Anda di halaman 1dari 4

MESIN TIK YANG MATI

(Setting)

Sebuah ruangan sempit yang berukuran tak lebih dari 2×2 meter dengan penerangan lampu
pijar berkekuatan 15 watt, tergantung di tengah-tengah ruangan dan sebuah jendela kecil
yang tampaknya dipaksakan ada,mengingat ruangan sempit ini memerlukan sirkulasi udara
dan cahaya, sehingga menampakkan bayangan samar diatas lantai semen yang sudah gempur
dibeberapa tempat dan terlihat tanah yang berada dibawah lapisan semennya.

Disudut ruangan, diseberang sisi jendela terdapat meja kayu yang salah satu kakinya harus
diganjal dengan batu bata dan tak lupa lengkap dengan bangku reotnya yang tampak mulai
memudar, diatas meja terdapat sebuah mesin tik tua berhiaskan ornamen-ornamen dari karat
yang dari penampilannya saja rasanya layak mesin tik itu mendapatkan penghargaan
“Lifetime Achievement Typewriter Award” atas jasanya yang sudah menerbitkan ratusan juta
lembar naskah demi naskah.

Sekilas pemandangan ini rasanya hanya dijumpai di museum-museum yang menampilkan


diorama tentang kehidupan dan suasana jaman perang, tapi ruang sempit ini memang ada dan
bahkan teramat nyata untuk kita sadari.

(Adegan)

Sore hari menghantarkan sinarnya yang berwarna kemerahan saat seorang lelaki tua yang
berumur tak kurang dari 70 tahun tampak memasuki ruangan sempit, terdengar derit saaat
pintu ruangan terbuka dan seolah tak rela siapapun memasuki ruangan sempit tersebut. Sesaat
lelaki tua itu tampak diam sejenak memperhatikan keadaan sekitar seolah ingin benar-benar
memastikan ruang ini memang siap untuknya. Setelah yakin dengan sigap ia menarik bangku
da duduk di singgasana kebesarannya seperti halnya raja-raja tempo dulu pada masa kejayaan
mereka. Ya diruang inilah dia menjadi raja bagi dirinya dan rakyatnya yang terdiri dari
perabot seadanya turut tunduk kepada dirinya. Sebagaimana raja yang berdaulat maka lelaki
itu memutuskan untuk mengeluarkan titahmya, perlahan jari tanganya mulai memaintan tuts-
tuts mesin tiknya.

Tiba-tiba terdengar suara yang mengejutkan lelaki tua itu, ia mendapati mesin tik tuanya
bergetar tak karuan seakan-akan hilang kendali dan terus menerus seperti itu, ia bingung atas
kelakuan mesin tik miliknya yang seolah hendak berbuat maker atas dirinya.
(Dialog)

“Hentikan!!!! Sudah cukup, sudah muak aku meladeni kau dan kelakuan konyolmu tiap hari.
Sudah cukup aku biarkan diriku mendengar celotehan konyolmu, bahkan jarimu saja sudah
tak kuasa lagi mengikuti kemauan otakmu yang sudah seharusnya kau kubur puluhan tahun
yang lalu! Aku lelah!!!”, jerit suara yang berasal dari mesin tik itu.

“Apa yang kau bicarakan?, sudah bosankah kau bersenda gurau denganku? Bermain kata
aksara demi aksara, melihat betapa anggunnya pita karbon yang selalu berputar mengusap
lembut setiap helai demi helai kertas yang menjadi buah cinta kita bersama, mengapa kini
kau berkata seperti itu kepadaku?” , Tanya lelaki tua itu.

“Aku sudah muak denganmu, tidakkah kau sadar dengan dirimu sekarang?” jawab mesin tik
itu.

“memangnya kenapa aku sekarang?” Tanya lelaki tua itu lagi.

“Hah… ternyata kau pun tak sadar, dulu kau memang seorang yang gagah dan berkuasa, tiap
orang mendengarkanmu bahkan akupun merasa senang bisa menemanimu, tapi sekarang?
Lihatlah dirimu! Kau ini sekarang hanyalah seorang raja tua yang sudah kehilangan
segalanya, ocehmu sekarang tak lebih dari sekedar omomg kosong belaka, kau tak lagi
berguna!!!” jawab mesin tik.

“Apa katamu? Kau piker hanya karena usiaku yang menua dan keriput sudah memenuhi
sekujur badanku, aku tak lagi dapat memberikan arti dari keberadaanku, apakah arti dari
keberadaanku ini hanyalah sia-sia belaka… jangan kau pikir aku akan berhenti memberikan
makna hidupku ini kepada dunia!!” kata lelaki tua itu dengan emosi yang tertahan.

“Dunia? Kau katakana makna hidupmu pada dunia? Ha… Ha… Ha… Ha….” Tawa mesin tik
itu.

“ Apa yang kau tertawakan?” Tanya lelaki tua itu dengan perasaan terluka.

“Dunia mana yang kau maksud? Dunia mana yang mau menerimamu, menerima seorang
lelaki tua yang tak ada artinya” jawab mesin tik.

“Dunia yang mau menerima dan menghargai setiap hikmah dan nilai-nilai kehidupan mereka
yang telah membangunnya, dunia yang menghargai tiap kisah dari seseorang bukan dari siapa
orang itu, melainkan apa yang telah ia perbuat, dunia yang akan selalu belajar dari masa
lalunya. Dunia itulah yang akan selalu mengakui keberadaan seorang lelaki tua sepertiku.”
Jawab lelaki tua itu dengan pancaran mata penuh dengan harapan dan keyakinan.

“Dunia itu telah mati terkubur bersama tulang-tulang orang sepertimu! Kaunterlalu lama
hidup dalam kerajaan sempitmu sehingga kau tak lagi menyadari apa yang telah berubah.
Duniamu sudah berubah menjadi dunia yang penuh penyakit yang membuat tiap orang lupa
akan makna dirinya dan darimana ia berasal. Duniamu sudah berubah dimana sekarang
kepalsuanlah yang menjadi rajanya, kemunafikan yang menjadi singgasananya dan bahkan
sang raja pun sudah mengeluarkan titahnya sehingga kebencian hinggap disetiap hati, tanpa
menyisakan sedikitpun nurani dan rasa keadilan dari warisan duniamu, duniamu hanya utopis
belaka hanya impian bagi kerajaan konyolmu!” balas mesin tik itu dengan ketus.

“Ya… duniaku sekarang memang hanya utopis bagi jiwa yang telah kehilangan akarnya
sepertimu. Tapi di luar sana impianku akan tetap hidup bagi tiap orang yang tahu darimana ia
berasal. Dan mimpiku akan menjadi jawaban dari setiap jiwa yang terus menggantungkan
harapannya pada matahari.” Jawab lelaki tua itu.
“Ha…Ha…Ha… betapa naifnya dirimu! Bahkan mataharipun ada kalanya tenggelam dan
berhenti tuk menerangi dunia. Orang tua sepertimu sudah saatnya hilang dan punah bersama
kenaifanmu.” Jawab mesin tik itu disertai tawanya.
“Berhenti? Bagiku hanya ada 2 titik dalam kehiupanku, yakni saat kelahiranku dan akhir
kehidupanku, dan selam waktuku belum tiba aku tak akan pernah berhenti,” kembali lelaki
tua itu berkata.

“Kau sudah Tamat! KAU SUDAH TAMAT!!!!”

“Tidak… Tidak akan pernah!!!” bantah lelaki tua itu.

“Sering kau mengatakan tidak, keadaan akan tetap berubah! Lihatlah keluar jendela! Lihatlah
bagaimana mataharipun perlahan tenggelam dan hilang ditelan malam.” Kembali mesin tik
itu berkata.

“Hentikan!!!” kemarahan lelaki tua itupun memuncak dan dengan kemarahan yang teramat
sangat dilemparkannya mesin tik itu sehingga jatuh kelantai yang keras, mesin tik itu pun
terkapar tiadaa daya dan mati menjemput ajalnya, meinggalkan segala kepicikan dan
kebodohannya yang membunuh dirinya sendiri.
Lelaki tua itu bingung, tersentak ia dalam pikiran nanarnya, yang ia pikir selam ini bahwa
sahabat setianya adalah mesin til itu, disaat anak dan istrinya perlahan meninggalkannya, tapi
ia sekarang mendapati sahabat setianya kinipun telah meninggalkannya, menghianatinya.

Kini dalam kesedihan dan kemarahannya yang bercampur menjadi satu, bagaikan partikel
kecil yang terhempas ke kanan dan kekiri, ke atas dan ke bawah, ke depan dan kebelakang
dalam dunia yang kini tak lagi menerima keberadaan dirinya. Ia merasa perlahan dirinya
terhisap putus kedalam pusaran lubang hitam dimana setiap materi tak lagi terukur dalam
satuan massanya lagi, dan tak lagi menjadi milik konstelasi dunia.

Hening sesaat mewarnai suasana sore itu, bahkan lelaki tua itupun masih duduk termangu
tanpa tahu apalagi yang harus ia lakukan. Kesedihan masih mewarnai langit senjanya.
Perlahan ia bangkit dari lamunanya, berdiri dan menatap sesaat kearah jendela kecil dunianya
dan melepaskan dirinya kedalam pelukan malam dan membiarkan bulan menuntunya
sebagaimana bulankan memberikan setitik harapan bagi jiwa yang menantikan sinar
matahari. Kini sudah saatnya bagi dirinya pikir lelaki tua itu, ia membalikkan tubuhnya dan
melangkahkan kakinya yang mulai gontai meniju sisi lantai dimana mesin tik-nya yang tak
lain sudah menjadi seonggok besi tua yang tak lagi berguna. Perlahan ia mengangkat mesin
tik itu, sanagt pelan sekali dengan lembut ia letakkan mesin itu dalam pelukannya, ingatan
demi ingatan terlintas dalam benaknya, terbayang saat ia menggendong anaknya saat masih
bayi dulu, dan seperti hal anaknya ia tahu bahwa ia juga harus berpisah dengan mesin tik
miliknya. Dalam keharusan dan air mata yang bergulir diatas pipi keriputnya ia letakkan
kembali mesin tik itu keatas meja kayunya dan memandang untuk terakhir kalinya. Perlahan
lelaki tua itu membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar runagan sempit itu dan pergi tanpa
pernah kembali lagi.

Ruangan sempit itu tak lagi sama, sekarang ruangan itu hanyalah kerajaan tanpa raja yang
duduk di singgasana kebesarannya, tanpa ada lagi titah yang dulu mewarnai hari-hari dalam
ruangan itu. Sang raja kini sudah menemukan kerajaannya sendiri, didalam kerajaan hatinya
yang takkan pernah meninggalkannya bersama kebijaksanaan dan dalam pelukan malam
yang menjadi singgasana serta angin malam kan selalu meniupkan dan memabwa titahnya
mengarungi angkasa memasuki mimpi-mimpi malam setiap insan yang telelap dalam mimpi
hari esok mereka hingga mereka terbangun dan menjadi raja bagi dirinya mereka sendiri.
Raja bagi setiap harapan mereka sendiri. Tamat

Anda mungkin juga menyukai