Anda di halaman 1dari 23

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN

oleh Edy Ezra Edy Paulus

Margin tidak standard = - 5pts Formatted: Font color: Red


Dengan margin standard, jumlah halaman melebihi ketentuan = - 2pts per kelebihan halaman, total = - 8pts Formatted: Font: Bold, Font color: Red
Ezra, secara keseluruhan konten paper ini bagus, tetapi Ezra tidak mengikuti beberapa aturan penulisan
Formatted: Font color: Red
seperti yang ada di silabus. Satu yang terlewatkan dan yang termasuk yang terpenting di dalam paper ini
adalah “3 usulan strategi pendekatan dan proses apologetika.” Kalau membaca “between the lines” bisa Formatted: Left
terlihat satu usulan strategi dan proses apologetikanya, tetapi kurang 2 lagi. Oleh karena hal yang Formatted: Font: Bold
terlewatkan itu maka konsekuensinya ada pengurangan nilai yang cukup signifikan di paper ini, yaitu Formatted: Font: Bold
sebanyak 20pts.
Formatted: Font: Bold

Formatted: Font: 18 pt, Bold


Jadi total nilai paper ini: 67.
Formatted: English (United States)

Sebuah berita mengejutkan datang dari Bank Dunia (World Bank), pada akhir Februari 2014. Bank

Dunia memutuskan untuk menunda pemberian bantuan sebesar USD 90juta (Rp1,35T) karena Presiden

Uganda, Yoweri Museveni, menandatangani UU Anti Gay. Bantuan untuk obat-obatan dan perbaikan

kesehatan di Uganda merupakan bantuan untuk kesehatan ibu anak dan keluarga berencana, nampaknya

dikalahkan oleh kepentingan hak-hak para ‘gay’.1

Mengapa hal ini harus dipikirkan dan dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh?

Pertama, meskipun pemerintah negara Indonesia sampat saat ini masih belum dapat menerima hak-

hak asasi LGBT, namun tidak dipungkiri jika suatu hari pemerintah negara Indonesia pasti akan meratifikasi

hak-hak LGBT, baik karena tekanan dari masyarakat Indonesia maupun karena tekanan dari dunia

internasional, mengingat hak-hak LGBT saat ini telah diterima oleh PBB.2 Kedua, gereja-gereja di Indonesia,

khususnya para orang Kristen, harus mengambil sikap terhadap isu LGBT ini. Tidak hanya karena desakan

HAM, tetapi banyak gereja-gereja di luar negeri telah menerima secara terbuka. Tidak hanya menerima

sebagai hak asasi, tetapi juga bersedia menyelenggarakan pernikahan gay.3 Ketiga, gereja-gereja di dunia

pada saat ini telah terpecah pandangannya mengenai LGBT ini. Dan tidak sedikit dari kedua pihak

1
BBC New, “World Bank postpones $90m Uganda loan over anti-gay law”, 28 February 2014,
https://www.bbc.com/news/world-africa-26378230 (28 Oktober 2018)
2
Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia, “Komisioner PBB Kecam Indonesia soal Diskriminasi LGBT”, 7 Februari 2018,
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180207163504-106-274611/komisioner-pbb-kecam-indonesia-soal-
diskriminasi-lgbt (11 Nopember 2018)
3
Mengingat UU no. 1/1974, pernikahan di Indonesia tunduk di bawah hukum adat/agama. Pencatatan sipil baru dapat
dilakukan setelah ada pengesahan adat atau agama.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 1


mengajukan berbagai penafsiran Alkitabiah yang saling bertentangan sehingga membingungkan kaum awam

dalam mengambil keputusan.

Dengan demikian, bagaimana orang-orang Kristen harus bersikap jika ada di antara anggota jemaat

dan anggota keluarganya yang menjadi anggota komunitas LGBT ini? Apakah sebenarnya dasar penafsiran

Alkitabiah untuk menerima/menolak kehidupan LGBT ini?

PERKEMBANGAN HAM LGBT DI DUNIA

Pada tahun 1973 The American Psychiatric Association (APA) mencabut homoseksualitas dari

Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau

DSM). Langkah ini menegaskan posisi sebelumnya (1952) yang menganulir homoseksualitas sebagai suatu

penyakit mental.4 Pada tahun 1975, diikuti oleh The American Psychological Association (APA) dan The

National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat. Ketiga lembaga ini memberi batasan-

batasan yang jelas tentang konsep modern “orientasi seksual” (OS) sebagai “suatu pola kelakuan atau watak

yang menetap pada seseorang dalam mengalami ketertarikan seksual, romantik dan afeksional khususnya

terhadap laki-laki, perempuan, atau sekaligus terhadap laki-laki dan perempuan.” Karena didorong orientasi

seksualnya ini, seseorang “membangun suatu hubungan pribadi yang intim dengan mitra pilihannya untuk

memenuhi kebutuhan akan cinta, persekutuan dan keintiman yang sangat kuat dirasakannya”, hubungan yang

dipandangnya “memuaskan dan memenuhi semua harapannya dan merupakan suatu bagian esensial jati diri

pribadinya”.5

OS homoseksualitas ini khas, berbeda dari komponen-komponen seks dan seksualitas lainnya, seperti

seks biologis (hal-hal yang mencakup anatomi, fisiologi dan genetika yang membuat seseorang menjadi laki-

laki atau perempuan), identitas gender (penghayatan psikologis sebagai laki-laki atau perempuan), dan peran

sosial gender (menyangkut perilaku maskulin atau perilaku feminin, yang definisinya diberikan berdasarkan

norma-norma kultural yang berlaku dalam suatu masyarakat). 6

Biasanya OS dilihat mencakup tiga golongan, yakni heteroseksual (tertarik secara seksual romantik

terhadap mitra seks dari lain jenis), homoseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks sejenis),

4
“History of homosexuality”, https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_homosexuality#Psychiatry (28 Oktober 2018)
5
“Sexual Orientation & Homosexuality”, https://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.aspx (1 Nopember 2018)
6
Ibid.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 2


dan biseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks lelaki dan mitra seks perempuan sekaligus).

Sekarang ini OS dilihat dalam spektrum yang lebih ‘berwarna-warni’ yang biasanya disebut sebagai spektrum

OS LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer). Ini harus ditambah dengan OS hetero,

menjadi HLGBTIQ.7

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990, mengambil posisi yang sama. Dan

Komisi HAM PBB juga pada tanggal 26 September 2014 memutuskan untuk mendukung dan mengakui

sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”.8 Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah

Agung Amerika Serikat mengambil sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama jenis seks

untuk seluruh warganegara Amerika di seluruh negara bagian.9

BAGAIMANA SIKAP INDONESIA?

Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi

1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas tidak dipandang sebagai suatu gangguan jiwa. Halaman

288, tercantum dengan jelas “Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.”

Dinyatakan juga bahwa yang termasuk orientasi seksual adalah heteroseksualitas, homoseksualitas dan

biseksualitas. Ditulis juga di halaman yang sama bahwa meskipun bukan suatu gangguan jiwa, OS LGBT

seseorang dapat menimbulkan penderitaan karena ketidakpastian tentang identitas jenis kelamin atau orientasi

seksual dapat menimbulkan kecemasan dan depresi. Jadi, OS apapun bukan gangguan mental; tetapi

ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan

masyarakat kepada orang LGBT, juga oleh orangtua dan keluarga sendiri) dapat menimbulkan gangguan

mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi, kecanduan narkotik, tidak percaya diri, berkeliaran

7
Ibid.
8
“LGBT rights at the United Nations”, https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_at_the_United_Nations (1 Nopember
2018)
9
Ericssen, “Mahkamah Agung Amerika Legalkan Pernikahan Sesama Jenis”, Kompas.com, 26 Juni 2015,
https://internasional.kompas.com/read/2015/06/26/23073761/Mahkamah.Agung.Amerika.Legalkan.Pernikahan.Sesama.Jenis
(1 Nopember 2018)

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 3


di jalan-jalan, hingga kemungkinan bunuh diri, atau dia berusaha mencari bantuan untuk diterapi menjadi

heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan LGBT tipe distonik. 10

Pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP

PDSKJI) yang menyatakan bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai Orang

Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa

(ODGJ). Menurut mereka, semua kalangan OS ini perlu “direhabilitasi” dan riset tentang OS perlu dilakukan

berbasis kearifan lokal, budaya, aspek religi, dan spiritual bangsa. 11

Pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul

Levin, menulis surat resmi kepada PDSKJI. Lewat surat itu, APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali

posisi PDSKJI yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau

suatu penyakit mental. APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang membentuk

OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan

kehidupan. Pendek kata, tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun yang

bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.” 12

Uniknya adalah dari kelompok-kelompok agama di Indonesia, kelompok Budhis tidak menolak secara

tegas 13 , kelompok Muslim menolak secara tegas dan kompak 14 , dan kelompok Kristen yang paling

membingungkan. Terutama setelah badan organisasi tertinggi gereja-gereja di Indonesia membuat suatu

pernyataan sikap PGI dalam surat edaran nomor 360/PGI-XVI/2016 tertanggal 17 Juni 2016, menyatakan

bahwa pernyataan sikap ini diambil setelah melakukan studi dan pendalaman yang komprehensif.15

REPLIK PRO-LGBT ATAS PENOLAKAN ALKITABIAH

10
World Health Organization dan Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 1993),
288 dst.
11
BBC News, “LGBT bukan masalah kejiwaan: Asosiasi Psikiatri AS surati Indonesia”, 17 Maret 2016,
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160316_indonesia_lgbt_psikiatri_indonesia (28 Oktober 2018)
12
Ibid.
13
“Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai LGBT?”, 2015, http://www.buddhamettaclub.com/question/bagaimana-
pandangan-buddhisme-mengenai-lgbt/ (29 Oktober 2018)
14
Teompo.co, “Alasan MUI Tolak LGBT, Apa Saja?”, 17 Februari 2016, https://nasional.tempo.co/read/745866/alasan-mui-
tolak-lgbt-apa-saja (29 Oktober 2018)
15
http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf (29 Oktober 2018)

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 4


Terlepas dari usaha-usaha pembuktian dalam bidang ilmiah, psikologi, dan etika yang banyak

dipengaruhi oleh ‘badan’ otoritas, maka bagaimana sebenarnya posisi dukungan Alkitab, yang menjadi

otoritas tertinggi kekristenan, dalam memandang hal ini?

Argumentasi umum atas penolakan terhadap LGBT dapat dengan mudah ditemukan dalam berbagai

artikel tulisan, baik dari dalam maupun luar negeri. Karena keterbatasan tempat, argumentasi ini tidak dibahas

dalam tulisan ini, tetapi akan langsung membahas replik (pembelaan atas suatu tuduhan) atas penolakan ini

dengan meminjam argumen-argumen dari Jack Rogers dalam “Jesus, the Bible, and Homosexuality”.

Pertama, secara historis, Jack Roger melihat bahwa kekristenan sekali lagi menempatkan dasar yang

salah saat menolak hak-hak atas LGBT.16 Ia menyamakannya dengan pola peristiwa sejarah yang terjadi

dalam masalah perbudakan, segregasi, dan hak wanita. Di mana Alkitab pernah dipakai sebagai dasar standar

otoritas dalam melegalkan perbudakan, segregasi warna kulit, dan menekan hak-hak para wanita.17 Menurut

Rogers, situasi yang sama juga terjadi pada saat gereja masa kini menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk

menolak homoseksualitas.

Kedua, dengan membandingkannya mengenai betapa longgarnya ijin untuk bercerai – sementara ayat-

ayat yang dinyatakan Tuhan Yesus dalam Matius 19 dan Markus 10, yang dengan tegas melarangnya – namun

kemudian diijinkan oleh gereja pada masa kini, Jack Rogers menyatakan gereja telah mengenakan standar

ganda untuk masalah LGBT.18 Rogers berkata, “…kita (orang Kristen) sudah tidak hidup berdasarkan teladan

dari Kristus Yesus, ketika kita mendisriminasi secara tidak adil terhadap berbagai kelompok masyarakat yang

hidup di tengah-tengah kita…” Tindakan yang tidak adil semacam ini membuat kesaksian atas Kristus untuk

dunia menjadi lemah. Ia percaya bahwa orang Kristen akan menjadi gereja yang satu dan kudus hanya jika

seluruh jemaatnya diperlakukan setara.19

Ketiga, pusat pemberitaan Alkitab adalah tentang Kristus, sang Penebus. Menurut Rogers, tidak

mungkin Tuhan Yesus memalingkan muka terhadap kelompok homoseksual sebagaimana yang dilakukan

oleh gereja-gereja pada saat ini. Jika pemberitaan gereja tetap berfokus pada Tuhan Yesus, maka seharusnya

16
Jack Rogers, Jesus, the Bible, and Homosexuality (Westminster: John Knox Press. Kindle Edition.), 34
17
Ibid., 18.
18
Ibid., 44.
19
Ibid.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 5


gereja dapat mengerti lebih dalam akan makna Injil sebelum mendiskusikan mengenai homoseksualitas

sebagai saudara-saudari dalam Kristus.20

Keempat, hanya ada 8 (delapan) ayat dalam Alkitab yang ditafsirkan menjadi standar penolakan akan

LGBT. Kedelapan ayat tersebut adalah Kejadian 19:1-29; Hakim-hakim 19:1-30; Imamat 18:1-30; 20:1-27;

1 Korintus 6:9-17; 1 Timotius 1:3-13; Yudas 1-25; dan Roma 1. Menurut Rogers, tidak ada satupun dari ayat-

ayat ini menyatakan tentang Kristus maupun ajaran-Nya.21

Sebelumnya, Rogers mengingatkan bahwa Alkitab harus dibaca di dalam konteks gramatikal dan

historikal, jangan secara alegoris atau dengan khayalan yang subyektif. Apakah ayat-ayat keberatan yang

diajukan dari Alkitab yang mengecam aktivitas seksual penyembahan berhala dan asusila adalah tepat jika

dipakai untuk menolak relasi seksual orang-orang Kristen LGBT yang tidak menyembah berhala dan juga

tidak melakukan kegiatan asusila?22 Menurut ahli PB, Richard Hays, tidak ada kata dalam bahasa Yunani dan

Ibrani yang menggambarkan tentang homoseksualitas.23Alkitab, dalam bahasa asli Yunani dan Ibrani, tidak

ada konsep seperti pengertian orientasi seks homoseksualitas seperti pada masa kini.24

Kejadian 19:1-29 & Hakim-hakim 19:1-30. Menurut Rogers, dalam Perjanjian Lama, dosa dari kota

Sodom digambarkan sebagai keserakahan, ketidakadilan, tidak ramah, kekayaan yang berlebihan,

ketidakpedulian terhadap orang miskin, dan berbagai kejahatan lainnya. Dalam Perjanjian Baru, ketika Tuhan

Yesus merujuk dosa dari Sodom, dalam Lukas 10:12 dam Matius 10:15, Ia sebenarnya sedang memberikan

penilaian atas kota-kota yang menolak kedatangan murid-murid-Nya. Fokus tentang aspek homoseksual

dalam kisah Sodom baru muncul belakarngan, dalam literatur-literatur Yunani di laur Alkitab, yang

dipengaruhi oleh filsafat Yunani, dan juga dalam Al-Qur’an.25

Imamat 18:1-30; 20:1-27. Kitab Imamat termasuk kumpulan hukum yang dikenal sebagai Aturan

tentang Kekudusan, karena ide yang dominan adalah perintah Allah: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN,

Allahmu, kudus” (Imamat 19: 2). Kedua pasal dalam kumpulan aturan ini dikutip oleh mereka yang menolak

20
Ibid., 55-56.
21
Rogers, 66
22
Ibid., 57.
23
Richard B. Hays, “Awaiting the Redemption of Our Bodies,” Sojourners 20 (July 1991): 18.
24
Rogers, 188.
25
Ibid., 68

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 6


homoseksualitas sebagai larangan yang eksplisit terhadap homoseksualitas, khususnya 18: dan 20:13. Karena

itu, mereka mengembangkan Aturan Kekudusan untuk mendefinisikan identitas agama, kewarganegaraan,

dan identitas budaya mereka. Aturan Kekudusan ini berfungsi untuk mencapai ‘kemurnian dari kekudusan’

yang mereka cari.26

Kata “toevah” dalam bahasa Ibrani, diterjemahkan sebagai ‘kekejian’, merujuk pada sesuatu yang

membuat seseorang menjadi tidak kudus secara ritual, seperti melakukan hubungan intim dengan wanita yang

sedang menstruasi. Kekudusan secara ritual merupakan suatu yang penting untuk membedakan bangsa Israel

dengan bangsa-bangsa di sekitarnya yang masih belum percaya Tuhan.27

Saat Tuhan Yesus memenuhi hukum Taurat (Matius 5:17), dapat dimengerti bahwa apa yang ada

terjadi bukanlah untuk mempertahankan hukum-hukum dalam konteks budaya yang berlangsung saat itu,

tetapi merupakan konteks dalam karya Kristus yaitu untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia

(Matius 22:36-40). Jika ayat-ayat dalam Imamat ini dilepaskan dari konteks historis dan budaya saat itu

kemudian diterapkan secara langsung kepada orang-orang Kristen homoseksual yang beriman kepada Tuhan,

maka ayat-ayat ini menjadi ayat-ayat yang kejam terhadap mereka. Mereka dikecam karena kegagalan untuk

menyesuaikan diri terhadap aturan budaya yang kuno, yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi dalam situasi

dan kondisi pada masa kini.28 Bahkan Profesor Marion Soards, yang sebenarnya menolak homoseksualitas,

juga setuju bahwa tidak mungkin untuk menyatakan relevansi yang diperlukan dari ayat-ayat tersebut untuk

dunia saat ini. 29

1 Korintus 6:9-17 & 1 Timotius 1:3-13. Apa yang menjadi masalah dalam ayat-ayat ini adalah kata

dalam bahasa Yunani asli “arsenokoites” dan “malakos”, yang oleh beberapa ahli diperdebatkan sebagai kata

yang merujuk pada aktivitas homoseksual laki-laki. Kedua kata ini terdapat dalam 1 Korintus 6: 9 dan

“arsenokoites” tertulis beberapa kali dalam 1 Timotius 1:10. Karena kata-kata itu muncul dalam daftar yang

tidak disertai konteks sehingga sulit untuk tahu apa artinya secara tepat.30

26
Ibid.
27
Rogers, 69
28
Ibid., 69-70.
29
Marion L. Soards, Scripture and Homosexuality: Biblical Authority and the Church Today (Louisville, KY: Westminster John
Knox, 1995), 17.
30
Rogers, 70.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 7


Dale Martin menegaskan bahwa tidak ada yang dapat dibiarkan untuk mengklaim bahwa istilah ini

‘tentu saja’ merujuk pada pengertian akan ‘pria yang berhubungan seks dengan pria lain’. Dia menuliskan

bahwa “arsenokoites” mungkin merujuk pada “some kind of economic exploitation, probably by sexual means:

rape or sex by economiccoercion, prostitution, pimping, or something of the sort.”31

Sedangkan kata “malakos” lebih mudah dimengerti karena merupakan kata yang umum. Secara literal

berarti “softness” dan seringkali berarti kebancian, yang dalam budaya saat itu dianggap sebagai kegagalan

moral. Martti Nissisen menyatakan bahwa dalam budaya patriarkal saat itu, kurangnya penguasaan diri dan

hidup hanya untuk bersenang-senang dianggap sebagai tanda-tanda kebancian.32

Para ahli kontemporer seharusnya merasa canggung untuk memasukkan kebancian sebagai suatu

masalah moralitas pada masa kini. Namun, bagaimanapun juga, seperti yang disesali Dale Martin,

menerjemahkan istilah alkitabiah dengan asumsi bahwa semua perilaku homoseksual adalah dosa masih

belum dianggap memalukan. 33 Nissinen berargumen bahwa konsep homoseksualitas modern tidak

seharusnya dibaca sebagai kandungan dalam teks Paulus ini, juga para pembaca tidak boleh berasumsi bahwa

kalimat Paulus dalam 1 Korintus 6:9 adalah untuk “mengutuk semua hubungan homoseksual” di setiap waktu,

tempat, atau cara. Makna kata ini terlalu kabur untuk mendukung klaim yang demikian dan kalimat Paulus

ini tidak seharusnya di-generalisasi melampaui konteks masa dan dunianya.34

Yudas 1-25. Kitab Yudas ini sebenarnya adalah satu-satunya bagian Alkitab yang menhubungkan dosa

Sodom Gomora dengan imoralitas seksual. Namun Thomas Schmidt mengklaim secara luas bahwa “orang-

orang Kristen pertama tidak diragukan lagi telah menghubungkan dosa Sodom dengan dosa hubungan seks

sesama jenis.”35 Yudas 7 menggambarkan suatu kesejajaran antara “keinginan yang tidak wajar” dari para

malaikat yang ingin berhubungan seks dengan manusia perempuan (Kejadian 6: 1–4) dan orang-orang Sodom

yang ingin berhubungan seks dengan malaikat (laki-laki) (Kejadian 19: 1–29). Yudas menulis bahwa karena

31
Dale B. Martin, “Arsenokoites and Malakos: Meanings and Consequences,” dalam Biblical Ethics and Homosexuality:
Listening to Scripture, ed. Robert L. Brawley (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1996), 129.
32
Martti Nissinen, Homoeroticism in the Biblical World: A Historical Perspective, trans. Kirsi Stjerna (Minneapolis: Fortress
Press, 1998), 48.
33
Martin, 128-129.
34
Nissinen, 118.
35
Thomas E. Schmidt, Straight and Narrow: Compassion and Clarity in the Homosexuality Debate (Downers Grove, IL:
InterVarsity Press, 1995), 96–97.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 8


pemberontakan mereka maka Tuhan telah menahan para malaikat itu “dengan belenggu abadi di dalam dunia

kekelaman sampai penghakiman pada hari besar” (ayat 6). Demikian juga, orang-orang Sodom menderita

“siksaan api kekal” (ayat 7). Dapat dilihat bahwa dalam kitab Yudas ini ada banyak pembicaraan tentang seks

antara manusia dan malaikat (malaikat dengan manusia wanita dan manusia laki-laki dengan malaikat laki-

laki) yang diberi label sebagai “amoralitas seksual” dan “nafsu yang tidak wajar.”

Dari ketujuh bagian Alkitab yang sering dikutip untuk menentang homoseksualitas, dapat ditemukan

adanya sejumlah pengetahuan signifikan, yang menyimpulkan bahwa ayat-ayat ini tidak memiliki penerapan

langsung kepada umat Kristen homoseksual abad ke-21 yang setia dan mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati.

Terlebih lagi, konsensus para ahli ini meliputi banyak orang yang sebenarnya secara tradisional menentang

persamaan hak untuk orang-orang yang homoseksual, seperti Richard Hays dan Marion Soard.36

Roma 1. Menurut Rogers, mereka yang menentang kesetaraan hak untuk orang-orang gay dan lesbian

Kristen telah membuat beberapa kesalahan serius dalam menafsirkan Roma 1, yaitu penafsiran ini tidak

melihat fakta bahwa bagian ini adalah tentang penyembahan berhala, mengabaikan poin Paulus bahwa kita

semua orang berdosa, merindukan subteks budaya, dan menerapkan kecaman Paulus atas aktivitas seksual

tak bermoral kepada orang-orang Kristen gay dan lesbian yang setia yang bukan penyembah berhala, yang

mengasihi Allah, dan yang mencari untuk hidup dalam ketaatan yang penuh syukur kepada Tuhan.37

Semua orang dapat mengerti bahwa Paulus tidak sedang berbicara tentang pasangan heteroseksual

Kristen yang menikah, yang mengasihi Tuhan dan berusaha untuk mengikuti Yesus. Kecaman Paulus

terhadap perilaku seksual tidak bermoral tidak tepat diterapkan kepada orang-orang Kristen gay atau lesbian

kontemporer yang bukan penyembah berhala, yang mengasihi Allah, dan yang berusaha untuk hidup dalam

ketaatan kepada Tuhan. Guru Besar Perjanjian Baru di Universitas Loyola Marymount, menjelaskan dengan

baik, “We know of gay and lesbian Christians who truly worship and serve the one true God and yet still

affirm in positive ways their identity as gay and lesbian people. Paul apparently knew of no homosexual

Christians. We do.”38

36
Rogers, 72.
37
Ibid., 76.
38
Jeffrey S. Siker, “Gentile Wheat and Homosexual Christians: New Testament Directions for the Heterosexual Church,”
dalam Biblical Ethics and Homosexuality: Listening to Scripture, ed. Robert L. Brawley (Louisville, KY: Westminster John Knox
Press, 1996), 143.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 9


Kelima, Kejadian 1 bukanlah tentang masalah heteroseksualitas dan pernikahan, tetapi tentang

manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Phyllis Bird, seorang ahli Perjanjian Lama, menyatakan bahwa

hukum dan tradisi yang mengatur hubungan seksual dan perkawinan di Israel kuno tidak pernah mengacu

pada teks penciptaan sebagai modelnya. 39 Beliau menyatakan Kejadian 1 sebenarnya menggambarkan

manusia itu seperti gambar rupa Tuhan atau tidak. Manusia dibuat menurut gambar dan rupa Allah, sehingga

mereka terpisah dari dan lebih unggul dari hewan lain. Tetapi dalam seksualitas mereka, diidentifikasi sebagai

pria dan wanita, bukan sebagai suami dan istri. 40 Victor Furnish menjelaskan lebih lanjut bahwa berbeda

dengan semua dewa di daerah Timur Dekat Purba, Tuhan Israel dianggap sebagai aseksual. Dengan demikian

dalam seksualitas mereka, manusia sama seperti spesies yang diciptakan lainnya dan tidak seperti Tuhan. 41

Furnish menegaskan bahwa Kejadian 2: 23–25 “neither commands nor presumes a ‘monogamous’

relationship between man and woman and … it offers no comment on ‘marriage’ as such.” Selain itu, para

pahlawan iman Perjanjian Lama banyak yang tidak melakukan monogami, melainkan mengikuti pola budaya

mereka, dengan banyak istri, selir, dan budak sebagai pasangan seksual. Alkitab tidak hanya mengijinkan

tetapi juga terlihat mengamanatkan perilaku tersebut. Meskipun demikian, hidup yang “beranak-cuculah dan

bertambah banyak” tidak berarti bahwa setiap orang harus menikah dan bereproduksi, karena kisah-kisah

penciptaan “tidak memperhitungkan apa pun yang secara fisik atau mental terganggu, selibat, impoten — atau

mereka yang di zaman modern telah digambarkan sebagai ‘homoseksual’.” 42

Gagasan akan model monogami dan pernikahan heteroseksual yang disebutkan terkandung dalam

Kejadian 1 nampaknya tidak benar sama sekali. Terlihat ada suatu kerangka buatan yang sengaja dirancang

untuk menolak hak-hak pernikahan bagi kaum homoseksual. David Balch, Guru Besar Perjanjian Baru di

Brite Divinity School, mengamati bahwa di mana teologi penciptaan ditekankan, seperti yang dilakukan oleh

mereka yang menentang kesetaraan untuk kaum gay dan lesbian, ditekankan tentang “subordinasi dan

39
Phyllis A. Bird, “The Bible in Christian Ethical Deliberation concerning Homosexuality: Old Testament Contributions,”
dalam Homosexuality, Science, and the “Plain Sense” of Scripture, ed. David L. Balch (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 167
40
Ibid.
41
Furnish, 22.
42
Ibid., 23.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 10


kepatuhan.” Di sisi lain, di mana sebuah teologi penebusan, seperti yang ditawarkan Paulus dalam Roma 3,

ditekankan, “kebebasan, mutualitas, dan kesetaraan.” 43

Menurut Rogers, model kontemporer perkawinan Kristen adalah yang baik untuk orang heteroseksual

adalah satu pria dan satu wanita harus menikah seumur hidup jika mereka memilih, menanggung dan merawat

anak-anak. Namun model ini tidak ditemukan dalam Kejadian. Selain itu, masyarakat Barat berabad-abad

untuk mencapainya. Meskipun demikian, setengah dari orang-orang heteroseksual dalam masyarakat

Amerika tidak mengikuti prinsip ini sebagai tujuan pernikahan heteroseksual pada masa kini. Di sisi lain,

banyak orang gay dan lesbian Kristen justru lebih berkomitmen pada satu pasangan seumur hidup. Banyak

dari mereka yang menyokong pemeliharaan kesejahteraan untuk anak-anak dan beberapa bahkan telah

mengadopsi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mereka tampaknya telah mendapatkan inti dari model

pernikahan Kristen kontemporer dan telah menghidupinya.44

Secara alkitabiah, Yesus Kristus adalah gambar dan rupa Allah (Kolose 1:15; 2 Korintus 4:4). Tetapi

gambar dan rupa Tuhan dalam Yesus bukanlah konsekuensi dari beberapa atribut manusia yang unik, seperti

status laki-laki atau perkawinan. Hal ini lebih merupakan hasil dari refleksi cinta kasih Tuhan sepenuhnya

dalam hidup manusia. Manusia hanya dapat mencerminkan kasih Tuhan secara sporadis dan parsial,

sedangkan Yesus menunjukkan kepada manusia akan kasih Tuhan secara konsisten dan utuh. Injil, kabar baik,

adalah berita bahwa semua orang dapat memiliki hubungan dengan Allah melalui Yesus Kristus. Dengan

demikian, gambar dan rupa Tuhan bukanlah kapasitas yang terwujud hanya dalam beberapa kelompok orang

tetapi tidak terjadi dalam kelompok lainnya. Berada dalam gambar dan rupa Allah adalah dimungkinkan bagi

semua orang – hitam putih, pria wanita, homoseksual heteroseksual, menikah tidak menikah.45

Keenam, orientasi seksualitas yang berbeda bukanlah suatu dosa. Salah satu masalah dengan argumen

ini adalah bahwa kejatuhan manusia adalah universal atau tidak. Tidak dapat dibantah bahwa setiap orang

jatuh ke dalam dosa dan kemudian suatu kelompok orang tertentu lebih jatuh lagi. Lebih jauh lagi, Hays

membuat asumsi tentang apa yang Allah ingin ciptakan. Seperti yang telah ditunjukkan, contoh-contoh dari

43
David L. Balch, “Concluding Observations by the Editor,” dalam Homosexuality, Science, and the “Plain Sense” of
Scripture (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 288.
44
Rogers, 83.
45
Ibid., 85.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 11


dunia binatang menunjukkan bahwa Tuhan cukup jelas bermaksud untuk menciptakan hewan homoseksual.

Bukti ilmiah terbaik juga menunjukkan pengaruh genetik pada orientasi seksual, serta perbedaan biologis

yang terdapat antara kaum homoseksual dan heteroseksual. Data ilmiah ini menunjukkan bahwa

homoseksualitas memang bagian dari tatanan dunia yang diciptakan Tuhan.46

Menurut Hays, tatanan yang diciptakan Tuhan ini termasuk pola pernikahan heteroseksual sebagai

satu-satunya konteks yang dapat diterima untuk hubungan seksual. Hays menyatakan, “Perkawinan antara

pria dan wanita adalah bentuk normatif untuk pemenuhan seksual manusia, dan homoseksualitas adalah salah

satu dari banyak tanda tragis bahwa manusia adalah orang-orang yang telah rusak, terasing dari tujuan Allah

yang penuh kasih.” 47 Sekali lagi, dengan memilih sekelompok orang tertentu, menurut Jack Rogers, Richard

Hays telah bertentangan dengan pesan kekristenan yang penting bahwa seluruh umat manusia adalah orang-

orang yang hancur, diselamatkan melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Lebih jauh

lagi, sementara pernikahan monogami adalah konteks terbaik untuk pemenuhan seksual manusia, namun tidak

ada perintah Alkitab yang secara khusus menyatakan bahwa pernikahan heteroseksual monogami adalah satu-

satunya norma bagi seluruh umat manusia.48

POSISI IMAN KRISTEN: COUNTERPOINT REPLIK PRO-LGBT

Pertama, mengenai kesalahan interpretasi dalam sejarah gereja. Justru sebaliknya, penggunaan ayat-

ayat dalam Alkitab sebagai penolakan terhadap LGBT telah tepat. Perlu diingat bahwa dasar-dasar penolakan

terhadap perbudakan, segregasi, dan penindasan terhadap wanita juga berdasarkan ayat-ayat dari Alkitab.

Tidak ada satu bagianpun dari Alkitab yang secara umum memperbedakan karena masalah warna kulit atau

ras atau gender sebagaimana yang dipakai untuk kelompok yang mendukung perbudakan dan segregasi.

Meskipun nampaknya Perjanjian Lama melegalkan perbudakan dan Perjanjian Baru mengijinkan,

tetap hukum-hukum Taurat menjunjung aspek kemanusian dan benih kemerdekaan dari perbudakan telah ada

dalam Perjanjian Lama. Dengan kedatangan Tuhan Yesus ke dunia, benih kemerdekaan ini tumbuh makin

dalam dan makin luas, sehingga Perjanjian Baru menjadi jalan untuk pembebasan perbudakan secara

46
Ibid., 81
47
Hays, 13.
48
Rogers, 81-82.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 12


individual dan dengan berjalannya waktu menjadi basis dari gerakan sosial yang luas. Karena itu,

penyalahgunaaan dari ayat-ayat Alkitab-lah yang membuat orang-orang Kristen membela perbudakan dan

segregasi.49 Dan demikian juga Rasul Paulus, yang menyatakan bahwa tidak ada orang Yahudi maupun non-

Yahudi di dalam Tuhan Yesus dan tidak ada budak maupun orang merdeka di dalam-Nya, juga tidak ada

perbedaan antara laki-laki maupun perempuan di dalam Krsitus Kristus – yang pada saat itu merupakan

konsep yang radikal pada masa itu. 50

Demikian juga tidak ada satupun ayat dalam Alkitab yang mengijinkan tentang homoseksualitas atau

praktek LGBT. Bahkan juga tidak ada seorang pun pemimpin atau pribadi yang memiliki orientasi seks

homoseksual yang disebutkan. Beberapa orang yang diperkirakan sebagai homoseksual itu pun merupakan

hasil dari tafsiran non-literal di luar budaya dan konteks yang sebenarnya. Sebaliknya pernyataan adanya

tokoh-tokoh yang cenderung memperlihatkan perilaku yang homoseksual justru sebenarnya menentang

pendapat para pendukung kaum homoseksual yang menyatakan tidak ada istilah homoseksual dalam bahasa

Ibrani maupun Yunani.

Juga tidak terdapat ayat-ayat dalam Perjanjian Baru yang merendahkan para wanita maupun

peranannya. Yang adalah adalah panggilan untuk wanita agar taat dan menghormati suami mereka, yang

disejajarkan dengan panggilan kepada para pria untuk mengasihi para istrinya, dengan mengambil teladan

bagaimana Kristus yang mengasihi gereja-Nya dengan merendahkan diri untuk melayani. Sehingga para pria

yang dipanggil untuk menjadi kepala keluarga, di dalam Alkitab, adalah para pria yang melayani dan

mengasihi keluarganya. Bukan yang menekan dan menindas istrinya.

Ini berbeda dengan penggunaan Alkitab oleh para pendukung LGBT. Mereka melihat hal yang justru

kontras dengan pernyataan Alkitab. Jika dari kaum heteroseksual terlihat adanya kesatuan pria-wanita di

dalam strata hierarki yang seimbang dan merupakan lambang dari kasih Kristus, maka mereka melihat bahwa

ini hanya suatu opsi atau contoh belaka. Jika dalam masalah perbudakan dan hak-hak wanita ada banyak ayat

yang tersirat maupun tersurat mendukung kemerdekaan individual dan hak-hak yang penuh dari wanita,

namun tidak ada satu kalimatpun dalam Alkitab yang mendukung hak-hak para LGBT. Bahkan di dalam

49
Michael L. Brown, Can You Be Gay and Christian? (Charisma House. Kindle Edition), 46.
50
Ibid., 72.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 13


setiap penyebutan dalam Alkitab, selalu disertai dan dikelompokkan sebagai suatu dosa dan perbuatan asusila

secara jelas.51

William Webb, dalam analisanya secara hermenutik mengenai hak-hak wanita dan perbudakan,

menyimpulkan, ““Hasil perbandingannya adalah bahwa teks-teks yang mendukung homoseksual berada

dalam kategori yang berbeda dari teks-teks mengenai hak-hak wanita dan perbudakan. Yang pertama hampir

seluruhnya bersifat transkultural, sedangkan yang kedua sangat terikat oleh budaya.” 52 Sebaliknya, gaya

hidup LGBT sama sekali tidak terkait dalam ayat apapun dengan perilaku yang digerakkan dalam kasih

karunia. Juga tidak pernah menjadi suatu praktika yang diatur sebagai etika Injil yang memenuhi syarat

ataupun dapat menjadi contoh teladan dari kasih sejati dari Kristus. Sebagai contoh, hierarki suami-istri

merupakan teladan dalam etika Kristen tentang ketundukan bersama dan kasih yang memberi diri dalam kasih

seorang suami yang berakar secara kristologis, seperti yang terdapat dalam Efesus 5:21–33.53

Kedua, masalah standar ganda dalam pelaksanaan perintah Tuhan Yesus. Tidak tepat jika dikatakan

bahwa Tuhan Yesus tidak berbicara apa-apa tentang masalah ini. Dalam kenyataannya, Tuhan Yesus

menegaskan kembali dan justru memperdalam pengertian dari Hukum Taurat. Tuhan Yesus dengan tegas

menyatakan bahwa semua tindakan seksual di luar pernikahan adalah suatu pencemaran, dan juga

menyatakan dengan tegas bahwa pernikahan yang dimaksudkan Allah merujuk pada kesatuan seumur hidup

antara seorang pria dan seorang wanita. Sedangkan untuk mereka yang selibat — karena kelahiran atau pilihan

atau karena tindakan orang lain — mengacu pada mereka yang menahan diri dari aktivitas seksual dan

pernikahan (atau yang tidak dapat terlibat dalam aktivitas seksual). 54 Tuhan Yesus tidak perlu harus

mengutuknya seara khusus sebagaimana juga dosa perilaku yang seperti binatang, karena setiap orang Yahudi

– yang menjadi kelompok pertama dari tujuan pemberitaan Injil-Nya – adalah orang-orang yang takut akan

Tuhan dan sudah tahu akan hal-hal yang jelas-jelas dilarang dalam Hukum Taurat. Perilaku homoseksual

dilarang dengan jelas dalam kitab Taurat dan dikenal sebagai salah satu dari berbagai dosa seksual (porneia)

51
Ibid., 75.
52
William J. Webb, Slaves, Women and Homosexuals: Exploring the Hermeneutics of Cultural Analysis (Downers Grove, IL:
InterVarsity Press, 2001), 252.
53
Willard M. Swartley, Slavery, Sabbath, War, and Women: Case Issues in Biblical Interpretation (Scottdale, PA: Herald
Press, 2012), 17-18.
54
Brown, 128

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 14


yang terlarang bagi orang Yahudi. 55 Sebaliknya, masalah perceraian — khususnya, pertanyaan tentang apa

dasar yang sah untuk perceraian — adalah isu hangat di antara masyarakat Yahudi saat itu.

Lalu bagaimana Tuhan Yesus mengatasi masalah praktek homoseksual? Pertama, dalam Matius 5:17-

20, dalam Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus menjelaskan bahwa Ia tidak datang untuk “…meniadakan hukum

Taurat atau kitab para Nabi, melainkan untuk menggenapinya, ” dan ketika dicermati akan lanjutan ajaran

dari Tuhan Yesus, dapat dilihat bagaimana Ia menjelaskan masalah moral seksual dari hukum Taurat ke

tingkat yang lebih dalam.

Hal yang sama ketika Tuhan Yesus sedang berbicara tentang perceraian, “Telah difirmankan juga:

Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap

orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang

kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Matius 5:31-32). Tuhan Yesus dengan jelas

telah menjelaskannya, tidak sekedar menegaskan akan standar-standar moralitas seksual yang diajarkan dalam

hukum Taurat, namun juga menegaskan bahwa segala aktivitas seksual di luar pernikahan yang direstui Allah

adalah suatu pencemaran dan dosa, ini termasuk dalam daftar yang berdampingan dengan pikiran yang jahat,

pembunuhan, pencurian, saksi palsu, dan fitnah (Markus 7:21-22).

Ketiga, bahwa Alkitab hanya merupakan berita yang berpusatkan pada Kristus, tidak membicarakan

mengenai orientasi seksualitas. Alkitab memang memiliki pusat kepada Kristus, tetapi bukan berarti Alkitab

tidak memiliki kualitas dan kapasitas serta hak untuk berbicara hal-hal di luar pusat tersebut, termasuk soal

orientasi seksual. Ya benar, namun Paulus juga menuliskan, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah

mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh

iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk

menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan

demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Timotius 3:16-

17). Jadi, tidak hanya berbicara sampai kepada berita dan karya keselamatan Kristus, tetapi Paulus juga

meneruskan mengenai manfaat dari kabar baik sebagai standar hidup orang-orang yang sudah percaya.

55
Kevin DeYoung, What Does the Bible Really Teach about Homosexuality? (Crossway. Kindle Edition), 75.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 15


Keempat, hanya ada delapan ayat yang ditafsirkan merupakan penolakan terhadap LGBT. Sebenarnya,

Alkitab secara eksplisit dengan jelas menyatakan bahwa heteroseksualitas adalah norma yang dimaksudkan

Allah bagi umat manusia — sebagai satu-satunya bentuk kesatuan yang diterima oleh Allah dalam pernikahan

— dan juga para penulis Alkitab tidak mengatakan lebih banyak tentang praktek homoseksual. Sedikit yang

mereka katakan, namun sudah lebih dari cukup mengingat fakta bahwa Alkitab, dari awal hingga akhir, adalah

buku heteroseksual.56

Bahkan jika disetujui bahwa rujukan-rujukan dalam Alkitab itu ada secara via negativa, para

pendukung kaum homoseksual Kristen akan menunjukkan bahwa hanya ada satu referensi untuk praktek

homoseksual dalam Kejadian, tidak ada dalam Keluaran, dua dalam Imamat, tidak ada dalam Bilangan, dan

satu dalam Ulangan — artinya, hanya sedikit rujukan negatif di seluruh Pentateukh, juga dikenal sebagai

Taurat. Bahkan kebanyakan orang Kristen merasa bahwa Hukum Musa mengutuk praktek homoseksual

berulang kali. Tampaknya hal ini tidak dipermasalahkan. Dalam kitab-kitab sejarah, makna dari Yosua kepada

Ester, ada dua belas kitab, rujukan praktek homoseksual hanya ditemukan dalam tiga bagian (Hak. 19: 16–

24; 1 Raja-raja 14:24; 15:12; 2 Raja-raja 23: 7), sementara dalam kitab para nabi, dari Yesaya ke Maleakhi,

tidak ada satupun rujukan tentang praktek homoseksual. Hal yang sama juga tidak terdapat dalam kelima

kitab puisi dan hikmat.57

Mengenai makna dari kata kekejian (‘toevah’) sangat mudah untuk melihat bahwa kata “kekejian”

sering memiliki nuansa moral dalam kitab-kitab Taurat dan secara konsisten mengacu pada hal-hal yang harus

dihindari oleh orang-orang Kristen. Selain itu juga ada banyak aturan-aturan yang Tuhan berikan kepada

bangsa Israel untuk memisahkan mereka dari bangsa-bangsa. Dan aturan yang menentang praktek

homoseksual ada dalam ruang lingkup dan maksud yang bersifat universal ini– dengan kata lain, tidak hanya

untuk Israel tetapi untuk semua bangsa.58

Tuhan berkata dengan jelas bahwa Ia menghakimi bangsa Mesir dan bangsa Kanaan — penyembah

berhala yang menyembah berhala, menurut Alkitab — karena melakukan dosa-dosa ini, bahkan menyatakan

bahwa dengan mereka melakukan dosa-dosa ini, tanah itu menjadi najis dan memuntahkan mereka.

56
Brown, 82.
57
Ibid., 83.
58
Ibid., 111.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 16


Sebaliknya, Tuhan tidak pernah mengatakan bahwa Ia menghakimi bangsa-bangsa di dunia karena memakan

binatang yang tidak bersih atau menabur ladang mereka dengan dua jenis benih yang berbeda atau masalah

mengenakan pakaian dengan kain campuran. Juga tidak mengatakan bahwa tanah memuntahkan mereka

untuk melakukan hal-hal ini.

Tetapi Tuhan mengatakan bahwa tentang dosa-dosa yang tercantum dalam Imamat 18, termasuk

praktek homoseksual bahwa semua dosa ini secara bersama-sama digambarkan sebagai ‘toevah’, kekejian,

atau hal-hal yang menjijikkan. Tuhan memasukkan praktek inses, kebinatangan, praktek homoseksual,

perzinahan, dan pengorbanan anak-anak untuk Molech dalam kategori ini. Semua ini merupakan “kejijikan”

dalam pandangan-Nya dan sama-sama memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi bangsa-bangsa yang

melakukannya. Tetapi hanya praktek homoseksual laki-laki yang dipilih di dalam Imamat 18 sebagai suatu

‘to'evah’, kekejian, atau hal yang menjijikkan.59

Bahkan, di seluruh Kitab Imamat, praktek homoseksual adalah satu-satunya dosa spesifik yang dipilih

sebagai ‘kekejian’. Selain itu, itu adalah salah satu dari sedikit dosa yang tercantum dalam Imamat yang

menuntut hukuman mati, bersama dengan pengorbanan anak-anak untuk Molekh, mengutuk ayah atau ibu

seseorang, dan melakukan perzinahan, kebinatangan, atau inses (Imamat 20: 1–16) – dengan jelas bukan

sekedar suatu pelanggaran seremonial belaka.

Karena itu, pelarangan terhadap aktivitas seksual sesama jenis tidak hanya dalam konteks

penyembahan berhala, seperti yang terlihat dalam Imamat 20:13. Kedua, pelarangan terhadap aktivitas

seksual sesama jenis bukan merupakan salah satu dari aturan khusus yang dimaksudkan untuk menjaga Israel

terpisah dari bangsa-bangsa, karena itu diberikan sebagai larangan moral universal, sebagaimana yang kita

catat dengan mengacu pada Imamat 18. Dan yang ketiga, karena itu dianggap oleh Tuhan untuk menjadi

perilaku yang berdosa bagi Israel dan bangsa-bangsa sekitarnya yang belum mengenal Tuhan. Dengan

demikian aturan ini tetap merupakan larangan bagi orang Kristen sampai hari ini.

Masuk ke dalam Perjanjian Baru, Paulus melihat praktek homoseksual sebagai akibat langsung dari

penolakan manusia terhadap Tuhan, suatu hal yang bertentangan dengan tatanan ciptaan-Nya, dan Paulus

59
Ibid., 115-116.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 17


mendaftarkan hal ini bersama dengan banyak praktek dosa lainnya. Meskipun perdebatan tentang arti dari

kata-kata Yunani yang tepat yang digunakan dalam 1 Korintus dan 1 Timotius, tidak ada keraguan bahwa

dalam kedua bagian itu Paulus sedang mengutuk praktek homoseksual. Kabar baiknya adalah bahwa ia

menyatakan bahwa darah Yesus dapat menyelamatkan manusia dari dosa homoseksual. 60

Ali Salim dalam penyelidikannya menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan banci (malakoi) dan

orang pemburit (arsenokoitai) adalah orang-orang yang mempraktekkan hubungan seksual dengan sesama

jenis. Kedua kata ini diletakkan oleh Paulus secara berdampingan untuk menyikapi larangan untuk disodomi

maupun menyodomi yang biasanya dilakukan oleh kaum homoseksual. I Korintus 6:9-10 mempunyai

hubungan dengan Imamat 18:22 dan 20:13, dan dalam kedua bagian ini Tuhan melarang bangsa Israel untuk

melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Walaupun 1 Korintus 6:9-10 hanya berbicara tentang

praktek homoseksual yang dilakukan oleh pria namun hal ini juga berlaku bagi kaum lesbian, seperti yang

Paulus ungkapan di Roma 1:26-27.61

Dari Kejadian sampai Wahyu, secara eksplisit menyajikan dan menggunakan heteroseksualitas

sebagai norma yang dimaksudkan secara ilahi. Bahkan, daripada menuduh gereja membuat orang LGBT

merasa tidak nyaman, akan lebih akurat untuk menuduh Alkitab sebagai keseluruhan membuat mereka merasa

tidak nyaman.62

Kelima, bahwa gambar dan rupa Allah yang tidak menyatakan heteroseksualitas secara spesifik.

Dalam Kejadian 1, Allah menciptakan manusia ('adam dalam bahasa Ibrani) menurut gambar dan rupa-Nya

sendiri, menciptakan mereka dalam rupa pria dan wanita, dan Dia memberkati mereka dengan kata-kata ini:

“Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi…” (ayat 28). Hal ini cukup signifikan, karena,

meskipun benar bahwa ada laki-laki dan perempuan yang mungkin mandul, memerlukan sepasang pria dan

wanita untuk dapat beranak cucu, bertambah banyak dan memenuhi bumi. Maka sejak awal penciptaan, ketika

manusia diciptakan menurut gambar rupa Allah dan diberkati oleh-Nya, manusia diciptakan heteroseksual,

diberkati dengan tujuan ilahi yang hanya dapat dipenuhi oleh kaum heteroseksual. 63

60
Ibid., 158.
61
Ali Salim, “Siapakah Yang Dimaksud Dengan Banci Dan Orang Pemburit Dalam I Korintus 6:9-10?”, (75-82) Jurnal
Theologi Aletheia Vol. 18 No.11, September 2016, 81
62
Brown, 83-84.
63
Ibid., 85.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 18


Ketika Tuhan menciptakan manusia dalam gambar dan rupa-Nya. Ia menciptakan manusia itu terdiri

dari laki-laki dan perempuan dan berkat yang diucapkan-Nya atas manusia sejak awal adalah berkat

heteroseksual. Jadi, sejak dari pasal pertama kitab pertama Alkitab, pasangan homoseksual yang membaca

Kejadian 1 dapat dengan mudah dikecualikan, karena ciptaan Allah yang unik dari manusia menggambarkan

relasi yang heteroseksualitas — atau, lebih khusus lagi, memperjelas bahwa Allah menciptakan kita

heteroseksual sejak awal mulanya.

Keenam, bahwa orientasi seksualitas yang berbeda bukanlah suatu dosa. Tuhan Yesus tidak hanya

secara eksplisit menegaskan kembali kisah penciptaan dari pernikahan sebagai persatuan satu-daging dari

seorang pria dan seorang wanita (Matius 19: 4-6; Markus 10: 6–9) namun juga mengutuk dosa ‘porneia’

(Markus 7: 21), sebuah kata luas yang mencakup setiap jenis dosa seksual. Leksikon Perjanjian Baru pada

umumnya mendefinisikan ‘porneia’ sebagai “hubungan seksual yang tidak sah, prostitusi, ketidaksucian,

percabulan.”64

Larangan praktek homoseksual diberikan kepada Israel karena praktek ini salah untuk semua orang di

semua generasi, yang berarti itu secara intrinsik adalah berdosa. Mengapa? Salah satu alasan utamanya adalah

bahwa Tuhan merancang pria untuk wanita dan wanita untuk pria, dan untuk bergabung dengan pria dengan

pria atau wanita dengan seorang wanita adalah melakukan dosa secara mendasar terhadap rancangan dan

tujuan-Nya.

Dosa seksual tidak pernah dianggap adiafora, masalah ketidakpedulian, masalah setuju-untuk-tidak

setuju seperti aturan tentang makanan atau hari-hari suci (Roma 14: 1–15: 7). Sebaliknya, amoralitas seksual

adalah dosa yang menjadi ciri orang-orang yang tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga. Setidaknya ada

delapan teks dalam Perjanjian Baru (Markus 7: 21-22; Roma 1: 24–31; 13: 13; 1 Korintus 6: 9–10; Galatia 5:

19–21; Kolose 3: 5–9; 1 Timotius 1: 9–10; Wahyu 21: 8) dan percabulan ada dalam semua bagian ini.65

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

64
DeYoung, 74-75
65
Ibid.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 19


Dalam budaya di Indonesia, sulit memisahkan antara tindakan untuk mengasihi sesama manusia dan

membenci perbuatan dosa. Keduanya seringkali terekspresikan secara tercampur di dalam reaksi dan gestur

sehari-hari karena di dalam budaya Indonesia memang mengharapkan integrasi antaranya. Bahkan hanya

karena gaya hidup yang berbeda saja sudah akan membuat seseorang dapat dijauhi, apalagi masalah orientasi

seksualitas.

Sebuah istilah yang baru muncul sebagai sindiran dari orang-orang Kristen yang menolak LGBT yaitu

homophobia. Menurut Dr. Gomes, itu adalah rasa takut yang “di jantung homofobia, seperti di jantung rasisme,

dan seperti rasisme, agama - terutama jenis Injili Protestan yang telah memberi saya makan - adalah daun ara

moral yang menutupi prasangka.”66

Dan ini memperlihatkan akar utama masalah yang dihadapi ketika berurusan dengan homoseksualitas

dan gereja. Sistem nilai hak asasi masa kini yang dimulai dengan, “ini adalah hak saya” yang berarti benar

dan salah sangat ditentukan oleh perasaan pribadi tentang hal itu. Dan kemudian banyak gereja yang mulai

menenun Alkitab dalam sistem pemikiran ini. Ini adalah salah satu alasan kesalahan dan penipuan rohani.

Tidak hanya dalam hal homoseksualitas tetapi dalam banyak cara lain juga. Di mana kebenaran ditentukan

oleh kesepakatan manusia, bukan lagi kebenaran dalam standar Alkitab. C. S. Lewis secara tepat mengatakan

ketika dia berkata, “Until you have given up your self to Him you will not have a real self.”67

Kaum homoseksual adalah manusia yang normal secara mental, secara jiwa dalam pengertian mereka

tidak mempunyai disfungsi tertentu atau kelainan jiwa yang tertentu. Mereka adalah orang-orang yang sama

seperti yang lainnya, namun perbedaannya adalah dalam hal orientasi seksualnya. Mereka tidak tertarik

kepada lawan jenis, tetapi mereka tertarik kepada sesama jenis.

Sikap simpati diperlukan bagi seorang homoseksual dan perlu ada kesadaran bahwa seseorang yang

akhirnya menjadi homoseksual biasanya setelah melalui pergumulan yang berat. Jadi kita mesti memahami

sisi penderitaan ini.

Tetapi jelas Tuhan tidak menghendaki manusia melakukan hubungan seks dengan sesama jenis, jadi

orang Kristen yang benar tidak dapat memasuki penerimaan macam ini, tetapi kita terus berjalan dalam fase

66
Peter J. Gomes, The Good Book: Reading the Bible With Heart and Mind (San Francisco: Harper, 1996), 146.
67
C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: HarperCollins Publishers, 2009), 227.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 20


pergumulan. Sebagai teman sepersekutuan atau teman segereja yang menghadapi kenyataan seperti itu

sebaiknya bersikap dengan baik. Kita harus menekankan dan mengadopsi cara Tuhan menghadapi manusia,

sebagaimana Tuhan Yesus pernah berkata, “Aku datang bukan untuk menghakimi tapi menyelamatkan

manusia dari dosa.” Jadi Tuhan selalu menggunakan cara, pendekatan cinta kasih, Tuhan melihat kita berdosa

dan memanggil kita, Tuhan terus menantikan kita. Maka yang paling dapat kita lakukan adalah membentuk

suatu kelompok, yang jika memungkinkan dengan mengumpulkan orang-orang yang mempunyai pergumulan

yang sama dengan homoseksualitas. Dalam kelompok inilah kita dapat tumbuh bersama, berdoa bersama, dan

saling menguatkan satu sama lain.

Daftar Pustaka

Balch, David L. “Concluding Observations by the Editor,” dalam Homosexuality, Science, and the “Plain
Sense” of Scripture, ed. David L. Balch. Grand Rapids: Eerdmans, 2000.

Bird, Phyllis A. “The Bible in Christian Ethical Deliberation concerning Homosexuality: Old Testament
Contributions,” dalam Homosexuality, Science, and the “Plain Sense” of Scripture, ed. David L. Balch.
Grand Rapids: Eerdmans, 2000.

Brown, Michael L. Can You Be Gay and Christian? Charisma House. Kindle Edition.

DeYoung, Kevin. What Does the Bible Really Teach about Homosexuality? Crossway. Kindle Edition.

Gomes, Peter J. The Good Book: Reading the Bible With Heart and Mind. San Francisco: Harper, 1996.

Hays, Richard B. “Awaiting the Redemption of Our Bodies”. Sojourners 20 (July 1991).

Lewis, C. S. Mere Christianity. New York: HarperCollins Publishers, 2009.

Martin, Dale B. “Arsenokoites and Malakos: Meanings and Consequences,” dalam Biblical Ethics and
Homosexuality: Listening to Scripture, ed. Robert L. Brawley. Louisville, KY: Westminster John Knox
Press, 1996.

Nissinen, Martti. Homoeroticism in the Biblical World: A Historical Perspective, trans. Kirsi Stjerna.
Minneapolis: Fortress Press, 1998.

Rogers, Jack. Jesus, the Bible, and Homosexuality. Westminster: John Knox Press. Kindle Edition.

Salim, Ali. “Siapakah Yang Dimaksud Dengan Banci Dan Orang Pemburit Dalam I Korintus 6:9-10?”
Jurnal Theologi Aletheia Vol. 18 No.11 (September 2016):75-81.

Schmidt, Thomas E. Straight and Narrow: Compassion and Clarity in the Homosexuality Debate. Downers
Grove, IL: InterVarsity Press, 1995.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 21


Siker, Jeffrey S. “Gentile Wheat and Homosexual Christians: New Testament Directions for the
Heterosexual Church,” dalam Biblical Ethics and Homosexuality: Listening to Scripture, ed. Robert L.
Brawley. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1996.

Soards, Marion L. Scripture and Homosexuality: Biblical Authority and the Church Today. Louisville, KY:
Westminster John Knox, 1995.

Swartley, Willard M. Slavery, Sabbath, War, and Women: Case Issues in Biblical Interpretation. Scottdale,
PA: Herald Press, 2012.

Webb, William J. Slaves, Women and Homosexuals: Exploring the Hermeneutics of Cultural Analysis.
Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2001.

Internet

“Bagaimana pandangan Buddhisme mengenai LGBT?,” 2015.


http://www.buddhamettaclub.com/question/bagaimana-pandangan-buddhisme-mengenai-lgbt/ (29
Oktober 2018)

“History of homosexuality” https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_homosexuality#Psychiatry (28


Oktober 2018)

“LGBT rights at the United Nations” https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_at_the_United_Nations (1


Nopember 2018)

“Sexual Orientation & Homosexuality” https://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.aspx (1 Nopember


2018)

BBC News. “LGBT bukan masalah kejiwaan: Asosiasi Psikiatri AS surati Indonesia,” 17 Maret 2016,
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160316_indonesia_lgbt_psikiatri_indonesia
(28 Oktober 2018)

BBC News. “World Bank postpones $90m Uganda loan over anti-gay law”, 28 February 2014.
https://www.bbc.com/news/world-africa-26378230 (28 Oktober 2018)

Ericssen. Kompas.com. “Mahkamah Agung Amerika Legalkan Pernikahan Sesama Jenis,” 26 Juni 2015.
https://internasional.kompas.com/read/2015/06/26/23073761/Mahkamah.Agung.Amerika.Legalkan.Per
nikahan.Sesama.Jenis (1 Nopember 2018)

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Pernyataan Sikap PGI tentang LGBT, 17 Juni 2016.
http://pgi.or.id/wp-content/uploads/2016/06/Pernyataan-Sikap-PGI-tentang-LGBT.pdf (29 Oktober
2018)

Suastha, Riva Dessthania. CNN Indonesia. “Komisioner PBB Kecam Indonesia soal Diskriminasi LGBT”,
7 Februari 2018. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180207163504-106-
274611/komisioner-pbb-kecam-indonesia-soal-diskriminasi-lgbt (11 Nopember 2018)

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 22


Tempo.co. “Alasan MUI Tolak LGBT, Apa Saja?”, 17 Februari 2016.
https://nasional.tempo.co/read/745866/alasan-mui-tolak-lgbt-apa-saja (29 Oktober 2018)

World Health Organization dan Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI, 1993.

APOLOGETIKA IMAN KRISTEN: LGBT & IMAN KRISTEN | 23

Anda mungkin juga menyukai