Bevans
Model
•
••
, ..
~~ .
..
'
~
Stephen B. Bevans
MODEL-MODEL
TEOLOGI
KONTEKSTUAL
Penerbit Ledalero
Maumere
2002
PI.. 2.()25.()2
Model·Model Toologi Kootekstual
Dilerbitkao dengan izin penerbil asli dari butcu: Stephen B. Bevans. Models of
Contextual Theology. Maryknoll. New York. Orbis Books. 2002.
Tetjemahan ke dalam Bahasa Indonesia: YosefMaria Florisan
© Penerbil Ledalero
STFK Ledalero
Maumere - Aores 86152
..
Imprimarur. Nihil Obstat:
Mgr. A.):A\JI!linus da Cunha. Pr Rm. Romanus Sarn, Pr
Uskup Agung Ende Libr. Censor
Ndona. 20 Juni 2002 Ritapiret. 5 Februari 2002
v
MODEL·MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
vii
MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
IX
Waktunya telah genap unruk merefleksikan apa makna dari upaya-
upaya yang telah berlangsung hampir sepereropat abad itu hagi leOlogi.
Cakupan teologi-leologiini -dalam pokok persoalannya, dalam cara-
cara perjumpaannyadengan kebudayaan, dalam rupa-rupa bahasanya
- sudah menempatkan suaru ujian yang menyeluruh alas semua leOlogi
itu melampaui kesanggupan satu individu tertenlu atau bahkan se-
kelompok orang. Namun ada rupa-rupa keprihatinan yang orang lihat
berkali-kali di tengah-tengah teologi-teologi ini: Apakah ada pola-pola
tertentu yang lampil di dalam ihwal bagaimana teologi-teologi konteks-
tual dikembangkan dan dihasilkan? Apakah ada titik-titik temu pen-
dapat yang tampil di seputar soal-soal yang mengesalkan tentang bagai-
mana memastikan kesetiaan kepada Kitab Suci dan tradisi Gereja di
dalam teologi-teologi yang secara sangat mencolok merniliki bentuk-
bentuk yang berbeda dari apa yang telah kita kenal di masa si lam?
Apakah kita mernahami dengan lebih baik peran-peran manakah yang
dapat dan harns dimainkan kebudayaan di dalarn membenruk teoJogi-
teologi iru? Apakah kita mampu memindai lebih baik lagi konfigurasi-
konfigurasi budaya dari teologi-teologi masa lampau oleh kanena apa
yangkitasaksikan sedang terjadi sekarang ini?Walaupun tidak seorang
pun mengharapkan jawaban-jawaban yang pasti terbadap masing-
masing pertanyaan ini, namun kita boleh berharap bahwa kita telah
membuat kemajuan unNk menjemihkan perkara-perkara yang sangal
penting ini.
Dengan buku yang ada di tangan kita ini, Stephen Bevans telah
mendannakan suaru pelayanan yang luhur kepada kita dalam meng-
ajukan suatu cara pikir yang lebih jelas mengenai interaksi antara amanat
Injil dan kebudayaan, serta menyangkut ihwal mengbormati tradisi
sembari tanggap terhadap perubahan sosial. Dengan menggunakan
suatu pendekatan "model" (sesuaru yang kini lumrah dalam bidang
teologi dan juga ilmu-ilrou sosial), ia menyajikan bagi kita suaru peta
guna melintasi kawasan yang sering kali tidak bertuan dari teologi -
teologi kontekstual dewasa ini. Dengan mendayagunakan lima model
menyangkut saling pengaruh antara Injil dan kebudayaan - model
J(
te~emahan, antropologis, praksis, sintesis dan transendental- ia me-
nyediakan satu sarana yangjelas namWl fleksibel Wl1lik memilah-milah
beberapa cara dalamnya teologi-teologi kontekstual itu dibangun. Sarna
seperti setiap penggWlaan yang baik atas suatu pendekatan "model",
setiap model yang ditampilkan Bevans membantu kita untuk men-
jernihkan struktur internal dari sebuah teologi, dan juga rnempertaut-
kan setiap model dengan model-model yang lain. Berulang kali ia
mencatat bahwa model-model ini tidak ben;ifateksklusif satu dari yang
lain,juga ia tidak merekomendasi agar model-model itu dirnlat menjadi
lima cara berbeda untuk berleologi seara li:ontekstual. Sebaliknya,
model-model itu harus dipahami secara heuristik, sebagai suatu sarana
untuk memahami teologi-teologi kontekstual itu secara lebih baik
(bukan rnelulu secara deskriptif, melainkan juga secara kritis), serta
mernperhatikan rupa-rupa titik temu, titik pisah dan titikkabur di antara
mereka.
Narnun buku ini lebih daripada sekadar sebuah peta saku. Dengan
menunjukkan bagaimana model-model berlaku dalam karya teo\ogi
konkret dari berbagai orang, yang berasal dari situasi-situasi yang
sangat berbeda serta menanggapi tantangan-tantangan yangjuga sangat
berbeda, Bevans meogajak kita untuk rnerefleksikan karya leita sendiri
sebagai teolog - enlah itu dalarnjemaat-jemaat basis, dalarn Gereja
lokaJ, atau dalarn akademi. Segi-segi rnanakah dari satu situasi tertentu
yang ditanggapi secara paling balk oleh masing-masing model ini"
Bagaimanakah interaksi antara amanat lnjil dan kebudayaan menerangi
bagian dati amanat InjiJ itu secara paling mendalam? Dan bagaimana
kiranya masing-masing model ini berfungsi di dalarn situasi teologi.sku
sendiri?
Buku inijuga menguntungkan kalau dibaca dari sudut pandang
yang lain. Keanekaragaman teologi kontekstual membantu mernbuka
diskusi yang sering kali terkunei rapat menyangkut eara mana yang
tepat dalarn berteologi. Rupa-rupa perdebatan dalam tahun-tahun
belakangan ini menyangkut metode-metode yang didayagWlakan oleh
para teolog pembebasan Amerika Latin mencerminkan impasse sejauh
MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
xii
UCAPAN TERIMA KASIH
xiii
MODEL-MODEL TEOLOGJ KONTEKSTUAL
DOD
xiv
PENDAHULUAN
xv
MODEL·MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
xvi
KATA PENGANTAR. UCAPAN TERIMA KASIH. PENDAHULUAN ............... .
DOD
xvu
KATA PENGANTAR
UNTUK EDISI KEDUA
xviii
KATA PENGANTAR, UCAPAN TERIMA KASIH, PENDAHULUAN"." " """".
XIX
MODEL·MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
tahun dati jadwal yang ditentukan oleh pihak penerbit Orbis Books,
dan bahwa kalau saya mengeIjakan satu model tambahan lagi yang
sarna sekali baru maka itu akan memakan banyak waktu. Maka, saya
pun mengirimkan naskah buku itu untuk diterbitkan dengan hanya
memuat lima model
Kurang dari setahun setelah buku itu diterbitkan, saya menulis
sebuah rnakalah untuk dipaparkan pada sebuah konferensi mengenai
"Injil dan Kebudayaan Kita", yang bertema "Berteologi di Amerika
Utara: SebuahModel Tandingan?" Makalah itu mendapat sambutan
positif pada konferensi tersebut, dan saya berterima kasih atas kritik
yang dilontarkan, terutama oleh Mike Goheen, yang menegur saya
karena terlalu negatif dalam menafsir LesslieNewbigin. Selama ber-
tahun-tahun saya mengapungkan model itu dalarn pelbagai penerbitan
dan lokakarya, namun saya tidak pernah berhasil menemukan waktu
dan tenaga untuk mengeIjakannya secara tumas. Edisi kedua, yang
merupakan edisi revisi dari Model-Model Teologi Kontekstual ini
setidak-tidaknya telah memberiku kesempatan semacam itu. Saya
berterima kasih kepada Mike Goheen, George Hunsberger, Mike
Baxter. Roxanne Morin dan Joel Shorn yang telah membaca bab
tambahan itu dalam bentuk drafnya yang pertama, dan saya sungguh
berterima kasih atas berbagai kritik serta koreksi mereka (walaupun,
seperti yang sudah lazimdiujarkan, setiap kesalahan illl adalah tanggung
jawab saya!). Setelah membaca draftersebut, George Hunsberger
tetap menekankan bahwa sisi tilik menyangkut "Injil dan Jaring
Kebudayaan Kita" tidak boleh dipandang sebagai budaya tandingan.
Kami tidak sepakat menyangkut hal ini, dan saya tetap keras kepala
dalam mempertahankan pendapatku sendiri mengenai hal tersebut.
Oi samping beberapa perubahan gaya, perbaikan bibliografi serta
informasi biografis, sangat sedikit hal yang saya ubah dalam hampir
keseluruhan teks. Andaikan saja saya pimya [ebih banyak waktu [agi,
maka saya berlreinginan unlUk menampilkan beberapa contoh lain lagi
unlUk masing-masing model; oamunjustru soal wakIU itulah yang tidak
kupunyai. Naroun ada satu perubahan penting, yang barangkali perJu
xx
KATA PENGANTAR. UCAPAN TERIMA KASIH. PENDAHULUAN .. .... ........ ..
xxi
MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
o DO
1
TEOLOGI KONTEKSTUAL
SEBAGAI IMPERATIF TEOLOGIS
1
2 MODEL·MODEL TEOLOGJ KONTEKSTUAL
kita tidak mempedulikan siapa diri kita, maka kita menanggung risiko
berteolo~ secara asal-asalan dan nirmakna. 18
Gamba, I
Teologi Konlr1kslual
n}:iggk3pkan-bahw.a.setiapje9l9giy_~¥.~~~~~.~!e)a.h, be.!~_~~~at
mend<!1~'p'ac;lasebuah konteks !ert~n.tu,_ entah secara tersirat atau
W.aJa· "Kontekstualisasi ... merupakan si~ qua n01;bagi SeDlUa i>e-
mikiran teelogis yang sejati, dan memang selalu demikianlah adanya:>22
Te1aah-telaah Kitab Sucikontemporer misalnya, berlJasii menying-
kapkan bahwa tidak ada hanya satu teologi dari Kitab Suci Ibrani
atau Kristen, apalagi Kitab Suci secara keseluruhan. Kata Bible itu
-------
sendiri secara har(J!1hjJ~.rarti "buku -buku" (Yunani: biblia) dalam
bentukJam~ ~~ .Kitab S~s;i.lru. :~n~ ti?llk lain dCl!ipagasebuah
pe.!JlJl§ta!caall, se_bu.~ kole~~j_~ rupa-rupa buku, dan karenanya
koleksi macam-macam teologi. Kitab Suci Ibrani teediri dari teologi
Yahwista, teelogi Elohista, teologi para Imam, teelogi Deuleronomis
dan teologi-teologi Kebijaksanaan - sekadar menyebutkan beberapa
nama. Teologi-teelogi ini semuanya berbeda-beda, kadang kala bahkan
saling bertentangan; leologi -teologi ini memanlllikan zaman yang
berbeda-beda, perhatian dan keprihatinan yang berbeda-beda dan
juga kebudayaan yang berbeda-beda pula, manakala bangsa Ibrani
beralih dari masyarakat agraris ke monarki, dari sebuah negara mer-
dekamenjadi negerijajahan Suriah, Yunani dan Romawi. Dalam Kitab
Suci Kristen, kita tahu bahwa setiap Injil illl berbeda-beda karena
silllasi yang berbeda-beda pula dalarnnya Injil-Injil itu ditulis, yang
masing-masingnya mencerminkan perhatian dan keprihatinan dari
jemaat yang bertJeda-beda pula. Paulus berbeda dari Yakobus, dan
sural-Sural pastoral deutero-Paulus mencerminkan perhatian dan ke-
prihatinan yang sangat beibeda dari surat-surat yang ditulis oleh Paulus
sendiri. Bahkan Stephen Sykes, seorang teelog asal Inggris (kini uskup),
menandaskan bahwa pewartaan kristiani itu sendiri mengandung se-
buah kemenduaan yang mendasar sebingga pluralisme dan kontroversi
merupakan bagian darijati diri atau hakikat agamaKristen itusendiri.23
Kalau kita berpaling kepada para teolog Gereja bahari setelah
era Perjanjian Baru maka kila melihat bagaimana mereka berupaya
TEOLOGI KONTEKSTUAL SEBAGAI IMPERATIF TEOLOGIS 11
mentalitas yang lebih bersifat simbolik dari era patristik, Ekaristi dengan
gamblang diacu sebagai corpus mysticum, atau Thbuh Mistik Kristus;
Gereja, di lain pihak, diacu sebagai corpus verum, Thbuh Kristus
yang rilL Akan tetapi, ketika pernikiran Kristen rnulai didorninasi oleh
mentalitas kaurn Teutonik yang lebih bersifatrealistis, kedua istilah itu
pun juga rnulai digunakan secara persis berlawanan, untuk rnengacu
pada realitas yang persis terbalik. Maka pada zaman Berengarlus,
yang berbicara tentang kehadiran simbolik Kristus di dalam Ekaristi,
Ekaristi disebutkan sebagai Thbuh Kristus yang riil (Ave, Verum
Corpus, natum ex Maria Virginel) , dan Gereja mulai disebutkan
sebagai Thbuh Mistik KristUS. 27
Salah satu segi kebesaran Martin Luther sebagai seorang teolog
ialah bahwa ia membahasakan seluruh kesadaran bam tentang individu
ketika paham itu menyeruak bersamaan dengan terbilDya zaman
modern. Pergumulannya unluk menemukan sebuah relasi yang
personal denganAllah sangat se\aras dengan suasana umum pada zaman
itu, dan merupakan satu alasan utama mengapa seruannya menyangkut
reforrnasi Gereja didengarkan oleh begitu banyak orang. Dan teologi
Kontra-Reforrnasi Katolik diternpa dalam konteks perlawanan ler-
hadap tantangan kaum Protestan. Teologi pada abad keenam belas
dan ketujuh belas, entah Protestan atau Katolik, tidak punya artinya
kalau ia tidak bersifat kontekstual !28
Banyak contoh lain bisa diangkat dari sejarah teologi - sebagai
misal, upaya monumental Schleierrnacher untuk mengakarkan teoiogi
dalam pengalaman sebagai reaksi terhadap romantisme zamannya,
serta upaya Sekolah Teologi Katolik Ttibingen untuk menyekutukan
teoiogi Katolik dengan filsafat pasca- Kant (khususnya dengan ftlsafal
Schelling).29 Kitajuga dapat rnenyebutkan keyakinan Paul Tillich
bahwa leologi perlu dilaksanakan sebagai suatu korelasi antara
, "pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia danjawaban-jawaban
teoiogis dalam ketergantungan timbal-balik,"30 serta teologi Finnan
TEOLOGI KONTEKSTUAL SEBAGAl lMPERATIF TEOLOGlS 13
Allah Karl Barth yang sangat kontekstual 3 1Apa yang tampak gamblang
dalam setiap contoh tersebut ialah bahwa ~niIikal1 .§.l:s!!@.sepm1as
Iahfmenyan~.t_sejllf!lh .t e()Iogi m~nyhiglcapkaJ1 bahwatidak pt:Wah
acta suatu teologi y~!tsejati Y~!L@:wnijskan dalamse"~aI) ~'!!t!:!Iara
gadmg tanpaacuan apa p.un.atall.S6Cll£llIe~ pisahda.r:in!Rl1,:!!!pa
periStiwa,i:ie~ukebuWy.~ pada satu tempat dan
walgu 'eReato. 32
faktor
- ----"
yang pertama bisa disebut ekstemaJ:>peristi wa-peristi wa historis,
aIiran-aliran pemilciran, pergeseran-pergeseran budaya dan kekuatan-
kekuatan politik. Faktor-fJ!ktoreksremalini~Q.Qjotkan faktQQ aktor
----
~ tet1enLU dalam iman Kristen iLU sendiri yang menunjuk tidak
saja tentangkemungkinan tetapijugakeniscayaan bet1eologi selUrut
konteks . Faktor-faktor internal ini pada akhirnyajauh lebih penting
daripada faktor -faktor eksternal, karena faktor-faktor internal itu me-
nunjuk pada suatu imperatifkontekstual yang terdapat di dalam agama
Kristen itu sendiri . Faktor-faktor ini tidak selalu diakui sebagai sesuatu
yang penting, namun dalam zaman kita sekarang ini, sebagian terbesar
oleh karena situasi-situasi historis yang terungkap dalanl faktor-faktor
ekstemal, maka faktor-faktorinternal tersebut telah tampil sebagai
hal yang hakiki menyangkut iman Kristen dan cara bet1eologi Kristen.
Faldof'-Faklor Ekslemal
paham tentang Allah, bahasa Jiturgi serta peran kawn perempuan dalam
pelayanan gerejani. Teologi neo-Thomisme yang mendominasi teologi
Katolik Roma selama abad silam menekankan kesetiaan kepada
Roma, dan tidakjarang merugikan relevansi pastoral: penekanan se-
carn terus-menerus menyangkut ihwal selibat kepada k1erus Afrika
justru berseberangan dengan kenyataan bahwa dalam banyak masya-
rakat Afrika peran dan kedudukan seseorang sebagai laid-laid elitentu-
kan oleh bukti kemampuannya untuk memiliki anak-anak. Sikap tidak-
peka- budaY:i.~!!,!perilaku opresif seperti itu telah berhasil dilucuti
selaJn<1.f?elJer<Jpa<:la§a~arsabelakangan ini sebagai sesuatu yang hanya
~Illiliki sangat sedikit pertaliannya dengan makiia sejati agama Ktisten,
sehinggamuncul rupa-rupa pergerakan dan tekanan untuk menjadikan
teologi dan praktik gerejani lebih selaras dengan hal-hal positif dan
baik yang terdapat dalam berbagai kebudayaan, dan serentak ber-
sikap semaldn kritis terhadap apa yang sungguh-sungguh bersifat de-
struktif di dalam kebudayaan-kebudayaan dimaksud.
<Pada tem~a, bertumbuhnya jati diri Gereja-Qereja Ic)kal
juga memberi sumbangsih kepada keniscayaan pengembangan teologi-
ieol~giYallgsUngg\m-sunggUhbersifat konieK5tual. Jose Riial, patriot
dan pahl~~an naSional Filipina, menulisdit.ialll novelnya El Fili-
bUSlerismo, bahwa "tidak ada tiran eli mana tidak ada budak"41 Apa
yang dimaksudkan Rizal iatah bahwa manakala seseorang, suatu
bangsa, atau kebudayaan mencapai kesadaran yangjelas menyangkut
jati dirinya, maka tidak ada satu orang, bangsa ataupun kebudayaan
mana pun yang bisa memperalatnya, menindasnya atau menyusupkan
hal-hal yang tidak dikehendaki atau bersifat merusak ke atasnya Pen-
jajahan memperbesar suatu perasaan eli antara orang-orangjajahan
bahwa apasaja yang sungguh-sungguh baik dan berfaedah berasal-
usul pada negara penjajah. dan apa saja yang terdapat eli negeri jajahan
itu bersifat kurang lengkap, sederhana, mutu rendah, hanya timan dari
barang yang sebenamya. Menjelang dan setelah berakhimya kolonial-
isme, bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan mulai terjaga atas
TEOLOGI KONTEKSTUAL SEB AG AJ IMPERATIF TEOLOGIS 17
Faldor-Faldor Inlrlmal
PENUTUP
DOD
2
PERSOALAN-PERSOALAN
DALAM TEOLOGI KONTEKSTUAL
27
28 MODEL· MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
PERSOALAN-PERSOALAN
MENYANGKUT METODE TEOLOGI
apa pun dalarn kebudayaan tersebut sering kali dapat secara Iebih
rnudah dan efeIctif rnenarnpilkan "sisi geIap" kebudayaan itu daripada
orang-orang yang hidup di dalamoya. Dengan cam dernikian seorang
non-partisipan bisa rnembantu mentahirkan bidang-bidang bernoda
di dalarn sebuah kebudayaan yang bersifat dehumanistik dan ideologis.
Para mahasiswa atau pelancong asing di Amerika Serikat, bisa me-
narnpilkan secara lebih garnblang daripada orang-orang kelahiran
Amerika Serikat tentang ciri-<:iri negatif dari individualisme dan etika
sukses Amerika Serikal Seorang misionaris asal Eropa atau Amerika
Serikat bisa rnengingatkan kebudayaan-kebudayaan yang terpusat
pada keluarga seperti yang terdapat di Indonesia bahwa keluarga-
keluarga kadang kala rnenuntut terlalu banyak dari seorang individu,
dan niIai-niJai kristiani sepeni keadilan dan kejujuran bisajadi merniliki
klaim yang lebih besardaripada kesetiaan buta kcpada keluarga. Apa-
bila para partisipan di dalam sebuah kebudayaan atau situasi bersikap
jujur dan terbuka maka mereka dapat belajar banyak hal dari seorang
asingyang tinggal di tengabmereka, dan orang asing itu bisa menunaikan
pelayanan yang besar bagi kebudayaan setempat dan Gereja Iokal.
Pada tempat ketiga, oleh kejujurannya dalarn menyatakan posisi
teologisnya, seorang non-partisipan bisa rnemicu orang dari kebudaya-
an atau situasi di sana untuk menyatakan pemikiran teologis mereka.
Saya mendasarkan gagasan ini pada pengalamanku sendiri ketika coba
beradaptasi dengan kebudayaan Italia sebagai seorang mabasiswa di
Roma, dan ketika coba beradaptasi dengan kebudayaan Filipina se-
bagai seorang misionaris. Sementara saya menemukan bahwa ada
peluang cukup besar bagiku untuk beradaptasi dengan kedua ke-
budayaan tersebut, dan bertumbuh di dalarn dan melaluinya, nam UD
hemat saya pelajaran terpenting yang saya timba ialah apa artinya
menjadi seorang Amerika Serikat. Dengan kata lain, saya menemukan
bahwa salah satu cara terpenting untuk tahu siapa diri Anda ialab dengan
mengenal, dalarn perjumpaan dengan yang lain, siapa atau apa yang
bukan diri Anda. 16 Salah satu cara di mana seorang non-partisipao
36 MODEL·MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
PERSOALAN-PERSOALAN
MENYANGKUT KIBLAT DASAR TEOLOGI
PERSOALAN-PERSOALAN
MENYANGKUT KRITERIA UNTUK ORTODOKSI
kila boleh meyakini bahwa sensus jidelium berlaku di sini, dan bahwa
ungkapan itu adalah ungkapan yang sejati.
Dalarn bukunya, Constructing Local Theologies, Robert
Schreiter menyebutkan lima kriteria untuk menentukan kesejatian
sebuah ungkapan teologi lokal tertentu. 36 Kriteria ini serupadanjuga
serentak melengkapi ketiga kriteria dari De Mesa dan Wostyn. Pertama,
demikian Schreiter, sebuah rumusan teologi harns memiliki konsistensi
internal. Hal ini serupa dengan kriteria pertama de Mesa dan Wostyn
menyangkut arah dasar. Schreiter memberi contoh tentang reaksi
Gereja terhadap bidah Arianisrne. Walaupun pernikiran Arius terbilang
luar biasa cerdik, meyakinkan dan berakar daJarn kebudayaan Helenis-
tik terkini ketika itu, namun apa yang mulai disadari Gereja (tenru saja
dengan bantuan Athanasius) ialah bahwa doktrin Arius tidak berada
daJam arab dasar yang sarna dengan arus gerak dasar agarna Kristen.
Seandainya Yesus daJarn arti tegas bukan Allah yang benar, maka leita
tidak diselamatkan, karena hanya Allah sendirilah yang dapat menyela-
matkan. Oleh karena iru, Arius salah dan Athanasius benar.
KriteriakeduaSchreiteriaJah bahwa sebuah ungkapan yang benar
tentang teologi kontekstual mesti bisa diterjernahkan ke dalam ulah
kebaktian. Prinsip dasar yang berlaku di sini ialah lex orandi, lex
credendi - cara kita berdoa mengacu pada cara kita beriman, dan
sebaJiknya. "Apa yang teIjadi," tanya Schreiter, ''keUka perkembangan
teologi dibawa masulc ke dalam konteks peribadatan? Bagaimana
teologi iru berkembang daJam komunitas Gereja yang berdoa? Apa
yang terjadi dengan sebuab jemaat yang memasukkan teologi iru ke
dalam doa mereka?"37 Untuk sekali lagi mengacu kepada bidah
Arianisme, alasan lain mengapa Arianisrne dianggap salah ialah karena
praktik liturgi: orang-orang Kristen berdoa kepada Kristus sebagai
Allah, bukan sebagai satu makhluk ciptaan. Praktik liturgi agama
Kristen melarang inovasi yang coba dimasukkan oleh Arius.
PERSOALAN·PERSOALAN DALAM TEOLOGI KONTEKSTUAL 43
INDIGENISASI, KONTEKSTUALISASI
ATAU INKULTURASI?
dilihat sebagai sesuatu yang tertutup dan serba Iengkap, tetapi lebih
terbuka dan mampu diperkaya oleh peJjumpaan dengan kebudaya-
an-kebudayaan dan pergerakan-pergerakan yang lain. Kalau indi-
genisasi "cenderung melihat kebudayaan tuan rumah maupun kebuda-
yaan 'yang ada di luar sana' sebagai sesuatu yang baik," maka konteks-
tualisasi "condong bersikap kritis terhadap keduajenis kebudayaan
tersebut".48Satu alasan terakhir untuk menggunakan istilah konteks-
h musasi ialah bahwa tenn ini menghindari perhatian yang eksklusif pada
* * * * lie
50 MODEL-MODEL TEOLOGJ KONTEKSTUAL
ODD
3
PENGERTIAN DAN PENGGUNAAN
MODEL-MODEL
DALAMTIGADASAWARSA TERAKHIRsejumlahbesarbuku
dan artikel teologi telah menggunakan istilah model, entah dalam judul
atau dalarn metode pendekatan terhadap satu pembahasall teologis
tertelltu. Pacta tahun 1976, Peter Schineller menerbitkan sebuah tulisao
penLillg yang mengedepankan empat model sistematis 1 di bidang
kristologi dan eklesiologi. Pada tahun 1978, Thomas F. O'Meara me-
nyeJisik beberapa model dati pemikiran filosofis yang dapat ditemukan
dalam rupa-rupa pendekatan terhadap pemaharnan ten tang Gereja
Kristen. 2 Di sarnping karya-karya lain yang telah menggunakan "pen-
dekatan model" guna memahami kehidupan agama, pelayanan, karya
pastoral, atau corak-corak perayaan Iiturgi, dapat pula disebutkan
lima model refleksi teologis David Tracy, begitu juga tigamodel Sallie
McFague dalam pembicaraan tentang Allah. J
Sekurang-liurangnya bagi orang-orang Katolik, menggunakan
model-model untuk mendekati suatu pemahaman tentang suatu
persoalan teologis yang majemuk atau sulit dapat dikilas balik ke
pemunculan karya Avery Dulles, Model-Model Gereja, sebuah karya
yang telah menjadi klasik dalam teologi Katolik pasca Konsili Vatikan
ll.4 Dalam buku ini, Dulles memperlihatkan dengan sangatmeyakinkan
kekuatan dalam menggunakan model untuk memilah persoalan-per-
soalan di bidang teologi. la mengemukakan lima model- Gereja se-
bagai lembaga, sebagai persekutuan mistik, sebagai sakramen, sebagai
bentara dan sebagai pelayan - masing-masing model ini menyingkap-
kan earn khas tentang pemaharnan misteri Gereja. Lalu Dulles menatik
51
52 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTESKTUAL
PENGERTIAN MODEL
kannya dengan cara ini; yang lain juga membuatnya dengan cara ini."
Sebagai konstruksi atau tipe ideal maka pentinglah, seperti kata Bar-
bour (yang mengingatkan kita padaReinhold Niebuhr), bahwamodel-
model ini mesti "digubris secara sungguh-sungguh, namun tidak secara
harfiah".13Tidak ada satu pun yang sungguh-sungguh menjadi sebuah
model di dalamkehidupan nyata; atom tidaksungguh-sungguh meniru
siStem matahari. Orang tidak melulu berpikirtentang Gereja misalnya
sebagai sebuah lembaga atau pelayan atau persekutuan rnistik. Se-
orang kardinal yang sangat condong bersikap institusional masih bisa
tergetar hatinya mendengar Gereja disebut tubuh Kristus, dan berbicara
tentang Allah sebagai Bapa tidak berarti bahwa Allah secara harfiah
memilikicirikelamin primerdansekunder laki-laki. Suatu model, seperti
yang ditandaskan Sallie McFague, ambil bagian dalam sifat metaforis
semua bahasa, dan dernikian walaupun ia tentu saja menyatakan sesuatu
yang riil, namun ia tidak pemah sungguh-sungguh menangkap realitas
itu. Kita dapat katakan bahwa "kunci dari penggunaan model-model
ini secara tepat ialah ... untuk selalu memperhatikan tegangan-tegangan
metaforis - 'demikiandan bukan demikian' - dalam segala pernikiran
serta penafsiran kita" .14
Akan tetapi, Barbourmenekankan bahwa model-model itu bukan
sekadar "rekaan yang berfaedah".15 Model-model itu dapat dan se-
nyatanya menyingkapkan sosok-sosok nyata yang sedang dibicarakan;
model-model itu menyingkapkan realitas. Menggunakan model-model
ini merupakan earn membedah suatu realitas yang majemuk dan sangat
beranekaragam. Walaupun model-model itu bukanlahseurnpama se-
buahkampak, namun merekadapat berfungsi sebagai semacam baji;
walaupun model-model itu tidak bisa membawakeseluruhan gambaran
ke dalam fokus, namun merekamenyajikan suatu sudut pandang. Pe-
maharnan model dalam caraini mengandaikan bahwa kita menganut
suatu filsafat realisme kritis. Walaupun seorang penganutrealisme kritis
menyadari bahwa orang tidak pemah dapat mengetahui secara seutuh-
nya suatu realitas sebagaimana adanya, namun pada saat yang sama
PENGERTlAN DAN PENGGUNAAN MODEL-MODEL 55
kalau komitmen atau posisi itu bisa dikaitkan satu sarna lain. Walaupun
Thomas Kuhn agak berlebih-lebihanketika mengatakan bahwa sebuah
perubahan dalarn paradigma mengandaikan tidak kurang dari perto-
batan, nam~ paradigma itumemang mewakili earn paham yang sangat
khas terhadap realitas sertamembiillgIdtkan serarigklliimperiaiiyaan
--~-'.""'"''-'' '' ";'''-''''''' . . . ,.
. , - "..
Gambal2
Ptlla Mode/-Modtl/ Te%gi Konleksfua/
Model
Transendenlal
model pun yang bersifat tuntas lagi mendalarn serta dapat diterapkan
untuk semua situasi iman. Situasi-situasi tertentu boleh jadi menuntut
seorang teolog agar bersikap lebih protektif terhadap tradisi yang di-
wariskan dan terhadap bahasa serta cara pandang atas dunia dalam-
nya tradisi itu muncul. Situasi-situasi yang lain meminta seorang teolog
untuk peka terhadap hidup dan tindakan orang-orang Kristen, seraya
menimba kekayaan pengalarnan yang disingkapkan oleh hidup dan
tindakan tersebut. Lain kali, seorang teolog mesti menunjukkan
kekayaan budaya sertakhazanah nilai-nilai rohani yang dikandung dan
dibabarlainnya pada lahap awal. Kita boleh memilih satu model tertentu
dalarn satu konteks tertentu, narnun leitajuga mesti menyadari bahwa
model-model lain bisa sarna-sarna absahnya dalam konteks yang lain.
DOD
4
MODEL TERJEMAHAN
DAR! KEENAM MODEL yang akan kita selisik dalam buku ini,
model terjemahan menyangkut teologi kontekstual barangkali me-
rupakan model yang paling umum elipakai, dan biasanya merupakan
model yang paling sering elibayangkan orang ketika mereka memikir-
kan ihwal berteologi dalam konteks. Robert Schreiter menandaskan
bahwa banyak hal dalam pembaruan atas teks-teks liturgi Katolik
Roma eliarahkan oleh pendekatan terjemahan, seraya mempertahankan
hanya apa yang hakiki dari upacara-upacara itu, sembari menyesuaikan
kebiasaan-kebiasaan yang elipandang tidak penting ke dalam kebuda-
yaan dan praktik setempat. 1 Dan memang, sebuah tulisan dalam sebuah
kamus teologi liturgi menyebut tepat dan cocok penggunaan istilah
cukzptasi untuk menerangkan cara yang Iiturgi pedukan untuk ber-
hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan tertentu. 2
Para praktisi model terjemahanjuga menunjukkan bahwa model
ini kemungkinannya merupakan cara paling tua yang mengindahkan
konteks berteologi secara sungguh-sungguh, dan model itu elitemukan
eli dalam Kitab Suci itu sendiri. Paus Yohanes Paulus II rnenulis bahwa
khotbah-khotbah Paulus eli Listra dan Athena (Kis 14:15-17 dan
17:22-31) "merupakan khotbah-khotbah yang memberikan contoh
tentang inkulturasi Injil".3 BagiDaniel vonAllmen, upaya-upayaRasul
Paulus untuk berbicara tentang kesatuan orang-orang Kristen dengan
Kristus merupakan sebuah contoh utama tentang bagaimana proses
berteologi kita harns elilaksanakan dewasa ini.4 Charles Kraft menan-
daskan bahwa cara berteologi seperti ini - dengan tujuan rneneljemah-
kan perwartaan Kristen ke dalam konteks-konteks yang senantiasa
64 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
tisfg.k bembah. Sebagaimana yang ak<\11 kita lihat di bawah ini, tradisi
bukanlah suatu model bagi cara-cara yang berani lagi kreatif untuk
rnenyatak<\11 pewartaan tersebut•.tmdmi~2i!:!..~~dang sebagai ~tu
c~UIlffik.bY!~~,ill1J~!1e£~j'!§~l!ah i~. Nilai-nilai
dan bentuk-bentuk pemikiran dalarn sebuah kebudayaan dan struktur-
struktur perubahan sosial tidak dipaharni sebagai baik dalarn dirinya
sendiri, tetapi sebagai wahana yang nyaman bagi khazanah kebenaran
yang hakiki dan tidak berubah ini.
Terminologi
untuk orang-orang yang sudah percaya padanya, dan juga tidak saja
bagi orang-orang yang dibentuk dalam sebuah sistem sosio-budaya-
sejarah-bahasa tertentu, tetapi untuk semua orang, di semua tempat." 14
Keempat doktrin itu adalah (1) bahwa umat manusia telah jatuh ke
dalam dosa dan membutuhkan penyembuhan serta keselamatan; (2)
bahwa, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci, pewahyuan
Allah berlangsung di dalam sejarah umat manusia; (3) bahwa doktrin
tentang Allah Tritunggal secara paling baik membahasakan siapakah
Allah yang benar lagi sejati itu, dan apa arti iman akan Allah bagi
kehidupan di dalam dunia ini; dan (4) bahwa Yesus adalah Kristus -
bahwa dalam Yesus, manusia dapat menemukan makna kehidupan
yang benar. ls
Namun bagaimanapunjuga, apa yang sangat jelas dalam benak
orang-orang yang menggunakan model teIjemahan ini ialah bahwa
sebuah pewartaan hakiki, yang bersifat adi-kontekstual bisa dipisahkan
dari cara pengungkapan yang terikat secara kontekstual. Oleh karena
itu, l§kah ~a dalam prosel!~ontekstu?!~~~~~!:!i!h:.aQEfrin
a1iiUp~ten tertentu ialah melucutipya dari ~ungkusancbung
~@J>iidaY3l1ya :::s'ekam" bUrlaya - ~~ rangka menemukan bernas
Inji!. Begitu "Injil telanjang" itu berhasifdisingnpkan maka kita lalu
i!iencari istilah, ti~an atau cent!' ~~gcocok JJ1ltuk "budaya pe-
~a" cIalarnnya pe~~il1,fJl!k...e!!l'!S ke..mQ~i. Manakala kedua
hal ini telah bezhasil ditemukan dan dipersatukan dengan bantuan tidak
saja dari bidang teologi dan antropologi, tetapi juga oleh simpati religius
dan budaya yang sejati, maka segi tertentu dari Inji! tersebut- sekurang-
kurangnya untuk waktu ini dan tempat ini - telah diteIjemahkan dengan
cukup berhasi!. Karena hal terpenting dalam model teIjemahan ialah
ihwal meneIjemahkan pewartaan, maka sebagian terbesar peneIjemah
mengakui bahwa \yiIJ.'u,JpUl) lli<Qih J1Ien..&J,l!lJ!!!l~~dain.Yl!.QI!!lg
yang rn:~qe.I!!~~d~l~j~~a.!~~~sie~_<!i. <W<IlIll>.Q!1J.eks
~dili3lllllya~,!,,~ itud.i~r.i!!m~!l!1,Jlamu.~.h..~..iIll_ti~_s.ecara
mutlakJlle¢ denli)cilul. Apa yang penting ialah bahwa orang memaharni
70 MODEL·MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
Gambo,3
Model Terjemahan
Lebih dari semua model lain yang akan menjadi pusat pembahas-
an kita dalam buku ini, kecuali barangkaJi model budaya tandi!lgan
yang akan kita paparkan dalam bab 9, model terjemahan secara
sll!lgguh-sungguh mengindllhkan pewartaanagama Kristen sebagai- .
marlayangtereIZamdalam Kiiab Sucldanditeruskim ctfiIamtradisi.
Peiltkanarmya padiljati diri Kristenlebih penting daripada, walaupun
tidak secara eksklusif, realitas kontekstuaI atau jati diri budaya. Sama
seperti model budaya tandingan, model teIjemahan memberi kesaksian
tentang kenyataan bahwa agama Kristen memang memiliki sesuatu
untuk disampaikan kepada dunia ini, dan bahwa pewartaannya sung-
guh-sungguh rnarnpu membawa terang dandamai kepada dunia yang
gelap dan bennasalah ini. OIeh karena itu, pentinglah bahwa apabila
para pewarta dan pengajar memberitakan dan mengajarorang-orang
untuk mendengar dan membaca ten tang agama Kristen, maka
pewartaan tentang kehidupan untuknya agama Kristen bersaksi harus
didengarkandan dipahami secarajelas, dan bahwa pewartaan itu tidak
boleh ditampilkan dalam cara-cara yang secara otomatis dianggap
orang sebagai sesuatu yang tidakrelevan, atau terlalu akomodatif.
C~pentinllla!!!nya dari model te~ernahan ialah bahwa model ini
~11S~lll!!!£!y'a1ens!~w..W!!..~~twU, entah itu pengalaman se-
orang pcibadi atau sebuah masyarakat, tatanan nilai dari suatu ke-
budayaan atau agama, lokasi sosial seseorang atau gerakan-gerakan
74 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
bahkan sering kali diutamakan ini. Salah satu kritik terpusat pada gagas-
an tentang kebudayaan yang menjadi latar belakang dari metode teo-
logis dalam model teIjemahan ini. Pengandaiannya ialah bahwa secara
pukul rata setiap kebudayaan itu serupa dengan setiap kebudayaan
yang lain, dan bahwa apa yang penting dalam satu kebudayaan juga
penting dalam kebudayaan yang lain. Seperti yang diamati Robert
Schreiter, 'jarang sekali dipertanyakan entah sungguh adakesejajaran
semacam itu, entah kesejajaran dimaksud memiliki maknayang sarna
dalam kebudayaan yang barn., atau entah pola-pola yang lebih ber-
makna dapatditemukan di situ".24 Perkawinan poligami misalnya,
jelas-jelas bertentangan dengan ajaran eksplisit Yesus (Mat 19:3-10),
dan pada umumnya bukan merupakan praktik Gereja, namun dalam
tahun-tahun belakangan ini baik para antropolog maupun teolog telah
menunjukkan pentingnya pola-pola perkawinan semacam itu demi
tatanan dan kerekatan beberapa masyarakatdi Afrika.25 Apa yang di
atas permukaan tampak sebagai suatu praktik yang sangat tidak
kristiani, berkenaan dengan kebudayaan Amerika Utara atau Eropa
misalnya, bisa saja secara aktual menjadi sesuatu yang dapat ditafsir
sebagai sesuatu yang secara sangat mendasar bersifat kristiani. apabila
struktur-struktur yang lebih dalam dari suatu kebudayaan berhasil
disingkap.
Kritik yang lain juga berpusat pada apa yangbarangkali merupa-
kan g!igaSan kurici dalam model teIjem3Ji~: cirl adi-budaya atau adi-
kontekstual dari pewartaan Kristen. Sangatlah tidak mungkin bisa ada
apa yang disebut-sebut sebagai "Injil telanjang" itu. Tentu saja penting
untuk tidak membuang sang bayi (doktrin) bersama air mandinya
(konteks), dan hal inilah yang secara tegas diakui oleh model teIjemahan
itu. Akan tetapi. masalahnya iaJah bagaimana mengetahui peIbedaan
yang persis-tepat di antara keduanya, karena "kita tidak dapa!!nasuk
ke dalam Injil secara lepas-pisah dari rumusan m'!1lusia". 26 Suatu
gag;~3n yang lebfunwf ctanposidvistii(mC;;yangkut ~udayaan bisa
jadi membenarkan kandungan adi~budaya semacam itu, namun apa
76 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
yang jauh lebih urnum diterima dewasa ini ialah paham tentang
kebudayaan yang rnerangkul segala sesuatu, yang menjadi matriks
dari setiap perilaku rnanusia dan ekspresi linguistik. Menentang citra
budaya sebagai sekarn yang menutupi bernas, Krikor Haleblian
berpendapat bahwa kebudayaan itu seumparna sebutir bawang yang
rnerniliki beragarn lapisan. Pewartaan agama Kristen selalu diinkultur-
asikan, dan daripada meneari sebuah intisari yang hakiki, kita malahan
rnesti mencari satu eara untuk memindai pola-pola kebudayaan yang
rnenginkamasikan alau marnpu rnenginkamasikan keberadaan dan nilai
Kristen. 27
Ketiga, kita juga bisa rnengkritik gagasan implisit dari model
teJjernahan menyangkut pewahyuan yang dilihat sebagai yang bersifat
perumusan. Pewahyuan itu bukan melulu suatu pewartaan yang berasal
dari Allah, satu daftar kebenaran yang mesti diimani oleh orang-orang
Kristen. Pewahyuan adalah penyataan kehadiran Allah di dalam ke-
hidupan manusia dan di tengah masyarakat rnanusia, dan Kitab Suci
menampilkan rekaman tertulis dari manifestasi itu pada zaman tertentu
dan dalam satu masyarakat tertentu - yakni masyarakat Yahudi dan
jernaat Kristen bahari. Studi-studi Kitab Suci kontemporer telah
.membuat kita kian rnenyadari bahwa, sebagairnana yang telah kita
paparkan dalam Bab 1, teks-Ieks Kitab Suci bukan merupaJ('an hasil
proses dikte dari surga, melainkan pergumulan orang-orang beriman
gunamernberi artikepada iman itu di tengah-tengahkehidupan di mana
kehadiran Allah sering kali kurang nyata. Kitab Suei - dan sampai
pada taraf tertentu juga tradisi Kristen - bukanlah satu daftar doktrin
yang rnesti diimani, melainkan ia menarnpilkan rupa-rupa eara yang
absah untuk bergumul dengan iman dan berteologi. Penerimaan atas
Kitab Suei dan tradisi sebagai Firman Allah serentak merupakan
penerimaan atas tantangan untuk mengikuti jejak para penulis Kitab
Suci dan manusia-manusia agung dalarn tradisi berkenaan dengan ihwal
memindai jalan-jalan Allah dalarn saat sekarang ini.28 Yang hendak
dianjurkan di sini bukanlah ihwal mencari sebuah bemas untuk di-
MODEL TERJEMAHAN 77
bungkus dalam sebuah sekam yang barn, melainkan agar para teolog
mencari kehadiran Allah pada setiap lapisan bawang, dan memperlihat-
kan kehadiran itu dalam bahasa tradisi yang lebih tua dan lebih luas.
Model teljemahan tidak bisa ditolak atau diterima tanpa sikap
kritis. Hemat saya, adakesempatan-kesempatan, seperti evangelisasi
perdana, atau ketika kita berupaya menginjili kebudayaan sekular dan
pasca modemisme, di mana sebuah terjemahan atas pengertian kita
ten tang agama Kristen bersifat niscaya. Dalam keseluruhan proses
evangelisasi, keutuhan Injil dan tradisi Kristen mesti dilindungi. Akan
tetapi, model teljemahan tidak pemah bergerak melangkaui sebuah
akomodasi atau adaptasi dari sebuah isi tertentu. Pada akhirnya diperlu-
kan sikap yang lebih serius dalam ihwal mengindahkan dunia dan
manusia- bnkan melulu menggunakannya sebagai sarana -dalarnnya
Allah telah berinkamasi.
David J. HttS681g1'tl1lfl
seluruh maksud Allah (Kis 20:27)."41 Banyak hal dalam Kitab Suci-
khususnya dalam Perjanjian Lama, seperti aturan halal-haram serta
ketetapan tentang korban - merupakan kekhasan suatu budaya, namun
terdapat kaidah-kaidah melaluinya intipati yang bersifat adi-budaya
ini dapat dipindai. Hesselgrave meminjam definisi Bruce 1. Nicholls
untuk menjelaskan bahwa kontekstualisasi merupakan "tedemahan
atas isi yang tak belllb.l!IH!;t!j.P.illJ~!}~g,K~~,ajaanAl!.lI;h.!.~am
JJ:!1~:..b.:!ltuk verbal Y~'¥!9~~.~kncl?~sj,.!u...E~:.ruPil.2!"~~dllJam
be.ra!t~.~\l.g~~"s'\:r1!l.$il:!J.~~~~!~~~s!ar.~~~~~khas" .42
Agar komunikasi yang kontekstual atas Injil ini sungguh-sungguh
ampuh, Hesselgrave mengembangkan model komunikasi tri-bahasa
Eugene Nida ke dalam model tri-budaya. ~rang misionaris adalah
subjek dari satu budaya tertentu; ia harus mengkomunikasikan amanat
InjiI, yang dibungkus dalam kekhasan budayanya sendiri, kepada sub-
jek-subjek yang berasal dari satu kebudayaan lain. Untuk melakukan
hal ini, ia mesti menempuh dua langkah: pertama. i.!I~ti mendel(jjn-
t:KS~ii!§~,e?!I1~al§i!li~~ndiri~InjiI,
meJ3IiiisuaiUteTaah yang saksama atas teks Kitab Sud; kemudian ia
mesti mempelajari budaya responden dalam rangka mengkonteks-
tualisasikan amanat itu ke dalam pengertian yang khusus. Sebagai-
mana yang diringkaskan Hesselgrave:
mahan padanan yang kreatif lagi dinamis dari Inji! yang tidak bembah-
ubah dan bersifat adi-budaya dengan menggunakan berbagai simbol
dan bentuk pemikiran kebudayaan lain. Lebih dari itu, Gereja universal
itu sendiri dalam proses inkulturasi diperkaya "dengan bentuk-bentuk
ungkapan dan nilai-nilai dalam berbagai sektor kehidupan kristiani,"
dan akbirnya ia "mengetahui misteri Kristus dan mengungkapkannya
secara lebih baik" .68 Akan tetapi, kalau kita terns membaca tulisan-
tulisan Yohanes Paulus II maka apa yang menjadi semakin gamblang
ialah bahwa betapapun kreatifnya teJjemahan atas Injil itu, namun ia
mesti selalu menjadi terjemahan dari Inji! (dan juga atas rumusan-
rumusan doktrinal Gereja). Berulang kali, sri paus memperingatkan
bahaya dari ihwal memberi prioritas kepada kebudayaan, dan bukan-
nyakepadaInjil, serta membedakan "kulturalisme" semacam itu dari
daya gunakebudayaan yang sesungguhnya "tWlam rangka menerje-
mahkan kembali dalam kata-kala baru dan dalam sudut-sudut pan-
dang baru wahyu alkitabiah yang telah diwariskan kepada kita". 69
Bahkan ia mengakui bahwa ada beberapa bentuk pengungkapan
budaya (sudut-sudut pandang filosofis, bahasa-bahasa, sistem-sistem
keilmuan) yang tidakmemiliki sesuatu apa pun untuk disumbangkan
kepada amanat Inji!, dan hanya perlu dilawan serta diluruskan.70
Tampaknya yang paling penting dalam benak sri paus ialah ihwal
menjaga kesatuan iman, dan baginya hal ini bisa dicapai hanya dengan
menekankan keutamaan universalitas persekutuan gerejani serta bentuk
ungkapan doktrinal. Gagasan ini diungkapkan secara sangat gamblang
dalam sebuah amanat yang disampaikan pada audiensi umum tanggal
27 September 1989. Sambi! mengacu kepada peristiwaPentekosta.
di mana orang dari berbagai bangsa dan kebudayaanmendengar para
rasul berbicara tentang "perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan
Allah" (Kis 2: 11) dalam bahasa mereka sendiri, sri paus menyimpulkan
"bahwa Gereja lahir sebagai sebuah Gereja universal, dan bukan
melulu sebagai sebuah Gereja partikular, yaitu Gereja Yerusa-
lem".71 Selanjutnya ia mengatakan bahwa dengan cara ini .. Univer-
MODEL TERJEMAHAN 91
DOD
5
MODEL ANTROPOLOGIS
96
MODEL ANTROPOLOGIS 97
Tetminologi
an, yang sering kali teIjadi secara talc tersangka-sangkakan_ Yang men-
jadi kOOdah olehnya pengungkapan religius yang sejati dini!OO sehat
bukanlah ihwa! persesuaian dengan sebuah pewartaan tertentu, melOOn-
kan dengan kategori-kategori kebidupan manusia yang lebih umum,
yakni keutuhan, penyembuhan dan relasi.
(K~a, m04.el ini bersifat~t:rop<ll~~~s_<il!l_am arti b!!h?'{i!.~.!.lleng
gunakan wawasan-wawasan
'""',-- . . .. •..
~ ..,- ... •.•. .....ilmu-ilmu
' '' ~ -~- ~' '. ''
sosia!,
...........,-- ,,,." ',"-"
, - '' .~ ,
terutamaantropolQgi.
....... .
~' ~.-.-,'' ,... " . , _.
harta karun". 8 Sementara Kitab Suci dan traelisi Kristen bisa berfungsi
sebagai peta, yang hams e1iteljemahkan agar berguna dalam perburuan
itu, makakelja yang sebenamya berupa penggalian secara mendalam
atas sejarah dan traelisi kebudayaan itu sendiri, "karen a terutama di
sanalah harta karun itu mesti ditemukan".9 Tentu saja harta karun itu
adalah rahmat Allah di dalam diri Kristus, dan kehaeliran Allah yang
menyembuhkan dan menebus ini tersembunyi eli dalam setiap kebu-
dayaan dan setiap agarna di dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu. 1O
Para praktisi model antropologis menekankan bahwa, walaupun pe-
nerimaan atas agama Kristen bisajadi menantang satu kebudayaan
tertentu, namun agama Kristen tidak akan secara radikal mengubah
kebudayaan tersebut. Model antropologis melihat adanya keuntungan
timbal balik baik bagi kebudayaan tertentu maupun agarna Kristen
pada umumnya.
Dalam Bab 2 kita telah membuat pembedaan antara teologi yang
terpusat pada ciptaan dan teologi yang terpusat pada penebusan. Telah
kita tegaskan pula bahwa bergantung pada kiblat dasar teologis mana
yangseseorangpilih,iamemberiruangyangbanyakatausedikitkepada
satu konteks historis atau kultural tertentu untuk berfungsi sebagai
sumber teologi yang absah. Sebuah teologi yang terpusat pada pene-
b~ walaupun ia boleh saja mengakuipenilngnya faktor-t"iiktor
kQJJteksbllll<nam\!!l§.~3Ia~iiiiiiaQ\ci~s·ja tj~ In~ll1I>e.rLc~pruang
bag! f~-f~r i~d.alaIl:) P!"9.~~!Q&.iyan.&..aktual. Akan tetapi,
kiblat yang teJpusat pada ciptaan cenderung rnenganggap pengalarnan
manusia pada umumnya dan kebudayaan pada khususnya sebagai
ajang pewahyuankehadiran Allah dalam sebuah situasi tertentu. Hemat
saya, untuk m~njadi seorang praktisj mode] ~logis, ~aka sikap
d~!I!.te<2!~g!~.1..I1!.1.&!!!.~~ti di~E!1 agl!lah.ki,blatYMlg ~!Eusatg~a
c~. Model antropologis bersandar pada suatu keyakinan akan
kebaikan ciptaan, alau mengutip Gerard Manley Hopkins, ciptaan
"yang dipenuhi 0100 kemuliaan dan keagungan Allah". Memang orang-
orang yang menggunakan model antropologis sering kali jatuh ke dalam
102 MODEL-MODEL TEOLOOI KONTEKSTUAL
sikap ekstrem, namun pada jantung hati model ini terletak sakramen-
talisme yang kuat yang mencirikan pemikiran Katolik yang benar. 11
Secara umum, titik tolak: model antropologis adalah kebudayaan,
dengan titik perhatian istimewa pada kebudayaan manusia, entah
sekular atau religius. Dalam sebuah makalah yang disampaikan pada
sebuahkongres misi pada tahun 1983, Simon Smith berbicara tentang
apa yang baginya merupakan arti sejati dari inkulturasi. Berdasarkan
pengalamannya sebagai seorang misionaris di Afrika, mula pertama
Smith menekankan apa yang bukan inkulturasi. Inkulturasi bukan
"perayaanliturgidengantetabuangenderangatautari-tarianataucanang
yang gemerincing atau semerbak bunga atau dupa; adanya seorang
klerus pribumi atau bahkan hierarki," dan yang sejenisnya. 12 Praktik-
praktik semacamini bukan merupakan inkulturasi yang benar karena
semuanya "mengandaikan bahwa adanya sebuah kumpulan data ter-
tentu, sebuah pewartaan, sebuah kumpulan doktrin, sebuah minimum
tertentu yang hams kita adaptasi, sesuaikan, diberi busana atau saya
tidaktahuapaJagi".13MasalahnyaiaJahmenyangkuttitiktolak:;inkultur-
asi semacarn itu mengambil sesuatu yang secara mendasar non Afrika
sebagai faktor utama dalam agama Kristen dan kemudian mencari
cara-cara untuk mengadaptasikannya. Apa yang hams dilakukan
ialah mulai dengan kutub budaya yang sebaliknya:
Guna memaharni apa yang hendak: saya sampaikan, coba
dengarkan pembicaraan yang saya langsungkan beberapa
tahun silarn di Afrika dengan sekelompok teolog Afrika (saya
menyebut teolog Afrika, bukan teolog di Afrika). Apabila
kita berbicara tentang inkulturasi di Afrika, maka kita hams
mengakui primat kebudayaan. Kita terbiasa menekankan
pewahyuan atau dogma atau hal-hallainnya yang diberikan
dari luar ketika kita berbicara tentang inkulturasi. Narnun bagi
orang-orang Afrika, yang terutama adalah kebudayaan. 14
MODEL ANTROPOLOGIS 103
Gambar4
Model Anfl'opologis
Pengalaman Masa Lampau Pengalaman Masa Kini (Konteks)
~~~~~~
Kitab Suci Kebudayaan (sekular, religius)
Pengalaman (personal, komunal) Lokasi Sosial
Tradisi Perubahan Sosial
-
Segi positifketiga dari model antropologis ialah bahwa ia mulai di
lcmpat umat berada, dengan ru"p.a:~£~.~!:s.~iiJl serta kepentm!an
riil umat, bukan deng~.~~qali!P~r~\lIa,n.~;Wg dicekokkan ari
konteks-konteks yang lain. Antropolog Jon Kirby telah menunjukkan
b~wa evangelisasi di A1rika kurang berhasil oleh karena agama Kristen
tidak ditampilkan sebagai suatu sistem yang memecahkan masalah-
masalah yang sungguh-sungguh dipunyai oleh orang-orang Afrika.
"Orang-orang Kristen Afrika terus saja berkutat dengan masalah-
masalah yang berada di luar batas kewenangan Gereja (dan berharap
bahwa tidak ada orang yang memperhatikannya). Bagaimanamungkin
kita berbicara tentang 'Gereja Afrika' yang kian berkembang, atau
'indigenisasi' atau 'proses kontekstualisasi lnjil' tanpa pertarna-tama
membuka mata dan telinga kita kepada masaIah-masalah umat se-
bagaimana yang mereka alarni dan pahami?,,27 Model antropologis
coba menjawab pertanyaan ini dengan memprakarsai "sebuah dialog
dengan tradisi Kristen olehnya tradisi itu bisa memusatkan perhatiannya
pada pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar diajukan oleh situasi-
situasi setempat, dan bukan hanya menyangkut persoalan-persoalan
yang telah dibahas oleh tradisi Kristen di masa lampau" 28
Akan tetapi, satubahaya utamamenyan~tmodel ini ialah b¥lwa
ia dengan mudah bisa meI3ia<liE,langsa E..0~~~s~~ bl!Q.,a.};a. Di satu
SiSI, romannsme 1m terbukti oleh tiadanya pemikiran yang kritis atas
kebudayaan bersangkutan. Walaupun kenyataan bahwa Mercado
secara gamblang mengingkari penerimaan secara tidak: kritis terhadap
kebudayaan Filipina,29 namun kita mendapat kesan demikian ketika
kita membaca pemyataannya bahwa apabila sesuatu itu adalah benar-
benarmilikkhas orang Filipinamaka hal itu baik, kudus dan rnerupakan
108 MODEL·MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
RobertE. Hood
Vinctml J. Donavan
000
6
MODEL PRAKSIS
127
128 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
-
tis".2Seperti yang telah diterangkan Fabelia, keempatsegi itu semuanya
penting untuk memahami model berteo)ogi ini: la merupakan sebuah
proses yang tidal< pemah selesai, yang mendapat ~etcuatannya yang
aan
Ularna pengilklJail billlwa Allah menyauik~ kehaci;ru;~Ny~ tidak
hanya, alaU barangkali tidal< terutama, daI.;';-ieiiiiiiaiiIebu-da"Yaan,
t~a dan b~aliBeeftriilmnSlpiil ill dal.i!ill'(~i~11.1¥! seWah.
Model prakSis'~da!ah suatu cara berteologi yang dibentuk oleh penge-
tahuan pada tingkatnya yang paling intensif - tingkat aksi berdasarkan
refleksi. Model ini juga menyangkut pelnindaian makna dan memberi
sumbangsih kepada rangkaian perubahan sosial, dan dengan demikian
tidak menimba ilhamnya dari teks-teks kIasik atau tingkah laku kIa~ik,
tetapi dari realitas-realitas masa kini dan peluang-peluang rnasa depan.
Sarna seperti model terjemahan merasa tertarik dengan upaya-
upaya Paulus untuk menerjemahkan pewartaan tenrang Yesus seturut
kategori-kategori Yunani sebagai landasan alkitabiah bagi modelnya,
dan sarna seperti model antropologis merasa tertarik dengan pemaham-
an-pemaharnan kontemporer menyangkutpenyusunan Kitab Suci, pun
pula dengan teks-teks dari zaman patristik, demikian juga model prak-
sis memilikisemacamcontohkasardalam tradisi Kristen. Tradisi para
nabi yang menekankan tidak saja pada kata-kata tetapijuga tindakan
(bdk. Yesaya, Amos), ajaran Perjanjian Bam tentang perJunya tidak
hanya mendengarkan Firman tetapi juga melakukannya (bdk. Yak
1:22), serta kaitan erat antara tingkah laku etis dan pemikiran teologis
merupakan bukti yang cukup bahwa, apabila model praksis merniliki
beberapa segi yang terbilang barn pada pentas teologi, maka segi-
segi itu bukan sarna sekali tanpa contoh di masa lampau. Sebuah
ungkapan yang diasalkan kepada Karl Barth menandaskan bahwa
''hanya pelaku Finnan yang menjadi pendengar yang sejati.," dan Justo
Gonz3.1es berargumentasi bahwa oleh karena teologinya terlahir dari
praktik pastoralnya sebagai seorang uskup dan pastor, rnaka perhatian
rnenyangkut praksis merniliki akar-akar patristiknya dalam karya
lrenius dari Lyon.)
T.minok>gi
Terlalu sering term praksis digunakan sebagai alternatif gagah-
gagahan terhadap kata praktik atau aksi. Sebagai misal, kita barang-
kali mendengar seorang yang "bertipe prak1is" berkata kepada seorang
yang lebih "bertipe teoretis" (bak seOlang profesor): ''Hal itu sangat
baik, namun bagairnana ia diJaksanakan dalam praksis'!" Alcan tetapi,
penggunaan kata ini salah. Praksis adalah sebuah term teknis yang
memiliki akar-akarnya dalam Marxisme, dalam mazhab Frankfurt
(misalnya J. Habennas, A. Horkheimer, T. Adorno), dan dalam filsafat
pendidikan Paolo Freire. 4 ~rm ini menunjuk kepada suatu rnetode
~~ model beIJ?ikirpaQa urnuiimya daD Slia h! mefijde ata\l.fu@I!jjo-
102i kbllSllsuya
Beberapa tahun silam, pada sebuah pertemuan para teolog Ameri-
ka Latin yang diselenggarakan di Mexico City, Jon Sobrino, seorang
teolog yang berkarya di EI Salvador, rnengemukakan satu perbedaan,
apabila bukan periJedaan yang paling penting, antara apa yang ia sebut
sebagai teologi "Eropa" dengan teologi Amerika Latin yang berakar
dalam tanggapan yang berbeda terhadap dua "rnomen" modernitas. S
Dengan rnemahami hakikat kedua roomen ini, dan bagaimana keduanya
berbeda secara sangat rad.ikal satu terhadap yang lain, maka kita bisa
memahami gagasan yang tepat tentang praksis.
130 MODEL-MODEL TEOLOGl KONTEKSTUAL
dalam lingkaran itu pada titik yang mana pun. Narnun idealnya, aksi
yang dilakukan deogan penuh peDgabdian merupakan Jangkah pertama.
Orang membutuhkan iman agar bisa ~O!Qgi, Qaft i;n1ll..men!!rut
m~el praksis bukan..m..eJ!!!~i!:.~~~!!IJ?t:~Y.1!i.g~liJ~~u keler-
bukaan kepada sebuah peJjumpaan; iman adalah "ihwal mel~kan
kebenaran". Lalu, padalangkah kedua, sebuah "!eOri" dikembangkan,
0illg berpijak sarna kuat pada (1) analisis atas tindakan-tindakan kita,
dan atas situasi tertentu (penga!aman, kebudayaan, lokasi sosial serta
perubahan gerakan sosial) dalamnya kita bertindak; dan (2) ihwal
membaca ulang Kitab Suci dan tradisi Kristen. Namun leori ini tidak
lebih dari teon belaka. Seperti yang dijelaskan Philip Berryman, sambil
mengaeu kepada para pemikir AmerikaLatin, !eOri disusun "sebagai
alat untuk menerobos apa yang tampak dan meneapai jantung hali
segala sesuatu".25 Bersenjatakan teori bam yang berakardalam aksi
(
(2) Refleksi 1
(a) Analisis atas Konteks
(b) Membaca Kembali Kit b Suci dan Tradisi
dst.
J
(\) Aksi Penuh Komitmen
140 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
konlcret dan refleksi kritis, maka lapgkah ketiga dari model praksis
ialah sekali lagi mengadakan<lksi, namun kali ini aksi yang lebih
dimwnikan, lebih diakarkan dalam Kitab Suci, dan juga Iebih diakarkan
dalam realitas kontekstual. Langkah ketiga ini sesungguhnya merupa-
kan langkah pertama untuk lingkaran berikutnya, sebuah lingkaran
yang sesunggubnyakini lelahberbentuk spiral. "Teologi lahir sebagai
buah refleksi kritis menyangkut praksis yang secara sosial bersifat
transformatif. Perubahan yang terjadi atau yang dibasi\kan tanpa henti
dalam kenyataan-kenyataan pribadi dan masyarakat mewajibkan
perubahan yang berkesinambungan di dalarn tafsir kita atas Kitab Suci
dan ajaran Gereja. Mengutip J.L. Segundo: •,.. setiap realitas yang
barn mewajibkan leita untuk menafsir Firman Allah secara baru,
mengubahnya seperlunya, dan kemudian kembali lagi dan sekali lagi
menafsir ulang Firman Allah itu, dan seterusnya' .»26
Di mana teologi ditemukan dalam lingkaran spiral tersebut?
Beberapa teolog menunjukkan tempat teologi dalam langkah kedua,
yakni tahap refleksi dalarn proses tersebut "KoDlernplasi dan prak.1ik
secara bersama merupakan alesi pertama; proses berteologi adalah
aksi kedua," dernileian Gustavo Gutierrez 27 Akan tetapi, barangkali
lebih baik kalau memikirkan proses teologi iru berlangsung dalam ke-
eluruhan proses. Ketika kita beraksi, leita tahu, sebagaimanaleita hanya
dapat tahu dari refleksi dan (mengutip Gutierrez) kontemplasi; dan
ketika leita beraksi secara lebih sadar, kita mengetahuinya secara lebih
jelas \agio Perumusan iman terjadi dalam tindakan yang benar (praksis)
itu sendiri.28
Oleh karena cirinya yang langsung dan niscaya dari teologi yang
dilaksanakan berdasar pada model praksis, maka agak sulit untuk
mengidentifikasi contob yang tepat dan "asli" dari penggunaan model
ini. Sangat sering misalnya, bahasa pembebasan tidak niscaya berarti
bahwa selurub metode dari teologi pembebasan - refleksi kritis atas
praksis - secara penuh dijabarkan dalam berbagai teologi dalamnya
pembebasan menjadi tema utama. Satu contoh ten tang hal ini ialah
menyangkut salah seorang teolog pembebasan yang paling penting,
Leouardo Boff. Boff tentu saja menyadari pentingnya praksis dalam
pergumulan teologis, namun beberapa karyanya tidak secara serta
merta mencerminkan metode praksis sebagaijantung rancangannya.
Buku-buku Bofftentang kristologi, rahmatdan Allah Tritunggal41 -
semuanya merupakan refleksi atas tema-tema pembebasan, dan
memang buku-buku ini berbicara tentang "primat ortopraksis atas
ortodoksi", dan tentang teologi sebagai "ihwal merefleksikan secara
kritis praksis iman Kristen".42 Akan tetapi, barangkali yang lebih bersifat
operatif secara metodologis ialah pendekatan k1asik dari teologi positif
dan spekulatif. Namun dalam Ecciesiogenesis, dan dalam beberapa
tulisan pada bunga rampai yang berjudul Church: Charism and
Power, Boff membuat refleksi atas pengalarnan konkret menyangkut
Jemaat-Jernaat Gerejani Basis, dan dengan demikian metode praksis
yang aktuallebih gamblang didayagunakan. 43 Thwal menjadi Gereja
secara aktual dari suatu jemaat kecil memberi terang baru pada apa
artinya menjadi Gereja Jemaat-jemaat basis itu benar-benarmencipta-
kan kembali eklesiologi, seraya mencolokkan ke latar depan rupa-
rupa pertanyaan yang tidak pemah diajukan sebelumnya atau sekurang-
kurangnya tidak pemah diindahkan dengan sungguh-sungguh (eklesia-
litas Gereja lokal, Gereja sebagai "Sakramen Roh Kudus", kemungkin-
an seorang awarn memirnpin upacara Ekaristi serra pengakuan ter-
badap kaum perempuan sebagai pernangku jabatan di dalarn Gereja).
146 MODEL·MODEL TEOLOG! KONTEKSTUAL
(1986), God and Human Suffering (1986), dan antara tahun 1989
sampai dengan tahun 1996 ia menerbitkan karya beJjilid tiga di bidang
teologi sislematis. yakni Thinking the Faith. Professing the Faith,
dan Corifessing the Faith, yang tiga-tiganya memiliki subjudul: Chris-
tian Theology in a North American Context. 44
Walaupun karya-karya ilu dikembangkan dan disempumakan
selama bertahun-tahun, Damno perhatian dasar Hall tersajikan dalam
bulcu pertama yang disebutkan di alas. Buku itu memiliJci subjudul
''Toward an Indigenous Theology of the Cross," dan dalam buku ini ia
berupaya memaparkan sebuah teologi yang bersifal "pribumi me-
nyangkut pengalaman Amerika Utara sebagai [Hall mengutip George
Grant) ' masyarakat teknologis yang paling riil sampai saat sekarang
ini' ."45 Jalan menuju teologi ilu ialah konstruksi alas satu "teologi
praktis", yang "bisa menjadi saral makoa hanya apabila ia diwujudkan
dan dileburkan ke dalam berbagai struktur serta program nyala
Gereja".46 Dengan kala lain, Hall ingin merancang sebuah teologi yang
membedah pengalaman orang-orang Amerika Utara kontemporer
sarna seperti mereka menyelisik kenyalaan masyarakat teknologisnya.
Namun lebih dari itu, teologi bersangkutan baru menjadi riil hanya
apabila ia dipraktikkan dalarn kehidupan kristiani oleh sebuah Gereja
yang merniliki keberanian untuk berjalan melawan arus, entah arus
kebudayaan modem atau tradisi triurnfalisme Gereja. Dalam karya-
karya berikutnya kala "pribumi" diganti dengan kala "kontekstual",
dan istiJah "teologi praktis" diubah agar senada menjadi "praksis".
Narnun lema-tema menyangkul "teologi salib", krisis Gereja pasca-
KOQStantinopel, serta keprihatinan tentang kehancuran umat manusia
dan lingkungan hidup oleh penyalahgunaan teknologi tetap tinggal
sebagai Irunci utama untuk pernikiran teologisnya.
Sebuah gambaran yang bisa meringkaskan semua keprihatinan
ini adalah penguruslpelayan - sebuah simbol a1kitabiah, kala Hall dalam
subjudul bukunya yang lain, yang kini mencapai tahap perkembangan
yang penting dan diterima oleh banyak kalangan. Justru karena Hall
148 MODEL-MODEL TEOlOGI KONTEKSTUAL
161
162 MOD8AMODELTEOLOGI KONTEKSTUAL
yang dibuat Laurel ketika menulis catalan hariannya. model ini secant
kreatif menggunakan apa saja yang tersedia.
~odel sintesis adaIah sebuah model jalan te.!!gah. Model ini tampak
dalam Gambar 2 (Iihat him, 172) pada pusat gerak peralihan,jalan
tengah antar-d peru;kanan pada~ ngalaman rnasa kini (yakni konteks:
'pengalaman, kebudayaan,lokasi sosial, perubahan'sosi31) dan peng-
alaman maS~i;;;;;pau(K1tib Suer dan triidisi}: fabisabersandar Pada
ifiWafpembenaran alkitabiah menyangJitiikeseluruhan proses penyu-
sunan rupa-rupa buku dalam Alkitab, Kitab Suci muncul secara ber-
tahap, melalui pengumpulan masing-masing buku, yang masing-
masingnya disusun dalam konteks keprihatinan-keprihatinan pada
zaman itu dan berinteraksi dengan kebudayaan pada zaman itu, kebu-
dayaan-kebudayaan bangsa-bangsa sekitar serta tmdisi-tradisi kuno.2
Model sintesis bisajuga bersandar pada teori-teori tentangperkem-
bangan doktrin yang mernahami doktrin-doktrin sebagai sesuatu yang
lahir dari interaksi yang majemuk antara iman Kristen dan rupa-rupa
perubahan yang teJjadi di dalam kebudayaan, masyarakat dan bentuk-
bentuk pemikiran. Ia juga bisa memakai beberapa ajaran dari Magis-
terium Roma yang berupaya menempuh sebuah lorong teologi antara
meluIu adaptasi pada satu sisi dan suatu kuIturalisme3luas pada lain
sisi. Paulus VI menyebutkan beberapa segi penting dari model sintesis
ini dalam kotipan berikutdari Evangelii Nuntiandi:
Bila suatu Gereja seteropat semak:in!erika! pada Gereja Uni-
versal dengan ikatan-ikatan yang kokoh dalam persatuan,
cinta kasih dan kesetiaan. dalam sikap terbuka terhadap
magisteriuro Petrus, dalam kesatuan lex orandi yangjuga
roerupakan lex credendi, dalarn keinginan untuk bersatu
dengan Gereja-Gereja yang lain yang roewujudkan keseluruh-
an - maka Gereja semacam ioo semakin mampu menetjemah-
kan harta kekayaan iman dalam ungkapan-ungkapan yang
sah, yang bennacam-roacam. Ungkapan tadi berupa peng-
MODEL SINTES[S 163
TtNminologi
ketiga model yang telah disebutkan dalam buku ini.la coba mernper-
tahankan pentingnya pewartaan InjiJ dan khazanah warisan rumusan-
rumusan doktrinal tradisional, seraya pada saat yang sarna mengakui
peran teramat penting yang dapat dan harus dimainkan konteks dalam
teologi, bahkan sampai ke taraf penyusunan agenda teologi.1?iSlllIlPing
~:J~,~s,i~.9imaksudm.!l1~cakup ~!:~!Itin.i.aksi berdilsarkan
refleksi ~.kebe!mrnl:L~m!.pt;.n&..erobangansebualUeo.lagi..~u
terha~]g!IIJ.IlJi~~e.I1i!.te~bab.an ~p~iill dan b"Q!lya.
@~ odel sintesis menjangkau pula sumber-sumber dari konteks-
konteks yang lain serta ungkapan-ungkapan teologi yang lain demi
metode dan isi dari ungkapan imannya sendiri. Dengan demikian,
sebuah sintesis dibangun antara sudut pandang budaya kita sendiri
dengan sudut pandang budaya orang lain. tCeiih, dan barangkali yang
paling mendasar, model ini berein sintesis dal'arr?'arti yang dimakSudkan
Hegel, yang berupaya tidak sekadar menjajarkan segala sesuatu secara
bersama dalam semacam kompromi, tetapi mengembangkan secara
dialektis-kreatif sesuatu yang dapat diterima oleh semua sudut pan-
dang. Oleh karen a itu, nama lain untuk model ini barangkali adalah
"model dialektis". Atau, oleh karena model ini mencakup dialog yang
tetap serta pengembangan dari apa yang disebut David Tracy sebagai
imajinasi analogis, j rnaka model ini bisa juga dinarnakan sebagai "model
dialogis", ''model dwicakap", ataujuga "model analogis". Inilah model
yang, hemat saya, dimaksudkan para teolog, semisal Aylward Shorter,
ketika mereka beIbicara tentang "inkulturasi" atau "interkulturasi" atas
teologi sebagai "dialog yang berkesinarnbungan antara iman dan ke-
budayaan atau kebudayaan-kebudayaan ... pertalian yang kreatif dan
dinarnis antara pewartaan Kristen dan sebuah kebudayaan atau
kebudayaan-kebudayaan".6
niJai Tunurdan Bara! tidak perlu bertabrakan. Setiap orang bisa belajar
dari orang lain, dan setiap orang bisa mendapat untung dan orang
lain. 8
Kccur, Seh lrut parame!e[ lIlo(lelsinl~~..dilihat sehagaj sesuatu
lang IDe?dua. Beberapa segi dalam satu kebudayaan, seperti pakaian
atau gaya musik, seluruhnya bersifat netral; namun beberapa segi yang
lainjeIas-jeJas baik ataujelas-jelas buruk. Tidak ban yak kritisi ke-
budayaan tidak akan setuju dengan sernangat kebebasan yang amat
banyak ditemukan dalarn kehidupan orang Amerika Serikat; Hamun
cUkup banyak akan memperlihatkan kepalsuan pengandaian di balik
pemikiran "suratan takdir" ataupun ihwal cinta tanah air mereka yang
berlebih-Iebihan_ Demikian pula halnya kita tenlu saja terkagum-kagum
dengan keindahan tenun ikal Kalinga, oarnunjelas-jelas meogutuk
kebiasaan pengayau_ Namun s~agian terbesar segi dalam satu ke-
budayaan bersifat mendua; segi-segi itu bisa baik atau buruk, ber-
.t-antung baR\I.l!.TI@lI ~gi:~gi itu dif1I;~Go-~ dik~~~,
Dianggap sebagai satu nilai yang penting bagi orang-oomg Filipina,
barangkali nilai mereka yang sentral, untuk berada dalarn keselarasan
baik dengan alam rnaupun rnasyarakaL 9 Namun walaupun dahaga akan
keselarasan ini bisa bermuara pada satu cita rasa tentang keterkaitan
dengan segalasesuatusertarnenghasilkansatu rasa tangguogjawab yang
mendalarn terhadap burni, rnasyarakat rnanusia dan realitas transenden,
toh dahaga itu bisa dibetotkan meojadi "tata krarna" dalarn rnasyarakat,
atau mernbiarkan hidup kita diaraltkan oleh orang lain dan bukannya
oleh diri sendiri. Individualisrneorang-{)rang Amerika Serika!, di lain
pihak, bisa saja rnembuat rnereka terisolasi, sendirian dan hampa, atau
sebali.knya rnereka terdoroog untuk muJai rnerancaog satu kebudayaan
tan&gungjawab pribadi demi keseluruhan yang lebih besar.
Para praktisi model sintesis mengatakan bahwa hanya ketika
rnanusia itu saH ng berdialog rnaka kita rnengalarni pertumbuhan
manusiawi yang sejati. Setiap pesertadalam satu konteks rnernpunyai
MODEL SINTESIS 167
sesuatu untuk diberikan kepada orang yang lain, dan setiap konteks
memiliki sesuatu yang perlu ditahirkan atau bahkan dicampakkan.
Ketika kita membaca karya sastra, filsafat dan sejarah yang dihasilkan
oleh orang-orang yang memiliki pengalaman yang berbeda, usia ber-
beda, kebudayaan-kebudayaan berbeda, dan lokasi-lokasi sosiaI yang
berbeda, dan ketika hal-hal tersebut bisa dipertemukan dalam bentuk
dwicakap, maka setiap orang akan mengakui keunikannya. Dalam
bahasa teologi, diakui bahwa tidaklah pada tempatnya untuk memuja-
muji kebudayaan kita sendiri sebagai. tempat satu-satunya di mana
Allah dapat berbicara. Kita juga bisa mendengar Allah berbicara di
dalam konteks-konteks yang lain dan - barangkali secara khusus-
dalam konteks-konteks di mana Kitab Suci Ibrani dan Kitab Suci
Kristen ditulis . Perhatian kepada konteks kita sendiri bisa saja
menemukan nilai-nilai di daIam konteks lain yang tidak pemah diperbati-
kan sebelumnya, dan perhatian kepada hal-hal lain (tennasuk Kitab
Suci !brani dan Kitab Suci Kristen) bisa membarui dan memperkaya
cara pandang kita atas dunia. Seperti yang ditandaskan David Tracy,
"diri menemukan dirinya dengan menanggung risiko menafsir semua
tanda, simbol dan teks miliknya seneliri dan yang terdapat dalam
kebudayaan-kebudayaan lain."1Q
----
barangkali idealnya kalau teologi itu e1ihasilkan oIeb subjek-subjek
~
.b!~, orang-orang kebanyakan yang ada dalam satu kebudayaan ter-
.~
tentu, namun hal itu tidal< selalu rnungkin, dan tidal< niscaya rnerupakan
prosedur yang terbaik. Dalam bukunya Toward a Theology of lncul-
luralion, Aylward Shorter membuat acuan kepada buku karangan
Jean-Marc Ela, seorang teolog Kamerun. Ela dengan tandas menekan-
kan bahwa karya inlrulturasi hanya bisadilakukan oleh subjek-subjek
budaya. DaJam kasusnya, oleh orang dari Kamerun: "Para misionaris
tidal< bisa melaksanakan inkulturasi. Mereka melulu berada pada awaJ
proses. Mereka mendengar, mernacu dan menyalurkannya. Orang-
orang Afrika sendiri tidak dapat melaksanakan inkulturasi, sejauh
mereka berada eli bawah belenggu budaya dan sosio-ekonomi orang-
orang bukan Afuka."11 Walaupunhal ini benar, demikian Shorter, Ela
cenderung melebih-lebihkan. Gerejaeli Afrika tentu saja dibebani oleh
struktur-struktur dan pola pikirorang-orang Eropa, narvun ia menilai
leila tidak perlu bersikap seekstrem E1a "daIam rangka mempertahan-
kan hak-hak orang-orang Kristeo eli Afuka agar mereka mendapatkan
tempat yang sepatutnya di dalam Gereja. Argurnen yang mendukung
inkulturasi oleh orang-orang Afrika tidak boleh dikokohkan dengan
mel=hkan Gereja induk eli Eropa." 12 "Orang IUa[' tarnpaknya memi-
!ili saw perdD~ djmainkan <W!!IDL!l~mbangu)1 scbuah teologi lokal, ' ·
- ~~ ' - - ~- '---
\1I.a.!aJl.Pun.penm itu cukup terba~. dan hanya sebagai pelT!~ . 1 3
..
Beberapa halaman kemudian, dalam bab berikutnya, Shorter me-
nekankan bahwa walaupun "inkulturasi itu secara hakiki merupakan
sebuah proses yang teJjadi dalam jemaat secara keseluruhan," namun
ia juga membutuhkan kehaeliran para pakar, "bahkan kadang kala
para rnisiooaris dari negeri seberang, guna rnemberi dorongan kepada
jemaat dan rnembantunya melakukan pernindaian yang mutlakeliperlu-
kan, sena kritik yang juga sarna-sarna rnutlak diperlukan, alas kebuda-
yaan bersangkutan, dan menggaJakkan upaya untuk menernukan
MODEL SLNTESIS 169
Gamba, 6
Model Sinfr1sis
InjiVfradisi
~ t
Benluk-Benluk Pemikiranl
.?
Kebudayaan Yang Lain
yang lain, dan kenyataan bahwa masa kirri bisa terns belajar dari masa
lampau, menunjukkankenyataandari "sesuatu", betapapun sederhana
dan tidak tergagaskan secara sistematis, yakni sebuah konstanta dalarn
jati diri Kristen. Model sintesis jauh lebih canggih dalam pemaharnannya
menyangkut konstanta tersebut dibandingkan dengan model teljemah-
an, sebab IX:mahamannYil tenlJ!I]g ':Y<J!.!Y}I_~.dak <iikuru!1g (~Ii!P.l-t\a~~
tentang st:~ran~~~~,:~~tu.
Satu segi positif terakhir dari model sintesis dapat diungkapkan
dalam kata-kata Robert Schreiter:
Khususnya bila dianut oleh para pern:impin setempat, pen-
dekatan ini cepa! dapat menolong meocapai tujuan ganda,
yaitu autentisitas dalam budaya setempat dan at
serta peng argaan di kalangan ereJa ¥at. Teologi yang
muncUt dati modeldeillikfiln itu penWi·aengan kategori, nama
dan keprihatinan sualu budaya setempat, namun kelihatan
seperti teologi Barat dan relatif mudah dipahami oleh orang-
orang Barat. Lebih dari itu, pendekatan in:i membuat dialog
antara Atlantik Utara dan Gereja-Gereja lain menjadi lebih
mudah, karena pada dasarnya digunakan kerangka-kerangka
kelja serupa. Pendekatan irri dapat memberi Gereja-Gereja
muda rasa kesamaan status dengan Gereja-Gereja yang lebih
!Ua dan mapan 22
KitabSuci ,
Toosi dikondisikan secara kultural, tidak lengkap.
Konteks ambigu dan tidak lengkap, membutuhlcan sesuatu
"yang lain" demi keutuhannya
Metode dialog dengan semua pihak
Perbandingan : kawin silang
Tokoh "rnernbaca apa yang tersirat" (Horacio de la
Costa).
Penilaian Positif: sikap dialog; penekanan pada proses yang
berkesinambungan; kesaksian tentang universali-
tas; mudah berdialog dengan Gereja-Gereja lain
Negatif bahaya 'Jualobral"; bolehjadi kelihatannya "plin-
plan"
KosukeKoyama
Sarna seperti setiap orang melihat sesuatu "yang lebih" daI arn ayarn-
ayarn itu daripada sekadar binatang, demikianlah teologi merupakan
cara melihat sesuatu ''yang lebih" dalam dunia dan pengalaman manusia,
dan kemudian berbicara tentang ''yang lebih" itu. "Sesungguhnya, kita
mesti mampu melihat kuatkuasa Sang Pencipta sendiri di dalam seekor
ayarn, walaupun beberapajam kemudian ia berubahmenjadi 'ayarn
goreng' ." 28 Mengikuti haluan serupa, tulisan-tulisan Koyama penuh
dengan garnbaran yang warna-warni dan nyaris seenaknya saja. Para
pembaca diperingatkan agar menghindari "kompleks kerajaan tengah",
artinya menganggap kebudayaan atau agama sendiri sebagai yang paling
hebat atau yang terbaik. 29 Para teolog kontekstual didesak untuk ber-
teologi dengan "budi yang disalibkan".3O Allah yang mengasihi sering
kali dilukiskan sebagai "Allah tiga mil per jam", yang betjalan dengan
kecepatan yang sarna seperti makhluk-makhluk ciptaan fana, narnun
"membara" dengan bela rasa terhadap mereka 3 1
Dalam kata pengantar untuk buku Warerbuffalo Theology,
Koyama menggambarkan metodenya ini sebagai ''teologi dari bawah".
Pendekatannya terhadap teologi, demikian Koyama, tidak ditentukan
terutama oleh apa yang pemah dikatakan oleh teolog-teolog besar
seperti Aqu.inas atau Barth, tetapi oleh kenyataan sehari-hari yang
dialami oleh para petani Thailand: kerbau, marica, nanas, adu ayarn,
nasi pulut. "Saya mulai berbicara," demikian tulisnya, "dari situasi
konkret mereka (misalnya adu ayarn). Setelah berbicara tentang situasi
manusia, saya meJanjutkan dengan menghadirkan AIlahke daIam sitllasi
manusia yang riiI ini."32 Allah yang hadirdalam situasi ini adaIah Allah
Kitab Suci, namun karena Koyama telah bersusah payah mengindah-
kan konteks agama dan budaya, maka amanat a!kitabiah itu "datang
melalui",33 kalau bukan selalu dalarn pengertian-pengertian orang
Thailand atau Buddhis, maka setidak-tidaknya dalarn suatu cara yang
baru dan bisa dipahami oleh cara berpikir orang Thailand. Beginilah
David Hesselgrave dan Edward Rommen melukiskanmetode Koyama:
"Ta bergurnul dengan teks. Pada saat yang sarna ia mencari bahan-
,,
178 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUA L
bahan agama dan budaya yang tersedia sehingga leks ilu menjadi
hidup, sembari membiarkannya berbicara kepada pribadi-pribadi
dalam situasi eksistensial mereka Hasilnya bisa rnenyenangkan atau
rnenjengkelkan, lerganrung di mana posisi seseorang."34
Koyama kadang kala berbicara tentang apa yang dilakukannya
itu sebagai ihwal ''terjemahan''. Narnun yang lcbih mencolok ialah gagasan
tentang "mengakarkan kern bali", yang eligambarkannya sebagai ihwa!
memindai maknabatin dari Injil.dan kernudian "rnenjaga, rnenyirnmi
dan merawatnya sampai ia berakar eli bumi setempat". 35 Namun bagai-
rnanapun juga, ia cenderung melihat kemungkinan adanya suatu amana!
adi-budaya. sebuah ''finnan universal",36 yang bisa menjadi sara! rnakna
(dan demikian bisaeliterjemahkan), manakala ia elimaklumkan dengan
sikap honnat kepada satu konteks budaya dan agama tertentu.
Salah satu contoh gemilang tentang cara kerja metode ini tampiJ
sebagai sebuah refleksi singkat atas Matius 15 :21-28 -lGsah lentang
perempuan Kanaan yang putrinya menderita salGl, narnun sarna sekali
tidak digubris oleh Yesus. Koyama mengisahkan bagaimana ketika
pertarna kalinya mewartakan lGsah itu kepada para petani eli Thailand,
ia bergantung sepenuhnya kepada tafsir Luther alas kisah itu. yang
menekankan perlunya irnan yang kokoh akan Allah. irnan yang tetap
teguh bertahan wa!aupun mengalami penolakan. "Orang-orang yang
tidakmemiliki pemahaman akan keraguan. kekalutan. kesedihan yang
mendalam, kegentaran, kebingungan, patah hati, kesepian dan hilang
harapan niscaya gaga! menangkap pesan utama dari kisah ini. Kenyata-
an hakiki menyangkut iman ialah bahwa irnan adalah iman apabila ia
percaya walaupun diserang!"37 Akan tetapi, ketika ia mengajarkan
tafsirLuther ini atas perikop tersebut. dalam bahasa Thailand yang
terbata-bata, hasilnya berantakan: "Para pendengarku kembali kc
rumah dengan rnembawa kesan bahwa sejenis neurosis tertentu men-
jadi bagian penting dari iman Kristen."38
MODEL SINTESIS 179
DOD
8
MODEL TRANSENDENTAL
TlHmino/ogi
Akan tetapi, tidak saja para teolog profesional atau terlatih yang
mampu berteologi. Model transendental dengan sungguh-sungguh
mengakui bahwa setiap orang Kristen yang secara autentik coba me-
mahami imannya berarti ia sudah ambil bagian dalam proses berteoiogi,
dan melaksanakan teologi kontekstual yang sejati. Sarna seperti model
antropologis dan model praksis, model transendental menandaskan
bahwa orang-orang Kristen bias a, umat kebanyakan, adalah seorang
198 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
teolog, barangkali teolog yang paling utama.1O Akan tetapi, apa yang
ditekankan oleh model transendental ialah bahwa bagi setiap orang
Kristen yang sejati, ihwal berteologi itu tidak ditakar oleh berapa
banyak yang ia ketahui atau keakuratan dia dalam mengungkapkan
doktrin. Sebaliknya, sampai sejauh mana seorang pribadi beriman itu
menaati kaidah transendental- "bersikaplah peka, bijaksana, cendekia,
bertanggungjawab" II - dalam upaya mengungkapkan dan memper-
dalam imannya, maka ia berteologi secara sejati. Sejauh orang itu
melakukannya sebagai subjek manusia yang autentik, yang dibentuk
oleh sejarah, geografi, kebudayaan, dan seterusnya, maka ia berteologi
secara sungguh-sungguh kontekstual.
Dalam beberapa karyanya, Bernard Lonergan menggunakan
gambaran tentang fungsi sebuah gunting untuk menjelaskan proses
penerjemahan. 12 Walaupun di sini kita menggunakan gambaran itu
sedikit berbeda, namun gambaran gunting tersebut merupakan gambar
yang baik untuk menjelaskan proses berteologi dalam pengertian model
transendental. Sisi sebelah atas dari gunting itu, kita boleh katakan,
melambangkan seorang pribadi sebagai subjek, anggota dari satu
sejarah tertentu dan kebudayaan tertentu pula. Sisi sebelah bawah
melambangkan pengalamandiaakan Allah, yang diterangi dan diper-
dalam oleh konteks sistem simbol Kristen. Dalam bingkai model
transendental, subjek itu berteologi ketika kedua sisi gunting ini di-
gerakkan rnenjadi satu. Teolog berupaya mengkonseptualisasikan atau
"mengatakan" pengalamannya tentang Allah, sebagaimana yang ia alarni
di dalam sebuah lingkungan, tempat, waktu dan budaya tertentu. Ke-
giatan ini adalah teologi, dan oleh karena teologi ini niscaya merupakan
kegiatan dari satu subjek yang terkontekstualisasi, maka kandungan
teologi yang dihasilkannya pun merupakan sebuah teologi yang ter-
kontekstualisasi. Gambar 7 melukiskan prosed ur ini.
Ada kemungkinan bahwa cara-cara pengungkapan yang lain
daripada yang bersifat diskursif, paparan ilmiah digunakan dalam model
MODEL TRANSENDENTAL 199
Gambar 7
Model Transendental
Pengalaman masa
lampau
Kitab Suci
Tradisi
Subjek autentik
(individual atau Teologi Kontekstual
komunal)
Pengalaman masa kini
Pengalaman
Kebudayaan
Lokasi sosial
Perubahan budaya
luar satu konteks lertentu. Mulai dari para penulis Kitab Suci Kristen
("Lukas", Paulus, pengarang Surat kepada Orang Ibrani), melalui
Origenes, Agustinus, Aquinas, Hildegardis dan Katarina dari Siena,
sarnpai dengan Luther, Calvin dan Belanninus, bermunculanlah karya-
karya "klasik" dalam tradisi Kristen yang merupakan hasil karya dari
orang-orang yang sekaJigus menjadi pelaku budaya yang sejati dan
pelakon iman yang hidup. Kalau kita memperluas pemahaman teologi
sehingga mencakup musik, bentuk-bentuk sastra, seni patung, maka
jumlah praktisi model ini menjadi sangat banyak, termasuk berbagai
madah gubahan Efrem, musik Mozart, Durufie, Dave Brubeck dan
Bruce Springsteen, rupa-rupa novel karangan Endo. Percy dan
Aannery O'Connor, syair gubahan Rilke dan Emily Dickensen, serta
hasil karya dari tak terbilang bany3knya para pelukis ikon dan pemahat
Afrika yang tidak dikenal namanya, belum lagi menyebutkarya-karya
penuh i!ham dan mencerahkan budi dari Michelangelo, Matis~ dan
Robert Lentz.
Namun demikian beberapa teolog kontemporer membabarkan
model ini dalam satu cara yang benar-benar gamblang. Mereka adalah
pernikir yang mengakar secara mendalam pada tradisi budaya, lokasi
sosial dan iman religiusnya, namun pemikiran teologis mereka secara
metodologis berkembang bukan melulu darijati diri budaya (model
antropologis), bukan pula dari suatu keprihatinan untuk melestarikan
tradisi Kristen dalam satu konteks budaya tertentu (model terjemahan).
Beberapa dari mereka boleh jadi menyadari pentingnya ihwal berteologi
berdasarkan praksis (model praksis), dan yang lain berupayamenyeim-
bangkan budaya, tradisi serta transformasi sosial dan/alau personal
dalarn pergumulan teologis mereka (model sintesis). Namun apa yang
tampil dari keseluruhan keprihatinan serta kiblat metodologis mereka
ialah komitrnen terhadap keutuhan diri mereka sendiri sebagai orang-
orang Kristen. Dari antara berbagai teolog semacarn itu saya memilih
untuk memusatkan perhalian pada Sallie McFague dan J uslo L.
GonzaJes.
204 MODEL-MODEL TEOLOGl KONTEKSTUAL
Sallie McFrIgw
pada suatu keyakinan yang mendaIam tentang nilai dari jati diri Hispanik,
dernikian pula tentang keluhuran tradisi Kristen. Gonzales bisa jadi
merupakan satu contoh yang baik tentang model praksis, sebagaimana
yang telah saya paparkan; namun dernikian, apa yang tampak kian
gamblang ialah suatu kornitmen bukan kepada metode atau model
tertentu, melainkan ihwal setia kepada kesejarahan: sejarahnya sebagai
seorang Hispanik dan sejarah Gereja Kristen, yang juga dihargainya
. sebagai rnilik kepunyaannya sendiri.
000
9
MODEL BUDAYA TANDINGAN
maka ia harus menantang dan memumikan konteks tersebut: " ... apa-
bila sungguh-sungguh terjadi komlll1ikasi Injil," tuIis Lesslie Newbigin,
"maIm hal itu akan secara radikal mempertanyakan cara pemaharnan
yang terjelma dalam bahasa yang digunakannya. Apabi!a sungguh-
sungguh terjadi pewahyuan, maka hal itu akan melibatkan kontradiksi,
dan menuntut pertobatan, satu metanoia radikal, suatu pembalikan
budi secararadikal."J
Newbigin menuIis pendapatnya ini dalam konteks khusus kebuda-
yaan Inggris menjelang aklllr abad ke-20- tatkalaiakembali ke Inggris
pada tahun 1974 setelab berkarya bertahun-tahun di India' - yang
hernatnya sudah menjadi "sangat sinkretistik".5Dan, sesungguhnya,
model budaya tandinganmenemukan para pendukungnya yang paling
gigih dewasa ini di antara para teolog yang mengakui hakikat anti-
Kristen mendalam dari semua kebudayaan Barat kontemporer, baik
di Eropa, di Amerika Utara, atau di negara-negara maju di kawasan
Pasifik Selatan. Namun model budaya tandingandalam berteologi se-
cara kontekstual agaknya tidak bisa dibatasi di Barat saja. Inilah model
yang menandai keterlibatan mendalam dengan kebudayaan Afrika
Selatan dalam Dokumen Kairos dari tahun 1985; inilah pula sernangat
di balik ensiklik Evangelium Vitae dari Paus Yohanes Paulus IT yang
terbit pada tabun 1995, yang berbicara tentang "budaya kematian"
yang meraja lela di tengah masyarakat dewasa ini, yang harns dihadapi
dan disembuhkan oleh ''!nji! Kebidupan"; model ini juga terjebna dalam
ajakan Paus untuk melakukan "evangelisasi baru", dan tetap bergaung
di dalarn dokumen-dokumen dari Federasi Konferensi Para Uskup
Asia, serta para uskup Amerika Latin dalarn pertemuan mereka di
Santo Domingo pada tahun 1992.6
Apa yang disadari model ini lebih dari model-model lain ialah
bagaimana sejurnlah konteks merupakan antitesis terhadap Injil, dan
harus ditantang oleh daya pembebasan dan penyembuhan Inji!. Untuk
sekali lagi merujuk pada analogi dari dunia pertanian yang kita gunakan
dalam seluruh buku ini, model ini hendak memperlihatkan bahwa tanah
220 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
pribumi dari suatu konteks tertentu perlu disiangi dan dipupuk agar
benih dapat ditanam_Kalau tidak, tanah itu sendiri tidak dapat men-
dukung pertumbuhan yang sehat dari tanaman, dan karena itu selalu
membutuhkan perawatan dan penjagaan terus-menerus_
Model budaya tandingan menimba dari sumber yang kaya dan
tak habis-habisnya dalam Kitab Suci dan tradisi. Dari Kitab Suci,
model ini merujuk pada literatur kenabian yang sarat budaya tandingan
dari PeIjanjian Lama; dari makna ambigu istilah "dunia" yang terdapat
dalam PeIjanjian Bam, khususnya dalam Inji! Yohanes; dan dari teks-
teks seperti Rm 12:2 ("Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
_. _"), 1Kor 1:23 ("Kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk
orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang
Yunani suatu kebodohan"), dan sebutan bagi seorang Kristen sebagai
"orang-orang pendatang" dalam IPtr (Iihat IPtr 1:1). Dan tradisi,
model budaya tandingan membangun wawasannya dari pandangan
berbagai tokoh, antara lain Tertulianus ("Apa urusan orang-orang
Atena [budayamanusiawi, konteks] dengan Yerusalem [Inji!]?"), Surat
Diognetus (''Orang-orang Kristen berada di dalam dunia namun bukan
dari dunia"), praktik hidup monastik yang telah berlangsung sekian
lama, kesaksian penuh daya dari Gerakan Anabaptis serta contoh
yang luar biasa dari Dorothy Day dan Peter Maurin. Tambahan pula,
lebih dari semua model lain, model ini mengakui bahwa Inji! mewakili
suatu cara pandang atas dunia yang mencakup segala sesuatu, yang
secara radikal berbeda dan membedakan Injil itu secara mendasar
dari pengamalan manusia tentang dunia dan kebudayaan ciptaan
manusia Terutama dalam konteks yang memancarkan suatu ''budaya
kematian," dalam konteks di mana Inji! tampaknya tidak relevan atau
diabaikan sarna sekali, alau konteks di mana Inji! menjadi "versi kaca
belWama" dari cara pandang tertentu alas dunia,7 model ini dapat ter-
bukti menjadi cara paling mempan olehnya Injil dikomunikasikan
dengan keterlibatan, yang penuh kesegaran dan kesejatian.
MODEL BUDAYA TANDINGAN 221
TerminoJogi
Pengandaian-PengandaionMode/Budaytl Tandingan
bebas budaya".22 Juga tak ada persoalan apa pun menyangkut perkara
apabila Jnjil itu hendak dikomunikasikan secara memadai dan autentik,
maka hal itu mesti dilakukan dengan memperhatikan secara saksama
semua segi konteks dalarnnyaJnjil itu dimaklumkan.23
Narnun ''kontekstualisasi yang benar memberikan keutamaan yang
memang sepatutnya disandangJnjil, dayanya untuk menerobos setiap
kebudayaan dan berbicara dalam setiap kebudayaan, dalam bahasa
dan simbolnya sendiri, Sabda yang serentak berflrman Tidak dan Ya,
hukuman dan rahmat".24Konteks manusiawi tidak pemah memadai.
Konteks itu tidak pernah menjadi basis yang kokoh bagi penerimaan
secara autentik atas kebenaran Kristen, karen a Injil "menggugat semua
kebudayaan, termasuk kebudayaan di mana InjiJ itu pada mulanya
menjelma".2s Apabila orang-orang Kristen yang mendekati umat
dengan Injil, demikian tulis Newbigin, harns mengaitkan pewartaan
mereka "dengan tempat dimana mereka berada", maka mereka mesti
serentak "rnenempatkan Injil dalarn bahasa pendengar dan juga ...
memperlihatkan tempat pijakannya yang rapuh dan berbahaya".26
Newbiginmenemukan bahwa "esai yang paling berani dancemerJang"
dalam mengkomunikasikan Jnjil ke satu kebudayaan tertentu adalah
Jnjil Yohanes. Walaupun Yohanesrnenggunakan bahasa dan pola pikir
kebudayaan Yunani - sekian banyak sehingga "kaum Gnostik dari
semua zaman mengira bahwa kitab itu ditulis secara khusus untuk
mereka" - namun dalam seluruh Kitab Suci tak ada satu kitab pun
yang menampilkan kontras yang sedemikian radikal antara bentuk-
bentuk kebudayaan manusia dan Sabda Allah "yang ditegaskan dengan
kejelasan yang sangat mencolok"27seperti yang terdapat dalarn Injil
Yohanes. Dntuk Newbigin, dan sayakira hal ini berlaku untuk semua
praktisi model budaya tandingan, Jnjil mesti dikomunikasikan dengan
setia dan secara relevan.28 Namun agar sungguh-sungguh setia dan
relevan, Jnjil perlu dialami sebagai sesuatu yang sangat berseberangan
dengan kondisi manusia, seraya menuntutdarinya pembalikan radikal
daIam pertobatan. Hanya dengan itu kemanusiaan memperoleh ke-
MODEL BUDAYA TANDINGAN 225
Gambar8
Model Budaya Tandingan
1. Pertobatan
Penerimaan pengalaman masa lampau
(Kitab Suci dan tradisi) sebagai pe-
tunjuk tentang makna sejarah ("sosio-
logi adikodrati").
2. Perspektif
Menggunakan pengalaman
masa lampau sebagai lensa
tefWUjud; sejumlah buku disusun, dan sejauh ini telah diterbitkan enam
jilid;51 buletin itu terbit secara berkala dan kelompok inti terbentuk.
GOCN ditandai secara khusus oleh wawasannya bahwa apabila
Injil hendak dikomunikasikan di Amerika Utara dewasa ini, maka itu
mesti teIjadi melalui peIjumpaan misioner atau "misional" antara Gereja
Kristen dan konteks Amerika Utara kontemporer. Refleksi teologis
di Amerika Utara, demikian argumentasi anggota-anggota gerakan
tersebut, selama ini berlandas pada pengandaian bahwa baik Amerika
Serikat maupun Kanada adalah bangsa Kristen. Kebudayaan Amerika
Utara pacta dasarnya Kristen, dan dengan itu kehidupan Gereja dan
refleksi teologis terkontektual isasi cUkup baik di dalam konteks ini.
Namun pengandaian ini, kata mereka, adalah lancung, karena dua
alasan. Pertama, kalau Gereja mau jujur, maka ia harns mengakui
bahwa ia sebenarnya ditepikan dalarnkonteks Amerika Vtara dewasa
ini. "Hari-hari telah berlalu" lUlis Hunsberger, "ketika Gereja umumnya
dilihat oleh masyarakat sebagai unsur penting untuk tatanan sosial dan
moral." Dan mengutip Kennon Callahan, ia melanjutkan "Hari-hari
kebudayaan Gereja telah berlalu".56 Kalau kita ingin beneologi secara
efektif di Amerika Vtara dewasa ini, tandas Craig van Gelder, maka
kita harns menerima status minoritas kita di hadapan ketidakpedulian
konteks kontemporer, "seraya menghilangkan puing-puing perspektif
kekri stenan yang masih tersisa, yang berharap agar dunia secara
sungguh-sungguh mengindaltkan Gereja," dan kembali memusatkan
perhatian pada ihwal "bagaimana kita berusaha menggapai dunia"."
Kerudupan Kristen harns dihayati, dan teologi harus dilakukan, bukan
sebagai partisipan melainkan sebagai orang asing dalarn konteks ini.
Sebagai Gereja kita telah berhenti menjadi "kapelan" kebudayaan dan
justru tertepikan di dalamnya.
Kedua, para anggota gerakan GOCN mulai mengakui bahwa
bolehjadi a1asan terdalarn mengapa Gereja menjadi tidak lagi relevan
di Amerika Utara iaIah karena Gereja tak lagi memiliki sesuatu untuk
MODEL BUDAYA TANDINGAN 239
Michael J. Baxler
dirinya), namun seliap etika sosial yang dibangun di atas kodrat dengan
a1asan kodrnli adalah cacat. Pandangan Baxter ada1ah bahwa walaupun
tidak ada dikotomi antara kodrat dan yang adikodrati (atau rahmat),
namun hanya yang adikodrati atau rahmat sernatalah yang memberikan
martabat dan keutuhan kepada kodrat. Dengan kata lain, etika Katolik
sosial yang sejati tidak dapat dibangun di atas semacam "landasan
wuwu" yangjuga dipunyai oleh nilai-niJai sekular atau tradisi ells agama-
agama lain. Etika sosial Katolik hanya dapat berpijak pada narasi
Inji!: teladan Yesus, SabdaBahagia,doktrin seperti Trinitasdan Gereja
sebagai Tubuh Mistik Kristus. Prinsip kedua Baxter adalah bahwa
etika sosial harus dibangun bukan sebagai "sarana" melainkan dengan
menilik kepada sasaran atau "tujuan akhir". Ganti mengabstraksi
prinsip-prinsip tert:entu yang disetujui bersama dan mengabaikan unsur
lain dalam tradisi Kristen agarorang-orang Kristen dapatduduk semeja
dengan pembuatkebijakan publik Qadi menggunakan apa yang disebut
John A. Ryan sebagai ''prinsip kemanfaatan"SO), orang-orang KIisten
harus mengembangkan etika yang menghadirkan bagi mereka "surga
dan burni barn" sebagaimana yang dijanjikan Perjanjian Barn. Masya-
rakat model apa (yakni sebab final dan formal) yang diidam-idamkan
oleh orang-orang Kristen harns menuntun pembentukan etika sosial
Kristen, dan bukannya apa yang diperoleh orang-orang Kristen apabila
mereka berkompromi dengan kekuatan-kekuatan yang ada (yakni
sebab efisien).81 Dalam kedua kasus itu, adalah "fakta" Kristen, yaitu
narasi KIisten yang berfungsi sebagai lensa interpretatifbagi masyara-
kat yang memiliki moral yang autentik, dan bukannya nilai-nilai dari
budaya atau konteks di sekitar. Dengan menggunakan lensa ini, tampi!-
lah dalarn pemikiran Baxter suatu wawasan budaya tandingan yang
penuh daya tentang masyarakat yang dicita-citakan itu - khususnya
masyarakat Amerika Serikat.
Barangkali tempat di mana Baxter mengemukakan seluruh pe-
rnikirannya secara sangat gamblang, dan sekaligus mengaitkannya
dengan beberapa refleksi praktis, adalah sebuah lokakarya yang ia
MODEL BUDAYA TANDINGAN 251
I
MODEL BUDAYA TANDINGAN 253
DOD
PENUTUP:
APAKAH SATU MODEL LEBIH BAlK
DARI YANG LAIN?
258
PENUTUP 259
misionaris di satu pihak, dan tidak: sepakat dengan mereka dalam kasus-
kasus tertentu, sehingga mereka menemukan caranya sendiri untuk
mengungkapkan iman mereka atau menanggung konsekuensi-
konsekuensinya.
Robert Schreiter, dalam kata pengantar untuk kumpulan
karangannya tentang kristologi-kristologi Aftikakontemporer, menulis
bahwa "sudah terlalu lama ihwal menganut Kristus dan amanat-Nya
berarti penolakan terhadap nilai-nilai budaya Afrika. Kepada orang-
orang Afrika diajarkan bahwa adat kebiasaan kuno mereka adalah
tidak: sempurna atau bahkan jahal, dan oleh karena itu mesti dicarnpak-
kan kalau mereka ingin menjadi orang Kristen.'" Dalam situasi se-
macarn itu, hemat saya, pilihan yang mengutarnakan model antropologis
tentu saja sangat tepat. Di lain pihak, dalam suatu kebudayaan seperti
di Filipina misalnya -di mana walaupun ada depresiasi budaya yang
signifikan, namun juga senantiasa teljadi kawin silang selarna berabad-
abad - maka pendekatan yang bersifat Jebih ink:Iusif dan sintesis seperti
yang ditempuh Jose de Mesa bisa saja merupakan satu-satunya cara
untuk menangkap kemajernukanjati diri orang-orang Kristen Filipina.
Saya beranggapan bahwa dalam satu situasi di mana ada keragaman
multi-budaya, maka model transendental bisa dimanfaatkan dengan
hasil guna yang berJimpah ruah. Dalam sebuah kursus teologi di mana
adamahasiswa dari enam atau tujuh kelompok budaya yang bedainan,
maka taktik terbaik bagi seorang pengajar ialah merumuskan sejelas-
jelasnya bingkai teologisnya sendiri, denganharapan bahwarupa-rupa
kesamaan dan perbedaan yang ditemukan para mahasiswa dalam
pengalamannya bisa memicu mereka untuk juga melancarkan ihwal
berteologinya sendiri.4 Akhimya. saya sungguh yakin bahwa dalam
satu situasi seperti yang tengah teljadi di Eropa, Australia, Selandia
Baru dan Arnerika Utara misalnya, hanya sebuah teologi yang meng-
indahkan konteks sekular secara kritis bisa merUadi teologi yang dengan
setia rnenampilkan serta menghayati Injil.
PENUTUP 261
DOD
CATATAN
PENDAHULUAN
I. TEOLOGI KONTEKSTUAL
SEBAGAI IMPERATIF TEOLOGIS
I. Istilah Dunia Ketiga memang patul diakui sebagai sesualu yang kontro-
versia!. W.J. Grimm menandaskan bahwa walaupun istilah ini pada mulanya
memiJiki sebuah makna positif, analog dengan tampilnya kekuatan Golongan
Keliga dalam Revolusi Praneis, namun sejak ilu maknanya lelah berubah:
"Istilah ini lidak lagi mengacu kepada aspirasi-aspirasi bangsa-bangsa yang
berharap bisa membangun pemerintahan dan perekonomian yang independen.
Istilahini telah menjadi sebuah term pembanding. Kini Dunia Ketiga did~finisi
kan seturu t kerangka Dunia Pertama." w.J. Grimm, "The 'Third' World,"
America (May, 5, 1990): 449. Oleh karena hal ini, Grimm menganjurkan agar
istilah ini ditinggalkan. Di lain pihak, Asosiasi Ekumenis Teolog Dunia Ketiga
(EATWOT) - sebuah kelompok yang semestinya bersikap sangat peka
terhadap setiap istilah yang diduga merendahkan kebudayaan-kebudayaan
mereka - dengan gamblang menggunakan istilah ini. Lihat K.C. Abraham, ed.,
Third World Theologies: Commonalities and Convergencies (Maryknoll, N. Y.:
Orbis Books, 1990), d.n V. Fabella, "Third Word," dal.m V. Fabella and R.S.
Sugirtharajah, eds., Dictionary of Third World Theologies (Maryknoll, N.Y:
Orbis Books, 2000), p. 202. Oleh karena para teolog tersebut menggunakan
istilah bersangkulan, mak. di sini pun saya memilih unluk menggunakannya.
2. Sub-bagian ini merupakao pengembaogan lebih lanjut dari tulisaoku
"Li ving be tween Gospel and Context: Models for a Missional Church in North
America," dalam Craig van Gelder, ed., Confident Witness - Changing World:
Rediscovering the Gospel in North America (Grand Rapids, MI: William B.
262
CATATAN 263
perlu dikatakan lebih banyak lagi, melainkan karen. segala sesuatu telah
dikatakan, segala sesuatu telab diberikan di dalam diri Putra Kasih, dalam Dia,
Allah dan dunia telah menjadi satu, untuk selama-Iamanya tanpa peleburan,
untuk selarna-Iam.nya tanpa terceraikan."
52. Avery Dulles, The Reshaping of Catholicism: Current Challenges in
the Theology of the Church (San Francisco: Harper and Row, 1988), p. 71.
53. Walls, The Missionary Movement in Christian History, p. xvii.
54. Robert Schreiter yakin b.hwa era kila sekarang ini merupakan kurun
waktu di mana katolisitas Gereja akan mendapatkan penekanan khusus, oleh
karen. dinarnika globalisasi serts persoalan jali diri yang ditarnpilkannya secara
sangat lantang. Lihat The New Catholicity, pp. 116-133.
55. John Thompson "Modern Trinitarian Perspectives," dalam Scottish
Journal of Theology, 44 (1991): 349-365; dan K. Blaser, "La Remise en valeur
du Dogme Trinitaire dans la Theologie actuelle," dalam Etudes de The% gie
et Religion, 61, 3 (1986); Catherine M. LaCugna, God For Us (San Francisco:
Harper/Collins, 1991).
56. Menyangkut pem.paran yang lebih tetperinei atas landasan trinitaris
bagi teologi kontekstual ini (atau inkulturasi), lihat Stephen Bevans, "Incultur-
ation and SVD Mission: Theological Foundations," dalam VerbumSVD;-2001.
57. Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi tentang Karya
Pewartaan Injil di dalarn Dunia Dewas. Ini, No. 20. Lih.t Shorter, Toward a
Theology of Inculturation, pp. 215-219.
2. PERSOALAN-PERSOALAN
DALAM TEOLOGI KONTEKSTUAL
Word (London: Metheun, 1982): dan Anthony J. Gittins, Gift and Strangers:
Meeting the Challenge oflncuitltralion (2'" ed.) (Maryknoll, NY: Orbis Books,
200 I), pp. 56-83. Bdk. Ana Marfa Pineda. "Evangelization of the 'New World':
A New World Petspective," Missiology: An International Review, 20, 2 (April,
1992): 151-161.
4. Dari berbagai literatur, lihatkhususnya Voker KUster, The Many Faces
of Jesus Christ (Maryknoll, NY: Orbis Books. 2001); Ron O'Grady, ed., Christ
for All People: Celebrating a World of Christian Art (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 2001); Thomas F. Matthews, The Clash of Gods: A Reinterpretation
of Early Christian Art, Rev. Ed. (Princeton, NJ: Princeton University Press,
1999); Edward Foley, "Art," dalam Karl MUlier, et aI., ed., Dictionary of
Mission: Theology, History, Perspectives (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1997),
pp. 33-38; Mark J. Hatcher, "Poetry, Singing and Contextualization," Missio-
logy: An Intemational Review, XXIX, 4 (October, 2001): 475-487.
5. Liha! Joseph G. Healey, "Constructing a Mission Theology Using Afri-
can Proverbs and Sayings ," African Christian Studies (June, 1988): 71-85;
"Proverbs and Sayings - A Window into the African Christian World View,"
dalam Communicatio Socialis Yearbook, 7 (1988), juga dalam Service, 3
(1988): 1-35; Kltisili Injili (Peramiho: Benedictine Publicalions, 1982); Stan
Nussbaum, ed., African Proverbs: Collections, Studies, Bibliographies. Ver-
sion 1.01 for Windows. CD #3, 20:21 Library - Mission and Evangelism Re-
sources on CD (Colorado Springs, CO: Global Mapping International, 1996).
6. Lihat Schreiter, Constructing Local Theologies, p. 78. Lihatjuga Olin
P. Moyd, The Sacred Art: Preaching alld Theology ill the African American
Tradition (Valley Forge, PA: Judson Press, 1995).
7. Lihat George Proksch, "The Gospel in Indian Dress," dalam J. Boberg,
ed., The Word in the World (Techny, IL: Divine Word Missionaries, 1975).
pp.58-62.
8. N.B. Bejo, "Comics and Movies in the Philippines," Diwa: Studies in
Philosophy and Theology, XIJI, 2 (November, 1988): 121-135; Roger Hooker,
The Quest oj Ajneya: A Chris/ian Theological Appraisal of the Search for
Meaning in his Three Hindi Novels (Delhi: Motilal Banarsidass, 1998); Tom
Beaudoin, Virtual Faith: The Irreverent Spiritual Quest afGeneration X (San
Francisco: Jossey-Bass, 1998).
9. Peter Schineller, "Inculturation and Modernity," Sedos Bulletill, 1988,
No.2 (February 15, 1988): 47.
10. Leonardo N . Mercado, "Notes on Christ and Local Community in
Philippine Context," Verbum SVD, 21. 3/4 (1980): 303; Elements of Filipino
Theology (Tacloban: Divine Word University, 1975), p. 13.
11. Haleblian, "The Problem of Contextualization," p. 99.
CATATAN 271
Theology between the Global and the Local (Maryknoll, N,Y,: Orbis Books),
pp. 62-83. Karya-karya semacam ini menganut suatu pendekatan yang lebib
positif terbadap sinkretisme, dan memberi sedikit penekanan pada kemungkinan
terjadinya kerancuan dalam sebuah perjumpaan antana agama dan kebudayaan,
dan lebih banyak pada perubahan-perubaban budaya yang dibasilkan. Seba-
gaimana yang ditandaskan Luzbetak (p. 369): "Sebuah Gereja yang bebas dari
sinkretisme merupakan sebuah harapan eskatologis, bukan sebuah kenyataan.
Sebuah sikap yang positif juga dituntut oleh karena sinkretisme sering kali
menunjukkan kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan manusia yang
menanggapi nilai-nilai kemanusiaan yang benar, seperti penghormatan suku
terhadap rupa-rupa tradisi dan para leluhur mereka. Akhirnya, sinkretisme
juga bisa memberi petunjuk-petunjuk penting menyangkut strategi misioner.
Dengan demikian sinkretisme bisa berfungsi sebagai sebuah jembatan dan
akselerator daIam proses akulturasi dari cara-cara dan kepercayaan-kepercaya-
an yang tidak Kristen menjadi cara-cara dan kepercayaan-kepercayaan yang
kristiani ... " Beberapa pengarang telah menunjukkan bahwa apa yang dipandang
sebagai sinkretisme oleh orang-orang yang memegang tampuk kewenangan
serta kekuasaan religius justru dilihat sebagai suatu inkulturasi yang autentik
di mata umat biasa. Lihat Mauel M. Marzal et aI., eds., The Indian Face of
God in Lotin America (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books, 1996).
30. Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, No. 65.
31. Kongregasi Suci untuk Pengajaran Iman, Instruction on Certain
Aspects of the 'Theology of Liberation' (Washington, D.C.: U.S. Catholic
Conference, 1984). Dokumen ini juga dicetak sebagai lampiran dalam R.
Haight, An Alternative Vision: An Interpretation of Liberation Theology
(Mahwah, N.J.: Paulist Press, 1985), pp. 269-291.
32. Lihat David Tracy, Blessed Rage for Order: The New Pluralism in
Theology (New York: Seabury, 1975), dan Plurality and Ambiguity: Herme-
neutics, Religion, Hope (San Francisco: Harper and Row, 1987).
33. De Mesa and Wostyn, Doing Theology, p. 86.
34. Saya berutang budi untuk gagasan "dalil religius yang mendasar"
kepada mitra sejawat saya Timothy R. Stinnett. Lihat manuskripnya yang tidak
diterbitkan, "The Logic of 'Decisiveness' and Religious Dialogue".
35. Lihat Mark L. Taylor, God is Love: A Study in the Theology of Karl
Rahner (Atlanta, Ga.: Scholars' Press, 1986).
36. Schreiter, Constructing Local Theologies, pp. 117-121.
37. Ibid., p. 119.
38. Michael H. Taylor, "People at Work," dalam Amirtharn and Pobee,
eds., Theology by the People, p. 124.
39. Lihat Conn, Eternal Word and Changing Worlds, pp. 224-260, dan F.
274 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
George, "The Process of Incullur.tion: Steps, Rul es, Problems," Kerygma, 22,
1 (1988): 93-113.
40. Lihat de Mesa, In Solidarity With the Culture: Studies in Theolog ical
Re-rooting (Quezon City: Maryhill School of Theology, 1987), khususnya
pp. 1-42; dan bzculturalion as Pilgrimage, First Annual Louis J. Luzbetak,
SVD Lecture on Mission and Culture (Chicago: CCGM Publications, 2001).
41. Ibid., pp. 30-32.
42. John S. Pobee, Toward an African Theology (Nashville, Tenn.: Abing-
don Press, 1979), p. 44.
43. Chang Tarya, "Korean Christmas Crib," Illeulturatioll, 2, I (Spring,
1987) : 39, seperti y.ng dikutip dalam Sean Dw. n. ''Theological Notes on
Inculturation," [nculturation, 3, I (Spring, 1988): 32.
44. Lih.! Kelompok Kerj. SVD, "Secularization, Dialogue and Incul-
turation: Mission Towards the Millennium and Beyond," Sedos Bulletin, 1988.
23 , 8 (September IS, 1991): 240-246; William Jenkinson and Hellene O'Sulli-
van, eds., Trends in Mission: Toward the Third Millennium (Maryknoll. N. Y.:
Orbis Books, 199 I), pp. 11 8- 166; Michael AmaJadoss, "Modernity: The Indian
Experience," dalam Making All Things New: Dialogue, Pluralism and
Evangelization in Asia (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books, 1990), pp. 131-141.
45. Lihat Dana Pendidikan Teologi, Ministry in Context: The Third
Mandate Pragramme of the Theological Education Fund (1970-1977)
(Bromley, Kent: New Life Press, 1972); Shake Coe, "Contexlualizing Theo-
logy," dalam Gerald H. Anderson and Thomas F. Stransky, eds., Mission Trends
No.3: Third World Theologies (New York/Grand Rapids, Mich.: Paulist Press/
Eerdmans, 1976), pp. 19-24; dan William P. Russell, Contextualization: Origins,
Meaning and Implications (Rome: Ponticia Studiorum Universitas a S. Thoma
Aq. in Uebe, 1995).
46. Lihal Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation (Maryk-
noll, N.Y.: Orbis Books, 1988), pp. 10-11; Peter Schineller, A Handbook of
Illculturation (Mahwah, N.J.: PaulistPress, 1990), pp. 14-27; Gerald Arbuckle,
Earthing the Gospel (Maryknoll, N. Y.: Orbis Books, 1990). Shorler lebih
meny ukai istilah inkulturasi, namun tampaknya b.giku bahwa penggunaannya
itu menyiratkan sebuah model tertentu dan bukannya sebuah term umum.
Baginya, inkulturasi adalah ihwaJ memasukkan iman ke dolam kebudayaan.
Seperti yang ia sendiri akui, kontekstualisasi adalah sebuah istilah yang
berjangkauan lebih luas. Arbuckle berbicara ten tang kontekstualisasi sebagai
sesuatu yang bersifat lebih dangkal danpada inkulturasi, dan bertalian dengan
gagasan tentang adaptasi. Rupanya ia tidak mengenaJ definisi standar yang
diberikan oleh Dana Pendidikan Teologi pada lahun 1972, walaupun ia
mengutipnya dan sumber sekunder (p. 21).
CATATAN 275
terangkan dengan istilah arketipe. Lihat Black, Models and Metaphors, pp.
239-243. Ramsey menyejajarkan model-model analog dengan model-model
penyingkapan, namUn penggunaan istilah model-model penyingkapan
tampaknya lebih dekat dengan istilah model teorelis yang digunakan Black.
Lihat Models and Mystery, pp. 9-11 . Bdk. M. Hesse, "Models and Analogy in
Science," dalam The Encyclopedia of Philosophy, P. Edwards, ed. (New York:
The Macmillan Co.lFree Press, 1967), Vol. 5, pp. 354-359.
ll. Barbour, Myths, Models and Paradigms, p. 6.
12. Dulles, Models of Revelation, p. 30.
13. Barbour, Myths, Models and Paradigms, p. 7.
14. Sallie McFague, Metaphorical Theology: Models of God in Reli-
gious Language (Philadelphia: Fortress Press, 1982), pp. 74-75.
15. Barbour, Myths, Models and Paradigms, pp. 29-48.
16. Schineller, "Christ and the Church," p. 3.
17. Lihat McFague, Metaphorical Theology, p. 81; T. Kuhn, The Struc-
ture of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1970),
pp. 144-159.
18. Barbour, Myths, Models and Paradigms, p. 7.
19. Hal ini, demikian tegas Black, merupakan landasan dari kritik P. Duhem
atas penggunaan model-model. Bdk. Black, Models and Metaphors, pp. 233-
235; Ramsey, Models and Mystery, pp. 18-19.
20. Niels Bohr,Atomic Theory and the Description ofNature (Cambridge:
Cambridge University Press, 1934), p. 96. Dikutip oleh Barbour, Myths, Models
and Paradigms, p. 75 .
21. M. Hesse, dalam D. Bohm, et aI., Quanta and Reality (New York:
World Publishing Company, 1964), p. 57. Dikutip oleh Barbour, Myths, Mod-
els and Paradigms, p. 75.
22. Dulles, Models of the Church, p. 32.
23. Dulles, Models of Revelation, pp. 34-35.
24. Francis Crick, sebagaimana dikutip oleh G. Johnson, "Two Sides to
Every Science Story," The New Times Book Review (April 9, 1989): 41.
25. Peta lainnyajuga ditemukandalarn Hesselgrave and Rommen, Cotl/ext-
ualization, pp. 148, 151, 157. Akan telapi, pembaca budiman bisa memperhati-
kan bahwa kedua pengarang ini memakai model-model kontekstualisasi yang
bersifa! eksklusif dan bukan yang bersifat komplementer.
26. DarreD Whiteman, "Contextualization: The Theory, the Gap, The Cbal-
lenge",lnternational Bulletin of Missionary Research, 21, 1(1997): 2-7.
27. Oleh karena ito, saya tidal< sependapat dengan kritik Doug Priest dalam
karyanya Doing Theology with the Masaai (Pasadena, Calif.: William Carey
Library, 1990), yang mengatakan bahwa model-model ini bersifat reduksionis.
CATATAN 277
4. MODEL TERJEMAHAN
55. Humf "DS" yang diikuti satu atau beberapa angka, mengaeu kepada
kumpulan dokumen resmi Roma yang pada mulanya disunting oleh H.
Oenzinger ("0") pada abad lee- J9, dan kemudian disunting serta direvisi pada
tabuo 1960-an oleh A. SebOnmetzer ("S"): Enchiridion Symoolorum Defini-
tionum et Declarationum de Rebus Fidei et Morum (Barcelona, Freiburg,
Rome: Herder, 1976). Oi sini saya mengacu pada edisi ke-36.
56. Libat Aylward Shorter, Toward a Theology oj Inculruration (Maryk-
noll, N.Y.: Orbis Books, 1988), pp. 164-236; H. Carrier, Gospel Message
and Human Cultures: From Leo XlII to John Paulll (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1989), pp. 14-28; M.R. Francis, Liturgy in a Multicultural
Community (Collegeville: The Liturgical Press, 1991,), pp. 13-14.
57. Lihat Paulus VI, Evangelii Nuntiandi No. 20; bdk. lug. 1. Snijders,
"Evangelii Nuntiandi: The Movements of Minds," The Clergy Review, 62:
170-175.
58. Shorter, Toward a Theology oj Inculturation, p. 223.
59. Lihat Karol Wojtyla, The Acting Person, A. Potocki, trans. (Dordrecht,
Holland; Boston; and London: O. Reidel, 1979). Bdk. Juga R. Modras, "A
Man of Contradiction? The Early Writings of Karol Wojtyla," dolam The
Church in Anguish: Has the Vatican Betrayed Vatican ll?, H. KUng and L.
Swidler, eds. (San Francisco: Harper and Row, 1986), pp. 39-51.
60. Jumlah dokumen dan wacana di mana sri paus membedah persoalan
budaya - khususnyadiolog antara iman dan kebudayaan - terlalu banyak untuk
didaftarkan di sini. Saya akan mencantumkan secara ringkas beberapa darinya
menyangleut pendeleatan sri paus terhadap kontekstualisasi, namun ada amot
banyak lagi. Akan tetapi, beberapa tulisan sri p.us memiliki pengaruh besar di
bidangnya, dan learenanya harus dieatat: Catechesi Tradendae (1990), No.
53; Slavorum Apostoli (1985), No. 9-11, 18-20; dan Redemptoris Missio
(1990), No. 52-54. Menyangkut bagian-bagian relevan dari dokumen-dolcumen
ini, lihat JA Scherer and S.B. Bevans, eds., New Directions in Mission and
Evangelization 1: Basic Statements 1974-199/ (Marylcnoll, N.Y.: Orbis Books,
1992), sedangkan lcutipan-lcutipan lain alas dolcumen-doleumen ini, libat Carrier,
Gospel Message and Human Cultures, pp. 75-133; dan Shorter, Toward a
Theology oj Inculturation, pp. 222-238.
61. L'OsseTVatore Romano, June 28, 1982: 1-8, dikutip Shorter, p. 230.
62. Carrier, Gospel Message and Human Cultures, p. ix; bdlc John Paul
II, "Faith and Culture," Origins 18, 3 (June 2, 1988) #5: 36; Redemptoris
Missio, Origins 20, 34 (January 31,1991) #52: 556. LihatjugaFrancis George,
lnculturation and Ecclesial Communio: Culture and Church in the Teaching
ojPope John Paulll (Rome: Urbaniana University Press, 1990).
63. "Faith and Culture," 1ffJ, p. 36
282 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
5, MODEL ANTROPOLOGIS
I. Lihat tafsiran M. Eugene Boring atas Mat 15:21-28 dalam The New
Interpreter sBible. Walaupun ia tidak sepenuhnya menerima tafsiran feminis
dari Sharon Ringe atas perikop tersebut, namun ia mengakui bahwa "kisah itu
mengundang para pembaca untuk menempalkan dirinya dalam peran orang
lain, uotuk bergumul tidak saja dengan Allah tetapi juga dengan rupa-rupa
persepsi kita tentang orang lain, serta memaklumkan pergumulan yang tiada
berkesudahan ilu sebagai iman yang agung" (The New Interpreter 's Bible,
vrn [New Testament Articles, Matthew, Mark1, Leander Keck el al., eds., [Nash-
ville, TN: Abingdon Press, 19951, p. 338). Dalam karya yang sama, dalam
komentamya atas Mrk 7:24-30, Pheme Perkins mengatakan bahwa "perikop
inijuga menjadi peringatan bagi para pastor, guru dan orang-orang lain yang
mengemban posisi kepemimpinan agar tidak mati-matian mempertahankan pen-
dapatnya sondiri. Ketika Yesus menyadari bahwa argumen perempuan itu lebih
kuat daripada argumen-Nya sendiri, Ia pun mengabulkan permohonan perern-
puan itu" (ibid., p. 611). Perkins juga menandaskan bahwa perikop itu semes-
tinya menantang kita untuk membuat refleksi atas cara kita memperlakukan
orang-orang yang berasal dari latar belakang suku atau agama yang berbeda.
2. Lihat Yustinus Martir, I Apology, 46:1-4; II Apology. 7 (8): 1-4, 10:1-
3,13:3-4. Klemens dari Aleksandria, Stromata, 1,19,91-94. Lihatjuga Kwarne
Bediako, Theology and Identity: The 1mpact of Culture UpOIl Christian
Thought in rhe Second Century and Modern Africa (Oxford: Regnum Books,
1992), pp. 41-48 ; dan A.F. Walls, "Old Athens and New Jerusalem: Some
Signposts for Christian Scholarship in the Early History of Mission Studies,"
Tlltemarionai Bulletin of Missionary Research, 21, 4 (1997): 148-149.
3. AG II. Dokumen ini dan dokumen-dokumen gerejani Jainnya cenderung
bersikap hati-hati dalam pembahasan mereka menyangkut interaksi antara iman
dan kebudayaan (bdk. misalnya AG 3 dan Evangelii Nuntiandi Paulus VI,
No. 20 dan 53). Akan tetapi, alinea yang dikutip di atas menunjukkan kenyataan
bahwa rahmat Allah sudah hadir di dalam agarna-agama dan kebudayaan-
kebudayaan yang lain, dan hal ini memiliki implikasi-implikasi yang sangat
penting untuk metode teologi. Model antropologis tidak menganggap ke-
budayaan melulu sebagai suato wahana yang dapat dibentuk sesuka hali bagi
pewartaan yang dianggap tidak pemah berubah dan bersifat adi-budaya, tetapi
284 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
Theology in Today's World (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1989), pp. 312-
338.
12. Smith, "The Future of Mission," p. 73.
13. Ibid.
14, Ibid.
15. Robert McAfee Brown, "The Rootedness of All Theology: Context
Affects Content," Christianity in Crisis, 37 (July 18, 1977): 170-174.
16. Leonardo N. Mercado, Elements of Filipino Theology (Tacloban:
Divine Word University Publications, 1975), p. 15.
17 . Ibid., 12; lihatjuga Leonardo N. Mercado, "Notes on Christ and Local
Community in Philippine Context," VerbumSVD, 21, 3/4 (1980): 305; dan Doing
Filipino Theology (Manila: Divine Word Publications, 1997), p. 8.
18. Mercado, Elements of Filipino Theology, p. 13.
19. Leonardo N. Mercado, "Filipino Thought," Philippines Studies, 20,
2 (1972): 210-211.
20. Ibid., 54-58. Bdk. L. Mercado, Elements of Filipino Philosophy
(Tac1oban: Divine Word Uni versity Publications, 1973), Bab V.
21. Mercado, "Notes on Christ," pp. 303-315.
22. Liha! Rosemary Radford Reuther, Sexism and God- Talk: Toward a
Feminist Theology (Boston: Beacon Press, (993), pp. 12-46.
23. Mercado, "Filipino Thought," pp. 207-211.
24. Dionisio M. Miranda, Loob: The Filipino Within (Manila: Divine Word
Publications, 1989); bdk. Pagkamakatao-nya (Manila: Divine Word Publi-
cations, 1987); Walaupun saya tidak menggolongkan dia ke dalarn model ini
(bdk. 'Bab 7), Jose de Mesa juga membua! sebuah analisis atas loob. Bdk.
karyanya Tn Solidarity With the Culture: Studies in Theological Re-rooting
(Quezon City: Maryhill School of Theology, 1987), pp. 43-74; dan "Incultu-
ration as Pilgrimage," Kuliah Tahunan Pertama "Louis J. Luzbetak, SVD"
tentang Misi dan Kebudayaan pada Catholic Theological Union, 29 Mei 2000
(Chicago: CCGMPublications, 2001).
25. "East Asian Bishops' Conferences, Major Seminaries Meeting, Con-
clusions and Recommendations," diterbitkan dalarn Sunday Examiner, Hong
Kong, 20 Desember 1974:9. DiJrutip dalam Mercado, Elements of Filipino
Theology, p. 7.
26. Schreiter, Constructing Local Theologies, pp. 93-94.
27. Jon P. Kirby, SVD, "The Non-Conversion of the Anufo of Northern
Ghana," Mission Studies, IT, 2 (1985): 24. LihatjugaJon P. Kirby and Vincent
Boi-Nai, "Ghana: Popular Catholicism in Ghana," dalam Thomas Bamat and
Jean-Paul Wiest, eds., Popular Catholicism in a World Church: Seven Case
Studies inlnculturation (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books, (999), pp. 119-156.
286 MODEL-MODEL TEOLOG1 KONTEKSTUAL
6, MODEL PRAKSIS
1985). Dalam buku yang disebutkan teralchir, lihat karangan "Models and
Pastoral Practices of the Church," pp. 1-11; ''Theological Tendencies and
Pastoral Practices," pp. 12-21; ''The Base Ecclesial Community: A Brief Sketch,"
pp. 125-130; dan "Underlying Ecclesiologies of the Base Ecclesial Commu-
nities," pp.131-137.
44. Douglas John Hall, Lighten Our Darkness: Toward an Indigenous
Theology ofthe Cross (Philadelphia: Westminster Press, 1976); Has the Chunch
a Future? (Philadelphia: Westminster Press, 1980); The Steward: A Biblical
Symbol Come oj Age (New York: Friendship Press, 1982); The Stewardship
of Life in the Kingdom of Death (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 19851
1988); Imaging God: Dominion as Stewardship (New York: Friendship Pressl
Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1986); God and Human Suffering: An Exer-
cise in the Theology ofthe Cross (Minneapolis, Minn: Augsburg, 1986); Think-
ing the Faith/Professing the Faith/Confessing the Faith: Christian Theology
in a North American Context (Minneapolis, Minn: Augsburg/Fortress, 1989,
1993, 1996).
45. Hall, Lighten Our Darkness, p. 203.
46. Ibid., p. 204.
47. Hall, The Steward, pp. 1-2.
48. Ibid.
49. Ibid., p. 9.
50. Ibid., p. 10.
51. Ibid., p. 28.
52. Ibid. , p. 53.
53. Hall, The Stewardship of Life in the Killgdom of Death, p. x.ii.
54. Hall, Imaging God: Dominion as Stewardship dan God and Human
Suffering: An Exercise in the Theology oJthe Cross.
55. Hall, Thinking the Faith., p. 13. "Ihwal memikirkan iman, seperti
yang ditandaskan Buri, adalah satu-satunya jenis iman yang bisa dihiraukan
secara sungguh-sungguh eli tengah dunia dewasa ini," p. 66.
56. Ibid., p. 19.
57. Ibid., p. 21.
58. "Vivendo, immo moriendo et damnando fit thea log us, non
intellegendo, legendo aut speculando."WA 5.162.28. Hall menyitir ungkapan
ini pada pp. 237-238 dati bukunya Thinking the Faith.
59. Ibid., p. 238.
60. Ibid., pp. 172-176.
61. Istilah "realisme profetis" berasal dati saya sendiri, namun bisamenjelas-
kan maksud Hall tentang altematifketiga; bdk. Hall, Thinking the Faith, pp. 176-
177. Kutipan itu berasal dati c.F. von Wiezsaecker; bdk. Ibid., catatan 34, p. 177.
294 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Misi Untuk Abad ke-21 (Maumere: Puslit
Candraditya, 2(02).
7. MODEL SINTESIS
semata. Beberapa dati antara buku-buku ini muneul pada saat yang berlainan
dan dengan judul yang berbeda di berbagai belahan dunia.
26. Edisi Inggris dan AS punya sub-judul yang berbeda: Mt. Fuji and Mr.
Sinai: A Pilgrimage in Theology (London: SCM, 1985); Mt. Fuji and Mt.
Sinai: A Critique of Idols (Maryknoll, N.Y: Orbis Books, 1985).
27. Lihat GeraldH. Anderson and Thomas F. Stransky, eds., Mission Trends,
Nos. 1-3, (Grand Rapids, Mich., and Ramsey, N.J.: Eerdmans and Paulist Press,
1974,1975, 1976); Gerald H. Anderson, ed., Asian Voices in Christian Theology
(Maryknoll, N. Y: Orbis Books, 1976); Douglas J. Elwood, ed., Asian Christian
Theology: Emerging Themes (Philadelphia: Westminster, 1980); Kosuke
Koyama, "Ecumenical and World Christianity Center, Union Theological
Seminary, New York City," Theological Education (Spring 1986): 132-137;
Kosuke Koyama, "Tribal Gods or Universal God," Missionalia, 10, 3
(November 1982): 106-112; Kosuke Koyama, "'!be Asian Approach to Christ,"
Missiology, XII, 4 (October 1984): 435-447; Christian Century, 106: 347, 379,
411 ,442,467,651.
28. Koyama, 50 Meditations , p. 16.
29. Koyama, Waterbliffalo Theology, p. 9. Inijuga merupakan salah satu
gagasan pokok dal.m Mt. Fuji and Mt. Sinai.
30. Koyama, Waterbuffalo Theology, pp. 24, 209-224. Ini merupakan
tema pokok dalam keseluruhan No Handle on the Cross.
31. Koyama, Three Miles an Hour God, pp. 3-7; 50 Meditations , pp. 9-
10; Waterbuffalo Theology, pp. 133-160; "The Asia Approach to Christ," pp.
438-441.
32. Koyama, Waterbuffalo Theology, p. viii.
33. Hesselgrave and Rommen, Contextualization, p. 96.
34. Ibid., p. 141.
35. Koyama, Theology in COlllact (Madras: Christian Literature Society,
1975), pp. 67-68. Dikutip oleh Elwood, Asian Christian Theology , p. 27.
36. Koyama, MI. Fuji and MI. Sinai, p. 212.
37. Koyama, Waterbuffalo Theology, p. 74. Akan tetapi, Hesselgrave dan
Rommen mengkritik Koyama untuk apa yang mereka anggap sebagai suatu
salah terjemahan atas kata Jerman Anfechtung, yang secara harfiah berarti
"gugatan" atau dalam bahasa teologis "cobaan, godaan" (bdk. Hesselgrave
and RammeD, Contextualization, p. 176.)
38. Koyama, Waterbuffalo Theology, p. 74.
39. Sebagai contoh dalam sebuah acuan tentang orang Toraj. di Sulawesi
Tengah yang dilukiskannya sebagai umat yang selurubnya menganut agama
Kristen Belanda, lengkap dengan Katekismus Heidelberg dan Katekismus
Lengkap Luther, Koyama mencatat: "Saya tid.k merasa menyesal melibat
298 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
kedua hal itu ada di sana, namun saya bertanya-tanya mengapa dan bagaimana
keduanya bisa tetap tinggal utuh dan lengkap, dalam bentuknya yang asH, di
sebuah negeri yang memiliki khazanah agama dan budaya yang begitu
berlimpah ruah. Bukankah perlu untuk menyesuaikannya atau sekurang-
kurangnya mengubah bentuk-bentuk ungkapannya secara sangat mendasar?
Sesung-guhny. mesti ada Katekismus Torajaberg dan bukannya Katekismus
Hei-delberg, dan Katekismus Batak dan bukannya Katekismus Luther." No
Handle all the Cross, p. 34. Perhalikan kala-kata "menyesuaikannya" dan
"mengubah bentuk-bentuk ungkapannya". Bdk. 50 Meditations, pp. 7- 11;
Mt. Fuji and MI. Sinai, pp. 53 , 56.
40. Lihat Koyama, Waterbuffalo Theology, pp. 133-160.
41. Ibid. , pp. 2742.
42. Ibid., p. 41.
43. Arevalo, Review of MI. Fllji and MI. Sinai, p. 141.
44. Koyama, MI. Fuji and Mt. Sinai, p. 7.
45. Koyama, "The Asian Approach to Christ," pp. 445-447.
46. Beberapa faklor kontekstual memiliki peluang memberi sumbangsih
bagi penggunaan konservatif atau liberal semacam itu alas salu model yang
sarna. Pada lempat pertama, Koyama berasal dan tradisi Protestantisme yang
bersifat agak "dialektis"; de Mesa berasal dan tradisi Kalolik yang bersifal
agak "analogis". Kedua, kalau Koyama membangun teologinya dalam konteks
Thailand dan Jepang yang non Krislen, maka de Mesa berbicara dari dunia
Filipina yang diliputi se luruhnya oleh konteks Kristen/Kalolik. Akan tetapi,
apa yang agaknya serupa di antara keduanya, dan itulah alasannya mengapa
saya menyebut keduanya sebagai praklisi model sintesis, ialah bahwa masing-
masing menyadari keprihatinan-keprihalinan yang lain. Di satu pihak, Koyama
menyadan kebaikan budaya sertakehadiran Allah di dalamnya; di lain pihak,
sebagaimana yang akan menjadijelas daJam bagian benkut yang meringkaskan
pemikiran de Mesa, beberapa segi kebudayaan dilihal sebagai sesuatu yang
sama sekali mendua, dan karena itu perlu dinilai di bawah lerang lnjil. Meminjam
klasifikasi David Hesselgrave dan Edward Rommen, kita bisa mengataka n
bahwa Koyama dan de Mesa masing-masing mengembangkan metode neo-
ortodoks dan neo-liberal (bdk. Hesselgrave and Rommen, Conlextual!zalioll:
Meaning s, Methods and Models [Grand Rapids, Mich.: Baker Book House,
1989], pp. 151-157.)
47. Dr. de Mesa adalah pemberi kuliah pertama dalam serial tahunan
Perkuliahall Louis J. Luzbetak, SVD tenlang Misi dan Kebudayaan pada
Catholic TIleological Union, Chicago, pada bulan April 2000, dan saya secara
pribadi menyaksikan gaya bicaranya yang memikal, sikapnya yang lembul dan
pemikirannya yang mendalam. Lihat "Inculturation as Pilgrimage," Chicago:
CATATAN 299
Mesa yang utama bagi teologi Filipina. Dalam sebuah kebudayaan di mana
kartun dan buku komik menjadi bahan bacaan yang paling digemari, maka
pendekatan teologis yang bersifat kurang linear dan tekstual bisa lebih relevan
daripada buku-buku yang ditulis dengan kepekaan terhadap kebudayaan.
Buku-buku komik dan kartun menarik orang-orang dari kebudayaan "lisan",
yang oleh banyak teolog Filipin. disebut sebagai kebudayaan orang Filipina.
61. De Mesa, Doing Christo{ogy, pp. 5-6.
8. MODEL TRANSENDENTAL
12. Lonergan, Insight, pp. 577-578, 580-5 81, 586-587; Method in neology,
p.293.
13. Lihat Tracy, The Achievement ojBemard Lonergan (New York: Herder
and Herder, 1970), p. 80. Dalam kar.ngannya, "Theology in Its Context,"
Lonergan berbieara ten tang bagaimana teol ogi kontemporer telah mengalami
suatu pergeseran dari ilmu pengetahu.n deduktifke ilmu pengetahuan empiris.
Ini berarti bahwa "kalau sebelumnya langkah dari premis ke kesimpulan bersifat
ringkas, sederhana dan pasti, maka dew.sa ini langkah-Iangkah dari rupa-rupa
data ke pen.fsiran sungguh panjang, sukar, dan paling banter, bersif.t rnungkin.
Sebuah ilmu pengetahuan empiris tidak menunjukkan sesuatu. In rnengumpul-
kan inform.si, mengembangkan pemahaman ... " (p. 38). Salah seorang murid
Lonergan yang paling terkenal dan kreatif, J.S. Dunne, sering kali berbieara
tentang pe ntingnya gerak peralihan dari ihwal meneari kepastian ke ihwal
meneari pemahaman. Menyangkut hal ini, lihal secara khusus J. Nilson, "Doing
Theology by Heart: John S. Dunne 's Theological Method," Theological
Studies, 48 (1987): 71.
14. Lihal Hebert Anderson, Seeing the Other Whole," Mission Studies,
14, 1-2,27-28 (1997): 40-63; Iihalj uga Edward Poitras, "The Self of Mission,"
dalam ibid., pp. 23-39.
15 . Ketika terjemahan alas perumusan-perumusan saya yang pertama
tentang berbagai model ini diterbitkan dalam Thealagie der Gegenwart (28
Jg., '85/3: 135-147, model transendental tidakdimasukkan -tanpa penjelasan
apa pun, namun saya curiga itu terjadi karena model itu ti dak dilihat se bagai
model yang bisa dilaksanakan, atau terbilang sepraklis model-model yang lain.
16. Bahwa ada mpa-rupa cara pengenalan, disiratkan oleh sebuahjudul
buku yang diterbitkan oleh M.P. Blenky. B.M. Clinchy, N. R. Goldberg dan
J.M. Tarule, Women s Way oj Knowing: The Development oj Self, Voice and
Mind (New York: Basic Books, 1986). Namun yang menarik ialah cara para
penulis ini membabarkan cara-cara pengenalan kaum perempuan sangat mirip
dengan cara para filsuf transendental, seperti Lonergan, melUkiskan bagaimana
semua orang sampai kepada pengetahuan . Barangkali peralihan yang dibu-
tuhkan ialah menuj u ke paharn lentang pengenalan dan kebenaran yang bersifat
!ebih personal dan intuitif, dan bukannya suato peralihan kepada cara-cara
pengenalan yang berbeda-beda untuk laki-laki dan perempuan - danlatau
kebudayaan-kebudayaan yang lain.
17. Para pengikut Lonergan akan menyangkal keberatan ini secara sangat
gigih. M.L. Lamb, "The Notion of the Transcultural in Bernard Lonergan's
Theology," dan R.M. Doran, "Theological Grounds for a World-Cultural
Humanity," dalam M.L. Lamb, ed., Creativity and Method: Essays in HOllor oj
302 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
How-To in Catholic Social Theory and Practice," Los Angeles 2001 Religious
Education Congress, Convention Seminar Cassettes; James V. Brownson,
"Hearing the Gospel Again, for the First Time," dalam Craig van Gelder, ed.,
Confident Witness - Changing World: Rediscovering the Gospel in North
America (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 1999),
pp. 135-140; Lois Y. Barrett, ed., Treasure in Clay Jars: Patterns in Missional
Faithfulness (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company,
Forthcoming), ms., 84. Gagasan itu mencuat, misalnyadalam Newbigin, Foolish-
ness to the Greeks, p. 4 (perhatikanjudul!); dan Darrell L. Guder, ed.,Missional
Church: A Vision for the Sending of the Church in North America (Grand
Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company, 1998), p. 109.
21. Inilah definisi Newbigin, yang diambil dari Random House Dictio-
nary: Lihat Hunsberger, Bearing the Witness of the Spirit, op.cit., p. 13.
22. Newbigin, Foolishness to the Greeks, op.cit., p. 4.
23. Lihat van Gelder, ed., op.cit., p. 1; dan Barrett ed., op.cit., p. 30
da1am manuskrip.
24. Newbigin, The Gospel ... , op.cit., p. 152;juga p. 195.
25. Newbigin, Foolishness to the Greeks, op.cit., p. 4.
26. Lesslie Newbigin, "The duty and Authority of the Church to Preach
the 'Gospel," dikutip dalam Wainwright, op.cit., p. 340.
27. Newbigin, Foolishness to the Greeks, op.cit., p. 53; dikutip dalam
Goheen, op.cit., p. 338.
28. Lihat Goheen, op.cit., p. 337.
29. Lihat Wainwright, op.cit., p. 35. Di sini Wainwrightmembaha, sebuah
makalah dari seorang mahasiswa tentang Newbigin yang menjadi alternatif
baik bagi penganut Protestan Reformasi maupun teologi Karl Barth. Lihat
juga Guder, ed., op.cit., pp. 68-69. "Teramatlah penting bagi Gereja untuk
mengembangkan pemahaman konfesional tentailg semua orang sebagaimana
yang direncanakan Allah untuk Gereja-Nya, dan untuk Gereja dalarn pema-
haman ini mendefinisikan dirinya berhadapan dengan sebuah dunia yang telah
jatuh ke dalam dosa."
30. Hunsberger, Bearing the Witness of the Spirit, op.cit., pp. 195,33.
31. Gagasan ini selalu berulang dalarn tulisan Newbigin. Lihat misalnya,
Wainwright, op.cit., pp. 384, 387; The Gospel in a Pluralist Society, pp. 103-
115; Hunsberger, Bearing the Witness of the Spirit, op.cit., pp. 115-123.
32. David Lowes Watson, "Christ All in All: The Recovery of the Gospel
for Evangelism in the United States," dalam Hunsberger and van Gelder, eds.,
op.cit., p. 197.
33. Lihat Hunsberger, Bearing the Witness of the Spirit, op.cit., pp. 77-
78; Wainwright, op.cit., p. 61.
308 MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL
PENUTUP
DOD
Gagasan tentang kontekstualisasi telah menjadi satu paham
sentral dalam teologi Kristen. Tetapi gagasan itu agak sering
digunakan dalam berbagai macam cara, dan tidak jarang
dengan arti yang membingungkan. Buku ini membawa'
keteraturan kepada kebalauan a la Menara Babel itu, dengan
misalnya menampi apa yang dipertaruhkah apabila kata-kata
sepe'rti "sinkretisme" dan "ortodoksi" dijadikan buah tutur
dalam pelbagai diskusi teologi kontemporer.
ISBN 979-9447-42-9