Anda di halaman 1dari 9

JANGAN

PERGI
"Ayah, jangan tinggalin aku ya." Ucapku kepada ayah yang sedang terbaring di tempat tidur. Namaku Nabu, aku
berusia 17 tahun. Saat usiaku 10 tahun aku kehilangan ibuku dan membuatku hanya tinggal bersama ayah. Aku
menghabiskan hari-hariku dengan ayah, sekalipun aku selalu sibuk dengan tugas sekolahku dan ayah selalu sibuk
dengan pekerjaannya.
"Ayah harus rajin berobat juga, oke?" Tanyaku lagi. Ayah memiliki sakit jantung dan harus melakukan pengobatan
secara rutin. Akan tetapi, kami memiliki sedikit kendala di keuangan sehingga ayah sering kali lalai terhadap
pengobatannya.
"Iya, Nabu. Ayah akan rajin kontrol dan meminum obat." Jawab ayah sambil tersenyum manis. Aku mengarahkan
jari kelingking ke arah ayah, kemudian menatap ayah lekat.
"Janji?" Kataku. Ayah tersenyum manis, kemudian mengaitkan jari kelingking kami. Ayah berjanji padaku untuk
selalu melakukan pengobatan secara rutin dan tidak memikirkan uang pengobatan.
Ayahku adalah ayah yang baik. Ia bekerja dari pagi hingga sore, lalu malamnya selalu menyempatkan waktu untuk
membuat rumah kami terasa hangat, agar aku tak kesepian. Ayah selalu memasak makan malam yang enak
untukku, terkadang mengajakku untuk bermain catur ataupun permainan monopoli. Ayah tak suka film horor, tapi
ia sering memaksakan dirinya ikut menonton karena tak mau aku menonton sendirian.
"Iya, Nabu. Ayah akan rajin kontrol dan meminum obat." Jawab ayah sambil
tersenyum manis. Aku mengarahkan jari kelingking ke arah ayah, kemudian
menatap ayah lekat.
"Janji?" Kataku. Ayah tersenyum manis, kemudian mengaitkan jari kelingking
kami. Ayah berjanji padaku untuk selalu melakukan pengobatan secara rutin
dan tidak memikirkan uang pengobatan.
Ayahku adalah ayah yang baik. Ia bekerja dari pagi hingga sore, lalu
malamnya selalu menyempatkan waktu untuk membuat rumah kami terasa
hangat, agar aku tak kesepian. Ayah selalu memasak makan malam yang
enak untukku, terkadang mengajakku untuk bermain catur ataupun
permainan monopoli. Ayah tak suka film horor, tapi ia sering memaksakan
dirinya ikut menonton karena tak mau aku menonton sendirian.
"Ayah pasti sembuh, kan?" Tanyaku kepada ayah yang terbaring lesu di atas tempat tidur.
"Pasti, sayang. Kamu ga usah khawatir. Ayah pasti sembuh dong, kan ayah kekuatannya
sama kayak superhero yang kamu suka." Jawab ayah menyelipkan candaan yang
membuatku tersenyum. Tadi pagi, ia tidak masuk bekerja dan kembali ke rumah setelah
mengantarku ke sekolah. Katanya, penyakit jantungnya kumat saat ia dalam perjalanan
menuju kantor. Ayah pun terpaksa harus pergi ke rumah sakit terdekat.
Tadinya ayah hendak di rawat inap sesuai anjuran dokter. Tapi ayah memilih untuk dirawat
di rumah saja supaya katanya aku tak perlu repot-repit mondar-mandir ke rumah sakit
untuk memastikan keadaan ayah. Tapi aku tau kalau alasan sesungguhnya adalah karena
ayah tidak memiliki cukup uang untuk rawat inap di rumah sakit.
"Tapi jangan lama-lama sembuhnya, nanti aku sedih loh liat ayah sakit terus." Ucapku
dengan nada suara yang manja. Ayah tertawa, berpura-pura geli mendengarku berbicara
seperti itu.
"Nabu, kalau ada ibu pasti ibu yang duduk di posisi kamu sekarang kan?" Tanya ayah secara tiba-tiba. Bicaranya jadi
random sekali hingga aku dibuat terkejut. Padahal sudah lama sekali ayah tidak membicarakan ibu denganku. Ayah
tau kalau aku akan sedih saat membicarakan ibu, sebab itu ayah selalu menghindari perbincangan mengenai
almarhum ibuku. Tapi kini ayah membicarakannya. Aku tak masalah, aku akan mendengarkan karena sepertinya ayah
sangat merindukan ibu.
"Iya, ibu pasti marahin ayah karena ga bisa jaga kesehatan. Kalau aku sih ga bisa marah-marah, nanti aku dikatain
ngelunjak ahahaha." Jawabku sambil tertawa, membuat ayahku tertawa juga.
"Ibu kangen ga ya, Nabu, sama ayah?" Tanya ayahku lagi. Omongannya sudah sedikit melantur. Ayahku adalah orang
yang sangat rasional. Ia jarang sekali membicrakan hal-hal yang tidak bisa dijawab menggunakan logika itu. Tapi kini,
ayah malah bertanya seperi itu.
"Kangen dong, cuma kan ibu ga bisa bilang ke ayah." Jawabku. "Ayah kangen ya sama ibu sampai tiba-tiba ngomongin
ibu kayak sekarang?" Tanyaku.
Ayah mengangguk. Ia tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Aku jadi merasa bersalah. Selama ini aku egois tak
ingin membicarakan ibu bersama ayah. Ayah pasti tak punya tempat bercerita, ayah memendam semua kesedihannya
sendiri. Melihat ayah meneteskan air mata malam ini membuatku sadar bahwa aku tak sepatutnya menghindari
pembicaraan tentang ibu, sehingga ayah bisa bercerita kepadaku tanpa takut membuatku terluka. Seumur hidup, ini
adalah kedua kaliku melihat ayah menangis.
Pertama kali ayah menangis adalah saat pemakaman ibu. Ia begitu histeris hingga tak ingin
meninggalkan malam ibu selama berjam-jam. Hingga aku harus menyusulnya bersama pamanku
dan membujuknya. Paman mengatakan bahwa ayah harus memikirkan aku, sehingga ayah harus
pulang dan menemaniku karena kami hanya mempunyai satu sama lain. Setelah dinasehati
seperti itu oleh paman, ayah pun tersadar dan langsung ikut pulang bersama kami. Selama ini
ayahku terlihat ceria dan kuat. Tapi aku tak tau bahwa aslinya ia adalah seorang suami yang
kehilangan cinta sejatinya, seorang ayah yang membesarkan putrinya seorang diri, seorang
kepala keluarga yang mengurus rumah seorang diri, seorang pegawai yang harus bekerja lembur
untuk mendapatkan upah tambahan.
Ayahku tak sekuat yang selama ini ia tunjukan kepadaku. Hal yang paling membuatku menyesal
adalah karena aku baru mengetahuinya sekarang. Aku baru menyadari semua itu setelah ayah
jatuh sakit. Pasti berat baginya menanggung semua itu seorang diri.
"Ayah, maafin Nabu ya." Ucapku sambil memeluknya yang terbaring lemas. Aku merasakan ayah
membalas pelukanku dengan tangannya yang terasa sedikit keriput karena faktor usia. Ia
mengusap punggungku pelan, gerakannya lemah sekali hingga aku hampir tak bisa merasakan
ucapannya.
"Untuk apa sayang?" Tanya ayahku. Aku melepaskan pelukanku, lalu kembali duduk di sisi
tempat tidur seraya menggenggam tangan ayah.
"Untuk banyak hal yang ga bisa aku sebutin satu per satu." Jawabku, membuat ayah
tersenyum tipis. Mata ayah satu sekali, padahal sebelumnya matanya selalu terbuka lebar
hingga kebanyakan orang mengira kalau ia sedang melotot.
"Ayah juga minta maaf, ya." Kata ayahku.
"Untuk apa, Yah?" Tanyaku.
"Untuk banyak hal yang ga bisa ayah lakukan dengan sempurna. Maaf karena ayah
mengingkari janji ayah untuk selalu baik-baik saja dan melakukan pengobatan secara rutin.
Ayah sadar kondisi keluarga kita, nak. Maaf karena ayah tidak mampu menepati janji
tersebut." Jawabnya. Malam itu aku memutuskan untuk tidur bersama ayah sambil terus
menggenggam tangannya. Padahal terakhir kali aku tidur bersamanya adalah ketika aku
bersekolah di Taman Kanak-Kanak.
Keesokan harinya aku terbangun karena matahari menyilaukan mataku. Aku
terlambat pergi ke sekolah karena biasanya ayah-lah yang membangunkan aku.
Aku tidur dengan tenang sehingga sepanjang malam pegangan tanganku pada
ayah tak terlepas hingga saat aku melepasnya telapak tanganku berkeringat.
Aku melihat ayah yang masih tertidur pulas. Aku kesal sekali karena ayah tak
membangunkan aku. Padahal hari ini aku ada ulangan di jam pertama. Tapi
karena kelalaian ayah, aku jadi tidak mengikuti ulangan.
"Ayah." Panggil ku sambil menggoyangkan tubuh ayah pelan. Tak ada respon dari
ayah, padahal ayah adalah orang yang mudah terbangun. Bahkan mendengar
kicauan burung tetangga pun ayah selalu bangun.
Aku menghela napas, berpikir kalau ayah tidur nyenyak karena ia sedang sakit. Aku pun
beranjak dari kasur, hendak memasak sarapan untuk ayah karena selama ini ayah-lah yang
selalu membuatkannta untukku. Tapi, aku tak jadi mengambil langkah menuju dapur kala
aku teringat akan sesuatu. Aku membalik tubuhku dan mendekat ke ayah. Aku dekatkan
telingaku ke hidungnya, tak ada embusan napas yang kudengad. Duniaku seakan runtuh
saat itu juga. Aku terduduk di lantai sanking lemas nya, tak percaya dengan kenyataan yang
kuterima pagi ini.
"AYAH!!!" Teriakku seraya menangis histeris. Aku memeluk tubuh ayahku yang sudah tak
bernyawa, membuat air mataku membasahi baju yang ia kenakan. Aku tak percaya ini.
Semalam ayah masih berbicara denganku. Sampai akhirnya aku teringat kalau ayah turut
meminta maaf seperti yang aku lakukan. Itu artinya ayah meminta maaf karena tak bisa
menemaniku hingga akhir seperti yang ia janjikan.

Anda mungkin juga menyukai