Anda di halaman 1dari 40

FIKSI

“HANYA KATA”
Tiada akan pernah bisa kita menciptakan suatu kata pasti kalau kita tidak
mau mencoba dan mencobanya lagi karena kata pasti itu lahir dari semua
percobaan dan kata tidak kenal menyerah yang terus kita coba.
Dan percayalah tuhan yang maha kuasa akan membukakan jalan untuk kita bisa
meraihnya....

Semuanya lahir karena ada suatu yang membuat kita seperti ini...
Semua tercipta karena kita tidak bisa mengapainya...
Semua asa yang tidak pernah terwujud dan
Semua kisah hidup yang kita lalui

Ada masa untuk tertawa


Ada waktu untuk terdiam

Ada masa untuk maju


Ada waktu untuk berhenti

Karena semuanya akan kembali kita ceritakan

Percayalah

Kita tak tahu dia akan berakhir dimana


Kita tak bisa menebak dia akan seperti apa
Kita tak mungkin bisa meraih angan tanpa ada usaha dan
Kita tak akan mendapatkan apa-apa

Semuanya berpulang kepada kita


(binggungkan.....!)

Daftar isi
1. Chasya ........................................................page 1
2. Merajut Asa.....................................................page 11
3. 31 Desember....................................................page 20
4. Chasya II - Masa Itu Telah Datang...............................page 26
5. Romansa di Raja Ampat...........................................page 32
6. Guruku..........................................................page 37

1
CHASYA...!

Beginilah kehidupan, kadang kita nggak tau harus berbuat apa, dimana kita dan
sama siapa kita berdiri. Semuanya datang dan pergi secara tiba-tiba. Kita tidak bisa
mereka-reka dia akan berjalan seperti apa dan bagaimana akhirnya. Tapi kita hanya
bisa berusaha untuk mewujudkannya dan akan selalu seperti itu, dan akhirnya itu
hanyalah rahasia Ilahi karena hanya Dialah yang memutuskan akan berakhir dimana
dan seperti apa.
Hari ini kembali aku mencoba untuk merajuk sebuah asa yang aku sendiri tidak
pernah tau kenapa harus dimulai dari sini dan akupun tidak akan pernah tau dia akan
berakhir dimana serta kenapa bisa seperti itu.
Well, namaku Adi, Aku adalah mahasiswa semester VII pada fakultas ekonomi di
salah satu perguruan tinggi swasta di kota ini, kota yang selalu memberi aku secercah
harapan untuk dapat menjadi diri sendiri, jauh dari keluarga dan juga jauh dari cinta.
Aku hanya tau kesibukan ku sekarang hanya untuk menuntut ilmu di bangku perkuliahan
bukan yang lain, dan itu semua hanya untuk masa depanku, demi aku bukan yang lain.
Begitulah orang tuaku selalu berujar sewaktu aku pulang kampung. Yach mahasiswa
yang akan segera menyelesaikan studinya dan setelah itu akan kembali berpikir hendak
dibawa kemana nanti. Semuanya masih gelap dan aku tidak tau.
Sekarang aku seolah tersadar dibalik kata-kata mereka akupun telah beranjak
dewasa dan mungkin di kampungku orang yang sebaya denganku telah memiliki anak dan
bekerja sedangkan aku! Kembali aku merasa asing sewaktu aku sadar akan itu semua,
aku merasa juga butuh rasa cinta dan kasih sayang dari lain jenis, rasa yang mungkin
telah lama aku biarkan terkubur jauh dalam lekuk hati terdalam, dan sekarang
menyeruak naik pengen diperhatikan. Tapi... aku kadang kala juga merasa telah
terlambat untuk itu. Oh... kenapa aku jadi begini? Kenapa rasa ini baru aku perhatikan
sekarang....! Emang aku butuh cinta dan kasih sayang karena aku bukanlah orang yang
munafik, yang akan tetap berujar aku tidak butuh akan hal itu saat ini. Aku pengen
berada di dalamnya, tetapi ... aku malah merasa takut untuk mengutarakannya, Rasa
malu untuk di tolak, dan perasaan tidak menentu sewaktu diterima serta yang paling
membuat aku binggung pada siapa semua itu berlabuh! Akhirnya membuat aku sadar
apakah aku pantas untuk ada di dalamnya.
Mungkin, karena aku tidak tau harus berbicara sama siapa tentang hal ini. karena
buat aku yang selalu merasa aku bisa sendiri, semuanya aku kerjakan sendiri tapi
kini ... aku sadar aku juga butuh orang untuk berbagi dalam setiap permasalahanku dan
aku tidak mempunyai temen dalam pengertian yang dekat, yang bisa berbagi denganku!
Atau mungkin kalau dari dulu aku punya teman atau kawan baek, aku bisa keluar dari
permasalahan yang aku merasa buntu, emang selama ini aku merasa bisa sendiri dan
tidak butuh orang lain dalam mengejar cita-citaku untuk jadi seorang sarjana karena
aku merasa hanya butuh akan hal itu, dan kini... aku merasa juga butuh yang lain.
Pertanyaan ini kembali membuat aku makin binggung akan siapa aku atau apa yang
harus aku lakukan....! kembali aku terhenyak tidak tau lagi harus berbuat apa.

2
Matahari telah mulai beranjak naik menandakan hari ini telah dimulai. Cerah ... yach
cuaca yang sangat cerah untuk memulai suatu rutinitas yang telah 3 tahun ini aku
lakukan, dengan berdoa aku kembali melangkahkan kaki menuju kampusku yang sangat
asri dan bersih. Tapi di balik semuanya itu aku malah merasa makin aneh... dengan
kampusku yang elok ini. yach aneh... karena disinilah aku kembali akan bertemu dengan
seseorang yuniorku semester I, yang aku sendiri tidak tau kenapa dia mau dekat dan
kenapa dia selalu seolah-olah mengikuti langkah kaki ini? Apakah itu dari perpustakaan,
kantin, maupun rela menungguku selesai kuliah Cuma untuk menanyakan sesuatu yang
aku sendiri kadang merasa itu semua tidak perlu.
Pada awalnya, sikap dia itu membuat aku jengkel, dongkol dan marah. Tapi ada
sesuatu yang menahan aku untuk tidak marah dan tidak memperlihatkan perasaan
tidak senang itu padanya, tapi aku mohon janganlah hal itu kamu tanya kenapa...! karena
aku sendiri tidak tau, kenapa aku selalu baik dan selalu mengalah sama dia. Dan kini
perasaan itu semakin membuat aku tertekan “apa yang harus aku perbuat...?” ach...
ngapain aku memikirkan dia? Bukannya sekarang ini, aku harusnya rajin belajar untuk
menyelesaikan kuliahku...! sebuah semangat kembali muncul membuat ku tegas dalam
melangkah menuju kampusku yang Cuma beberapa ratus meter dari tempat kostku.
“Bang Adi tunggu...!” kembali suara itu menyapaku dari belakang. “Bang ntar kita
makan siang bareng laginya! Eh Bang bisa bantu Chasya nggak! Ini tugas Pengantar
Teori Mikro adek kagak ngerti. Bisa kan Bang, plissss....!” dan sekali lagi aku seperti
dihipnotis untuk selalu patuh sama dia. Sambil menganggukkan kepala aku tersenyum
penuh ketulusan (sebetulnya keterpaksaan tapi ntah kenapa bisa menjadi sangat tulus).
“Oke dech Bang sampai ketemu ntar siang di kantin... Chasya ke Bank dulu, biasa cek
kiriman orang tua. Da da ... Bang”.
Hari mulai beranjak siang, perkuliahan Metodologi penelitian akan segera berakhir.
Tapi entah kenapa pikiran ini sepertinya tidak bisa berkonsentrasi untuk kuliah. Di
kepala ini hanya ada bayangan wajah Chasya, Chasya dan hanya Chasya. Emang dia
seorang gadis yang sangat cantik, tinggi, rambut panjang dan lurus, serta memiliki
sifat yang terkadang kekanak-kanakan tapi dia adalah salah satu primadona di
kampusku banyak orang yang menyukainya tapi kenapa dia malah mau dekat denganku
dan kenapa aku malah berusaha untuk menjauh walau aku tidak pernah bisa menolak
semua keinginannya? “Ayo cepatlah kuliah ini selesai! Biar aku kembali bisa berkumpul
dengan Chasya di kantin” gerutu hati ini terasa semakin membuat aku tidak bisa
berkonsentrasi untuk perkuliahan.
Yach... kelar juga, aku bisa keluar nich...! tapi sebelum beranjak dari bangkuku aku
kembali sadar kenapa denganku, kenapa aku bukannya memikirkan perkuliahan? Kenapa
aku harus mangut dan patuh pada Chasya? Siapa Chasya? Dan kembali aku tersadar
kenapa aku seperti ini... aku merasa bersalah sama orang tuaku di kampung yang telah
mati-matian berusaha buat aku bisa kuliah, tapi aku bukannya kuliah eh malah ........ aku
nggak tau apa yang aku perbuat.
Dengan langkah yang sedikit terpaksa akhirnya aku berjalan menuju kantin. Siang
itu kantin terlihat agak sepi, maklum tanggal tua. “Bang Adi...! Sini! Chasya udah mesen
lo makanan favoritnya Bang Adi!” kembali suara itu muncul dari pojok kanan kantin dan

3
akupun melangkahkan kakiku menghampirinya “Eh nggak usah repot-repot Chas, mana
tugas yang nggak kamu mengerti itu? Sini! biar Abang bantu” jawabanku sekenanya
saja untuk menutupi rasa canggung yang mulai pudar bila dia bersamaku. “Repot...
Nggak! Abiz Chasya juga suka loh ma model spesial kantin ini. Disamping rasanya enak
dan tentunya tidak bikin eneg dan sekarang kita makan dulu baru Bang Adi tolongin
Chasya OK...!” dan kembali aku seperti tidak bisa membantah perkataannya. Kamipun
makan yang kadang kala diselingi dengan tawa manis gadis yang duduk di sebelahku.
Aku merasa bahagia sampai kamipun mulai membahas tugas kuliah Chasya. Dia
sebetulnya pinter tapi kenapa dia tidak bisa untuk percaya diri bahwa dia bisa. Kenapa
harus selalu denganku?
“OK Bang Kelar juga, eh ntar kalau kita pulang bareng gimana...? dan kita ke pasar
dulu karena Chasya butuh bantuan Bang Adi untuk beli kado ulang tahun teman
angkatan Chasya minggu depan. Bisa kan Bang! Plisss... soalnya disini, Chasya nggak ada
siapa-siapa. Ntar kalo Chasya jalan sendirian di pasar, lalu ada kenapa-kenapa
bagaimana? Bang Adi bisa kan temenin Chasya. Ayo bisa doooonnng....” kembali
rengekan yang tidak bisa aku tolak membuat hanya menganggukan kepala tanda setuju.
“Yes...! Bang Adi emang Sahabat Chasya yang paling baik, eh ngomong-ngomong, gimana
ntar jika seandainya Chasya juga mengajak Bang Adi untuk datang ke pesta teman
Chasya, bisa nggak! itu mah kalo Bang Adi nggak ada kesibukan sich minggu depan.
Atau Bang Adi nggak diizinin ma pacar Bang Adi untuk pergi ama Chasya.” Kembali
ocehan Chasya hanya aku balas dengan senyuman sambil menjawab aku bisa.
Hari ini aku lalui dengan sangat menyenangkan, aku merasa sangat bahagia dan
belum pernah aku menghabiskan waktu yang cukup lama dengan seorang gadis
sebelumnya, dan kejadian hari ini akan selalu aku ingat dan aku janji tidak akan pernah
bisa untuk melupakannya. Yach inilah kenangan pertamaku berjalan di keramaian sama
seorang gadis dan aku merasa makin tersanjung karena dia adalah primadona di
kampusku.
Achhh... ternyata sudah jam 12 malam tapi entah mengapa mata ini tidak mau untuk
tidur. Pikiran terus dibuai oleh kebahagian hari ini, kadang aku tersenyum sendiri
sampai rasa capek karena berjalan sepanjang lorong pertokoan tidak aku rasakan sama
sekali. Dan aku kembali mengurut kejadian demi kejadian yang terjadi siang tadi dan
aku terhenti pada kata-kata yang terlontar dari mulut mungil Chasya siang ini, kenapa
dia menganggap aku sebagai sahabat? Sahabat bukan seorang kakak atau saudara.
Trus pacar... apa maksudnya padahal semua isi kampus tau aku belum punya pacar!
Jangankan pacaran, bicara sama cewek aja ini baru sama dia, aku yang agak sedikit
lancar. Sahabat ... pacar... apa maksud ini semua? Sehingga membuat aku makin
binggung dicampur perasaan yang mulai kegeeran dan penuh tanda tanya apa
maksudnya. Rasanya aku mau berbagi cerita ini pada seseorang, tapi sama siapa aku
tidak punya teman untuk berbagi semua ini. Sahabat... Pacar ... apa maksudnya?
Entahlah....
“Adi bangun...! udah jam sembilan lewat dikit, kog masih tidur. Tuch di luar ada
cewek nunggu kamu, eh anak mana sich dia kog aku nggak pernah liat gadis cantik itu
sebelumnya kenapa bisa luput dari aku ye!” teman sebelah kamarku yang selama ini

4
kagak ada teguran, tapi pagi ini dia sangat ramah sampai malah mau bangunin aku “Di,
ngomong-ngomong, dia masih Jomblo atau udah punya pacar! Kan kasihan mahkluk
semolek itu dibiarkan menjomblo. OK, Di. Bisakan kenalin aku dengannya!” kembali aku
dicerca dengan pertanyaan yang makin membuat aku binggung “Ihc ngomong apaan
sich. Emangnya itu beneran...!” jawabanku seperti tidak mempercayai ucapannya,
maklum selama 3 tahun lebih aku disini belum pernah ada teman lain jenis yang mencari
aku, apa lagi kata orang yang terkenal playboy di tempat kost bilang dia cantik, emang
ini benaran atau Cuma akal-akalan mereka saja tapi perasaan sekarang bukan bulan
April atau hari kelahiranku.
Dengan perasaan yang hampir tidak percaya aku berjalan ke ruang tamu. Dan...
“Pagi Bang... sorry Chasya menganggu tidur Abang, tapi Chasya butuh bantuan nich...!
Bang Adi bisa bantu Chasya khaaan.... pliss bisa kan, Bang!” dan kembali lagi aku tidak
bisa menolak “Ok, Bang bantu, tapi Abang mandi dulu yang Cash... sebetulnya kamu
butuh bantuan apaan sich Chas!” loh tumben aku ngomongnya lancar dan PD abis
dengan dandanan orang yang baru bangun tidur menemui gadis secantik Chasya
“Temanin Chasya ke bandara hari ini, Mama Chasya datang ke sini jadi Chasya mo
jemput Mama, sekaligus Chasya mo ngenalin Mama sama sahabat baek Chasya di sini.”
Sahabat, kembali kata-kata itu mengalir dari mulut Chasya. Tapi aku hanya bisa
tersenyum tanpa bisa membantah atau menanyakan kembali dari maksud kata itu. “Eh
Bang! Kan dari kemaren Bang Adi belon jawab pertanyaan Chasya, emangnya pacar
Bang Adi nggak marah, kalo Chasya terlalu dekat ama Bang Adi!” kata itu kembali
keluar dengan begitu mudahnya dari mulut Chasya. “Chasya...! Abang belon punya pacar.
Jangankan punya, pernahpun belon. Eh Abang mandi dulu ya Chas” Jawabanku sambil
berlalu meninggalkan Chasya sendiri melongo di ruang tamu, tapi kenapa aku menjawab
dengan demikian jujur dan lengkapnya? Entahlah aku tidak tau.
“Ayo berangkat! Kog masih saja melamun, tapi katanya mo ke bandara?” tegurku
sewaktu kembali ke ruang tamu. “Eh anu... Bang Adi dah siap, kalau gitu let’s go
temanku tersayang!” sambil berlalu meninggalkan tempat kostku. Kembali aku berpikir
kenapa Chasya menggunakan kata teman tersayang! Apa maksudnya kali ini. Sepanjang
perjalanan kami lebih banyak diam dan nyaris tidak ada percakapan seperti biasanya.
Yach... orang yang selama ini selalu saja ngomong tidak mau berhenti kog sekarang
lebih banyak diam. Ada apa? Sekarang pertanyaan di benak ini bertambah teman,
pacar, aku belum punya pacar dan dia mengatakan teman tersayang dan sekarang diam.
Ada apa ini?
Kesibukan dibandara berlangsung dengan ramainya. Aku maklum mungkin karena
sekarang hari minggu dan hari senin dan selasa besok adalah hari libur jadi banyak
orang yang memanfaatkan hari ini untuk berlibur. Tapi aku juga nggak terlampau tau
kesibukan di bandara soalnya ini baru kedua kalinya aku ke bandara, pertama dulu
waktu nenekku pergi naik haji jadi kami sekeluarga besar ikut ngantar ke bandara.
Tapi itu waktu aku masih kelas II SD. Dan sekarang aku kembali ke bandara. Jadi
tidak begitu paham ramainya kayak apa dan sepinya seperti apa.
“Chas liat! Ada pesawat yang mau mendarat, barang kali dari Jakarta pesawat
mama kamu, ayo kita segera cek di pintu kedatangan” dan kembali lagi Chasya yang aku

5
kenal suka ngomel tu malah mengangguk dan kami pun segera bergegas ke pintu
kedatangan. Aneh ada apa dengan Chasya? Kenapa dia makin diam aja! Apakah ini ada
hubungannya dengan kedatangan orang tuanya ke kota ini? Atau .... ach kenapa aku jadi
kegeeran.
“Mama... sini, selamat datang Ma di kota pendidikan. Gimana perjalanannya Ma,
asyik nggak!” kembali aku lihat Chasya berubah kembali. Riang dan ngomong apa adanya
yang selalu diikuti dengan senyuman manis. Aku sangat terkejut melihat perubahan
yang sangat singkat itu. Jadi asumsi pertama lewat dan kepala ini kembali berpikir
kenapa dia tadi hanya diam? “oh ya Ma, kenalin ini teman baek Chasya. Namanya Adi,
senior Chasya di kampus” dan sekarang perhatian aku tertuju pada sosok seorang
wanita setengah baya yang masih terlihat masih sangat cantik seperti wanita yang
berusia duapuluh tahunan, sambil menjulurkan tangan akhirnya kami berkenalan. “O....
jadi ini, Bang Adi kamu, yang hampir setiap malam kamu ceritakan sama Mama itu.”
Sambil menbalas uluran tanganku, mama Chasya hanya tersenyum manis. Dan kembali
kepalaku berkerut kegeeran penuh tanda tanya, setiap malam! Apa Chasya selalu
menelpon mamanya setiap malam? Tapi aku pikir itu wajar saja, maklum diakan baru aja
pisah sama orang tuanya jadi masih ada rasa kangen apalagi kota ini dengan jakarta
jaraknya cukup jauh.
Selama mama Chasya disini, kami hampir selalu berjalan bertiga entah kenapa aku
merasa berada pada keluarga sendiri. Melihat mereka berdua memang banyak sekali
terdapat banyak kesamaan mungkin yang membedakannya hanya sikap mamanya yang
lebih dewasa dan lebih wise dari Chasya.
Hidup memang aneh dan kita tidak tau kenapa hari-hari ini aku merasa kembali bisa
mengobati rasa kerinduan untuk berkumpul ama keluarga.
Tanpa terasa sudah 4 hari Mama Chasya disini. Dan hari ini mama Chasya akan
kembali ke Jakarta. Tapi entah kenapa sebelum berangkat dia malah datang ke tempat
kostku tanpa sepengetahuan Chasya. “Loh Tante da apa? Tumben Tante datang kesini!
Chasya mana Tan?” sewaktu aku menyambut kedatangan mamanya Chasya di rumah ku
pagi itu. “Adi, Tante tau kamu orang baek. Oleh karena itu, Tante titip Chasya ama
Adi, adi bisa tolong Tante untuk jaga Chasya kan...!” itulah permintaan Mamanya
Chasya yang aku sendiri bingung nggak tau ada apa di balik semua itu. Setelah
menyanggupi permintaan itu, akhirnya dia pergi dengan satu lagi permintaan untuk
tidak menceritakan kedatangan beliau menemuiku waktu itu pada Chasya.
Hari ini, hari Minggu. Entah kenapa Chasya sudah dua hari ini tidak aku temui. Aku
merasa ada yang hilang sewaktu aku tidak bertemu dengannya, aku sendiri tidak tau
itu apa. Tapi yang jelas hal itu terasa sangat menyakitkan. Ya... Tuhan apa ini, tolong
kamu kasih tau hambamu arti dari ini semua. “Eh bukannya hari ini adalah hari ulang
tahunnya teman Chasya! Bukankah dia mengajakku untuk menghadirinya? Apakah
acaranya tidak jadi atau ada apa? Kembali aku termenung entah kenapa aku malas
melakukan rutinitasku yang biasa aku lakukan sebelum ada Chasya. Apakah ini yang
dibilang CINTA. Loh aku mikirin apa sich...! bukannya aku harus kuliah untuk bisa jadi
seorang sarjana bukan memikirkan yang lain. Yach... aku harus memikirkan kuliah itu

6
yang utama. Akhirnya aku segera bangkit mengambil buku kuliahan dan menuju teras
depan untuk kembali mencoba tidak memikirkan yang lain.
“Siang Bang! Benar ini rumahnya Bang Adi, Bang! Terus dianya ada?” aku terkejut
mendengar suara yang telah memecah keseriusanku dalam belajar. “Benar, dan aku
sendiri Adi” jawabku. “Oh kebetulan Bang, perkenalkan aku Rahel teman satu kostnya
Chasya. Aku datang kemari karena permintaan Chasya, soalnya dia sudah 2 hari ini
sakit, dan sekarang lagi di Opname di Rumah Sakit Rawas.” “Sakit...! Chasya Sakit...!
OK Rahel Bisakan antar abang kesana?” sambil mengangguk akhirnya kamipun bergegas
pergi menuju Rumah Sakit Rawas sebuah rumah sakit kelas exclusif di kota ini.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku selalu bertanya ada apa dengan
Chasya pada Rahel. Maklum aku merasakan suatu ketakutan yang aku sendiri tidak tau
kenapa, tapi yang jelas aku sangat takut untuk kehilangannya. “Ya Tuhan, tolong Kau
sembuhkan Chasya! Aku tau Kau pasti bisa menyembuhkan segala penyakit. Dan kenapa
sakit itu harus Kau timpakan pada dia bukan padaku. Semoga sakitnya Chasya tidak
parah tapi... kenapa dia harus di rawat? Apakah sakitnya?” akhirnya kami sampai di
rumah sakit Rawas yang berrdiri megah di tengah-tengah kota. Memang Rawas adalah
rumah sakit termegah dan akupun berharap bisa juga menjadi rumah sakit terbaik
dalam pelayanan hendaknya.
“Chasya, Kamu nggak pa pa kan dek! Maaf Bang Adi nggak tau kalau kamu sakit jadi
abang baru bisa datang sekarang!”. “Nggak pa pa kog bang Chasya cuma kelelahan aja
kan abang sendiri tau sewaktu mama di sini waktu Chasya selama 24 jam sehari hanya
bersama mama dan sekarang Chasya udah sehat lo, ni... buktinya dan hari ini Chasya
udah diperbolehkan pulang ama dokter.” Akhirnya aku larut di rumah sakit menemani
Chasya sampai ngantar dia pulang kembali ke tempat kostnya. “OK Chasya, kamu
sekarang harus istirahat dulu jangan mikirin yang lain. Kalau begitu abang balek dulu
kan udah malam”. Sewaktu aku mencoba pamitan dari tempat kostnya Chasya.
Sejak saat itu, aku jadi rajin berkunjung ke tempat kostnya. Sampai dia sembuh
akhirnya kami makin dekat, dan boleh dibilang dimana ada aku di situ pasti ada Chasya.
Hari-hari yang kami jalani bersama terasa sangat indah kadang kala kami
membahas kuliah bersama walau mata kuliah yang kami ambil tidak sama. Aku merasa
ada kepuasan lain untuk kuliah saat ini. Aku selalu di tuntut Chasya untuk bisa menjadi
yang terbaik dan tentunya dia juga pengen membuktikan padaku bahwa dia juga
merupakan yang terbaik sampai ujian akhir semester datang.
Hari ini adalah hari terakhir ujian semester ganjil dan entah kenapa waktu ujian
kami bersamaan dan lokalpun bersebelahan. “Waktu tinggal 15 menit lagi. Bagi yang
telah selesai silahkan kumpulkan lembar jawaban saudara dan silahkan keluar dari
ruangan ini!” terdengar suara Dosen favoriteku memecahkan keheningan waktu ujian
yang kemudian diikuti oleh kesibukan mahasiswa untuk bisa menyelesaikan dalam waktu
yang terasa sangat cepat itu, karena aku telah siap akupun kemudian mengumpulkan
lembar jawabanku dan segera bergegas meninggalkan ruang ujian tersebut. Apa lagi
aku tau Chasya pasti juga telah siap dan satu lagi pasti dia juga menunggu saat ini di
luar.

7
“Hallo Chasya! Gimana ujiannya, bisakan!” tegurku sewaktu melihat Chasya duduk di
karidor depan ruangku ujian. “Bisa dong, siapa dulu mentor yang ngajarin Chasya
selama ini” sambil tersenyum kamipun melangkahkan kaki meninggalkan kampus untuk
segera pulang. “Eh Bang boleh nggak kalau sekarang kita pergi ke Pantai untuk
merayain kita telah kelar ujian semesterannya, Pliss... abang maukan temenin Chasya
ke pantai!” kali ini aku menyanggupi permintaan Chasya dengan tulus.
Pantai di kota kami tergolong yang sangat indah. Udaranya yang sejuk, pasir putih
yang terbentang panjang dan dihiasi dengan pohon nyiur sepanjang garis pantai yang
menambah asri pantai itu. Di sebuah cafe yang ada disana. Kami duduk berdua
termenung menatap ombak yang masih saja selalu berkejaran entah sampai kapan.
“Chasya... boleh abang bicara jujur sama Chasya!” ujarku memecah keheningan yang
telah kami ciptakan. “Oh... jadi abang selama ini tidak jujur sama Chasya!” Jawab
Chasya sambil melotot dan akhirnya malah tertawa sendiri. “Bukan begitu, Abang
nggak tau harus memulai dari mana tapi abang mo jujur dan tolong jangan potong dulu
pembicaraan abang ya dek.” Dan sekarang aku melihat Chasya mulai serius menanggapi
omongan aku. “Chasya, entah kenapa selama 4 bulan kebersamaan kita, abang merasa
sangat bahagia, dan sewaktu abang jauh dari Chasya abang merasa ada yang hilang di
hati abang, abang nggak tau apakah itu yang dimanakan dengan rindu atau kangen, tapi
yang jelas Abang .....” kembali aku terhenti seperti orang bodoh yang tidak bisa lagi
merangkai kata-kata. “Chasya, Abang boleh jujur tapi abang harap kamu nggak marah
sama Abang, abang ....” kembali lagi aku nggak bisa melanjutkan perkataanku dan entah
kenapa aku bisa seperti ini, tapi ada sesuatu yang lain aku rasakan terhadap Chasya
yang hanya diam, seolah-olah menunggu kata-kata yang aku akan ucapkan, “Chasya...
Abang .... Mencintaimu... maukah kamu untuk jadi orang yang bisa berbagi dengan
abang suka dan duka demi kebahagian kita berdua? Apakah... kau mau jadi pacar
Abang?” Eh kenapa aku lancar sekarang. Dan kemudian kami terdiam untuk beberapa
saat, sampai akhirnya Chasya mulai bicara “Bang, Chasya sungguh bahagia saat ini.
Sungguh bang, sejak saat pertama Chasya bertemu ama abang, Chasya sangat
menyukai abang dan pengen Chasya untuk bisa jadi seseorang yang spesial di hati
abang. Tapi itu semua kini tidak mungkin Bang. Sudah empat bulan ini Chasya selalu
menunggu kata-kata yang hendak abang ucapkan sekarang. Tapi belakangan ini, Chasya
sadar karena Chasya pikir abang cuman menganggap Chasya hanya sebagai adek abang,
kemudian Chasyapun belajar untuk bisa seperti itu. Dan sekarang Chasya sudah bulat
untuk menganggap abang sebagai kakak Chasya, maafkan Chasya ya Bang. Chasya nggak
bisa menerima cinta abang. Apalagi .... maafkan adek Bang!” seperti halilintar yang
menembakku di siang bolong, aku terdiam tidak tau lagi berbuat apa, tapi aku berusaha
untuk tetap tegar dan seolah aku siap menerima kenyataan ini pada hal aku merasa
sangat tercabik-cabik, luluh lantah, sangat mengecewakan. Sampai akhirnya kami
memutuskan untuk pulang bersama. Dan besok aku harus pulang kampung begitupun
dengan Chasya yang juga bakal balik ke Jakarta.
Hari ini awal perkuliahan semester genap dimulai. Ada perasaan tidak menentu
dihati ini. Rasa malas yang sangat berat untuk melangkah ke kampus karena perasaan
malu dan takut untuk bertemu dengan Chasya. Akhirnya berkat ilmu pamungkasku

8
(pesan orang tua) aku berani juga ke kampus. Langkah yang terasa sangat terpaksa,
tapi aku masih berharap Chasya tidak berubah sama aku setelah kejadian penembakan
itu. Aku berjalan tanpa mau menoleh ke belakang dengan harapan ada yang akan
memanggil namaku dan itu tentunya Chasya, seperti waktu dulu. “Bang Adi tunggu!”
akupun terkejut mendengar suara itu tapi aku segera sadar itu bukanlah suara yang
aku kenal selama ini kemudian aku menoleh ke balakang ke arah suara yang
memanggilku, dan terlihat Rahel berlari mengejarku dari belakang. “Bang maaf ya!
Sebelum pulang ke Jakarta Chasya menitipkan ini untuk diberikan sama abang jika
sesuatu terjadi ama dia” “sesuatu terjadi! Ada apa dengan Chasya, Dek?” jawabku
penuh rasa ingin tau. “Bang Chasya telah beristirahat dengan tenang disana ...” kembali
aku terasa makin hancur luluh lantah sampai akhirnya aku tau aku harus bisa menerima
kenyataan ini, begitupun dengan Rahel dia nampak sedih dan kembali berusaha untuk
melanjutkan perkataannya “Dua minggu lalu karena abang pulang kampung jadi aku
nggak bisa ngasih tau abang” dan sekali lagi aku terdiam tertunduk lemas, kenapa bisa
seperti ini, sambil menerima surat terakhir Chasya, aku berjalan sendiri menuju taman
kampus. Dan akupun mulai membaca isi surat itu.

Rumah Sakit Rawas, 16 September 2007


Bang... Chasya tau umur Chasya sudah pendek. Dan kalau abang
telah membaca surat ini berarti Chasya telah berada di alam lain.
Chasya tau Chasya tidak mungkin bisa melawan sakit yang Chasya
derita. Terima kasih bang terhadap apa yang Chasya dapat selama ini
dari abang. Sungguh Chasya sangat mencintai abang tapi Chasya
juga sadar, Chasya tidak mungkin bisa untuk bersama abang dalam
waktu yang lama lagi. Setelah mama berangkat kembali ke Jakarta
kemaren, Chasya udah melihat kog semua status penyakit Chasya.
Dan sekarang Chasya bisa sehat dan kembali ada semangat hidup, itu
semua karena abang. Orang yang sangat Chasya cintai walau
mungkin abang menganggap Chasya Cuma sebagai benalu dalam
kehidupan abang. Tapi Chasya tetap merasa bersyukur karena tuhan
telah mengenalkan Chasya pada sosok yang selama ini Chasya cari,
yang Chasya pikir bisa untuk jadi orang yang Chasya cintai dan
tentunya juga mencintai Chasya.
Abang sekali lagi maafkan Chasya kalau Cuma berani cerita lewat
surat ini soal masalah Chasya dan setelah Chasya Pergi. Bukannya
Chasya pengecut tapi Chasya nggak mau melihat abang sedih karena
kehilangan Chasya, dan Chasya janji mulai detik ini dan rumah sakit
ini sebagai saksi, Chasya memutuskan abang adalah kakak Chasya
yang baek dan Chasya akan patuh pada setiap kata dan nasehat
abang. Walau sebetulnya Chasya nggak pengen abang membaca surat
ini. Tapi itu semua telah di atur oleh yang kuasa dan kita hanya bisa
menjalaninya saja.

9
Chasya harap abang dapat merelakan kepergian Chasya untuk
selama-lamanya dan Chasya hanya berharap doa abang semoga
Chasya dimasukkan dalam umat yang selalu menyembah dan yang
dimuliakan oleh Nya.
Selamat jalan bang. Terima kasih atas semuanya.

Chasya

10
MERAJUT ASA
Sebuah Cerpen Oleh

Kesibukan di sebuah kota kecil telah dimulai seiring kokokan ayam jantan bertanda
sebentar lagi sang surya akan menampakan diri di ufuk timur.
“Fandi! Ibu sudah menyusun bawaan kamu ke Padang, sekarang ayo sarapan dulu
sebelum berangkat! Tuch Ayahmu sudah menunggu di meja makan.” Aku hanya
tersenyum sambil segera menoleh pada suara wanita tercantik dikeluargaku. Tercantik
sebab hanya dialah satu-satunya wanita disini karena kami hanya dua orang kakak
beradik. Kakakku kini sudah tinggal bersama istrinya di Jakarta. Dan sekarang hanya
aku yang selalu satu minggu pulang kampung untuk melepas rasa kangen terhadap
mereka. Kemudian aku segera berlalu ke ruang makan untuk sarapan pagi bareng, rada
kepagian memang tapi bagaimana lagi besok pasti tinggal mereka berdua yang akan
melakukan rutinitas ini.
Hari ini senin pagi, aku segera menuju terminal yang hanya beberapa kilometer dari
rumah diantar oleh ayah. Udara pagi yang dingin di kotaku seolah tidak menghambat
para penduduk untuk memulai kesibukan mereka masing-masing. sepanjang perjalanan
ayah selalu memberiku nasehat untuk belajar yang tekun, selalu jaga diri dan tentunya
tidak bikin masalah di daerah orang. Kadang kala ayah selalu bercerita tentang masa
mudanya yang selalu dihiasi dengan lika-liku yang selalu dia banggakan.
Sesampai di terminal akupun turun dari mobil ayahku dan bergegas menuju loket
karcis untuk ke Padang. Akhirnya aku dapat bus yang berangkat jam 7.00, “ah masih
ada satu jam lagi!” gerutuku dan segera mengambil duduk di ruang tunggu dan mulai
membuka tas untuk mengambil sebuah buku kuliahan siang ini.
“Anak mo ke Padang!” Terdengar seorang Bapak yang lebih dahulu duduk
disebelahku yang rupanya dari tadi selalu memperhatikan aku.
“Iya Pak! Eh Bapak juga mau ke Padang?” Jawabku sambil tersenyum ramah
kepadanya.
“Benar, ini karcis Bapak!” jawabnya singkat sambil mengeluarkan sebuah potongan
karcis dari saku bajunya.
“Wah kalau gitu kita bersebelahan dong Pak.” Jawabku singkat setelah melihat
karcis itu. “Perkenalakan Aku Fandi, sekarang masih kuliah di Padang.”
Yach dia seorang bapak yang terlihat bersih dan rapi kayaknya dia bukan orang
biasa. Dan kemudian waktu satu jam itu kami gunakan untuk ngobrol mulai dari keadaan
negara ini yang terasa makin kacau aja sampai masalah perkuliahanku.
Ternyata Bapak itu sangat tertarik akan hal yang berbau ekonomi, apalagi yang
berhubungan dengan perencanaan sesuai dengan jurusanku Ilmu Ekonomi.
Sampai akhirnya bus yang akan segera mengantar kami ke Padang datang, dan
kamipun bergegas naik dan setelah itu kami menghabiskan perjalanan menuju Padang
dengan bercerita dan kadang kala si Bapak yang mengaku pensiunan itu selalu
menyodorkan masalah-masalah yang berbau ekonomi padaku dan dengan ilmu yang aku
kuasai dan sedikit aplikasi hayalan ini, kami berdua memecahkan masalah fiktif yang
ditawarkannya.

11
Tanpa terasa bus kami sudah memasuki terminal Lintas Andalas dan menandakan
kami telah sampai di Padang. Dan kamipun berpisah di situ, sebelum berpisah si Bapak
meminta alamat aku di Padang, sambil berandai-andai kalau nanti dia ke Padang lagi
pasti dia juga akan mampir ke tempatku.
.......................
Sejak saat itu aku sepertinya telah melupakan pertemuan kami waktu itu, sampai
akhirnya aku mulai sibuk untuk mencoba usaha sendiri dengan modal uang jajan yang
selama ini aku kumpulkan sedikit demi sedikit dan akhirnya melahirkan sebuah rental
komputer, rental yang berada di depan kosanku itu mulai berhasil sesuai dengan
perencanaan awal yang aku buat.
Aku mulai terlena dengan kesibukanku mengelola usaha rental sampai akhirnya aku
malah jarang untuk pulang kampung untuk berkumpul dengan orang tuaku dan sekarang
aku mungkin satu kali 3 bulan saja pulang kampung walau jarak padang dengan kotaku
tidak sampai 130 km.
Melihat perkembangan usaha yang cukup bagus dan tanpa segan-segan lagi akupun
mengusulkan pada ayah untuk bisa memberiku pinjaman lunak buat pengembangan
usaha. Ayah sangat tertarik akan usaha yang aku rintis. Dan akhirnya dia memberiku
pinjaman lunak itu sambil terus menasehatiku untuk tetap mendahulukan studi.
Dari situlah aku menarik karyawan yang pada umumnya juga mahasiswa sama
sepertiku untuk membantuku mengelola usaha ini.
Dari hari ke hari usaha kami makin berkembang dengan baiknya. Yach, mungkin hal
ini juga ditunjang dengan ilmu yang aku dapat di perkuliahan untuk segera kami
aplikasikan
Kesibukan yang pada akhirnya malah membuat aku makin larut di dalamnya dan
sering melupakan hal-hal lainnya. Aku jadi sering meninggalkan perkuliahan.
Puncaknya sampai pada liburan semester ini. Aku memutuskan untuk menutup dulu
rental dan pergi refreshing ke daerah wisata masih di propinsi ini, lebih dari satu
minggu aku merenung sendirian sampai akhirnya aku merasa hampa apalagi sewaktu aku
berjalan sendirian menikmati indahnya panorama yang ditawarkan oleh objek wisata
yang banyak tersebar disana, aku merasa iri melihat setiap pojok panorama itu duduk
berpasang-pasangan muda-mudi yang saling bercengkrama dengan mesra yang kadang
kala diiringi dengan dengan gelak tawa nakal mereka. “eh kemana aja aku selama ini!
Kenapa aku tidak pernah memikirkan tentang hal yang satu ini.” Akhirnya aku juga
pengen kayak mereka. Pengen juga seorang kekasih yang bisa berbagi kebahagiaan dan
juga kesedihan.
Sesampai di motel tempat aku menginap kembali aku merenung. Kenapa aku tidak
pernah ada pikiran buat pacaran? Kalau boleh jujur, dulu sewaktu aku masih sibuk
kuliah aku memang pernah dekat ama seorang cewek dan kedekatan kami mungkin lebih
dari teman. Terus terang dialah sahabat baik yang pernah aku punyai walau aku merasa
heran kenapa setelah setahun kedekatan kami dia malah menjauh dariku tanpa sebab,
dan sekarang aku coba kembali mereka-reka kenapa dia menjauh dariku. Apakah itu
karena dia pernah memancing aku untuk mengutarakan cinta padanya yang selalu aku

12
tolak! Sambil berkelakar buat apa pacaran, kalau dengan berteman saja kita bisa
merasa bahagia.
Dan sekarang dia telah diwisuda Oktober silam, dan aku sendiri tidak datang
menghadiri acara wisudanya karena kesibukanku di rental, dan Sampai sekarang aku
tidak pernah bertemu dia lagi.
Vivi, yach Vivi, dialah seorang cewek yang manis, tinggi semampai yang didukung
dengan bentuk fisik yang sangat ideal. Dimana dia sekarang! Kenapa aku jadi pengen
ketemu sama dia? Seandainya saja waktu itu aku memenuhi keinginannya untuk
mengutarakan perasaan cintaku padanya! Mungkin kami masih bersama karena jujur
aku juga mencintainya. Ach besok aku balik ke Padang akan aku cari tau dimana dia
berada sekarang! Tapi...! rumahnya saja aku tidak tau itu dimana? Memang dia mengaku
asli Padang dan jujur aku tidak pernah datang ke rumahnya. Paling ketemu dia di
kampus atau di tempat kostku. Biasanya kalau aku butuh dia, aku Cuma
menghubunginya ke nomor HPnya saja. Kembali aku merenung cari kemana! Trus jika
ketemu dia bisa nggak menerima aku seperti dulu atau menerimaku seperti yang dia
harapkan dulu!
Dan banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepala ini. Vi... vi dimana
kamu sekarang dan kenapa sekarang HPmu nggak aktif lagi?. Akhirnya aku coba untuk
tidur sampai akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi.
Pagi ini aku melangkah meninggalkan motel tempat aku menginap untuk kembali
menuju Padang, selama perjalanan aku terus memikirkan Vivi dengan pertanyaan masih
sama seperti semalam. Apakah dia juga masih ingat akan aku sewaktu bertemu nanti?
Sesampai di padang, aku segera menuju ke tempat kostku dan hari ini aku tidak ada
minat untuk membuka rentalku karena aku pengen tau dimana Vivi sekarang.
Siang ini aku menghabiskan waktuku hanya dengan mengunjungi beberapa orang
teman yang aku kira bisa mengasih aku petunjuk dimana dia tinggal. Sampai akhirnya
aku sampai di rumah Winda dan dia mengasih tau kalau Vivi tinggal di Seputaran Raden
Saleh, dan tanpa mikir panjang lagi aku segera menyusul ke alamat yang dikasihkan
Winda.
Ini dia rumahnya dan “Assalamu’alaikum! Benar ini rumahnya Vivi, buk” sewaktu aku
sampai di alamat yang dikasihkan Winda.
“Walaikum Salam, Siapa nak, Vivi!”
“Iya Buk! Vivi... dulu dia kuliah Di Unand dan telah tamat Oktober Silam” jawabku
memperjelas siapa yang aku maksud.
“Oh iya, itu anaknya Bapak Rambekan! Maaf nak sekarang Ibu tidak tau dimana dia,
soalnya enam bulan silam rumah ini sudah di jual Bapak Rambe pada kami dan kabarnya
mereka telah pulang kampung ke Riau.” Jawab wanita itu.
Aku seperti tidak habis percaya kenapa dia tidak mengasih tau aku kalau dia telah
meninggalkan kota ini.
Sampai di rumah, aku kembali merenung. Seolah tersadar kenapa aku harus mencari
dia! Kalau dia emang teman aku pasti kalau pergi dia bakal memberitahukanku kalau
pindah, jadi sekarang buat apa aku memikirkannya dan sebaiknya aku memikirkan usaha

13
yang aku rintis ini, soalnya bulan besok mau aku kembangkan lagi menjadi Warnet dan
Wartel, rental sebagai usaha pertama juga tetap aku pertahankan.
Dan kembali semangat untuk berwiraswasta itu muncul dan aku segera menuju
rental dan kembali menjalankan usaha seperti biasa.
Dua bulan telah berlalu, sekarang tempat usahaku telah aku miliki sendiri dengan
membeli Ruko tempat aku mendirikan rental komputer awalnya. Di Rumah Toko
tersebut aku kembangkan menjadi suatu pusat berkumpulnya mahasiswa karena
ditunjang dengan fasilitas internet, wartel, counther HP, dan juga rental PS2 yang
sedang digandrungi oleh kalangan remaja dan anak-anak. Aku merasa senang melihat
apa yang telah aku rintis 2 tahun silam sekarang sudah seperti ini. Dan bahkan aku
sudah bisa mengaji 8 orang karyawanku.
Disuatu siang yang terik, aku duduk di depan Rukoku sambil bercengkrama dengan
teman-temanku yang sekaligus adalah karyawanku. Dan kemudian sebuah Mithsubishi
Lancer Silver berhenti di depan tempat kost lamaku yang berada di seberang jalan
tempat usaha kami.
Kami semuanya melihat ke arah mobil itu dan dalam mobil turun seorang cewek
cantik dengan dandanan biasa saja tapi disitulah terlihat kecantikan si gadis tersebut.
Dia berjalan ke arah kost itu dan segera menghampiri mantan ibu kostku, entah apa
yang mereka omongin tapi setelah itu terlihat ibu kost menunjuk ke arah kami seraya
gadis itu melangkah menuju ke sini.
“Maaf, Uda semuanya! Kalau boleh tau yang mana Uda Fandi, Da!”
“Iya, Aku Fandi. Ada apa Uni mencariku..!” jawabku dengan sedikit salah tingkah
karena di cari oleh seorang cewek yang begitu manis.
“Perkenalkan aku Vina, apakah kita bisa bicara sebentar Uda!” sambil menjawab
Bisa dan masih dipenuhi tanda tanya ada apa? Aku segera melangkah menuju Wartel
bersama dengan Vina.
“Baiklah, Uni apa yang bisa aku bantu!”
“Begini Uda, Vina disuruh ke sini oleh Mama, karena mama ingin bertemu sama
Uda.”
“Bertemu...! emangnya ada apa dengan Mama Uni!”
“Semuanya di mulai dari Papa, 3 tahun lalu, Papa pernah berkunjung ke Payakumbuh
dan sewaktu mo balik, beliau mengatakan pernah bertemu dengan Uda, dan berkat
dorongan Uda, Papa kembali menemukan cara untuk mengembangkan Usahanya dan
sekarang dengan pola yang uda tawarkan pada Papa telah berhasil menghidupkan
Perusahaan yang pada waktu itu sudah diambang kebangkrutan, tapi sayang sewaktu
itu semua berhasil dan ...” kembali gadis berhenti dan tertunduk sedih.
“Maaf, ada apa dengan Papa Uni! Terus aku pernah memberi solusi permasalahan
pada Papa Uni, tapi perasaanku aku tidak pernah melakukan itu! Trus kog tadi uni
bilang Mama Uni yang mencari Uda?” kembali dengan kebinggungan aku terus mencari
tau apa yang terjadi sambil kembali mengingat masa laluku dahulu.
“Papa pernah cerita bahwa dia ketemu sama Uda sewaktu dia mo menuju ke padang,
diperjalanan itu dia mencoba memecahkan permasalahan yang dihadapinya dengan Uda”
sejenak Vina terdiam dan kemudian mencoba melanjutkan perkataannya.

14
“Akhirnya Papa mencoba kembali menjalankan usahanya dengan cara yang pernah
Uda tawarkan padanya dan ternyata usaha dia berhasil dan perusahaan kami kembali
berkembang dengan pesat, tapi sayang... Cuma bertahan 2 tahun Papa kena strock dan
akhirnya Beliau dipanggil menghadap yang kuasa. Sebelum dia meninggal dia sempat
berpesan pada kami untuk mencari Uda untuk mengucapkan terima kasih beliau.”
Aku kembali terkenang beberapa tahun silam, diwaktu itu aku pernah bertemu
dengan seorang Bapak dan kamipun bertukar pikiran tentang industri yang bergerak di
bidang perkebunan. Aku pikir itu masalah hanya fiktif belaka tapi ternyata itu adalah
benar adanya.
“Uda, Setelah Papa meninggal, Mama melanjutkan untuk terus memata-matai setiap
tindakan yang uda lakukan. Sampai akhirnya Uda buka usaha ini dan bisa berkembang
seperti sekarang, mama sangat takjub melihat usaha yang uda rintis ini.
Mendengar perkataan itu aku jadi tersanjung dan rada kegeeran. Cukup lama kami
saling terdiam sampai akhirnya
“Maaf tadi uni bilang mama uni mau bertemu aku, ada dimana dia sekarang!”
“Mama ada disini, tapi sewaktu rencana beliau mau bertemu Uda dia dapat musibah
tabrakan dan sekarang beliau sedang di rawat di Rumah Sakit Yos Sudarso. So, dia
menyuruh Vina untuk menjemput Uda.”
“Kecelakaan! Kalau begitu mari kita ke rumah sakit sekarang.”
Dan akhirnya kamipun bergegas menuju rumah sakit Yos Sudarso.
“Mama... Vina dah datang... ini perkenalkan Uda Fandi!” sewaktu kami sampai di
kamar tempat Mamanya Vina dirawat. Dan terlihat seorang wanita setengah baya
terbujur di tempat tidur melihat ke arah kami sambil melemparkan senyuman sebagai
tanda ucapan selamat datang.
“Kami sekeluarga merasa bersyukur pada yang kuasa, sewaktu Bapak frustasi
memikirkan usahanya dan berencana untuk melarikan diri, dia bertemu dengan ananda
dan setelah itu dia seperti dapat cara baru untuk mengembangkan usahanya dan
akhirnya dia kembali ke rumah. Tapi ...”
“Sudah Bu’ semuanya sudah ada aturannya sama yang di Atas, kita sebagai manusia
cuma menjalaninnya saja. Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi esok tapi kita cuma
bisa berencana untuk esok karena semuanya hanya Allah yang memutuskan.” Aku
sengaja memotong pembicaraan ibu Vina karena terlihat kesedihan yang makin
tergambar jelas diwajahnya, apalagi aku sudah mengetahui apa yang terjadi lewat
cerita Vina sebelumnya.
“Ananda Fandi, sebelum Papanya Vina meninggal dunia, dia sempat membeli tanah di
Sumatera Barat seluas 1.500 Hektar yang rencananya diperuntukkan untuk
perkebunan Sawit. Tapi Tuhan segera memanggil beliau, jadi usaha yang pernah di
rintis 2 tahun silam itu terbengkalai sampai sekarang. Sesuai permintaan terakhir dari
Beliau yang pengen usaha itu Nak Fandi yang mengelolanya. Oleh sebab itu Maukan nak
fandi mengelolanya. Kami tau nak Fandi bisa untuk itu.”
Ibu...! Bukannya aku menolak, tapi aku pikir aku belum pantas diberi amanah
seberat itu. Aku takut aku tidak bisa menjalankannya.”

15
“Tapi, setelah melihat apa yang kamu lakukan 2 tahun ini, Ibu yakin kamu bisa
mewujudkan usaha itu apalagi itu adalah amanah terakhir mendiang. Masalah
pengalaman di bidang itu, kami merencanakan untuk Nak Fandi bisa magang dulu di
salah perkebunan kami di Kalimantan atau Riau. Kami harap nak Fandi mau
mempertimbangkannya.”
Aku seperti tidak bisa menolak permintaan terakhir itu. Dan akupun berjanji akan
memberikan jawabannya dalam waktu dekat ini.
Satu bulan kurang Mamanya Vina di rawat di Yos Sudarso. Dan selama itu aku lebih
banyak menghabiskan waktu dengan Vina. Lama-kelamaan kedekatan kami makin dekat.
Dan akupun mulai menyukai sosok gadis yang tidak ada cacatnya ini. Sampai akhirnya
Mama Vina di nyatakan sehat dan besok mereka sudah berencana untuk kembali ke
Jakarta.
Aku mulai merasa takut untuk kehilangan Vina. Apalagi aku tahu dia sepertinya
seolah memberi aku peluang untuk itu. Sebetulnya aku tidak pengen kejadian masa
laluku sewaktu dekat ama Vivi bakal terjadi lagi, dan sekarang aku harus segera
menentukan sikap apa yang harus aku lakukan sebelum mereka berangkat kembali ke
Jakarta.
Aku kembali mengatur strategi buat penembakan terhadap Vina. Siang itu aku
segera menuju ke sebuah Cafe yang berada di pinggir pantai dan sekaligus memboking
cafe tersebut buat malam ini hanya untuk kami berdua. Aku sudah merencanakan bakal
mengasih kejutan buat Vina dengan mengajaknya menghadiri acara Candlelight dinner
di cafe ini. Apalagi setelah mengutarakan maksud hati pada empunya cafe itu dia
menyanggupinya dan malah banyak mengasih aku masukan tentang apa saja yang bakal
aku lakukan.
Sampai akhirnya sore menjelang. Dan aku segera menghubungi Vina lewat Hpnya
sambil bilang mo ngajak jalan-jalan malam di kota Padang dengan sepeda motor
kesayanganku. Dia menyanggupinya dan bersedia menemaniku malam ini.
Hari telah menunjukkan jam 7 malam. Dan akupun segera menaiki sepeda motor RX
king modifikasiku. Tepat jam 7.30 aku sudah sampai di Hotel Bumi Minang tempat Vina
dan mamanya menginap. Dan setelah meminta izin pada Mamanya akhirnya kami segera
menyisiri kota Padang dengan sepeda motor ini. Kami masuk dari daerah pondok
kemudian berhenti sebentar di Jembatan Siti Nurbaya yang merupakan tempat
berkumpulnya generasi muda Padang di waktu malam, dan kemudian kami kembali
menyisiri daerah Pantai Padang yang terkenal dengan nama Taplau sampai akhirnya aku
sengaja mengajaknya berhenti untuk minum di sebuah cafe yang berada tidak cukup
jauh dari Taplau.
Hati ini mulai bimbang dan jantung ini mulai berdetak tak menentu sewaktu kami
parkir di pelataran parkir cafe itu.
“Loh... katanya cafe ini selalu rame, kog sekarang terlihat sepi dan rada gelap lagi”
vina segera memperhatikan keadaan cafe tersebut dengan seksama sambil kami
melangkah masuk ke dalam cafe.

16
“Selamat datang Uda! Silahkan duduk pada tempat yang telah kami sediakan! Kata
waitress cafe itu dengan ramahnya sewaktu kami datang dan memandu kami menuju
tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Vina kemudian terdiam mengamati suasana yang ditawarkan oleh cafe yang
diterangi oleh cahaya lilin dan dekorasi ruangan yang sangat romantis apalagi kemudian
terdengar alunan musik-musik cinta makin menambah romantis suasana di malam itu.
“Kog melamun Vin... nggak mo mesan makanan!”
“Bukan begitu, aku merasa agak sedikit aneh sama suasana cafe ini. Aku merasa ....”
Vina kemudian kembali terdiam dan seperti orang salah tingkah segera mengambil
daftar menu cafe untuk menutupi wajahnya dari pandanganku.
“Merasa apa Vin?”
“Yach merasa aneh, melihat dandanan kamu yang rapi, trus suasana cafe ini yang
aku pikir pasti cafe ini tidak seperti ini biasanya, kecuali jika...” dan Vina kembali
terdiam.
“Emang aku telah memesan cafe ini buat malam ini hanya kita berdua. Aku tau aku
bukan laki-laki yang bisa romatis tapi aku akan berusaha untuk itu. Satu hal kenapa hal
ini terjadi tak lain dan tidak bukan itu karena Aku mencintaimu dan sangat ingin kamu
untuk dapat mengisi kekosongan di hati ini.”
Kemudian aku segera berdiri dan berjalan ke arah tempat duduknya Vina sambil
bersimpuh di hadapan cewek manis yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Maukah kamu jadi pacarku, Vin”
Vina hanya terdiam melihat tingkahku. Kemudian aku melanjutkan perkataanku lagi.
“Aku tau kita baru kenal satu bulan ini, tapi aku tidak bisa lagi membohongi hati ini
untuk terus memendam perasaan sukaku pada kamu. Karena bagiku, kaulah wanita yang
aku ingini bisa mengisi kekosongan di hati ini.”
Kemudian Vina bangkit dan segera memegang tanganku dan mencoba mendirikan aku
kembali.
“Fan. Terima kasih terhadap apa yang telah kamu lakukan ini. Aku tidak tau lagi
harus bilang apa, sejak saat pertama aku lihat photo-photo kamu 2 tahun silam aku
sudah merasa ada yang lain di hati ini. Apalagi sejak awal bulan kemaren kita bertemu.
Aku jujur juga sangat menginginkan hal itu.”
“Jadi...”
“ya... Aku menerima cintamu, dan sekali lagi terimakasih terhadap apa yang kamu
lakukan malam ini.”
Aku seperti terbang ke langit ke tujuh setelah mendengar jawaban dari gadis
tercantik yang pernah aku temui. Kemudian kami habiskan malam itu bersama sampai
tengah malam ketika aku kembali mengantar Vina ke Bumi Minang.
Aku merasa sangat bahagia malam ini. Sampai di rumah aku terus mengingat apa
yang pernah aku lakukan bersama Vina. Sampai akhirnya pagi menjelang dan pagi ini
masih dalam keadaan setengah sadar karena belum pernah mata ini tertidur aku akan
segera ke Bumi Minang untuk segera mengantar Vina dan Mamanya ke Bandara
Internasional Minangkabau.

17
Tepat jam 7.00 aku segera berangkat Menuju Hotel Bumi Minang, sebuah hotel
berbintang yang cukup ternama di kota Padang. Suasana hotel yang sangat nyaman
membuat tingkat daya hunian hotel ini terus naik dari tahun ke tahun.
Tepat di depan Hotel sudah terlihat Vina dan Mamanya berdiri menunggu
kedatanganku. Dan dengan mempersilahkan mereka naik kamipun segera bergegas
berangkat menuju BIM.
Akhirnya mereka check in jam 10.00, dan sebelum berangkat Vina terlihat lebih
banyak diam dan dengan sebuah kecupan perpisahan akhirnya mereka segera
berangkat kembali ke Jakarta. Sebelum berangkat aku sudah menyanggupi permintaan
terakhir papanya Vina. Dan aku sudah berencana untuk bulan depan dapat magang di
Riau. Dan merekapun menyerahkan semua dokumen berharga tentang usaha dan
sertifikat tanah yang ada di Pasaman untuk perkebunan sawit padaku. Sambil berkata
semoga aku berhasil dalam usahaku untuk mengelola perkebunan ini kelak.
Setelah pesawat lepas landas akupun bergegas pulang. Untuk istirahat karena sejak
tadi malam aku belum pernah tidur.
Setelah selesai mandi, dan sebelum aku tertidur aku kembali membuka Map Akte
dan izin pendirian usaha yang dikasihkan Mamanya Vina di bandara tadi. Di dalamnya
map itu aku menemukan sepucuk surat yang di tulis tangan oleh mamanya Vina. Yang
menjelaskan sangat berharap agar aku bisa menjalankan usaha tersebut dan semua
dari usaha itu telah mereka balik namakan atas namaku sendiri sehingga aku bisa
mengambil keputusan strategis tentang jalannya usaha kelak.
Kemudian masih pada surat yang sama Mama Vina memohon padaku untuk
menitipkan Vina, jaga dia baek-baek, dan terakhir dia telah berniat mewarisi dan telah
mengubah semua akte kekayaannya atas namaku. Aku seperti tidak mempercayai hal
ini. Tapi aku hanya mencoba untuk tidur. Tapi aku merasa heran kenapa mata ini tidak
juga mau tidur padahal dia tau aku belum pernah tidur sedikitpun.
Akhirnya mataku tertuju pada meja di pojok kamar yang di atasnya berdiri photo
Vina dengan bingkai yang indah.
Lama aku memperhatikan wajah yang terpampang di photo itu. Sampai akhirnya aku
dikejutkan oleh suara kucing yang melompat ke atas meja dan menjatuhkan photo itu
ke bawah dan kacanya berserakan di lantai.
Dengan sedikit terkejut akupun mengusir kucing itu keluar. Tapi pecahan kaca yang
berserakan dilantai mengenai kakiku sehingga berdarah dan kemudian aku segera
merapikan kembali meja dan lantai dari pecahan kaca.
Setelah kejadian itu pikiran aku merasa sangat tidak nyaman, janga-jangan ada
apa-apa dengan Vina. “Ach mikiran apa sich...! masak kucing melompat dan memecahkan
figura photo aja dipikirin yang bukan-bukan!” Hati ini segera tenang mendengar kata
hati ini.
“Fan...! Bangun...! kamu harus segera kesini lihat ada apa ni di Metro TV.” Terdengar
suara ketokan dikamarku yang membuat aku yang sedang rebahan segera bangkit
melihat acara Metro Tv.
Dengan perasaan yang masih sangat mengantuk aku coba mendekati televisi dan
kemudian aku terdiam sewaktu membaca tulisan yang tertera di televisi itu

18
“KECELAKAAN PESAWAT GARUDA DARI PADANG MENUJU JAKARTA DAN
DIPERKIRAKAN TIDAK ADA PENUMPANG YANG SELAMAT.” Lama aku menikmati
acara itu sambil bermohon sama yang kuasa semoga itu pesawat yang bukan ditompangi
Vina dan Mamanya. Tapi setelah mendapatkan informasi yang lengkap aku tau itulah
pesawatnya. Yang telah hancur berkeping-keping dan sisa terbakar di sekitar jatuhan
pecahan pesawat itu.
Lama aku termenung... sendiri .... tidak tau lagi apa ini... dan aku kembali tersadar
dan mencoba menghubungi Hpnya Vina tapi selalu di jawab diluar jangkauan terus dan
akupun memastikan pesawat itu ke bandara yang terlihat sudah ramai oleh orang yang
mencari informasi tentang keluarga mereka yang ada dipesawat jatuh itu.
..........................
Satu bulan telah berlalu, walau masih terdapat kesedihan di wajah ini. Aku sudah
bulat untuk berangkat ke Riau untuk magang dan menjalankan usaha yang telah di
rintis dan diberikan padaku.
Emang, kejadian itu membuat aku merasa hancur tapi aku tidak boleh larut.
Aku harus bangkit dan mengelola tidak hanya usaha yang disuruh tapi jaringan
perkebunan yang telah di bangun oleh Papanya Vina. Aku tidak boleh mengecewakan
mereka.
........................
Dua tahun kemudian, berkat bantuan seorang Dosenku di kampus, aku berhasil
mengelola usaha perkebunan ini.
Tapi...........
Aku tetap merasa hampa sambil kembali bertanya sama diri ini
“Apakah aku harus kembali mencari Vivi sahabat lama dulu yang sekarang entah
berada dimana?”
Entahlah aku tidak tau.

19
31 DESEMBER

”Jo.. Kamu nggak ikut! Via pikir acara tahun baru kali ini akan terasa hambar kalau
kamu tidak ada bersama kami”.
”Bukannya aku nggak mau pergi Vi, tapi ...!”
”Jo, kalau masalah uang yang menjadi kendala biar aku saja yang talangi, Asal kamu mo
pergi bersama kami....!”
Via langsung memotong perkataanku, ada banyak masalah yang membuat aku tidak
akan pergi pada acara tahun baru kali ini, dan tentunya itu bukan karena uang.
Sambil tersenyum akupun langsung berlalu meninggalkan Via di depan Sekolah
Menengah Atas tempat kami menuntut ilmu.
”Jo...! Tunggu, Maafkan Via kalau ucapan Via tadi menyinggung kamu, tidak ada maksud
hati untuk nyakitin kamu... Jo... Tunggu!”
Dan akupun seolah tidak mau menghiraukan perkataan Via yang masih saja
mengejarku dari belakang.
”Jo...! cukup, aku dah capek, tapi tolong dengarkan aku satu kali ini saja!” Via berusaha
mencegatku dengan suara yang lantang sambil berdiri didepanku dengan merentangkan
kedua tanggannya seolah-olah berusaha menghentikan langkahku.
Lama kami saling terdiam, kaku dan saling pandang. Sampai akhirnya;
”Jo, Kenapa sich ama kamu, Via bingung sudah seminggu ini kamu seolah-olah berusaha
menjauh dari Via. Ada apa Jo...? Tolong...! Kamu tau, cuma kamu yang selama ini tempat
Via berkeluh kesah, tapi sekarang kamu seolah-olah berusaha untuk tidak mau bicara
ama Via, Kenapa Jo...! Apa Via ada salah ma kamu?”
kembali dengan senyum simpul, akupun mengelengkan kepala. Sampai akhirnya;
”Maaf Via, nggak ada yang salah ma kamu, cuman aku lagi pengen sendiri aja, ini juga
nggak ada hubungannya ama kamu. Jadi, tolong! Sekarang aku mo pulang dulu, kalau
pikiranku udah tenang, aku pasti akan bercerita ama kamu semuanya! By the way you’re
still my best friend, Ok!”
Dan akupun mulai berjalan menaiki sebuah oplet menuju pulang. Sampai di oplet aku
sesekali mencuri-curi pandang ke arah Via yang masih saja terdiam menatap ke arah
oplet yang mulai meninggalkan sekolah kami.
Sejak kejadian itu, aku masih saja larut dalam kegamangan, sendiri dan makin sunyi,
sebetulnya permasalahanku adanya disitu, aku tidak tau apa yang ku lakukan dan apa
yang mau aku capai? Aku bimbang dalam melangkah, aku tidak tau apa ini! Dan sekarang
sewaktu aku ke sekolah yang biasanya selalu ada saja yang bisa membuat aku tertawa,
senang, dan bahagia. Tapi kini, aku malah merasa makin sendiri dan makin sunyi, Via
yang selama ini adalah teman tempat bersenda gurau malah mulai memberi aku
kesempatan untuk sendiri, dan itu tentunya karena perkataanku beberapa waktu yang
lalu.
Hari ini adalah hari Sabtu tanggal 31 Desember, dengan langkah yang sedikit berat
akupun berjalan masuk pekarangan sekolah dan langsung menuju kelas III IPA 2,
tempat aku menuntut ilmu, hari masih pagi, masih ada 30 menit lagi sebelum jam
pelajaran pertama di mulai. Tapi pagi ini aku lihat di kelasku sudah hampir semua

20
siswanya berkumpul. ”Loh ada apa ini, kog rame!” kata hatiku melihat suasana dalam
kelas sewaktu aku sampai di depan pintu kelas.
Disana terlihat Arif sang ketua kelas sedang memimpin rapat tentang kesiapan
mereka menyambut tahun baru
aku melihat ke lokal, anak-anak sudah ramai membicarakan kesiapan mereka untuk
menyambut tahun baru di Puncak.
Sambil menebar senyum aku seolah-olah tidak mau memperhatikan mereka yang
sedang rapat, aku berjalan dengan sedikit PD ke arah bangku untuk meletakkan tas
dan kemudian berusaha berjalan meninggalkan kelas, tapi...!
”Jo...! kamu serius nech nggak mo ikut ma kami?”
Sebuah suara yang selama ini ingin kembali memanggil namaku terdengar oleh
telingga ini. Dan terlihat semua isi kelas memandang ke arahku.
”Eh... Anu...! aku ada kesibukan besok yang nggak mungkin aku tinggalin, maklum urusan
dalam negeri. Permisi dulu ya...!” Sambil tersenyum aku
berusaha meninggalkan ruangan kelas kami.
Tapi sekali lagi langkahku terhenti. Karena ada yang berusaha mengapai tangan
kananku dari belakang.
”Jo...! ada apa ma kamu kog kamu makin membuat kami bingung...! nggak seperti
biasanya. Kamu yang selalu ceria kog sekarang dingin seperti ini.”
aku hanya diam. Tanpa mau menoleh ke belakang aku terus berusaha melepaskan
pegangan tangan Via dari belakang dan berjalan meninggalkan ruangan kelas menuju
kantin soalnya kan belon sarapan pagi.
”Buk, nasi goreng nggak pake acar satu!”
“Loh Jo…! Tumben pagi-pagi dah datang! Kemana aja selama ini kog nggak pernah
nonggol lagi di sini.”
Aku seperti malas menjawab pertanyaan yang cukup banyak dari ibuk kantin yang
sangat suka ngomong itu. Dengan memasang senyum yang kata orang mirip dengan
senyumnya Matt Lee Blank hanya itu jawaban yang aku berikan kepada ibu kantin.
Sewaktu asyik makan aku kembali terkejut karena tanpa aku sadari seorang cewek
yang aku sangat kenal telah duduk dihadapan aku sambil terus memperhatikan aku.
”Lo...! kog ada disini, emangnya kamu nggak ikut rapat buat berangkat ntar sore?”
Via hanya diam sambil terus menatap kearahku, tergambar dengan jelas raut
kecewa di wajahnya.
”Hallow...! kog diam...! lagi liat apaan sich emangnya ada yang salah ma wajah aku ini.”
”nggak...! aku telah membatalin gabung ma mereka dalam tahun baru kali ini.”
”emangnya napa kog nggak jadi ikut ma mereka!”
sambil terus makan aku lihat Via yang kecewa makin terlihat sedih dan seolah-olah
mau menanggis tapi aku malah makin dikejutkan dengan sikapnya yang langsung berdiri
dan berlari meninggalkanku.
Lama aku terdiam melihat tingkah laku Via kali ini tapi lamunan segera hilang
seiring berbunyinya bel tanda masuknya pelajaran pertama dan aku segera bergegas
menuju kelasku.

21
”anak-anak, berhubung jam 10 ada rapat majelis guru, jadi pelajaran hari ini diliburkan.
Dan sebagai gantinya kalian semua buat tugas halaman 107 pada buku cetak mulai soal
1-15 sebagai PR dan dikumpulkan hari selasa depan, sekarang kalian boleh pulang. Oh
ya... selamat tahun baru dan sampai jumpa tahun depan.”
Informasi yang disampaikan oleh guru Fisika sekaligus wali kelas kami membuat kami
semua bersorak gembira, maklum anak sekolahan kalau dah mendengar kata libur pasti
senangnya mintak ampun.
Aku bergegas meninggalkan kelas soalnya aku tahu pasti kesempatan ini bakal
digunakan oleh Arif untuk melanjutkan rapat acara tahun baru ntar.
Dan memang betul, Arif memberi komando pada isi kelas untuk tidak meninggalkan
kelas dulu bagi yang mo ikut acara tahun baru kali ini dan semua warga IPA 2 duduk
pada tempatnya, kecuali aku yang terus berjalan meninggalkan kelas, tapi kali ini aku
tidak sendiri karena Via juga berjalan dibelakangku dengan membawa tasnya.
Dihalaman sekolah telah terlihat para murid yang gembira karena nggak sekolah
untuk segera pulang.
Sampai di gerbang aku menoleh ke belakang. Aku lihat wajah Via yang sedih
berjalan sambil menundukkan kepala.
”Loh, Via...! ada apa kog sedih kayak gitu” Aku berhenti melihat Via yang sekarang
telah berani melihat ke arahku.
Cukup lama kami saling terdiam sampai akhirnya.
“Kenapa Via? What wrongs with you?” kali ini aku yang bingung melihat sahabat baikku.
“Jo…! aku nggak jadi ikut ma mereka, itu nggak ada salah ma kamu cuman aku mo
sendiri aja sekarang. Dan ini juga nggak ada hubungannya ama kamu. Jadi, tolong!
Sekarang aku mo pulang dulu, kalau pikiranku udah tenang, aku pasti akan bercerita
ama kamu semuanya! By the way, you’re still my best friend, Ok!”
Dengan sedikit tersenyum, akhirnya aku tertawa lepas dan Via juga tersenyum
mungkin ini senyum pertamanya hari ini.
”Oooh... jadi ceritanya bales nihh...!”
”Abiz kenapa sich ma kamu pake nggak ikut segala, kan aku paling nggak suka kalau
kamu nggak ada bersama kami. Just you are my friend, I have, Jo! You are.”
Dan kembali rawut kesedihan terlihat diwajah ayu di depanku.
“Sorry, Vi… aku cuma nggak pengen bahas masalah itu sekarang. Eh sekarang kan libur
neh! Kalau pulang nggak tau ngapain di Rumah. Gimana kalau kita jalan kebetulan aku
bawa sepeda motor tadi ke sekolah!”
”kamu serius mau ngajak Via? Tumben.... kan belakangan ini kamu maunya sendiri aza.”
”Jadi nggak mau ikut!”
”Ya... mau dong, kemanapun kamu bawa aku bakal ikut kog ma kamu!”
Kali ini aku kembali melihat senyuman yang belakangan ini tidak aku lihat sama via.
Ntah kenapa aku bisa kembali seperti dulu lagi ma dia. Tapi yang jelas aku kembali
merasa bahagia bersamanya. Kebahagian yang aku sendiri tidak tahu kebahagiaan
macam apa yang aku rasakan saat sekarang ini.

22
Akhirnya kamipun memulai keliling kota berdua dengan motor bebekku. Aku dapat
merasakan kebahagiaan Via, kebahagiaan yang mungkin sama dengan apa yang aku
rasakan sekarang. Sampai akhirnya kami berhenti di sebuah pantai di kota kami.
Hari sudah beranjak siang, sewaktu kami masuk ke sebuah cafe di pinggir pantai
itu. Sambil terus bercanda sampai akhirnya aku dikejutkan dengan sebuah pertanyaan
Via.
”Jo setelah sekian taon kita bersahabat, emangnya kamu nggak mau cari pacar atau
kamu udah punya pacar?”
aku kemudian terdiam. Dan aku melihat ke arah wanita yang duduk di depanku yang
juga diam, cukup lama kami saling diam dan saling pandang.
”Pacar...! maksud kamu Pacaran...! eh ... anu ... aku ...!”
Aku seperti tidak bisa melanjutkan perkataan kali ini. Dan akhirnya kamipun saling
diam tanpa mau saling menatap.
Hati seolah-olah sadar, berusaha untuk past back ke belakang. Mereka-reka kata
cinta, pacar dan pacaran. Kenapa aku nggak pernah berpikiran ke arah sana.
Tapi yang jelas kenapa aku harus berusaha menjauh dari Via belakangan ini dan
sewaktu jauh darinya, aku merasa ada yang kosong di hati ini. Sewaktu aku lihat dia,
ada rasa senang dan bahagia menyinari hati ini. Apakah ini cinta?
Yach inilah cinta...! dan sekarang aku rasa Via telah membawa aku ke arah itu.
Bagaimanapun aku harus mengutarakan isi hati ini sekarang ma dia, soalnya baru
sekarang aku sadar dialah cintaku.
”Via....”
”Yahh”
Dan sekarang aku telah berani kembali menatap dia, dan begitupun sebaliknya.
Kemudian aku berusaha untuk memegang tangan gadis berseragam SMU yang duduk di
depanku tanpa ada perlawanan untuk melepaskan peganganku.
”Pacar...! sebetulnya sudah ada orang yang aku sangat sayangi dan tentunya juga aku
cintai. Aku tau aku mungkin akan sangat berbahagia sekali kalau dia merasakan hal
seperti yang aku rasakan.”
dan sekarang aku merasakan ada perlawanan dari Via yang berusaha untuk
melepaskan pegangan tanganku.
”Siapakah gadis itu...! boleh aku mengenalnya Jo?”
”Dia sekarang ada di depanku, duduk dengan rona wajah penasaran yang aku pikir
sedang menunggu ucapan Aku cinta kamu.”
aku makin tegang bercampur takut. Dan aku lihat wajah gadis yang duduk di
depanku mulai memerah.
”Aku mencintaimu, Maukah.... kamu.... menjadi paca...rku!”
dengan nada bicara yang sedikit gemetaran kamipun terdiam. Aku melihat ada air
mata yang mulai menetes di mata Via yang berkaca-kaca. Dan sekarang pegangan
tangan ku pada tangan Via makin aku kuatkan dan aku merasakan tangannya dingin
seperti tidak berdarah lagi dan sedikit gemetar.
”Aku tau, mungkin apa yang aku ucapkan sekarang tidak pernah aku pikirkan akan
terucap di mulut ini... tapi itulah yang aku rasakan. Aku sungguh-sungguh mencintaimu.

23
Terima kasih telah memberi tau aku tentang makna apa yang aku rasakan selama ini ma
kamu.”
lalu kamipun kembali terdiam. Seolah-olah tidak ada pembicaraan cuma tangan yang
terus saling berpegangan.
”Jo... maafkan Via. Via saat ini sangat bahagia, akhirnya yang selama ini Via ingini dapat
tercapai, Via juga sangat mencintaimu”
”Jadi....”
sebuah anggukkan dari gadis manis didepanku yang diikuti dengan senyuman
bahagia.
Aku seperti merasa terbang seolah-olah tidak pernah merasakan akan mendapat
seorang pacar selama ini.
Perasaan yang sangat bahagia saat itu telah membawa kami sampai melupakan hari
dan sekarang sorepun telah mo peranjak pergi dengan ditandainya matahari mulai
terbenam. Akhirnya kamipun memutuskan untuk kembali pulang ke rumah.
Tapi sebelumnya kamipun mampir disebuah stasiun pengisian bahan bakar untuk
menambah bahan bakar sepeda motor yang sudah hampir habis.
”Jo. Aku ke warung depan dulu ya... mo beli permen.”
seiring dengan melangkahnya Via berjalan menyeberangi jalan menuju warung kaki
lima yang berada di depan stasium pengisian bahan bakar itu. Dari arah depan terlihat
sebuah mobil Daihatsu Feroza dengan kecepatan tinggi berusaha memotong sebuah
bus dan akhirnya lurus ke arah Via yang telah berdiri di tengah jalan raya tersebut.
”VIA...! AWAS...!”
Tapi sayang yang terjadi berikutnya hanyalah sebuah tabrakan yang membuat Via
terpental beberapa meter ke depan. Dan mobil feroza itu seolah-olah melarikan diri.
Dan membiarkan orang yang ditabraknya terkapar di tengah jalan. Dengan tubuh yang
mulai mengeluarkan darah via hanya diam dan tidak bergerak lagi.
Dengan spontan aku berusaha lari mengejar Via. Dan kemudian memeluknya dan
memopong sambil berusaha melarikannya ke rumah sakit yang jaraknya cuma beberapa
meter dari tempat kejadian tersebut.
Baju seragam sekolah kami yang putih telah berubah warna menjadi merah oleh
darah Via. Dan sesampainya di rumah sakit. VIA langsung di bawa ke instalasi gawat
darurat untuk segera mendapatkan pertolongan.
Hari telah menunjukkan jam 21.00 sewaktu orang tua Via dan kedua orang tuaku
sampai di rumah sakit. Terlihat kesedihan pada raut wajah mereka. Sambil memelukku
mamanya via kembali menangisi apa yang menimpa anaknya. Aku seperti tidak bisa
berkata-kata lagi cuma ada rasa bersalah dan bersalah di diri ini.
Jam telah menunjukkan pukul 23.55 sewaktu dokter keluar dari ruang instalasi dan
berjalan ke arah kami. Dan kamipun semua berdiri menghampiri sang dokter.
”Bagaimana Dok keadaan Anak kami”
”Kami telah berusaha, maafkan kami pak, semuanya telah diputuskan oleh yang di
atas.”
dan kemudian kamipun semua terdiam untuk berapa saat, sampai akhirnya ... akupun
berteriak sekeras-kerasnya.

24
”TIIIIIIDAAAAAKKKKKKKKKKKKKKK.....!”

25
MASA ITU TELAH KEMBALI
(CHASYA II)

Hari ini kembali aku mencoba merajut asa yang aku sendiri tak tau apa, aku cuma bisa
menulis ini. Tapi aku sadar aku juga tak tau harus dimulai dari mana tapi yang jelas
kisah hidup ini kembali aku coba untuk menceritakannya.

Baiklah aku akan memulainya dari dua tahun silam.

Di suatu pagi yang sangat cerah, aku dah siap-siap mo pergi soalnya hari ini adalah
permulaan aku mulai bekerja di sebuah perusahaan yang cukup bonafit di negeri ini.
“Kamu mo pergi kemana, Di! Tumben pagi begini kamu dah begitu rapi kayak orang mo
pergi kerja aja.”
Jaka teman satu kostku memecahkan lamunan aku sewaktu memasang sepatu.
“Kan hari ini aku dah mulai masuk kerja.” Jawabku sambil mengumbar senyum pada dia.
“Kerja…!”
“Emangnya kamu kerja dimana…?”
Terlihat Jaka mulai binggung
“Lo, kemarin kan aku dah bilang aku dah dapat kerja, masak kamu lupa!”
Dengan sebuah senyum simpul akupun mengelengkan kepala melihat Jaka yang mulai
makin binggung.
“OK. By the way, kemaren aku dah ngasih selamat atau belon …!”
“Udah…. Kan kamu juga yang menyuruh aku untuk pakai baju ini”
kembali aku tersenyum melihat Jaka yang masih saja binggung apakah dia dah ngasih
selamat atau belon. Harap maklum aja, memang Jaka anaknya agak pelupa, walau
demikian sebagai anak kuliahan tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri
ternama di kota kami, IPK dia tetap tinggi dan malah yang tertinggi di jurusannya
sampai sekarang, itupun dengan catatan nggak ada yang kelupaan.
“Jaka, hari ini kamu ada kuliah nggak!”
“kuliah…! Tunggu sebentar aku pikir dulu…emmmm”
lalu Jakapun menggarut-garut kepala sampai akhirnya dia tersenyum dan……
“Ada, tapi nanti jam 1 siang…! Sekarang aku mau ke … @..#...$..%... eh emangnya aku
mo ngapain tadi kog aku sendiri jadi lupa….”
Akupun tertawa cukup keras melihat tingkatan lupa Jaka yang sangat parah. Dan
sambil melotot Jakapun berlalu meninggalkan aku yang sudah siap memasang sepatu
dan kemudian pergi ke tempat kerja.
----------
Hari telah beranjak sore sewaktu aku keluar dari tempat kerja, rasanya badanku
sangat capek sekali, hari ini di kantor aku cukup banyak beraktivitas. Maklum aja,
sebagai orang baru aku harus berinteraksi dengan teman sesama pekerja disana.
Dengan badan yang terasa capek bercampur bahagia akupun menuju pulang dengan
sepeda motor bebek kesayanganku.

26
Hari telah menunjukkan jam 5 sore sewaktu aku sampai di kosanku dan hati ini makin
bahagia sewaktu aku melihat telah menunggu seorang gadis yang sudah aku anggap
adekku sendiri. Well… dialah Rahel dan sekarang masih kuliah satu jurusan dengan aku
dulu dan dia adalah adek tingkatku.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam…”
“Dah lama nunggu dek! Maaf abang pulangnya agak lama…. Maklum, kan harus kenal dulu
sama lingkungan satu kantor abang”
“Nggak adek baru datang kog bang.”
Kembali dengan sedikit senyum manis akupun duduk di dekat rahel.
“Ada apa dek, tumben kesini! Emangnya adek da perlu apa sama abang?”
“Adek kesini cuma mo ngasih selamat sama abang yang sudah dapat kerja, trus adek
juga mo ngasih tau abang sesuatu!”
Dan kemudian Rahelpun memberikan selamat pada aku dengan diikuti dengan
senyumannya yang memiliki ciri khas di hati ini.
“Adek mo bilang apa…?”
“Anu… sekarang mamanya Chasya ada di kosan adek. Dia mo bertemu ama bang
katanya. Sebetulnya dia mo ke sini tapi adek larang, kan abang lagi pergi kerja kata
adek, trus siap kuliah adek langsung kesini.”
“Apa… Mamanya Chasya… ada disini …!”
Kembali raut bahagia yang sangat kuat menyibak rasa capek aku bekerja seharian.
“Kalau begitu ayo kita ke tempat kos adek!”
Tanpa sempat menganti pakaianpun akhirnya kamipun segera berlalu meninggalkan
kosanku menuju kosnya Rahel yang dulu juga tempat tinggalnya Chasya.
Di sebuah tempat kost yang sangat asri itu, mungkin sudah satu tahun aku tidak
pernah lagi menginjakkan kaki disana. hal ini, tentunya memang terasa berat karena
masa lalu aku dulu. Emang hati ini mulai kembali terasa sedih mengingat masa lalu dan
akhirnya kamipun berjalan masuk menemui Mamanya Chasya.
“Adi…………”
Aku dikejutkan oleh suara seorang wanita setengah baya yang menyapa aku dari
belakang dan akupun memalingkan wajahku melihat ke wanita itu.
Aku seakan terkejut melihat Mamanya Chasya yang sudah sangat jauh berubah dalam
waktu satu tahun ini.
Dengan keadaan sama-sama terdiam dan raut kesedihan yang tergambar dengan begitu
jelas di wajahnya membuat aku tidak dapat lagi menyembunyikan kesedihan yang
begitu kentara dalam hati ini.
Sampai akhirnya akupun berlari memeluk wanita yang sudah sangat kurus dan seolah-
olah tidak ada asa lagi untuk tetap hidup.
Lama kami saling berpelukkan sampai akhirnya dalam keadaan terisak Mama Chasya
membisikkan kata-kata ke telinggaku.
“Adi coba kalau masih ada Chasya…”

27
Dan kembali dia menanggis dan kemudian akupun berusaha untuk melepaskan pelukan
itu. Sambil menatap wajah sendu yang telah berurai air mata. Akupun kembali
berusaha untuk tersenyum walaupun terasa sangat berat.
“Mama… nggak baek untuk terus-terusan mengingatnya dalam kesedihan. Biarkan
Chasya tenang disana Ma! Jangan mama tambah lagi derita dia disana. Aku tau apa
yang mama rasakan sangat pedih tapi ini bukanlah jalan keluar yang dia inginkan.
Bukankah dia selalu berujar dia nggak ingin ada lagi kesedihan sewaktu dia telah pergi
meninggalkan kita semua!”
Kemudian akupun terdiam untuk beberapa saat dan kembali berusaha untuk merangkai
kata-kata yang aku juga sangat tidak sanggup untuk mengucapkannya.
“Ma… aku juga sangat hancur Ma. Kalau boleh jujur dialah wanita pertama yang ada
dalam hati ini. Dialah yang telah melahirkan rasa yang selama ini tidak ingin aku
ciptakan naik. Dialah yang telah mengisi kehampaan dan kekosongan jiwa selama ini.
Tapi apakah kita harus tetap larut. Aku tahu aku nggak pantas berkata-kata demikian
sama Mama.... Tapi Ma.... Sampai kapan kita akan terus dalam kesedihan? Sampai
kapan…?”
Dan sekarang Mama telah berusaha untuk menyeka air matanya. Dan berusaha
memperlihatkan ketegaran jiwanya menerima kenyataan ini.
“Ma, apa yang aku rasakan cukup membuat aku terpukul Ma! Tapi aku harus bangkit
dan sekarang aku bisa bangkit kembali. Walau itu terasa sangat lama. Dan aku juga tau
mama adalah wanita yang cukup tegar menerima kenyataan ini. Jadi tolong ma, jangan
lagi bikin Chasya merasa sedih disana, buktikan kita bisa melewati cobaan ini dan juga
aku bermohon sama mama untuk bisa lihat kembali senyuman mama yang dulu yang
pernah aku kenal sebelumnya. Jangan tambah luka lagi dihati aku ma.”
Akupun kemudian bersimpuh dihadapan mamanya Chasya yang masih saja terdiam
tanpa dapat berkata-kata.
“Adi… Mama sekarang sudah merasa kuat. Mama akui mama dulu sangat hancur
sewaktu Chasya ….”
Kembali mama terdiam dan menyeka air matanya yang mulai keluar lagi.
“Dan buktinya mama mo kembali ke kota ini cuma ingin bertemu sama kamu, orang
terakhir yang telah memberi arti hidup pada Chasya di saat-saat terakhirnya.”
Sekarang aku telah kembali melihat tidak adalagi air mata yang keluar dari mata mama
dan dengan penuh senyum kasih sayang yang sangat tulus, mamanya Chasya berusaha
untuk membangunkanku yang masih saja tetap bersimpuh dihadapannya.
Kemudian kamipun duduk sambil kembali bercerita tentang masa lalu. Cukup lama kami
terlena olehnya sampai akhirnya azan magrib menghentikan cerita sedih itu, kemudian
kamipun sholat magrib berjamaah di rumah itu sampai hari telah menunjukkan jam
7.00 malam dan mama Chasya mengajak aku ke sebuah hotel berbintang karena di sana
telah menunggu Papa Chasya yang juga ikut ke kota ini.
Sebetulnya inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di hotel yang cukup ternama.
Dengan perasaan canggung akupun mengikuti Mama menuju café di sana, karena Papa
telah menunggu kami. Dan akhirnya kami berempat makan malam bersama.

28
Walau makan malam dengan makanan yang sangat enak-enak dan ditambah oleh rasa
lapar yang menyengat, tapi tetap saja tidak bisa kami makan dengan lahapnya. Karena
kesedihan masih tetap menghiasi pertemuan kami kali ini dan satu hal yang membuat
aku bahagia adalah inilah pertama kalinya aku bertemu dengan Papanya Chasya dan aku
menemukakan sosok seorang bapak yang sangat bijak dan dewasa. Dialah sosok
pemimpin yang selalu menghiasi bibir Chasya kalau bercerita tentang Papanya yang
sangat sempurna itu dan sekarang aku diberi kesempatan untuk bertemu dengannya.
Terima kasih Tuhan… apa yang Chasya selalu bilang tentang papanya semuanya aku
rasakan memang benar adanya.
“Lo… Nak Adi kog melamun…. Tu makanannya marah ntar nggak dimakan”.
“Eh anu…. Aku lagi nggak percaya aja aku bisa ketemu sapa papa, mama pada saat ini”
Jawabanku sekenanya saja sambil kembali mencoba untuk makan. Akhirnya itulah
malam yang kembali bisa membuat aku betul-betul terlepas dari rasa sedih yang sudah
sangat lama menghantui kisah hidupku dalam satu tahun ini. Aku kembali menemukan
apa yang seharusnya aku perbuat. Memang aku kelihatan tegar selama ini. Tapi itu
semua terjadi karena keterpaksaan saja, aku tegar hanya terus menginggat orang
tuaku di kampung. Tetapi, rasa hambar di hati ini tidak akan hilang cuma karena itu
saja. Dan sekarang aku telah menemukan arti hidup terhadap cobaan ini lewat orang
yang selama ini telah memberikan hal sama pada Almarhumah Chasya. Terima kasih
Tuhan, Engkau telah menemukan aku sama mereka.
-----------
Hari ini adalah hari Minggu dan itu berarti orang tuanya Chasya telah satu minggu
berada di kota ini. Sekarang mereka juga telah kembali ke Jakarta. Aku tahu keinginan
mereka untuk menarik ku ke jakarta ikut bersama mereka untuk melanjutkan usaha
yang selama ini dirintisnya. Tapi itu semua tidak bisa aku terima sekarang ini karena
aku tidak mau meninggalkan pekerjaan yang telah aku dapatkan begitu saja.
Aku berjanji kalau aku telah siap aku pasti akan ke sana menjumpai mereka dan
menerima tawaran mereka, tapi... itu tidaklah sekarang. Dan merekapun berjanji setiap
2 bulan sekali, mereka akan liburan ke kota ini. Dan menjumpai aku yang telah mereka
anggap sebagai anak mereka pengganti Chasya.
-----------
Hari ini adalah hari terakhir aku bekerja di perusahaan ini. Selama dua tahun aku
bergabung disana banyak ilmu dan pengalaman dalam bekerja yang aku dapatkan.
Banyak cerita dan asa yang telah membawa aku makin tumbuh dewasa dan makin
matang. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan ini semua. Tapi aku sendiri telah
berjanji dan tidak akan mengecewakan mama dan papa yang menginginkan aku untuk
bisa melanjutkan usaha mereka di bidang riteil.
Perpisahan dengan partner kerja yang telah satu hati selama ini memang terasa sangat
berat, tapi dengan acara perpisahan yang sederhana, akupun harus meninggalkan
mereka untuk pulang apa lagi besok adalah hari sabtu dan adekku Rahel akan diwisuda
juga.
Setelah sampai di rumah dan menganti pakaian akupun kemudian segera berlalu menuju
tempat kosnya Rahel.

29
“Bang Adi... Tunggu...!”
Sewaktu aku akan segera berangkat menuju rumahnya Rahel aku kembali dikejutkan
dengan suara yang memanggilku dari belakang. Udah sangat lama sekali kata-kata yang
dulu aku selalu aku dengar sewaktu akan berjalan ke kampus kembali menyapa
telinggaku dari belakang. Dan akupun berusaha menoleh sambil terlihat seorang gadis
berjalan tergesa-gesa menghampiriku.
“Rahel, Tumben Kamu disini. Abang mo ke rumah kamu”
“Bang, boleh Adek mintak tolong, nggak! Adek mo mastiin salon buat adek besok pagi”
Dengan senyum manis yang penuh ketulusan, akupun segera menganggukkan kepala yang
diikuti dengan senyuman penuh kebahagiaan yang terpancar dari wajah Rahel.
“Emang Abang adalah Kakak Rahel yang paling Baek.”
Tapi kata-kata rahel yang terakhir ini kembali membuat aku termenung dan tidak
dapat lagi melanjutkan kata-kata cuma ada sedikit kesedihan yang terpancar muka ini.
“Maaf, Apakah ada yang salah dengan ucapan adek bang!”
“Eh... tidak abang cuma..... ah lupakan saja! Ayo kita pergi, katanya mo mastiin salon,
emangnya adek di salon mana, kog nggak pernah kasih tau abang sebelumnya! Kan abang
bisa bantu adek cariin?.”
Jawabanku untuk mengalihkan pembicaraan karena pikiranku kembali menerawang ke
belakang, mengingat sosok yang pernah ada di hati ini. Tapi rahel tidak begitu saja
dapat dikelabui karena selama empat tahun kedekatan kami, setidaknya dia tahu
banyak tentang aku.
Dan akhirnya kamipun segera berangkat menuju salon itu. Selama dalam perjalanan,
kami lebih banyak diam tanpa ada pembicaraan seperti biasanya.
Setelah memastikannya, akupun mengajak rahel untuk singgah di sebuah cafe, yach
cafe... tempat aku dulu terakhir ketemu sama Chasya.
Setelah memesan makanan Rahelpun mulai berkata....
“Maaf, Bang bukannya Adek sok Tau, abang teringat sama mendiang ye...! Bukan
maksud adek untuk mengungkit masa lalu abang tapi adek cuma mau mengantikan dia
dihati abang.”
Aku kembali terdiam mendengarkan ucapan Rahel tanpa dapat berkata sepatah
katapun.
“Abang, Adek tau ini tidak pantas, Adek ucapkan tapi.... adek merasa sejak kita
berangkat tadi... dan sekarang adek, abang bawa kesini. Maafkan adek, bang. Yang
telah lancang membangkitkan kembali kisah masa lalu abang. Tapi kenapa abang bawa
adek kesini bukankah disini dulu abang....”
dan kembali Rahel terdiam, tanpa dapat berkata-kata untuk beberapa saat.
“Abang, kalau dulu adek pernah ngasih abang surat dari Chasya. Adekpun dapat surat
dari Beliau. Yang isinya pengen adek bisa kembali membangkitkan rasa yang pernah
singgah di hati abang terhadap beliau. Tapi beliau sadar, beliau tidak akan bisa
membahagiakan abang karena sakitnya. Dan dalam surat itu dia hanya pengen adek bisa
menggantikan dia di hati abang.”
Kembali rahel terdiam dan aku terus saja terdiam tanpa dapat berkata-kata
mendengar keterusterangan Rahel kali ini.

30
“Abang... Adek cuman pengen abang tidak terus larut dalam kesedihan dan juga tidak
pengen abang takut untuk jatuh cinta lagi. Sebetulnya Mendiang sewaktu
membicarakan ini sama Adek. Dia telah mengintrogasi adek apakah adek juga
mencintai abang dan adek menjawab sangat ingin untuk mengisi kekosongan dihati
abang karena dari dulu adek sudah sangat mencintai abang.”
“Sekarang adek merasa serba salah dan selalu berusaha untuk menciptakan apa yang
adek omongkan sekarang bisa keluar dari mulut abang tapi adek sadar adek, tidak akan
pernah mendengarkan itu dan adek juga sadar, adek harus memulainya sebelum
semuanya terlambat....”
Lalu Rahelpun terdiam dan tertunduk.
“Terlambat! Apa maksud adek dengan kata-kata terlambat!”
Akupun sekarang berusaha memberi respon ucapan Rahel dan terus berusaha
memperhatikannya dengan penuh keseriusan.
“Yach terlambat, adek akan diwisuda itu berarti adek akan pergi meninggalkan kota ini.
Begitupun dengan abang yang akan segera ke Jakarta.”
Lalu kamipun kembali terdiam sampai akhirnya Rahel memulai pembicaraan kembali.
“Abang, Mama dan Papa Chasya sudah tau semuanya dan merekalah yang telah
memberikan semangat untuk adek berbicara seperti ini sekarang ini.”
Aku kembali merasa terpojok dengan ucapan Rahel kali ini. Bukan karena paksaan tapi
sejujurnya aku juga sangat ingin mengisi kekosongan dalam hati ini dan setelah sangat
lama aku pikirkan jawabannya orang itu adalah Rahel. Itu semua jujur dari hari aku
tanpa ada karena yang lain. Memang aku tidak berani mengungkapkan semuanya karena
aku masih trauma terhadap masa lalu yang aku lalui bersama Chasya dan apalagi Rahel
adalah teman baiknya Chasya.
“Adek! Abang juga sadar kalau dari dulu sebetulnya abang sangat ingin mencari
penganti Chasya dan abang telah menemukan orangnya. Abang nggak berani
mengungkapkan isi hati ini karena sebetulnya abang takut untuk kehilangan lagi.”
“Maksud abang sudah ada yang lain di hati abang!”
“Yach Sudah ada, orangnya sekarang sedang duduk di depan abang, dialah wanita yang
selama ini bisa membuat abang kembali menatap kaum hawa dan kini salahkah abang
kalau abang sangat mencintainya dan ingin mencuri hatinya untuk abang.”
“Jadi”
“Yach... Maafkan Abang yang telah begitu Naif membiarkan adek terus menunggu
abang selama tiga tahun ini. Dan untuk itu abang mengucapkan terima kasih.”
Kemudian akupun memberanikan diri untuk memegang tangannya dengan memberikan
rasa aman dan tentram di hatinya dan kemudian....
“Adek.... Abang Pikir kita tidak cocok lagi untuk pacaran... bagaimana kalau setelah
kamu di wisuda abang akan membawa orang tua abang juga mama dan papa untuk
melamar adek pada orang tua adek, agar mereka bisa segera menikahkan kita.”
Dan kali ini aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa cuma aku mendapatkan senyuman
kebahagiaan dan sebuah anggukkan tanda setuju yang bisa mengambarkan kebahagian
kami saat itu.
--------------

31
Satu bulan telah berlalu, sekarang aku telah menjadi seorang suami dari Rahel, juga
telah melanjutkan semua usaha mama dan papa.
Semoga hidup kami akan terus bahagia sampai akhirnya.

32
ROMANSA DI RAJA AMPAT

Udara masih terasa dingin ketika aku terbangun oleh kokok ayam yang terasa
nyaring di depan kamar cottageku. Dengan kantuk yang masih mendera, aku bangkit untuk
melaksanakan shalat subuh, “ ah masih jam 4.30”, batinku. Air dingin terasa sejuk
menyirami wajahku, kupandangi wajah kantukku yang segar disirami air, di sana masih
tergambar jelas keinginan untuk bertemu Rio sangat kuat mendorong sukmaku ke sini, di
pulau Batanta ini aku yakin akan bertemu dengannya.
Baru semalam aku berada di Batanta, setelah memakan perjalanan 8 jam dari Padang ke
Sorong, kemudian dilanjutkan ke Batanta selama 2 jam dengan menggunakan speedboat
yang membuatku mabuk laut. Namun semua itu tidak membuat luruh niatku untuk bertemu
dengan Rio di kawasan Raja Ampat ini. Rio yang cool, Rio yang cuek, anak alam, telah
menghipnotisku untuk dengan rela meninggalkan aktivitas pentingku demi bertemu
dengannya. Rio dan aku bertemu untuk pertama kalinya dalam ekspedisi pelayaran
kebangsaan nasional yang mengutus kami sebagai wakil universitas masing-masing. Saat itu
aku berpasangan dengan Reno mewakili padang dalam ekspedisi itu. Tergabung satu tim
dengan utusan dari Bandung oleh Rio dan Ratna, Makassar oleh Anca dan Ika serta Manado
yang diwalili oleh Gunara dan Paula. Dalam ekspedisi itu kami bertugas mengadakan
penelitian alam dan sosial di pulau Batanta ini, kenangan yang tak terlupakan memang,
mahasiswa dari berbagai daerah bersatu padu dalam penelitian ini. Ekspedisi yang memakan
waktu selama 2 minggu telah menimbulkan keakraban yang erat diantara kami, dan juga
kedekatan yang lain di antara sesama anggota ekspedisi Batanta, saat itu Reno dan Ratna
telah resmi menjadi menjalin hubungan Khusus, begitu Gunara dan Ika, dua hari sebelum
ekspedisi berakhir. Tampaknya jarak yang terbentang jauh gak menyurutkan langkah
mereka ke dalam jalinan benang merah itu. Sementara, Aku dan Rio masih gengsi untuk
mengakui akan adanya perasaan jingga di hati masing-masing. Aku merasa malu apabila
sesama anggota ekspedisi pelayaran kebangsaan saling menjalin kasih, walau memang sudah
menjadi tradisi bila sesama anak ekspedisi terkena virus aphrodite ini. Ku akui aku begitu
naif dan idealis dalam urusan perasaan, beda dengan Rio yang dengan terang-terangan
menyatakan isi hatinya padaku. Sejatinya bunga-bunga dalam taman hatiku telah
bermekaran untuknya namun perbedaan yang ada begitu kuat membuatku bertahan. Namun
Rio tetap yakin, kelak kami akan bersatu.
Satu-satunya ikatan perjanjian kami adalah cinci perak bersimbul setengah hati,
sebenarnya cincin itu berbentuk hati penuh, sebagian lain cincin itu di simpan oleh Rio. “By,
cincin ini akan bersatu kembali bila kelak kita bertemudan engkau telah yakin dengan
hatimu,”ucapnya saat terakhir kami menikmati pemandangan alam pulau Kofiau.
Sejenak kupandangi cincin perak yang melekat manis di jari manis kananku. Sepenuh hati
ku kecup, seakan hatiku tak sabar untuk mengungkapkan semua rasa pada Rio nanti. Aku
tersentak setelah alarm berbunyi menunjukkan angka 5, segera kulaksanakan shalat subuh,
sebagai awal permulaan kegiatanku di pagi ini. Aku melangkah keluar cottage setelah
relaksasi sejenak di beranda cottage yang mengarah ke arah pantai, tampak laut membiru
dengan hiasan matahari yang menyilaukan di ufuk timur. Ah begitu indahnya . . . burung-

33
burung liar terbang jinak di pinggir pantai, di atas pasir putihnya yang berkilauan seakan
memberi salam selamat datang padaku di bumi Raja Ampat nan surgawi ini.beruntung sekali
Raja Ampat memiliki alam seindah ini, bila saja di kembangkan dengan lebih intensif lagi,
bukan tidak mungkin Raja Ampat menjadi kota wisata termegah di Indonesia. Apalagi
lautnya yang merupakan pertemuan arus air pasifik dan laut cina selatan di selat Dampit
memberi khasanah alam laut yang tiada ternilai dan memiliki keindahan alam bawah laut
terindah di dunia. “ daerah ini sangat eksotis by, aku ingin tinggal di sini merajut hari-
hariku, kerang-kerang di sini penghasil mutiara produktif, bila kita mau kembangkan dengan
baik, maka Indonesia timur akan menjadi daerah terkaya , dan orang pribumi akan bisa
merajai usaha mutiara mengalahkan orang-orang asing yang berinvestasi di sini. Orang kita
terlalu lemah untuk menguasai daerahnya sendiri, terutama segi pengetahuan, bila kita mau
pasti bisa” ucap Rio antusias suatu kali, ketika kami selesai diving di alam bawah laut selat
Dampit. Impian itu akhirnya terwujud, Rio yang memiliki jiwa petualang sejati memutuskan
untuk mengabdikan diri di Raja Ampat, memenuhi hasrat pecinta alamnya “Hatiku telah
tertambat di Raja Ampat by,” ujarnya suatu kali dalam email yang selalu dia Kirim untukku.
Memang, bidangnya yang kelautan, membuatnya begitu betah di lepas pantai. Hubungan
kami yang hanya lewat email, sudah cukup membuatku begitu dekat dengan Rio. “By,
segeralah ke sini, keindahan surgawi begitu mempesona di tanah cendrawasih ini, air terjun
yang indah di kelilingi bebatuan alam, tebing yang curam, serta nyanyian alam dari suara-
suara sang cenderawasih akan membuatmu terpesona by, . . . aku yakin kau pasti suka”
tulisnya suatu ketika lima bulan yang lalu, ketika ia mengadakan penjelahan di kedalaman
Raja Ampat yang lain dalam usaha pelestarian karang biru.
Sesungguhnya aku iri, aku yang di besarkan dalam keluarga yang demokratis, yang juga
pecinta alam masih belum mampu menandingi kebebasannya dalam menikmati hidup. “hidup
ini anugerah tuhan yang gak terhingga by, karena itu pergunakan dengan cinta” ujarnya
suatu kali. Telah banyak ku dengar ceritanya tentang daerah-daerah indah yang
dikunjunginya. “lembah Baliem sangat indah by, bunga-bunga bermekaran bak musim semi,
di sana sini terdapat tebing tinggi yang memantulkan suara indah” , “by, Papua bukan hanya
memiliki Raja Ampat, namun beribu-ribu pulau yang indah, dan gak tertandingi, keindahan
alam pulau Padaydo juga harus kamu saksikan, tempat indah di Biak, di sini terdapat
tanaman langka di dunia, ikan violet kuning yang indah mengingatkanku akan warna favorit
kita, teluk wandama memiliki ikan pemburu yang gesit lho, meski ukurannya kecil namun
mampu menghabisi mangsa yang besar, orang-orang menyebutnya ikan “setan kecil”,
warnanya indah tapi mematikan sama sepertimu he..he..he.” “by, asal tau aja neh ternyata
wanita –wanita di pedalaman Papua, terutama di teluk Bintuni telah menganut emansipasi
wanita atau persamaan gender sejak zaman dulu lho, malah mereka sangat perkasa, mereka
yang bertugas menghidupi keluarga, bukan suami, dan ada lagi yang unik sebuah suku di
pedalaman sungai memberamo hanya di diami oleh wanita, seperti wanita-wanita di sebuah
pedalaman Afrika, mereka hanya butuh pria untuk meneruskan keturunan, setelah itu di
buang malah ada yang di bunuh lho,” tulisan-tulisan email Rio bermain-main dalam ingatanku,
membuatku ingin merasakan bertualang bersamanya, aku ingin merasakan semua yang di
rasakannya, bermain di Tanjung Kasuari, menelusuri mangrove-mangrove di teluk Bintuni,
menikmati senja di Pantai Kaimana, menyaksikan matahari terbit di pulau Dolak, ah

34
semuanya ... ingin kurasakan. Kuhirup udara pagi yang cerah, “Nona, speedboad telah siap,
apakah anda ingin segera pergi”, serta merta aku menoleh pada Sorro yang telah berdiri di
belakangku, pria pribumi yang menjadi pemanduku di Raja Ampat, “sebaiknya kita segera
pergi nona, perjalanan ke Pulau Waigeo memakan waktu 2,5 jam, nanti kita terlambat
sampai ke sana, perbekalan telah disiapkan oleh Saura, nona” jelasnya yang segera kujawab
dengan anggukan cepat, perlahan kami telah meninggalkan tepi pantai Batanta, di sertai
lambaian tangan Saura istri Sorro.
Perjalanan ke pulau Waigeo sangat menyenangkan, walau medan yang di tempuh sangat
bergelombang, yang hampir membuatku mabuk laut. Namun hamparan laut berwarna
torquise di hiasi burung-burung laut yang berterbangan, mampu membuatku bertahan. Aku
terpesona takjub ketika 5 ekor lumba-lumba menemani perjalananku sembari berakrobatik
seakan mengucapkan salam persahabatan. Seekor lumba-lumba menghampiriku seakan
mengucapkan selamat tinggal setelah aku tiba di pesisir pantai Waigeo yang berpasir putih.
“Alam laut di sini sangat indah nona, saya yakin anda pasti betah di sini” promosinya,
ketika dengan segera aku menyiapkan alat-alat divingku di ikuti oleh Sorro. Pemandangan
alam bawah laut yang indah segera menyapaku, ikan-ikan nirwana, ikan pedang dan ular laut ,
serta bunga karang laut berhamparan indah menyejukkan mata yang memandang. Sorro
memanduku menikmati keindahan alam ini, tiba-tiba mataku tertancap pada serimbunan
bunga yang berbentuk krisan nan indah, aku segera berenang ke sana, Krisan itu sangat
indah dan ternyata jaraknya cukup jauh untukku sampai di sana, aku bergerak semakin jauh,
aku gak peduli, keindahan krisan itu begitu menghipnotis ku. Tanpa kusadari, kakiku terbelit
oleh tanaman laut yang liar, aku hampir terseret jauh ke dalam laut namun dengan sigap
seseorang menarikku dari tanaman yang mematikan itu. Dengan gugup aku segera berenang
ke atas, kejadian yang membuatku hampir kehilangan nyawa. Dengan segera kulepaskan
peralatan selam, tak ku pedulikan Sorro yang masih di bawah laut, aku terduduk lemah
dihamparan pasir pantai, hari telah beranjak petang. Kulihat Sorro telah muncul dari dalam
laut, aku segera menyusulnya namun ada yang lain dari Sorro, bayangan sosok itu semakin
jelas menampilkan sosok pemuda berkulit gelap, dengan wajah kelam menutupi siluet
sunset, tersenyum padaku “Pa kabar by,” sontak aku kaget menyadari siapa di hadapanku,
“Rio!, ini benar kau!” tanyaku tak percaya, Rio hanya tersenyum memandangku. Sejenak kami
terpaku dalam nuansa pertemuan yang tidak terduga, tanpa disadari aku telah berada
dalam pelukannya, merasakan kerinduan yang terpendam, “ Aku selalu menepati janji by,
bagaimanapun kita pasti akan bertemu” “tapi bagaimana kau tahu aku ada di sini, sedangkan
janji pertemuan kita tujuh hari lagi Yo?” “kontak batin by,aku merasa kau telah berada di
sini, jadi tiada alasan bagiku untuk menunda pertemuan ini” jawabnya sembari
merenggangkan pelukan menatapku lembut. “By, ikut aku, ada yang ingin ku perlihatkan
padamu” ujarnya seraya menuntunku berjalan menuju ke arah perbukitan karang, melewati
tanjakan curam hingga ketinggian 800 meter kamipun kembali menuruni bukit karang, Rio
memapahku karena kakiku terluka oleh karang tajam yang menancap di perbukitan.
Melewati kawah yang curam, akhirnya kami tiba disebuah telaga yang sejuk dihiasi air
terjun di kelilingi rimbunan pohon yang di lingkari tebing-tebing tinggi,” by lihat ini tempat
peristirahatan yang indah bukan” ujarnya berpromosi. Kami beristirahat di balik air terjun
yang indah, aku menggigil kedinginan, Rio segera menyelimutiku dengan mantel hangat, ” by,

35
tahukah kau mengapa aku membawamu kesini?” “ aku ingin menghabiskan waktu hanya
bersamamu, aku gak ingin seorangpun mengganggu kebersamaan kita by, tempat ini hanya
khusus untukmu, ini persembahan untuk ulang tahunmu, kau menyukainya by?” tanyanya
menatapku dalam, tatapan elang yang selalu kurindukan, aku hanya tersenyum sembari
bersandar dipundaknya, “tiada yang lebih kusukai selain bertemu denganmu Rio” jawabku
lirih, Rio merengkuhku lembut, sejenak kurasakan kehangatan yang ada, “by, aku
menyayangimu lebih dari apapun, aku gak ingin kehilanganmu, namun terpaksa aku
meninggalkanmu” ujarnya yang membuatku terkejut. “ Rio, jangan pergi lagi” “aku gak
pernah pergi darimu by,” Rio mencium ubun-ubunku lembut membawaku berhadapan
dengannya, “berjanjilah by, apapun yang terjadi kau tetap mencintaiku selamanya” kusadari
wajah itu tampak begitu tirus, aku hanya terdiam bersandar di dadanya, merasakan
kebersamaan yang ada. “Maafkan aku membawaku ke situasi seperti ini by”, Rio menyatukan
kembali cincin setengah hati di jari manisku dan memasukkan kembali ke jari manisku “
sekarang aku sepenuhnya untukmu by”
“ By . . .bangun by . . . bangun” sayup-sayup terdengar suara-suara memanggil namaku,
namun aku masih terlalu malas membuka mata. “By, jawablah panggilan itu” perintah Rio,
perlahan aku pergi menuju ke arah panggilan tersebut, sinar mentari menyilaukan
pandanganku, kudapati sosok-sosok yang ku kenal mengerumuni ku, Reno, Ratna, Anca, dan
Paula. “By, kamu dah sadar, dua hari kamu pingsan, kami semua mengkhawatirkanmu” ujar
Ratna haru. “Kami menemukanmu di pedalaman hutan Waigeo, terdampar di tepi air terjun”
terang Reno.Rio, mana Rio . .” semua orang kaget melihat reaksiku, mereka saling pandang,
“Rio bersamaku waktu itu,” terangku. Pandangan mereka semakin binggung, Ratna
merengkuhku lembut. “By, Rio tidak ada bersamamu, dan dia juga gak ada disini, dan
nggakakan . . .”ujarnya tercekat. Aku memandangnya nggak mengerti. Reno mendekatiku, “
By, Rio sebulan yang lalu Rio mendapatkan kecelakaan dalam penyelaman di lepas pantai
pulau Padaydo, ia terseret lumpur hidup. “Bohong . . .!” teriakku tak percaya ”gak mungkin,
aku memang bersamanya!!” ujarku berang. Reno kemudian menyodorkan koran lokal yang
berjudul “ EKSPEDISI PADAYDO MEMBAWA MAUT, ANGGOTA PENYELAMAN
BAHARI, RIO PERMANA MENJADI KORBAN DALAM EKSPEDISI INI”, seketika
bayangan hitam menerpa diriku dan . . .
“ By, aku akan tetap bersamamu, aku akan tetap hidup di sini, selama pulau Raja Ampat
masih memancarkan keindahannya, yakinlah aku selalu ada, pangeranmu akan tetap
bersemayam di sini . . . juga di hatimu“

36
GURUKU
Oleh Ira MDK, S.S

Aku tersentak, tak kala pintu kamar yang tidak tertutup rapat di dorong sedikit demi
sedikit sehingga mengeluarkan bunyi engsel berkarat kian keras, yang bersamaan dengan
menyembulnya muka seekor kucing belang hitam putih besar di pintu itu. Yah, kucing yang
telah 3 bulan ini menemani kesendirian tinggal di rumah petak buk Lena di kota kecil ini.

Melihat aku yang masih terduduk santai di meja kerja, dia datang untuk sekedar
disebelah ranjangku.

Oh ya...

Perkenalkan aku Yoyo, seorang fresh graduated dari sebuah universitas swasta di kota
sebelah yang telah 4 bulanan ini bekerja sebagai admin advisor di sebuah restoran cepat
saji yang sedang naik daun belakangan ini.

Sebetulnya hari telah beranjak larut, tapi aku masih duduk terdiam di kursi dengan
laptop usang peninggalan kuliah dulu, sambil membroswing media sosial facebook tapi mata
ini tertuju pada group teman sekolah SMP dulu. Ada sebuah photo yang buram yang kembali
di upload Hesti.. yah sebuah photo ibuk guru Biologi yang kebetulan adalah wali kelas kami
waktu kelas 2 dulu.

Sebetulnya cukup banyak kenangan dengan sosok ibuk Irmayanti ini, dia seorang guru
yang tidak pernah bisa marah karena tingkah dan kelakuan kami dulu, beliau juga sosok yang
selalu membela kami yang hampir tiap minggu di panggil ke meja piket guru, karena
kejahilan dan keisengan yang kami lakukan baik terhadap teman satu lokal, maupun teman
satu sekolahan atau di panggil guru mata pelajaran lain karena tingkah kami sewaktu guru
itu masih mengajar. Tapi kalau sudah ibuk Irmayanti yang masuk, semuanya berubah jadi
siswa yang baik, sopan, dan siswa yang aktif belajar, entah kenapa, kami juga kurang tau,
apakah karena beliau adalah walikelas yang peduli ma siswanya atau pelajarannya yang
berhubungan dengan reproduksi. Entah lah...

Sebetulnya ada suatu pengalaman yang tidak mungkin terlupakan, tak kala waktu itu,
kami memutuskan untuk cabut satu lokal dalam mata pelajaran PPKn karena gurunya yang
tergolong sadis dan suka menggunakan pedang samurai (rol papan panjang 1 meter) untuk
memukul meja yang membuat kami nyaris jantungan.

Aku masih ingat, hari itu adalah hari Rabu di bulan Agustus 2012, kami memutuskan
untuk cabut satu kelas untuk jam pelajaran 5 – 6, kami cabut dan meninggalkan pesan yang
tercatat besar dengan spidol di papan tulis “Maaf Buk, Kami semua Anak Kelas II.8
menyatakan memboikot pelajaran PPKn yang Ibuk ajar sampai ibuk bisa tersenyum dan
berjanji tidak bawa SAMURAI lagi”. Akhirnya masalah ini jadi panjang, sampai orang tua

37
kami semuanya dipanggil kepala sekolah, tapi ibuk Irmayantilah membela kami, dengan
mengatakan “Inilah salah bentuk demokrasi anak muda jaman sekarang, sewaktu
kediktatoran melanda mereka, dekati dan rangkul mereka, belajar untuk mendengarkan
mereka, karena anak sekarang sangat berbeda dengan kita masih sekolah dulu, jadi
pendekatannyapun berbeda”.

Ada suatu kebanggaan ucapan sang walikelas di depan perwakilan kami dan orangtua
kami, kepala sekolah dan guru PPKn itu.

Itulah pembelaan yang dilakukan karena ibuk merasa bertanggung jawab sebagai
walikelas kami. Walaupun akhirnya kamipun kena skor 2 minggu untuk membersihkan
pekaranngan sekolah tapi guru PPKn pun ditukar untuk lokal kami. Tapi pas kelas III,
kamipun jadi dekat dengan ibuk guru PPKn tersebut sampai sekarang.

Disamping itu, dimasa jadi walas kamipun, Ibuk Irmayantipun mengakhiri masa
lajangnya, dan kamipun memberinya sebuah kado yang dibawa dengan mobil L300 ke pesta
pernikahannya, karena kegedean... tapi jangan khawatir, itu tetap keisengan kami karena
kado berupa dinner set itu dibungkus sebanyak 64 kotak dari kotak sebesar karton air
minum kemasan sampai 2x kotak kulkas 2 pintu.

Ah... teringat hal itu, tentu akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan.

Kini, rasa rindu itupun kembali bisa pulang untuk menemui ibuk Irmayanti.

Okeh.... hari telah jam 2 malam, mending aku tidur aja..

Hari telah menunjukkan jam 8 pagi, di hari minggu pagi itu, dengan sedikit harapan,
akupun kembali naik motor matic over kreditan yang baru aku ambil 2 bulan lalu. Hari ini,
aku memutuskan untuk kembali pulang sebentar untuk sekedar bertemu dengan ibuk
Irmayanti.

Dua jam perjalanan dengan motor matic, akhirnya akupun sampai di depan sebuah rumah
sederhana dengan pekarangan yang sangat asri, dengan semangat berlebih akhirnya akupun
turun dari motor, bergerak menuju pintu rumah yang masih terlihat sunyi. Setelah
mengucapkan salam berkali-kali tidak ada sahutan, sampai akhirnya tetangga sebelah
memberi tahu bahwa ibuk Irmayanti dan keluarganya sedang pergi pasar, tapi akhirnya ibuk
itu melihat aku begitu dalam sambil berkata. “Apakah ananda namanya Yoyo?”.

“iya buk, aku Yoyo..”

“ternyata kamu tidak begitu berubah yo, dulu Ibuk IrmaYanti sering cerita tentang
sepak terjang sang ketua kelas, sambil melihatkan photo kamu sama saya.”

38
Ooo.. betulkah buk?

Iya, Beliau bangga sebagai walikelas kalian dulu,

Dengan perasaan bangga, akupun membalas pujian ibuk itu dengan senyum simpul.

Tidak begitu lama setelah itu, muncullah idola kami sekolah dulu, sang motivator dan
pendengar curhat yang sangat kami cintai.

“Yoyo.... wah makin keren aja anak ibuk ini,” begitulah perkataan pertama yang meluncur
dari mulut seorang perempuan yang sudah melewati kepala 4 turun dari mobil, terlihat
wajah ceria seperti dulu, sosok guru yang bisa jadi orang tua dan teman maupun musuh yang
silih berganti dan akhirnya bisa menempa kami lebih baik menghadapi masa remaja yang
kami jalani.

Sampai sore menjelang, dan rencana kembali ke kontrakan di kotapun harus memutuskan
pertemuan kami.

Banyak tanya dan wejangan yang aku terima dari sang motivator ini. Sambil berjanji
bahwa awal bulan depan aku bermaksud mengundang ibuk Irmayanti untuk datang ke
kotaku, menjamu beliau menjadi tamu kehormatan di kota tempat aku bekerja.

Terima kasih tuhan telah membeli seorang guru yang begitu baik hati dan pengertian
seperti ibuk IrmaYanti kepada kami.

Based on true story, nama dan waktu disamarkan...

39

Anda mungkin juga menyukai