Anda di halaman 1dari 1

Aku pernah menjadi pembohong ulung ketika dihampiri kesedihan.

Bibirku tak pernah lupa untuk


melengkungkan senyuman, rona pipiku selalu berhasil memancarkan kebahagiaan, dan tingkahku
sempurna menggambarkan keceriaan. Aku dan ragaku adalah tim yang luar biasa dengan
kemampuan kerja sama yang tidak perlu diragukan. Kami berhasil memanipulasi keadaan seolah
semua berjalan dengan baik-baik saja tanpa ada orang yang curiga bahwa aku sedang purapura
bahagia.

Hal yang tidak kusadari adalah eksistensi kebohongan tidak pernah kekal di bumi. Ketika jam pasir
usai melakukan tugasnya, sebuah kebohongan akan terungkap. Ada dua kemungkinan; pertama
adalah satu dari bagian ragaku tidak baik memerankan peran hingga orang lain mengetahui sebuah
kebenaran, kedua adalah Tuhan menciptakan perasaan yang teramat peka pada diri seseorang
hingga ia tibatiba bertanya padaku,”kamu kenapa? baik-baik aja?” Duaduanya sama; sama-sama
dapat menghancurkan kerangkeng persembunyian lantas mendorong kesedihan keluar
menunjukkan keberadaannya. Meskipun bibirku masih mampu menjawab,”tidak ada apa-apa. Aku
baik-baik saja”, mataku sudah berlinang.

Usai kejadian itu, aku dan ragaku masih layak disebut tim yang baik dalam kerja sama. Perbedaannya
adalah kami bekerja sama untuk meluapkan emosi yang sengaja dipendam, menumpahkan tangisan
hingga telinga tak bisa mendengar isaknya padahal jarak dengan bibir hanya beberapa senti saja, dan
membiarkan tubuh dipeluk kesedihan hingga tertidur lelap dan melupakan semuanya.

Aku terbangun dalam keadaan yang lebih baik meski dadaku masih terasa sesak; seperti ada
sumbatan yang masih tertinggal dan harus dikeluarkan. Boleh jadi, orang lain dapat membantu
mengeluarkannya tetapi bukan tenaga medis yang dimaksud. “Seorang pendengar budiman juga
butuh pendengar” ucapku dalam hati. Dengan sigap, kuraih smartphone dan menghubungi
seseorang. “Lagi sibuk gak?” tanyaku via Whatsapp. Hanya dalam waktu yang singkat, aku mendapat
jawaban darinya. Segera kusentuh ikon telepon. Percakapan ini berakhir dengan senyum tanpa
paksaan setelah seluruh cerita mengalir apa adanya tanpa menyembunyikan kesedihan. Perasaanku
sangat lega, sumbatan itu ikut meluap bersama seluruh cerita sedih yang mulanya masih terpendam.

Terkadang kesedihan tidak perlu buruburu diusir, biarkan saja ia hadir. Lalu, kita nikmati tiap tetes
air yang jatuh dari pelupuk mata sampai kita tidak menyadari bahwa pipi telah mengering.
Terkadang kesedihan hanya perlu disambut dengan apa adanya tanpa memakai topeng
kebahagiaan. Itu bukan cara tepat untuk menakuti si sedih dan membuatnya pergi. Namun, jika cara
itu berhasil, sebenarnya kita tengah pura-pura tidak tahu bahwa ia hanya bersembunyi dan kita
purapura tidak sadar bahwa ia dapat dengan mudah datang kembali. Terkadang kesedihan juga
perlu diakui keberadaannya. Kita akan merasakan indahnya kebahagiaan setelah tahu pilunya
kesedihan sama seperti kita tidak bisa melihat indahnya pelangi sebelum melihat pilunya hujan.

Anda mungkin juga menyukai