Anda di halaman 1dari 12

TANTANGAN DAN PELUANG UNTUK MEMBANGUN KELUARGA YANG DICITA-

CITAKAN

Dewasa ini keluarga-keluarga Katolik dan keluarga-keluarga pada umumnya menghadapi


banyak tantangan yang aktual. Sebagian besar dari tantangan-tantangan ini berasal dari
masyarakat luas, sedang sebagian yang lain berasal dari dalam keluarga sendiri. Era globalisasi
dan modernisasi yang kian marak saat ini membawa pengaruh dan dampak, baik positif maupun
negatif dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani. Kehidupan keluarga tidak bisa lepas dari
pengaruh nilai-nilai yang muncul dan yang dihidupinya. Pada abad sekarang ini muncul
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tantangan dan keperihatinan yang menghadang
kehidupan berkeluarga.
Gereja Katolik memberikan perhatian yang sangat serius pada kehidupan keluarga, karena
keluarga adalah sel dari Gereja dan masyarakat. Keluarga yang sejahtera adalah harapan
sekaligus perjuangan Gereja. Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik-nya "Familiaris
Consortio'' melihat keluarga sejahtera dalam kesetiaan pada rencana Allah sebagai sebuah
perkawinan. Di tegaskan pula bahwa pribadi manusia sebagai citra Allah diciptakan untuk
mencintai. Keluarga, menurut Paus, adalah suatu komunitas pribadi-pribadi yang membentuk
masyarakat dan Gereja.
Pada kegiatan pembelajaran ini, kalian akan dibimbing untuk memahami terbagai tantangan
dalam hidup keluarga pada zaman ini dan bagaimana berupaya secara terpadu dan
Berkesinambungan untuk mengatasi dan mengangkat keluarga pada posisi ideal, atau keluarga
yang dicita-citakan.

1 Mari Mengamati

Bacalah artikel berikut ini dengan saksama!

Paus Fransiskus: Tidak Ada Keluarga yang Sempurna!


Tidak ada keluarga yang sem-purna. Kita tidak
punya orang tua yang sempurna, kita tidak sempurna,
tidak menikah dengan orang yang sempurna, kita juga
tidak memiliki anak yang sempurna. Kita memiliki
keluhan tentang satu sama lain. Kita kecewa dengan satu
sama lain. Oleh karena itu, tidak ada pernikahan yang
sehat atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan.
Pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional Gambar 1.3 Paus Fransiskus dan seorang anak pada hari keluarga di
kita dan kelangsungan hidup spiritual kita. Vatican.

Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater


konflik dan benteng keluhan. Tanpa pengampunan, keluarga menjadi sakit. Pengampunan adalah
sterilisasi jiwa, penjernihan pikiran, dan pembebasan hati. Siapa pun yang tidak memaafkan
tidak memiliki ketenangan jiwa dan persekutuan dengan Allah. Rasa sakit adalah racun yang
meracuni dan membunuh. Mempertahankan luka hati adalah tindakan merusak diri sendiri. Ini
adalah autofagi. Dia yang tidak memaafkan memuakkan fisik, emosional dan spiritual. Itulah
sebabnya keluarga harus menjadi tempat kehidupan dan bukan tempat kematian; sebuah tempat
penyembuhan, bukan tempat penuh dengan penyakit; sebuah panggung pengampunan dan bukan
panggung rasa bersalah. Pengampunan membawa sukacita, sedangkan kesedihan membuat hati
luka. Dan pengampunan membawa penyembuhan, sedangkan rasa sakit menyebabkan penyakit.
Sumber: Vatican va/komkat-kivi.org

2 Mari Menanya

Buatlah kelompok beranggotakan 3-4 siswa! Diskusikanlah beberapa pertanyaan berikut ini!
Kalian juga dapat saling mengajukan pertanyaan dan pendapat tentang hal-hal yang ingin kalian
ketahui berkaitan dengan artikel di atas!
a. Apa saja tantangan dalam kehidupan berkeluarga saat ini menurut cerita tersebut?
b. Bagaimana upaya menghadapi tantangan kehidupan keluarga menurut Paus Fransiskus?
c. Selain tantangan-tantangan yang dikemukan oleh Paus Fransiskus, tantangan-tantangan
apa lagi dalam kehidupan keluarga Katolik saat ini dan bagaimana cara mengatasinya?

3 Mari Mencari Informasi

Mari mengumpulkan informasi tentang tantangan dan peluang untuk mewujudkan keluarga
yang dicita-citakan dengan membaca uraian berikut!
Tindak lanjut dari perkawinan/pernikahan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang siap
menjalani bahtera hidup berumah tangga atau keluarga. Dieh karena itu, pembahasan berikut
berkisar pada keberadaan keluarga cengan segala kekhasannya, dengan segala tugas dan
tanggung jawabnya, dan dengan segala tuntutan yang harus dipenuhi agar menjadi sebuah
eluarga yang harmonis, sehat dan sejahtera. Termasuk di dalamnya adalah keberadaan anak-anak
sebagai buah cinta dari suami istri yang melanjutkan hidupnya dalam sebuah keluarga.
Dalam bahasan berikut kalian diajak untuk memahami seluk-beluk dan problematika hidup
berkeluarga, dengan harapan, sebagai bagian dari sebuah keluarga, kalian mampu memahami
dinamika hidup berkeluarga, kemudian mampu menempatkan diri, serta memiliki gambaran akan
sebuah keluarga yang dicita-citakan bersama.
a. Hak dan kewajiban suami istri dan orang tua
Suami dan istri memiliki kewajiban dan hak yang sama mengenai hal- hal yang menyangkut
persekutuan hidup pernikahan (lih. Kan. 1135). Sebagai orang tua, mereka berkewajiban berat,
dengan sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun
religius (lih. Kan. 1136).

Hak-hak dasar dalam sebuah keluarga antara lain sebagai berikut.


1) Keluarga merupakan sel dasar masyarakat dan menjadi prasyara: adanya masyarakat.
Oleh karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi keberadaannya oleh
masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan
memajukan kesejahteraannya tanpa harus dihalangi oleh negara. Dalam hal-hal
tertentu, keluarga memiliki hak pribadi.
2) Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga. Artinya, ada
hak bagi setiap orang, betapa pun miskinnya, untuk membantu keluarga serta memiliki
upaya-upaya yang memadai untuk menggunakannya.
3) Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan
penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak.
4) Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi-tradisi
keluarga sendiri, dengan nilai-nilai religius dan budayanya, dengan perlengkapan
upaya-upaya serta lembaga-lembaga yang dibutuhkannya.
5) Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan
fisik, sosial, politik, dan ekonomi.
6) Di samping itu, orang tua juga harus memperhatikan dan menghormati martabat dan
hak-hak anak. Sebenarnya sudah dengan sendirinya martabat pribadi manusia
dikenakan pada anak yang adalah manusia, namun dalam kenyataannya sering kali
martabat anak kurang diperhatikan. Misalnya sikap orang tua yang memperalat anak
untuk tujuan, impian, dan obsesinya sendiri, contohnya dengan memaksakan anak
untuk berprestasi demi gengsi orang tua sehingga anak merasa tertekan.
b. Komunikasi dalam keluarga
Komunikasi merupakan faktor penting bagi kebahagiaan hidup berkeluarga. Cinta kasih
yang menyatukan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri yang saling mengasihi sangat
dipengaruhi oleh kualitas komunikasi antarpasangan yang bersangkutan. Ingat, Yesus
mengajarkan kepada kita agar mengasihi dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal
budi dan segenap tenaga atau kekuatan! Dengan kata lain, komunikasi antara suami istri
yang saling mengasihi harus melibatkan hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan sepenuhnya atau
seutuhnya. Empat unsur tersebut, yaitu hati, jiwa, akal budi, dan tubuh/ tenaga, tidak dapat
dipisah-pisahkan dan hanya dapat dibedakan dalam rangka saling mengasihi. Jika orang
memisah-misahkan unsur tersebut atau tidak menghayati sepenuhnya, itu berarti yang
bersangkutan tidak dapat mengasihi. Tidak sepenuh hati berarti sakit hati, tidak sepenuh
jiwa berarti sakit jiwa, tidak sepenuh akal budi berarti "bodoh", dan tidak sepenuh
tenaga/tubuh berarti "sakit" atau lemas.
Kata "komunikasi" berasal dari kata bahasa Latin “communicare"yang antara lain berarti
membagi sesuatu dengan seseorang, memberikan sebagian kepada seseorang,
bertukaran/tukar-menukar, memiliki bersama, mempunyai sesuatu yang sama dengan
seseorang, ikut mempunyai bagian dalam sesuatu dengan seseorang. Dari berbagai arti di
atas, kiranya dapat kita pahami bahwa dalam berkomunikasi terjadi tindakan
saling memberi dan menerima; berkomunikasi dalam kasih berarti saling memberi dan
menerima isi hati, jiwa, akal budi, dan tubuh/tenaga.
Karena laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah sebagai yang sepadan (lihat Kej.
2: 20) dan dengan demikian laki-laki dapat berkata kepada perempuan (suami kepada istri):
"Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku"(Kej. 2: 23), maka laki-laki dan
perempuan, lebih-lebih yang menjadi suami istri, "berdiri sama tinggi, duduk sama
rendah", tidak ada yang di atas dan tidak ada yang di bawah. Begitulah hendaknya yang
terjadi dalam berkomunikasi atau dalam saling mengasihi antara suami istri.
Berkomunikasi berarti saling menyampaikan pikiran dan perasaan di antara anggota
keluarga. Komunikasi menjadi faktor penentu kebahagiaan dalam keluarga karena segala
keinginan, maksud, dan kehendak masing-masing anggota keluarga dapat saling diketahui
oleh anggota yang lain, dan dengan cinta yang ada masing-masing anggota
keluarga berusaha untuk memenuhi harapan, keinginan, dan kehendak yang lain.
Komunikasi semestinya diawali dengan menyadari bahwa masing-masing pribadi dalam
sebuah keluarga memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Ada kekhasan masing-
masing anggota yang perlu dipahami, disadari, dihargai, dan pada akhirnya diterima sebagai
kekayaan. Komunikasi yang dimaksud juga memahami segala yang khas
yang ada dalam diri anggota keluarga, baik itu antara suami dengan istri, maupun dengan
anak-anaknya. Adapun berbagai bentuk komunikasi yang dapat dibangun dalam keluarga
adalah sebagai berikut.
1) Diskusi
Jenis komunikasi yang pertama adalah segala bentuk omong-omong, mulai dari basa-
basi, saling memberi informasi, menceritakan apa saja yang dilihat dan dialami,
membicarakan urusan sehari-hari seperti pekerjaan, pendidikan anak, tetangga,
mengenai kebutuhan yang sudah dan belum terpenuhi, sampai dengan merencanakan
sesuatu maupun menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu,
semuanya perlu didiskusikan atau dirembug bersama. Antinya, antaranggota keluarga
hendaknya saling bertukar pikiran atau pendapat melalui diskusi tersebut. Perbedaan
pendapat dan pikiran adalah hal yang sangat wajar dalam sebuah relasi, apalagi
relasi keluarga. Akan tetapi, bila harus mempertahankan pendapatnya semestinya
karena memang berdasarkan atas asas kebenaran, dengan harapan ada kesediaan di
antara anggota keluarga untuk menghargai dan menghormati keputusan yang dirasa
paling baik dan paling benar.
2) Dialog
Bila diskusi lebih mengungkapkan pendapatnya berdasarkan apa yang ada di pikiran
atau kepala kita, dialog semestinya disadari sebagai komunikasi yang sifatnya dari hati
ke hati. Dalam sebuah dialog yang diutarakan adalah isi hati, yaitu berbagai perasaan
yang muncul dalam kehidupan bersama dalam keluarga. Berdialog berarti bertukar
perasaan dan isi hati. Oleh karena itu, atas dasar saling percaya dan saling menerima
masing-masing anggota ke- luarga saling mengungkapkan isi hati dan perasaannya
sendiri.
Dengan demikian, kita dapat saling memahami perasaan pihak lain (empati). Dalam
dialog, perasaan orang lain tidak boleh dan tidak perlu dibantah atau diragukan, yang
penting adalah diketahui, dipahami, dan berusaha ikut dirasakan. Dalam dialog, tidak
ada yang benar atau salah dan menang atau kalah, karena tujuan dialog bukan untuk
itu, melainkan untuk memungkinkan terjadinya saling pengertian, saling memahami,
dan saling menghangatkan relasi.
3) Bahasa tubuh
Bahasa tubuh yang dimaksud, di antaranya seperti sapaan, pandangan, senyuman,
sentuhan, belaian tangan, rangkulan, ciuman, dekapan, dan sebagainya. Bahasa tubuh
sangat penting untuk mengakrabkan dan memungkinkan terjadinya relasi yang mesra.
Bahasa tubuh bukan mengarah pada aktivitas seksual, melainkan dimungkinkan untuk
memberikan rasa aman dan nyaman, terlindung dan diperhatikan, dan menimbulkan
suasana semakin akrab.
4) Hubungan seks
Hubungan seks adalah bahasa komunikasi paling intim dan paling menyeluruh dalam
relasi suami istri. Hubungan seks adalah sebagai perwujudan bersatunya jiwa dan raga.
Bersatunya jiwa melalui hubungan seks adalah ungkapan cinta yang terdalam,
sementara bersatunya raga suami istri menjadi satu badan, berhubungan badan.
Semestinya seks bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan biologis semata-
mata, melainkan sebagai sebuah ungkapan bahasa komunikasi paling dalam, paling
intim, dan paling mesra. Hubungan seks sering menggambarkan kedekatan relasi. Bila
relasi sedemikian akrab dan ada cinta yang mendalam, hubungan seks akan terasa
indah dan menyenangkan. Sebaliknya, bila yang bersangkutan tidak ada perasaan cinta
maka hubungan seks akan terasa datar dan hambar. Hubungan seks dalam konteks ini
semestinya dipahami dan disadari sebagai sesuatu yang luhur dan suci karena sebagai
ungkapan terdalam dari saling mencintai, bukan sekadar sebagai pemuasan nafsu
belaka (bdk. Gusti Bagus Kusumawanta (2007) dalam Analisis Yuridis "Bonum
Coniugum" dalam Perkawinan Kanonik hal 23-54), Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusantara).
Cara berkomunikasi yang tepat agar terjadi saling pemahaman dan menerimaan dalam
keluarga adalah sebagai berikut.
1) Ada kesediaan mendengarkan
Seseorang yang bisa mendengar belum tentu bisa mendengarkan. Adanya telinga
memang dimungkinkan oleh Tuhan untuk mendengar, tetapi mendengarkan saat terjadi
komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati, serta segenap indra yang
diarahkan kepada si pembicara. Cara mendengarkan dengan baik harus senantiasa
dipelajari bila ingin benar-benar menjadi orang yang pandai berkomunikasi.
2) Ada keterbukaan
Seseorang yang senantiasa ingin tumbuh sesuai dengan perkembangan situasi dan
kondisi adalah seseorang yang bersedia terbuka untuk menerima masukan dari orang
lain, merenungkannya dengan serius, bersedia mengubah diri bila melalui perubahan
diri itu mampu membawa pada kemajuan pribadi. Masukan dari pihak lain hanya dapat
terjadi melalui komunikasi dengan orang lain. Kita sudah sering mengalami betapa
enak dan nyamannya berbicara dengan orang yang bersikap terbuka, terbuka untuk
menyatakan dirinya dengan jujur apa adanya, dan terbuka untuk menerima orang lain
sebagaimana adanya.
Keterbukaan tidak hanya menyangkut keyakinan dan pendirian mengenai suatu
gagasan. Keterbukaan dalam komunikasi untuk menuju pada suatu pertumbuhan dan
perkembangan pribadi, melibatkan perasaan, seperti kecemasan, harapan, kebanggaan,
bahkan kekecewaan.
3) Ada sikap saling percaya
Bersikap terbuka dan mau mendengarkan dalam hidup perkawinan maupun hidup
berkeluarga akan sulit terwujud bila tidak didasar-kan pada sikap saling memercayai.
Oleh karena itu, kepercayaan adalah salah satu sikap yang paling sulit dalam
komunikasi hidup perkawinan dan keluarga. Orang hanya bisa bersikap terbuka dan
mau mendengarkan bila seseorang tersebut memiliki rasa ke- percayaan kepada teman
hidupnya. Bila hal ini diabaikan atau bahkan tidak ada, pastilah ia tidak akan pernah
bisa terbuka, tidak akan pernah bisa mendengarkan, bahkan sikap tersebut dapat
berubah menjadi bumerang yang dapat mencelakakan dirinya. Ke- percayaan berarti
menyerahkan diri dan masa depan kita ke dalam tangan teman hidup kita.
Di sisi lain, tidak sedikit keluarga yang anggota-anggotanya kurang mampu untuk
menciptakan budaya komunikasi dalam keluarga itu sendiri, ada rintangan-rintangan yang
menghadang dalam menjalin relasi dan komunikasi di dalam keluarga
Bagaimanakah dengan pengalaman kita sebagai anak di dalam ke- luarga? Apakah
kebiasaan berkomunikasi sudah terbentuk dalam keluarga kita? Apakah komunikasi yang terjadi
masih dalam taraf basa-basi? Apakah komunikasi yang kita lakukan dalam keluarga sudah
sampai pada bentuk dialog, yakni mengungkapkan berbagai perasaan yang ada dalam diri kita?
Apakah kita juga sudah berusaha untuk memahami perasaan anggota keluarga yang lain?
Marilah kita berusaha untuk semakin meningkatkan kemampuan komunikasi kita, walaupun
tidak semudah yang kita bayangkan. Komunikasi tidak bisa hanya dibayangkan, tetapi harus
dilaksanakan dalam realitas hidup sehari-hari.
Namun demikian, harus kita sadari bahwa untuk sampai pada ko-munikasi yang terbuka,
saling percaya, dan didukung adanya kesediaan untuk saling mendengarkan ternyata bukanlah
hal yang mudah.
Sering terjadi berbagai rintangan dan hambatan dalam komunikasi di tengah keluarga.
Berikut ini diuraikan beberapa rintangan yang sering muncul dalam berkomunikasi.
1) Kepentingan diri sendiri
Setiap orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri dan berusaha untuk memikirkan
kepentingannya itu, tetapi bila kepentingan diri sendiri yang terlalu ditonjolkan, tidak
akan terjadi komunikasi yang baik, bahkan hanya berputar di sekitar kepentingan
sendiri itu.
2) Emosi yang berlebihan
Emosi yang tidak dikendalikan oleh pikiran sehat pada akhirnya bisa melesat jauh dari
sasaran. Hati yang dikuasai emosi sering mendorong orang untuk mengatakan dan
melakukan sesuatu yang pada akhirnya sering disesalinya.
3) Permusuhan
Bila sudah ada bibit-bibit permusuhan dalam hati, biasanya kita jadi sibuk mencari
kesalahan dan kelemahan dari orang lain, dan menutupi diri dengan kebaikan-
kebaikannya. Pihak lain yang jadi rivalnya berusaha mengatur siasat untuk membela
diri dan mencari kesempatan untuk menyerang kembali, dengan demikian akan
mempersulit terjadinya komunikasi.
4) Pengalaman masa lampau
Orang sering mengorek pengalaman masa lampau orang lain, dan dibawa-bawa dalam
berelasi saat ini. Oleh karena itu, sudah sering terjadi apriori terlebih dahulu.
Akibatnya, komunikasi juga menjadi sulit terwujud.
5) Pembelaan diri
Pembelaan diri dapat membuat komunikasi meleset karena komunikasi cenderung
ditafsirkan sebagai kecaman atau serangan maka reaksi yang muncul adalah penolakan
dan pembelaan diri.
6) Hubungan yang retak dan tidak serasi
Hubungan yang retak atau tidak serasi dapat menjadi rintangan dalam berkomunikasi
yang mengena dan terarah. Hal ini disebabkan karena perhatian lebih terarah pada sifat
hubungan itu daripada kepada komunikasinya sendiri.

c. Perkawinan campur
Di dalam sebuah perkawinan, suami istri bersama-sama berupaya mtuk mewujudkan
persekutuan hidup dan cinta kasih dalam semua aspek dan dimensinya; personal-
manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai
dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman,
mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami istri,
pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan penga-
ruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah, Gereja Katolik
menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam
arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik maupun
tidak baptis. Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu di-
indahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang mem-
bahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu
dilindungi dengan cinta dan bakti.
Namun demikian, Gereja juga menyadari akan kompleksitas dan plu-
ralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan
dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk
merangkul dan bekerja sama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta ke-
sadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai
pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan campur.
1) Pengertian kawin campur
Ada dua jenis kawin campur, yaitu perkawinan campur beda Gereja dan
perkawinan campur beda agama.
a) Perkawinan campur beda Gereja, yaitu seorang yang dibaptis Katolik
menikah dengan seorang yang dibaptis non-Katolik, perkawinan ini
membutuhkan izin.
b) Perkawinan campur beda agama, yaitu seorang yang dibaptis Katolik
menikah dengan seorang yang tidak dibaptis; untuk sahnya perkawinan ini
dibutuhkan dispensasi.
Perkawinan campur dapat diartikan sebagai perkawinan antara seorang yang
dibaptis Katolik dan pasangan yang bukan Katolik (bisa baptis dalam gereja
lain, maupun tidak dibaptis). Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan
campur karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk
memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya. Keyakinan
Gereja tentang perkawinan sebagai sakramen dan dimungkinkannya
perkawinan campur tidak boleh diartikan bahwa Gereja membedakan dua
perkawinan, seakan-akan ada perkawinan kelas 1 dan kelas 2. Perkawinan yang
sudah diteguhkan secara sah dan dimohonkan berkat dari Tuhan, apa pun
jenisnya, semuanya berkenan di hadapan Tuhan. Semuanya dipanggil untuk
memberi kesaksian akan kasih Kristus kepada manusia.
2) Latar belakang terjadinya kawin campur
Beberapa penyebab terjadinya perkawinan campur antara lain sebagai berikut.
a) Jumlah umat yang terbatas pada suatu tempat membuat muda-mudi Katolik
sulit bertemu dengan teman seiman. Pertemua terus-menerus dengan muda-
mudi yang berbeda iman pasti bisa menimbulkan rasa suka satu sama lain.
Jika sudah saling jatuh cinta, jalan menuju ke perkawinan terbuka lebar.
b) Perkembangan usia terutama untuk wanita, dalam arti jika usia sudah
beranjak tua, simpati dan lamaran dari mana saja akan lebih gampang
diterima. Tentunya tanpa mempertimbangkan dengan jelas latar belakang
imannya.
c) Seseorang yang mempunyai karakter, status sosial, dan jaminan sosial
ekonomi yang baik akan lebih gampang diterima, dan pertimbangan dari
segi iman tidak lagi dominan.
d) Pergaulan sudah sampai pada situasi yang terlalu jauh, seperti sudah
terlanjur hamil dahulu; maka, mau tidak mau harus berlanjut ke jenjang
perkawinan, walau iman berbeda.
e) Latar belakang tersebut merupakan kondisi yang membuat orang Katolik
tidak mampu lagi memegang prinsip berdasarkan pemahaman dan
penghayatan tentang hakikat pernikahan Katolik. Jadi, latar belakang
tersebut bukanlah suatu alasan yang membenarkan tindakan kawin campur.
3) Persyaratan dispensasi
Dispensasi dapat diberikan jika syarat-syarat berikut ini dipenuhi.
a) Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan
iman serta memberikan janji dengan jujur, bahwa ia akan berbuat segala
sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dididik dalam Gereja
Katolik (Kan. 1125 § 1).
b) Pihak non-Katolik diberitahu pada waktunya mengenai janji-janji yang
harus dibuat pihak Katolik, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sadar akan
janji dan kewajiban pihak Katolik (Kan.1125 § 2).
c) Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta
sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang
pun dari keduanya (Kan. 1125 § 3).
d) Janji ini acap kali menjadi salah satu permasalahan. Oleh karena itu,
sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu sehingga bisa diantisipasi.
d. Program Keluarga Berencana (KB)
Program KB pada awalnya diarahkan untuk membatasi jumlah keturunan. Hal ini
didasarkan pada alasan ekonomi dan sosial. Seakan-akan ada asumsi, bahwa
meledaknya jumlah penduduk akan memengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial.
Dengan mengendalikan jumlah keturunan, maka kesejahteraan hidup keluarga akan
meningkat. Implikasi dari program tersebut akan berkaitan erat dengan aktivitas
seksual suami istri. Untuk memahami program ini, berikut akan kita bahas tentang
metode KB, baik alamiah maupun buatan, serta anjuran Gereja dalam kaitannya
dengan moralitas seksual.
a) Metode alamiah
Gereja menganjurkan pengaturan kelahiran yang alamiah, jika pasangan suami
istri memiliki alasan yang kuat untuk membatasi kelahiran anak. Pengaturan KB
secara alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak
melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan
pengajaran Alkitab, yaitu "Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan
persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan
untuk berdoa" (IKor. 7: 5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam
kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat
tidur (lih. Ibr. 13: 4).
Dengan menerapkan KB alamiah, pasangan diharapkan dapat lebih saling
mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi
dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi.
Suami jadi lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri. Latihan
penguasaan diri ini dapat pula menghasilkan kebajikan lain seperti kesabaran,
kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijak- sanaan, dll.; yang semuanya baik
untuk kekudusan suami istri. Istri pun dapat merasa dikasihi dengan tulus, dan
bukan hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Teladan kebajikan suami istri ini
nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga mereka pun bertumbuh
menjadi pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan.
Perkawinan Katolik mengandung makna yang sangat indah dan dalam, karena
melaluinya Tuhan mengikutsertakan manusia untuk mengalami mistri kasih-Nya
dan turut mewujudkan karya-Nya dalam penciptaan kehidupan baru, yaitu janin
yang memiliki jiwa yang kekal. Perkawinan merupakan sakramen karena menjadi
gambaran persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Hanya dengan menyadari
kedalaman arti perkawinan ini, yaitu untuk maksud persatuan (union) suami istri
dengan pemberian diri mereka secara total, dan turut sertanya mereka dalam karya
penciptaan Tuhan (pro-creation), kita dapat lebih memahami pengajaran Gereja
Katolik yang menolak aborsi, kontrasepsi dan sterilisasi. Semua praktik tersebut
merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan dan martabat manusia,
baik pasangan suami istri maupun janin keturunan mereka. Aborsi dan
penggunaan alat-alat kontrasepsi merendahkan nilai luhur seksualitas manusia,
dengan melihat wanita dan janin sebagai hanya seolah-olah 'tubuh' tanpa jiwa.
Penggunaan alat kontrasepsi menghalangi persatuan suami istri secara penuh dan
peranan mereka dalam karya penciptaan Tuhan, sehingga kesucian persatuan
perkawinan menjadi taruhannya.
Betapa besar perbedaan cara pandang yang seperti ini dengan rencana awal
Tuhan yang menciptakan manusia menurut gambaran-Nya, yaitu manusia pria
dan wanita sebagai makhluk spiritual yang mampu memberikan diri secara total,
satu dengan lainnya, yang dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan dan
pengaturan dunia. (Ingrid Listiati/ http://katolisitas.org/313/ humanae-vitae-itu-
benar).
b) Metode buatan
Yang dimaksud dengan metode KB buatan adalah suatu usaha mengendalikan
atau menekan keturunan dengan cara kontra-sepsi dan hormonal. Kontrasepsi
adalah pencegahan terjadinya pembuahan (konsepsi), yaitu bertemunya sel telur
dengan sel sperma. Pencegahan ini dilakukan dengan suatu alat, misalnya
kondom, spiral, obat kimiawi (foam, pasta vaginal tablet, tissue), dan lain-lain.
Adapun yang dimaksud hormonal adalah suatu cara memengaruhi proses alamiah
dengan pil KB, suntik, atau susuk (implant). Dengan cara itu hormon wanita
(kesuburan) dapat dikendalikan.
c) Anjuran Gereja tentang KB
Pada prinsipnya, Gereja mendukung program KB ini, dengan memberi makna KB
sebagai keluarga yang bertanggung jawab dalam mencapai kesejahteraan. Gereja
Katolik menyadari bahwa program KB ini diarahkan demi terciptanya
kesejahteraan
keluarga. Beberapa pertimbangan sehingga Gereja mendukung program KB
adalah sebagai berikut.
(1) KB memungkinkan terjadinya kesejahteraan keluarga, sehingga juga
memungkinkan terjadinya kesejahteraan masyarakat. Melalui KB, kesehatan
ibu dan anak menjadi semakin terjamin, baik fisik maupun psikis.
(2) Program KB memungkinkan terjadinya relasi dan komuni-kasi yang lebih
kaya dan mendalam karena suami istri tidak hanya disibukkan dengan
kegiatan mengurus dan memikirkan pendidikan maupun kebutuhan anak.
(3) Dengan KB, taraf hidup menjadi lebih baik dan sejahtera karena pemenuhan
kebutuhan terjangkau mengingat jumlah anak yang ditanggung juga
berkurang.
(4) Dengan KB, pendidikan anak menjadi lebih terjamin, terpenuhi secara
memadai karena dapat terjangkau mengingat jumlah yang ditanggung juga
terbatas.
Tentang metode KB, magistrium Gereja mengajarkan bahwa yang boleh digunakan
hanyalah metode yang tidak mengganggu proses alamiah. Dengan demikian, Gereja
menolak segala bentuk metode buatan, baik yang bersifat kontraseptif (pencegahan
pembuahan), abortif (menggugurkan sesaat sesudah pembuahan), maupun stimulasi
hormonal. Artinya, Gereja hanya mengizinkan metode yang "alamiah", yaitu tidak
melakukan sanggama pada saat-saat ada kemungkinan tejadi pembuahan (masa
subur). Anjuran Gereja semacam ini sering disebut "Metode Pantang Berkala".
Argumentasi yang mendasari anjuran Gereja semacam ini adalah sebagai berikut.
(1) Karena abortus provocatus itu dilarang, maka semua metode abortif sangat tidak
sesuai dengan moralitas kristiani.
(2) Metode-metode lain yang mencampuri sanggama atau mengganggu fungsi tubuh
manusia bertentangan dengan kodrat manusia ciptaan Allah.
(3) Tidak ada kewajiban bagi sepasang suami istri untuk harus bersanggama.
Beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian yang digariskan oleh Gereja Katolik
dalam hal metode KB adalah sebagai berikut.
(1) Tidak merendahkan martabat istri atau suami; misalnya tidak boleh dengan
paksaan.
(2) Tidak berlawanan dengan hidup manusia. Jadi, metode-metode yang bersifat
aborsi jelas ditolak.
(3) Dapat dipertanggungjawabkan secara medis, tidak membawa efek samping yang
menyebabkan kesehatan atau nyawa ibu berada dalam bahaya.
Untuk menjalankan anjuran Gereja dalam hal KB, suami istri harus mendasarkan
pada suara hati dan perlu memperhatikan beberapa catatan di atas. Kecuali itu,
kebijakan dalam hal KB jangan pernah mengambil yang tidak disepakati bersama
oleh kedua belah pihak suami istri! Dalam hal keintiman yang menyentuh seluruh
kehidupan, kesepakatan suami istri betul-betul perlu dan mengalahkan pertimbangan
lain. Anjuran Gereja dalam hal KB semacam itu terkait erat dengan aktivitas seksual
suami istri yang perlu dimaknai secara bertanggung jawab.
Secara moral, hubungan seks antara suami istri memiliki fungsi sebagai berikut.
(1) Pro creation
Dari kodratnya hubungan seks diarahkan untuk memperoleh keturunan.
Sebuah fungsi yang mulia, bahwa dengan seksnya manusia dipanggil
menjadi rekan kerja Allah dalam karya ciptaan baru.
(2) Union
Sebagai ungkapan cinta yang eksklusif bagi pasangan suami istri yang
diarahkan demi keutuhan dan kedalaman cinta satu sama lain.
d) Alasan KB sangat penting
Beberapa alasan sehingga KB dirasa sangat penting adalah se-bagai berikut.
(1) Mutu kehidupan ditingkatkan
Alasan pertama KB harus dipromosikan ialah kesejahteraan keluarga sebagai
sel yang paling kecil dari masyarakat. Dengan KB, "mutu kehidupan" dapat
diselamatkan dan ditingkatkan.
(2) Kesehatan ibu bisa agak dijamin
Kesehatan di sini dimengerti secara fisik maupun psikis. Setiap persalinan dan
kehamilan memerlukan tenaga ibu. Kehamilan dan persalinan yang terus-
menerus dapat menguras daya jasmani rohani ibu, khususnya jika gizi ibu
kurang diperhatikan.
(3) Relasi suami istri bisa semakin baik
Kalau kehamilan dan kelahiran terjadi secara terus-menerus, tugas utama
suami istri seolah-olah hanya terpaut pada urusan pengadaan dan pendidikan
anak. Waktu untuk membangun keintiman dan kasih sayang di antara
keduanya menjadi sangat terbatas

Anda mungkin juga menyukai