Anda di halaman 1dari 10

Anak Yang Hilang

Luk 15:1-32
Oleh: Surip Stanislaus OFMCap.

Namanya anak durhaka kok dikasih hati. Jelas bikin orang iri hati. Betul tuh si sulung.
Masak yang baik-baik dan slalu nurut perintah bokapnya malah dicuekin aja? Mana tahan!
Ngawur aja! Namanya juga perumpamaan. Si bungsu yang akhirnya toh pulang sendiri
berarti dia tuh udah tobat beneran, lalu mau perbaiki diri. Dia tuh ibarat orang berdosa yang sadar
akan kesalahannya, lalu bertobat dan kembali kepada Tuhan. Pertobatan seseorang mendatangkan
sukacita di surga. You lihat dulu deh konteksnya.

Melihat Konteks (Luk 15:1-32)


1
Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia.
2
Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: Ia menerima orang-orang
berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka. 3 Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka.

Luk 15:1-32 menyajikan tiga perumpamaan dengan satu tema. Ketiga perumpamaan itu
tentang domba yang hilang (bdk. Luk 15:4-7), dirham yang hilang (bdk. Luk 15:8-10) dan anak
yang hilang (bdk. Luk 15:11-32). Rentetan perumpamaan itu sebagai tanggapan Yesus atas sungut-
sungut atau gerutuan dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat: Ia menerima orang-orang
berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.
Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menganggap para pemungut cukai sebagai
pendosa. Sebab mereka adalah kaki tangan penjajah yang memeras bangsa sendiri dan dipandang
najis. Pada waktu itu sebagai penguasa di daerah Palestina, pemerintah Romawi menyewakan
tugas pengumpulan pajak kepada orang-orang yang menjanjikan setoran tertinggi pada kas negara.
Para pemungut cukai adalah orang-orang yang menang tender untuk menagih pajak bagi penjajah
itu. Mereka terikat kontrak dengan pemerintah Romawi untuk menarik pajak di wilayah tertentu.
Mereka harus menyetorkan pajak itu sesuai jumlah yang disepakati dan kelebihannya menjadi
milik mereka. Oleh karena itu, para pemungut cukai biasa memungut pajak setinggi mungkin,
sehingga dicap sebagai pemeras yang membuat rakyat melarat. Pemerasan terhadap sesama
bangsanya itulah yang membuat mereka dikelompokkan sebagai orang-orang berdosa. Bahkan
dosa mereka dianggap jauh melebihi pelanggaran-pelanggaran yang lain karena jelas-jelas
menindas umat Allah sendiri.
Para pemungut cukai biasa datang kepada Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya.
Yesus pun makan bersama mereka dan orang-orang berdosa lainnya, seperti para penjahat,
pencuri, pelacur dan orang-orang kafir. Bagi orang Yahudi, perjamuan makan yang diiringi dengan
aneka ucapan berkat mempunyai makna religius yang mendalam. Oleh karena itu, para rabi/guru
Yahudi memandangnya najis dan menjijikkan bila seorang guru, seperti Yesus, makan bersama
orang-orang berdosa. Orang-orang Farisi juga tidak senang dengan kedekatan Yesus pada para
pendosa. Sebab mereka mengucilkan dan tidak memperbolehkan para pemungut cukai dan orang-
orang berdosa ikut dalam peribadatan dan kurban persembahan. Mereka juga mempunyai
ketetapan yang melarang orang-orang saleh bergaul dan makan bersama orang-orang berdosa.
Perjamuan makan bersama merupakan saat terjadinya persekutuan antarmanusia, sehingga makan
bersama orang-orang berdosa berarti bersekutu dengan mereka.
Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menjauhkan diri dari para pemungut cukai dan
orang-orang berdosa, karena takut ketularan najis dan berdosa. Kebanyakan ahli-ahli Taurat
memang termasuk golongan kaum Farisi. Kedudukan mereka terpandang dan terhormat di
kalangan masyarakat Yahudi sebagai orang-orang yang tekun meneliti dan mentaati hukum Taurat
dan adat istiadat nenek moyang sampai sedetail-detailnya. Demi kemurnian dan kesetiaan dalam
pelaksanaan hukum itulah mereka memisahkan diri dari orang-orang berdosa yang acuh tak acuh
terhadap hukum Taurat. Farisi berasal dari kata Yunani perisaye, artinya yang terpisah.
Yesus terbuka dan bergaul dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Ia
membiarkan mereka mendengarkan pengajaran-Nya yang berupa uraian atau penjelasan Taurat.
Pada hal pengajaran Taurat merupakan kegiatan suci yang tidak boleh diikuti oleh sembarang
orang, apalagi para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Maka, dengan membiarkan orang-
orang berdosa itu mendengarkan pengajaran-Nya berarti Yesus telah menyalahi adat istiadat
Yahudi. Oleh karena itu, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menggerutu dan mengkritik
kedekatan Yesus dengan orang-orang berdosa itu. Namun keterbukaan Yesus terhadap orang-
orang berdosa itu juga tidak tanpa alasan. Ia ingin mengajarkan kehendak Allah dan membawa
mereka pada pertobatan dan keselamatan. Apalagi orang-orang berdosa itu sendiri yang datang
kepada Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya.
Kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang tidak habis pikir, bahkan tersinggung
dengan penodaan dan pelanggaran yang dilakukan Yesus itu, perumpamaan tentang domba,
dirham dan anak hilang dipaparkan. Perumpamaan itu diawali dengan kecaman orang-orang Farisi
dan ahli-ahli Taurat terhadap kedekatan Yesus pada orang-orang berdosa. Kecaman itu sepadan
dengan kecaman si sulung terhadap bapanya yang menyambut kembalinya si anak bungsu durhaka
di akhir perumpamaan. Dengan ketiga perumpamaan itu Yesus mau menjawab kecaman dan
mengubah sikap mereka. Sebab mereka telah lalai mencari umat Allah yang hilang/berdosa,
bahkan menjauhkan diri dari orang-orang berdosa itu. Sikap mereka itu digambarkan sedemikian
kontrasnya dengan si pemilik domba atau dirham yang mati-matian mencari domba atau
dirhamnya yang hilang dalam perumpamaan pertama dan kedua.

Perumpamaan Anak yang Hilang (Luk 15:11-32)

Introduksi/Pengantar
(Ayah dan kedua anaknya)
11
Yesus berkata lagi: Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. 12 Kata yang bungsu kepada ayahnya:
Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan
harta kekayaan itu di antara mereka.
A Anak Bungsu A Anak Sulung
Situasi
13
Beberapa hari kemudian anak bungsu itu 25 Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan
menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar
negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. 26 Lalu ia
miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. 14 memanggil salah seorang hamba dan bertanya
Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah kepadanya apa arti semuanya itu.
bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun
mulai melarat. 15 Lalu ia pergi dan bekerja pada
seorang majikan di negeri itu. Orang itu
menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya.
16
Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas
yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak
seorangpun yang memberikannya kepadanya.
Kesadaran
17
Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: 27 Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan
Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun,
berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di karena ia mendapatnya kembali dengan sehat.
sini mati kelaparan. 18 Aku akan bangkit dan
pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya:
Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan
terhadap bapa, 19 aku tidak layak lagi disebutkan
anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang
upahan bapa.
Reaksi
20a
Maka bangkitlah ia dan pergi kepada 28a Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau
bapanya. masuk.

B Ayah dan Anak Bungsu B Ayah dan Anak Sulung


Inisiatif Ayah
20b
Ketika ia masih jauh, ayahnya telah 28b Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia.
melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas
kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia
lalu merangkul dan mencium dia.
Sikap Anak
21
Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah 29 Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah
berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah
tidak layak lagi disebutkan anak bapa. aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum
pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk
bersukacita dengan sahabat-sahabatku. 30 Tetapi baru
saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta
kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-
pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun
itu untuk dia.
Tanggapan Ayah
22
Tetapi ayah itu berkata kepada hamba- 31 Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu
hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku
terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan adalah kepunyaanmu. 32 Kita patut bersukacita dan
kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi
kakinya. 23 Dan ambillah anak lembu tambun hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.
itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan
bersukacita. 24 Sebab anakku ini telah mati dan
menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan
didapat kembali. Maka mulailah mereka
bersukaria.

Dalam perumpamaan ketiga Yesus mengisahkan belas kasihan seorang ayah terhadap
tuntutan anak bungsunya atas harta warisannya. Menurut adat-istiadat orang Yahudi di Palestina,
seorang ayah dapat membagikan hartanya dengan surat wasiat, sesudah ia meninggal atau selagi
ia masih hidup. Kalau pembagian harta kepada anak-anak itu dilakukan selagi sang ayah masih
hidup, maka hak milik ada di tangan anak-anak, tetapi hak pakai dan penghasilan dari harta itu
tetap di tangan sang ayah hingga saat meninggalnya. Kalaupun si anak menjual harta miliknya itu,
maka pembelinya baru boleh mengambilnya sesudah ayah anak itu meninggal. Sedangkan aturan
pembagiannya, anak tertua mendapat dua kali lipat dari harta yang diberikan kepada anak-anak
yang lain. Keistimewaan itu berkaitan dengan hak kesulungan (bdk. Ul 21:17).
Permintaan harta warisan selagi ayahnya masih hidup itulah dasar kesalahan dari si bungsu.
Sebab meskipun permintaan itu dimungkinkan secara hukum, tetapi dengan segera menjual tanah
itu kepada orang lain berarti ia telah mempreteli hak pakai ayahnya. Di samping itu menurut adat
istiadat Yahudi, seorang anak laki-laki wajib mengabdi ayahnya dan menjaganya hingga akhir
hayat. Sesudah ayahnya meninggal barulah ia bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Maka,
kepergian si bungsu ke negeri jauh yang meninggalkan rumah sebelum kematian ayahnya
merupakan sikap seorang anak yang tidak berbakti dan tidak bertanggungjawab. Perbuatan itu hina
dan terlarang, sehingga anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak durhaka. Jadi, kedosaan si
bungsu berkaitan dengan pelanggaran perintah Allah tentang Hormatilah ayahmu dan ibumu
(Kel 20:12) dan penjualan tanah pusaka keluarga kepada orang lain (bdk. Kis 7:5; 1 Raj 21). Kata
Yunani sunagein berarti menukarkan harta warisan menjadi uang. Daftar dosa si bungsu itupun
bertambah menurut tuduhan abangnya, yaitu bahwa ia hidup berfoya-foya dan menghambur-
hamburkan harta ayahnya bersama para pelacur.
Alhasil, uang si bungsu pun habis dan bencana kelaparan yang terjadi di negeri itu
menimpanya. Maka, mau tidak mau ia harus bekerja untuk menyambung hidup dengan menjadi
penjaga kawanan babi. Babi termasuk kategori binatang haram dan najis (bdk. Im 11:7; Ul 14:8;
1Mak 1:47) dan para rabi Yahudi mengutuk para pemelihara babi. Betapa malangnya si bungsu
yang mengalami kelaparan itu. Lebih parah lagi, derajatnya menjadi sangat hina, sebab ia ingin
mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi. Dengan demikian ia mau
menyamakan dirinya dengan babi, sekurang-kurangnya dalam hal makanan.
Dalam keadaan malang melintang itu si bungsu ingat betapa berlimpahnya makanan di
rumah ayahnya dan tidak satupun pekerja upahan kelaparan. Pengalaman si bungsu itu
mengingatkan pada pepatah Yahudi yang sangat popular: Ketika seorang anak harus menderita
dengan berjalan kaki telanjang, ia akan teringat pada kenyamanan di rumah ayahnya. Namun
si bungsu bukan saja menyadari bahwa para pekerja upahan ayahnya lebih beruntung dari padanya,
tetapi juga menyadari terlebih akan kedosaannya. Ia merasa bersalah terhadap ayahnya dan
terhadap Allah di surga, sehingga berniat pulang dan mengakui dosa-dosanya. Ia menyesal dan
mau bertobat.
Kata Yunani metanoia, yang berasal dari kata Ibrani suf, yang berarti pertobatan,
mengandung makna berbalik arah dan langkah. Pertobatan seperti itulah yang terjadi pada si
bungsu. Ia telah berdosa dengan meminta harta warisan saat ayahnya masih hidup, menjual harta
pusaka itu, pergi meninggalkan orang tuanya dan hidup berfoya-foya menghabiskan hartanya.
Klimaksnya, ia menyadari kesalahannya, menyesal, mau mengakui dosa-dosanya dan bertobat.
Penderitaan lahir batin yang dideritanya, yaitu kelaparan dan merasa bersalah terhadap orang
tuanya, telah mendorongnya untuk mengakui dosa-dosanya dan bertobat. Anti klimaksnya, ia
berbalik arah dan langkah dengan pulang kembali ke rumah ayahnya.
Si bungsu mau mengakui dosa-dosanya terhadap ayahnya dan siap menanggung
hukumannya. Maka, dalam rumusan pertobatannya ia akan mohon agar tidak lagi disebut anak,
tetapi cukuplah diterima sebagai salah seorang pekerja upahan ayahnya: Bapa, aku telah berdosa
terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku
sebagai salah seorang upahan bapa. Dengan demikian si bungsu punya keyakinan bahwa
ayahnya akan mengampuni dosa-dosanya dan menerimanya. Namun ia juga sadar bahwa dirinya
tidak pantas lagi disebut anaknya, sehingga cukuplah jika ayahnya mau mengampuni dan
menerimanya sebagai salah satu pekerja upahannya. Nampak sikap pasrah dalam diri si bungsu.
Ia pun mau mengakui dosa-dosanya terhadap ayahnya dan terhadap Allah di surga. Sebab berdosa
terhadap ayahnya berarti juga telah melanggar perintah Allah, agar menghormati orang tua.
Rupanya sang ayah tidak memutuskan hubungan dengan si bungsu, tetapi selalu
merindukan kepulangannya kembali. Maka, saat dilihatnya si bungsu pulang, tergeraklah hatinya
oleh belas kasihan. Ia berlari menyambutnya. Pada hal menurut kebiasaan Yahudi, orang tua yang
berlari menyambut anaknya dipandang merendahkan martabatnya. Itu tidak lazim. Paling-paling
orang tua akan mengutus orang lain untuk menjemputnya. Namun demi melindungi anaknya dari
kemarahan masyarakat atas kedurhakaannya ia pertaruhkan dan tidak peduli dengan martabat
dirinya. Ia mau melindungi si bungsu dari kesendirian berjalan di kampung, agar tidak dihina dan
ditolak masyarakat. Ia merangkul dan menciumnya sebagai lambang kasih dan pengampunan. Ia
berbuat apa saja yang dapat mendamaikan si bungsu dengan dirinya dan masyarakat.
Si bungsu pun menyatakan pengakuan dosanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga
dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa... Sebelum rumusan pengakuan
dosa yang telah disiapkannya selesai, sang ayah sudah memotongnya. Sebab rumusan pengakuan
dosa hanyalah ungkapan dari pertobatan, sedangkan kepulangannya ke rumah sudah menjadi bukti
nyata pertobatannya. Sang ayah memotong pengakuan si bungsu itu dengan perintah agar para
hambanya segera mengambil dan memakaikan jubah terbaik kepadanya, cicin dan sepatu.
Memberi perintah kepada para hamba juga berarti bahwa sang ayah menyuruh hamba-hamba itu
menghormati si bungsu sebagai anaknya. Jubah pun menjadi lambang kehormatan, sehingga
dengan memakaikan jubah kepadanya, si bungsu diterima kembali sebagai orang terhormat dan
masyarakat akan menerimanya kembali. Sedangkan cincin adalah lambang kuasa/wibawa dan
sepatu lambang kemerdekaan bagi yang memakainya. Oleh karena itu, dengan dikenakan jubah,
cincin dan sepatu, si bungsu diterima kembali sebagai anak, dipulihkan wibawa dan
kemerdekaannya.
Pesta dengan lembu tambun pun merupakan gambaran betapa luar biasanya sambutan dan
penghargaan sang ayah. Sebab pesta dengan makan daging lembu memang jarang sekali terjadi di
Palestina, kecuali pada kesempatan yang istimewa. Pesta itu juga bukan hanya untuk keluarga,
tetapi pesta bersama masyarakat, karena sang ayah berkepentingan untuk mendamaikan anak
bungsunya dengan mereka. Dengan demikian sang ayah itu benar-benar telah menguburkan masa
lampaunya. Ia tidak peduli dengan motivasi yang mendorong si bungsu pulang, tidak
mengucapkan sepatah kata yang dapat diartikan sebagai pengampunan, tidak menunjukkan
kemarahan dan tidak berniat memberi hukuman kepadanya. Ia hanya mementingkan satu hal, yaitu
sukacita karena anaknya selamat dan telah kembali. Maka, perkataan ia telah mati dan hidup
kembali, ia telah hilang dan didapat kembali bukan telah mati secara badani, tetapi telah lama
meninggalkan keluarga dan diduga mati, namun sekarang telah pulang kembali. Orang berdosa
mengalami kehidupan kembali setelah bertobat dan memperoleh pengampunan atas dosanya.
Anak sulung pun pulang dari ladang. Ia mendengar musik dan lagu tari-tarian di rumahnya.
Setelah bertanya dan menyimak penjelasan provokatif dari pembatu yang menonjolkan pesta
penyembelihan lembu, ia menjadi iri dan kesal. Kecemburuannya berakar pada sikap dirinya yang
selalu taat kepada ayahnya demi mendapatkan imbalan. Oleh karena itu, ketika si bungsu
dipestakan dan ia tidak mendapat apa-apa, ia menjadi iri dan kesal. Alhasil, rumah yang sudah
sekian lama dihuninya menjadi asing. Ia merasa dirinya tidak cocok lagi dengan rumah itu dan
tidak mau masuk, sehingga terputuslah relasi dirinya dengan rumah itu dan seluruh isinya.
Sewaktu sang ayah membujuknya masuk, ia memandang dirinya sebagai pekerja upahan
yang diperlakukan tidak adil, karena sudah bertahun-tahun melayani dan tidak pernah melanggar
perintah ayahnya, tetapi tidak pernah diberi ganjaran atau imbalan: Telah bertahun-tahun aku
melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah
bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru
saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan
pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.
Si sulung mengetengahkan pengabdian dan keteladanannya dalam kerja, sehingga sudah
seharusnya lebih diutamakan dari yang lain, tetapi pesta kecil-kecilan dengan kambing pun tidak
pernah dibuat oleh ayahnya. Maka, memuncaklah amarahnya dengan tidak mau menerima adiknya
dan menuduhnya telah memboroskan harta bersama para pelacur. Ia tidak menyebut lagi si bungsu
adik, tetapi anak ayah, sehingga penolakan terhadap adiknya itu juga berarti penolakan terhadap
ayahnya.
Sang ayah menanggapi si sulung dengan penuh belas kasihan: Anakku, engkau selalu
bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Nah, sang ayah yang
keluar, membujuk supaya masuk dan menyapanya anakku adalah pernyataan rasa hormatnya
pada si sulung. Ia tidak mencela, tidak menyalahkan dan tidak meragukan pengabdiannya, tetapi
menekankan relasi kebersamaan mereka yang tidak pernah putus sebagai penghuni rumah dan
pemilik harta. Maka, dengan perkataan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu, sang ayah
mau menyadarkan si sulung sebagai anak yang berhak atas ahli waris dan bukan pekerja upahan.
Sebagai ahli waris memang harta milik ayahnya adalah harta miliknya juga. Jadi, mau berpesta
dengan menyembelih lembu atau kambing pun tidak ada masalah, karena semua itu toh miliknya.
Sang ayah juga menegaskan bahwa si bungsu harus diperlakukan bukan sebagai anak
ayah, tetapi adiknya, sehingga ia patut ikut berpesta untuk mengukuhkan relasi mereka: Kita
patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah
hilang dan didapat kembali. Kembalinya si bungsu menjadi kesukaan yang tiada taranya bagi
sang ayah, sebab yang sebelumnya tiada harapan dapat bertemu dengannya, sekarang ada
bersamanya. Ibarat anak yang sudah hilang ditemukan kembali, sudah mati dan hidup kembali.
Maka, seharusnya si sulung sebagai abangnya pun bersukacita sama dengan sang ayah. Apakah si
sulung mengikuti ajakan sang ayah untuk menyambut adiknya dan bersukacita bersama?
Perumpamaan berakhir tanpa ada kejelasan apakah si sulung ikut serta bersukacita atau tidak.

Mencari dan Menjimpit Pesan

Perumpamaan tentang domba, dirham dan anak yang hilang berbicara tentang sukacita atas
kembalinya si anak bungsu dan ditemukannya kembali domba dan dirham itu. Pemilik domba dan
dirham itupun mengundang para sahabat dan tetangganya untuk ikut bersukacita bersama. Sang
ayah pun mengajak seisi rumah tangganya, terutama si sulung untuk ikut bersukacita atas
kembalinya adiknya. Sukacita secara komunal itu mengumpamakan sukacita Allah dan seisi surga
atas seorang berdosa yang bertobat.
Sukacita gembala dan sahabat-sahabatnya menjadi gambaran dari sukacita Allah dan seisi
surga atas bertobatnya atau kembalinya satu orang berdosa. Memang tekanan lebih pada gembala
yang mencari dan menemukan domba yang hilang sebagai gambaran dari prakarsa Allah, yang
melalui Yesus mencari dan membawa orang berdosa bertobat. Namun inisiatif ilahi itu akhirnya
juga membuat orang berdosa itu mawas diri, menyesali kesalahannya, berbalik langkah dan
kembali mengikuti Allah.
Dalam Mat 18:12-14 penginjil juga mengetengahkan perumpamaan tentang domba yang
hilang.
12
Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat,
tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang
sesat itu? 13 Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar
kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat.
14
Demikian juga Bapamu yang di surga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang.

Perumpamaan tentang domba yang hilang dalam Mat 18:12-14 dialamatkan kepada orang-
orang Yahudi yang menjadi murid-murid Yesus. Mereka adalah generasi pertama atau kedua umat
Kristen yang belum membedakan dan memisahkan diri sedemikian rupa dengan umat Yahudi.
Mereka dikatakan sesat dan merasa dijauhi, bahkan disingkirkan oleh sanak saudara dan kawan-
kawan mereka. Maka, mereka bertanya-tanya apakah sungguh-sungguh sesat? Kepada merekalah
perumpamaan tentang domba yang hilang disampaikan. Mereka diyakinkan bahwa Allah berpihak
pada mereka dan kalaupun mereka tersesat, Allah akan mencari sampai mereka diketemukan:
Sebab Bapamu di surga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang.
Perumpamaan tentang domba yang hilang dalam Luk 15:4-7 dialamatkan kepada para
pengikut Yesus yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi. Orang-orang
yang non Yahudi itu cepat bertambah banyak, tetapi mereka merasa masih belum sepenuhnya
diterima dan dianggap orang-orang kelas dua. Bahkan orang-orang yang Yahudi kadang masih
mencurigai dan memandang mereka tetap kafir, sehingga kebijakan pun banyak digariskan dan
ditentukan oleh pihak orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, perumpamaan tentang domba yang
hilang disampaikan untuk menghibur orang-orang Kristen non Yahudi yang merasa dipojokkan
saudara-saudara mereka sendiri. Mereka diajak agar tetap tabah dan yakin bahwa Allah berpihak
dan menyayangi mereka. Pemojokan serupa dialami oleh Yesus yang dipandang menodai dan
melanggar adat istiadat Yahudi oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Jadi, orang-orang
Kristen Yahudi yang merendahkan saudara-saudaranya seiman itu bagaikan orang-orang Farisi
dan ahli-ahli Taurat.
Jika Yesus mengalamatkan perumpamaan tentang domba yang hilang kepada orang-orang
Farisi dan ahli-ahli Taurat, itu karena mereka bukannya mencari dan membawa pada pertobatan,
tetapi malah mengucilkan dan menjauhi orang-orang berdosa. Sikap itu berbeda dengan sang
gembala. Ia rela bersusah payah turun-naik tebing hanya demi menemukan kembali seekor
dombanya, karena relasi atau ikatan kasihnya terhadap domba yang hilang itu. Alhasil, ketika
domba itu tertemukan, ia dipanggulnya dengan penuh sukacita. Para sahabat dan tetangganya pun
diundang untuk turut bersukacita. Demikianlah kegembiraan Allah dan warga Kerajaan Surga
dengan bertobatnya seorang pendosa.
Bagi Allah pertobatan satu orang berdosa saja sudah mendatangkan sukacita besar:
Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari
pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.
Orang-orang benar adalah orang-orang saleh yang taat pada perintah-perintah agama dan yakin
bahwa tindakan mereka telah menjamin keselamatannya, sehingga tidak memerlukan pertobatan.
Orang-orang itu merasa dan menganggap diri lebih baik dari para pemungut cukai dan orang-orang
berdosa lainnya, sehingga menjauhkan diri dari mereka. Mereka itu diantaranya adalah ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, sehingga jelas bahwa Yesus mengalamatkan perkataan-Nya kepada
mereka.
Penginjil Lukas telah mencatat perkataan Yesus yang mendukung pernyataan itu: Bukan
orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang
benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat (Luk 5:31-32) ; Sebab Anak Manusia
datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk 19:10). Oleh karena itu, Yesus
dengan tangan terbuka menyambut kedatangan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa
yang mau mendengarkan pengajaran-Nya demi pertobatan mereka dan sukacita di surga.
Sukacita seorang perempuan bersama para sahabat dan tetangganya karena telah
menemukan kembali satu dirhamnya yang hilang, juga menggambarkan sukacita Allah dan seisi
surga atas bertobatnya satu orang berdosa: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-
malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat. Ungkapan sukacita pada malaikat-
malaikat Allah sama artinya dengan sukacita di surga. Sebab agar tidak melanggar Sepuluh
Perintah Allah, khususnya perintah Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan
sembarangan (Kel 20:7), orang-orang Yahudi mengganti ucapan TUHAN Allah dengan entah
surga entah malaikat-malaikat Allah.
Dengan demikian secara tidak langsung mau dikatakan bahwa orang-orang Farisi dan ahli-
ahli Taurat itu juga diundang untuk ikut dalam sukacita Allah dan seisi surga, karena para
pemungut cukai dan orang-orang berdosa mau datang mendengarkan ajaran Yesus dan bertobat.
Apakah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu mau ikut serta bersukacita? Tidak diketahui
persisnya, sebagaimana si anak sulung yang tidak dijelaskan entah masuk entah tidak. Oleh karena
itu, tidak dikisahkah lebih jauh apakah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu mau
mendengarkan Yesus. Nampaknya mereka malah semakin kesal dengan Yesus dan memandang
pergaulan-Nya bersama orang-orang berdosa itu sebagai batu sandungan. Mereka menutup diri,
seperti si sulung yang tidak dapat mengerti alasan sukacita ayahnya. Mereka terkurung dalam
pemikiran teologis tentang keadilan Allah yang mengganjar orang baik dan menghukum orang
jahat.
Sebagaimana orang-orang Yahudi pada umumnya, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat
percaya akan keadilan Allah. Mereka yakin bahwa Allah akan mengganjar orang baik dan
menghukum orang jahat. Itu berarti bahwa si sulung yang tekun bekerja dan setia kepada ayahnya
termasuk tipe anak baik dan berhak mendapatkan ganjaran. Namun ia malah tidak pernah
dipestakan dan merasa tidak pernah memperoleh apapun dari ayahnya. Sedangkan si bungsu yang
meminta warisan selagi ayahnya masih hidup, menjual tanah pusaka dan memboroskan harta
miliknya termasuk tipe anak jahat dan layak mendapatkan hukuman. Tetapi ia malah dipestakan
secara mewah dan diperlakukan istimewa oleh ayahnya. Sang ayah itu berarti berlaku tidak adil.
Oleh karena itu, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak bisa mengerti Allah yang berlaku
tidak adil. Alhasil mereka pun tidak bisa mengerti tindakan Yesus yang membiarkan orang-orang
berdosa mendengarkan pengajaran-Nya demi pertobatan mereka. Bukankah orang-orang itu
berdosa, yang berarti harus dihukum?
Yesus mau memperkenalkan Allah yang bukan saja mau mengampuni orang berdosa
setelah orang itu dihukum habis-habisan. Tetapi juga Allah yang penuh belaskasih, maha
pengampun dan mau mencari orang-orang berdosa demi pertobatan mereka. Perumpamaan tentang
domba, dirham dan anak yang hilang menggambarkan inisiatif/prakarsa dan belaskasih Allah
terhadap umat-Nya, terutama para pendosa yang mau bertobat. Sebagaimana seorang gembala dan
perempuan yang mati-matian mencari sampai menemukan domba dan dirhamnya yang hilang,
demikian Allah dengan belaskasih-Nya berinisiatif untuk selalu mencari anak-anak-Nya yang
hilang agar bertobat. Bagaikan sang ayah yang menurut adat istiadat Yahudi bertindak tidak lazim
demi keselamatan si bungsu dan tidak marah atas kecaman si sulung, demikian Allah bertindak
penuh belaskasih, kemurahan dan pengampunan.
Allah bertindak penuh belaskasih seperti sang ayah terhadap si bungsu yang pendosa dan
si sulung yang kaku dalam berteologi. Ia tidak menghukum orang berdosa yang telah menyesali
kesalahannya dan mau bertobat. Ia juga tidak marah dan sangat memahami orang-orang yang
berprinsip kaku dan marah atas perlakuan-Nya terhadap orang-orang berdosa. Yesus
memperkenalkan Allah yang penuh belaskasih, maha pemurah dan pengampun. Bahkan karena
besarnya belaskasih Allah itu, sebelum orang berdosa itu mengakui kesalahannya, belaskasih-Nya
sudah menanti dan menjemputnya. Pengampunan Allah telah tersedia lebih dahulu bagi pendosa
yang mau bertobat dan Ia akan memulihkan statusnya sebagai anak-Nya. Maka, bagi kita yang
merasa diri terlalu besar dosanya dan merasa tidak layak lagi sebagai warga keluarga Allah, jangan
putus asa, karena masih ada kesempatan. Yang penting bagi kita, entah dosa kita besar entah kecil,
adalah penyesalan dan pertobatan. Allah akan bersukacita dan akan ada sukacita surgawi atas
pertobatan kita.
Ditemukannya kembali domba dan dirham yang hilang mendatangkan sukacita bersama.
Pada hal domba dan dirham itu bukan satu-satunya harta milik, tetapi hanya satu dari seratus
domba dan sepuluh dirham yang dimilikinya. Maka, nilai sukacita itu jelas bukan berdasar pada
besarnya jumlah yang ditemukan, tetapi pada keterikatan pribadi dengan domba dan dirham yang
hilang. Sukacita sang ayah berkat kembalinya si bungsu pun terlebih karena relasi pribadi mereka
sebagai ayah dan anak. Begitulah kiranya relasi dan keterikatan pribadi Allah dengan masing-
masing umat-Nya, sehingga Ia tidak menghendaki seorangpun dari anak-anak-Nya hilang. Itu
berarti bahwa kembalinya atau bertobatnya satu orang berdosa saja sudah mendatangkan sukacita
surgawi.
Domba (binatang makhluk hidup) yang hilang memang bisa dimengerti sebagai
gambaran tentang pendosa yang sadar bahwa dirinya berdosa tetapi tiada daya untuk melepaskan
diri dari cengkeraman dosanya. Dirham (benda mati) yang hilang adalah gambaran tentang
pendosa yang tidak sadar bahwa dirinya berdosa. Untuk kedua pendosa ini prakarsa dari Allah
yang mencari dan membawa mereka pada pertobatan sangat diperlukan. Sedangkan anak (manusia
makhluk hidup berakal budi) yang hilang merupakan gambaran tentang pendosa yang sadar akan
dosa-dosanya dan mampu serta mau bertobat. Itulah para pemungut cukai dan orang-orang berdosa
yang datang kepada Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Setelah mendengarkan
pengajaran Yesus mereka sadar dan tahu akan dosa-dosanya, menyesal dan mau bertobat kembali
kepada Allah. Oleh karena itu, Yesus pun menyambut, mengampuni dan makan bersama dengan
mereka.
Sadar atau tidak, kita di hadapan Allah adalah orang-orang berdosa. Namun Yesus telah
hadir ke dunia dan membuka diri bagi siapapun yang mau percaya kepada-Nya demi memperoleh
keselamatan. Maka, jangan takut dan tidak perlu ragu, mari kita datang dengan segenap hati,
mempercayakan diri seutuhnya dan memohon ampun atas dosa kesalahan kita kepada-Nya.

Mengucap Doa

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.


Allah Bapa kami yang maha adil. Engkau telah menyatakan kemurahan hati-Mu kepada
setiap pendosa yang bertobat. Syukur atas semuanya itu ya Tuhan. Bantu kami untuk terus-
menerus membuka diri pada belaskasih dan pengampunan-Mu. Mampukan kami untuk terus-
menerus bertobat dan percaya dengan sepenuh hati kepada-Mu. Demi Kristus, Tuhan dan
Pengantara kami.
Demi nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.

Anda mungkin juga menyukai