Anda di halaman 1dari 2

Nama : Paulus Gigih Setiawan

Jurusan : S2 Teologi STTBM

Membuat eksposisi dari Ayub 28 - 29


Nas : Ayub 28
Syair Ayub tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, Ayub melukiskan
bahwa manusia itu berharga di hadapan Allah sebab Allah mengaruniakan kepintaran
mencari lokasi sumber alam seperti: emas, perak, besi, dan tembaga (ayat 1-11).
Bahkan Ayub memperlihatkan kepiawaian manusia yang jauh melampaui kehebatan
burung dan binatang terkuat sekalipun. Ayub menegaskan bahwa keahlian manusia
nyata dan patut dihormati karena manusia memiliki hikmat. Akan tetapi, tidak seperti
sumber alam yang diketahui tempatnya, manusia tidak dapat menemukan lokasi
hikmat (ayat 12-13; 20-21). Itulah sebabnya, Ayub bertanya: "Di mana hikmat dapat
diperoleh, di mana tempat akal budi?" (ayat 12). Jelaslah bahwa cara memperoleh
hikmat berbeda dengan upaya menggali kepintaran. Allah memberikan kepintaran
kepada manusia untuk dipergunakan mencukupi diri sendiri dan mengolah alam.
Namun, hikmat tidak bisa didapatkan melalui berbagai keahlian tersebut. Hikmat
tidak dapat dibeli atau diperoleh di sembarang tempat. Bagian kedua, Ayub
mengungkapkan bahwa dirinya memperoleh hikmat yang dicari-cari itu. Bagi Ayub,
hikmat diperolehnya justru melalui penderitaan yang dialaminya. Mengapa? Ayub
meyakini hikmat hanya diberikan Allah melalui perkenan-Nya (ayat 25-28).

Ayub 28:28 tetapi kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan Tuhan,
itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi

Takut akan dan hormat terhadap Allah merupakan landasan hubungan seorang
percaya dengan Allah (Mazm 61:6; Ams 1:7).

1) Takut akan Allah membuat kita prihatin dan waspada supaya tidak menyakiti hati
Allah yang kudus. Tanpa landasan ini, tidak ada hikmat yang sejati dan tidak ada
pengalaman penebusan yang akan bertahan terhadap ujian waktu dan pencobaan.
2) Takut akan Allah dan hikmat alkitabiah sejati menyebabkan kita menjauhi
kejahatan dan menghasilkan dorongan dari Roh Kudus
3) Takut akan Allah dan terus berbuat dosa adalah suatu kemustahilan moral. Orang
yang mengakui keagungan Allah dan menyadari bahwa Ia menentang kejahatan akan
diketahui dengan usahanya yang gigih, tegas, dan terus terang untuk memisahkan diri
dari dosa (Mazm 4:5; Ams 3:7; Ams 8:13; 16:6; Yes 1:16) dan mengikuti firman
Allah (Mazm 112:1; Mazm 119:63; Ams 14:2,16; 2Kor 7:1; Ef 5:21; 1Pet 1:17;

Di zaman berteknologi mutakhir ini, kita bisa menjumpai banyak orang yang
memiliki kepintaran. Namun, mereka belum tentu berhikmat. Perlu kita bedakan dua
jenis hikmat yaitu hikmat yang bersumber dari dunia dan hikmat sejati yang berasal
dari Allah. Anda ingin menemukan hikmat sejati? Anda harus bertemu dengan Allah.
Ia datang menjumpai kita dengan kasih-Nya melalui Yesus Kristus. Memperoleh
hikmat sejati dimulai dengan bertemu Yesus sebagai jalan masuk menuju hikmat
sejati. Kehadiran-Nya dalam hati akan menerangi hidup Anda.
Nas Ayub 29
Dalam ps. 29, Ayub meratapi kehilangan statusnya yang mula-mula ketika ia hidup
seperti "seorang raja di antara rakyatnya" (ayat 25).

Pertama-tama, Ayub berusaha menarik simpati Allah dengan melontarkan ucapan-


ucapan tentang bagaimana Allah telah menjadi sahabatnya yang memelihara dan
memberinya berkat Ilahi yang berkelimpahan (disimbolkan dengan "terang" dalam
ayat 3). Kebahagiaannya sempurna dengan keluarga dan kekayaan yang melimpah.
Lebih dari itu, Ayub adalah orang yang bergaul akrab dengan Allah. Selain
kemakmuran, Ayub juga memiliki kehormatan (ayat 7-11). Ayub kaya baik secara
materiil maupun secara sosial. Ia memiliki status tinggi bangsawan.

Ayub dihormati bukan hanya karena rakyat takut, tetapi karena kebijakan-
kebijakannya yang dikagumi (ayat 11-17). Ayub menampilkan ciri penguasa yang
benar, yang membela kaum tertindas dan tak berdaya. Ini adalah gambaran pemimpin
yang ideal.

Kembali Ayub berbicara tentang kemakmuran (ayat 18-20). Ia berharap dengan


modal kehidupannya yang begitu bersih, ia akan kembali mendapatkan kemuliaannya.
"Bersama dengan sarangku … binasa" mungkin menunjukkan "kematian yang baik",
kematian yang dikelilingi oleh keluarga tercinta. Ia juga berharap menjadi seperti
burung feniks, yang zaman itu dianggap mampu memperbaharui hidupnya setelah
mengalami kematian.

Menutup pasal ini, Ayub kembali berbicara tentang kehormatan (ayat 21-25). Ayub
memiliki hikmat dan kata-katanya bagaikan kesegaran yang menyirami tanah kering-
kerontang. Ayub juga menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin kala ia tersenyum
kepada orang-orang yang tidak mau mempercayai kata-katanya. Mereka hanya mau
menerima berkat dari Ayub.

Anda mungkin juga menyukai