Anda di halaman 1dari 27

Metode Lingkaran Pastoral & Empiris

DR. John C. Simon


HERMENEUTICS/PASTORAL CIRCLE
• The pastoral circle methodology popularized
by Joe Holland and Peter Henriot, SJ, as
described in the revised and expanded edition
of Social Analysis: Linking Faith and Justice
published in 1983 (p. 58).
• Term circle was inspired by the “circle of
praxis” as developed by Paulo Freire and the
“hermeneutic circle” as elaborated by Juan
Luis Segundo (p. xxi).
• The term pastoral circle is widely
used in formation programs for social
ministry (justice and peace, social
teaching of the church), spiritual
renewal, pastoral ministry, biblical
study, missio and ecology (p. xxi).
• The term pastoral circle is widely
used in the United State, Canada,
and Africa.
Lingkaran Hermeneutik / Pastoral
(bdk. Holland & Henriot 1983) * Pastoral Circle Revisited
Analisis Personal / Pertobatan

1. Observasi / pengamatan 2. Interpretasi / analisis

Analisis Personal / Pertobatan PENGALAMAN / Analisis Personal / Pertobatan


PRAKSIS

4. Aksi / tindakan pastoral 3. Refleksi / evaluasi teologis

Revisi: PCR: Analisis Personal / Pertobatan


LINGKARAN HERMENEUTIK (PASTORAL):
• Observasi / pengamatan →
Relasi jemaat dengan masyarakat yang berbeda iman →
pertanyaan teologis: “teologi agama-agama apa yang dibangun
oleh jemaat dalam konteks relasi dengan masyarakat berbeda?
Apa dampak dari teologi tersebut? Bagaimana teologi tersebut
dapat muncul dalam jemaat?”
• Interpretasi / analisis →
Analisis social lintas sosial → sejarah, persoalan sosial, budaya,
ekonomi, politik (pendekatan bersifat grounded theory).
• Refleksi / evaluasi teologis →
Evaluasi eklesiologis mengenai persekutuan jemaat dan
relasinya dengan agama-agama lain.
• Perencanaan pastoral →
Pendekatan yang kontekstual untuk pembenahan program
pelayanan pada masyarakat dan agama-agama lain.
LINGKARAN EMPIRIS
• Lingkaran empiris memberikan perhatian
lebih detil pada penyusunan alat penelitian
dan prosedural analisis yang akan dilakukan.
• Metode kuantitatif tetap mulai dari
pendekatan induktif (pengamatan & refleksi
teologis) dan pendekatan deduktif baru
terlihat ketika tahap operasionalisasi teori
dimulai.
Sumber
LINGKARAN EMPIRIS (Johannes van der Ven 1993):

2. Induksi teologis

1. Observasi awal 3. Deduksi teologis &


4. Analisis empiris
PENGALAMAN /
PRAKSIS

6. Tindakan strategis/ pastoral 5. Refleksi/evaluasi teologis


LINGKARAN EMPIRIS (van der Ven 1993: 112-8)

• (1) Pengamatan dan pembangunan persoalan


teologis → Research aim, problem definition,
theological question: perumusan masalah & tujuan
teologis (Relasi gereja dengan kelompok agama yang
berbeda: bagaimana klaim kebenaran gereja?).
• (2) Induksi teologis (memahami & merumuskan
‘masalah’ dengan kerangka teoritis) → Perception,
Reflection, Scientific relevance: descriptive, explorative,
hypoth. test, research design.
(Teologi agama-agama Paul F. Knitter → sikap apa
yang dipahami dalam konteks relasi dengan agama-
agama yang berbeda? Apakah faktor latar belakang yang
memberi pengaruh?
Hipotesis: sikap yang semakin tertutup memberi
pengaruh negatif pada kesediaan gereja untuk
membangun relasi).
PENGGANTIAN

PEMENUHAN

MUTUALITAS

PENERIMAAN
• (3) Deduksi teologis (konseptualisasi teori →
operasionalisasi teori) → observable,
measurable, testable actions
conceptual model (logic, consistent, sufficient
information, economical + operationalization).
• (4) Analisis empiris (pendekatan kualitatif /
kuantitatif).
• (5) Normatif / evaluasi teologis (evaluasi
eklesiologis atas sikap gereja pada orang-orang
beragama berbeda).
• (6) Pragmatis: Perencanaan / strategi / tindakan
(membangun kehidupan dan kepemimpinan
jemaat di tengah masyarakat & agama lain).
Sumber

• Johannes Van der Ven, Practical


Theology: An Empirical Approach,
(Kampen: Pharos, 1993).
Penjelasan Tambahan 1
• Tahap 2: teori teologi agama-agama
Knitter:
• (1) model penggantian,
• (2) model pemenuhan,
• (3) model kesamaan,
• (4) model penerimaan.
Penjelasan Tambahan 2
• Tahap 3: → metode kuantitatif-
operasionalisasi teori melalui
penyusunan kuesioner: perumusan
variabel pengukuran, perumusan
indikator dan penulisan alat penelitian.
• Menyusun sistem numerik (SL) sebagai
alat bantu untuk proses analisis statistik.
Penjelasan Tambahan 3
• Sistem numerik yang biasa digunakan
dalam metode kuantitatif dan relevan
dengan penelitian teologis adalah
pengukuran sikap, khususnya sikap
religius. Alatnya disebut Skala Likert:
di mana ketidaksetujuan dan persetujuan
diukur dengan angka 1-5 (continuum
scale).
Penjelasan Tambahan 4
• Skala Likert: di mana ketidaksetujuan dan
persetujuan diukur dengan angka 1-5 (continuum
scale).
• 1 = sama sekali tidak setuju / sangat tdk penting
• 2 = tidak setuju / tidak penting
• 3 = ragu-ragu / tidak tahu
• 4 = setuju / penting
• 5 = setuju sepenuhnya / sangat penting
Metode Penelitian Sosial
• Sistem numerik dengan metode analisis
statistik dalam penelitian sosial:
• (1) Deskripsi statistik. Melihat
jumlah atau persentase berdasar variabel
usia, jender, tingkat pendidikan yang
menjawab pertanyaan: “Apakah Anda
percaya bahwa Yesus adalah Tuhan?”.
• (2) Analisis faktor. Mencari saling
terkaitnya setiap pernyataan
sehingga membentuk faktor;
menguji konstruksi teoritisnya sendiri
(=deduktif) sejauh mana berkorelasi
dengan responden dan pengalaman
hidupnya (=induktif). Misalnya teori
teologi agama-agama Knitter.
• (3) Analisis korelasi. Upaya
statistik melihat satu variabel
(konsep/sikap teologis tertentu)
berkorelasi dengan variabel lain
(konsep/sikap yang lain). Di sini
bisa dua kemungkinan: positif
disetujui dan negatif tidak
disetujui.
• (4) Analisis regresi. Analisis
untuk membuktikan hipotesis.
Misalnya: membuktikan hipotesis
bahwa gambaran Yesus tertentu
adalah variabel bagi
terbangunnya sikap eksklusif di
tengah masyarakat plural.
Sumber

• Handi Hadiwitanto, “Metode


Kuantitatif dalam Teologi Praktis,”
Gema Teologika 2, No. 1, (April
2017): 1-22.
Pentingnya Imajinasi
• Apa itu imajinasi? Imajinasi adalah dimensi
subjek yang menjawab teks/orang sebagai
yang menciptakan “sesuatu”.
• Apa itu “sesuatu”? Sesuatu yang dimaksud
adalah bahwa melalui imajinasi suatu
teks/orang menyuguhkan kemungkinan-
kemungkinan baru untuk "tanggung jawab
diri" (self-responsibility) (Ricoeur, 1991:38).
• Bagi Ricoeur: "without imagination there is
no action“ (Ricoeur, 1991:177).
• Imajinasi juga bukanlah khayalan dalam
konotasi absennya realitas (kenyataan),
apalagi delusi atau halusinasi. Inilah
imajinasi yang bersifat imajinal dan
berbeda dengan yang bersifat imajiner
(khayalan nir-realitas).
• Imajinasi yang imajinal bisa terbentuk oleh
pengalaman sehari-hari, dengan meng-
entry ke dalamnya masukan-masukan dari
pengalaman (Kompas, 15 Sept. 2018:6).

Anda mungkin juga menyukai