Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

Dari : Anderatra
Untuk : Hamba di atas Bumi

Lama tak merasakan sakit membuatku seperti bayi yang harus belajar
berdiri lagi. Beberapa kali kucoba bangkit dan melangkah dengan hati-hati, tapi
tubuh ini seperti tersanggah tanpa besi. Merutuki diri sendiri karena lalai dalam
menjaga hati, itulah aku dalam bentuk definisi.
Sakit hati yang teramat membuatku buta akan cinta. Hati ini lebih ingin
menutup, mengunci diri rapat-rapat agar tak terulang seperti cerita lama. Aku
belajar untuk tak mudah menerima walau disuguhi seratus jenis bunga dari
Belanda.
Aku belajar untuk tak mudah luluh pada pengorbanan, karena yang kuanggap
sebagai perisai sekalipun, pada masanya ialah yang akan menghunuskan pedang di
akhir cerita.
Temanku berkata bahwa aku tak pantas menghakimi datang dan perginya
seseorang, sebab itu adalah hak meraka. Awal saja kau dianggap istana olehnya,
ketika ia pergi, jangankan istana, kau hanya dianggap tak lebih dari sekedar gubuk
tua. Dongeng istana dan gubuk tua itu nanti akan berbalik arah mengikuti
perintah dari yang Mahakuasa.
Mulai sekarang, menikmati luka darimu adalah caraku untuk membuka
lembaran baru tanpa sosok usang dirimu. Ketika nanti kau dan aku bertemu lagi,
kaulah yang pertama kali akan melihatku dengan hati yang tak sama lagi.
Pagi ini alam memancarkan kolaborasi kapas putih pada birunya langit tak
bertiang yang akan selalu nyata di mata. Sebuah konspirasi tentang langit yang
menganggapnya hanyalah sebuah pajangan dari Tuhan untuk dunia tanpa asa, sebab
langit tak berpindah. Diamnya Langit berhasil mengelabui jutaan hamba. Siapa
yang tau jika bisunya menyimpan satu miliar keajaiban yang tak akan pernah
terpikirkan oleh akal manusia. Tuhan tak pernah menciptakan sesuatu dalam masa
tertentu hanya untuk dijadikan pajangan terpaku. Jika saja semesta memberikan
maaf pada manusia berotak statis tak tau kapan berdinamis, pastinya kau akan
terpukau dengan tingginya sukma Sang Langit yang tak pernah menegak dada
tetapi selalu merendah.
Cahaya Matahari yang dihamburkan secara cuma-cuma, dilemparkan saja oleh
Sang Surya hingga menembus kelopak mata manusia. Eluhan manusia akan
teriknya cahaya yang menyilaukan mata riuh di belahan dunia. Bagaimana jika Sang
Surya terlalu cinta pada Bumi hingga berani mendekat kearah Sang Kekasih?
Pertahanan Bumi melemah, karena ulah manusia, efek rumah kaca, mencairnya
Antartika, hingga menghilangnya salju abadi di Puncak Jaya Wijaya yang
merupakan dampak kecintaan Sang Surya terhadap Bumi, sedikit yang menyadari.
Lantas, kenyataan apa yang kita tunjukkan pada Dunia? Kenyataan jika makhluk
sosial Bumi lupa akan Bumi yang menua dan renta. Sedangkan diluar sana ambisi
manusia semakin menjadi untuk menggerus isi Bumi dengan amunisi.
Tak mampu raga ini beraksi membela Bumi. Tak mampu bibir ini meraung
di singasana jalan siang. Tak mampu suara ini berteriak menjajahi ricuhnya dunia,
dan tak banyak coretan lara yang terukir oleh tinta pena. Terbesit untuk merasa
dan peka adalah modal utama.
Tak ada yang spesial tentang topik Langit dan Bumi, hanya saja aku
menyukainya.
Aku, Anderatra. Semangatku bertambah dikala aku menatap langit. Kakiku
siap melangkah dikala aku menatap bumi. Hanya dua sumber itu yang memberikan
rasa baru terhadapku. Pagi ini saja aku sangat bersyukur bisa kembali menghirup
udara baru. Terima kasih Tuhan masih memberikanku waktu.
Dering ponselku kubiarkan beralun sembari aku melihat sang komunikan yang
siap kusapa.
“Dera disini, salam hangat, dan selamat pagi,” ujarku
“Pulanglah. Raga ini hampa tanpa jiwanya,”

Anda mungkin juga menyukai