Sebuah berita mengejutkan datang dari Bank Dunia (World Bank), pada akhir Februari 2014. Bank
Dunia memutuskan untuk menunda pemberian bantuan sebesar USD 90juta (Rp1,35T) karena Presiden
Uganda, Yoweri Museveni, menandatangani UU Anti Gay. Bantuan untuk obat-obatan dan perbaikan
kesehatan di Uganda merupakan bantuan untuk kesehatan ibu anak dan keluarga berencana, nampaknya
Pertama, meskipun pemerintah negara Indonesia sampat saat ini masih belum dapat menerima hak-
hak asasi LGBT, namun tidak dipungkiri jika suatu hari pemerintah negara Indonesia pasti akan meratifikasi
hak-hak LGBT, baik karena tekanan dari masyarakat Indonesia maupun karena tekanan dari dunia
internasional, mengingat hak-hak LGBT saat ini telah diterima oleh PBB.2 Kedua, gereja-gereja di Indonesia,
khususnya para orang Kristen, harus mengambil sikap terhadap isu LGBT ini. Tidak hanya karena desakan
HAM, tetapi banyak gereja-gereja di luar negeri telah menerima secara terbuka. Tidak hanya menerima
sebagai hak asasi, tetapi juga bersedia menyelenggarakan pernikahan gay.3 Ketiga, gereja-gereja di dunia
pada saat ini telah terpecah pandangannya mengenai LGBT ini. Dan tidak sedikit dari kedua pihak
1
BBC New, “World Bank postpones $90m Uganda loan over anti-gay law”, 28 February 2014,
https://www.bbc.com/news/world-africa-26378230 (28 Oktober 2018)
2
Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia, “Komisioner PBB Kecam Indonesia soal Diskriminasi LGBT”, 7 Februari 2018,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180207163504-106-274611/komisioner-pbb-kecam-indonesia-soal-
diskriminasi-lgbt (11 Nopember 2018)
3
Mengingat UU no. 1/1974, pernikahan di Indonesia tunduk di bawah hukum adat/agama. Pencatatan sipil baru dapat
dilakukan setelah ada pengesahan adat atau agama.
Dengan demikian, bagaimana orang-orang Kristen harus bersikap jika ada di antara anggota jemaat
dan anggota keluarganya yang menjadi anggota komunitas LGBT ini? Apakah sebenarnya dasar penafsiran
Pada tahun 1973 The American Psychiatric Association (APA) mencabut homoseksualitas dari
Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau
DSM). Langkah ini menegaskan posisi sebelumnya (1952) yang menganulir homoseksualitas sebagai suatu
penyakit mental.4 Pada tahun 1975, diikuti oleh The American Psychological Association (APA) dan The
National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat. Ketiga lembaga ini memberi batasan-
batasan yang jelas tentang konsep modern “orientasi seksual” (OS) sebagai “suatu pola kelakuan atau watak
yang menetap pada seseorang dalam mengalami ketertarikan seksual, romantik dan afeksional khususnya
terhadap laki-laki, perempuan, atau sekaligus terhadap laki-laki dan perempuan.” Karena didorong orientasi
seksualnya ini, seseorang “membangun suatu hubungan pribadi yang intim dengan mitra pilihannya untuk
memenuhi kebutuhan akan cinta, persekutuan dan keintiman yang sangat kuat dirasakannya”, hubungan yang
dipandangnya “memuaskan dan memenuhi semua harapannya dan merupakan suatu bagian esensial jati diri
pribadinya”.5
OS homoseksualitas ini khas, berbeda dari komponen-komponen seks dan seksualitas lainnya, seperti
seks biologis (hal-hal yang mencakup anatomi, fisiologi dan genetika yang membuat seseorang menjadi laki-
laki atau perempuan), identitas gender (penghayatan psikologis sebagai laki-laki atau perempuan), dan peran
sosial gender (menyangkut perilaku maskulin atau perilaku feminin, yang definisinya diberikan berdasarkan
Biasanya OS dilihat mencakup tiga golongan, yakni heteroseksual (tertarik secara seksual romantik
terhadap mitra seks dari lain jenis), homoseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks sejenis),
4
“History of homosexuality”, https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_homosexuality#Psychiatry (28 Oktober 2018)
5
“Sexual Orientation & Homosexuality”, https://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.aspx (1 Nopember 2018)
6
Ibid.
Sekarang ini OS dilihat dalam spektrum yang lebih ‘berwarna-warni’ yang biasanya disebut sebagai spektrum
OS LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer). Ini harus ditambah dengan OS hetero,
menjadi HLGBTIQ.7
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990, mengambil posisi yang sama. Dan
Komisi HAM PBB juga pada tanggal 26 September 2014 memutuskan untuk mendukung dan mengakui
sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”.8 Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah
Agung Amerika Serikat mengambil sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama jenis seks
Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi
1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas tidak dipandang sebagai suatu gangguan jiwa. Halaman
288, tercantum dengan jelas “Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.”
Dinyatakan juga bahwa yang termasuk orientasi seksual adalah heteroseksualitas, homoseksualitas dan
biseksualitas. Ditulis juga di halaman yang sama bahwa meskipun bukan suatu gangguan jiwa, OS LGBT
seseorang dapat menimbulkan penderitaan karena ketidakpastian tentang identitas jenis kelamin atau orientasi
seksual dapat menimbulkan kecemasan dan depresi. Jadi, OS apapun bukan gangguan mental; tetapi
ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan
masyarakat kepada orang LGBT, juga oleh orangtua dan keluarga sendiri) dapat menimbulkan gangguan
mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi, kecanduan narkotik, tidak percaya diri, berkeliaran
7
Ibid.
8
“LGBT rights at the United Nations”, https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_at_the_United_Nations (1 Nopember
2018)
9
Ericssen, “Mahkamah Agung Amerika Legalkan Pernikahan Sesama Jenis”, Kompas.com, 26 Juni 2015,
https://internasional.kompas.com/read/2015/06/26/23073761/Mahkamah.Agung.Amerika.Legalkan.Pernikahan.Sesama.Jenis
(1 Nopember 2018)
heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan LGBT tipe distonik. 10
Pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP
PDSKJI) yang menyatakan bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai Orang
Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ). Menurut mereka, semua kalangan OS ini perlu “direhabilitasi” dan riset tentang OS perlu dilakukan
Pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul
Levin, menulis surat resmi kepada PDSKJI. Lewat surat itu, APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali
posisi PDSKJI yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau
suatu penyakit mental. APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang membentuk
OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan
kehidupan. Pendek kata, tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun yang
Uniknya adalah dari kelompok-kelompok agama di Indonesia, kelompok Budhis tidak menolak secara
tegas 13 , kelompok Muslim menolak secara tegas dan kompak 14 , dan kelompok Kristen yang paling
membingungkan. Terutama setelah badan organisasi tertinggi gereja-gereja di Indonesia membuat suatu
pernyataan sikap PGI dalam surat edaran nomor 360/PGI-XVI/2016 tertanggal 17 Juni 2016, menyatakan
bahwa pernyataan sikap ini diambil setelah melakukan studi dan pendalaman yang komprehensif.15
10
World Health Organization dan Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 1993),
288 dst.
11
BBC News, “LGBT bukan masalah kejiwaan: Asosiasi Psikiatri AS surati Indonesia”, 17 Maret 2016,
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160316_indonesia_lgbt_psikiatri_indonesia (28 Oktober 2018)
12
Ibid.
13
“Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai LGBT?”, 2015, http://www.buddhamettaclub.com/question/bagaimana-
pandangan-buddhisme-mengenai-lgbt/ (29 Oktober 2018)
14
Teompo.co, “Alasan MUI Tolak LGBT, Apa Saja?”, 17 Februari 2016, https://nasional.tempo.co/read/745866/alasan-mui-
tolak-lgbt-apa-saja (29 Oktober 2018)
15
http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf (29 Oktober 2018)
dipengaruhi oleh ‘badan’ otoritas, maka bagaimana sebenarnya posisi dukungan Alkitab, yang menjadi
Argumentasi umum atas penolakan terhadap LGBT dapat dengan mudah ditemukan dalam berbagai
artikel tulisan, baik dari dalam maupun luar negeri. Karena keterbatasan tempat, argumentasi ini tidak dibahas
dalam tulisan ini, tetapi akan langsung membahas replik (pembelaan atas suatu tuduhan) atas penolakan ini
dengan meminjam argumen-argumen dari Jack Rogers dalam “Jesus, the Bible, and Homosexuality”.
Pertama, secara historis, Jack Roger melihat bahwa kekristenan sekali lagi menempatkan dasar yang
salah saat menolak hak-hak atas LGBT.16 Ia menyamakannya dengan pola peristiwa sejarah yang terjadi
dalam masalah perbudakan, segregasi, dan hak wanita. Di mana Alkitab pernah dipakai sebagai dasar standar
otoritas dalam melegalkan perbudakan, segregasi warna kulit, dan menekan hak-hak para wanita.17 Menurut
Rogers, situasi yang sama juga terjadi pada saat gereja masa kini menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk
menolak homoseksualitas.
Kedua, dengan membandingkannya mengenai betapa longgarnya ijin untuk bercerai – sementara ayat-
ayat yang dinyatakan Tuhan Yesus dalam Matius 19 dan Markus 10, yang dengan tegas melarangnya – namun
kemudian diijinkan oleh gereja pada masa kini, Jack Rogers menyatakan gereja telah mengenakan standar
ganda untuk masalah LGBT.18 Rogers berkata, “…kita (orang Kristen) sudah tidak hidup berdasarkan teladan
dari Kristus Yesus, ketika kita mendisriminasi secara tidak adil terhadap berbagai kelompok masyarakat yang
hidup di tengah-tengah kita…” Tindakan yang tidak adil semacam ini membuat kesaksian atas Kristus untuk
dunia menjadi lemah. Ia percaya bahwa orang Kristen akan menjadi gereja yang satu dan kudus hanya jika
Ketiga, pusat pemberitaan Alkitab adalah tentang Kristus, sang Penebus. Menurut Rogers, tidak
mungkin Tuhan Yesus memalingkan muka terhadap kelompok homoseksual sebagaimana yang dilakukan
oleh gereja-gereja pada saat ini. Jika pemberitaan gereja tetap berfokus pada Tuhan Yesus, maka seharusnya
16
Jack Rogers, Jesus, the Bible, and Homosexuality (Westminster: John Knox Press. Kindle Edition.), 34
17
Ibid., 18.
18
Ibid., 44.
19
Ibid.
Keempat, hanya ada 8 (delapan) ayat dalam Alkitab yang ditafsirkan menjadi standar penolakan akan
LGBT. Kedelapan ayat tersebut adalah Kejadian 19:1-29; Hakim-hakim 19:1-30; Imamat 18:1-30; 20:1-27;
1 Korintus 6:9-17; 1 Timotius 1:3-13; Yudas 1-25; dan Roma 1. Menurut Rogers, tidak ada satupun dari ayat-
Sebelumnya, Rogers mengingatkan bahwa Alkitab harus dibaca di dalam konteks gramatikal dan
historikal, jangan secara alegoris atau dengan khayalan yang subyektif. Apakah ayat-ayat keberatan yang
diajukan dari Alkitab yang mengecam aktivitas seksual penyembahan berhala dan asusila adalah tepat jika
dipakai untuk menolak relasi seksual orang-orang Kristen LGBT yang tidak menyembah berhala dan juga
tidak melakukan kegiatan asusila?22 Menurut ahli PB, Richard Hays, tidak ada kata dalam bahasa Yunani dan
Ibrani yang menggambarkan tentang homoseksualitas.23Alkitab, dalam bahasa asli Yunani dan Ibrani, tidak
ada konsep seperti pengertian orientasi seks homoseksualitas seperti pada masa kini.24
Kejadian 19:1-29 & Hakim-hakim 19:1-30. Menurut Rogers, dalam Perjanjian Lama, dosa dari kota
Sodom digambarkan sebagai keserakahan, ketidakadilan, tidak ramah, kekayaan yang berlebihan,
ketidakpedulian terhadap orang miskin, dan berbagai kejahatan lainnya. Dalam Perjanjian Baru, ketika Tuhan
Yesus merujuk dosa dari Sodom, dalam Lukas 10:12 dam Matius 10:15, Ia sebenarnya sedang memberikan
penilaian atas kota-kota yang menolak kedatangan murid-murid-Nya. Fokus tentang aspek homoseksual
dalam kisah Sodom baru muncul belakarngan, dalam literatur-literatur Yunani di laur Alkitab, yang
Imamat 18:1-30; 20:1-27. Kitab Imamat termasuk kumpulan hukum yang dikenal sebagai Aturan
tentang Kekudusan, karena ide yang dominan adalah perintah Allah: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN,
Allahmu, kudus” (Imamat 19: 2). Kedua pasal dalam kumpulan aturan ini dikutip oleh mereka yang menolak
20
Ibid., 55-56.
21
Rogers, 66
22
Ibid., 57.
23
Richard B. Hays, “Awaiting the Redemption of Our Bodies,” Sojourners 20 (July 1991): 18.
24
Rogers, 188.
25
Ibid., 68
itu, mereka mengembangkan Aturan Kekudusan untuk mendefinisikan identitas agama, kewarganegaraan,
dan identitas budaya mereka. Aturan Kekudusan ini berfungsi untuk mencapai ‘kemurnian dari kekudusan’
Kata “toevah” dalam bahasa Ibrani, diterjemahkan sebagai ‘kekejian’, merujuk pada sesuatu yang
membuat seseorang menjadi tidak kudus secara ritual, seperti melakukan hubungan intim dengan wanita yang
sedang menstruasi. Kekudusan secara ritual merupakan suatu yang penting untuk membedakan bangsa Israel
Saat Tuhan Yesus memenuhi hukum Taurat (Matius 5:17), dapat dimengerti bahwa apa yang ada
terjadi bukanlah untuk mempertahankan hukum-hukum dalam konteks budaya yang berlangsung saat itu,
tetapi merupakan konteks dalam karya Kristus yaitu untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia
(Matius 22:36-40). Jika ayat-ayat dalam Imamat ini dilepaskan dari konteks historis dan budaya saat itu
kemudian diterapkan secara langsung kepada orang-orang Kristen homoseksual yang beriman kepada Tuhan,
maka ayat-ayat ini menjadi ayat-ayat yang kejam terhadap mereka. Mereka dikecam karena kegagalan untuk
menyesuaikan diri terhadap aturan budaya yang kuno, yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi dalam situasi
dan kondisi pada masa kini.28 Bahkan Profesor Marion Soards, yang sebenarnya menolak homoseksualitas,
juga setuju bahwa tidak mungkin untuk menyatakan relevansi yang diperlukan dari ayat-ayat tersebut untuk
1 Korintus 6:9-17 & 1 Timotius 1:3-13. Apa yang menjadi masalah dalam ayat-ayat ini adalah kata
dalam bahasa Yunani asli “arsenokoites” dan “malakos”, yang oleh beberapa ahli diperdebatkan sebagai kata
yang merujuk pada aktivitas homoseksual laki-laki. Kedua kata ini terdapat dalam 1 Korintus 6: 9 dan
“arsenokoites” tertulis beberapa kali dalam 1 Timotius 1:10. Karena kata-kata itu muncul dalam daftar yang
tidak disertai konteks sehingga sulit untuk tahu apa artinya secara tepat.30
26
Ibid.
27
Rogers, 69
28
Ibid., 69-70.
29
Marion L. Soards, Scripture and Homosexuality: Biblical Authority and the Church Today (Louisville, KY: Westminster John
Knox, 1995), 17.
30
Rogers, 70.
‘tentu saja’ merujuk pada pengertian akan ‘pria yang berhubungan seks dengan pria lain’. Dia menuliskan
bahwa “arsenokoites” mungkin merujuk pada “some kind of economic exploitation, probably by sexual means:
Sedangkan kata “malakos” lebih mudah dimengerti karena merupakan kata yang umum. Secara literal
berarti “softness” dan seringkali berarti kebancian, yang dalam budaya saat itu dianggap sebagai kegagalan
moral. Martti Nissisen menyatakan bahwa dalam budaya patriarkal saat itu, kurangnya penguasaan diri dan
Para ahli kontemporer seharusnya merasa canggung untuk memasukkan kebancian sebagai suatu
masalah moralitas pada masa kini. Namun, bagaimanapun juga, seperti yang disesali Dale Martin,
menerjemahkan istilah alkitabiah dengan asumsi bahwa semua perilaku homoseksual adalah dosa masih
belum dianggap memalukan. 33 Nissinen berargumen bahwa konsep homoseksualitas modern tidak
seharusnya dibaca sebagai kandungan dalam teks Paulus ini, juga para pembaca tidak boleh berasumsi bahwa
kalimat Paulus dalam 1 Korintus 6:9 adalah untuk “mengutuk semua hubungan homoseksual” di setiap waktu,
tempat, atau cara. Makna kata ini terlalu kabur untuk mendukung klaim yang demikian dan kalimat Paulus
Yudas 1-25. Kitab Yudas ini sebenarnya adalah satu-satunya bagian Alkitab yang menhubungkan dosa
Sodom Gomora dengan imoralitas seksual. Namun Thomas Schmidt mengklaim secara luas bahwa “orang-
orang Kristen pertama tidak diragukan lagi telah menghubungkan dosa Sodom dengan dosa hubungan seks
sesama jenis.”35 Yudas 7 menggambarkan suatu kesejajaran antara “keinginan yang tidak wajar” dari para
malaikat yang ingin berhubungan seks dengan manusia perempuan (Kejadian 6: 1–4) dan orang-orang Sodom
yang ingin berhubungan seks dengan malaikat (laki-laki) (Kejadian 19: 1–29). Yudas menulis bahwa karena
31
Dale B. Martin, “Arsenokoites and Malakos: Meanings and Consequences,” dalam Biblical Ethics and Homosexuality:
Listening to Scripture, ed. Robert L. Brawley (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1996), 129.
32
Martti Nissinen, Homoeroticism in the Biblical World: A Historical Perspective, trans. Kirsi Stjerna (Minneapolis: Fortress
Press, 1998), 48.
33
Martin, 128-129.
34
Nissinen, 118.
35
Thomas E. Schmidt, Straight and Narrow: Compassion and Clarity in the Homosexuality Debate (Downers Grove, IL:
InterVarsity Press, 1995), 96–97.
kekelaman sampai penghakiman pada hari besar” (ayat 6). Demikian juga, orang-orang Sodom menderita
“siksaan api kekal” (ayat 7). Dapat dilihat bahwa dalam kitab Yudas ini ada banyak pembicaraan tentang seks
antara manusia dan malaikat (malaikat dengan manusia wanita dan manusia laki-laki dengan malaikat laki-
laki) yang diberi label sebagai “amoralitas seksual” dan “nafsu yang tidak wajar.”
Dari ketujuh bagian Alkitab yang sering dikutip untuk menentang homoseksualitas, dapat ditemukan
adanya sejumlah pengetahuan signifikan, yang menyimpulkan bahwa ayat-ayat ini tidak memiliki penerapan
langsung kepada umat Kristen homoseksual abad ke-21 yang setia dan mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati.
Terlebih lagi, konsensus para ahli ini meliputi banyak orang yang sebenarnya secara tradisional menentang
persamaan hak untuk orang-orang yang homoseksual, seperti Richard Hays dan Marion Soard.36
Roma 1. Menurut Rogers, mereka yang menentang kesetaraan hak untuk orang-orang gay dan lesbian
Kristen telah membuat beberapa kesalahan serius dalam menafsirkan Roma 1, yaitu penafsiran ini tidak
melihat fakta bahwa bagian ini adalah tentang penyembahan berhala, mengabaikan poin Paulus bahwa kita
semua orang berdosa, merindukan subteks budaya, dan menerapkan kecaman Paulus atas aktivitas seksual
tak bermoral kepada orang-orang Kristen gay dan lesbian yang setia yang bukan penyembah berhala, yang
mengasihi Allah, dan yang mencari untuk hidup dalam ketaatan yang penuh syukur kepada Tuhan.37
Semua orang dapat mengerti bahwa Paulus tidak sedang berbicara tentang pasangan heteroseksual
Kristen yang menikah, yang mengasihi Tuhan dan berusaha untuk mengikuti Yesus. Kecaman Paulus
terhadap perilaku seksual tidak bermoral tidak tepat diterapkan kepada orang-orang Kristen gay atau lesbian
kontemporer yang bukan penyembah berhala, yang mengasihi Allah, dan yang berusaha untuk hidup dalam
ketaatan kepada Tuhan. Guru Besar Perjanjian Baru di Universitas Loyola Marymount, menjelaskan dengan
baik, “We know of gay and lesbian Christians who truly worship and serve the one true God and yet still
affirm in positive ways their identity as gay and lesbian people. Paul apparently knew of no homosexual
Christians. We do.”38
36
Rogers, 72.
37
Ibid., 76.
38
Jeffrey S. Siker, “Gentile Wheat and Homosexual Christians: New Testament Directions for the Heterosexual Church,”
dalam Biblical Ethics and Homosexuality: Listening to Scripture, ed. Robert L. Brawley (Louisville, KY: Westminster John Knox
Press, 1996), 143.
manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Phyllis Bird, seorang ahli Perjanjian Lama, menyatakan bahwa
hukum dan tradisi yang mengatur hubungan seksual dan perkawinan di Israel kuno tidak pernah mengacu
pada teks penciptaan sebagai modelnya. 39 Beliau menyatakan Kejadian 1 sebenarnya menggambarkan
manusia itu seperti gambar rupa Tuhan atau tidak. Manusia dibuat menurut gambar dan rupa Allah, sehingga
mereka terpisah dari dan lebih unggul dari hewan lain. Tetapi dalam seksualitas mereka, diidentifikasi sebagai
pria dan wanita, bukan sebagai suami dan istri. 40 Victor Furnish menjelaskan lebih lanjut bahwa berbeda
dengan semua dewa di daerah Timur Dekat Purba, Tuhan Israel dianggap sebagai aseksual. Dengan demikian
dalam seksualitas mereka, manusia sama seperti spesies yang diciptakan lainnya dan tidak seperti Tuhan. 41
Furnish menegaskan bahwa Kejadian 2: 23–25 “neither commands nor presumes a ‘monogamous’
relationship between man and woman and … it offers no comment on ‘marriage’ as such.” Selain itu, para
pahlawan iman Perjanjian Lama banyak yang tidak melakukan monogami, melainkan mengikuti pola budaya
mereka, dengan banyak istri, selir, dan budak sebagai pasangan seksual. Alkitab tidak hanya mengijinkan
tetapi juga terlihat mengamanatkan perilaku tersebut. Meskipun demikian, hidup yang “beranak-cuculah dan
bertambah banyak” tidak berarti bahwa setiap orang harus menikah dan bereproduksi, karena kisah-kisah
penciptaan “tidak memperhitungkan apa pun yang secara fisik atau mental terganggu, selibat, impoten — atau
Gagasan akan model monogami dan pernikahan heteroseksual yang disebutkan terkandung dalam
Kejadian 1 nampaknya tidak benar sama sekali. Terlihat ada suatu kerangka buatan yang sengaja dirancang
untuk menolak hak-hak pernikahan bagi kaum homoseksual. David Balch, Guru Besar Perjanjian Baru di
Brite Divinity School, mengamati bahwa di mana teologi penciptaan ditekankan, seperti yang dilakukan oleh
mereka yang menentang kesetaraan untuk kaum gay dan lesbian, ditekankan tentang “subordinasi dan
39
Phyllis A. Bird, “The Bible in Christian Ethical Deliberation concerning Homosexuality: Old Testament Contributions,”
dalam Homosexuality, Science, and the “Plain Sense” of Scripture, ed. David L. Balch (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 167
40
Ibid.
41
Furnish, 22.
42
Ibid., 23.
Menurut Rogers, model kontemporer perkawinan Kristen adalah yang baik untuk orang heteroseksual
adalah satu pria dan satu wanita harus menikah seumur hidup jika mereka memilih, menanggung dan merawat
anak-anak. Namun model ini tidak ditemukan dalam Kejadian. Selain itu, masyarakat Barat berabad-abad
untuk mencapainya. Meskipun demikian, setengah dari orang-orang heteroseksual dalam masyarakat
Amerika tidak mengikuti prinsip ini sebagai tujuan pernikahan heteroseksual pada masa kini. Di sisi lain,
banyak orang gay dan lesbian Kristen justru lebih berkomitmen pada satu pasangan seumur hidup. Banyak
dari mereka yang menyokong pemeliharaan kesejahteraan untuk anak-anak dan beberapa bahkan telah
mengadopsi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mereka tampaknya telah mendapatkan inti dari model
Secara alkitabiah, Yesus Kristus adalah gambar dan rupa Allah (Kolose 1:15; 2 Korintus 4:4). Tetapi
gambar dan rupa Tuhan dalam Yesus bukanlah konsekuensi dari beberapa atribut manusia yang unik, seperti
status laki-laki atau perkawinan. Hal ini lebih merupakan hasil dari refleksi cinta kasih Tuhan sepenuhnya
dalam hidup manusia. Manusia hanya dapat mencerminkan kasih Tuhan secara sporadis dan parsial,
sedangkan Yesus menunjukkan kepada manusia akan kasih Tuhan secara konsisten dan utuh. Injil, kabar baik,
adalah berita bahwa semua orang dapat memiliki hubungan dengan Allah melalui Yesus Kristus. Dengan
demikian, gambar dan rupa Tuhan bukanlah kapasitas yang terwujud hanya dalam beberapa kelompok orang
tetapi tidak terjadi dalam kelompok lainnya. Berada dalam gambar dan rupa Allah adalah dimungkinkan bagi
semua orang – hitam putih, pria wanita, homoseksual heteroseksual, menikah tidak menikah.45
Keenam, orientasi seksualitas yang berbeda bukanlah suatu dosa. Salah satu masalah dengan argumen
ini adalah bahwa kejatuhan manusia adalah universal atau tidak. Tidak dapat dibantah bahwa setiap orang
jatuh ke dalam dosa dan kemudian suatu kelompok orang tertentu lebih jatuh lagi. Lebih jauh lagi, Hays
membuat asumsi tentang apa yang Allah ingin ciptakan. Seperti yang telah ditunjukkan, contoh-contoh dari
43
David L. Balch, “Concluding Observations by the Editor,” dalam Homosexuality, Science, and the “Plain Sense” of
Scripture (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 288.
44
Rogers, 83.
45
Ibid., 85.
Bukti ilmiah terbaik juga menunjukkan pengaruh genetik pada orientasi seksual, serta perbedaan biologis
yang terdapat antara kaum homoseksual dan heteroseksual. Data ilmiah ini menunjukkan bahwa
Menurut Hays, tatanan yang diciptakan Tuhan ini termasuk pola pernikahan heteroseksual sebagai
satu-satunya konteks yang dapat diterima untuk hubungan seksual. Hays menyatakan, “Perkawinan antara
pria dan wanita adalah bentuk normatif untuk pemenuhan seksual manusia, dan homoseksualitas adalah salah
satu dari banyak tanda tragis bahwa manusia adalah orang-orang yang telah rusak, terasing dari tujuan Allah
yang penuh kasih.” 47 Sekali lagi, dengan memilih sekelompok orang tertentu, menurut Jack Rogers, Richard
Hays telah bertentangan dengan pesan kekristenan yang penting bahwa seluruh umat manusia adalah orang-
orang yang hancur, diselamatkan melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Lebih jauh
lagi, sementara pernikahan monogami adalah konteks terbaik untuk pemenuhan seksual manusia, namun tidak
ada perintah Alkitab yang secara khusus menyatakan bahwa pernikahan heteroseksual monogami adalah satu-
Pertama, mengenai kesalahan interpretasi dalam sejarah gereja. Justru sebaliknya, penggunaan ayat-
ayat dalam Alkitab sebagai penolakan terhadap LGBT telah tepat. Perlu diingat bahwa dasar-dasar penolakan
terhadap perbudakan, segregasi, dan penindasan terhadap wanita juga berdasarkan ayat-ayat dari Alkitab.
Tidak ada satu bagianpun dari Alkitab yang secara umum memperbedakan karena masalah warna kulit atau
ras atau gender sebagaimana yang dipakai untuk kelompok yang mendukung perbudakan dan segregasi.
Meskipun nampaknya Perjanjian Lama melegalkan perbudakan dan Perjanjian Baru mengijinkan,
tetap hukum-hukum Taurat menjunjung aspek kemanusian dan benih kemerdekaan dari perbudakan telah ada
dalam Perjanjian Lama. Dengan kedatangan Tuhan Yesus ke dunia, benih kemerdekaan ini tumbuh makin
dalam dan makin luas, sehingga Perjanjian Baru menjadi jalan untuk pembebasan perbudakan secara
46
Ibid., 81
47
Hays, 13.
48
Rogers, 81-82.
penyalahgunaaan dari ayat-ayat Alkitab-lah yang membuat orang-orang Kristen membela perbudakan dan
segregasi.49 Dan demikian juga Rasul Paulus, yang menyatakan bahwa tidak ada orang Yahudi maupun non-
Yahudi di dalam Tuhan Yesus dan tidak ada budak maupun orang merdeka di dalam-Nya, juga tidak ada
perbedaan antara laki-laki maupun perempuan di dalam Krsitus Kristus – yang pada saat itu merupakan
Demikian juga tidak ada satupun ayat dalam Alkitab yang mengijinkan tentang homoseksualitas atau
praktek LGBT. Bahkan juga tidak ada seorang pun pemimpin atau pribadi yang memiliki orientasi seks
homoseksual yang disebutkan. Beberapa orang yang diperkirakan sebagai homoseksual itu pun merupakan
hasil dari tafsiran non-literal di luar budaya dan konteks yang sebenarnya. Sebaliknya pernyataan adanya
tokoh-tokoh yang cenderung memperlihatkan perilaku yang homoseksual justru sebenarnya menentang
pendapat para pendukung kaum homoseksual yang menyatakan tidak ada istilah homoseksual dalam bahasa
Juga tidak terdapat ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang merendahkan para wanita maupun
peranannya. Yang adalah adalah panggilan untuk wanita agar taat dan menghormati suami mereka, yang
disejajarkan dengan panggilan kepada para pria untuk mengasihi para istrinya, dengan mengambil teladan
bagaimana Kristus yang mengasihi gereja-Nya dengan merendahkan diri untuk melayani. Sehingga para pria
yang dipanggil untuk menjadi kepala keluarga, di dalam Alkitab, adalah para pria yang melayani dan
Ini berbeda dengan penggunaan Alkitab oleh para pendukung LGBT. Mereka melihat hal yang justru
kontras dengan pernyataan Alkitab. Jika dari kaum heteroseksual terlihat adanya kesatuan pria-wanita di
dalam strata hierarki yang seimbang dan merupakan lambang dari kasih Kristus, maka mereka melihat bahwa
ini hanya suatu opsi atau contoh belaka. Jika dalam masalah perbudakan dan hak-hak wanita ada banyak ayat
yang tersirat maupun tersurat mendukung kemerdekaan individual dan hak-hak yang penuh dari wanita,
namun tidak ada satu kalimatpun dalam Alkitab yang mendukung hak-hak para LGBT. Bahkan di dalam
49
Michael L. Brown, Can You Be Gay and Christian? (Charisma House. Kindle Edition), 46.
50
Ibid., 72.
secara jelas.51
William Webb, dalam analisanya secara hermenutik mengenai hak-hak wanita dan perbudakan,
menyimpulkan, ““Hasil perbandingannya adalah bahwa teks-teks yang mendukung homoseksual berada
dalam kategori yang berbeda dari teks-teks mengenai hak-hak wanita dan perbudakan. Yang pertama hampir
seluruhnya bersifat transkultural, sedangkan yang kedua sangat terikat oleh budaya.” 52 Sebaliknya, gaya
hidup LGBT sama sekali tidak terkait dalam ayat apapun dengan perilaku yang digerakkan dalam kasih
karunia. Juga tidak pernah menjadi suatu praktika yang diatur sebagai etika Injil yang memenuhi syarat
ataupun dapat menjadi contoh teladan dari kasih sejati dari Kristus. Sebagai contoh, hierarki suami-istri
merupakan teladan dalam etika Kristen tentang ketundukan bersama dan kasih yang memberi diri dalam kasih
seorang suami yang berakar secara kristologis, seperti yang terdapat dalam Efesus 5:21–33.53
Kedua, masalah standar ganda dalam pelaksanaan perintah Tuhan Yesus. Tidak tepat jika dikatakan
bahwa Tuhan Yesus tidak berbicara apa-apa tentang masalah ini. Dalam kenyataannya, Tuhan Yesus
menegaskan kembali dan justru memperdalam pengertian dari Hukum Taurat. Tuhan Yesus dengan tegas
menyatakan bahwa semua tindakan seksual di luar pernikahan adalah suatu pencemaran, dan juga
menyatakan dengan tegas bahwa pernikahan yang dimaksudkan Allah merujuk pada kesatuan seumur hidup
antara seorang pria dan seorang wanita. Sedangkan untuk mereka yang selibat — karena kelahiran atau pilihan
atau karena tindakan orang lain — mengacu pada mereka yang menahan diri dari aktivitas seksual dan
pernikahan (atau yang tidak dapat terlibat dalam aktivitas seksual). 54 Tuhan Yesus tidak perlu harus
mengutuknya seara khusus sebagaimana juga dosa perilaku yang seperti binatang, karena setiap orang Yahudi
– yang menjadi kelompok pertama dari tujuan pemberitaan Injil-Nya – adalah orang-orang yang takut akan
Tuhan dan sudah tahu akan hal-hal yang jelas-jelas dilarang dalam Hukum Taurat. Perilaku homoseksual
dilarang dengan jelas dalam kitab Taurat dan dikenal sebagai salah satu dari berbagai dosa seksual (porneia)
51
Ibid., 75.
52
William J. Webb, Slaves, Women and Homosexuals: Exploring the Hermeneutics of Cultural Analysis (Downers Grove, IL:
InterVarsity Press, 2001), 252.
53
Willard M. Swartley, Slavery, Sabbath, War, and Women: Case Issues in Biblical Interpretation (Scottdale, PA: Herald
Press, 2012), 17-18.
54
Brown, 128
dasar yang sah untuk perceraian — adalah isu hangat di antara masyarakat Yahudi saat itu.
Lalu bagaimana Tuhan Yesus mengatasi masalah praktek homoseksual? Pertama, dalam Matius 5:17-
20, dalam Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus menjelaskan bahwa Ia tidak datang untuk “…meniadakan hukum
Taurat atau kitab para Nabi, melainkan untuk menggenapinya, ” dan ketika dicermati akan lanjutan ajaran
dari Tuhan Yesus, dapat dilihat bagaimana Ia menjelaskan masalah moral seksual dari hukum Taurat ke
Hal yang sama ketika Tuhan Yesus sedang berbicara tentang perceraian, “Telah difirmankan juga:
Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap
orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang
kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Matius 5:31-32). Tuhan Yesus dengan jelas
telah menjelaskannya, tidak sekedar menegaskan akan standar-standar moralitas seksual yang diajarkan dalam
hukum Taurat, namun juga menegaskan bahwa segala aktivitas seksual di luar pernikahan yang direstui Allah
adalah suatu pencemaran dan dosa, ini termasuk dalam daftar yang berdampingan dengan pikiran yang jahat,
Ketiga, bahwa Alkitab hanya merupakan berita yang berpusatkan pada Kristus, tidak membicarakan
mengenai orientasi seksualitas. Alkitab memang memiliki pusat kepada Kristus, tetapi bukan berarti Alkitab
tidak memiliki kualitas dan kapasitas serta hak untuk berbicara hal-hal di luar pusat tersebut, termasuk soal
orientasi seksual. Ya benar, namun Paulus juga menuliskan, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah
mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh
iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan
demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Timotius 3:16-
17). Jadi, tidak hanya berbicara sampai kepada berita dan karya keselamatan Kristus, tetapi Paulus juga
meneruskan mengenai manfaat dari kabar baik sebagai standar hidup orang-orang yang sudah percaya.
55
Kevin DeYoung, What Does the Bible Really Teach about Homosexuality? (Crossway. Kindle Edition), 75.
Alkitab secara eksplisit dengan jelas menyatakan bahwa heteroseksualitas adalah norma yang dimaksudkan
Allah bagi umat manusia — sebagai satu-satunya bentuk kesatuan yang diterima oleh Allah dalam pernikahan
— dan juga para penulis Alkitab tidak mengatakan lebih banyak tentang praktek homoseksual. Sedikit yang
mereka katakan, namun sudah lebih dari cukup mengingat fakta bahwa Alkitab, dari awal hingga akhir, adalah
buku heteroseksual.56
Bahkan jika disetujui bahwa rujukan-rujukan dalam Alkitab itu ada secara via negativa, para
pendukung kaum homoseksual Kristen akan menunjukkan bahwa hanya ada satu referensi untuk praktek
homoseksual dalam Kejadian, tidak ada dalam Keluaran, dua dalam Imamat, tidak ada dalam Bilangan, dan
satu dalam Ulangan — artinya, hanya sedikit rujukan negatif di seluruh Pentateukh, juga dikenal sebagai
Taurat. Bahkan kebanyakan orang Kristen merasa bahwa Hukum Musa mengutuk praktek homoseksual
berulang kali. Tampaknya hal ini tidak dipermasalahkan. Dalam kitab-kitab sejarah, makna dari Yosua kepada
Ester, ada dua belas kitab, rujukan praktek homoseksual hanya ditemukan dalam tiga bagian (Hak. 19: 16–
24; 1 Raja-raja 14:24; 15:12; 2 Raja-raja 23: 7), sementara dalam kitab para nabi, dari Yesaya ke Maleakhi,
tidak ada satupun rujukan tentang praktek homoseksual. Hal yang sama juga tidak terdapat dalam kelima
Mengenai makna dari kata kekejian (‘toevah’) sangat mudah untuk melihat bahwa kata “kekejian”
sering memiliki nuansa moral dalam kitab-kitab Taurat dan secara konsisten mengacu pada hal-hal yang harus
dihindari oleh orang-orang Kristen. Selain itu juga ada banyak aturan-aturan yang Tuhan berikan kepada
bangsa Israel untuk memisahkan mereka dari bangsa-bangsa. Dan aturan yang menentang praktek
homoseksual ada dalam ruang lingkup dan maksud yang bersifat universal ini– dengan kata lain, tidak hanya
Tuhan berkata dengan jelas bahwa Ia menghakimi bangsa Mesir dan bangsa Kanaan — penyembah
berhala yang menyembah berhala, menurut Alkitab — karena melakukan dosa-dosa ini, bahkan menyatakan
bahwa dengan mereka melakukan dosa-dosa ini, tanah itu menjadi najis dan memuntahkan mereka.
56
Brown, 82.
57
Ibid., 83.
58
Ibid., 111.
binatang yang tidak bersih atau menabur ladang mereka dengan dua jenis benih yang berbeda atau masalah
mengenakan pakaian dengan kain campuran. Juga tidak mengatakan bahwa tanah memuntahkan mereka
Tetapi Tuhan mengatakan bahwa tentang dosa-dosa yang tercantum dalam Imamat 18, termasuk
praktek homoseksual bahwa semua dosa ini secara bersama-sama digambarkan sebagai ‘toevah’, kekejian,
atau hal-hal yang menjijikkan. Tuhan memasukkan praktek inses, kebinatangan, praktek homoseksual,
perzinahan, dan pengorbanan anak-anak untuk Molech dalam kategori ini. Semua ini merupakan “kejijikan”
dalam pandangan-Nya dan sama-sama memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi bangsa-bangsa yang
melakukannya. Tetapi hanya praktek homoseksual laki-laki yang dipilih di dalam Imamat 18 sebagai suatu
Bahkan, di seluruh Kitab Imamat, praktek homoseksual adalah satu-satunya dosa spesifik yang dipilih
sebagai ‘kekejian’. Selain itu, itu adalah salah satu dari sedikit dosa yang tercantum dalam Imamat yang
menuntut hukuman mati, bersama dengan pengorbanan anak-anak untuk Molekh, mengutuk ayah atau ibu
seseorang, dan melakukan perzinahan, kebinatangan, atau inses (Imamat 20: 1–16) – dengan jelas bukan
Karena itu, pelarangan terhadap aktivitas seksual sesama jenis tidak hanya dalam konteks
penyembahan berhala, seperti yang terlihat dalam Imamat 20:13. Kedua, pelarangan terhadap aktivitas
seksual sesama jenis bukan merupakan salah satu dari aturan khusus yang dimaksudkan untuk menjaga Israel
terpisah dari bangsa-bangsa, karena itu diberikan sebagai larangan moral universal, sebagaimana yang kita
catat dengan mengacu pada Imamat 18. Dan yang ketiga, karena itu dianggap oleh Tuhan untuk menjadi
perilaku yang berdosa bagi Israel dan bangsa-bangsa sekitarnya yang belum mengenal Tuhan. Dengan
demikian aturan ini tetap merupakan larangan bagi orang Kristen sampai hari ini.
Masuk ke dalam Perjanjian Baru, Paulus melihat praktek homoseksual sebagai akibat langsung dari
penolakan manusia terhadap Tuhan, suatu hal yang bertentangan dengan tatanan ciptaan-Nya, dan Paulus
59
Ibid., 115-116.
kata-kata Yunani yang tepat yang digunakan dalam 1 Korintus dan 1 Timotius, tidak ada keraguan bahwa
dalam kedua bagian itu Paulus sedang mengutuk praktek homoseksual. Kabar baiknya adalah bahwa ia
menyatakan bahwa darah Yesus dapat menyelamatkan manusia dari dosa homoseksual. 60
Ali Salim dalam penyelidikannya menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan banci (malakoi) dan
orang pemburit (arsenokoitai) adalah orang-orang yang mempraktekkan hubungan seksual dengan sesama
jenis. Kedua kata ini diletakkan oleh Paulus secara berdampingan untuk menyikapi larangan untuk disodomi
maupun menyodomi yang biasanya dilakukan oleh kaum homoseksual. I Korintus 6:9-10 mempunyai
hubungan dengan Imamat 18:22 dan 20:13, dan dalam kedua bagian ini Tuhan melarang bangsa Israel untuk
melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Walaupun 1 Korintus 6:9-10 hanya berbicara tentang
praktek homoseksual yang dilakukan oleh pria namun hal ini juga berlaku bagi kaum lesbian, seperti yang
Dari Kejadian sampai Wahyu, secara eksplisit menyajikan dan menggunakan heteroseksualitas
sebagai norma yang dimaksudkan secara ilahi. Bahkan, daripada menuduh gereja membuat orang LGBT
merasa tidak nyaman, akan lebih akurat untuk menuduh Alkitab sebagai keseluruhan membuat mereka merasa
tidak nyaman.62
Kelima, bahwa gambar dan rupa Allah yang tidak menyatakan heteroseksualitas secara spesifik.
Dalam Kejadian 1, Allah menciptakan manusia ('adam dalam bahasa Ibrani) menurut gambar dan rupa-Nya
sendiri, menciptakan mereka dalam rupa pria dan wanita, dan Dia memberkati mereka dengan kata-kata ini:
“Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi…” (ayat 28). Hal ini cukup signifikan, karena,
meskipun benar bahwa ada laki-laki dan perempuan yang mungkin mandul, memerlukan sepasang pria dan
wanita untuk dapat beranak cucu, bertambah banyak dan memenuhi bumi. Maka sejak awal penciptaan, ketika
manusia diciptakan menurut gambar rupa Allah dan diberkati oleh-Nya, manusia diciptakan heteroseksual,
diberkati dengan tujuan ilahi yang hanya dapat dipenuhi oleh kaum heteroseksual. 63
60
Ibid., 158.
61
Ali Salim, “Siapakah Yang Dimaksud Dengan Banci Dan Orang Pemburit Dalam I Korintus 6:9-10?”, (75-82) Jurnal
Theologi Aletheia Vol. 18 No.11, September 2016, 81
62
Brown, 83-84.
63
Ibid., 85.
dari laki-laki dan perempuan dan berkat yang diucapkan-Nya atas manusia sejak awal adalah berkat
heteroseksual. Jadi, sejak dari pasal pertama kitab pertama Alkitab, pasangan homoseksual yang membaca
Kejadian 1 dapat dengan mudah dikecualikan, karena ciptaan Allah yang unik dari manusia menggambarkan
relasi yang heteroseksualitas — atau, lebih khusus lagi, memperjelas bahwa Allah menciptakan kita
Keenam, bahwa orientasi seksualitas yang berbeda bukanlah suatu dosa. Tuhan Yesus tidak hanya
secara eksplisit menegaskan kembali kisah penciptaan dari pernikahan sebagai persatuan satu-daging dari
seorang pria dan seorang wanita (Matius 19: 4-6; Markus 10: 6–9) namun juga mengutuk dosa ‘porneia’
(Markus 7: 21), sebuah kata luas yang mencakup setiap jenis dosa seksual. Leksikon Perjanjian Baru pada
umumnya mendefinisikan ‘porneia’ sebagai “hubungan seksual yang tidak sah, prostitusi, ketidaksucian,
percabulan.”64
Larangan praktek homoseksual diberikan kepada Israel karena praktek ini salah untuk semua orang di
semua generasi, yang berarti itu secara intrinsik adalah berdosa. Mengapa? Salah satu alasan utamanya adalah
bahwa Tuhan merancang pria untuk wanita dan wanita untuk pria, dan untuk bergabung dengan pria dengan
pria atau wanita dengan seorang wanita adalah melakukan dosa secara mendasar terhadap rancangan dan
tujuan-Nya.
Dosa seksual tidak pernah dianggap adiafora, masalah ketidakpedulian, masalah setuju-untuk-tidak
setuju seperti aturan tentang makanan atau hari-hari suci (Roma 14: 1–15: 7). Sebaliknya, amoralitas seksual
adalah dosa yang menjadi ciri orang-orang yang tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga. Setidaknya ada
delapan teks dalam Perjanjian Baru (Markus 7: 21-22; Roma 1: 24–31; 13: 13; 1 Korintus 6: 9–10; Galatia 5:
19–21; Kolose 3: 5–9; 1 Timotius 1: 9–10; Wahyu 21: 8) dan percabulan ada dalam semua bagian ini.65
64
DeYoung, 74-75
65
Ibid.
membenci perbuatan dosa. Keduanya seringkali terekspresikan secara tercampur di dalam reaksi dan gestur
sehari-hari karena di dalam budaya Indonesia memang mengharapkan integrasi antaranya. Bahkan hanya
karena gaya hidup yang berbeda saja sudah akan membuat seseorang dapat dijauhi, apalagi masalah orientasi
seksualitas.
Sebuah istilah yang baru muncul sebagai sindiran dari orang-orang Kristen yang menolak LGBT yaitu
homophobia. Menurut Dr. Gomes, itu adalah rasa takut yang “di jantung homofobia, seperti di jantung rasisme,
dan seperti rasisme, agama - terutama jenis Injili Protestan yang telah memberi saya makan - adalah daun ara
Dan ini memperlihatkan akar utama masalah yang dihadapi ketika berurusan dengan homoseksualitas
dan gereja. Sistem nilai hak asasi masa kini yang dimulai dengan, “ini adalah hak saya” yang berarti benar
dan salah sangat ditentukan oleh perasaan pribadi tentang hal itu. Dan kemudian banyak gereja yang mulai
menenun Alkitab dalam sistem pemikiran ini. Ini adalah salah satu alasan kesalahan dan penipuan rohani.
Tidak hanya dalam hal homoseksualitas tetapi dalam banyak cara lain juga. Di mana kebenaran ditentukan
oleh kesepakatan manusia, bukan lagi kebenaran dalam standar Alkitab. C. S. Lewis secara tepat mengatakan
ketika dia berkata, “Until you have given up your self to Him you will not have a real self.”67
Kaum homoseksual adalah manusia yang normal secara mental, secara jiwa dalam pengertian mereka
tidak mempunyai disfungsi tertentu atau kelainan jiwa yang tertentu. Mereka adalah orang-orang yang sama
seperti yang lainnya, namun perbedaannya adalah dalam hal orientasi seksualnya. Mereka tidak tertarik
Sikap simpati diperlukan bagi seorang homoseksual dan perlu ada kesadaran bahwa seseorang yang
akhirnya menjadi homoseksual biasanya setelah melalui pergumulan yang berat. Jadi kita mesti memahami
Tetapi jelas Tuhan tidak menghendaki manusia melakukan hubungan seks dengan sesama jenis, jadi
orang Kristen yang benar tidak dapat memasuki penerimaan macam ini, tetapi kita terus berjalan dalam fase
66
Peter J. Gomes, The Good Book: Reading the Bible With Heart and Mind (San Francisco: Harper, 1996), 146.
67
C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: HarperCollins Publishers, 2009), 227.
sebaiknya bersikap dengan baik. Kita harus menekankan dan mengadopsi cara Tuhan menghadapi manusia,
sebagaimana Tuhan Yesus pernah berkata, “Aku datang bukan untuk menghakimi tapi menyelamatkan
manusia dari dosa.” Jadi Tuhan selalu menggunakan cara, pendekatan cinta kasih, Tuhan melihat kita berdosa
dan memanggil kita, Tuhan terus menantikan kita. Maka yang paling dapat kita lakukan adalah membentuk
suatu kelompok, yang jika memungkinkan dengan mengumpulkan orang-orang yang mempunyai pergumulan
yang sama dengan homoseksualitas. Dalam kelompok inilah kita dapat tumbuh bersama, berdoa bersama, dan
Daftar Pustaka
Balch, David L. “Concluding Observations by the Editor,” dalam Homosexuality, Science, and the “Plain
Sense” of Scripture, ed. David L. Balch. Grand Rapids: Eerdmans, 2000.
Bird, Phyllis A. “The Bible in Christian Ethical Deliberation concerning Homosexuality: Old Testament
Contributions,” dalam Homosexuality, Science, and the “Plain Sense” of Scripture, ed. David L. Balch.
Grand Rapids: Eerdmans, 2000.
Brown, Michael L. Can You Be Gay and Christian? Charisma House. Kindle Edition.
DeYoung, Kevin. What Does the Bible Really Teach about Homosexuality? Crossway. Kindle Edition.
Gomes, Peter J. The Good Book: Reading the Bible With Heart and Mind. San Francisco: Harper, 1996.
Hays, Richard B. “Awaiting the Redemption of Our Bodies”. Sojourners 20 (July 1991).
Martin, Dale B. “Arsenokoites and Malakos: Meanings and Consequences,” dalam Biblical Ethics and
Homosexuality: Listening to Scripture, ed. Robert L. Brawley. Louisville, KY: Westminster John Knox
Press, 1996.
Nissinen, Martti. Homoeroticism in the Biblical World: A Historical Perspective, trans. Kirsi Stjerna.
Minneapolis: Fortress Press, 1998.
Rogers, Jack. Jesus, the Bible, and Homosexuality. Westminster: John Knox Press. Kindle Edition.
Salim, Ali. “Siapakah Yang Dimaksud Dengan Banci Dan Orang Pemburit Dalam I Korintus 6:9-10?”
Jurnal Theologi Aletheia Vol. 18 No.11 (September 2016):75-81.
Schmidt, Thomas E. Straight and Narrow: Compassion and Clarity in the Homosexuality Debate. Downers
Grove, IL: InterVarsity Press, 1995.
Soards, Marion L. Scripture and Homosexuality: Biblical Authority and the Church Today. Louisville, KY:
Westminster John Knox, 1995.
Swartley, Willard M. Slavery, Sabbath, War, and Women: Case Issues in Biblical Interpretation. Scottdale,
PA: Herald Press, 2012.
Webb, William J. Slaves, Women and Homosexuals: Exploring the Hermeneutics of Cultural Analysis.
Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2001.
Internet
BBC News. “LGBT bukan masalah kejiwaan: Asosiasi Psikiatri AS surati Indonesia,” 17 Maret 2016,
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160316_indonesia_lgbt_psikiatri_indonesia
(28 Oktober 2018)
BBC News. “World Bank postpones $90m Uganda loan over anti-gay law”, 28 February 2014.
https://www.bbc.com/news/world-africa-26378230 (28 Oktober 2018)
Ericssen. Kompas.com. “Mahkamah Agung Amerika Legalkan Pernikahan Sesama Jenis,” 26 Juni 2015.
https://internasional.kompas.com/read/2015/06/26/23073761/Mahkamah.Agung.Amerika.Legalkan.Per
nikahan.Sesama.Jenis (1 Nopember 2018)
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Pernyataan Sikap PGI tentang LGBT, 17 Juni 2016.
http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf (29 Oktober
2018)
Suastha, Riva Dessthania. CNN Indonesia. “Komisioner PBB Kecam Indonesia soal Diskriminasi LGBT”,
7 Februari 2018. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180207163504-106-
274611/komisioner-pbb-kecam-indonesia-soal-diskriminasi-lgbt (11 Nopember 2018)
World Health Organization dan Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI, 1993.