapi yang terus-menerus melakukan perbuatan baik sampai hidup
mereka mencapai standar kekudusan yang diinginkan Allah. Berdasarkan kriteria ini
tentu saja tidak ada seorang pun yang pernah, sedang dan akan hidup di dunia ini yang
mampu selamat berdasarkan perbuatan baik.
Dari hal-hal yang menjadi objek pencarian di ayat ini (kemuliaan dan kehormatan dan
kekekalan), semuanya merujuk pada apa yang akan orang percaya terima di kehidupan
kekal kelak. Kemuliaan dan kehormatan di sini bukanlah hal-hal yang sifatnya kekinian
dan sekuler (misalnya jabatan, kekayaan, gelar, dsb).
(1) Kata “kekekalan” (afqarsia) jelas menunjukkan bahwa kemuliaan dan kehormatan
yang dimaksud Paulus di sini adalah kemuliaan dan kehormatan yang kekal. Kata
afqarsia dalam Perjanjian Baru hanya dipakai oleh Paulus dan itupun hanya sebanyak
7 kali (termasuk Roma 2:7). Dari pemunculan tersebut, empat di antaranya dipakai
Paulus ketika ia membicarakan tentang kehidupan kekal (1Kor 15:42, 50, 53, 54).
(2) Petrus pernah menyinggung “kemuliaan” (doxa) dan “kehormatan” (timh) secara
bersamaan pada saat ia berbicara tentang kedatangan Kristus kedua kali. 1Petrus 1:7b
“sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan (doxa) dan kehormatan
(timh) pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya”.
Ayat 8.
Bagian ini menjelaskan jenis tindakan yang akan membawa hasil negatif dalam
penghakiman Allah berupa murka dan geram. Pertama-tama Paulus menyinggung mereka
yang hidupnya lahir dari kepentingan diri sendiri (ex eriqeias secara literal “keluar dari
kepentingan diri sendiri”). Kata dasar eriqeia muncul 7 kali dalam Perjanjian Baru (Rom
2:8; 2Kor 12:20; Gal 5:20; Flp 1:17; 2:3; 3:14, 16). Dari semua pemunculan ini, kata
eriqeia menyiratkan “kepentingan diri sendiri” Di Filipi 1:17 frase ex eriqeia (bdk. Rom
2:8) dipakai untuk merujuk pada motivasi orang-orang tertentu yang tidak tulus dalam
memberitakan injil. Mereka hanya bermaksud mencapai ambisi mereka sendiri, yaitu
menyusahkan hati Paulus di penjara. Dalam Filipi 2:7 kata eriqeia dikontraskan dengan
sikap pengutamaan orang lain (“dengan tidak mencari kepentingan sendiri [eriqeia] atau
46
Tafsir Perjanjian Baru I
puji-pujian yang sia-sia, sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang
menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”). Dalam konteks Roma
2:8, sikap mementingkan diri sendiri ini dikontraskan dengan sikap mencari kemuliaan,
kehormatan dan kekekalan di Roma 2:7. Dengan kata lain, tindakan di ayat 7 adalah
mencari hal-hal yang di atas (Kol 3:1), sedangkan tindakan di ayat 8 adalah tindakan-
tindakan yang sifatnya sementara (Moo).
Hidup yang didasarkan pada pencarian hal-hal sementara di atas akan berpengaruh pada
sikap hidup yang lain, yaitu tidak menaati kebenaran (apeiqousi th alhqeia), sebaliknya
menaati ketidakbenaran (peiqomenois th alhqeia). Bentuk present tense yang dipakai
dalam kata :menaati” maupun “tidak menaati” menunjukkan bahwa apa yang dilakukan
di ayat ini adalah sebuah gaya hidup. Orang yang tidak peduli terhadap apa yang akan dia
terima dalam kekekalan kekal pasti akan menjalani hidup dengan sembarangan. Paulus
sendiri mengatakan bahwa kalau tidak ada kebangkitan orang mati, ia tidak akan mau
bersusah-payah memberitakan injil. Sebaliknya, ia akan menikmati hidup ini dalam
kesenangan (1Kor 15:32). Petrus juga menyinggung orang-orang yang tidak
mempercayai kedatangan Kristus kedua kali sebagai pengejek-pengejek yang hidupnya
tidak seturut kebenaran (2Pet 3:1-4, 7). Sebaliknya, ia menasehati orang-orang percaya
untuk hidup dalam kekudusan (2Pet 3:11, 14).
Ayat 9-10.
Bagian ini mengulang apa yang telah dijelaskan di ayat 7 dan 8, tetapi dalam urutan yang
terbalik (yang negatif dulu, setelah itu yang positif) supaya tercipta sebuah struktur
chiastic dara ayat 6-11. Bagaimanapun, ayat 9-10 tidak hanya berfungsi untuk mengulang
(dengan demikian juga menegaskan) pemikiran di ayat 7-8. Penambahan dan
pengulangan frase “pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani” di ayat 7 dan 8
menunjukkan bahwa inti yang ingin disampaikan Paulus adalah jangkauan penerapan dari
prinsip yang sudah dia sebutkan di ayat 6 dan jelaskan di ayat 7-8. Prinsip itu berlaku
untuk semua orang. Hal ini selanjutnya akan dibahas Paulus secara lebih mendalam di
ayat 12-16.
Dalam frase di atas, orang Yahudi disebut lebih dahulu daripada orang non-Yahudi. Cara
penyebutan ini pasti memiliki maksud khusus, yaitu untuk menyiratkan situasi yang
ironis. Dalam konteks keselamatan, orang Yahudi disebut pertama kali (Rom 1:16).
Ironisnya, dalam konteks penghakiman, mereka juga disebut pertama kali (Rom 2:9, 10).
Pembalikan urutan penyebutan ini mungkin diarahkan pada kesombongan orang Yahudi
yang merasa lebih baik daripada orang lain.
Ayat 11.
Bagian ini hanyalah pengulangan (penegasan) dari prinsip di ayat 6. Kalau di ayat 6
prinsip itu disampaikan dalam bentuk positif (“Allah membalas setiap orang berdasarkan
perbuatan”), di ayat 11 prinsip itu dinyatakan dalam bentuk negatif (“Allah tidak
memandang bulu). Istilah “memandang bulu” (proswpolhmyia) secara literal berarti
“menerima wajah”. Kata yang muncul sebanyak 4 kali dalam Perjanjian Baru ini (Rom
2:11; Ef 6:9; Kol 3:25; Yak 2:1) menyiratkan sikap menghakimi yang tidak adil dengan
cara memperlakukan seseorang lebih baik daripada orang lain atau menunjukkan
47
Tafsir Perjanjian Baru I
Selain sebagai penegasan bagi ayat 6, penggunaan kata sambung gar (“karena”) di ayat
11 menunjukkan bahwa ayat ini juga merupakan alasan bagi ayat 9-10, secara khusus
bagi frase “pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani”. Dengan kata lain,
ayat 11 menjelaskan alasan mengapa semua orang – baik Yahudi maupun Yunani – akan
dihakimi menurut apa yang mereka lakukan, yaitu karena Allah tidak pernah memandang
muka.
Ayat 12.
Dalam ayat 12 Paulus menjelaskan penghakiman Allah yang tidak memandang muka.
Karena Allah memperlakukan orang secara sama (tidak memandang muka), maka Ia juga
menerapkan prinsip penghakiman yang sama. Penghakiman Allah tidak didasarkan pada
apakah suatu golongan orang memiliki wahyu yang lebih lengkap atau tidak. Setiap
orang akan dihakimi berdasarkan pengetahuan tentang Allah (wahyu) yang sudah
dinyatakan pada mereka. Orang Yahudi akan dihakimi berdasarkan Taurat (wahyu
khusus), sedangkan orang Yunani berdasarkan hati nurani (wahyu umum).
Ayat 13.
Ayat 13-15 selanjutnya menjelaskan alasan bagi pernyataan Paulus di ayat 12 (kata
sambung gar = “karena” di ayat 13 dan 14). Dalam penghakiman Allah, orang Yahudi
yang memiliki hukum Taurat berada dalam posisi yang sama dengan orang Yunani. Ada
dua alasan yang melandasi hal ini. Pertama, orang yang dibenarkan adalah mereka yang
melakukan hukum Taurat (ayat 13). Memiliki hukum Taurat saja tidak akan
membebaskan bangsa Yahudi dari hukuman Allah. Mereka harus melakukan hukum
Taurat (Gal 3:12; bdk. m. ‘Abot 1.17; Mat 7:24-27; Yak 1:19-27). Kenyataannya, bangsa
Yahudi telah gagal menjadi pelaku Taurat (Rom 2:21-23; bdk. Yoh 7:19; Kis 7:53).
Dalam perspektif Paulus, ketaatan terhadap Taurat ini merupakan sesuatu yang mustahil
bisa dicapai oleh bangsa Yahudi, karena ketaatan yang dituntut harus konsisten dan
sempurna (lihat tafsiran Roma 2:7 di bagian sebelumnya). Galatia 3:10b “terkutuklah
orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum
Taurat” (bdk. Ul 27:26 dalam LXX). Galatia 5:2 “ia wajib melakukan seluruh hukum
Taurat”. Tuntutan untuk menaati Taurat secara sempurna juga diajarkan oleh Yesus dan
48
Tafsir Perjanjian Baru I
rasul lainnya. Yesus menyatakan bahwa setiap iota dari hukum Taurat harus digenapi
(Mat 5:17-19). Yakobus mengajarkan bahwa melanggar satu perintah sama dengan
melanggar keseluruhan hukum Taurat (Yak 2:10). Tidak heran, dalam bagian selanjutnya
Paulus menegaskan bahwa semua orang, termasuk orang Yahudi yang memiliki Taurat,
telah berdosa dan berada dalam hukuman Allah (Rom 3:9, 20), karena tidak ada seorang
pun yang bisa memenuhi tuntutan Taurat. Paulus sendiri – yang secara manusia hidupnya
tidak bercela (Gal 1:14; Flp 3:4-6) – mengakui bahwa ia adalah orang yang paling
berdosa (1Tim 1:15).
Ayat 14.
Alasan kedua mengapa orang Yahudi yang memiliki hukum Taurat diperlakukan secara
sama dengan orang Yunani adalah karena bangsa-bangsa lain juga memiliki “hukum
Taurat” yang tertulis dalam hati mereka (ayat 14-15). Dari pengulangan frase “tidak
memiliki hukum Taurat” sebanyak 2 kali di ayat 14 terlihat bahwa Paulus ingin
menekankan hal ini. Maksudnya, mereka memang sungguh-sungguh tidak memiliki
hukum Taurat yang tertulis, tetapi mereka sebenarnya telah menjadi hukum Taurat bagi
diri mereka sendiri.
Di ayat 14 Paulus menyatakan bahwa bangsa-bangsa non Yahudi oleh dorongan diri
sendiri melakukan tuntutan hukum Taurat. Terjemahan “oleh dorongan sendiri” dalam
bahasa Yunani hanya terdiri dari satu kata, yaitu fysis (mayoritas versi Inggris “by
nature” = “secara alamiah”). Dari 11 kali pemunculan kata fysis di Perjanjian Baru, kata
ini merujuk pada tatanan alam sejak penciptaan/kelahiran (Rom 1:26 LAI:TB “wajar”;
2:27 LAI:TB tidak menerjemahkan kata ini; 11:21, 24 LAI:TB “asli”; 1Kor 11:14; Gal
2:15 LAI:TB “menurut kelahiran”; Ef 2:3 LAI:TB “pada dasarnya”; Yak 3:7 LAI:TB
“liar” = “alamiah”) atau hakekat (Gal 4:8; 2Pet 1:4).
Dari arti kata fysis di atas, kita bisa melihat bahwa terjemahan LAI:TB “oleh dorongan
diri sendiri” kurang tepat. Terjemahan ini memberi kesan bahwa manusia sebagai sumber
“hukum Taurat” yang dimaksud Paulus di Roma 2:14. “Hukum Taurat” dalam diri
manusia ini bukanlah keinginan maupun ciptaan manusia. Sebagaimana hukum Taurat
yang tertulis adalah berasal dari Allah, maka “hukum Taurat” dalam hati manusia juga
berasal dari Allah. Hal ini sesuai dengan konteks Roma 1:18-3:8 secara keseluruhan yang
menunjukkan bahwa manusia telah menindas kebenaran (wahyu) Allah (1:18, 19, 21, 25,
32).
Ayat 15.
Di ayat 15 Paulus selanjutnya menghubungkan “hukum Taurat” ini dengan “suara hati”
atau “hati nurani” (syneidhsis). Para sarjana berbeda pendapat tentang apakah hukum
Taurat yang tertulis dalam hati manusia adalah identik dengan hati nurani. Jawaban
terhadap isu ini ditentukan oleh pemahaman seseorang terhadap kata Yunani “turut
bersaksi” (symmartyroushs) di ayat 15. Kata ini terdiri dari dua kata: syn = bersama-sama
dan martyrew = bersaksi. Seandainya kata depan syn di sini memiliki arti khusus, maka
syneidhsis berbeda dengan hukum Taurat (hati nurani turut bersaksi bersama hukum
Taurat yang tertulis dalam hati). Seandainya kata depan syn dalam kata kerja
49
Tafsir Perjanjian Baru I
symmartyrew hanya sekadar sinonim dari martyrew, maka syneidhsis sama dengan
hukum Taurat yang tertulis dalam hati.
Di antara dua pilihan di atas, kemungkinan yang pertama tampaknya lebih bisa diterima
(Schreiner, 123). Dalam Roma 8:16 Paulus memakai kata kerja ini dengan subjek Roh
Kudus dan roh orang percaya. Dalam Roma 9:1 ia juga menyatakan bahwa hati nuraninya
(syneidhsis) turut bersaksi (symmartyrew) dalam Roh Kudus tentang kedukaannya
sehubungan dengan kekerasan hati bangsa Yahudi. Dalam konteks Roma 9:1, hati nurani
yang turut bersaksi ini jelas tidak mungkin merujuk pada hukum Taurat yang tertulis
dalam hati, karena yang disaksikan tidak berkaitan dengan masalah moral. Sebaliknya,
hati nurani ini memang hati nurani Paulus yang dalam Roh Kudus turut meneguhkan
pernyataan Paulus di Roma 9:1. Dalam Roma 13:5 Paulus membedakan antara
pertimbangan teologis dengan hati nurani. Jadi, hati nurani ini berbeda dengan standar
moral dalam hati manusia, tetapi keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu menjaga
tingkah laku manusia.
Seandainya hukum Taurat yang tertulis dalam hati manusia memang berbeda dengan hati
nurani, maka hukum Taurat di sini lebih merujuk pada hukum moral alamiah yang
diberikan Allah kepada semua manusia. Setiap manusia diberi kesadaran moral untuk
menilai suatu tindakan. Supaya hukum ini tetap mengontrol (atau paling tidak
mempengaruhi) hidup manusia, Allah juga memberikan hati nurani dalam diri manusia.
Melalui hati nurani ini, manusia berjuang untuk menaati hukum moral dalam diri mereka.
Pikiran mereka turut meneguhkan tindakan yang sesuai dengan hukum moral atau
menuduh suatu tindakan yang menentang hukum itu.
Keberadaan hukum lain selain hukum Taurat yang tertulis seharusnya tidak asing bagi
orang Yahudi. Bukankah sebelum ada hukum Taurat yang tertulis melalui Musa, Allah
telah memberikan perintah-perintah-Nya secara lisan kepada para leluhur? Allah sendiri
bahkan menyatakan bahwa Abraham telah menaati segala ketetapan dan hukum-Nya (Kej
26:5). Seandainya tidak hukum sebelum hukum Taurat, bagaimana manusia pada waktu
itu bisa membedakan apakah suatu tindakan benar atau salah? Bukankah hukum sekuler
waktu itu juga memiliki kemiripan dalam tingkat tertentu dengan Perjanjian Lama,
misalnya hukum Hammurabi?
Sekalipun setiap manusia diberi hukum moral dan hati nurani, tetapi tidak ada seorang
pun yang bisa diselamatkan. Situasi ini diindikasikan melalui beberapa cara: (1) Roma
2:12, sebagai inti dari Roma 2:13-16, menyatakan “semua orang yang berdosa tanpa
hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat”. Di Roma 3:9-18 Paulus menandaskan
bahwa semua orang tanpa terkecuali, termasuk orang Yunani (terutama Rom 3:9), telah
berdosa dan layak dimurkai; (2) dalam frase “pikiran mereka saling menuduh dan
membela” di ayat 15, “menuduh” diletakkan di depan lebih dahulu untuk menyiratkan ide
bahwa hati nurani dan pikiran manusia lebih banyak menuduh daripada membela
(Cranfield, Moo, Dunn, Schreiner).
Ada beberapa alasan mengapa tidak ada orang Yunani yang mampu menaati hukum
moral dan hati nurani.
50
Tafsir Perjanjian Baru I
(1) Manusia dikuasai oleh dosa, sehingga sekalipun mengetahui apa yang baik, mereka
tetap tidak mampu memilih dan melakukan yang baik tersebut. Kain dan Petrus sama-
sama sudah diperingatkan tentang tipu daya iblis dan dosa, tetapi mereka tetap tidak
berkuasa mengatasi godaan itu (Kej 4:6-7; Mat 26:34//Mar 14:30//Luk 22:34).
Gambaran paling jelas dari ketidakmampuan ini tercermin dalam pengalaman Paulus
di Roma 7:14-17. Dalam konteks ini, Paulus mengetahui apa yang baik menurut
hukum Taurat, tetapi dia tetap cenderung memilih yang salah.
(2) Hati nurani manusia telah tercemar oleh dosa dan perlu diperbarui oleh Allah (1Tim
4:2; Ibr 9:14; 10:22). Nilai moral dan suara hati nurani lebih banyak ditentukan oleh
pandangan hidup manusia yang, sayangnya, juga telah tercemar oleh dosa. Lamekh,
keturunan Kain, membanggakan keberdosaannya (Kej 4:23-24). Manusia juga
seringkali menilai suatu tindakan sebagai tindakan yang benar, tetapi kenyataannya
hal itu justru merupakan pemberontakan terhadap Allah. Dalam Roma 10:2-3 Paulus
menyinggung bangsa Yahudi yang giat untuk Tuhan tetapi tanpa pengetahuan yang
benar (bdk. Yoh 16:2). Paulus sendiri dulu adalah tipikal orang seperti ini (Kis 8:1-3;
1Kor 15:9; Gal 1:13). Keadaan menjadi semakin parah karena mereka yang terus
memberontak kepada Allah diserahkan Allah pada hati dan pikiran yang jahat (Rom
1:21, 24, 26, 28).
Ayat 16.
Para sarjana memperdebatkan hubungan antara ayat ini dengan bagian sebelumnya.
Mereka mengalami kesulitan melihat kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya.
Hubungan ini tampak problematis karena “menuduh dan membela” di ayat 15 merujuk
pada masa kini, sedangkan ayat 16 sekilas merujuk pada penghakiman terakhir.
Untuk menjelaskan masalah di atas, sebagian sarjana menganggap ayat ini adalah sisipan
yang dilakukan oleh seorang penyalin atau editor Surat Roma. Sebagian yang
menganggap ayat 16 berhubungan dengan ayat 13, sedangkan ayat 14 dan 15 hanyalah
sisipan. Sarjana lain menolak ide tentang penghakiman terakhir di ayat 16. Kata kerja
present “menghakimi” (krinei) di ayat 16 dianggap merujuk pada pemberitaan injil Paulus
yang berfungsi sebagai hakim bagi hati nurani manusia.
Usulan yang paling tepat adalah dengan melihat ayat 16 sebagai kelanjutan dari ayat 15.
Kedua ayat ini sama-sama menyiratkan ide tentang penghakiman (ayat 15 “menuduh dan
membela”, ayat 16 “menghakimi”). Selain itu, kedua ayat ini juga sama-sama
menyinggung apa yang ada dalam diri manusia (ayat 15 “hati nurani”, ayat 16 “hal-hal
yang tersembunyi dalam diri manusia”).
Dengan karakteristik seperti ini, tidak ada seorang pun yang mampu selamat dari
penghakiman Allah. Ketaatan kepada Taurat yang dilakukan orang Yahudi secara
51
Tafsir Perjanjian Baru I
lahiriah belum tentu membuat seseorang benar di hadapan Allah, karena Allah juga
melihat motivasi di balik ketaatan itu. Yesus beberapa kali menegur kesalehan orang
Farisi yang dianggap sebagai kemunafikan, karena hanya ingin dipuji manusia (Mat
23:5a). Bagi orang Yunani, karakteristik penghakiman ini juga memungkinkan Allah
untuk melihat kualitas hati nurani mereka. Dalam hal ini, Allah pasti akan mengetahui
kecemaran hati mereka.
Dalam ayat 17-20 Paulus menggunakan 6 kata kerja indikatif dan beberapa participle
yang menerangkan sebagian kata kerja indikatif yang ada. Selanjutnya Paulus mengecam
bangsa Yahudi dengan menggunakan 4 pertanyaan retorik di ayat 21-22. Terakhir, Paulus
memberikan konklusi dari apa yang sudah dituduhkan (ayat 23-24). Berdasarkan
fenomena ini, ayat 17-24 dapat dibagi sebagai berikut:
Jadi, engkau yang mengajar orang lain → tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri?
52
Tafsir Perjanjian Baru I
Bersandar pada Taurat. Memiliki Taurat merupakan berkat khusus dari Allah (3:2; 9:4),
tetapi bersandar pada Taurat dalam penghakiman merupakan kesalahan besar. Menaati
Taurat adalah baik, tetapi bukan melalui perbuatan, tetapi iman (bdk. 9:32). Moo (159-
160) membandingkan sikap ini dengan teguran nabi Mikha di Mikha 3:11 “padahal
mereka bersandar kepada TUHAN dengan berkata: "Bukankah TUHAN ada di tengah-
tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!”.
Bermegah dalam Allah. Bermegah tidak selalu berarti negatif (sombong), terutama jika
dikaitkan dengan Allah/hal-hal rohani sebagai dasar kemegahan (Yer 9:23-24; 1Kor 1:31;
2Kor 10:7). Paulus sangat mungkin sedang memikirkan Psalms of Solomon 17:1 “Tuhan,
engkau adalah raja kami selama-lamanya, karena dalam engkau, Ya Allah, jiwa kami
bermegah”. Permasalahan di sini adalah pada dasar keyakinan yang salah. Bangsa
Yahudi menganggap mereka perlu bermegah dalam Allah karena perbuatan mereka (bdk.
3:27; 4:2).
Mengetahui kehendak-Nya. Frase ginw,skeij to. qe,lhma secara literal berarti “engkau
mengetahui kehendak itu”, tetapi terjemahan mayoritas EV’s “engkau mengetahui
kehendak-Nya” juga bisa dibenarkan. Pemakaian artikel di depan kata kehendak (to.
qe,lhma) merupakan bentuk absolut yang umum bagi bangsa Yahudi untuk merujuk pada
kehendak Allah (1QS 8:6; 9:23; 1Kor 16:12).
Mengetahui apa yang baik dan yang jahat. Frase dokima,zeij ta. diafe,ronta bisa
ditafsirkan dalam beberapa cara. Hal ini terkait dengan arti kata dokima,zw dan diafe,rw
yang memang beragam. dokima,zw bisa berarti menyetujui, menguji, menyetujui,
membuktikan, dll. diafe,rw dalam bentuk intransitif bisa berarti menjadi lebih layak,
lebih superior atau berbeda.
(1) dokima,zeij ta. diafe,ronta berarti “menyetujui hal-hal yang terbaik” (Murray, Moo).
(2) dokima,zeij ta. diafe,ronta berarti “membedakan hal-hal yang berbeda [dari kehendak
Allah]”. Dengan kata lain, “membedakan apa yang jahat dan yang baik (NEB,
LAI:TB, Hodge).
53
Tafsir Perjanjian Baru I
Bentuk participle pasif kathcou,menoj di frase kathcou,menoj evk tou/ no,mou harus
dipahami sebagai participle of cause yang memberikan suatu alasan (LAI:TB “karena
diajar dalam Taurat”). NEB menganggap frase ini hanya menerangkan dokima,zeij ta.
diafe,ronta, tetapi hampir semua sarjana mengaitkan hal ini dengan ginw,skeij to. qe,lhma
dan dokima,zeij ta. diafe,ronta.
Yakin bahwa mereka adalah penuntun bangsa-bangsa lain. Bangsa Yahudi menganggap
diri mereka mengemban tugas untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada kebenaran
melalui ketaatan kepada Taurat. Ungkapan “penuntun orang buta” dan “terang bagi
mereka yang dalam kegelapan” menyiratkan nuansa misi dalam ayat ini (bdk. Yes 42:6-
7; 49:6; bdk. Mat 23:15). Ungkapan “pendidik orang bodoh” dan “pengajar orang yang
belum dewasa” mungkin merujuk pada fase follow up setelah aktivitas misi.
Frase “karena engkau memiliki kegenapan pengetahuan dan kebenaran dalam Taurat”
(e;conta th.n mo,rfwsin th/j gnw,sewj kai. th/j avlhqei,aj evn tw/| no,mw|) menerangkan
alasan mengapa bangsa Yahudi memiliki keyakinan di ayat 19-20a. Frase ini juga
berguna untuk menunjukkan bahwa dosa bangsa Yahudi di ayat 21-22 bisa dikategorikan
sebagai “menindas kebenaran”, karena mereka sudah memiliki pengetahuan dan
kebenaran.
Teguran Paulus di sini sebenarnya bukanlah ajaran yang baru (bdk. Mzm 50:16-21; ‘Abot
R. Nat 29[8a]; Mat 23:3). Para rabi sendiri mengakui eksistensi para pengajar Taurat
yang memiliki cara hidup berbeda dengan yang mereka ajarkan. Beberapa contoh yang
mereka berikan bahkan sama dengan tuduhan Paulus di ayat 21-22. Keunikan konsep
Paulus adalah bahwa ia mengaplikasikan hal ini pada semua bangsa Yahudi (bukan hanya
pada pengajar Taurat). Hal ini tentu saja membawa permasalahan, karena tidak semua
orang Yahudi melakukan dosa seperti yang dituduhkan. Solusi terhadap masalah ini
adalah dengan menganggap Paulus sedang memikirkan pemahaman yang radikal
(esensial) tentang Taurat (bdk. Mat 5:21-48). Dari perspektif ini, semua orang pasti patut
dikategorikan sebagai pelanggar Taurat.
Isu utama bagian ini terkait dengan pengertian “merampok kuil” (i`erosulei/j). Ada tiga
pandangan utama berkenaan dengan hal ini:
54
Tafsir Perjanjian Baru I
(1) Mayoritas sarjana memahami i`erosulei/j sebagai rujukan pada sikap bangsa Yahudi
yang semakin toleran terhadap penggunaan barang-barang curian dari kuil berhala
(Godet, Murray, Kasemann, Dunn, Moo). Tindakan ini tentu saja berkontradiksi
dengan sikap mereka yang menentang penyembahan berhala.
(2) Sebagian mengaitkan dengan kelalaian bangsa Yahudi dalam membayar bea bait
Allah. Pelanggaran ini bukanlah sesuatu yang asing pada waktu itu (Psalms of
Solomon 8:11-13; T. Levi 14:5). Dengan tidak membayar bea, mereka sebenarnya
telah merampok bait Allah (Hodge).
(3) Sebagian melihat hal ini sebagai pelanggaran-pelanggaran umum terhadap hal-hal
yang keramat (Calvin, Barret, Cranfield). Argumentasi yang biasa dipakai adalah
tulisan Philo yang menyebut pembunuh sebagai i`erosuli,a, dalam arti ia telah
mengambil milik Allah yang paling berharga (jiwa manusia). Catatan lain adalah
2Mak 13:6 dan Kis 19:37 yang memakai istilah tersebut tanpa mengaitkannya dengan
pencurian barang-barang kuil.
Poin (1) terlihat membuat kontras yang sesuai dengan ayat 22b (mengecam penyembahan
berhala tapi mengambil keuntungan di dalamnya), sedangkan poin (2) memiliki catatan
historis yang mendukung. Bagaimanapun, dua tafsiran ini kurang sesuai dengan
pemakaian yang umum dari kata i`erosulw. Pandangan terakhir tampaknya paling
memungkinkan. Satu-satunya ‘kelemahan’ pandangan ini adalah bahwa arti i`erosulw di
sini tidak membuat kontras yang sesuai dengan ayat 22. Sanggahan ini sebenarnya tidak
terlalu tepat. Poin (3) tetap membuat kontras yang sesuai: sebagaimana bangsa Yahudi
mengecam penyembahan berhala sebagai pelanggaran terhadap hal-hal yang sakral,
mereka ternyata juga menjadi pelanggar yang sama, meskipun bentuk konkret
pelanggaran tersebut berbeda. Pelanggaran mereka tetap dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap hal-hal yang sakral.
Untuk mendukung pernyataannya di ayat 23, Paulus mengutip Yes 52:5 sebagai alasan
(bdk. ga.r). Apa yang dituduhkan di ayat 21-22 pada dasarnya sama dengan yang
dilakukan bangsa Yehuda pada jaman Yesaya. Kemalangan bangsa Yehuda – sebagai
akibat dari pelanggaran dan dosa mereka – telah menjadi bahan cemoohan bagi bangsa
55
Tafsir Perjanjian Baru I
lain. Hal ini terkait dengan pola pikir kuno yang menganggap kemalangan suatu bangsa
identik dengan ketidakberdayaan ‘allah’ yang disembah bangsa tersebut.
Penjelasan Paulus di bagian ini secara esensial sama dengan yang di ayat 17-24, yaitu
pentingnya perbuatan. Ia menjelaskan bahwa sunat tidak memiliki signifikansi apa-apa
jika tidak disertai dengan ketaatan terhadap Taurat (ayat 25). Sebaliknya, bangsa lain
yang secara fisik tidak bersunat bisa disebut sebagai orang yang bersunat apabila mereka
melakukan tuntutan Taurat (ayat 26). Bangsa lain ini bahkan akan menjadi hakim atas
mereka yang bersunat secara fisik tetapi tidak memenuhi tuntutan Taurat (ayat 27). Ayat
28-29 merupakan alasan (bdk. ga.r di ayat 28) bagi pandangan Paulus di ayat 25-27. Alur
pemikiran Paulus dapat digambarkan sebagai berikut:
Inti: sunat berguna jika disertai dengan ketaatan kepada Taurat (ayat 25a)
Implikasi (ayat 25b-27)
Bangsa Yahudi yang melanggar Taurat tidak mendapat manfaat sunat (ayat 25b)
Bangsa lain yang menaati Taurat dianggap bersunat (ayat 26)
Bangsa lain yang menaati Taurat akan menghakimi bangsa Yahudi (ayat 27)
Argumentasi: Allah melihat yang tidak kelihatan (ayat 28-29)
Inti: sunat berguna jika disertai dengan ketaatan kepada Taurat (ayat 25a)
Para sarjana berbeda pendapat tentang maksud Paulus di ayat ini. Apakah Paulus
sungguh-sungguh mengakui manfaat sunat? Apakah batasan ‘ketaatan kepada Taurat’ di
sini? Pertanyaan pertama tidak terlalu sulit dijawab, karena pada bagian lain Paulus juga
menegaskan kegunaan sunat (3:1-2). Berdasarkan konteks 2:17-29 dan 3:1-8, kegunaan
sunat di sini harus dipahami dalam hubungan dengan penghakiman dan keselamatan.
Sunat memang berguna dalam relasi dengan Allah, karena hal itu diperintahkan oleh
Allah sebagai tanda perjanjian. Permasalahannya adalah kegunaan itu tidak bersifat
magis. Sunat per se tidak membawa manfaat, karena sunat sebenarnya adalah tanda
seseorang menjadi umat Allah. Inti dari sunat adalah gaya hidup yang sesuai dengan
status sebagai umat perjanjian. Dengan kata lain, sunat bukanlah substitusi bagi ketaatan
kepada Allah.
56
Tafsir Perjanjian Baru I
Jika pandangan pertama benar, maka ayat ini mengajarkan kemungkinan kegunaan sunat
dalam penghakiman jika itu disertai dengan kesungguhan hati. Pandangan ini didukung
oleh konteks dekat 2:25-29. Pertama, Ayat 26-27 menyiratkan bahwa ketaatan kepada
Taurat merupakan hal yang mungkin dicapai. Kedua, kesungguhan hati ini sesuai dengan
ayat 28-29.
Implikasi kedua dari ayat 25a adalah bahwa semua orang dari bangsa lain yang sanggup
memenuhi tuntutan Taurat adalah bangsa Yahudi yang sejati. Meskipun mereka tidak
sunat secara fisik, tetapi mereka memenuhi konsekuensi sunat, yaitu ketaatan.
Implikasi terakhir benar-benar pemikiran yang radikal. Bangsa Yahudi percaya bahwa
orang benar akan menghakimi orang fasik (1Kor 6:2; 1Enoch 91:12; 98:12; Apoc. Abr
29:19-21; Wis 3:8), tetapi mereka selalu menempatkan diri mereka sendiri sebagai orang
yang akan menghakimi, sedangkan bangsa lain sebagai orang fasik. Pandangan Paulus di
sini sangat mungkin berakar dari ajaran Yesus (Mat 12:41-42; Luk 11:31-32).
Penghakiman di sini bisa merujuk pada status bangsa Yunani yang ditunjuk Allah
sebagai hakim atas bangsa Yahudi, tetapi kemungkinan besar ayat ini berarti bahwa
ketaatan bangsa Yunani sendiri telah menjadi hakim atas ketidaktaatan bangsa Yahudi.
Perdebatan para sarjana tentang ayat 27 biasanya terfokus pada fungsi preposisi dia.
dalam frase dia. gra,mmatoj kai. peritomh/j (LAI:TB menerjemahkan “kamu yang
memiliki hukum tertulis dan sunat”). Sebagian sarjana mengambil arti dia. yang lebih
umum, yaitu ‘melalui’ (instrumental). Jika ini benar, maka ayat 27 diterjemahkan
“...menghakimi engkau yang melalui hukum tertulis dan sunat adalah pelanggar hukum”.
Terjemahan ini menunjukkan bahwa hukum tertulis dan sunat merupakan
sarana/penyebab mereka menjadi pelanggar hukum. Mereka umumnya melihat ayat ini
sebagai rujukan pada pemahaman tentang Taurat yang hanya sampai pada aktivitas ritual
dan tindakan superficial. Dengan kata lain, dosa bangsa Yahudi di sini adalah kegagalan
57
Tafsir Perjanjian Baru I
mereka dalam menaati Taurat secara sungguh-sungguh dalam hati mereka dan bukan
hanya praktek keagamaan yang eksternal. Anggapan ini terkesan lebih sesuai dengan ayat
28-29.
Pandangan di atas tidak sesuai dengan inti pembicaraan Paulus di pasal 2. Tuduhan
Paulus tidak terletak pada praktek keagamaan yang superficial, tetapi pada
ketidakmampuan bangsa Yahudi dalam menaati Taurat. Berdasarkan pertimbangan ini
mayoritas penerjemah mengambil dia. sebagai attendant circumstances yang berarti
“dengan” (ASV) atau “bahkan” (NIV, NKJV). Jadi, ayat 27 seharusnya diterjemahkan
“..menghakimi engkau yang walaupun dengan (memiliki) hukum tertulis dan sunat adalah
pelanggar hukum”.
Pemikiran Paulus di sini sebenarnya bukan merupakan ajaran yang baru. PL berkali-kali
menekankan perlunya sunat secara rohani (Ul 10:16; Yer 4:4). Tulisan Yahudi bahkan
menyiratkan pengharapan bahwa Allah akan menyunatkan setiap hati bangsa Yahudi
melalui Roh Kudus (Jub 1:23; Od Sol 11:2).
Untuk memudahkan pemahaman, alur pemikiran Paulus dapat dijelaskan sebagai berikut:
P Posisi bangsa Yahudi di depan murka Allah sama dengan bangsa-bangsa lain
(2:17-29)
Y Lalu, apakah kelebihan bangsa Yahudi sebagai umat Allah? (3:1)
P Banyak sekali – kepada mereka dipercayakan Firman Allah (3:2)
58
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 1.
Di pasal 2 Paulus menjelaskan bahwa posisi bangsa Yahudi di depan penghakiman Allah
adalah sama dengan bangsa lain. Ia juga secara khusus menolak keistimewaan Taurat dan
sunat dalam penghakiman. Pertanyaan wajar dari pihak bangsa Yahudi yang diantisipasi
Paulus adalah “apakah bangsa Yahudi memiliki kelebihan dibanding bangsa lain?” dan
“apakah sunat memiliki manfaat”? Pertanyaan ini sebenarnya berkaitan dengan
kredibilitas janji-janji di PL dan kesetiaan Allah terhadap umat-Nya. PL berkali-kali
menyatakan bahwa Allah telah memanggil bangsa Yahudi secara khusus sebagai umat-
Nya dan menetapkan sunat sebagai tanda kepemilikan tersebut. Seandainya bangsa
Yahudi tidak memiliki kekhususan (kelebihan) dibanding bangsa lain, hal itu bisa berarti
PL tidak benar atau Allah tidak bisa dipercaya.
Ayat 2.
Jawaban Paulus di ayat 2 tidak bertentangan dengan pembahasan di 2:17-29. Dalam
konteks penghakiman bangsa Yahudi memang sama dengan bangsa lain, tetapi hal itu
tidak berarti mereka tidak memiliki kelebihan apa-apa. Kelebihan bangsa Yahudi adalah
“banyak dalam segala hal”, salah satunya adalah kepada mereka telah dipercayakan
Firman Allah. Dalam bagian ini Paulus tidak melanjutkan daftar kelebihan yang lain,
meskipun ia memakai ungkapan “pertama-tama” (prw/ton). Fenomena ini merupakan
karakteristik Paulus (bdk. 1:8). Roma 9:4-6 memaparkan banyak kelebihan bangsa
Yahudi yang sangat mungkin termasuk dalam ungkapan “banyak dalam segala hal”
dalam bagian ini. Frase ta. lo,gia tou/ qeou/ telah ditafsirkan secara beragam, karena
ungkapan tersebut dalam PL memang bisa berarti “penyataan Allah secara umum”.
Berdasarkan konteks 3:1-8 sebaiknya dimengerti sebagai seluruh wahyu Allah di PL,
terutama yang berhubungan dengan janji-janji Allah.
Ayat 3.
Setelah menyebutkan kelebihan di ayat 2, Paulus menghubungkan hal itu dengan fakta
bahwa sebagian bangsa Yahudi telah tidak setia. Kata hvpi,sthsa,n di sini bisa berarti
“tidak percaya” (NIV, ASV, KJV, NKJV) atau “tidak setia” (RSV, LAI:TB). Terjemahan
pertama didukung oleh arti umum avpisteu,w dan avpisti,a dalam PB dan Surat Roma
(4:20; 11:20, 23; band, Cranfield). Bagaimanapun, terjemahan kedua tampaknay lebih
tepat.
(1) Dosa utama bangsa Yahudi di PL, dalam kaitan dengan janji-janji Allah, bukanlah
ketidakpercayaan, tetapi ketidaksetiaan.
(2) Tuduhan Paulus terhadap bangsa Yahudi di pasal 2 berfokus pada kegagalan mereka
dalam hidup sesuai dengan posisi sebagai umat Allah. Mereka tampaknya justru
59
Tafsir Perjanjian Baru I
Isu utama berkaitan dengan peletakan tanda tanya dalam ayat ini. Mayoritas EV’s
memilih tanda tanya setelah kata “tidak setia” (hvpi,sthsa,n), sehingga ayat ini
diterjemahkan “jadi bagaimana jika sebagian mereka tidak setia? Dapatkan
ketidaksetiaan tersebut membatalkan kesetiaan Allah?”. Dengan mengambil pilihan ini,
pertanyaan pertama merupakan sanggahan dari pihak Yahudi, sedangkan pertanyaan
kedua adalah jawaban retorik Paulus. Bagaimanapun, mayoritas sarjana dan NA27
memilih peletakan tanda tanya setelah ti, ga,rÈ (“jadi bagaimana?”; LAI:TB) dan tanda
koma setelah hvpi,sthsa,n. Jika pilihan ini diambil, seluruh ayat 3 merupakan pertanyaan
Paulus sendiri. Ada beberapa alasan untuk mengambil bacaan ini:
(1) Bacaan ini sesuai dengan karakteristik gaya diatribe Paulus yang cenderung
menggunakan kalimat pertanyaan pendek (Moo).
(2) Bentuk pertanyaan retorik mh. yang mengharapkan jawaban negatif lebih cocok
dianggap sebagai kontinuitas daripada kontras dengan ayat 2.
(3) Penggunaan kata ganti “mereka” lebih cocok dikaitkan dengan Paulus. Seandainya
pertanyaan ini adalah sanggahan dari pihak Yahudi, Paulus sangat mungkin akan
memakai “kami” atau “aku” (bdk. ayat 7).
Ayat 4.
Pertanyaan retorik di ayat 3 sebenarnya sudah menyiratkan jawaban negatif, tetapi Paulus
ingin menekankan jawaban tersebut dengan menggunakan ungkapan mh. ge,noito\
(“sekali-kali tidak”). Ketidaksetiaan sebagian bangsa Yahudi tidak membatalkan
kesetiaan Allah. Allah tetap “benar” (avlhqh,j) walaupun semua manusia adalah
pembohong (yeu,sthj). Kata sifat “benar” jika dihubungkan dengan pribadi Allah
biasanya berarti “Allah benar dalam kaitan dengan Firman-Nya”. Dengan kata lain,
Allah setia atau dapat dipercaya. Berdasarkan hal ini, kebohongan manusia di sini
(kutipan dari Mzm 116:11) juga harus dimengerti sebagai ketidakbisaan manusia untuk
dipercaya. Penghukuman Allah atas sebagian orang Yahudi tetap membuktikan bahwa
Allah adalah setia. Beberapa ayat PL secara eksplisit mengajarkan bahwa Allah benar
sekalipun pada waktu Ia melakukan penghukuman (Neh 9:32-33; Mzm 54:7; 96:3; Rat
1:18; Pss Sol 2:18; 3:5; 4:8; 8:7). Perjanjian Allah mengandung dua sisi: berkat dan kutuk
(Ul 11:26-28; 30;1, 19). Ketika ia menghukum, Ia tetap setia terhadap Firman-Nya.
Untuk mendukung jawaban di atas Paulus mengutip Mzm 51:6. Frase “supaya ternyata
Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu” di Mzm 51:6b bisa
menerangkan tujuan pengakuan dosa Daud di ayat 5 maupun keberdosaan Daud di ayat
6a. Jika pilihan pertama benar, maka pengakuan Daud membuktikan bahwa
penghukuman Allah atasnya adalah benar. Konteks Rom 3:5-8a dan kata sambung o[pwj
60
Tafsir Perjanjian Baru I
(“supaya”) tampaknya lebih sesuai dengan kemungkinan kedua: keberdosaan Daud justru
menunjukkan kebenaran Allah. Apapun pilihan yang benar Paulus dalam ayat ini hanya
memberikan bukti bahwa penghukuman Allah atas Daud tetap menunjukkan kebenaran
Allah.
Ayat 5.
Jikalau keberdosaan Daud memanifestasikan sesuatu yang positif dari pihak Allah (ayat
4b), pertanyaan logis yang mungkin muncul berkaitan dengan keadilan Allah. Pertanyaan
ini berasal dari Paulus sendiri, seperti terlihat dari alasan berikut:
(1) Frase “apakah yang akan kita katakan?”.
(2) Pertanyaan retorik mh. yang mengharapkan jawaban negatif.
(3) Frase “aku berkata sebagai manusia”.
Melalui pertanyaan retorik di ayat ini Paulus menegaskan bahwa Allah tetap adil ketika ia
menghukum dosa manusia, meskipun dosa tersebut justru menunjukkan kebenaran Allah.
Ayat 6.
Jawaban Paulus di sini kelihatan tidak memuaskan bagi pembaca modern. Jawaban ini
tampaknya tidak memberikan penjelasan apa-apa tentang pertanyaan di ayat 5.
Bagaimanapun, jawaban ini sebenarnya sangat mendasar. Paulus menggunakan sebuah
axiom teologis yang dipercayai seluruh orang Yahudi. Allah adalah hakim seluruh bumi
(Kej 18:25; Ul 32:4; Ay 8:3; 34:10; bdk. Ul 32:4). Seandainya Ia tidak adil, maka Ia tidak
bisa menjadi hakim seluruh bumi.
Ayat 7-8a.
Bagian ini merujuk balik pada ayat 4b. Para sarjana berbeda pendapat tentang ayat 8a.
Apakah pertanyaan merupakan sanggahan dari pihak Yahudi atau jawaban Paulus?
Mempertimbangkan kata sambung “dan” (kai.) di ayat 8a, ayat ini harus dipahami
sebagai sanggahan lain dari pihak Yahudi. Seandainya ini benar, maka ayat 8a
seharusnya diterjemahkan seperti mayoritas EV’s (kontra LAI:TB): “dan mengapa tidak
mengatakan (seperti kita sering dihujat dan mereka mengatakan kita mengajarkannya),
‘marilah berbuat yang jahat supaya yang baik timbul daripadanya?’”. Kalimat yang
berada dalam tanda kurung merupakan tambahan dan interupsi Paulus pada pertanyaan
sanggahan pihak Yahudi. Jadi, sehubungan dengan ayat 4, ada dua sanggahan dari pihak
Yahudi yang diantisipasi Paulus:
1. Ayat 4b merupakan alasan untuk tidak dihukum, karena dosa justru membawa
kebaikan bagi Allah (ayat 7).
2. Ayat 4b merupakan alasan bagi gaya hidup antinomianisme (tanpa hukum, ayat 8a).
Ayat 8b.
Terhadap dua sanggahan di atas, Paulus tidak memberikan jawaban apa-apa. Ia hanya
mengucapkan kalimat penghukuman atas orang tersebut, karena pemikiran tersebut
merupakan “penghujatan” (bdk. kata kaqw.j blasfhmou,meqa = “seperti kita sering
dihujat” di ayat 7a). Mereka menghujat Paulus mengajarkan antinomianisme, tetapi
Paulus justru menganggap sanggahan mereka di ayat 7-8a tersebut sebagai penghujatan.
61
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 9.
Mengembalikan pembahasan lagi – setelah tersisipi ayat 1-8 – pada keberdosaan bangsa
Yahudi. Dengan menekankan kembali keberdosaan bangsa Yahudi dan
menghubungkannya dengan keberdosaan bangsa Yunani, Paulus kembali pada 1:18
(murka Allah atas semua manusia). Ayat 9-20 merupakan konklusi dari semua
pembahasan di 1:18-3:8. Strukitur 3:9-20 dapat digambarkan sebagai berikut:
Ada beberapa aspek dosa yang ingin diajarkan Paulus melalui pengutipan beragam teks
PL yang sebetulnya saling terpisah:
1. Sifat dosa yang anti Allah.
Dosa bukan hanya ketidaksesuaian dengan kriteria moral. Dosa berlawanan langsung
dengan natur Allah. Bagian ini dimulai dan diakhiri dengan rujukan tentang Allah
(ayat 11 dan 18). Dosa pada dasarnya adalah penindasan kebenaran tentang Allah
(1:18-20). Manusia tidak mencari Allah sama sekali (ayat 11//Rat 7:20). Keberdosaan
mereka berakar dari penyangkalan terhadap eksistensi Allah (ayat 12//Mzm 14:1-
4//53:1-4).
2. Kekuatan dosa yang merasuk seluruh sisi kehidupan.
Ayat 13-17 menyebutkan berbagai bagian tubuh manusia yang terkait dengan dosa:
tenggorokan, lidah, bibir, mulut, kaki, mata. Pikiran manusia pun dikontaminasi oleh
dosa (ayat 11). Dalam istilah teologis ini disebut dengan ‘total depravity’ (kerusakan
total’). Manusia memang bisa melakukan kebaikan dalam batas tertentu, tetapi
kerusakan total yang mereka alami menghalangi mereka untuk berbuat baik seperti
yang seharusnya.
3. Jangkauan dosa yang mencakup semua manusia.
Universalitas dosa di sini diungkapkan dalam dua sisi. Secara negatif, “tidak ada
seorang pun” yang benar, yang mencari Allah, dsb. Secara positif, “semua orang”
telah menyeleweng, tidak berguna, dsb. Kata “semua” dalam PB memang tidak selalu
merujuk pada setiap individu (misalnya 1Tim 2:2, 4) dan ditentukan oleh konteks,
tetapi pernyataan secara negatif di atas jelas memberikan indikasi yang kuat bahwa
“semua orang” di sini adalah “setiap orang”.
Ayat 19-20.
Sebagian sarjana menemui kesulitan dalam mengharmonisasikan nuansa ke-Yahudian
(ayat 19a) dan keuniversalitasan (ayat 19b) dalam ayat ini. Mengapa Paulus tampaknya
lebih berfokus pada bangsa Yahudi di ayat 19-20? Ada tiga jawaban bagi pertanyaan di
atas:
(1) Ayat-ayat PL yang dikutip di 3:10-18 pada konteks aslinya tidak merujuk langsung
pada bangsa Israel, sehingga Paulus merasa perlu menegaskan lagi bahwa
universalitas dosa di ayat 10-18 mencakup bangsa Yahudi juga (ayat 9).
(2) Paulus menggunakan metode penafsiran rabi – dari yang utama ke yang kecil: apa
yang benar pada hal-hal yang signifikan pasti berlaku untuk hal-hal yang kurang
62
Tafsir Perjanjian Baru I
signifikan. Dengan kata lain, Paulus ingin menyatakan bahwa kalau bangsa Yahudi
sebagai umat Allah saja tidak bebas dari murka Allah, apalagi bangsa-bangsa lain
yang bukan umat Allah. Kalau bangsa Yahudi saja tidak bisa dibenarkan melalui
perbuatan mereka menaati Taurat, apalagi bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki
Taurat (Cranfield).
(3) Penekanan utama dalam 1:18-3:20 bukan terletak pada keberdosaan bangsa Yunani
(karena hal itu sudah bisa diasumsikan sebelumnya), tetapi pada keberdosaan bangsa
Yahudi (Moo).
63
Tafsir Perjanjian Baru I
baru. Konsep ini berhubungan dengan Perjanjian Lama (bdk. 3:21 dan 1:2). Ada 4 hal
yang menjelaskan pembenaran Allah di bagian ini:
1. Pembenaran Allah dinyatakan tanpa Taurat (ayat 21a).
Frase ‘tanpa hukum Taurat’ (cwri.j no,mou) bisa menerangkan kebenaran Allah
(“kebenaran Allah tanpa hukum Taurat dinyatakan...”, KJV, NIV) atau dinyatakan
(“kebenaran Allah dinyatakan tanpa hukum Taurat”, RSV, ASV, NAB, LAI:TB).
Pilihan kedua tampaknya lebih tepat, karena Paulus tidak sedang membandingkan
dua macam pembenaran, tetapi mengajarkan cara pembenaran Allah dinyatakan. Para
sarjana berbeda pendapat tentang arti frase “tanpa hukum Taurat”. Mayoritas
menafsirkan frase ini dengan “tanpa melakukan hukum Taurat”, sehingga ayat ini
mengajarkan bahwa kebenaran Allah diperoleh manusia tanpa melakukan hukum
Taurat (Calvin, Murray, Cranfield). Arti ini, bagaimanapun, kurang sesuai dengan
ayat ini. Fokus ayat ini bukanlah bagaimana manusia bisa menerima pembenaran
(dari sisi manusia), tetapi bagaimana pembenaran tersebut dinyatakan (dari sisi
Allah). Hukum Taurat di sini harus dimengerti sebagai suatu sistem – suatu tahap
dalam penyingkapan sejarah keselamatan – yang mencakup identitas bangsa Yahudi.
Artinya, Allah menyatakan kebenaran-Nya terlepas dari semua parameter nasional
dan religius yang ditentukan oleh hukum Taurat (Dunn, Moo).
2. Pembenaran Allah disaksikan oleh kitab Taurat dan para nabi (ayat 21b).
Diskontinuitas karya Allah di ayat 21a tidak berarti bahwa Allah memberlakukan
pola keselamatan yang berbeda antara PL dan PB. Pembenaran yang akan dibahas
dalam ayat 21-26 merupakan konsep yang disaksikan oleh kitab Taurat dan para nabi.
Frase ‘oleh kitab Taurat dan para nabi’ (u`po. tou/ no,mou kai. tw/n profhtw/n)
merujuk pada seluruh bagian PL (Mat 5:17; 7:12; 11:13; 24:14; Luk 16:16; Yoh 1:45;
Kis 13:15; 24:14; 28:24; 4Mak 18:10).
3. Pembenaran Allah diberikan melalui iman dalam Yesus (ayat 22a).
Berbeda dengan bangsa Yahudi yang mencoba mendirikan kebenaran melalui
ketaatan Taurat, pembenaran Allah di sini diperoleh melalui iman (dia. pi,stewj).
Paulus seringkali menggunakan preposisi evk yang dihubungkan dengan “iman”
(pi,stij) atau “percaya” (pisteu,w), tetapi ia juga beberapa kali memakai preposisi dia.
(Rom 3:25, 30; 2Kor 5:7; Gal 2:16; 3:14, 26; Ef 2:8; 3:12, 17; Fil 3:9; Kol 2:12; 1Tes
3:7; 2Tim 3:15). Frase pembenaran oleh iman atau melalui iman sebenarnya merujuk
pada hal yang sama: iman adalah alat/instrumen untuk menerima pembenaran, bukan
agen/pribadi yang membenarkan. Untuk menghindari kerancuan, mungkin lebih baik
menggunakan frase ‘melalui iman’.
Sejumlah sarjana mengusulkan interpretasi lain tentang dia. pi,stewj VIhsou/ Cristou/.
Mereka berpendapat bahwa pi,stij di sini berarti kesetiaan (bdk. 3:3) dan genitif
VIhsou/ Cristou sebagai genitive of possession atau genitive of subjective, sehingga
ayat 22a diterjemahkan “kebenaran Allah melalui iman milik Yesus Kristus” atau
“kebenaran Allah melalui kesetiaan yang ditunjukkan oleh Yesus”. Mereka
berargumentasi bahwa kata pisti,j jika diikuti oleh genitif personal (merujuk pada
pribadi), genitif tersebut biasanya berfungsi sebagai genitive of possession atau
subjective genitive (bdk. 4:12 dan 16). Frase “bagi semua yang percaya” (ayat 22)
juga dianggap pengulangan yang tidak diperlukan apabila pisti,j di sini merujuk pada
iman manusia.
64
Tafsir Perjanjian Baru I
4. Pembenaran Allah diberikan kepada semua orang yang percaya (ayat 22a).
Dengan memahami pisti,j sebagai iman manusia, frase “bagi semua orang yang
percaya” sebenarnya bukan merupakan pengulangan yang tidak memiliki arti.
Penekanan frase ini bukan pada kata “percaya” tapi pada “bagi semua orang”, karena
ide tentang “percaya” sudah termasuk dalam frase “melalui iman dalam Yesus
Kristus”. Universalitas ini bukanlah universalisme, karena semua di sini dalam
kategori “yang percaya”. Ide ini ditekankan Paulus beberapa kali (1:16; 10:4, 11-12)
untuk menunjukkan bahwa pembenaran Allah bukan hanya eksklusif bagi bangsa
Yahudi saja.
65
Tafsir Perjanjian Baru I
25:47), pembebasan dari perbudakan di Mesir (Kel 15:13) atau Babel (Yes 43:1).
Pandangan tradisional biasanya mengaitkan kata ini dengan penebusan manusia dari
perbudakan dosa (bdk. ps. 6).
2. Pendamaian (i`lasth,rion, ayat 25a).
Konsep ini telah menimbulkan kesulitan bagi sebagian sarjana, karena ide tentang
Allah yang disiratkan melalui kata tersebut tidak berbeda dengan dewa kafir yang
sedang marah dan meminta sesuatu sebagai bayaran pendamaian. Bagaimanapun, ada
dua perbedaan mendasar antara konsep Allah dan dewa kafir. Pertama, kemarahan
Allah merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dari naturnya yang mahakudus.
Kedua, Allah sendiri yang berinisiatif mengadakan pendamaian (ayat 25a). Terlepas
dari sanggahan yang sering dikemukakan, pandangan yang menghubungkan istilah ini
dengan “tutup pendamaian” di ruang mahakudus (Im 16:2) tetap lebih masuk akal. 21
dari 27 pemunculan kata ini di LXX merujuk pada “tutup pendamaian”. Kata ini
muncul di Ibr 9:5 dengan arti yang sama. Jikalau alusi ini benar, maka ayat 25
merupakan penggenapan dari tipologi di Imamat 16:2. Kalau duhulu tutup
pendamaian tersebut tersembunyi dalam ruang maha kudus, sekarang Yesus
ditampilkan (proe,qeto, bdk. mayoritas EV’s kontra LAI:TB) sebagai tutup
pendamaian yang sejati.
Tujuan: menunjukkan bahwa Allah adalah benar dalam penghakiman-Nya (ayat 25b-26)
Hampir semua versi melihat prepositional phrase eivj e;ndeixin th/j dikaiosu,nhj auvtou/
(“untuk indikasi kebenaran-Nya”) menunjukkan tujuan dari pendamaian Kristus.
Pendamaian Kristus menunjukkan kebenaran Allah. Apakah arti “kebenaran Allah” di
sini? Para sarjana berbeda pendapat tentang arti frase ini. Menimbang kekuatan
argumentasi masing-masing, pandangan tradisional yang mengambil “kebenaran Allah”
di sini sebagai salah satu aspek sifat Allah (keadilan-Nya) tampaknya lebih bisa diterima.
Interpretasi lebih sesuai dengan ayat 25b: kesabaran Allah dalam membiarkan dosa-dosa
yang terdahulu bisa menimbulkan kesan Allah tidak adil, karena keadilan-Nya
seharusnya menuntut semua dosa tersebut ditindak. Kata “yang terdahulu” merujuk pada
periode waktu sebelum salib (Kis 14:16; 17:30). Jadi, pendamaian yang dilakukan
Kristus bertujuan untuk menunjukkan bahwa Allah adalah benar (adil) dan membenarkan
orang berdosa (ayat 26).
66
Tafsir Perjanjian Baru I
Walaupun sikap memegahkan diri merupakan masalah semua manusia – bukan hanya
bangsa Yahudi (bdk. 1:30) - namun dalam bagian ini Paulus tampaknya sedang
menujukan pertanyaan di ayat 27 kepada orang Yahudi. Hal ini dapat dilihat dari
pemunculan kata “hukum Taurat” (ayat 28, 31) dan “orang Yahudi” (29). Selain itu,
Paulus sebelumnya juga sudah menyinggung tentang kemegahan orang Yahudi atas
hukum Taurat (2:17, 23).
Kemegahan apa yang secara khusus dibahas Paulus di sini? Para sarjana mengusulkan
dua jawaban yang saling melengkap.
Kedua, sebagian sarjana lain melihat kemegahan ini secara umum dalam konteks
perbandingan antara iman dan perbuatan (ayat 27b-28). Berdasarkan Roma 4 (terutama
ayat 2 yang menyatakan Abraham tidak boleh bermegah), mereka berpendapat bahwa
kemegahan yang dimaksud di sini sejak semula memang tidak berlaku (tidak usah
menunggu karya penebusan Kristus). Jika ini benar, berarti Paulus sedang menyoroti
segala macam kemegahan manusiawi yang merasa diri berjasa atau mampu
menyelamatkan diri mereka sendiri, tetapi secara khusus ia memfokuskan pada
kemegahan bangsa Yahudi atas hukum Taurat.
Setelah memberikan pertanyaan “di manakah kemegahan?” (ayat 27a), Paulus
selanjutnya menjawab, “ini [adalah] ditiadakan” (ayat 27b; semua versi Inggris “it is
excluded”; kontra LAI:TB). Beberapa sarjana (Cranfield) menafsirkan tense aorist pada
kata exekleisqh (“ditiadakan”) sebagai tindakan yang sekali dilakukan untuk selama-
lamanya (once for all), tetapi makna ini didasarkan pada pemahaman yang salah tentang
tense aorist. Bentuk aorist di sini sebaiknya dilihat dalam arti “kesungguhan dari tindakan
tersebut”.
67
Tafsir Perjanjian Baru I
Yang menarik untuk diselidiki adalah bentuk pasif dari dari kata exekleisqh. Berdasarkan
tata bahasa dan konteks terlihat bahwa bentuk pasif ini merupakan divine passive (suatu
tindakan yang dilakukan oleh Allah, tetapi kata “Allah” tidak disebutkan secara
eksplisit). Jika Allah sendiri yang meniadakan kemegahan ini, bagaimana cara Allah
meniadakan kemegahan ini? Berdasarkan konteks, Allah meniadakan kemegahan
manusia (terutama orang Yahudi) melalui dua cara: (1) apa yang sudah dilakukan Yesus
di atas kayu salib sebagai dasar pembenaran orang percaya (Rom 3:24-25a). Karya ini
bukan usaha manusia maupun diberikan karena manusia layak untuk menerima, tetapi
kasih karunia Allah yang diberikan secara cuma-Cuma (ayat 24a); (2) kesaksian kitab
suci (PL) bahwa kemegahan manusiawi memang salah (Rom 4).
Dalam bagian selanjutnya dari ayat 27 Paulus membahas dasar atau prinsip yang dipakai
untuk meniadakan kemegahan manusia. Dia menanyakan, “melalui hukum (nomos) apa?
[melalui] perbuatan-perbuatan? sama sekali tidak, tetapi melalui hukum (nomos) iman”
(ayat 27; kontra LAI:TB). Penggunaan kata nomos sebanyak dua kali dalam ayat ini
menimbulkan sedikit masalah, karena Paulus sebelumnya menggunakan nomos dalam
arti “hukum Taurat”, sedangkan arti ini tidak sesuai dengan ayat 27. Beragam terjemahan
versi Inggris berikut ini menyiratkan kesulitan tersebut.
ASV Where then is the glorying? It is excluded. By what manner of law? of works?
Nay: but by a law of faith.
NIV Where, then, is boasting? It is excluded. On what principle? On that of observing
the law? No, but on that of faith.
RSV Then what becomes of our boasting? It is excluded. On what principle? On the
principle of works? No, but on the principle of faith.
Pendapat yang lebih tepat adalah yang mengartikan kedua nomos di ayat ini secara
umum, yaitu sebagai prinsip atau aturan (RSV), walaupun bagi orang Yahudi prinsip ini
pasti melibatkan hukum Taurat (bdk. kata “perbuatan” yang sering dikaitkan dengan
Taurat). Arti nomos seperti ini juga dipakai Paulus di bagian lain (Rom 7:21, 23-25; 8:2).
Pendeknya, Paulus mengajarkan bahwa pembenaran oleh iman merupakan sebuah
prinsip/hukum dan prinsip ini tidak mungkin berdampingan dengan prinsip perbuatan
(bdk. Ef 2:8-9).
Ayat 28 merupakan penjelasan terhadap ayat 27 (bdk. kata sambung gar = “karena”),
entah menjelaskan seluruh ayat 27 (Cranfield) atau hanya frase “hukum iman” di bagian
akhir ayat 27 (Moo). Kata logizomai (LAI:TB “yakin”) bukan hanya masalah
perasaan/emosi, tetapi melibatkan penilaian mental/rasio (Kis 19:27 “kehilangan arti” =
“dianggap tidak ada”; Rom 2:3; 1Kor 13:11). Berdasakan pemunculan kata ini di Roma 4
(ayat 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 22, 23, 24), kata logizomai di Roma 3:28 sebaiknya
diterjemahkan “memperhitungkan” (ASV/YLT “reckon”). Arti ini menyiratkan bahwa
apa yang disampaikan Paulus di ayat 28 bukan sekadar iman yang buta, tetapi didasarkan
pada argumen logis yang bisa dipertahankan: semua manusia berdosa (1:18-3:20), karena
itu keselamatan mereka hanya bergantung pada anugerah Allah melalui iman (3:21-26).
Argumentasi bagi pembenaran oleh iman: Allah adalah Allah semua orang (ayat
29-30)
68
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 29-30 memberikan alasan bagi ayat 28 (pembenaran oleh iman). Paulus ingin
menjelaskan mengapa pembenaran hanya bisa diterima melalui iman, bukan pekerjaan
Taurat. Dengan demikian, ayat 29-30 merupakan dasar kedua bagi pembenaran oleh
iman. Di pasal 3:22b-23 Paulus telah menjelaskan dasar yang pertama, yaitu kesamaan
status bangsa Yahudi dan Yunani sebagai orang berdosa. Kali ini dia menjelaskan
kesamaan yang lain antara bangsa Yahudi dan Yunani, yaitu keesaan Allah.
Penjelasan yang diberikan Paulus di sini merupakan kritikan terhadap konsep berpikir
Yahudi. Sekalipun mereka mengakui Allah berkuasa atas seluruh bumi, tetapi hubungan
Allah dengan bangsa-bangsa lain hanya bersifat umum dalam konteks penciptaan
(Pencipta dan ciptaan). Relasi khusus hanya untuk bangsa Yahudi. Allah bukanlah Allah
bangsa kafir, tetapi Alah bangsa Yahudi (Exod. Rab. 29 [88d]). Jika bangsa kafir ingin
menikmati relasi khusus dengan Allah seperti bangsa Yahudi, mereka harus menerima
Taurat. Karena pembenaran Allah dinyatakan tanpa Taurat (3:21, 28), maka tembok
yang memisahkan bangsa Yahudi dan bangsa kafir ini telah dirobohkan. Semua orang
memiliki akses kepada Allah yang sama.
69
Tafsir Perjanjian Baru I
Terhadap pertanyaan di atas, Paulus menjawab dengan tegas “sama sekali tidak!” (mh
genoito). Iman tidak membatalkan Taurat, tetapi, sebaliknya, meneguhkannya. Frase
“kami meneguhkan Taurat” (nomon {istanomen) telah menimbulkan perdebatan
panjang di kalangan sarjana. Perdebatan ini terkait dengan jangkaun arti yang sangat luas
dari kata benda nomos maupun kata kerja {isthmi. Paling tidak ada tiga pandangan utama
berkaitan dengan arti nomon {istanomen di ayat 31.
(1) Sebagian sarjana melihat nomos di sini sebagai sinonim dari seluruh PL (3:19, 21;
4:1-3). Jika ini benar, maka nomon {istanomen berarti pembenaran oleh iman
meneguhkan kesaksian PL.
(2) Sebagian melihat nomos dalam arti Taurat (3:21, 28; Gal 3:15-4:7). Jika arti ini yang
diambil, maka Taurat berfungsi menunjukkan pelanggaran manusia (Rom 4:15) dan
dengan demikian telah menyiapkan dasar bagi pembenaran oleh iman.
(3) Sebagian melihat nomos dalam arti Taurat, tetapi dalam perspektif Kristiani..
Berdasarkan arti ini, Taurat tetap berlaku, tetapi tentu saja dengan pemahaman yang
baru dari perspektif penebusan Kristus.
Dari tiga alternatif yang sama-sama kuat di atas, yang terakhir tampaknya yang paling
sesuai dengan kontek. Isu yang ingin diantisipasi Paulus terutama berhubungan dengan
kontinuitas Taurat dalam era pebenaran melalui iman. Arti seperti ini tetap bisa
mencakup arti di dua alternatif yang lain (seluruh PL memang meneguhkan injil [1:2;
3:21] dan Taurat memang berfungsi menunjukkan kesalahan), hanya saja dua arti itu
bukanlah pikiran utama Paulus di Roma 3:31.
Dari tiga kemungkinan di atas, yang kedua adalah yang paling lemah. Pembedaan Taurat
menjadi hukum seremonial (ibadah/kurban), sipil (kehidupan dalam masyarakat) dan
moral (biasanya dikaitkan dengan 10 perintah Allah) memiliki keberatan yang serius.
Dalam Alkitab tidak pernah disebutkan adanya perbedaan hukum dalam Taurat.
Kelemahan lain berkaitan dengan batasan yang tidak jelas. Suatu perintah/larangan dalam
Taurat serngkali menyentuh beberapa aspek sekaligus, misalnya apakah perintah untuk
menghormati Sabat termasuk seremonial atau moral? apakah memberikan bantuan
kepada orang miskin termasuk hukum sipil atau moral?.
Dari dua alternatif yang masih tersisa, sulit ditentukan mana yang lebih tepat, namun
alternatif pertama tampaknya lebih sesuai konteks. Isu utama dalam ayat ini adalah kaitan
antara Taurat dan iman. Paulus tidak sedang membahas kaitan Taurat dan orang Kristen.
Selain itu, alternatif ini juga didukung oleh konteks Roma 4. Dalam pasal ini Paulus
70
Tafsir Perjanjian Baru I
menunjukkan bahwa dari semula sejak jaman Abraham, seperti yang tertulis dalam kitab
Taurat Musa, iman selalu memegang peranan penting, bahkan sebelum ada Taurat (ayat
1-8). Setelah Taurat diberikan pun, iman tetap memegang peranan penting. Yang satu
tidak meniadakan yang lain.
71
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 1-2.
Penambahan frase “menurut daging” (kata sarka; LAI:TB “jasmani”) pada kata “bapa
leluhur kita” di ayat 1 merupakan sesuatu yang signifikan, karena di bagian selanjutnya
Paulus membuktikan bahwa Abraham adalah bapa semua orang secara iman (bukan
hanya bangsa Yahudi, ayat 12, 16-18). Sayangnya, NIV tidak menerjemahkan frase ini
sama sekali.
Kata sambung “karena” (gar) di awal ayat 2 menyiratkan alasan bagi pertanyaan di ayat
1. Jika Abraham dibenarkan karena perbuatan, maka ia memiliki kemegahan. Jawaban
Paulus adalah “tetapi tidak di hadapan Allah”. Jawaban ini tidak berarti bahwa Abraham
bisa bermegah di hadapan manusia tetapi tidak di hadapan Allah. Isu yang dibahas di sini
bukan penilaian orang terhadap perbuatan baik Abraham, melainkan relasi antara
perbuatan baik dan pembenaran. Jawaban ini mengajarkan bahwa Abraham yang sangat
diagung-agungkan bangsa Yahudi sebagai model orang yang dibenarkan karena
perbuatan ternyata juga termasuk dalam prinsip di 3:26-27. Ia tidak memiliki alasan
apapun di hadapan Allah untuk bermegah.
Ayat 3.
Kejadian 15:6 merupakan ayat yang dianggap sangat penting dalam kehidupan Abraham.
Paulus memakai ayat ini untuk membuktikan bahwa Abraham dibenarkan pada saat ia
percaya pada janji Allah di Kejadian 15:5. Ada beberapa alasan mengapa Paulus
mengutip teks PL dalam pasal ini.
(1) Kejadian 15:6 merupakan ayat pertama yang memakai kata “percaya”.
(2) Kejadian 15:6 merupakan ayat pertama dan salah satu ayat dari segelintir bagian PL
yang menghubungkan “iman” dan “kebenaran”.
(3) Kejadian 15:6 terkait dengan janji bahwa Abraham akan menjadi bapa bagi banyak
bangsa (Kej 15:4). Kaitan inilah yang akan dielaborasi lebih lanjut dalam pasal 4.
Cara pengutipan Kejadian 15:6 di ayat ini sangat sesuai dengan konteks Kejadian
15. Ketika Abraham kuatir tentang keturunannya, Yahweh meyakinkan dia bahwa
keturunannya akan sebanyak bintang di langit. Walaupun Abraham sadar bahwa dengan
kekuatannya sendiri dia tidak mungkin memiliki keturunan, namun dia percaya bahwa
Allah sanggup melakukan hal itu. Kesadaran tentang ketidakmampuan manusiawi dan
persandaran kepada Allah inilah yang dperhitungkan sebagai kebenaran.
Dari penjelasan Paulus di ayat 3 ini terlihat bahwa tindakan beriman tidak termasuk ke
dalam perbuatan baik. Kontras antara beriman dan berbuat baik bahkan semakin jelas di
ayat 4-5. Ketika seseorang beriman kepada Allah, ia tidak dapat membanggakan tindakan
itu, seolah-olah keselamatannya juga ditentukan oleh dia. Dalam Efesus 2:8-9 Paulus
72
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 4-5.
Ayat 4-5 berfungsi untuk menerangkan kata “diperhitungkan” (logizomai) yang ada di
ayat 3. Signifikansi kata ini terlihat dari pemunculan sebanyak 5 kali dalam ayat 3-8.
Paulus membuat kontras antara hutang/hak (ofeilhma) dan hadiah (caris). Orang yang
bekerja menerima pahala sebagai haknya, karena ia telah berusaha mendapatkannya.
Mengingat pembenaran orang berdosa diberikan melalui iman (tanpa perbuatan), maka
pembenaran tersebut merupakan anugerah dari Allah (ayat 5).
Ayat 6-8.
Bagian ini diyakini sebagai contoh aplikasi metode exegesis para rabi yang disebut
dengan gezerah shewa: satu teks utama dibahas, lalu diperjelas atau diteguhkan dengan
ayat lain yang memiliki kesamaan/paralel verbal. Walaupun dugaan ini benar, tetapi
Paulus tidak sekadar mengabungkan Kejadian 15:6 dan Mazmur 32:1-2 dengan
paralelisme kata “diperhitungkan” (logizomai). Mazmur 32:1-2 juga menghubungkan
pengampunan dengan ‘tidak diperhitungkannya dosa’. Hal ini mengajarkan beberapa hal
tentang pembenaran:
(1) Pengampunan merupakan bagian integral dari pembenaran.
(2) Pembenaran berkaitan dengan status (tidak diperhitungkan sebagai dosa), bukan
transformasi moral. Pembenaran bukanlah sesuatu yang dimasukkan Allah ke dalam
diri orang berdosa. Yang berubah adalah relasi orang tersebut d hadapan Allah. Dia
bukan lagi sebagai orang berdosa, tetapi orang yang benar. Status bar ini bukan hasil
usaha orang tersebut, tetapi iman kepada apa yang dikerjakan Kristus.
Pembahasan Paulus di sini disajikan secara induktif. Ia mulai dengan sebuah pertanyaan:
apakah anugerah pembenaran untuk orang tak bersunat juga? (ayat 9). Selanjutnya ia
menjelaskan beberapa hal tentang sunat Abraham (ayat 10-11a). Dari pembahasan ini ia
menarik implikasi (ayat 11b-12). Untuk mempermudah, struktur ayat 9-12 dapat dibagi
sebagai berikut:
Pertanyaan: apakah orang tak bersunat tercakup dalam anugerah pembenaran (9)
Dasar jawaban (10-11a)
Abraham dibenarkan sebelum ia disunat (10)
Sunat hanyalah meterai dari status benar yang ia peroleh sebelumnya (11)
Implikasi: yang penting adalah iman, bukan bersunat/tidak (11b-12)
Ayat 9.
73
Tafsir Perjanjian Baru I
Terjemahan literal ayat 9a adalah “karena itu, apakah berkat ini ({o
makarismos....{outos) atas (epi) orang bersunat atau juga atas (epi) orang yang tidak
bersunat?”. Artikel di depan {o makarismos dan kata ganti penunjuk {outos
mengindikasikan bahwa yang Paulus maksud dengan berkat di sini adalah berkat di ayat
7-8. Ada kemungkinan Paulus mengenal tradisi Yahudi yang mengatakan bahwa
pengampunan di Mazmur 32 hanya berlaku untuk bangsa Israel (Pesiq. R. 45, 185b). Jika
ini benar, maka Paulus sedang mengkritisi pemahaman ini dari perspektif kehidupan
Abraham. Apakah perhitungan kebenaran kepada orang berdosa hanya berlaku untuk
bangsa Yahudi saja atau untuk semua orang?
Ayat 10-11a.
Paulus mendasarkan argumentasinya pada faktor kronologis hidup Abraham. Bentuk
pertanyaan yang dipakai mengindikasikan bahwa lawan debat Paulus sudah mengetahui
kronologi tersebut. Abraham dibenarkan di Kejadian 15:6, sedangkan ia disunat di
Kejadian 17. Interval waktu antara dua teks tersebut diduga para rabi sekitar 29 tahun.
Setelah mengingatkan bahwa Abraham disunat setelah ia dibenarkan, Paulus selanjutnya
menjelaskan hubungan antara sunat dan pembenaran. Apakah guna sunat dalam
pembenaran Abraham? Jawaban Paulus berakar dari ucapan Allah di Kejadian 17:11
“itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu”. Sunat hanyalah meterai dari
kebenaran oleh iman yang sudah diberikan Allah sebelum ia bersunat.
Ayat 11b-12.
Bagian ini merupakan implikasi dari ayat 10-11a. Karena Abraham dibenarkan melalui
iman sebelum ia bersunat, maka ia juga menjadi bapa bagi orang-orang tidak bersunat
yang beriman (ayat 11b). Karena Abraham disunat sebagai tanda ia sudah dibenarkan,
maka ia juga menjadi bapa bagi orang-orang bersunat yang mengikuti langkah imannya
(ayat 12). Dengan kata lain, yang paling penting adalah iman. Bagian ini merupakan
konsep yang sangat penting. Bagi bangsa Yahudi, memiliki Abraham sebagai bapa secara
jasmani (bdk. 4:1) merupakan sesuatu yang sangat eksklusif dan memberikan kemegahan
spiritual. Para proselit bahkan dilarang memanggil Abraham sebagai bapa mereka
(Barret). Di sini Paulus menginterpretasikan ulang konsep Yahudi tentang “keturunan
Abraham”. Reinterpretasi ini juga sejalan dengan pemahaman Yohanes Pembaptis (Mat
3:9) dan Yesus (Luk 19:8-9; Yoh 8:33-40).
Abraham dijanjikan menjadi bapa banyak bangsa bukan berdasarkan Taurat, tetapi
iman (ayat 13-22)
Tema bagian ini adalah janji Allah kepada Abraham. Hal ini dapat dilihat dari
pemunculan kata benda ‘janji’ sebanyak 4 kali (ayat 13, 14, 16, 20) dan kata kerja
“berjanji” yang muncul sekali (ayat 14). Ayat 13-22 merupakan argumentasi Paulus
kedua untuk membuktikan bahwa Abraham dibenarkan karena iman, bukan karena
perbuatan. Kalau di ayat 9-12 Paulus memberikan argumentasi dari sisi kronologi hidup
Abraham (ia dibenarkan sebelum ia bersunat), kali ini Paulus menyinggung tentang
peranan Taurat dalam pemenuhan janji Allah kepada Abraham. Ia ingin menunjukkan
bahwa janji Allah kepada Abraham bukan diberikan berdasarkan Taurat (ayat 13-15),
tetapi berdasarkan iman (ayat 16-22).
74
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 13-15.
Paulus perlu membahas posisi Taurat di bagian ini, karena orang Yahudi mempercayai
bahwa seseorang hanya bisa menjadi keturunan Abraham jikalau ia memikul kuk Taurat,
sedangkan Paulus sebelumnya menyatakan bahwa siapa saja yang beriman bisa menjadi
anak Abraham (ayat 9-12). Pembahasan tentang Taurat di sini berbeda dengan
argumentasi Paulus tentang topik yang sama di Galatia 3. Di Galatia 3:15-17 Paulus
mendasarkan argumentasinya pada aspek kronologi: Taurat baru diberikan sekitar 430
tahun setelah Abraham, sehingga tidak memiliki kaitan sama sekali dengan pemenuhan
janji Allah kepada Abraham. Pendekatan kronologis ini tidak dipakai Paulus di Roma
4:13-22. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa janji Allah kepada Abraham justru tidak
akan terpenuhi seandainya diberikan berdasarkan Taurat.
Tiga kata sambung gar (‘karena’) di masing-masing ayat memberikan alasan bagi
pernyataan sebelumnya.
Karena (gar) janji kepada Abraham diberikan tidak melalui Taurat (13)
Karena (gar) kalau melalui Taurat, janji itu akan sia-sia (14)
Janji di ayat 13 tentang menjadi “ahli waris dunia” tidak memiliki rujukan eksplisit di PL.
Paulus tampaknya memang tidak memikirkan teks tertentu. Ia hanya menyarikan elemen-
elemen penting janji Allah kepada Abraham: keturunan yang sangat besar (Kej 12:2;
13:16; 15:5; 17:4-6, 16-20; 22:17), memiliki tanah (Kej 13:15-17; 15:12-21; 17:8), sarana
berkat bagi semua bangsa di muka bumi (Kej 12:3; 18:18; 22:18), terutama elemen
kedua. Ada indikasi bahwa janji “memiliki tanah” selanjutnya dimengerti dalam
pengertian mewarisi seluruh bumi (Yes 55:3-5; Sir 44:21; Jub 22:14; 32:19; 2 Apoc. Bar.
14:13; 51:3).
Struktur kalimat Yunani di ayat 14a sedikit sulit untuk diterjemahkan. Hampir semua
versi menerjemahkan “jika mereka yang berasal dari Taurat adalah ahli waris” (kontra
LAI:TB). Apa maksud “mereka yang berasal dari Taurat” ({oi ek nomou)? NIV
memahami frase ini sebagai rujukan pada “mereka yang hidup oleh Taurat”, sedangkan
RSV memilih “para penganut Taurat”. Berdasarkan penjelasan di ayat 14b, {oi ek
nomou di sini sebaiknya dipahami secara umum sebagai rujukan pada semua orang
Yahudi. Mereka sejak lahir memang sudah memiliki Taurat, terlepas dari isu apakah
mereka menaati Taurat atau tidak. Penjelasan di ayat 14b menunjukkan bahwa kalau
mereka yang sejak lahir sudah memiliki Taurat secara otomatis menjadi ahli waris, maka
janji dan iman akan batal. Apa yang sudah dimiliki seseorang sejak lahir tidak bisa
disebut “janji”, melainkan “hak”. Orang tersebut juga tidak perlu mengimani hal itu,
75
Tafsir Perjanjian Baru I
karena itu merupakan sesuatu yang otomatis diberikan. Jika ini yang terjadi, maka janji
dan iman tidak akan ada lagi gunanya.
Paulus selanjutnya memberikan penjelasan dari perspektif lain. Janji Allah kepada
Abraham tidak mungkin bisa digenapi jika diberikan melalui Taurat, karena tidak ada
seorangpun yang sanggup memenuhi tuntutan Taurat (pasal 2:1-3:8, terutama 19-20).
Paulus bahkan menyatakan bahwa Taurat justru membawa murka (ayat 15a), karena
Taurat mendatangkan pelanggaran (ayat 15b). Penjelasan ini tidak mengajarkan bahwa
Taurat adalah dosa (bdk. Rom 7:12) atau kalau tidak ada Taurat berarti tidak ada dosa.
(1) Kata ‘pelanggaran’ (parabasis) berbeda dengan dosa. Parabasis merujuk pada dosa
khusus yang melibatkan tindakan melampaui batasan atau aturan (TDNT). Dengan
kata lain, setiap pelanggaran adalah dosa, tetapi tidak setiap dosa adalah pelanggaran.
Paulus hanya menyatakan tidak ada pelanggaran seandainya tidak ada Taurat (bdk.
5:13).
(2) Konsep murka di sini harus dimengerti dalam konteks “menindas kebenaran”,
sehingga manusia tidak dapat berdalih (1:18-20; 2:1-5). Taurat membawa murka
dalam arti eksistensi Taurat membuat orang tidak bisa berdalih pada penghakiman
Allah. Eksistensi Taurat justru menjadi justifikasi bagi murka Allah.
(3) Tanpa Taurat pun manusia telah berdosa (1:18-32). Taurat, sebagai wahyu khusus,
justru memberikan konfirmasi lebih berat terhadap keberdosaan orang yang
memilikinya.
Ayat 16-22.
Setelah membahas dari segi negatif (janji tidak diberikan melalui Taurat), Paulus
sekarang memaparkan sisi positif (janji diberikan melalui iman). Alur berpikir Paulus di
ayat 16-22 dapat digambarkan sebagai berikut:
Implikasi pemberian janji melalui iman (ayat 16-17a)
Janji tersebut merupakan anugerah (ayat 16a)
Janji itu berlaku untuk semua orang yang beriman (ayat 16b-17a)
Diskripsi iman Abraham (ayat 17b-22)
Ayat 16-17a.
Dalam bagian ini Paulus mengulang apa yang sudah dia jelaskan sebelumnya di ayat 9-
12. Dia menegaskan ulang bahwa pembenaran hanya bisa disebut anugerah (ayat 16a)
kalau tidak diusahakan oleh manusia, melainkan melalui iman. Dia juga menegaskan lagi
bahwa pembenaran melalui iman ini membuka akses bagi semua orang untuk dibenarkan
dan menjadi keturunan Abraham. Dengan demikian, janji Allah kepada Abraham bahwa
ia akan menjadi bapa dari banyak bangsa dapat direalisasikan (ayat 16b-17a).
Ayat 17b-22.
Setelah menjelaskan ulang implikasi dari pembenaran Abraham melalui iman (ayat 16-
17a), Paulus lalu menjelaskan seluk-beluk iman Abraham. Ia membahas objek iman (ayat
17), tantangan yang dihadapi (ayat 18-19) dan kualitas iman yang dimiliki oleh Abraham
(ayat 20-22). Diskripsi detil ini berguna untuk memberikan penekanan pada fakta bahwa
Abraham adalah bapa orang beriman.
76
Tafsir Perjanjian Baru I
77
Tafsir Perjanjian Baru I
Pujian Paulus terhadap iman Abraham di atas, terutama ayat 20a, tampaknya
berkontradiksi dengan Kej 17:17 “Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata
dalam hatinya”. Beberapa mencoba melihat tindakan itu bukan sebagai bentuk
ketidakpercayaan, tetapi kekaguman. Solusi ini justru bertentangan dengan Kej 17:18 dan
18:12-15. Yang lain berpendapat bahwa Paulus sedang memikirkan Kej 15. Solusi ini
tetap tidak memuaskan. Ayat 19-20b jelas menunjukkan pertumbuhan iman Abraham
sepanjang hidupnya. Solusi yang lebih tepat adalah melihat hal ini dari sisi permanensi
waktu. Abraham memang pernah ragu dalam beberapa kesempatan, tetapi keraguan itu
bukanlah sikap hati Abraham. Hal itu sifatnya tidak permanen.
78
Tafsir Perjanjian Baru I
(2) Perubahan gaya mulai 5:1. 1:18-4:25 lebih banyak bernuansa perdebatan, terutama
dengan orang Yahudi. Paulus sering memakai kata ganti “kamu” atau “mereka”.
Fenomena ini berbeda dengan pasal 5-8. Paulus memakai kata ganti “kita”.
(3) Perbedaan kata kunci/topik pembahasan antara 1:18-4:25 dengan 5:1-8:39.
➢ Kata “iman” dan “percaya” muncul 33 kali di 1:18-4:25, tetapi kata tersebut
hanya muncul 3 kali di 5:1-8:39. Dari tiga pemunculan tersebut, dua di antaranya
merujuk balik ke 1:18-4:25.
➢ Kata “kehidupan” atau “hidup” hanya muncul dua kali di 1:18-4:25, tetapi kata
tersebut muncul 24 kali di 5:1-8:39.
(4) Kesamaan beberapa kata kunci yang muncul di bagian awal pasal 5 (ayat 1-11) dan
bagian akhir pasal 8 (ayat 18-39). Fenomena ini lebih meyakinkan jika dikaitkan pada
fakta bahwa kata-kata tersebut hampir tidak ada (sangat jarang sekali) muncul di
5:12-8:17.
Kata kunci 5:1-11 5:12-8:17 8:18-39
Kasih Allah/Kristus 5:5, 8 - 8:35, 39
Membenarkan 5:1, 9 6:7 8:30(2x), 33
Kemuliaan 5:2 6:4 8:18, 21, 30
Pengharapan 5:2, 4, 5 - 8:20, 24(4x), 25
Penderitaan 5:3(2x) - 8:35
Menyelamatkan 5:9, 10 - 8:24
Ketekunan 5:3, 4 - 8:25
(5) Di bagian akhir pasal 5, 6, 7 dan 8 selalu ditemukan frase “melalui/dalam/oleh Yesus
Kristus Tuhan kita” (5:21; 6:23; 7:25; 8:39). Fenomena ini akan tampak lebih
signifikan jika dihubungkan dengan pemunculan frase ini sebanyak dua kali di 5:1-11
(ayat 2 dan 11).
Para sarjana mencoba mengusulkan satu topik yang bisa memayungi pasal 5-8. Cranfield
menganggap bagian ini sebagai elaborasi lanjutan dari ayat 17 “orang yang benar oleh
iman akan hidup”. 1:18-4:25 menjelaskan “orang yang benar oleh iman”, sedangkan 5:1-
8:39 menjelaskan “akan hidup”. Bagian 5:1-8:39 diberi tema “Kehidupan yang dijanjikan
bagi mereka yang dibenarkan oleh iman”. Pembagian ini bisa dibenarkan dari segi isi
1:18-4:25 dan 5:1-8:39, meskipun penggunaan kutipan PL di ayat 17 sebagai dasar masih
bisa dipertanyakan.
Bagaimanapun, pembagian Cranfield masih bisa dibuat lebih spesifik. Fokus khusus
dalam pembahasan pasal 5-8 adalah kepastian/jaminan keselamatan. Hal ini tampak dari
5:1-11 dan (terutama) 8:18-39. Orang yang sudah dibenarkan oleh iman memang masih
mengalami berbagai tantangan, namun tantangan tersebut tidak akan membahayakan
keselamatan orang percaya. Orang percaya tidak perlu kuatir tentang maut sebagai
implikasi dosa Adam (pasal 5), dosa (pasal 6), Taurat (pasal 7) maupun penderitaan
jaman ini (pasal 8).
79
Tafsir Perjanjian Baru I
5:1-11 berbicara tentang hasil pembenaran, namun mereka belum mencapai konsensus
tentang hasil spesifik yang dimaksud Paulus. Ada dua usulan yang sangat mungkin
menjadi inti 5:1-11: damai dengan Allah (Cranfield) atau kepastian pengharapan (Moo).
Alternatif pertama didukung dengan pemunculan ide ‘pendamaian’ di awal dan akhir 5:1-
11. Alternatif kedua didukung oleh isi pembahasan ayat 2-10 yang berpusat pada
pengharapan. Ayat 10 secara khusus menyiratkan maksud Paulus yang lebih dari sekadar
‘pendamaian’ dengan Allah. Selain itu, ide tentang kepastian pengharapan di 5:1-11 akan
membuat inclusio yang indah dengan ide yang sama di 8:18-39. Walaupun dua ide
tersebut saling terkait, namun ide tentang pengharapan tampaknya lebih mendominasi
bagian ini.
Ayat 1-2. Frase dikaiwqe,ntej [participle] ou=n evk pi,stewj (EV’s “being therefore
justified by faith”) merupakan rangkuman dari pembahasan tentang pembenaran oleh
iman di 1:18-4:25. Frase ini diikuti oleh tiga kata kerja indikatif yang menunjukkan hasil
dari pembenaran tersebut, meskipun dari segi sintaks dua kata kerja terakhir posisinya
tidak sepenting kata kerja pertama.
1. Orang percaya memiliki damai dengan Allah (ayat 1).
Arti kata “damai” (eivrh,nh) bersumber dari pemakaian di LXX (terjemahan untuk
~Alv'). Tidak seperti penggunaan kata eivrh,nh di literatur Yunani sekuler yang
hanya mengindikasikan ketidakadaan perang atau pertikaian, eivrh,nh di LXX lebih
bermakna positif: kemakmuran, kesejahteraan dan keselamatan orang benar. Yang
lebih penting adalah penggunaan kata eivrh,nh oleh para nabi untuk menggambarkan
keselamatan yang akan dilakukan Allah di akhir jaman (Yes 54:10; Yer 37:26; Yeh
34:25). Ayat PL yang terpenting mungkin adalah Yes 52:7 (dikutip Paulus di 10:15):
“Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita,
yang mengabarkan berita damai (eivrh,nh) dan memberitakan kabar baik, yang
mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!". Dalam
tulisan Paulus, kata eivrh,nh bukan hanya menyiratkan perasaan aman, meskipun hal
itu tidak terpisahkan. eivrh,nh merujuk pada situasi eksternal manusia yang sifatnya
objektif: orang percaya yang dulu adalah musuh Allah telah diperdamaikan dengan
diri-Nya (ayat 10). Allah membawa orang percaya pada relasi yang baru dengan diri-
Nya bahkan ketika mereka masih lemah dan berdosa (ayat 6-8).
2. Orang percaya memiliki akses ke anugerah (ayat 2a).
80
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 3-4.
Paulus sangat mungkin sedang memikirkan (mengantisipasi) pandangan Yahudi pada
waktu ia menulis ayat 3a (Moo). Orang Yahudi berpikir bahwa orang yang benar di mata
Allah dapat dilihat dari kemakmuran, kesehatan dan keselamatan fisik orang tersebut (Ul
30; Mzm 73; Yoh 9:1-3). Konsep ini tentu saja akan tampak berkontradiksi dengan fakta
bahwa orang yang sudah dibenarkan melalui iman ternyata masih mengalami penderitaan
(8:17-30; 35-38). Paulus bukan hanya menegaskan bahwa penderitaan tidak akan
menggagalkan pengharapan, tetapi ia juga melihat penderitaan sebagai alasan (objek)
untuk bersukacita. Paulus menggunakan kata “penderitaan” (qli/yij) secara beragam dan
luas (Rom 2:9; Ef 3:13; Kol 1:24; 2Tes 2:9), sehingga cakupan di sini tidak perlu dibatasi
(bdk. 8:17-22; 35-38). Orang percaya bukan hanya harus bertahan dalam penderitaan,
tetapi juga bersukacita dalam penderitaan.
Ayat 3b-4.
81
Tafsir Perjanjian Baru I
Memberikan alasan mengapa orang percaya harus bersukacita dalam penderitaan (lihat
participle eivdo,tej = “kita tahu” yang menerangkan sebab). Konsep tentang penderitaan
menimbulkan karakter yang saleh merupakan sesuatu yang umum bagi gereja mula-mula
(Yak 1:2-4; 1Pet 1:6b-7; bdk. frase “kita tahu”). Ada tiga hasil positif jika penderitaan
disikapi dengan benar (dengan bersukacita):
1. Ketekunan.
Ketekunan (u`pomonh,) tidak bersifat pasif maupun sementara (2:7; 8:25; 15:4, 5).
u`pomonh, merupakan sikap hidup (komitmen) dalam segala situasi. Di tempat lain
Paulus juga menghubungkan dengan sukacita (Kol 1:11) dan pengharapan (1Tes 1:3).
Karakter ini harus menandai hidup seorang rasul maupun setiap orang percaya (2Kor
6:4; 2Kor 12:12; 2Tes 1:4; 1Tim 6:11; 2Tim 3:10). Paulus sangat mungkin sedang
memikirkan ketekunan Yesus dalam menghadapi penderitaan yang akhirnya
menghasilkan sesuatu yang positif (pembenaran orang percaya; bdk. Rom 5:6-10;
2Tes 3:5).
2. Karakter yang teruji.
Ketekunan akan menghasilkan dokimh, (LAI:TB “tahan uji”). Berdasarkan rumpun
kata ini (doki,mioj) dalam tulisan Paulus, dokimh, di sini lebih tepat dipahami sebagai
karakter yang teruji (bdk. 2Kor 2:9; 8:2; 9:13; 13:3; Fil 2:22).
3. Pengharapan yang semakin dikuatkan.
Rantai karakter ini berakhir pada pengharapan lagi. Orang yang berhasil meresponi
penderitaan dengan baik – karena itu menghasilkan ketekunan dan karakter yang
teruji – akan mendapati bahwa pengharapannya akan semakin dikuatkan.
Kemampuan seseorang untuk tetap berharap di tengah situasi yang tanpa harapan
justru akan menyebabkan pengharapan tersebut menjadi kuat (bdk. 4:18-19).
Ayat 5-8.
Paulus menegaskan kepastian pengharapan dengan frase “pengharapan tidak
mengecewakan”. Mayoritas EV’s menerjemahkan ouv kataiscu,nei dengan “tidak
mengecewakan” (RSV, NIV, NASB), tetapi kata tersebut bisa diterjemahkan “tidak akan
memalukan” (KJV, ASV; band, Rom 9:33; 10:11). Keyakinan ini didasarkan pada
konsep PL bahwa orang yang berharap kepada Allah tidak akan dipermalukan (Mzm
22:6; 25:3, 20; Yes 28:16[dikutip di 9:33 dan 10:11]).
Selanjutnya ia memberikan alasan (lihat o[ti yang berfungsi secara causal) mengapa
pengharapan orang percaya tidak mengecewakan, yaitu natur kasih Allah yang besar.
1. Kasih itu diberikan secara pribadi dan melimpah (ayat 5).
Keyakinan pengharapan tidak didasarkan pada persetujuan intelek terhadap kasih
Allah maupun sekadar demonstrasi kasih Allah di kayu salib (meskipun itu penting).
Keyakinan ini bersifat pribadi (subjektif) melalui karya Roh Kudus. Bentuk perfect
evkke,cutai (“dicurahkan”) menekankan kontinuitas hasil tindakan tersebut.
Kontinuitas ini juga tampak dari pilihan preposisi evn (“dalam”), bukan eivj (“ke
dalam”). Selain itu, penggunaan ungkapan “dicurahkan” mengindikasikan jumlah
yang melimpah. Kasih Allah bukan hanya diberikan, tetapi dicurahkan (bdk. Rom
3:15; Tit 3:6). Ide tentang kasih Allah yang melimpah ini sesuai dengan penekanan
Rom 5:6-8.
2. Kasih itu diberikan kepada yang tidak layak menerima (ayat 6-8).
82
Tafsir Perjanjian Baru I
Kesatuan pemikiran ayat 6-8 terlihat dari penggunaan kata avpoqnh,skw (“mati”)
untuk mengakhiri setiap ayat. Penekanan ayat 6-8 terletak pada ketidaklayakan pihak
yang menerima kasih Allah. Hal ini terlihat dari penggunaan frase “ketika kita masih
lemah” (ayat 6) dan “ketika kita masih berdosa” (ayat 8). Inti yang ingin disampaikan
Paulus terletak pada perbandingan antara kasih Allah dengan kasih manusia (ayat 7).
Argumentasi di ayat 7 “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar
tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati” telah
menimbulkan kebingungan di antara para sarjana. Beberapa bahkan menganggap ayat
7b sebagai koreksi Paulus terhadap ayat 7a, namun Tertius (16:22) lupa menghapus
bagian pertama. Inti permasalahan sebenarnya terletak pada arti kata keterangan
mo,lij (LAI:TB “tidak mudah”) dan kata sambung ga.r (LAI:TB “tetapi”). Kata mo,lij
biasanya memang menyiratkan kesulitan dalam mencapai sesuatu (Luk 9:39; Kis
14:18; 27:7-8, 16; 1Pet 4:18), namun arti mo,lij yang tersirat di sini adalah betapa
jarangnya tindakan tersebut dilakukan (ASV, KJV, NIV; bdk. BAGD). Berkaitan
dengan penggunaan kata ga.r, kata ini bisa memiliki arti “walaupun” apabila kata
tersebut diulang dalam satu kalimat dengan arti yang sama (NIV, NASB, RSV; bdk.
BAGD). Jika dua penjelasan di atas diterima, maka ayat 7 seharusnya diterjemahkan
“sebab sangat jarang seorang mau mati untuk orang yang benar, walaupun untuk
orang yang baik seorang bersedia mati”. Orang mungkin bersedia mati untuk orang
yang baik (berbuat baik kepadanya [Cranfield]) karena kebaikan orang tersebut telah
menjadi ikatan emosional yang kuat. Fenomena ini juga disinggung dalam beberapa
literatur Yunani waktu itu (lihat Cranfield). Situasi akan menjadi semakin langka bagi
seorang yang bersedia mati untuk orang yang benar, karena kebenaran orang tersebut
belum tentu memberikan ikatan emosional maupun keuntungan pribadi. Kasih Allah
adalah luar biasa dan sangat langka, karena Kristus mati untuk orang berdosa. Kalau
mati untuk orang benar saja sudah langka, apalagi mati untuk orang yang tidak benar.
Ayat 9-10.
Bagian ini memberikan dasar yang lain bagi kepastian pengharapan orang percaya.
Argumentasi yang dipakai merupakan aplikasi metode eksegese para rabi qal
wayyOmer (“ringan dan berat”): apa yang benar untuk hal-hal yang prinsip akan
berlaku juga untuk hal-hal yang kurang penting. Hal ini terlihat dari pengulangan kata
pollw/| ma/llon (“lebih-lebih lagi”; EV’s “much more”) di ayat 9 dan 10. Inisitif Allah
untuk membenarkan dan mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui kematian
Anak-Nya pada saat mereka masih berdosa merupakan dasar yang kuat bahwa orang
percaya tidak akan mengalami murka Allah di penghakiman terakhir. Allah telah
melakukan hal yang sangat luar biasa, karena itu Ia juga akan melakukan hal-hal lain
yang lebih mudah daripada apa yang sudah Ia lakukan.
Ayat 11.
Bagian ini merangkum beberapa kata kunci yang dipakai di ayat 1-10:
“bersukacita/bermegah” (ayat 2-3), “mendamaikan” (ayat 1b, 10) dan “melalui Tuhan
kita Yesus Kristus” (ayat 1, 2, 6-8, 9, 10). Ayat ini bukan hanya memberikan
rangkuman, tetapi juga menambahkan ide baru yang lain. Hal ini tampak dari frase
83
Tafsir Perjanjian Baru I
ouv mo,non de, (LAI:TB “bukan hanya ini saja”) di awal ayat 11. Para sarjana
berbeda pendapat tentang rujukan frase ini. Berdasarkan penggunaan kalimat transisi
ouv mo,non de, dalam tulisan Paulus (5:3; 8:23; 9:10; 2Kor 7:7; 8:19; 1Tim 5:13),
frase ini tampaknya merujuk pada kalimat sebelumnya, yaitu tentang keselamatan
(ayat 10). Dengan demikian ayat 11 dapat diparafrasekan sebagai berikut “bukan
hanya kita akan diselamatkan, tetapi juga bersukacita/bermegah....”. Objek sukacita
kali ini sifat-Nya lebih luas, yaitu bersukacita dalam Allah oleh Tuhan kita Yesus
Kristus. Kehidupan orang yang sudah didamaikan dengan Allah harus ditandai
dengan sukacita atas semua yang telah dilakukan Allah.
Isu yang lebih kompleks adalah tentang relasi antara ayat 12-21 dengan ayat 1-11.
Dua bagian tersebut dihubungkan dengan frase transisional dia. tou/to (“karena hal
itu”), tetapi rujukan dari frase ini masih diperdebatkan. Solusi yang lebih tepat adalah
mengaitkan frase ini dengan seluruh pembahasan di ayat 1-11 dan melihat ayat 12-21
sebagai penjelasan bagi ayat 1-11. Ayat 12-21 memberikan alasan mengapa
pengharapan orang percaya begitu pasti: karena ketaatan Kristus menjamin
keselamatan semua yang berada di dalam Dia. Secara lebih spesifik, ayat 12-21
menjelaskan bagaimana pembenaran, pendamaian dan keselamatan orang percaya
terkait dengan Yesus Kristus (ayat 9-10).
Struktur ayat 12-21 agak sulit dijelaskan, karena Paulus memulai dengan
perbandingan (ayat 12 “sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu
orang), tetapi ia tidak pernah melanjutkan perbandingan tersebut. Sebaliknya, ia
mengelaborasi topik dosa di ayat 12b-14. Perbandingan yang sesungguhnya baru
muncul di ayat 18-19. Ayat 15-17 juga lebih banyak membahas tentang superioritas
(bukan hanya perbandingan) Kristus atas Adam. Untuk memudahkan pemahaman
tanpa melanggar struktur teks yang ada, ayat 12-21 dapat digambarkan sebagai
berikut:
Ayat 12-14.
84
Tafsir Perjanjian Baru I
Ada dua karakteristik dosa dalam bagian ini yang muncul secara konsisten di Surat
Roma.
(1) Dosa dalam bentuk tunggal. Dari pemunculan 64 kali, 42 di antaranya ditemukan
di 5:12-8:13 dalam bentuk tunggal.
(2) Dosa sebagai sesuatu yang aktif: dosa masuk ke dalam dunia (ayat 12),
memerintah (ayat 5:20; juga 6:13, 14), ditaati (6:16-17), memberikan upah (6:23),
menggunakan kesempatan (7:8, 11), menipu dan membunuh (7:11, 13). Hal ini
merupakan gaya bahasa personifikasi.
Pernyataan Paulus bahwa dosa masuk ke dalam dunia melalui satu orang dan melalui
dosa maut juga menyebar ke semua orang merupakan kebenaran yang juga diyakini
oleh orang Yahudi (Kej 2-3). Maut di sini sebaiknya dimengerti sebagai kematian
fisik dan spiritual. Kematian fisik merupakan manifestasi eksternal, sedangkan
kematian spiritual merupakan manifestasi internal, tetapi keduanya berujung pada
kematian kekal.
Isu utama dalam ayat 12 adalah arti “semua berdosa”. Apakah semua orang berdosa
pada dirinya sendiri? Hanya meniru dosa Adam? Atau ada relasi khusus antara dosa
Adam dan keberdosaan semua manusia? Ayat 18-19 jelas menunjukkan adanya
kaitan antara dosa Adam dan dosa semua orang. Kaitan ini lebih daripada sekadar
proses imitasi. Beberapa sarjana melihat kaitan dosa Adam dan keberdosaan semua
manusia pada tahap kerusakan natur saja. Natur manusia yang sudah rusak akibat
dosa menyebabkan manusia pada akhirnya juga berdosa. Dosa Adam bukanlah
penyebab langsung dari keberdosaan manusia. Pandangan ini memiliki sisi-sisi
kebenaran tertentu, tetapi belum cukup untuk menggambarkan pandangan Paulus di
ayat 12-21. Pembahasan di ayat 12-21 langsung mengaitkan dosa Adam dengan
kematian/penghukuman semua orang. Dosa Adam identik dengan dosa semua
manusia, karena semua manusia telah berdosa di dalam dan dengan Adam. Dasar
argumentasi ini berakar pada konsep Yahudi tentang corporate solidarity: apa yang
dilakukan satu orang mempengaruhi kelompok yang diwakilinya, begitu juga
sebaliknya (bdk. Yos 7). Dengan kata lain, dosa Adam mempengaruhi status dan
natur keberdosaan semua manusia.
Di ayat 13-14 Paulus tidak melanjutkan kalimat perbandingan di awal ayat 12.
Sebaliknya, ia memberikan penjelasan tentang universalitas dosa, bahkan sebelum
jaman Musa. Topik ini akan dibahas lagi di ayat 20-21. Mengapa Paulus tidak
melanjutkan kalimat perbandingan di ayat 12, sebaliknya ia menyinggung masalah
Taurat? Paulus tampaknya mengantisipasi pertanyaan yang mungkin muncul dalam
relasi antara dosa dan Taurat. Ia sebelumnya telah menjelaskan bahwa orang
mengenal dosa melalui Taurat (3:19-20) dan tanpa Taurat tidak akan ada pelanggaran
(4:15). Dua teks di atas bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa sebelum Taurat
dosa tidak ada. Untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahpahaman orang Yahudi
tentang relasi tersebut, Paulus menjelaskan tiga kebenaran yang saling terkait:
(1) Sebelum Taurat diberikan melalui Musa, dosa telah menguasai semua manusia
(ayat 13a).
(2) Tanpa Taurat dosa tidak akan diperhitungkan (ayat 13b). Kata dasar evlloge,w
dalam PB hanya muncul di ayat 13, 14 dan Fil 1:18. Kata ini tidak muncul sama
85
Tafsir Perjanjian Baru I
sekali di LXX. evlloge,w diambil dari istilah perdagangan yang merujuk pada
tindakan yang spesifik dan teliti dalam pembukuan. Berdasarkan arti ini, ayat 13b
tidak mengajarkan bahwa dosa baru dianggap dosa setelah Taurat. Sebaliknya,
ayat ini mengajarkan bahwa dosa baru bisa diperhitungkan secara detail dan
eksplisit pada setiap orang ketika seseorang secara sadar dan tahu telah melanggar
suatu perintah khusus. Pendeknya, eksistensi Taurat merupakan tolak ukur
tingkah laku manusia dan justifikasi hukuman Allah atas dosa manusia, tetapi hal
itu tidak berarti bahwa sebelum Taurat tidak ada dosa.
(3) Maut telah menguasai manusia sebelum ada Taurat (ayat 14). Ayat ini berfungsi
sebagai bukti/argumentasi bagi ayat 13a (eksistensi maut sebagai upah dosa [Kej
2:17; Rom 3:23] membuktikan eksistensi dosa) sekaligus antisipasi terhadap
kesalahpahaman yang mungkin timbul dari ayat 13b (tidak diperhitungkan tidak
berarti tidak dihukum). Untuk mempertegas hal tersebut Paulus menjelaskan
bahwa maut juga memerintah atas mereka yang berdosa dengan cara yang
berbeda dengan Adam. Frase ini berguna untuk menunjukkan bahwa orang lain
yang tidak mendapat perintah langsung dari Allah seperti Adam (bdk. Kej 2:17-
18) juga menerima hukuman atas dosa mereka.
Ayat 15-17.
Frase “Adam --- yang adalah gambaran Dia yang akan datang” di bagian akhir ayat
14 merupakan transisi bagi ayat 15-17. Ayat 15-17 lebih tepat disebut sebagai kontras
daripada komparasi. Ungkapan “tidak seperti” dan “lebih lagi” di ayat 15-17
mengindikasikan superioritas Kristus atas Adam.
Inti kontras terletak pada hasil tindakan Adam dan Kristus: anugerah Allah sebagai
hasil ketaatan Kristus tidak sebanding dengan maut sebagai hasil ketidaktaatan Adam
(ayat 15). Di ayat 16-17 Paulus selanjutnya menjelaskan mengapa anugerah Allah
tidak berimbangan dengan maut.
(1) Tindakan Adam menghasilkan sesuatu yang negatif (penghukuman), sedangkan
tindakan Kristus menghasilkan yang positif (pembenaran). Lihat ayat 16.
(2) Jumlah dosa yang diperhitungkan dalam penghukuman adalah satu (dosa Adam),
sedangkan pembenaran Kristus mencakup akumulasi dosa seluruh masa. Lihat
ayat 16.
(3) Hasil tindakan Kristus (hidup) telah membalikkan hasil tindakan Adam (maut).
Lihat ayat 17.
Poin yang ingin disampaikan Paulus dalam bagian ini adalah sebagaimana maut
merupakan kepastian bagi mereka yang berada dalam Adam, terlebih lagi
pembenaran merupakan sesuatu yang pasti bagi mereka yang berada dalam Kristus
(bdk. ayat 1-11).
Ayat 18-19.
Pada bagian ini Paulus baru melanjutkan ide perbandingan di awal ayat 12. Ayat 18-
19 bisa disebut sebagai inti atau rangkuman dari ayat 12-17. Isu utama dalam bagian
ini terletak pada aplikasi jangkauan pembenaran. Bagian ini tampaknya mengajarkan
universalitas pembenaran Kristus (bdk. “semua orang” di ayat 18-19). Jika
pembenaran memang universal, hal itu akan berkontradiksi dengan pernyataan Paulus
86
Tafsir Perjanjian Baru I
di tempat lain yang mengajarkan bahwa pembenaran hanya atas mereka yang
beriman. Sebaliknya, jika pembenaran bersifat eksklusif (terbatas), komparasi antara
hasil tindakan Adam dan Kristus tidak bersifat paralel. Mengapa hasil tindakan Adam
(maut) bersifat universal, sedangkan tindakan Kristus tidak?
Terkait dengan pertanyaan kedua, ada beberapa alternatif yang telah diusulkan.
(1) Ayat 18-19 memang mengajarkan universalisme.
(2) Pembenaran Kristus memang untuk semua orang, tetapi hanya dalam batas
tawaran atau kuasanya saja.
(3) Ayat 18-19 merupakan salah satu paradoks yang tidak mungkin dimengerti
sekarang ini.
Alternatif (1) tidak sesuai dengan teologi Paulus secara umum. Alternatif (2) terlalu
dipengaruhi pemikiran teologi sitematik, tidak sesuai dengan konteks ayat 12-21 dan
secara esensial tidak menjawab permasalahan. Alternatif (3) juga tidak memberikan
jawaban yang meyakinkan. Tanpa bermaksud menyederhanakan permasalahan ini,
ada tiga hal yang mungkin bisa dijadikan pedoman:
(1) Suatu komparasi tidak dimaksudkan sebagai perbandingan setiap detail. Ada poin
khusus (utama) yang ingin disampaikan dalam sebuah komparasi. Dalam konteks
ayat 12-21, inti perbandingan terletak pada kepastian hasil tindakan Adam dan
Kristus. Pembenaran dan pengharapan di ayat 1-11 merupakan sesuatu yang pasti,
karena dijamin karya Kristus sebagai representasi orang percaya. Ayat 12-21
tidak membahas tentang jangkauan dari dosa asal maupun memberikan penjelasan
tentang cara dosa asal ditransmisikan. Dengan kata lain, isu tentang jangkauan
hasil tindakan Adam dan Kristus sebaiknya dijawab berdasarkan konteks Alkitab
secara umum (bukan terbatas pada konteks ini).
(2) Perbedaan antara jalur “biologis” untuk transmisi dosa Adam dan jalur “iman”
untuk pembenaran Kristus tidak perlu dibesar-besarkan. Hal tersebut merupakan
suatu kewajaran, karena semua manusia tidak bisa dikaitkan dengan Kristus
secara biologis. Dalam kasus Adam, jalur iman juga tidak akan mungkin, karena
orang cenderung tidak mau menerima (mempercayai) keberdosaan mereka dalam
Adam.
(3) Penjelasan Paulus di ayat 18-19 merupakan penjelasan yang paling rasional
dibandingkan dengan alternatif lain. Kaitan antara pembenaran dan karya Kristus
hanya memberikan beberapa kemungkinan:
➢ Tidak ada kaitan sama sekali antara pembenaran dan karya Kristus.
Kemungkinan ini sangat tidak mungkin.
87
Tafsir Perjanjian Baru I
➢ Ada kaitan dan secara otomatis (semua orang dibenarkan melalui karya
Kristus, terlepas dari iman mereka). Kemungkinan ini juga sangat tidak
mungkin.
➢ Ada kaitan, tetapi secara imani. Kemungkinan ini paling konsisten dengan
ajaran seluruh PB.
Ayat 20-21.
Sebagaimana di ayat 13-14, Paulus di ayat 20-21 juga menyinggung relasi antara
Taurat dan dosa. Kategorisasi manusia ke dalam Adam dan Kristus bagi orang
Yahudi bisa menimbulkan kesan simplifikasi. Mereka pasti akan menanyakan
kedudukan mereka yang khusus dalam sejarah keselamatan, terutama berkaitan
dengan Taurat Musa. Terhadap pertanyaan ini Paulus menjawab bahwa Taurat
tidak mengubah situasi manusia yang disebabkan oleh tindakan Adam.
Sebaliknya, tujuan Taurat diberikan justru supaya pelanggaran bertambah banyak
(ayat 20a). Calvin memahami frase ini dalam konteks Taurat memberikan
pemahaman tentang dosa kepada manusia. Penjelasan ini belum mampu
menerangkan ide “semakin banyak”. Arti yang paling mungkin adalah dengan
melihat tujuan Taurat sebagai sarana untuk mengintensifkan keseriusan dosa.
Dosa menjadi semakin serius ketika Taurat diberikan, karena penerima Taurat
akan dituntut lebih. Mereka telah diberi wahyu khusus tetapi tetap melanggar,
sehingga pelanggaran mereka menjadi lebih serius.
Seperti sikap Paulus tentang Taurat di tempat lain (3:26-31), ia juga menyikapi
Taurat secara positif. Dalam kaitan dengan dosa dan penghakiman Taurat
memang tidak berguna, tetapi hal itu tidak berarti Taurat tidak memiliki manfaat
sama sekali. Keseriusan dosa yang ditunjukkan melalui Taurat justru telah
menjadi sarana untuk melihat anugerah Allah yang lebih besar daripada dosa
tersebut (ayat 20b). Kesadaran tentang keseriusan yang telah ditumbuhkan oleh
Taurat seharusnya membawa orang Yahudi semakin bisa memahami keseriusan
anugerah Allah.
Beberapa sarjana membagi pasal 6 menjadi ayat 1-11 dan 12-23. Pembagian ini
didasarkan pada perubahan mood dari indikatif (ayat 1-11) ke imperatif (ayat 12-
23). Bagaimanapun pembagian ini memiliki beberapa kelemahan:
(1) Ayat 12 jelas lebih terkait dengan bagian sebelumnya daripada sesudahnya.
88
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 1-2a.
Pertanyaan di ayat ini dikemukakan oleh Paulus untuk mengantisipasi kesalahpahaman
yang mungkin timbul dari pernyataan Paulus di 5:20 (di mana dosa bertambah banyak, di
sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah). Bahaya ini akan semakin tampak apabila
dikaitkan dengan fakta bahwa anugerah yang melimpah tersebut bahkan sudah diberikan
pada saat orang percaya dahulu hidup dalam domain Taurat yang meningkatkan
keseriusan dosa mereka. Kalau pada jaman Taurat saja anugerah Allah sudah melimpah,
apalagi sekarang ketika orang percaya hidup dalam anugerah (bdk. 5:2). Eksistensi dosa
yang banyak memang membawa pada kesadaran tentang kasih karunia Allah yang
melimpah, tetapi bukan sebaliknya. Orang percaya tidak boleh dengan sengaja
melakukan dosa yang banyak dengan tujuan bisa merasakan anugerah yang besar (bdk.
3:7-8).
Ayat 2b.
Paulus memberikan alasan bagi larangan di ayat sebelumnya. Alasan ini disampaikan
dalam bentuk pertanyaan (lit. “bagaimana kita – yang telah mati untuk dosa – akan hidup
di dalamnya?”). Alasan bagi larangan ini adalah pemisahan total dari kuasa dosa (“kita
telah mati untuk dosa”). Metafora “mati” yang dipakai di sini selain berguna untuk
menghubungkannya dengan kematian Kristus (ayat 4-5) juga untuk menggambarkan
pemisahan yang total. Penekanan pada ide kematian total juga terlihat dari rujukan
tentang penguburan Yesus di ayat 4a (yang sebenarnya hanya berfungsi untuk
menekankan kesungguhan kematian) dan frase “sekali untuk selamanya” di ayat 10.
Ayat 3-5.
89
Tafsir Perjanjian Baru I
Bagian ini memberikan penjelasan bagaimana kematian untuk dosa di ayat 2b terjadi.
Kematian tersebut terkait dengan sakramen baptisan sebagai simbol pertobatan. Paulus di
ayat ini menjelaskan sesuatu yang sudah dimengerti dengan baik oleh jemaat Roma (bdk.
“apakah kamu tidak tahu?”) bahwa baptisan merupakan tanda pertobatan, sedangkan
pertobatan sendiri merupakan titik balik orang percaya mati untuk dosa. Paulus sedang
menerangkan relasi antara baptisan orang percaya dengan karya Kristus Yesus. Baptisan
– sebagai tanda pertobatan – merupakan sarana (bdk. dia. tou/ bapti,smatoj = “melalui
baptisan” di ayat 4) orang percaya berada dalam persekutuan dengan karya Kristus:
kematian, penguburan dan kebangkitan. Persekutuan ini dimungkinkan karena adanya
persekutuan yang lebih mendasar seperti telah dijelaskan oleh Paulus di 5:12-21.
Kebenaran di atas bukan hanya dalam batas analogi (ilustrasi), tetapi benar-benar
melibatkan partisipasi. Pertobatan orang percaya – yang ditunjukkan melalui baptisan –
membuat mereka mengalami kuasa penebusan Kristus (bdk. Fil 3:10-11). Dengan
demikian, kematian dan kebangkitan Yesus bukan hanya memberikan keteladanan, tetapi,
lebih jauh daripada itu, memberikan kuasa yang menghidupkan orang berdosa ke dalam
hidup yang baru, yang tidak dikuasai oleh dosa.
Ayat 6-7.
Bagian ini menjelaskan bagian pertama dari persekutuan dengan karya Kristus, yaitu
kematian. Frase “manusia lama” di sini tidak merujuk pada natur keberdosaan (bdk. Ef
4:22-24; Kol 3:9-11). Natur keberdosaan tetap ada dalam diri orang percaya. “Manusia
lama” merujuk pada seluruh eksistensi seseorang dalam arti relasional: semua manusia
dalam relasi dengan Adam yang dikuasai oleh kuasa dosa (5:12-21). Penyaliban manusia
lama ini bertujuan untuk menghilangkan kuasa tubuh dosa (i[na katarghqh/| to. sw/ma th/j
a`marti,aj). Kata sw/ma di sini merujuk pada seluruh hidup seseorang (bdk. ayat 12-13),
sehingga to. sw/ma th/j a`marti,aj merujuk pada seluruh eksistensi manusia dalam
kejatuhannya dalam Adam. Eksistensi tersebut sebelumnya dikuasai oleh dosa dalam
seluruh aspeknya (bdk. 3:10-19). Tujuan akhir dari hal ini adalah supaya orang percaya
tidak lagi melayani (douleu,ein) dosa. Ayat 7 merupakan kebenaran umum (maxim) yang
menjelaskan (bdk. ga.r) hubungan antara kematian dan kebebasan. Seseorang yang sudah
mati akan terbebas dari semua hal yang mengikatnya. Hal ini juga terlihat dalam tulisan
rabi Yahudi “ketika seorang mati ia terbebas dari tuntutan memenuhi Taurat”. Orang
percaya yang sudah mati dalam Kristus akan dibebaskan dari ikatan dosa yang
sebelumnya menguasainya.
Ayat 8-10.
Bagian ini menjelaskan bagian kedua dari persekutuan dengan karya Kristus, yaitu
kebangkitan. Sebagaimana kematian dan kebangkitan Kristus merupakan peristiwa yang
tidak terpisahkan, demikian juga persekutuan orang percaya dalam karya tersebut. Orang
percaya yang sudah mati dalam Kristus pasti akan hidup dengan Dia. Bentuk future “akan
hidup” memang sedikit banyak merujuk pada peristiwa eskhatologis (pada waktu orang
percaya meninggal atau saat parousia), tetapi hal itu sudah dinikmati pada kehidupan
sekarang (ayat 4b, 11, 13). Kepercayaan pada konsekuensi ini didasarkan pada
pemahaman (bdk. participle eivdo,tej = “karena kita tahu”) bahwa Kristus – setelah
dibangkitkan – tidak mati lagi. Maut tidak berkuasa lagi atas-Nya. Kristus adalah yang
sulung dari orang-orang yang bangkit (1Kor 15:23). Sebagaimana Kristus menang atas
90
Tafsir Perjanjian Baru I
semua kekuatan ‘era yang lama’ (dosa, Taurat dan maut), demikian juga orang percaya
yang dipersekutukan dengan kebangkitan Kristus akan tetap hidup. Ayat 10 menegaskan
bagian terakhir dari ayat 9 “maut tidak berkuasa lagi atas-Nya”. Kristus hanya mati satu
kali untuk selamanya dan setelah itu Ia hidup untuk Allah. Hal ini menunjukkan
kemenangan sekaligus pemisahan total dari kematian.
Ayat 11.
Kata ou[twj (“dengan cara [yang sama] ini”) mengindikasikan ayat ini sebagai
rangkuman dari apa yang sudah dijelaskan di ayat 2b-10. Sebagaimana Kristus mati
untuk dosa (ayat 10), demikian juga orang percaya yang mati dengan Kristus harus
mempertimbangkan (logi,zomai) diri mereka sebagai orang yang telah mati untuk dosa
(ayat 4a, 5a, 6, 8a). Sebagaimana kematian Kristus terjadi satu kali dan selanjutnya
diikuti oleh kebangkitan dan hidup untuk melayani Allah (ayat 10), demikian juga orang
percaya berpartisipasi dalam kehidupan yang dibangkitkan (ayat 4b, 5b, 8b). Jadi, logika
pemikiran di ayat 2b-10 dapat digambarkan sebagai berikut:
Kristus telah mati untuk dosa sekali dan hidup terus-menerus bagi Allah
Orang percaya - melalui baptisan-pertobatan – bersekutu dengan karya Kristus
Karena itu, orang percaya juga mati untuk dosa sekali dan hidup untuk Allah
Bentuk present pada kata kerja imperatif logi,zesqe (“pertimbangkanlah”) menyiratkan
bahwa konsep ini harus terus-menerus dimiliki oleh orang percaya.
Ayat 12-13.
Paulus pada bagian ini menarik dua konsekuensi dari seluruh pembahasan ayat 2b-10
yang telah dirangkum di ayat 10. Konsekuensi ini diutarakan dalam bentuk negatif (ayat
12-13a) dan positif (ayat 13b).
1. Tidak membiarkan dosa menguasai dalam tubuh yang fana (ayat 12).
Kata “menguasai” (basileu,w) di sini bisa berarti menguasai atau menjadi seperti
raja (1Kor 4:8). Kata “tubuh” (sw/ma) bisa berarti “tubuh secara fisik”. Hal ini
didukung oleh kata “fana” (ayat 12), “hawa nafsu” (ayat 12) dan “anggota-anggota”
(ayat 13a). Bagaimanapun, sw/ma di sini tampaknya lebih merujuk pada seluruh
eksistensi seseorang. Pertama, kata “tubuhmu” sinonim dengan “dirimu” (ayat 13b).
Kedua, pengaruh dosa bukan hanya pada aspek fisik, tetapi juga seluruh eksistensi
manusia. Ketiga, interpretasi ini konsisten dengan arti sw/ma di ayat 6. Penambahan
kata sifat qnhto,j (fana) pada kata sw/ma mengindikasikan kelemahan dan
ketidaksempurnaan yang menjadi ciri khas era yang lama (bdk. 8:11; 1Kor 15:53, 54;
2Kor 4:11; 5:4). Kehidupan orang percaya memang tidak lagi “tubuh dosa” (6:6)
maupun “tubuh kematian” (7:24), tetapi masih tetap “tubuh fana”. Hal ini akan
berubah pada waktu orang percaya ditebus secara penuh (8:23; bdk. 1Kor 15:53).
Tujuan dari tindakan di atas adalah supaya orang percaya tidak mengikuti
keinginannya. Kata evpiqumi,a bisa berarti netral (“keinginan”, Fil 1:23; 1Tes 2:17),
tetapi dalam konteks ini artinya lebih negatif (“hawa nafsu”, 1:24; 7:7, 8; 13:14; Gal
5:16, 24; Ef 2:3; 4:22). Mengingat sw/ma di bagian awal berarti seluruh eksistensi
manusia, hawa nafsu di sini tidak boleh dibatasi pada keinginan fisik saja. Kata ini
mencakup pikiran dan keinginan hati yang berdosa (bdk. 7:7-8).
2. Tidak menyerahkan anggota-anggota tubuh sebagai senjata ketidakbenaran (ayat
13a).
91
Tafsir Perjanjian Baru I
Istilah “anggota-anggota tubuh” tidak merujuk pada bagian fisik tubuh. Paulus
memakai ungkapan ini sebagai rujukan pada kapasitas natural manusia (bdk. 7:5, 23).
Istilah pari,sthmi (LAI:TB “menyerahkan”) seharusnya diartikan secara lebih aktif,
yaitu “memberikan diri dalam pelayanan kepada seseorang”. Genitif avdiki,aj pada
frase o[pla avdiki,aj sebaiknya dipahami sebagai objective genitive, sehingga frase ini
diterjemahkan “senjata-senjata untuk tujuan ketidakbenaran”. Dosa sudah tidak
menjadi tuan lagi, sehingga tidak perlu dilayani.
3. Menyerahkan diri kepada Allah sebagai senjata kebenaran (ayat 13b).
Secara positif orang percaya harus menyerahkan diri kepada Allah dan menyerahkan
anggota-anggota tubuh menjadi senjata kebenaran. Dasar untuk dua hal ini adalah
karena orang percaya sudah dihidupkan dari antara orang-orang mati. Hal ini
sekaligus juga sebagai syarat untuk mampu melakukan konsekuensi di ayat 12-13.
Ayat 14.
Bentuk imperatif di ayat 12-13 diikuti oleh indikatif di ayat ini. Kata sambung ga.r
(“sebab”) menerangkan alasan atau dasar bagi perintah di bagian sebelumnya. Pernyataan
“sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa” bukan sebuah perintah (kontra
Fitzmyer), janji (kontra Lloyd-Jones) maupun janji bersyarat (kontra Dodd). Hal ini
merupakan dasar (jaminan) bagi orang percaya. Terlepas dari kekuatiran terhadap “tubuh
fana” yang masih bisa dipengaruhi oleh dosa, ada jaminan yang memampukan orang
percaya tetap optimis. Mereka memang masih mungkin jatuh ke dalam dosa, tetapi
mereka tidak mungkin hidup dikuasai dosa lagi.
Kata ga.r kedua dalam ayat ini menjelaskan mengapa orang percaya tidak akan dikuasai
dosa lagi, yaitu karena mereka tidak hidup lagi di bawah Taurat, tetapi di bawah kasih
karunia. Kontras antara no,moj dan ca,rij di sini mewakili dua realitas: era lama dan baru.
Taurat memiliki fungsi menghasilkan dan mengintensifkan dosa (3:20; 4:15; 5:13-14;
bdk. 1Kor 15:56). Kecuali seseorang dibebaskan dari situasi ini, ia selamanya akan
terkungkung dalam dosa. Frase ini secara esensial terkait dengan 5:20-21 (“hubungan
antara Taurat dan kasih karunia”) dan membentuk inclusio dengan 6:1. Jadi, pertanyaan
“apakah kita bertekun dalam dosa karena kita hidup dalam kasih karunia?” (ayat 1)
dijawab Paulus dengan “Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu
tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (ayat 14).
92
Tafsir Perjanjian Baru I
Apa yang disampaikan Paulus di ayat 15-23 (juga 1-14) bisa menjadi respon yang
seimbang terhadap bahaya legalisme (yang terlalu mengikat orang dengan Taurat) dan
antinomianisme (yang menolak semua keterikatan moral). Orang percaya tidak terikat
dengan Taurat lagi (dalam arti kutuk Taurat dan tuntutan Taurat untuk keselamatan),
namun hal ini tidak berarti bahwa mereka bebas berbuat semau mereka. Pada saat orang
percaya dibebaskan dari perbudakan dosa, mereka pada saat yang sama menjadi budak
Allah. Inti pemikiran ini bersumber dari konteks penjualan budak yang berkembang
waktu itu. Sesuai aturan perdagangan budak waktu itu, ada dua kondisi (persyaratan)
yang memungkinkan seorang budak bebas dari kuasa tuannya:
(1) Jika budak tersebut dibeli oleh tuan lain.
(2) Jika budak tersebut meninggal dunia.
Dua ide ada dalam pikiran Paulus ketika ia memakai metafora dari dunia perbudakan.
Orang percaya telah mati untuk dosa dan itu berarti pembebasan dari budak dosa.
Mengingat pembebasan ini dilakukan oleh Allah, mereka sekarang menjadi budak Allah.
Struktur bagian ini adalah sebagai berikut:
Pertanyaan: apakah kita berbuat dosa karena di bawah kasih karunia? TIDAK! (ayat 15)
Argumentasi: (ayat 16-18).
Konsekuensi dosa: perhambaan dosa menuju pada kematian (ayat 16)
Dasar: orang percaya adalah hamba kebenaran (ayat 17-18)
Konsekuensi: menyerahkan anggota-anggota tubuh kepada kebenaran (ayat 19)
Alasan bagi konsekuensi: orang percaya adalah hamba kebenaran (ayat 20-23)
Ayat 15.
Bagian ini merupakan antisipasi terhadap kesalahpahaman yang mungkin timbul dari cara
berpikir Yahudi. Jika orang percaya tidak lagi berada di bawah Taurat (yang dipahami
orang Yahudi sebagai satu-satunya pedoman hidup sebelum adanya PB), maka hal ini
memberikan kesempatan untuk berbuat dosa. Pertanyaan retorik di sini memiliki banyak
kesamaan dengan ayat 1: dimulai dengan Ti, ou=n; isinya berkisar masalah kasih
karunia; jawaban tegas mh. ge,noito; diikuti penjelasan panjang di ayat 2-14 dan 16-23.
Ayat 16.
Bagian ini merupakan argumentasi pertama bagi jawaban mh. ge,noito di ayat 15. Paulus
memfokuskan pada konsekuensi kesalahpahaman di ayat 15. Frase “tidakkah kamu tahu”
(ouvk oi;date) menyiratkan bahwa jemaat di Roma sebenarnya sudah mengetahui apa
yang disampaikan di ayat ini. Paulus mungkin merujuk pada kultur perbudakan waktu
itu: orang-orang menyerahkan diri sebagai budak dengan pertimbangan finansial.
Keputusan ini membawa konsekuensi, yaitu ketaatan mutlak pada yang objek penyerahan
dirinya. Kemungkinan lain adalah Paulus sedang memikirkan proses kebalikannya:
kebiasaan menaati seseorang menjadikan orang yang menaati tersebut sebagai budak.
Struktur kalimat dan konteks ayat 15-23 tampaknya lebih mendukung kemungkinan
terakhir.
Alkitab secara konsisten hanya memberi dua pilihan: dosa atau ketaatan. Tidak ada
kehidupan manusia yang netral. Orang yang terus-menerus menyerahkan diri (bdk.
bentuk present pari,sthmi) kepada dosa untuk menaatinya adalah hamba dosa. Yoh 8:34
“sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa”. Perhambaan dosa
93
Tafsir Perjanjian Baru I
bukan hanya masalah legal, tetapi juga masalah praktek hidup. Orang percaya memang
sudah dibebaskan dari perhambaan dosa secara legal dan subjektif melalui persekutuan
dengan kematian-kebangkitan Kristus (ayat 1-14), tetapi dalam praktek hidup sehari-hari
orang percaya tetap harus bergumul untuk tidak lagi hidup seperti hamba dosa.
Konsekuensi perbuatan dosa bukan hanya pada fakta perhambaan saja (kehilangan
kebebasan), tetapi juga pada akibat (lihat dua eivj dalam ayat ini) yang ditimbulkan dari
ketaatan tersebut. Orang yang terus berbuat dosa akan mengalami kematian. qa,natoj di
sini sangat mungkin merujuk pada kematian kekal. Kematian ini pasti melibatkan
kematian spiritual di masa kini dan kematian fisik, tetapi penekanan terletak pada
kematian kekal.
Ayat 17-18.
Argumentasi dalam bagian ini lebih difokuskan pada fakta yang telah terjadi. Ekspresi
ca,rij de. tw/| qew/| (“syukur kepada Allah”) dan bentuk tense imperfect h=te (“adalah”)
pada kalimat “kamu [dahulu] adalah hamba dosa” menunjukkan bahwa orang percaya di
Roma tidak berada dalam perhambaan dosa yang mengakibatkan kematian kekal.
Sebaliknya, Paulus menggambarkan situasi orang percaya dengan dua kata kerja indikatif
aorist di ayat 17 dan 18.
1. Mereka telah menaati pola pengajaran (ayat 17).
Bentuk aorist u`phkou,sate (“telah menaati”) kemungkinan merujuk pada waktu
pertobatan. Yang menarik dalam ayat 17 adalah kata paredo,qhte (“diteruskan”).
Objek dalam bentuk orang kedua jamak pasif pada kata paredo,qhte bukanlah pola
pengajaran, tetapi jemaat di Roma. Mengikuti mayoritas EV’s, ayat 17b seharusnya
diterjemahkan “tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran
yang kepadanya kamu telah diteruskan” (kontra LAI:TB “pengajaran yang telah
diteruskan kepadamu”). Paulus biasanya menjadikan pengajaran (tradisi Kristen)
sebagai objek kata kerja pasif paradi,dwmi (1Kor 11:2, 23; 15:3), tetapi di sini ia
secara sengaja menjadikan penerima surat sebagai objek. Paulus ingin menyampaikan
sesuatu: menjadi orang Kristen berarti diletakkan dibawah otoritas tradisi pengajaran.
Ketaatan kepada pengajaran merupakan karakteristik orang Kristen.
2. Mereka telah dijadikan hamba kebenaran (ayat 18).
Ayat 18 seharusnya diterjemahkan “dan ketika dibebaskan (participle
evleuqerwqe,ntej) dari dosa, kamu dijadikan hamba kebenaran” (mayoritas EV’s;
kontra NIV dan LAI:TB). Pernyataan ini merupakan suatu paradoks yang bersumber
dari konsep penjualan budak waktu itu. Seorang budak yang dibeli akan bebas dari
tuannya, tetapi pada saat yang sama ia dijadikan budak orang yang membelinya.
Ayat 19.
Frase “Aku mengatakan hal ini secara manusia karena kelemahan kamu” (ayat 19a)
merupakan break yang menjelaskan metafora perbudakan di ayat 18 atau 19. h`
avsqe,neia th/j sarko.j (lit. “kelemahan daging”) mungkin menunjukkan ketidakpekaan
terhadap hal-hal spiritual, sehubungan dengan natur keberdosaan mereka. Kelemahan ini
terkait dengan segi kognitif. Dengan kata lain, penggunaan metafora perbudakan dipakai
Paulus untuk mempermudah pemahaman mereka. Frase di atas tidak dimaksudkan
terutama sebagai teguran, tetapi sebagai penjelasan mengapa Paulus menggunakan
94
Tafsir Perjanjian Baru I
metafora perbudakan. Metafora ini bisa menimbulkan kesan degradasi diri, ketakutan
yang berlebih, eksploitasi, dll., yang merupakan ciri khas orang yang hidup dalam
perbudakan. Hal ini tidak berarti bahwa Paulus ‘menyesal’ dengan metafora yang telah
dipakai, karena dalam ayat 19 dan 22 ia kembali meneruskan metafora ini. Paulus hanya
ingin meminimalisasi kesan negatif yang mungkin muncul. Poin analogi yang ingin
diambil Paulus terletak pada ketaatan mutlak seorang budak (tidak termasuk perasaan
takut, tereksploitasi, dsb) dan otoritas penuh dari tuan.
Perintah dalam ayat ini mirip dengan ayat 13. Sebagaimana mereka dulu menyerahkan
hidup sebagai hamba kecemaran dan kefasikan, demikian juga – dengan semangat yang
sama – mereka harus menyerahkan diri sebagai hamba ketaatan (bdk. w[sper...ou[twj =
“sebagaimana...dengan cara yang sama”). Perbandingan ini menunjukkan dedikasi yang
penuh dan terus meningkat. Ide peningkatan disiratkan dalam gaya retoris th/| avnomi,a|
eivj th.n avnomi,an yang dipakai untuk menggambarkan kehidupan yang lama (bdk. RSV
“to greater and greater iniquity”; NIV “to ever-increasing wickedness”; NASB “to
lawlessness, resulting in further lawlessness”). Demikian juga dalam kehidupan Kristiani.
Menyerahkan diri sebagai hamba kebenaran akan membawa pada pengudusan. Akhiran
moj pada suatu kata benda biasanya menyiratkan kualitas aktif dari kata benda tersebut,
sehingga a`giasmo,j di sini sebaiknya dimengerti sebagai proses menjadi kudus (bdk.
1Tes 4:3, 4, 7; 1Tim 2:15). Semakin orang percaya menyerahkan diri mereka untuk
menaati kebenaran, mereka akan menjadi semakin kudus.
Ayat 20-23.
Bagian ini memberikan dasar atau alasan bagi perintah di ayat 19 (bdk. ga.r di awal ayat
20). Secara esensial pemikiran Paulus di sini sama dengan di ayat 17-28, namun
argumentasi di ayat 20-23 jauh lebih lengkap, karena menggabungkan ide di ayat 17-18
dan 19. Penekanan Paulus terletak pada hasil (buah) dari dua macam kehidupan tersebut
(ayat 21-23; bdk. ayat 19). Di ayat 20-23 Paulus membuat kontras antara kehidupan lama
dalam perbudakan dosa (ayat 20-21) dan kehidupan baru dalam pelayanan kepada Allah
(ayat 22-23). Kontras ini terlihat dari ayat 20a “waktu kamu hamba dosa” dan ayat 22a
“tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa”.
95
Tafsir Perjanjian Baru I
memiliki kemampuan untuk memilih dan melakukan yang benar, karena semua
berada di bawah dosa (3:9). Dalam istilah teologi, kebebasan yang dimiliki mereka
hanyalah kebebasan untuk berbuat dosa. Kebebasan semacam ini hanyalah kebebasan
yang semu, karena mereka justru terikat dengan dosa yang mereka lakukan.
3. Hanya menghasilkan rasa malu (ayat 21a).
Ada dua macam kemungkinan penerjemahan ayat 21. Inti permasalahan terletak
pada peletakan tanda tanya: setelah kata to,te atau evpaiscu,nesqe.
(1) “Karena itu, buah apakah yang lalu kamu miliki, yang sekarang kamu merasa
malu? Karena akhir dari semuanya ini adalah maut” (mayoritas EV’s; UBS 3).
(2) “Karena itu, buah apakah yang lalu kamu miliki? Itu adalah atasnya kamu
sekarang merasa malu. Karena akhir dari semuanya ini adalah maut” (NEB, NJB,
UBS4 dan NA27).
Alternatif terakhir tampaknya lebih tepat, karena terjemahan (2) memberikan
pernyataan yang eksplisit tentang buah hidup dalam dosa, yaitu rasa malu. Hal ini
akan membuat kontras yang ideal dengan hasil hidup dalam Allah di ayat 22, yaitu
pengudusan. Setelah mengenal prinsip kekristenan, jemaat di Roma melihat balik ke
kehidupan mereka yang lama dan menemukan bahwa buah dari kehidupan tersebut
hanyalah kefasikan yang - dalam terang Firman Tuhan – hanya menghasilkan rasa
malu. Perasaan malu (bukan bangga) terhadap dosa ini seharusnya menjadi ciri orang
Kristen yang sejati.
4. Berakibat pada kematian (ayat 21b).
Seperti bagian sebelumnya, Paulus kembali mengingatkan akibat akhir dari
kehidupan dalam dosa, yaitu kematian kekal.
Ayat 23 bukan hanya memberikan penjelasan tambahan bagi ayat 22d, tetapi juga
menjadi klimaks pembahasan di pasal 6. Kontras antara maut dan kehidupan kekal
terletak pada bagaimana dua hal tersebut dicapai. Maut adalah upah (ovyw,nion),
sedangkan kehidupan kekal adalah pemberian (ca,risma) Allah. Maut adalah sesuatu yang
diusahakan oleh manusia (manusia layak menerimanya sebagai hasil usaha mereka),
sedangkan kehidupan kekal adalah murni pemberian Allah (manusia sebenarnya tidak
layak menerimanya). Kata ovyw,nion bisa dipakai untuk pembayaran uang dalam segala
sisi kehidupan, tetapi kata ini biasanya digunakan secara khusus untuk pembayaran upah
pada tentara (LS). Arti ini juga didukung oleh LXX (1Esdras 4:56; 1Mak 3:28; 14:32)
dan PB (Luk 3:14; 1Kor 9:7). Arti ini sesuai dengan gambaran kemiliteran yang dipakai
di bagian sebelumnya (bdk. istilah “senjata-senjata” di ayat 13). Ayat 23 semakin
melengkapi kontras antara kehidupan lama dan baru: tuan (dosa → Allah), akibat (maut
→ kehidupan kekal), cara (diusahakan → cuma-cuma).
96
Tafsir Perjanjian Baru I
Dalam bagian ini Paulus membahas hubungan status pembenaran dengan Taurat. Kaitan
antara bagian ini dengan bagian-bagian sebelumnya terletak pada beberapa poin:
(1) Pasal ini merupakan elaborasi detail yang mencakup beberapa pembahasan singkat
tentang Taurat di bagian sebelumnya (3:19-20, 27-28; 4:13-15; 5:13-14, 20).
(2) Pasal 7:1-6 membentuk paralelisme yang kuat dengan 6:15-23.
Pasal 6:15-23 mati untuk dosa → bebas dari dosa → dosa tidak menguasai lagi
Pasal 7:1-6 mati untuk Taurat → bebas dari Taurat → Taurat tidak menguasai lagi
(3) Pasal ini terkait dengan pernyataan Paulus di 6:14 dan 15 (tidak di bawah Taurat
berarti kesempatan untuk berbuat dosa?). Dengan kata lain, kalau di 6:15-23 Paulus
lebih memfokuskan pada sisi dosanya, sekarang ia memfokuskan pada Taurat. Ia
ingin menjelaskan secara panjang lebar arti “tidak hidup di bawah Taurat”.
Ayat 1.
Ungkapan “apakah kamu tidak tahu” ("H avgnoei/te) mengindikasikan bahwa isi
pernyataan Paulus sudah dimengerti oleh penerima surat. Ia hanya memakai prinsip
umum pada waktu itu. Beberapa sarjana menganggap o` no,moj di sini sebagai hukum
Romawi, hukum secara umum atau hukum Taurat. Ada beberapa alasan untuk
mengambil alternatif terakhir:
(1) Penggunaan no,moj di bagian-bagian sebelumnya merujuk pada Taurat.
(2) Pasal 7 merupakan elaborasi pertanyaan di 6:15, sedangkan no,moj di 6:15 merujuk
pada Taurat.
97
Tafsir Perjanjian Baru I
(3) Inti 7:1 paralel dengan beberapa tulisan para rabi (meskipun pentarikhan tulisan-
tulisan tersebut agak terlambat), misalnya b. Shabb. 30a, Shabb. 151b bar, Str-B,
3.232, yang menyatakan bahwa jika seseorang mati, ia bebas dari ikatan Taurat.
(4) Contoh hukum perkawinan di ayat 2-3 lebih bernuansa Yahudi (Taurat), misalnya
ungkapan “seorang istri” (lit. “seorang wanita yang berada di bawah suami” (h`
u[pandroj gunh., bdk. Bil 5:29).
Bagaimanapun, rujukan pada Taurat ini tidak berarti bahwa Paulus hanya menujukan
pasal 7 kepada jemaat Yahudi. Mereka yang berkultur non-Yahudi pasti juga sudah
memahami hal ini, karena yang disampaikan Paulus sifatnya sangat umum.
Ayat 2-3.
Untuk memperjelas poin yang ingin disampaikan, Paulus memberikan satu contoh
aplikasi dari prinsip umum di ayat 1. Ia memakai hukum perkawinan: seorang istri terikat
pada hukum perkawinan hanya selama suaminya hidup; jika suaminya meninggal, ia
bebas dari ikatan perkawinan dan bebas memilih laki-laki lain sebagai suami.
Implikasinya, jika seorang istri menikah lagi sebelum suaminya meninggal, ia telah
berbuat zinah. Poin yang ingin disampaikan Paulus sebenarnya sudah jelas, tetapi analogi
dari metafora ini dengan aplikasinya di ayat 4 tampak tidak sesuai. Dalam metafora ini
yang meninggal adalah suami dan istri boleh menikah dengan laki-laki lain. Dalam
aplikasi di ayat 4 – jika dipadankan secara detail – yang meninggal adalah istri (baca:
orang percaya) dan istri yang meninggal tersebut menjalin relasi dengan pihak lain
(Yesus Kristus). Permasalahan ini dapat dipecahkan dalam dua cara:
(1) Dari prinsip hermeneutika metafora/simbol. Suatu metafora biasanya hanya
menyampaikan satu poin utama. Dalam metafora ini intinya terletak pada kebebasan
yang dimiliki seseorang (entah itu suami atau istri) jika pasangannya meninggal.
(2) Dari rujukan ayat 4. Ayat 4 bukan hanya aplikasi dari ayat 2-3, tetapi ayat pertama
juga. Sebagaimana ayat 2-3 menjelaskan lebih lanjut tentang prinsip umum di ayat 1,
demikian juga ayat 4 merupakan aplikasi dari ayat 1-3. Asumsi ini didukung dengan
pemakaian kata sambung w[ste di ayat 4 (bukan ou[twj).
Ayat 4.
Kata sambung “sebab itu” (w[ste) menunjukkan Paulus sedang menarik konklusi atau
aplikasi dari ayat 2-3. “Mati bagi Taurat” di sini identik dengan “tidak berada di bawah
Taurat” di 6:14-15. Hal ini tidak hanya menjelaskan kebebasan dari hukuman Taurat,
tetapi – yang lebih penting - dari ‘kuasa’ Taurat sebagai representasi era lama yang
merangsang dosa. Ada dua argumentasi yang mendukung asumsi ini:
(1) Mati bagi dosa di pasal 6 – sebagai paralel dengan mati bagi Taurat – tidak
membahas kebebasan dari hukuman dosa (maut), tetapi kuasa dosa.
(2) Pasal 7:7-25 lebih memfokuskan pada hubungan antara dosa dan Taurat yang
menghasilkan dosa. Bagian ini membahas ‘akibat’ Taurat (bukan hukuman Taurat).
Orang percaya telah mati bagi Taurat, sehingga semua ikatan dengan Taurat telah
terputus. Ada tiga aspek dari kematian bagi Taurat di ayat 4:
1. Cara: melalui tubuh Kristus.
sw,ma tou/ Cristou/ di sini tidak merujuk pada gereja (bdk. 1Kor 12). Orang percaya
tidak mati bagi Taurat melalui koorperasi dengan orang percaya yang lain. sw,matoj
tou/ Cristou/ merujuk pada kematian Yesus. Persekutuan dengan kematian Kristus ini
98
Tafsir Perjanjian Baru I
sesuai dengan 6:3-5. Orang percaya memiliki relasi (persekutuan) objektif dengan apa
yang dilakukan Yesus di kayu salib (bdk. 5:12-21).
2. Konsekuensi: menjadi milik Kristus.
Struktur eivj to. + infinitif dalam ayat ini lebih mengindikasikan hasil daripada
tujuan. Setelah orang percaya mati bagi Taurat melalui penebusan Kristus, mereka
terikat dengan Yesus. Penambahan frase “kepada Dia yang dibangkitkan dari antara
orang mati” (tw/| evk nekrw/n evgerqe,nti) mengindikasikan bahwa relasi yang baru
dengan Kristus ini adalah sesuatu yang permanen (bdk. 6:9-10).
3. Tujuan: menghasilkan buah bagi Allah.
Beberapa sarjana memahami “menghasilkan buah” (karpofore,w) sebagai ungkapan
lain dari melahirkan (Barret, Sanday & Headlam, Fitzmyer), tetapi dugaan ini
memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan mendasar adalah penggunaan datif tw/|
qew/| (bagi Allah). Seandainya “menghasilkan buah” = “melahirkan” seharusnya
dipakai datif tw/| cristw/| (bagi Kristus), karena orang percaya digambarkan memiliki
ikatan dengan Kristus. karpofore,w di sini pasti merujuk pada arti buah secara umum
seperti di 6:21-22.
Ayat 5-6.
Seperti dalam 6:20-22, Paulus di 7:5-6 juga memuat kontras antara kehidupan lama dan
baru. Dalam bagian ini ia menjelaskan mengapa kematian bagi Taurat merupakan sesuatu
yang penting. Penjelasan ini tercermin dari kontras yang dipaparkan. Kata sa,rx
(“daging”) di ayat 5 tidak merujuk pada natur keberdosaan/kedagingan manusia (kontra
NIV). “Hidup di dalam daging” berarti hidup yang dikuasai oleh prinsip dan nilai
manusiawi. Paulus menggambarkan sa,rx sebagai kekuatan lain dari era lama. Tidak
heran sa,rx di pasal 7-8 selalu dikontraskan dengan Roh Kudus sebagai kekuatan dalam
kehidupan di era baru. Taurat merangsang (lit. “membangkitkan”) hawa nafsu dosa
bekerja dalam diri manusia. Taurat bukan hanya menyatakan dosa (3:20), mengubah dosa
menjadi pelanggaran (5:20), tetapi juga terlibat dalam menghasilkan dosa. Standard ilahi
yang dinyatakan dalam Taurat merangsang natur keberdosaan manusia untuk secara
sengaja melawan standard tersebut. Bentuk imperfect evnhrgei/to (“dibangkitkan”)
merujuk pada tindakan yang dilakukan terus-menerus pada masa lampau. Semua proses
ini terjadi dalam “anggota-anggota tubuh” (me,loj, bdk. 6:13, 19) – suatu frase yang
merujuk pada seluruh aspek kehidupan manusia: pikiran, perasaan, kehendak dan fisik.
Hasil dari semuanya ini adalah kematian (maut, bdk. 6:21, 23).
Berbeda dengan kehidupan lama di bawah Taurat – yang menghasilkan dosa dan
kematian (ayat 5) – kehidupan yang baru di luar Taurat membuat orang percaya sekarang
melayani dalam keadaan yang baru menurut Roh, bukan dalam keadaan yang lama dalam
huruf hukum Taurat. Ayat 6b secara literal diterjemahkan “dalam kebaruan Roh dan
kelamaan huruf”. Bentuk genitif pneu,matoj (Roh) dan gra,mmatoj (huruf) bisa berfungsi
secara epexegetical → “dalam kebaruan, [yaitu] Roh dan bukan dalam kelamaan, [yaitu]
huruf”. Genitif di ayat ini bisa juga berfungsi secara subjective “dalam kebaruan yang
dihasilkan oleh Roh dan bukan dalam kelamaan yang dihasilkan oleh huruf”. Perbedaan
makna di antara dua pilihan tersebut tidak terlalu mendasar. Isu yang lebih penting adalah
makna kontras “Roh” dan “huruf” di sini. Beberapa memahami kontras ini sebagai
“tuntutan internal versus tuntutan eksternal”, “Roh versus penggunaan Taurat secara
99
Tafsir Perjanjian Baru I
legalistik”, dsb. Berdasarkan pemakaian kontras “Roh” vs “huruf” di 2:27-29 dan 2Kor
3:6, kontras ini tampaknya antara perjanjian yang baru dengan yang lama. Interpretasi ini
didukung oleh kontras “ketika...sekarang” di ayat 5-6 dan penggunaan kontras “lama-
baru” dalam tulisan Paulus (2Kor 3:14; 5:17; Ef 4:22-24). Jadi, ayat ini mengajarkan
bahwa kematian bagi Taurat membawa orang percaya melayani Allah dalam keadaan
(era) yang baru yang berkaitan dengan Roh. Relasi antara karya Roh Kudus dan status
orang percaya dalam era yang baru akan dibahas secara lebih mendetail di pasal 8. Di
7:7-25 Paulus lebih terfokus pada penjelasan tentang bagaimana orang di luar Kristus
melayani dalam keadaan lama oleh hukum Taurat.
Dalam bagian ini (ayat 7-25) ada dua isu utama yang biasanya diperdebatkan. Pertama,
apakah identitas dan maksud Paulus menggunakan kata ganti orang “aku” di ayat 7-25?
Apakah ia sekadar menceritakan pengalaman pribadi? Mewakili manusia pada
umumnya? Inti permasalahan biasanya dikaitkan dengan arti ayat 9-10 “Dahulu aku
hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup,
sebaliknya aku mati.”. Kedua, apakah “aku” di ayat 13-25 adalah Paulus sebelum atau
sesudah bertobat? Pertanyaan kedua akan dibahas secara khusus dalam bagian
selanjutnya. Bagian ini hanya mencoba menjelaskan pertanyaan pertama.
100
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 7a.
Pernyataan Paulus di ayat 5-6 bisa menimbulkan kesan bahwa hukum Taurat bersifat
negatif (dosa). Untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahpahaman tentang hal ini
Paulus menyatakan bahwa hukum Taurat pada dirinya sendiri adalah benar dan kudus.
Pernyataan positif di atas tidak berarti bahwa tidak ada kaitan langsung antara Taurat dan
dosa.
Ayat 7b-8.
Dalam bagian ini Paulus menjelaskan ‘peranan’ Taurat dalam menghasilkan dosa. Kata
avlla. (LAI:TB “tetapi”) sebaiknya dimengerti secara restrictive “walaupun”. Taurat
bukan hanya memberitahu bahwa suatu tindakan adalah dosa (pelanggaran, 4:15; 5:13-
14), tetapi juga menyebabkan manusia ‘mengenal’ dosa. “Mengenal” di sini bukan hanya
secara kognitif, tetapi juga pengalaman. Setelah Taurat diberikan manusia menjadi
semakin memahami (merasakan langsung) keberdosaan dosa. Dosa menjadi bekerja (ayat
8) dan hidup (ayat 9-10). Pengambilan contoh dari genelarisasi perintah ke-10 bersumber
dari pemikiran Yahudi yang menganggap “keinginan” merupakan akar semua dosa
(4Mak 2:6; Yak 1:15; Philo), sehingga perintah “jangan mengingini” dianggap sebagai
rangkuman semua perintah yang ada. Paulus selanjutnya menjelaskan bagaimana
manusia bisa mengenal keberdosaan dosa dalam kaitan dengan Taurat:
1. Taurat membuat manusia paham tentang arti “mengingini” (ayat 7b).
Frase ini tidak berarti bahwa sebelum Taurat manusia tidak tahu arti keinginan. Ini
menunjukkan bahwa setelah ada Taurat manusia baru menyadari natur sesungguhnya
dari “keinginan”. Keinginan merupakan suatu kekuatan yang selalu ingin
memberontak terhadap Allah.
2. Taurat memberi kesempatan dosa untuk membangkitkan rupa-rupa keinginan (ayat
8).
Setelah perintah Allah – sebagai pedoman bagi manusia – diberikan, dosa justru
memanfaatkan hal itu untuk membangkitkan hal-hal yang bertentangan dengan
perintah tersebut. Dosa, sebagaimana digambarkan di pasal 6, adalah suatu kuasa
dalam era lama yang memang selalu berusaha membawa manusia melawan Allah.
Sebagaimana pemikiran etika umum, sebuah larangan justru memotivasi orang untuk
melanggar guna mengetahui alasan di balik pelarangan tersebut.
Ayat 9-11.
101
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 12.
Ayat ini merupakan konklusi bagi seluruh perikop atau penjelasan bagi ayat 7a. Taurat
tidak dosa. Sebaliknya, Taurat adalah kudus (karena berasal dari Allah yang kudus),
benar (tidak ada salah) dan baik (tujuannya untuk hidup manusia). Permasalahan bukan
terletak pada Taurat, tetapi pada dosa dalam diri manusia.
102
Tafsir Perjanjian Baru I
(5) Konklusi bagian ini (ayat 25b) – setelah penyebutan pelepasan oleh Tuhan Yesus
(ayat 25a) – tetap menyebut perbedaan antara akal budi (melayani hukum Allah) dan
tubuh insani (melayani hukum dosa).
Ayat 13a.
Pertanyaan di ayat ini merupakan antisipasi terhadap kemungkinan kesalahpahaman
tentang pernyataan Paulus di ayat 7-12. Kalau memang Taurat itu baik (ayat 7, 12) -
tetapi justru menghasilkan kematian – apakah itu berarti bahwa Taurat yang baik tersebut
103
Tafsir Perjanjian Baru I
menjadi kematian bagi manusia? Jawaban Paulus adalah tegas: TIDAK! Ia selanjutnya
menjelaskan jawaban ini di ayat 13b-25. Pertanyaan ini sebenarnya mirip dengan isu di
ayat 7-12, namun perbedaannya terletak pada dua hal:
(1) Ayat 7-12 lebih terfokus pada aspek eksternal antara dosa dan Taurat, sedangkan ayat
13-25 pada aspek internal antara dosa dan kedagingan manusia.
(2) Ayat 13-25 relatif lebih detail daripada penjelasan di ayat 7-12.
Ayat 13b-14.
Struktur kalimat Yunani di ayat 13b agak rancu, karena tidak memiliki kata kerja pada
induk kalimat. Secara literal (tanpa penambahan kata kerja pada induk kalimat) ayat 13b
diterjemahkan “tetapi dosa, supaya terlihat sebagai dosa, melalui yang baik mengerjakan
(participle katergazome,nh) kematian dalam aku, supaya dosa itu menjadi semakin
berdosa melalui perintah itu”. Mayoritas penerjemah atau penafsir biasanya
mengasumsikan adanya kata kerja finite stative sebelum participle katergazome,nh atau
menganggap katergazome,nh sebagai kata kerja utama. Terlepas dari alternatif tersebut,
arti kalimat ini sebenarnya sudah cukup jelas: dosa menghasilkan kematian melalui
sesuatu yang baik (Taurat). Dua anak kalimat i[na (“supaya”) + kata kerja subjunctive
menunjukkan tujuan tindakan di induk kalimat.
1. Supaya dosa dinyatakan sebagai dosa.
Melalui Taurat seseorang memahami kesalahan yang ia lakukan adalah pelanggaran
terhadap hukum Allah, karena Taurat berasal dari Allah. Suatu tindakan bukan hanya
salah secara moral, tetapi secara teologis.
2. Supaya dosa menjadi semakin berdosa.
Taurat bukan hanya menyatakan bahwa suatu tindakan dosa, tetapi Taurat juga
menjadikan dosa menjadi semakin berdosa. Frase kaqV u`perbolh.n a`martwlo.j oleh
mayoritas EV’s diterjemahkan “berdosa secara luar biasa” (ASV, NKJV) atau
“berdosa melewati ukuran” (RSV). Frase ini berarti bahwa melalui Taurat dosa telah
menjadi tindakan pemberontakan yang disengaja untuk melawan Allah (bdk. 4:15;
5:13-14; 5:20).
Ayat 14 dimulai dengan kata sambung ga.r (“sebab”) yang menerangkan ayat 13b:
bagaimana sesuatu yang baik bisa digunakan untuk mendatangkan kematian? Paulus
kembali menegaskan bahwa Taurat adalah baik. Kali ini ia memakai istilah “rohani”
(pneumatiko,j). pneumatiko,j berfungsi untuk menunjukkan asal/sumber Taurat, yaitu
dari Allah sendiri (bdk. 1Kor 10:3-4 dan tulisan para rabi yang menyatakan kitab-kitab
kanonik diucapkan oleh Roh Kudus). Selain itu, pneumatiko,j membuat kontras dengan
“aku” (evgw.) di ayat 14b. Deskripsi tentang orang yang belum bertobat:
1. Bersifat kedagingan (sa,rkino,j).
Deskripsi ini sebenarnya tidak selalu merujuk pada orang yang belum bertobat.
Paulus pernah mengaplikasikan hal ini untuk orang percaya (1Kor 3:1).
Bagaimanapun, sifat ini pasti juga dimiliki oleh orang yang tidak percaya.
Berdasarkan kontras antara kata pneumatiko,j dan sa,rkino,j di 1Kor 3:1-3, sa,rkino,j
di sini tampaknya merujuk pada manusia yang dikuasai oleh prinsip-prinsip duniawi
(kefanaan).
2. Terjual di bawah dosa (peprame,noj u`po. th.n a`marti,an).
Deskripsi ini merupakan penjelasan lanjut tentang poin sebelumnya. Orang yang
belum bertobat berada dalam situasi terjual (participle peprame,noj) di bawah dosa.
104
Tafsir Perjanjian Baru I
Kata dasar pipra,skw dipakai 24 kali di LXX, 11 di antaranya merujuk pada penjualan
budak (bdk. Mat 18:25). Tense perfect yang dipakai dalam peprame,noj juga mungkin
menunjukkan keberdosaan di dalam Adam yang masih memiliki akibat sampai
sekarang. Istilah ini jelas mengindikasikan hal yang sama dengan metafora
perhambaan di pasal 6. Yang diindikasikan dalam frase ini adalah otoritas dosa atas
seseorang. Orang yang dikuasai dosa tidak memiliki keinginan lain kecuali menuruti
kehendak dosa.
Ayat 15-20.
Bagian ini merupakan penjelasan subjektif yang menerangkan akibat dari sifat
kedagingan dan situasi terjual di bawah dosa (ayat 14). Paulus memulai dengan
pernyataan “aku tidak tahu apa yang aku lakukan”. Kata “tidak tahu” (ouv ginw,skw)
lebih tepat dipahami sebagai “tidak menyetujui” (Cranfield, Moo, BAGD, bdk. KJV),
meskipun arti umum ginw,skw memang “mengetahui”. Arti ini juga didukung oleh
anak kalimat selanjutnya. Paulus melakukan apa yang justru ia benci, padahal
keinginannya melakukan yang baik. Ada pertentangan antara “keinginan” (sifatnya
positif) dan “ketidakmampuan” (sifatnya negatif). Situasi ini membuktikan dua hal:
1. Bahwa Taurat adalah baik.
Artinya, eksistensi konflik antara yang baik dan yang jahat dalam diri manusia
membuktikan bahwa Taurat adalah baik (diingini oleh elemen yang baik dalam
diri manusia).
2. Bahwa dosa begitu menguasai manusia.
Inti ayat 17-20 terletak pada eksistensi dosa yang menjadi penyebab
ketidakmampuan manusia melakukan apa yang baik (ayat 17, 20). Pernyataan ini
mirip dengan ajaran para rabi yang menyebut yeser (keinginan) yang jahat
sebagai penyebab dosa. Para rabi mengajarkan bahwa yeser tersebut harus
dilawan dengan Taurat atau yeser yang baik. Perbedaan esensial dengan teologi
Paulus terletak pada solusi untuk melawan yeser yang baik: Paulus mengajarkan
bahwa solusi hanya ada dalam Tuhan Yesus (ayat 25a). Eksistensi dosa
menyebabkan tidak ada yang baik dalam diri (“evn th/| sarki,”) Paulus. Sarx di
sini sebaiknya dipahami sebagai elemen dalam diri manusia yang sifatnya
material (sebagai kontras dengan keinginan/pikiran). Ini tidak berarti bahwa
Paulus mengadopsi dualisme Yunani yang menganggap tubuh secara fisik sebagai
kejahatan. Ini juga tidak berarti bahwa orang yang belum bertobat tidak memiliki
kebaikan sama sekali (bdk. 2:14-15). Gambar Allah dalam diri mereka tidak
hilang (Kej 9:6; Yak 3:9). Yesus pun mengakui bahwa bangsa-bangsa lain
memiliki kebaikan (Mat 5:46f; 7:11). Terjemahan LAI:TB di ayat 18b “Sebab
kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik” bisa
menimbulkan kesan kontradiktif dengan ayat 15-16, karena terjemahan tersebut
seakan-akan menyatakan bahwa kehendak yang dimiliki Paulus bukanlah
kehendak untuk melakukan apa yang baik. Ayat 18b secara literal seharusnya
diterjemahkan “sebab keinginan [itu] ada padaku, tetapi kelakuan [itu] tidak ada”.
Eksistensi dosa menyebabkan Paulus tidak mampu melakukan apa yang ia tahu
seharusnya ia lakukan.
Ayat 21-23.
105
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 24.
Situasi di ayat 14-23 membawa orang yang belum bertobat pada puncak keputusasaan.
Ungkapan “celaka” (talai,pwroj) dalam LXX dan PB biasanya dipakai untuk
kesengsaraan yang berhubungan dengan penghakiman Allah (Yes 47:11; Yer 6:7; 15:8;
20:8; 51:56; Amos 5:9; Mik 2:4; Yoel 1:15; Zef 1:15; Yak 5:1; Wah 3:17). Pertanyaan
“siapa” (bukan “apa”) di sini penting sebagai kontras terhadap konsep para rabi yang
menganggap Taurat dan yeser yang baik sebagai solusi. Kekuatan dosa yang beroperasi
dalam tubuh manusia – yang hanya membawa pada kematian (bdk. “tubuh kematian”) -
hanya bisa dibebaskan oleh Tuhan Yesus (ayat 25a).
Ayat 25a.
Ungkapan “syukur kepada Allah oleh Yesus Kristus Tuhan kita” menjelaskan solusi
yang telah disediakan. Solusi tersebut bersumber dari Allah, tetapi dikerjakan oleh Tuhan
Yesus.
Ayat 25b.
Bagian ini merupakan konklusi bagi semua pembahasan di ayat 13-25a. Pertentangan
konstan antara akal budi (dan keinginan) melawan daging yang dikuasai dosa akan terus
menjadi fenomena orang-orang yang belum bertobat. Bagi orang percaya sendiri, situasi
ini tidak perlu menjadi momok, karena Paulus sendiri sudah mengantisipasi kelepasan
dari situasi ini melalui Yesus Kristus.
106
Tafsir Perjanjian Baru I
LAI:TB membagi pasal ini menjadi 3 perikop: ayat 1-17, 18-30 dan 31-39. NIV juga
membagi menjadi 3, tetapi dengan pengaturan yang berbeda: ayat 1-17, 18-27, 28-39.
Mayoritas sarjana membagi pasal ini menjadi 4 perikop: ayat 1-11, 12-17, 18-30 dan 31-
39 (Kasemann, Cranfield, Dunn). Bagian yang masih diperdebatkan oleh beberapa
sarjana lain adalah perikop pertama. Mereka mengusulkan perikop pertama berakhir
sampai ayat 13. Mereka yang menganggap ayat 12 sebagi permulaan perikop ke-2
biasanya mendasarkan argumentasi pada penggunaan :Ara ou=n (LAI:TB “jadi”).
Bagaimanapun, ada beberapa alasan penting mengapa perikop ke-1 sebaiknya diakhiri
dengan ayat 13 (Fitzmyer, Moo):
(1) Mayoritas penggunaan :Ara ou=n dalam Surat Roma bukan terletak pada awal
perikop (5:18; 7:3, 25; 9:16, 18; 14:12, 19). Pemakaian tersebut bahkan menunjukkan
bahwa :Ara ou=n seringkali dipakai sebagai konklusi/implikasi/konsekuensi dari apa
yang sudah disampaikan sebelumnya.
(2) Ayat 12-13 masih membahas topik pertentangan daging melawan Roh yang sedang
dibahas di ayat 1-11, sedangkan ayat 14-17 tidak membicarakan tentang pertentangan
tersebut.
(3) Ayat 12-13 lebih cocok jika berfungsi sebagai konklusi/konsekuensi dari pembahasan
di ayat 1-11.
Jika argumentasi di atas diterima, struktur pasal 8 dapat dibagi sebagai berikut:
Roh yang menghidupkan (ayat 1-13)
Roh yang mengadopsi (ayat 14-17)
Jaminan di tengah penderitaan yang sementara (ayat 18-30)
Konklusi ayat 1-30 dan semua pembahasan mulai 1:18 (ayat 31-39)
Ayat 1.
Kata sambung “demikianlah” (a;ra) merangkum semua pembahasan yang ada di pasal 5-
7. Sebelumnya Paulus telah mengajarkan jaminan keselamatan (pengharapan) (5:1-11)
dan dasar objektif dari jaminan tersebut, yaitu karya penebusan Kristus (5:12-21). Ia juga
telah mempertahankan jaminan tersebut dalam kaitan dengan dosa (ps. 6) dan Taurat (ps.
7). Di sini ia merangkum semua pembahasan tersebut dalam satu kalimat: sekarang tidak
ada penghukuman bagi mereka yang berada dalam Kristus. “Sekarang” (nu/n) di sini
107
Tafsir Perjanjian Baru I
merujuk pada transfer dari era lama ke era baru (3:21; 5:9; 6:19, 22; 7:6). Ketidakadaan
penghukuman ini ditekankan Paulus melalui dua cara:
(1) Ia memakai kata ouvde.n, yang secara literal berarti “tidak satupun”.
(2) Ia meletakkan ouvde.n di awal kalimat.
Ayat 2-4.
Kata sambung ga.r (“karena”, dalam LAI:TB tidak diterjemahkan) di awal ayat 2
menerangkan alasan bagi ayat 1. Bagian ini merupakan dasar mengapa tidak ada
penghukuman. Ada satu kata di ayat 2 yang tidak diterjemahkan di LAI:TB, yaitu kata o`
no,moj (“hukum”) yang terletak sebelum frase Roh yang memberi hidup. Secara literal
ayat 2 diterjemahkan “karena hukum Roh yang menghidupkan melalui Kristus Yesus
telah memerdekakan kamu dari hukum dosa dan hukum maut”. Beberapa sarjana
memahami o` no,moj sebagai rujukan pada Taurat (Barth, Dunn). Mereka berpendapat
bahwa melalui pekerjaan Roh Kudus di era yang baru, Taurat benar-benar telah
ditempatkan pada posisi dan fungsinya yang semula, yaitu memberi hidup.
Bagaimanapun, o` no,moj lebih tepat dimengerti sebagai “prinsip” (mayoritas sarjana).
(1) Yang memenuhi tuntutan Taurat bukanlah orang percaya, tetapi Yesus (ayat 3).
(2) Asumsi di atas bertentangan dengan bagian lain Surat Roma yang mengajarkan
pembenaran Allah di luar Taurat (3:21; Gal 2;15-3:14) dan pembenaran hanya
melalui iman – bukan Taurat (4:12-15; Gal 3:15-18).
(3) o` no,moj dibandingkan dengan “hukum dosa dan hukum maut” yang menyiratkan
suatu prinsip atau kekuatan (bdk. 7:21-25).
Dengan menggunakan frase “hukum Roh yang menghidupkan” (o` no,moj tou/
pneu,matoj th/j zwh/j) Paulus ingin menekankan pada aspek otoritas dan kuasa Roh
Kudus yang membebaskan orang percaya dari era lama ke dalam era baru. Pembebasan
dari “hukum dosa dan maut” ini menyangkut pembebasan dari kuasa dosa (ayat 1) dan
juga hukuman dosa (ayat 5-10). Ada perbedaan terjemahan tentang kata ganti yang
dipakai di ayat ini. Mayoritas EV’s mengambil “aku”, sedangkan LAI:TB “kamu”.
Perbedaan ini terkait dengan faktor tekstual. UBS2 dan mayoritas EV’s mengambil
bacaan me (“aku”). Bagaimanapun, UBS3,4, NA26,27 dan mayoritas sarjana lebih memilih
bacaan se (“kamu”).
(1) Kombinasi a dan B tampaknya lebih meyakinkan daripada A, D dan MT.
(2) Pengubahan se ke me lebih bisa diterima dengan asumsi penyalin ingin menyamakan
bagian ini dengan pasal 7:7-25 yang memakai kata ganti “aku”.
Ayat 3.
Mengaitkan karya Roh Kudus dengan karya penebusan Kristus. Apa yang tidak mampu
dilakukan Taurat telah dilakukan oleh Allah, yaitu menjamin kehidupan eskhatologis
(Hodge, Barret). Ketidakmampuan Taurat disebabkan oleh kelemahan daging (bdk. 7:13-
25). Allah mengambil inisiatif untuk mengirimkan Anak-Nya sendiri sebagai solusi:
1. Yesus datang dalam keserupaan dengan daging yang dikuasai dosa.
Bidat docetisme memahami ayat ini sebagai keserupaan secara superfisial (secara
natur sebenarnya tidak sama). Pandangan ini bertentangan dengan teologi PB (Gal
4:4), meskipun makna superfisial o`moi,wma juga dipakai di Rom 1:23. Pada ekstrem
yang lain, beberapa sarjana berspekulasi bahwa Yesus sungguh-sungguh mengambil
kedagingan manusia yang berdosa. Penggunaan kata o`moi,wma jelas
108
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 4.
Menyatakan tujuan (bdk. i[na = “supaya”) Allah mengirim Anak-Nya, yaitu tuntutan
yang benar dari Taurat digenapi (LAI:TB menerjemahkan to. dikai,wma hanya dengan
“tuntutan”, kontra mayoritas EV’s dan sarjana). Beberapa melihat kasih orang Kristen
sebagai penggenapan tuntutan Taurat (bdk. 13:8-10; Gal 5:14). Sebagian
menghubungkan dengan pimpinan Roh Kudus yang memampukan orang percaya
memenuhi tuntutan Taurat melalui kehidupan yang benar (Murray, Cranfield, Morris).
Bagaimanapun, frase ini lebih tepat dimengerti sebagai apa yang telah dilakukan Kristus
untuk orang percaya daripada apa yang dilakukan orang percaya. Tuntutan Taurat adalah
ketaatan yang sempurna (Yak 2:10) dan realita kehidupan orang percaya tampaknya tidak
pernah mencapai titik tersebut (meskipun secara teoritis mungkin). Selain itu, bentuk
pasif “digenapi” dan konteks ayat 2-4 tampaknya juga mendukung. Kristus telah
memenuhi tuntutan Taurat melalui hidupnya yang tanpa dosa. Ia juga memenuhi kutuk
Taurat dengan cara menggantikan hukuman orang percaya. Berdasarkan persekutuan
dengan karya Kristuslah orang percaya memenuhi tuntutan Taurat. Hal ini tidak berarti
bahwa kebenaran tersebut tidak terkait dengan kehidupan orang percaya. Orang percaya
yang telah memenuhi tuntutan Taurat melalui persekutuan dengan Kristus juga harus
menunjukkan tanda/bukti realita tersebut dengan cara hidup dalam Roh, bukan dalam
daging. Roh memberikan kuasa yang baru dan karya Kristus sudah menghancurkan kuasa
dosa, sehingga orang percaya tidak lagi kalah dalam pergumulan dengan dosa.
109
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 5-9.
Bagian ini menerangkan bagian terakhir dari ayat 4 sekaligus menjelaskan karya Roh
Kudus yang lain dalam kehidupan orang percaya. Perpindahan status dari era lama ke
baru harus diikuti oleh kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus. Kontras antara daging
dan Roh dalam bagian ini mengindikasikan kebutuhan mutlak orang percaya terhadap
pimpinan Roh. Ayat 5-8 tidak berarti orang percaya ada kemungkinan berada dalam
daging. Kehidupan dalam daging yang dielaborasi di sini hanya untuk menunjukkan
kemustahilan bagi seseorang yang dalam daging untuk diselamatkan.
1. Orang yang berada dalam daging selalu memikirkan hal-hal kedagingan (ayat 5).
Memikirkan di sini bukan hanya masalah pengetahuan (kognitif), tetapi lebih ke arah
cara berpikir. Makna ini tersirat dari arti kata kerja frone,w dan tense present yang
dipakai.
2. Orang yang berada dalam daging pasti akan menerima maut (ayat 6).
Hubungan antara dagin/dosa dengan maut sudah sering diajarkan sebelumnya. Maut
di sini lebih bersifat eskhatologis (bdk. ayat 1).
3. Orang yang berada dalam daging merupakan seteru Allah (ayat 7).
Allah tidak pernah memberi jalan tengah. Orang yang dalam daging adalah musuh
Allah, karena mereka selalu tidak tunduk pada hukum Allah. Bagi Paulus, orang yang
belum pindah ke era baru tidak mungkin tunduk pada Allah. Mereka mengalami apa
yang disebut kerusakan total (total depravity).
4. Orang yang berada dalam daging tidak mungkin berkenan kepada Allah (ayat 8).
Bagian ini merupakan konsekuensi selanjutnya dari poin 1-3. Orang yang selalu
memikirkan perkara-perkara daging yang berujung pada maut dan yang menjadi
seteru Allah pasti tidak akan berkenan kepada Allah.
Ayat 9 dimulai dengan kata “tetapi kamu” (u`mei/j de.) yang menyiratkan penekanan
pada kontras antara situasi di ayat 5-8 dan 9. Orang percaya berada di dalam Roh, karena
(ei;per bisa berarti “jika” atau “karena” – tergantung pada konteksnya) Roh Allah tinggal
dalam diri mereka. Kata “tinggal” (oivke,w) yang dipakai di sini tidak bisa dijadikan
dasar untuk mengasumsikan ide permanensi Roh Kudus – meskipun ide tersebut
didukung seluruh PB - karena kata juga dipakai untuk dosa (kontra Moo, bdk. 7:17, 20).
Ayat 10-11. Bagian ini merujuk pada karya Roh Kudus secara futuris. Tubuh (sw/ma)
jelas merujuk pada tubuh secara fisik yang bisa mengalami kematian (bdk. “tubuh yang
fana” dan “membangkitkan” di ayat 11). Kematian fisik ini memang merupakan bagian
dari hukuman dosa yang juga akan dialami oleh orang percaya (bdk. “karena dosa” di
ayat 10). Di pihak lain, Roh (pneu/ma) adalah kehidupan karena kebenaran. Mayoritas
EV’s (juga LAI:TB) menganggap pneu/ma sebagai roh manusia, namun pneu/ma di sini
sebaiknya dipahami sebagai Roh Kudus (KJV/NKJV, NRSV).
(1) pneu/ma yang muncul di ayat 2-9 selalu merujuk pada Roh Kudus.
(2) Ayat 11 juga masih membicarakan apa yang dilakukan Roh Kudus.
Roh Kudus yang membangkitkan Yesus dari kematian adalah Roh yang sama yang akan
membangkitkan tubuh orang percaya dan mereka bisa menikmati hidup kekal.
110
Tafsir Perjanjian Baru I
implisit] kepada Roh, karena karya Roh Kudus bagi orang percaya di ayat 1-11. Hutang
ini membuat mereka terikat untuk mengikuti keinginan Roh. Perkataan Paulus di ayat 12
bukan berarti membuka kemungkinan bagi orang percaya untuk kembali pada hidup yang
dikuasai daging. Perkataan ini juga bukan berarti tidak memiliki keseriusan. Transfer
relaita dari era lama ke baru memang menjamin kehidupan kekal, tetapi hal tersebut tidak
bisa dipisahkan dari pergumulan untuk mematikan dosa melalui kekuatan Roh Kudus.
Berdasarkan penekanan konstan pasal 8 pada karya Roh Kudus, yang dipentingkan di
ayat 13 juga adalah karya Roh Kudus. Mematikan dosa anggota-anggota tubuh hanya
bisa dilakukan melalui Roh Kudus.
Inti perikop ini adalah status orang percaya sebagai anak-anak Allah. Tema ini begitu
mendominasi, sehingga bagian ini layak dikategorikan sebagai satu kesatuan pemikiran.
Hal ini tidak berarti bahwa ayat 14-17 tidak memiliki kaitan sama sekali dengan ayat 1-
13. Kedua bagian sama-sama mengajarkan peranan vital Roh Kudus. Keduanya juga
sama-sama berorientasi pada kepastian eskhatologis (ayat 1 dan 17). Selain itu, rujukan
tentang “dipimpin oleh Roh Kudus” di ayat 14 jelas berhubungan dengan pembahasan di
bagian sebelumnya.
Ayat 14. Kata sambung “karena” (ga.r, dalam LAI:TB tidak diterjemahkan)
menghubungkan ayat 14 dengan ayat 13b. Kepastian hidup kekal memang terkait dengan
tindakan orang percaya mematikan dosa (ayat 12-13), tetapi bukan itu yang menjadi inti.
Sebagaimana ayat 1-11 yang menekankan karya Roh Kudus sebagai jaminan
pengharapan eskhatologis, ayat 14-16 memfokuskan karya Roh Kudus dalam kaitan
dengan status orang percaya sebagai anak-anak Allah. Paulus memulai dengan
tanda/bukti seseorang menjadi anak-anak Allah, yaitu ia harus dipimpin oleh Roh Allah.
Pimpinan Roh Kudus dalam ayat ini bukan hanya menunjuk pada pengalaman
pengudusan, tetapi juga pada perubahan status. Dipimpin Roh Kudus merupakan kontras
terhadap dipimpin/di bawah dosa-Taurat (bdk. ayat 5-10 dan Gal 5:18). Penggunaan
istilah anak-anak Allah sangat mungkin berasal dari konsep PL. Ungkapan itu biasanya
dipakai untuk Israel (Kel 4:22; Ul 14:1; Yes 43:6; Yer 3:19; 31:9; Hos 11:1). Allah sering
disebut sebagai bapa Israel (Ul 32:6; Yes 64:8).
Ayat 15. Kata sambung “sebab” (ga.r) memberikan keterangan tambahan tentang ayat 14.
Frase “Roh yang menjadikan kamu anak-anak Allah” (LAI:TB) dalam bahasa Yunaninya
terdiri dari dua kata, yaitu pneu/ma ui`oqesi,aj (lit. “Roh adopsi”). Ungkapan ini jelas
merujuk pada Roh Kudus (ayat 14, 23; Gal 4:6). Roh ini dikontraskan dengan “roh
perbudakan (pneu/ma doulei,aj). Ungkapan ini tidak menunjuk pada roh manusia atau roh
111
Tafsir Perjanjian Baru I
lain. Penggunaan pneu/ma doulei,aj hanya sekadar gaya retoris. Tidak seperti roh
perbudakan yang menyebabkan ketakutan (karena kesadaran tentang eksistensi dan
konsekuensi dosa, 3:20; 7:7-13), Roh adopsi memberikan keberanian bagi orang percaya
untuk memanggil Allah sebagai Abba.
Ayat 16. Roh Kudus bukan hanya menjadikan dan memberikan keberanian, tetapi Ia juga
memberikan keyakinan dalam roh (pneu/ma) orang percaya. Roh Kudus bersaksi
bersama dengan roh orang percaya secara terus menerus (bdk. tense present di
summarturei/). Keyakinan ini terjadi dalam diri orang percaya yang paling dalam,
sebagaimana disiratkan oleh pemakaian pneu/ma (roh manusia).
Ayat 17. Dalam bagian ini Paulus menarik implikasi dari karya Roh Kudus di ayat 15-16.
Fokus dalam ayat ini bukan pada aspek kekinian, tetapi futuris. Dengan menjadi anak
angkat, orang percaya juga menjadi ahli waris yang berhak atas janji-janji Allah.
Metafora ini sesuai dengan hukum Romawi yang menyatakan bahwa anak angkat berhak
memiliki warisan sebagaimana anak kandung. Jaminan ini merupakan sesuatu yang pasti,
terlepas dari situasi yang dihadapi oleh orang percaya sekarang (penderitaan).
Sebagaimana Kristus sebagai dasar adopsi telah menderita, orang percaya juga harus
mengikuti jejak-Nya (bdk. Fil 1:29; 3:10; 2Kor 1:5). Inilah syarat (bdk. ei;per = “jika”)
menerima janji-janji bersama dengan Kristus dan dimuliakan bersama Dia.
Ayat 18. Ayat ini mengajarkan konsep yang benar tentang cara pandang terhadap
penderitaan. Orang percaya perlu mengubah perspektif mereka. Mengarahkan diri pada
kemuliaan eskhatologis merupakan cara untuk menyadari bahwa penderitaan yang ada
sekarang adalah terlalu kecil. Ayat ini tidak bermaksud untuk mengecilkan permasalahan.
Ayat ini hanya menempatkan penderitaan pada porsi yang sebenarnya.
112
Tafsir Perjanjian Baru I
Ayat 19-25. Bagian ini menerangkan keadaan semua mahkluk selama masa penantian.
Kata kti,sij (lit. “ciptaan”) yang dipakai merujuk pada semua manusia, tetapi tidak
mencakup ciptaan lain (tumbuhan, binatang, benda), karena di sini tampaknya merujuk
pada pribadi yang bisa merindukan dan mengeluh. Ada dua keadaan secara umum:
1. Semua makhluk menanti dengan sangat rindu (ayat 19).
Secara literal ayat 19 seharusnya diterjemahkan “pengharapan yang sangat (h`
avpokaradoki,a) dari semua makhkluk menunggu dengan sangat rindu
(avpekde,cetai) penyataan anak-anak Allah”. Kata avpokaradoki,a secara etimologis
berasal dari tiga kata: avpo = “dari”, kara = “kepala” dan de,comai = “meregangkan”.
Paduan kata ini menyiratkan sikap orang yang sedang melongokkan kepala untuk
melihat sesuatu. Orang percaya memang sudah menjadi anak-anak Allah (ayat 14-
17), tetapi secara penuh hal itu akan dinyatakan nanti. Hal ini juga dinantikan oleh
orang-orang lain, karena mereka telah ditaklukkan pada kesia-siaan oleh Allah.
Mereka memiliki alasan untuk menantikan ini karena Allah menaklukkannya pada
kesia-siaan dalam pengharapan (evfV e`lpi,di).
2. Semua makhluk mengeluh dan merasakan sakit (ayat 22-23).
Penantian di atas bukanlah sesuatu yang mengenakkan, karena mereka menanti
sambil bersama-sama mengeluh (sustena,zei) dan merasakan sakit (sunwdi,nei). Kata
biasanya dipakai untuk sakit waktu melahirkan anak, sehingga gambaran di sini mirip
dengan Yoh 16:20b-22. Orang percaya yang menerima “buah sulung” (avparch,) Roh
juga mengalami perasaan yang sama. avparch, dalam PL dipakai sebagai tanda berkat
awal yang akan diikuti oleh berkat-berkat selanjutnya. Pemakaian avparch, di sini
merujuk pada karya Roh Kudus yang sudah diterima oleh orang percaya (ayat 2-11,
14-17), tetapi pemenuhan sempurna dari pemberian tersebut baru akan diberikan di
kemudian hari. Ayat 24-25 menjelaskan sikap lain yang harus dimiliki oleh orang
percaya, yaitu memiliki pengharapan (ayat 24) dan sabar (ayat 25). Apa yang
diharapkan memang belum terlihat, tetapi itu justru jadi alasan untuk terus berharap.
Ayat 26-27. Bagian ini menjelaskan intervensi ilahi bagi orang percaya supaya mereka
tetap bisa memiliki pengharapan dan sabar. Roh Kudus membantu orang percaya dalam
kelemahan mereka. Kelemahan ini mungkin bersifat umum (semua kelemahan sebagai
karakter dasar manusia sebagai mahkluk), tetapi terutama soal memahami kehendak
Allah. Frase to. ga.r ti, proseuxw,meqa kaqo. dei/ ouvk oi;damen menyiratkan
ketidaktahuan tentang isi doa (NIV, NKJV), bukan cara berdoa (mayoritas EV’s dan
LAI:TB). Seandainya Paulus ingin memaksudkan cara berdoa, ia pasti akan
menambahkan preposisi kata, di depan ti,. Selain itu, doa syafaat Roh Kudus dengan
keluhan yang tidak terucapkan juga mendukung bahwa Ia hanya membantu dalam hal isi
doa yang benar, yang seringkali orang percaya gagal untuk memahaminya. Roh Kudus
tidak membantu orang percaya dalam hal cara berdoa, tetapi lebih ke arah isi doa. Jadi,
ayat ini pasti bukan rujukan pada bahasa roh (kontra Kasemann). Situasi rumit yang
dialami - ditambah dengan kelemahan sebagai manusia – seringkali menyebabkan orang
percaya sulit mencari kehendak Allah yang pasti. Mereka kadang meminta sesuatu yang
113
Tafsir Perjanjian Baru I
salah. Doa syafaat Roh Kudus ini pasti efektif, karena Ia berdoa sesuai dengan rencana
Allah (ayat 27).
Ayat 28-30. Ayat 28 menjelaskan intervensi ilahi yang lain yang menjamin pengharapan
orang percaya di tengah penderitaan, sedangkan ayat 29-30 menerangkan alasan bagi
intervensi tersebut dari sisi ilahi. Struktur kalimat Yunani di ayat 28 telah menimbulkan
3 pandangan berbeda. Kesulitan ini berhubungan dengan identifikasi subjek untuk kata
kerja “bekerja bersama-sama” (sunergei/).
(1) Allah sebagai subjek.
Pemunculan kata qeo.n (bentuk akusatif dari qeo,j) dan bentuk tunggal sunergei
memang memungkinkan untuk mengasumsikan Allah sebagai subjek. Jika Allah
sebagai subjek, maka “segala sesuatu” (pa,nta) berfungsi sebagai direct object (“Allah
menyebabkan segala sesuatu bekerja bersama untuk kebaikan”, NASB) atau sebagai
accusative of respect (“dalam segala sesuatu Allah bekerja bersama untuk kebaikan”,
NIV, NRSV). Ada dua keberatan serius terhadap usulan ini. Pertama, kata kerja
sunergei tidak pernah mengambil kata benda bentuk akusatif (objek langsung).
Kedua, jika usulan itu diterima dan ayat 28 diterjemahkan secara literal sesuai
struktur kalimat Yunani, maka hasil terjemahan menjadi “kita tahu sekarang bahwa
bagi orang yang mengasihi Allah, Allah bekerja bersama-sama...”. Pengulangan
“Allah” (meskipun yang terakhir hanya tersirat) merupakan tata bahasa yang tidak
lazim dalam bahasa Yunani, karena tidak ada objek participle yang juga berfungsi
sebagai subjek dalam induk kalimat.
(2) Roh Kudus sebagai subjek.
Usulan ini didasarkan pada ayat 26-27 yang memakai Roh Kudus sebagai subjek.
Usulan ini juga memiliki kelemahan serius. Pertama, subjek di ayat 29-30 jelas adalah
Allah. Kedua, ayat 28 jelas memulai pemikiran baru yang berbeda dengan ayat 26-27.
(3) Segala sesuatu sebagai subjek.
Terjemahan ini merupakan terjemahan yang paling wajar (KJV), karena pa,nta
memang bisa berbentuk nominatif (sebagai subjek). Terjemahan ini juga mengambil
sunergei sebagai kata kerja intransitif, seperti pemakaian umum kata tersebut di PB.
Beberapa orang menolak terjemahan ini dengan dasar pa,nta berbentuk jamak
sedangkan sunergei berbentuk tunggal. Bantahan ini tidak bisa diterima, karena
mayoritas subjek yang berjenis kelamin neuter memang mengambil kata kerja
tunggal. Satu-satunya kesulitan dengan terjemahan ini terkait dengan fenomena
bahwa sunergei biasanya dikaitkan dengan subjek yang personal.
Ada dua deskripsi tentang orang-orang yang kepadanya segala sesuatu – melalui
providensi Allah – mengerjakan kebaikan:
1. Mereka yang mengasihi Allah (ayat 28).
Kriteria ini dilihat dari sisi manusianya. Segala sesuatu akan mengerjakan kebaikan
hanya bagi mereka yang mengasihi Allah.
2. Mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (ayat 29-30).
Sisi manusiawi di atas hanya bisa terjadi jikalau ada inisiatif dari pihak Allah dahulu.
Allah memanggil orang percaya, sehingga mereka mampu mengasihi Allah. Fakta
menarik tentang ayat 29-30 adalah bentuk lampau yang dipakai untuk kata kerja
“dipilih” – “ditentukan” – “dipanggil” – “dibenarkan” – “dimuliakan”, meskipun
114
Tafsir Perjanjian Baru I
pemuliaan tersebut belum terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Allah semua
rencana-Nya adalah sesuatu yang pasti. Kepastian pemuliaan ini membentuk inclusio
dengan ayat 18.
Penggunaan di ayat 31 mengindikasikan permulaan perikop yang baru. Selain itu, gaya
bahasa dalam perikop ini – yang banyak menggunakan kalimat interogatif – jelas berbeda
dengan bagian sebelumnya. Bagian ini memiliki dua fungsi: sebagai konklusi pasal 8 dan
konklusi semua pembahasan dari 1:18-8:30 (atau paling tidak pasal 5-8). Tema yang
ditekankan tetap “kepastian keselamatan/pengharapan”. Seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, bagian ini banyak menyinggung konsep yang ada di 5:1-11, sehingga bisa
dikatakan sebagai inclusio bagi pasal 5-8.
Ayat 31-32. Paulus merangkumkan semua pembahasan sebelumnya (bdk. “jadi apakah
yang akan kita katakan tentang semuanya ini?”) dengan kalimat “Allah di pihak kita”.
Fakta ini merupakan jaminan bahwa tidak ada yang dapat melawan orang-orang percaya.
Perlawanan pasti ada (ayat 35-39), tetapi hal itu tidak akan dapat menggagalkan jaminan
keselamatan/pengharapan orang percaya. Untuk menegaskan hal ini Paulus memakai
metode eksegese para rabi qal wayyOmer (“ringan dan berat”): apa yang benar untuk hal-
hal yang prinsip akan berlaku juga untuk hal-hal yang kurang penting. Allah telah
melakukan hal yang paling besar dan sulit, yaitu menyerahkan Anak-Nya sendiri, Ia pasti
akan memberikan segala sesuatu bersama-sama dengan Kristus. Penekanan pada hal ini
terlihat dari penggunaan kata ge (“bahkan”, LAI:TB tidak menerjemahkan kata ini) dan
penempatan tou/ ivdi,ou (“sendiri”) di bagian awal kalimat. “Segala sesuatu” dalam
konteks ini sebaiknya dibatasi pada segala hal yang diperlukan untuk keselamatan,
meskipun secara teologis kalimat ini juga bisa mencakup setiap hal.
Ayat 33a. Ada beberapa alternatif untuk peletakan tanda baca di ayat ini. Dari sekian
alternatif, pilihan NASB tampaknya lebih bisa diterima. Ayat 33a diterjemahkan
“siapakah yang akan mendakwa orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan
mereka” (kontra LAI:TB yang memakai tanda tanya setelah kata “mereka”. Bentuk future
dari kata “mendakwa” (evgkale,sei, kontra LAI:TB “menggugat”) merujuk pada
penghakiman terakhir. Kata ini sangat bernuansa legal (bdk. Kis 19:38, 40; 23:29, 38;
26:2, 7). Fokus yang bersifat futuris ini bukan berarti tidak memiliki relevansi dengan
kehidupan orang percaya sekarang. Iblis terus menerus mendakwa orang percaya (Wah
12:10). Selain itu, perasaan berdosa yang berlebihan juga sering mengikis perasaan aman
dalam Allah. Jaminan tidak adanya dakwaan didasarkan pada dua hal:
1. Yang didakwa adalah orang-orang pilihan Allah.
115
Tafsir Perjanjian Baru I
Pertanyaan Paulus di sini sifatnya retoris dan sudah menjadi jawaban bagi pertanyaan
itu sendiri. Orang-orang yang dipilih oleh Allah pasti dijamin keselamatan
eskhatologisnya (ayat 29-30).
2. Yang membenarkan orang percaya adalah Allah sendiri.
Frase ini memberikan jaminan lain. Allah adalah yang membenarkan orang-orang
pilihan. Kalau Allah saja – sebagai bojek pemberontakan manusia – mau
membenarkan orang-orang berdosa, maka siapapun tidak punya hak untuk mendakwa
mereka.
Ayat 33b-34. Implikasi kedua adalah tidak ada yang akan menghukum orang-orang
pilihan Allah. Allah atau makhluk lain tidak mungkin akan menghukum mereka, karena
apa yang telah dilakukan Kristus untuk mereka.
1. Kristus telah mati: menanggung hukuman dosa mereka.
2. Kristus bangkit: menghancurkan kuasa maut sebagai upah dosa.
3. Kristus duduk di sebelah kanan Allah (Mzm 110:1): menaklukkan semua kekuatan
yang berusaha menggagalkan keselamatan orang percaya.
4. Kristus berdoa syafaat: mengharapkan hal yang baik dari Allah untuk orang percaya
(Ibr 7:25).
Ayat 35-39. Implikasi terakhir adalah tidak ada yang memisahkan orang percaya dari
kasih Kristus. Tantangan memang ada dan melimpah, baik tantangan fisik (ayat 35-36)
maupun non fisik (ayat 38-39), baik tantangan sekarang maupun yang akan datang (ayat
38), baik tantangan dari atas maupun dari bawah (ayat 39). Jangkauan tantangan yang
dituliskan Paulus cukup untuk mewakili semua jenis tantangan yang mungkin dihadapi
oleh orang percaya, namun tidak ada satu pun yang dapat memisahkan orang percaya dari
kasih Kristus. Alasannya adalah karena orang percaya lebih daripada pemenang melalui
Kristus. Ungkapan “lebih daripada pemenang” di sini mungkin menunjukkan bahwa
orang percaya tidak hanya tidak bisa dikalahkan oleh tantangan, tetapi semua tantangan
tersebut justru mendatangkan kebaikan bagi mereka (ayat 28; 5:3-4).
116