Anda di halaman 1dari 35

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TREFFINGER

TERHADAP KETERAMPILAN MENULIS TEKS CERPEN


SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 INDRALAYA

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh

Esvhalina

06021281621022

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Keterampilan menulis merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa
yang harus dikuasai siswa. Pada dasarnya, keterampilan menulis adalah
keterampilan menuangkan ide, gagasan, perasaan dalam bentuk bahasa tulis
sehingga orang lain yang membaca dapat memahami isi tulisan tersebut dengan
baik. Keterampilan menulis memang sudah dilaksanakan di sekolah. Namun,
beberapa penelitian memperlihatkan bukti bahwa masih banyak masyarakat di
Indonesia yang mengalami kesulitan mengutarakan gagasannya dalam tulisan.
Salah satu penyebabnya adalah masalah pembelajaran menulis yang belum
terpecahkan. Seperti pendapat yang diungkapkan Anshori (2006, hlm. 182)
rendahnya kemampuan menulis menimpa hampir seluruh jenjang pendidikan di
Indonesia. Kualitas kompetensi menulis seperti tidak beranjak membaik, bahkan
kecenderungan semakin menurun.
Berbagai kenyataan di atas tampaknya disebabkan oleh proses
pembelajaran menulis selama ini masih kurang menekankan esensi
pembelajarannya. Seperti pendapat Ruganda (2009, hlm. 159) yang mengatakan
bahwa pembelajaran menulis sekarang ini masih dilakukan dengan pola-pola
tradisional, yaitu guru menerangkan teori tentang menulis lalu menugasi siswa
untuk menulis atau mengarang sesuai dengan teori. Hal tersebut tentu akan
menjemukan siswa. Padahal, Nurgiyantoro (2013, hlm. 277) mengatakan bahwa
pembelajaran bahasa haruslah ditekankan pada capaian kompetensi berbahasa,
kompetensi komunikatif, dan bukan kompetensi linguistik.
Untuk menguasai itu, di dalam kurikulum 2013 pada kompetensi dasar 4.2
siswa mampu memproduksi teks cerita pendek menjadi salah satu sarana bagi
siswa untuk dapat mahir dalam menulis. Memproduksi teks cerita pendek adalah
salah satu jenis pengembangan paragraf dalam menulis yang dimana isinya ditulis
dengan kreativitas masing-masing pengarang untuk menjelaskan dan memberikan
gambaran tentang sesuatu objek dengan gaya penulisan yang singkat, akurat, dan
padat. Hasil observasi di kelas XI SMA Negeri 1 Indralaya menunjukan bahwa
siswa masih kesulitan dalam menulis cerpen. Kesulitan tersebut bersumber dari
keterbatasan pemahaman siswa, juga masih kurangnya kemampuan guru dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran, terutama dalam pemilihan model dan
teknik pembelajaran. Padahal peran guru sangatlah penting dalam memilih model
pembelajaran yang tepat untuk siswa, agar kelas tidak menjadi tempat yang
membosankan dan tidak menyenangkan. SMA Negeri 1 Indralaya sendiri belum
menemukan model pembelajaran menulis cerpen yang efektif, sehingga peneliti
akan menggunakan model treffinger sebagai alternatif untuk mempermudah
proses pembelajaran menulis teks cerpen.
Model treffinger merupakan salah satu model yang menangani masalah
kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana
mencapai keterpaduan. Keterlibatan ketrampilan kognitif dan afektif pada setiap
tingkat dari model treffinger, menunjukkan saling berhubungan dan
ketergantungan antara kognitif dan afektif dalam mendorong belajar kreatif.
Kelebihan model treffinger ini adalah menekankan pada daya kreativitas
siswa dalam berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan sehingga dapat
secara bebas menuangkan daya kreativitas atau imajinatif mereka ke dalam bentuk
tulisan. Selain itu model ini dapat membuat siswa belajar dengan aktif dan
menggembirakan. Kekurangan model treffinger iniialah membutuhkan waktu
yang cukup lama dalam proses pembelajaran, dikarenakan perbedaan level
pemahaman peserta didik dalam menanggapi masalah.
Berdasarkan fakta tersebut mendorong peneliti melakukan penelitian untuk
meningkatkan pembelajaran menulis cerpen dengan model treffinger terhadap
siswa kelas XI SMA Negeri 1 Indralaya.
Alasan mengapa perlunya dilakukan penelitian dengan model treffinger
ini agar dapat membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran menulis cerpen.
Dalam pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan model treffinger dapat
mendorong siswa dalam memunculkan ide kreatifnya dalam hal menulis apalagi
pembelajaran dimulai dengan memberikan pemanasan (warming up) dengan
beberapa pertanyaan terbuka (opened question) tentang teks deskripsi,
memberikan masalah dari beberapa teks yang disajikan dan melakukan sumbang
saran (brainstorming) dalam bentuk diskusi. Ini dapat memberikan semangat
siswa untuk menulis teks cerita pendek dan menghasilkan ide-ide yang kreatif dan
imajinatif.
Peneliti memilih SMA Negeri 1 Indralaya sebagai objek penelitian karena
sekolah tersebut belum pernah menerapkan model treffinger untuk pembelajaran
menulis teks cerpen, serta sekolah tersebut sudah menerapkan Kurikulum 2013.
Penelitian pertama pernah dilakukan oleh Veronica Cristina Tampubolon
(2015) dengan judul “Penerapan Model Treffinger Berbasis Kreativitas Dalam
Pembelajaran Menulis Teks Anekdot Pada Siswa Kelas X Sma Negeri 1 Lembang
Jawa Barat”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara kelas eksperimen (model treffinger) dan kelas kontrol.
Perbedaannya cukup tinggi, yaitu nilai rata-rata kelas eksperimen 79,33,
sedangkan nilai rata-rata kelas kontrol 71. Penelitian kedua pernah dilakukan oleh
Emasta Evayanti Simanjuntak (2015) dengan judul “Penerapan Model
Pembelajaran Treffinger untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Teks Narasi
dan Berpikir Kreatif (Studi Kuasieksperimen pada Siswa Kelas X SMA Santo
Aloysius 2 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015)”. Hasil dari penelitian ini terdapat
perbedaan kemampuan siswa menulis teks narasi dengan penerapan model
pembelajaran treffinger. Hasil itu diperoleh dengan melihat hasil rata-rata
kemampuan awal pada kelas eksperimen sebesar 63,70 dan rata-rata kemampuan
akhir sebesar 79,55. Kemudian hasil peningkatan kemampuan menulis teks narasi
siswa terlihat setelah dilakukan uji t dengan uji kesamaan rata-rata adalah 0,246 >
α=0,05. Dan penelitian ketiga pernah dilakukan oleh Trisnawati dan E Kosasih
(2018) dengan judul “Model Pembelajaran Treffinger Berbasis Media Komik
Dalam Pembelajaran Menulis Teks Cerita Fantasi”.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian terdahulu dengan
penelitian ini. Persamaannya adalah penelitiannya sama-sama menggunakan
model pembelajaran treffinger. Perbedaannya terletak pada variabel dan subjek
penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh model pembelajaran treffinger terhadap keterampilan
menulis cerpen bagi siswa kelas XI SMA Negeri 1 Indralaya?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh
model pembelajaran treffinger terhadap keterampilan menulis cerpen siswa kelas
XI SMA Negeri 1 Indralaya.

1.4 Manfaat Penelitian


Secara teoretis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan sumber
ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat khususnya pada pembelajaran menulis
teks deskripsi, serta membuktikan pengaruh model treffinger dalam pembelajaran
menulis cerpen.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi guru dan
siswa

a) Manfaat bagi guru: penelitian ini diharapkan sebagai salah satu


rujukan/sumber keilmuan pembelajaran yang berkaitan tentang menulis
cerpen dan berpikir kreatif dengan menggunakan model pembelajaran
treffinger;
b) Manfaat bagi siswa: penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan hasil
belajar dalam hal kemampuan menulis cerpen dan berpikir kreatif siswa.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Keterampilan Menulis
Keterampilan menulis merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa
yang harus dikuasai siswa. Menulis termasuk kegiatan yang sangat penting dalam
kehidupan yang modern ini. Pada dasarnya, keterampilan menulis adalah
keterampilan menuangkan ide, gagasan,perasaan dalam bentuk bahasa tulis
sehingga orang lain yang membaca dapat memahami isi tulisan tersebut dengan
baik. Menurut Saleh Abbas (2006:125), keterampilan menulis adalah kemampuan
mengungkapkan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada pihak lain dengan
melalui bahasa tulis. Oleh karena itu, menulis bukanlah merupakan kegiatan yang
sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi justru dikuasai. Penguasaan terhadap
menulis berarti kecakapan untuk mengetahui dan memahami struktur bahasa yang
sesuai dengan kaidah yang berlaku (Slamet & Saddhono, 2014).
Menulis merupakan suatu proses yang kemampuan, pelaksanaan, dan
hasilnya diperoleh secara bertahap. Artinya untuk menghasilkan tulisan yang baik
umumnya orang melakukannya berkali-kali. Dalam hal ini, menulis melibatkan
tiga tahapan, yaitu: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap
pascapenulisan (Dalman, 2016).

2.2 Teks Cerita Pendek


2.2.1 Pengertian Teks Cerita Pendek
Pengertian cerpen sering membingungkan. Hal ini dikarenakan bentuknya
yang sama dengan novel, karena tidak sedikit banyak cerpen yang bentuknya
panjang. Oleh karena itu, perlu dijelaskan pengertian dan ciri-ciri dari cerpen.
Cerpen menceritakan peristiwa dari awal hingga akhir dengan bulat, adanya awal
cerita, puncak kemudian akhir cerita. Permasalahan yang muncul dalam cerpen
terjadi pada peran utama atau tokoh sentral, sedangkan tokoh-tokoh lain hanya
sebagai pembantu atau pendukung cerita. Tidak ada penjelasan yang pasti
mengenai keharusan panjang pendeknya cerita, namun secara fisik harus bisa
dibedakan antara novel dan cerpen, sedikitnya waktu yang dibuang untuk menulis
atau membaca cerpen bisa menjadi batasan yang jelas untuk membedakan antara
cerpen dan novel.
Menurut Hidayati (2009:91), “Cerpen adalah suatu bentuk karangan dalam
bentuk prosa fiksi dengan ukuran yang relatif pendek, yang bisa selesai dibaca
dalam sekali duduk, artinya tidak memerlukan waktu yang banyak”. Cerpen
merupakan cerita yang pendek berbentuk karangan bebas dan rekaan atau
khayalan. Cerpen mudah dikenal masyarakat, karena penggunaan kata-katanya
sangat ekonomis dan sumber ceritanya berasal dari kehidupan sehari-hari, baik
pengalaman sendiri maupun orang lain. Menurut Kemendikbud (2014:6), “Cerpen
adalah karangan pendek yang berbentuk prosa, sebuah cerpen mengisahkan
sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa, dan pengalaman”.
Artinya cerpen adalah karangan yang berbentuk cerita yang bebas, tidak terikat
oleh rima, irama, dan kemerduan bunyi seperti puisi.
Kosasih (2014:111), mengungkapkan pengertian cerpen adalah cerita yang
habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-
5.000 kata. jadi, cerita pendek sering diungkapkan dengan cerita yang dapat
dibaca dalam sekali duduk. Sumardjo dalam Hidayati (2009:91), menjelaskan
cerpen menurut wujud fisiknya adalah cerita yang pendek. Ukuran panjang
pendeknya suatu cerita memang relatif. Artinya tidak ada penjelasan yang mutlak
atau pasti mengenai keharusan panjang pendeknya cerita.
Berdasarkan uraian dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa teks
cerpen adalah cerita rekaan yang menyajikan satu peristiwa atau masalah yang
berpusat pada tokoh sentral. Cerpen dapat dibaca sekitar sepuluh menit atau
setengah jam, karena penggunaan kata-katanya sangat ekonomis sekitar 500-5000
kata.

2.2.2 Fungsi Teks Cerita Pendek


Manfaat cerpen besar sekali bagi kehidupan kita. Manfaat yang langsung
dapat kita rasakan adalah bahwa cerpen memberikan hiburan atau rasa senang.
Kita memperoleh kenikmatan batin dengan membaca cerpen. Dengan membaca
cerpen seolah-olah kita menjalani kehidupan bersama tokoh-tokoh dalam cerpen
itu. Ketika tokoh utamanya mengalami kesenangan atau kegembiraan, kita pun
turut senang ataupun gembira; ketika mengalami kegetiran hidup atau kesedihan,
kita pun turut sedih ataupun kecewa. Selain itu, dengan membaca cerpen kita bisa
belajar tantang kehidupan.
Menurut Kosasih (2014:111), “Sebuah cerpen sering kali mengandung
hikmah atau nilai yang bisa kita petik di balik perilaku tokoh ataupun di antara
kejadian-kejadiannya”. Hal ini karena cerpen tidak lepas dari nilai-nilai sebagai
berikut.
1) Nilai-nilai agama berkaitan dengan perilaku benar atau salah dalam
menjalankan aturan-aturan Tuhan.
2) Nilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran, kebiasaan, dan hasil karya cipta
manusia.
3) Nilai-nilai sosial berkaitan dengan tata laku hubungan antara sesama manusia
(kemasyarakatan).
4) Nilai-nilai moral berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk yang menjadi
dasar kehidupan manusia dan masyarakatnya.
Hanya saja memaknai atau menggali nilai-nilai tersebut kadang-kadang
tidak mudah. Kita perlu meresapi bagian demi bagian ceritanya secara lebih
intensif; tidak sekedar menikmatinya sebagai sarana penghibur diri.
Berdasarkan uraian di atas, penulis simpulkan bahwa manfaat-manfaat
seperti itulah yang dapat kita peroleh, sebagai arti penting atau fungsi, dari teks
cerpen. Manfaat-manfaat itu pula yang dapat diartikan sebagai hasil pemaknaan
terhadap suatu teks cerpen.

2.2.3 Struktur Teks Cerita Pendek


Seperti genre sastra lain cerpen pun memiliki struktur atau unsur-unsur
yang mendukung kebulatannya, unsur-unsur ini saling berkaitan sehingga tidak
bisa dipisahkan satu sama lainnya. Kosasih (2014:113) menjelaskan struktur cerita
pendek secara umum dibentuk oleh.
1) Abstrak (sinopsis) merupakan bagian cerita yang menggambarkan
keseluruhan isi cerita.
2) Orientasi atau pengenalan cerita, baik itu berkenaan dengan penokohan
ataupun bibit-bibit masalah yang dialaminya.
3) Komplikasi atau puncak konflik, yakni bagian cerpen yang menceritakan
puncak masalah yang dialami tokoh utama.
4) Evaluasi, yakni bagian yang menyatakan komentar pengarang atas peristiwa
puncak yang telah diceritakannya.
5) Resolusi merupakan tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita.
6) Koda merupakan komentar akhir terhadap keseluruhan isi cerita, mungkin
juga diisi dengan kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh utama
kemudian.
Dari penjelasan struktur di atas, dapat dijelaskan kembali bahwa abstrak
adalah menggambarkan keseluruhan isi cerita, namun keberadaan abstrak dalam
cerpen bersifat opsional, mungkin ada dan mungkin bisa tidak muncul. Orientasi
adalah mengenalkan masalah yang dialami tokoh. Komplikasi menceritakan
puncak masalah yang dialami tokoh, bagian ini merupakan bagian yang paling
menegangkan dan rasa penasaran pembaca tentang cara sang tokoh di dalam
menyelesaikan masalahnya bisa terjawab. Evaluasi merupakan komentar atas
peristiwa puncak yang diceritakannya, komentar yang dimaksud dapat dinyatakan
langsung oleh pengarang atau diwakili oleh tokoh tertentu. Pada bagian resolusi
ketegangan sudah lebih mereda, karena bagian ini hanya terdapat masalah-
masalah kecil yang tersisa yang perlu mendapat penyelesaian. Kemudian bagian
terakhir yaitu koda, bagian ini merupakan komentar akhir keseluruhan isi cerita
atau kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh utama. Jadi, keenam struktur
tersebut saling berkaitan dan mempunyai peranan penting untuk membangun
cerita atau karangan yang menarik untuk dibaca oleh pembaca.
Senada dengan Kosasih, Kemendikbud (2014:14) berpendapat struktur
cerpen sebagai berikut.
Berdasarkan struktur di atas, dapat dijelaskan bahwa abstrak adalah
ringkasan atau inti cerita. Orientasi berisi pengenalan latar cerita berkaitan dengan
waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa. Komplikasi berisi urutan kejadian.
Evaluasi merupakan pengarahan konflik yang terjadi pada pemecahan sehingga
mulai tampak penyelesaiannya. Resolusi merupakan ungkapan pengarang
terhadap solusi dari berbagai konflik yang dialami tokoh. Koda adalah nilai-nilai
atau pelajaran yang dapat dipetik oleh pembaca dari teks cerpen.
Tahapan-tahapan di atas merupakan bentuk struktur umum. Artinya sangat
mungkin keberadaan cerpen-cerpen lainnya tidak memiliki struktur seperti itu.
Hal ini terkait dengan kreativitas dan kebebasan yang dimiliki oleh setiap penulis
dalam berkarya. Bagian-bagian itu mungkin tidak lengkap. Misalnya, dengan
tidak adanya abstrak dan evaluasi. Mungkin pula struktur penyajiannya pindah
tempat. Misalnya, resolusi mendahului komplikasi dan beragam kemungkinan-
kemungkinan lainnya.

2.2.4 Ciri-Ciri Teks Cerita Pendek


Ciri adalah tanda khas atau karakteristik yang dimiliki dan dapat
membedakan sesuatu dari yang lainnya. Cerpen memiliki ciri-ciri yang bertujuan
untuk membedakan teks cerpen dengan jenis teks lainnya. Menurut Kemendikbud
(2014:6), ciri-ciri sebuah cerpen adalah sebagai berikut.
1) Bentuk tulisan singkat, padat dan lebih pendek daripada novel.
2) Tulisan kurang dari 10.000 kata.
3) Sumber cerita dari kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri maupun
orang lain.
4) Tidak melukiskan seluruh kehidupan pelakunya, karena mengangkat masalah
tunggal atau sarinya saja.
5) Habis dibaca sekali duduk dan hanya mengisahkan sesuatu yang berarti bagi
pelakunya.
6) Tokoh-tokohnya dilukiskan mengalami konflik sampai pada penyelesaiannya.
7) Penggunaan kata-katanya sangat ekonomis dan mudah dikenal masyarakat.
8) Meninggalkan kesan mendalam dan efek pada perasaan pembaca.
9) Menceritakan satu kejadian dari terjadinya perkembangan jiwa dan krisis,
tetapi tidak sampai menimbulkan perubahan nasib.
10) Beralur tunggal dan lurus.
11) Penokohannya sangat sederhana, singkat, dan tidak mendalam.
Dapat disimpulkan, bahwa terdapat sebelas ciri-ciri cerpen. Kesebelas ciri
tersebut berfungsi sebagai pembeda teks cerpen dengan teks lainnya, terutama
dengan novel. Sebagai penulis atau pembaca cerpen alangkah lebih baiknya
mengetahui ciri-ciri tersebut agar dapat lebih memahami cerpen seutuhnya.
Tarigan (2011:180) mengemukakan, bahwa ciri-ciri khas sebuah cerita
pendek sebagai berikut.
1) Ciri-ciri utama cerita pendek adalah: singkat, padu, dan intensif (brevity,
vunity, and intensity).
2) Unsur-unsur utama cerita pendek adalah: adegan, tokoh, dan gerak (scence,
character, and action).
3) Bahasa cerita pendek haruslah tajam sugestif, dan menarik perhatian (incisive,
suggestive, and alert).
4) Cerita pendek harus mengandung inerpretasi pengarang tentang konsepsinya
mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5) Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalam pikiran pembaca.
6) Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan
ceritalah yang pertama menarik perasaan, dan baru kemudian menarik pikiran.
7) Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih
dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam
pikiran pembaca.
8) Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan
cerita.
9) Cerita pendek harus mempunyai seorang pelaku utama.
10) Cerita pendek harus mempunyai satu efek atau kesan yang menarik.
11) Cerita pendek bergantung pada (satu) situasi.
12) Cerita pendek memberikan impresi tunggal.
13) Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek.
14) Cerita pendek menyajikan satu emosi.
15) Jumlah kata-kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000
kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi
rangkap).
Cerpen memiliki ciri-ciri yang memudahkan pembaca dalam mengenal
bentuknya, diantaranya bentuk tulisan yang singkat dengan isi cerita yang bersifat
fiktif, hanya menimbulkan satu efek dalam mempengaruhi pikiran pembaca,
mempunyai seorang pelaku utama serta memberikan impresi tunggal. Sumardjo
dalam Hidayati (2009:92) mengemukakan cerpen memiliki beberapa ciri khas,
diantaranya:
1) Cerita yang pendek;
2) Bersifat naratif;
3) Bersifat fiksi.
Cerpen merupakan cerita yang pendek, artinya cerita yang menyajikan
kata yang panjangnya sekitar 5000 kata dan ketika dibaca kira-kira hanya
membutuhkan waktu 10 menit. Bersifat naratif, artinya menguraikan suatu
kejadian. Bersifat fiksi, artinya cerita rekaan.
Hidayati (2009:92), berpendapat bahwa secara keseluruhan ciri-ciri cerpen
adalah sebagai berikut:
1) Cerita yang pendek;
2) Bersifat naratif;
3) Bersifat fiksi;
4) Konfliknya tunggal.
Berdasarkan hal tersebut, cerpen memiliki ciri yaitu cerita yang pendek
bersifat menguraikan atau menjelaskan suatu rangkaian kejadian yang berupa
cerita rekayasa atau khayalan serta imajinatif dan masalah yang disajikan dalam
cerpen tidak bercabang, tetapi berfokus pada satu masalah.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa teks cerpen
memiliki ciri yang berbeda dengan teks lain, diantaranya cerpen merupakan
karangan berbentuk prosa fiksi, bersifat naratif, mempunyai satu efek atau kesan
yang menarik, memberikan suatu kebulatan efek, kata-katanya tidak lebih dari
10.000 kata, ceritanya bersumber dari kehidupan sehari-hari serta beralur tunggal.

2.2.5 Kaidah Kebahasaan Teks Cerita Pendek


Kaidah teks adalah aturan atau patokan yang sudah pasti dalam penulisan
sebuah teks. Artinya kaidah teks bertujuan umtuk membedakan kaidah
kebahasaan antara teks yang satu dengan berbagai jenis teks yang lainnya.
Menurut Kosasih (2014:116), menjelaskan kaidah teks cerpen sebagai berikut.
1) Cerpen pada umumnya menggunakan bahasa tidak baku atau tidak formal.
2) Cerpen lebih banyak memotret atau mengisahkan gambaran kehidupan sehari-
hari.
3) Banyak dijumpai kalimat yang tidak lengkap strukturnya; bagian-bagiannya
mengalami pelesapan.
4) Bentuk kalimatnya pendek-pendek, karena terdapat bagian-bagian yang
mengalami pelesapan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam teks cerpen
terdapat empat karakteristik yang dapat menunjang terbentuknya suatu cerita.
Dengan adanya karakteristik tersebut cerita itu bisa terkesan lebih nyata, seolah-
olah benar-benar terjadi.
Keraf dalam Kemendikbud (2014:20) membagi kaidah kebahasaan cerpen
menjadi empat kelompok yaitu:
1) Gaya bahasa perbandingan (metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori,
antitesis, dan sebagainya);
2) Gaya bahasa pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, satire, paradoks, klimaks,
antiklimaks, dan sebagainya);
3) Gaya bahasa pertautan (metonimis, sinekdoke, alusi, eufimisme, elipsis dan
sebagainya);
4) Gaya bahasa perulangan (aliterasi, asonansi, antanaklasis, anafora, simploke,
dan sebagainya).
Gaya bahasa merupakan bahasa indah yang digunakan untuk
meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu
benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Penggunaan
gaya bahasa ini dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Gaya
bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata dalam berbicara dan
menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa cerpen
memiliki kaidah kebahasaan yaitu menggunakan bahasa tidak baku, kalimatnya
pendek-pendek mengalami pelesapan serta isinya memiliki gaya bahasa yang
beragam.

2.2.6 Unsur Instrinsik dan Unsur Ekstrinsik Cerita Pendek


Selain berdasarkan struktur dan kaidahnya, pengenalan teks cerpen dapat
kita lakukan berdasarkan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik
adalah unsur yang berada langsung dalam cerpen itu sendiri.
Kosasih (2014:117) membagi unsur-unsur tersebut kedalam lima unsur, yaitu.
1) Penokohan adalah cara pengarang dalam menggambarkan karakter tokoh-
tokoh.
2) Latar adalah tempat, waktu, dan suasana atas terjadinya peristiwa.
3) Alur adalah rangkaian cerita yang bersifat kronologis, dibangun oleh urutan
waktu.
4) Tema adalah gagasan utama atau pokok cerita.
5) Amanat atau pesan-pesan selalu berkaitan dengan temanya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik terbagi
menjadi lima unsur yaitu penokohan, latar, alur, tema, dan amanat. Kelima unsur
tersebut saling berkaitan serta berkesinambungan.
Nurgiyantoro dalam Hidayati (2009:96) mengatakan, bahwa secara garis
besar unsur intrinsik pembentuk prosa fiksi adalah plot, tema, penokohan, dan
latar. Jadi, keempat unsur tersebut merupakan unsur penting dalam membentuk
sebuah karangan.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kosasih dan
Nurgiyantoro, Hidayati (2009:97) mengungkapkan unsur intrinsik pembentuk
cerpen sebagai berikut:
1) tema;
2) setting atau latar;
3) plot atau alur;
4) point of view atau sudut pandang;
5) style atau gaya;
6) karakter atau penokohan;
7) suasana;
8) amanat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik terdiri
dari delapan unsur. Pertama, tema adalah pokok pikiran yang menjadi dasar cerita.
Kedua, latar adalah tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Ketiga, alur
merupakan rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin sedemikian rupa untuk
menggerakkan jalan cerita. Keempat, sudut pandang adalah cara pengarang
menempatkan dirinya di dalam cerita. Kelima, gaya bahasa adalah pilihan kata
dan ungkapan yang digunakan pengarang dalam bercerita. Keenam, penokohan
adalah penempatan tokoh serta watak tokoh dalam sebuah cerita. Ketujuh, suasana
adalah keadaan yang terjadi di dalam cerita. Terakhir, amanat adalah pesan yang
disampaikan pengarang dalam cerita.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa unsur
intrinsik merupakan unsur terpenting yang terdapat dalam cerita pendek, karena di
dalam unsur intrisik terdapat tema yang mencakup gagasan atau pokok pikiran
yang menjadi dasar cerita, serta penokohan merupakan gambaran tentang tokoh
cerpen, kemudian latar yang bertujuan untuk memperkuat terjadinya peristiwa
ataupun alur dan amanat atau pesan-pesan merupakan kesatuan penting yang
terkandung dalam teks cerpen.
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar cerpen. Unsur ekstrinsik
sangat berpengaruh terhadap keberadaan atau latar belakang peristiwa cerpen itu
sendiri dan jati diri pengarangnya. Menurut Kosasih (2014:124), berpendapat
bahwa kelahiran cerpen sering kali dipengaruhi oleh peristiwa tertentu atau
kondisi sosial budaya ketika cerpen itu dibuat. Artinya peristiwa atau kondisi
sosial sering kali dijadikan inspirasi seorang pengarang untuk menjadikan tema
cerpennya.

2.3 Menulis Teks Cerita Pendek


Menulis cerpen merupakan kegiatan menuangkan gagasan, pikiran,
maupun perasaan kedalam sebuah tulisan yang berbentuk cerita pendek. Menulis
cerpen pada dasarnya menyampaikan sebuah pengalaman kepada pembacanya
(Sumardjo, 2007: 81). Dalam menulis sebuah cerpen seorang penulis harus
memperhatikan unsur-unsur pembangun cerpen dan jalinan cerita haruslah
disusun dengan menarik dan memperhatikan urutan waktu serta mengandung
tokoh yang mengalami suatu peristiwa. Untuk dapat menulis cerpen dengan baik
penulis harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang cerpen. Penulis cerpen
juga harus mampu mengedepankan pengalaman. Sesuatu yang dialami atau
diketahui hendaknya direnungkan baik-baik dan di-cari ujung pangkalnya,
sehingga dapat menimbulkan kematangan pikiran sebagai dasar dalam membuat
cerita (Sumardjo, 2007: 95).
Sayuti (2009: 25-26) menyatakan bahwa menulis cerpen meliputi lima
tahap.
1) Tahap Pramenulis
Dalam tahap pramenulis ini, kita harus menggali ide, memilih ide, dan
menyiapkan bahan tulisan.
2) Tahap Menulis Draf
Tahap ini merupakan tahap menulis ide-ide ke dalam bentuk tulisan yang
kasar sebelum dituliskan dalam bentuk tulisan jadi. Ide-ide yang dituliskan
dalam bentuk draf ini sifatnya masih sementara dan masih mungkin dilakukan
perubahan.
3) Tahap Revisi
Tahap revisi merupakan tahap memperbaiki ulang atau menambahkan ide-ide
baru. Perbaikan atau revisi ini berfokus pada penambahan, pengurangan,
penghilangan, dan penataan isi sesuai dengan kebutuhan pembaca.
4) Tahap Menyunting
Pada tahap menyunting ini kita harus melakukan perbaikan karangan pada
aspek kebahasaan dan kesalahan mekanik yang lain.
5) Tahap Mempublikasi
Publikasi ini bukan hanya mengirim karangan ke media masa seperti koran
atau majalah saja, namun majalah dinding atau buletin sekolah juga dapat
menjadi media yang bagus untuk mempublikasikan tulisan.

2.4 Model Pembelajaran Treffinger


Model treffinger merupakan salah satu model yang menangani masalah
kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana
mencapai keterpaduan. Keterlibatan ketrampilan kognitif dan afektif pada setiap
tingkat dari model treffinger, menunjukkan saling berhubungan dan
ketergantungan antara kognitif dan afektif dalam mendorong belajar kreatif.
Model treffinger adalah strategi pembelajaran yang dikembangkan dari model
belajar kreatif yang bersifat membangun mental dan mengutamakan proses.
Pemecahan masalah kreatif dirancang untuk membantu pemecahan masalah
dengan menggunakan kreativitas untuk mencapai tujuan pembelajaran. Belajar
kreatif merupakan bagian dari semua subjek yang diajarkan di sekolah, oleh
karena itu model treffinger dapat diterapkan pada semua mata pelajaran di
sekolah, mulai dari pemecahan konflik sampai dengan pengembangan teori
ilmiah. Karakteristik dominan dari model pembelajaran treffinger adalah upaya
dalam mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif peserta didik untuk mencari
arah-arah penyelesaian yang akan ditempuh untuk memecahkan permasalahan.
Peserta didik diberi keleluasaan untuk berkreativitas dalam menyelesaikan
permasalahan sendiri dengan cara yang dikehendaki. Tugas guru adalah
membimbing peserta didik agar arah-arah yang ditempuh oleh peserta didik ini
tidak keluar dari permasalahan.
Berdasarkan teori pembelajaran, model pembelajaran treffinger
digolongkan dalam teori pembelajaran membangun kognitif. Teori pembelajaran
membangun kognitif berpendapat bahwa pembelajaran yang diberikan harus
bersifat menemukan, begitu pula pada model pembelajaran treffinger.Model
pembelajaran kreatif treffinger termasuk dalam model osborn-parne. Model
pembelajaran treffinger merupakan model pembelajaran yang menuntut peserta
didik untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah.

2.5 Kelebihan Model Pembelajaran Treffinger


Kelebihan model pembelajaran treffinger adalah sebagai berikut :
1) Mengasumsikan bahwa kreativitas adalah proses dan hasil belajar,
2) Dilaksanakan kepada semua siswa dalam berbagai latar belakang dan tingkat
kemampuan,
3) Mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif dalam pengembangannya,
4) Melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir konvergen dan divergen
dalam proses pemecahan masalah, dan
5) Memiliki tahapan pengembangan yang sistematik, dengan beragam metode
dan teknik untuk setiap tahap yang dapat diterapkan secara fleksibel.

2.6 Kekurangan Model Pembelajaran Treffinger


Kekurangan model pembelajaran treffinger antara lain:
1) Membutuhkan waktu yang lama
2) Perbedaan level pemahaman peserta didik dalam menanggapi masalah.
3) Model pembelajaran ini tidak cocok untuk diterapkan pada peserta didik
tingkatan taman kanak-kanak dan kelas-kelas awal sekolah dasar.

2.7 Manfaat Model Pembelajaran Treffinger


Model ini menunjukkan secara grafis bahwa belajar kreatif mempunyai
tingkat dari yang relatif sederhana sampai dengan yang majemuk. Anak berbakat
kreatif dapat menguasai keterampilan tingkat I dan II lebih cepat dari siswa
lainnya. Bagi mereka proporsi waktu dan energi untuk tingkatan yang rendah
dapat dikurangi. Semua siswa dilibatkan dalam kegiatan tingkat I dan II, tetapi
hanya beberapa siswa di dalam kelas yang dapat melanjutkan ke tahapan
penerapan (tingkat III). Model ini hendaknya digunakan menyeluruh dalam
kurikulum. Berpikir kreatif merupakan bagian dari semua subjek yang diajarkan
disekolah. Kemajuan dalam profesi diperoleh melalui proses kreatif. Model ini
dapat diterapkan pada semua segi kehidupan sekolah, mulai dari pemecahan
konflik sampai dengan pengembangan teori ilmiah. Siswa akan melihat
kemampuan mereka untuk menggunakan kreativitas dalam hidup dan diberi
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam lingkungan yang
mendorong dan memungkinkan penggunaannya.
Pembelajaran dengan mengimplementasikan model treffinger dapat
menumbuhkan kreativitas siswa dalam menyelesaikan masalah, dengan ciri-ciri
sebagai berikut; (1) lancar dalam menyelesaikan masalah, (2) mempunyai ide
jawaban lebih dari satu, (3) berani mempunyai jawaban "baru", (3) menerapkan
ide yang dibuatnya melalui diskusi dan bermain peran, (4) membuat cerita dan
menuliskan ide penyelesaian masalah, (5) mengajukan pertanyaan sesuai dengan
konteks yang dibahas, (6) menyesuaikan diri terhadap masalah dengan
mengidentifikasi masalah, (7) percaya diri, dengan bersedia menjawab
pertanyaan, (8) mempunyai rasa ingin tahu dengan bertanya, (9) memberikan
masukan dan terbuka terhadap pengalaman dengan bercerita, (10) kesadaran dan
tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah, (11) santai dalam menyelesaikan
masalah, (12) aman dalam menuangkan pikiran, (13) mengimplementasikan soal
cerita dalam kehidupannya, dan mencari sendiri sumber untuk menyelesaikan
masalah.

2.8 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Treffinger


Treffinger (1994) menyebutkan bahwa model pembelajaran treffinger
terdiri atas tiga komponen penting, yaitu understanding challenge, generating
ideas, dan preparing for action, yang kemudian dirinci ke dalam enam tahapan
sebagai berikut:
1) Understanding Challenge (memahami tantangan)
a) Menentukan tujuan, yaitu guru menginformasikan kompetensi yang harus
dicapai dalam pembelajaran.
b) Menggali data, guru mendemonstrasikan/ menyajikan fenomena alam
yang dapat mengundang keingintahuan peserta didik.
c) Merumuskan masalah, guru memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk mengidentifikasi permasalahan.
2) Generating ideas (membangkitkan gagasan)
Tahapan Generating ideas, guru memberi waktu dan kesempatan pada peserta
didik untuk mengungkapkan gagasan dan juga membimbing peserta didik
untuk menyepakati alternatif pemecahan yang akan diuji.
3) Preparing for action (mempersiapkan tindakan)
a) Mengembangkan solusi, dalam tahapan ini guru mendorongpeserta didik
untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan danpemecahan masalah.
b) Membangun penerimaan, yaitu guru mengecek solusi yangtelah diperoleh
peserta didik dan memberikan permasalahanyang baru namun lebih
kompleks agar peserta didik dapatmenerapkan solusi yang telah diperoleh.
Model Treffinger menurut Munandar (2014) terdiri dari langkah-langkah
berikut: basic tools, practise with process, dan working with real problems.
1. Tahap I ==>Basic Tools
Basic toolatau teknik kreatifitas meliputi keterampilan berpikir divergen
(Guildford, 1967, dikutip Parke, 1989) dan teknik-teknik kreatif. Pada bagian
pengenalan, fungsi-fungsi divergen meliputi perkembangan dari kelancaran
(fluency), kelenturan (flexibility), keaslian (originality), dan keterincian
(elaboration) dalam berpikir. Pada bagian afektif, tahap I meliputi kesediaan
untuk menjawab, keterbukaan terhadap pengalaman, kesediaan menerima
kesamaan atau kedwiartian (ambiguity), kepekaan terhadap masalah dan
tantangan, rasa ingin tahu, keberanian mengambil resiko, kesadaran, dan
kepercayaan kepada diri sendiri. Tahap I merupakan landasan atau dasar dimana
belajar kreatif berkembang. Dengan demikian tahap ini mencakup sejumlah teknik
yang dipandang sebagai dasar dari belajar kreatif.Adapun kegiatan pembelajaran
pada tahap I dalam penelitian ini, yaitu (1) guru memberikan suatu masalah
terbuka dengan jawaban lebih dari satu penyelesaian, (2) guru membimbing siswa
melakukan diskusi untuk menyampaikan gagasan atau idenya sekaligus
memberikan penilaian pada masing-masing kelompok.
2. Tahap II ==>Practice With Process
Practice with process yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk
menerapkan keterampilan yang telah dipelajari pada tahap I dalam situasi praktis.
Segi pengenalan pada tahap II ini meliputi penerapan, analisis, sintesis, dan
penilaian (evaluasi). Di samping itu, termasuk juga transformasi dari beraneka
produk dan isi, keterampilan metodologis atau penelitian, pemikiran yang
melibatkan analogi dan kiasan (metafor).Segi afektif pada tahap II mencakup
keterbukaan terhadap perasaan-perasaan dan konflik yang majemuk, mengarahkan
perhatian pada masalah, penggunaan khayalan dan tamsil, meditasi dan kesantaian
serta pengembangan keselamatan psikologis dalam berkreasi atau mencipta.
Terdapat penekanan yang nyata pada pengembangan kesadaran yang meningkat,
keterbukaan fungsi-fungsi prasadar, dan kesempatan-kesempatan untuk
pertumbuhan pribadi. Pada tahap II ini hanya merupakan satu tahap dalam proses
gerak ke arah belajar kreatif, dan bukan merupakan tujuan akhir tersendiri.Adapun
kegiatan pembelajaran pada tahap II dalam penelitian ini, yaitu (1) guru
membimbing dan mengarahkan siswa untuk berdiskusi dengan memberikan
contoh analog, (2) guru meminta siswa membuat contoh dalam kehidupan sehari-
hari.
3. Tahap III ==>Working With Real Problems
Working with real problem, yaitu menerapkan keterampilan yang dipelajari
pada dua tahap pertama terhadap tantangan pada dunia nyata. Disini siswa
menggunakan kemampuannya dengan cara-cara yang bermakna bagi
kehidupannya. Siswa tidak hanya belajar keterampilan berpikir kreatif, tetapi juga
bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan mereka. Dalam ranah
pengenalan, hal ini berarti keterlibatan dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang mandiri dan diarahkan sendiri. Belajar kreatif seseorang mengarah kepada
identifikasi tantangan-tantangan atau masalah-masalah yang berarti, pengajuan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, dan
pengelolaan terhadap sumber-sumber yang mengarah pada perkembangan hasil
atau produk

2.9 Langkah-Langkah Menulis Teks Cerita Pendek Menggunakan Metode


Pembelajaran Treffinger
Tingkat I
1. Memberikan pemanasan (warming up) dengan beberapa pertanyaan terbuka
(openedquestion) tentang teks cerita pendek.
2. Memberikan masalah dari beberapa teks yang disajikan.
3. Melakukan sumbang saran (brainstorming) dalam bentuk diskusi.
Tingkat ini disebut juga Basic Tools, yaitu teknik-teknik kreativitas tingkat I yang
meliputi keterampilan divergen dan teknik-teknik kreatif. Keterampilan dan
teknik-teknik ini mengembangkan kelancaran dan kelenturan berpikir, serta
kesediaan me-ngungkapkan
Tingkat II
1. Memberikan pandangan masa depan (futuristis) dengan pemanasan
2. Memberikan pandangan masa depan (futuristis) dengan menulis skenario
3. Menulis teks deskripsi berdasarkan skenario deskripsi pemikiran kreatif siswa
kepada orang lain.
Tingkat ini disebut juga Practice WithProcess, yaitu teknik kreativitas tingkat II
yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan keterampilan yang
dipelajari pada tingkat I dalam situasi prak-tis. Pada tingkat ini, faktor-faktor
penge-nalan (kognitif) dan afektif dari tingkat I diperluas dan diterapkan.Segi
pengenalan dari tingkat II ini meliputi penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian.
Segi afektif pada tingkat II mencakup keterbukaan terhadap perasaan-perasaan
dan konflik yang majemuk, mengarahkan perhatian kepada masalah, penggunaan
khayalan dan tamsil, dan kesantaian (relaxation), serta pengembangan
“keselamatan” psikologis dalam berkreasi atau mencipta. Untuk tujuan ini
digunakan strategi, seperti menggunakanmetode sosiodrama, simulasi, atau studi
kasus.Kemahiran dalam berpikir kreatif menuntut siswa memiliki keterampilan
untuk melakukan fungsi-fungsi seperti analisis, evaluasi, imajinasi, dan fantasi.

2.10 Metode Konvensional


Metode konvensional adalah cara mengajar tradisional yang cara
penyampaiannya melalui penuturan secara lisan atau penjelasannya secara
langsung kepada siswa. Putrayasa (2009) mengatakan bahwa pembelajaran
konvensional ditandai dengan penyajian pengalaman-pengalaman yang berkaitan
dengan konsep yang akan dipelajari, dilanjutkan dengan pemberian informasi oleh
guru, tanya jawab, pemberian tugas oleh guru.

2.11 Langkah-Langkah Pembelajaran Menulis Teks Cerita Pendek


Menggunakan Metode Konvensional
Langkah-langkah menulis teks cerita pendek dengan model konvensional
yang akan diterapkan yakni sebagai berikut:
1. Siswa merespon salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan
kondisi dan pembelajaran sebelumnya.
2. Siswa menerima apersepsi dan motivasi yang dikaitkan dengan materi.
3. Siswa membaca contoh-contoh teks cerita pendek yang diberikan guru.
4. Guru menjelaskan materi mengenai unsur-unsur menulis teks cerita
pendek
5. Siswa diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai materi yang
diberikan.
6. Siswa menulis teks cerita pendek dengan tema yang ditentukan.
7. Siswa melaporkan hasil pekerjaan kepada guru.
8. Siswa dan guru menyimpulkan pelajaran.
9. Guru memberi salam dan mengakhiri pembelajaran.

2.12 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah “Ada pengaruh model pembelajaran
treffinger terhadap kemampuan menulis teks cerita pendek pada siswa kelas XI
SMA Negeri 1 Indralaya.” Untuk keperluan pengujian hipotesis, dirumuskan
hipotesis kerja atau alternatif (Ha). Secara operasional dirumuskan sebagai
berikut:
1. Ha: Ada perbedaan kemampuan membaca pemahaman antara siswa yang
belajar menggunakan model pembelajaran treffinger dengan siswa yang belajar
menggunakan strategi konvensional. (μ1 ≠ μ1)
2. Ho: Tidak ada perbedaan kemampuan membaca pemahaman antara siswa yang
belajar menggunakan model pembelajaran treffinger dengan siswa yang belajar
menggunakan strategi konvensional. (μ1 = μ1)
Untuk mengetahui apakah hipotesis ditolak atau diterima, peneliti
menggunakan perhitungan uji-t melalui SPSS 20 dengan teknik Independent
Samples Test. Jika nilai signifikansi dari hasil perhitungan lebih kecil daripada (α
= 0,025), hipotesis nol diterima.
3. Metodelogi Penelitian
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.
Arikunto (2010:77) menjelaskan bahwa penelitian eksperimen semu adalah
eksperimen yang tidak sebenarnya, atau juga disebut dengan eksperimen pura-
pura. Pada penelitian eksperimen semu menggunakan kelas-kelas yang sudah
tersedia, dengan demikian baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol dianggap
sama keadaan atau kondisinya.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu dengan tujuan untuk
menguji hipotesis yang diajukan dan melihat ada tidaknya pengaruh model
pembelajaran treffinger terhadap kemampuan menulis teks cerita pendek pada
siswa kelas XI SMA Negeri 1 Indralaya pada kelas eksperimen dengan
membandingkannya dengan kelas kontrol yang menggunakan strategi
konvensional (saintifik).
Menurut Emzir (2013:102-104), desain eksperimen semu dibagi menjadi
dua rangkaian yaitu, membandingkan kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol, dan satu kelompok diberikan tes awal, lalu diberikan perlakuan,
selanjutnya diberikan tes akhir. Tahapan ini akan dilaksanakan dengan model
pembelajaran treffinger terhadap kemampuan menulis teks cerita pendek pada
siswa kelas XI SMA Negeri 1 Indralaya yang merupakan penelitian eksperimen
semu dengan desain the nonequeivalent control group desain. Melihat
perbandingan antara kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran
treffinger dan kelas kontrol yang menggunakan strategi konvensional, kedua kelas
ini akan diberi tes awal dan tes akhir yang sama. Kemudian hasil dari proses
belajar tersebut dibandingkan untuk mengetahui apakah ada atau tidaknya
pengaruh model pembelajaran treffinger dalam pembelajaran menulis teks cerita
pendek.

3.2 Desain Penelitian


Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu
Nonequivalent Control Group Design. Sugiyono (2013:79) mengemukakan bahwa
desain Nonequivalent Control Group Design hampir sama dengan pretest-Posttest
Control Group Design, hanya pada desain ini kelas Eksperimen maupun Kontrol
tidak dipilih secara random. Kedua kelas tersebut diberi tes awal dan tes akhir,
hanya kelas Eksperimen yang diberi perlakuan.
Tabel desain penelitian sebagai berikut:

Tabel 1

Desain Penelitian

Kelompok Pengukuran Perlakuan Pengukuran

E O1 X O2

K O3 04

Keterangan:

E= kelas eksperimen (model pembelajaran treffinger)

K= kelas kontrol (metode pembelajaran konvensional)

X= perlakuan kelas eksperimen

O1= tes awal kelas eksperimen

O2= tes akhir kelas eksperimen

O3= tes awal kelas kontrol

O4= tes akhir kelas kontrol


(Arikunto, 2010)
Desain prosedur diatas adalah sebagai berikut:
1. Mengelompokan kelas penelitian menjadi dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen (E) dan kelas kontrol (K)
2. Memberi tes awal pada kedua kelompok untuk mengetahui kemampuana wal
(O1 dan O3).
3. Menghitung data-data hasil kelompok
4. Memberi perlakuan menggunakan model pembelajaran treffinger pada kelas
eksperimen (X).
5. Memberi perlakuan menggunakan model konvensional (saintifik) pada kelas
kontrol (X).
6. Memberi tes akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (O2 dan
O4).
7. Menghitung rata-rata akhir masing-masing kelompok.
8. Membandingkan perbedaan-perbedaan antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol.
9. Menggunakan perhitungan statistik uji-t untuk menentukan apakah terdapat
perbedaan yang signifikan dan apakah perbedaan tersebut cukup besar untuk
menolak hipotesis.

3.3 Variabel Penelitian


Penelitian ini menggunakan variabel bebas dan variabel terikat. (Arikunto,
2006) menyatakan bahwa variabel yang memengaruhi disebut variabel bebas (X),
sedangkan variabel akibat disebut variabel terikat (Y).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran treffinger
dan metode pembelajaran konvensional yang diberi simbol (X) untuk diterapkan
pada kelompok eksperimen. Variabel terikat adalah hasil belajar siswa berupa
keterampilan menulis teks deskripsi, diberi simbol (Y) setelah mengikuti
perlakuan pembelajaran.

3.4 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional variabel adalah pengertian variabel (yang diungkap
dalam definisi konsep) tersebut, secara operasional, secara praktik, secara nyata
dalam lingkup obyek penelitian/obyek yang diteliti. Definisi operasional
penelitian yang dilakukan ini sebagai berikut :
1. Model pembelajaran treffinger merupakan model pembelajaran yang
menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran
praktis bagaimana mencapai keterpaduan. Model ini terdiri dari tiga tingkat
teknik kreatif atau tahap dalam penerapannya. Setiap tingkat melibatkan
keterampilan kognitif dan afektif yang menunjukkan hubungan dan
ketergantungan antara keduanya dalam mendorong belajar kreatif.
2. Kemampuan menulis teks cerpen dalam penelitian ini adalah suatu hasil
kegiatan menulis teks deskripsi yang dinyatakan melalui skor atau hasil yang
diperoleh dari tes yang dinilai melalui rubrik penilaian. Apabila nilai siswa
tinggi artinya siswa tersebut memiliki kemampuan menulis teks cerita pendek
yang baik, sebaliknya jika nilai siswa rendah artinya siswa belum memiliki
kemampuan menulis teks cerita pendek yang baik.
3. Konvensional adalah cara mengajar tradisional yang cara penyampaiannya
melalui penuturan secara lisan atau penjelasaanya secara langsung kepada
siswa. Pembelajaran dimulai dari guru menjelaskan materi pelajaran yang
berkaitan dengan contoh teks cerita pendek, selanjutnya siswa diberikan tugas
oleh guru menulis teks cerita pendek secara mandiri.

3.5 Populasi Dan Sampel


3.5.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI SMA
Negeri 1 Indralaya tahun pelajaran 2019/2020. Arikunto (2006:130) yang
mengatakan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.
Table 2.
Jumlah Populasi Peserta Didik Kelas XI SMAN 1 Indralaya
No Kelas Jumlah

1 XI. A 30

2 XI. B 30

3 XI. C 30

4 XI. D 30

5 VIII. E 28

Jumlah 148

Sumber : Data SMA Negeri 1 Indralaya Tahun Ajaran 2019/2020


3.5.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi penelitian yang ditentukan
berdasarkan teknik penarikan sampel. Menurut Sugiyono (2013: 85), “Ada
beberapa teknik penarikan sampel, yang salah satu diantaranya adalah teknik
sampling purposive.” Teknik sampling purposive adalah teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu. Teknik ini mampu menjaga kehomogenitasan
sampel dengan baik karena penentuan sampelnya didasarkan pada pertimbangan
tertentu. Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan teknik sampling purposive
untuk menentukan dua kelas sampel penelitian, yaitu kelas eksperimen dan kelas
kontrol, dari kelima kelas yang telah ada. Adapun pertimbangan yang menjadi
dasar penentuan sampel tersebut adalah:
1) Semua kelas XI adalah kelas pembelajaran yang sama, artinya tidak
terdapat kelas unggulan pada setiap tingkat.
2) Alokasi waktu pelajaran bahasa Indonesia setiap kelas sama, yaitu 4 x 45
menit.
3) Kemampuan setiap kelas berdasarkan nilai tes siswa yang diperoleh
sebelumnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya menulis, relatif
sama.
4) Jumlah siswa setiap kelas sama atau relatif sama

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti
dalam mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. Penelitian ini
menggunakan teknik tes sebagai teknik pengumpulan data. Menurut (Arikunto,
2006) teknis tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat yang
digunakan untuk mengukur keterampilan pengetahuan, intelegensi, kemampuan
atau bakat yang dimiliki individu atau kelas. Pengumpulan informasi lewat teknik
tes biasanya dilakukan melalui pemberian seperangkat tugas, latihan, atau
pertanyaan yang harus dikerjakan oleh siswa (testi, tercoba) yang sedang dites
(Nurgiyantoro, 2012:105).
Dalam penelitian ini ada dua tes yang dilakukan yaitu tes awal dan tes
akhir. Tes awal dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan siswa di kedua kelas tersebut dalam menulis teks cerita pendek,
sedangkan pada tes akhir dilakukan setelah kelas eksperimen diberi perlakuan
dengan model pembelajaran treffinger dan kelas kontrol dengan metode
konvensional atau yang biasa digunakan oleh guru. Teknik tes ini bertujuan untuk
mengetahui perbandingan keterampilan kedua kelas setelah mendapat perlakuan
dengan teknik yang berbeda.

3.7 Teknik Analisis Data


Sugiyono (2014) mengungkapkan bahwa dalam penelitian kuantitatif,
teknik analisis data yang digunakan sudah jelas, yaitu diarahkan untuk menjawab
rumusan masalah atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam proposal.
Karena datanya kuantitatif, maka teknik analisis data menggunakan metode
statistik yang sudah tersedia.
Setelah diperoleh data hasil penelitian, data tersebut dianalisis
menggunakan program SPSS 20 dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan data nilai pretest kelas eksperimen.
2) Mendeskripsikan data nilai pretest kelas kontrol.
3) Mendeskripsikan data nilai postest kelas eksperimen.
4) Mendeskripsikan data nilai postest kelas kontrol.
5) Menguji hipotesis kedua data yang berhubungan dengan pretest dan postes
kelas eksperimen menggunakan rumus uji-t dengan teknik independent
sampeltest.
6) Menguji hipotesis kedua data yang berhubungan dengan pretest dan postes
kelas kontrol menggunakan rumus uji-t dengan teknik independent sampel
test.
7) Menghitung signifikan hasil pretest dan postest pada kelas eksperimen dan
kontrol.
8) Mencocokan perhitungan dengan nilai titik t.
9) Menginterpretasi data.
10) Menyimpulkan hasil penelitian.
3.8 Teknik Pengelolaan Data
Teknik pengolaan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Melakukan penskoran dan penilaian.
2. Melakukan uji prasyaratan analisisi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan salah satu pengujian sifat data. Pengujian
normalitas dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji asumsi bahwa data yang
diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Arikunto (2010:324)
menyatakan bahwa uji normalitas merupakan salah satu pengujian sifat data.
Untuk menguji normalitas data dalam penelitian ini digunakan metode grafik P-
Plot dan Chi Square Distribution atau uji keselarasan. Uji keselarasan adalah
perbandingan antara frekuensi observasi dan frekuensi harapan, apakah distribusi
frekuensi pengamatan sesuai dengan distribusi frekuensi tertentu atau tidak.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah data sampel penelitian ini diperoleh dari populasi bervariasi homogen atau
tidak. Uji homogenitas menggunakan Chi Square Distribution atau uji keselarasan
dengan program SPSS 20. Data yang diuji adalah skor siswa dalam tes awal.
Suatu sampel dikatakan homogen atau berasal dari sampel yang mempunyai
variasi yang sama apabila Chi Kuadrat hitung lebih kecil daripada Chi Kuadrat
tabel kritik pada taraf signifikan 95%. Apabila varian yang dimiliki oleh sampel-
sampel yang bersangkutan tidak jauh berbeda, sampel-sampel tersebut cukup
homogen jika Chi Kuadrat hitung lebih kecil daripada Chi Kuadrat tabel pada
tingkat keterpercayaan dan derajat kebebasan tertentu.
c. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh oleh model pembelajaran treffinger terhadap keterampilan menulis teks
carita pendek. Data yang dianalisis menggunkan uji-t pada taraf signifikasi 95%
(α=0,025). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program pengolahan
SPSS 20.
3.9 Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
Bulan

No. Kegiatan Januari Februari Maret April

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Persiapan: X x

a) Observasi ke
sekolah

b)Seminar X
proposal

c) Revisi x X
Proposal

2 Pelaksanaan X x X

a)
Pengumpulan
data

b) Pengolahan X X
data

c) Penyusunan X x
laporan

d) Seminar x
hasil

e) penyusunan X x x
draf skripsi
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, D.S. (2006). Peningkatan kemampuan menulis siswa melalui model
workshop dalam perkuliahan kepenulisan pada program non kependidikan
pada jurusan bahasa dan sastra Indonesia FPBS, Educare: Internasional
Jurnal for Educational Studies, 2 (1), hlm. 182.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi, (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
A. Sayuti. S. (2009). Teks sastra. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Dalman. (2016). Keterampilan menulis. Jakarta: Rajawali Pers.
Emzir.(2013). Metodologi penelitian pendidikan kuantitatif & kualitatif. Jakarta:
Rajawali Pers.
Haryono, Ary Dwi. (2009). Pembelajaran model treffinger untuk menumbuhkan
kreativitas dalam pemecahan masalah operasi hitung pecahan siswa kelas V
SD islam bani hasyim singosari malang. Tesis Pascasarjana UM yang tidak
dipublikasikan.
Hidayati, P. (2009). Teori apresiasi prosa fiksi. Bandung: Prisma Press.
Irmawati, Devi. (2018). Pengaruh metode suggestopedia terhadap keterampilan
menulis puisi siswa kelas X SMA srijaya negara palembang. Skripsi.
Indralaya: FKIP UNSRI.
Kementrian Pendidikan dan kebudayaan. (2014). Modul pelatihan guru bahasa
indonesia SMA/SMK. Jakarta: Kemendikbud.
Kosasih, E. (2014). Strategi belajar dan pembelajaran implementasi kurikulum
2013. Bandung: Yrama Widya.
Kosasih, E dan Trisnawati. (2018). Model pembelajaran triffenger berbasis media
komik dalam pembelajaran menulis teks cerita fantasi. Seminar Internasional
Riksa Bahasa XII Universitas Pendidikan Indonesia.
Mahsun. (2014). Teks dalam pembelajaran bahasa indonesia kurikulum 2013.
Jakarta: Rajawali Pers.
Munandar, Utami. (2014). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Nisa, T. F. (2011). Pembelajaran matematika dengan setting model treffinger
untuk mengembangkan kreativitas siswa. Jurnal Pedagogia, volume 1,
nomor 1.
Nurgiyantoro, Burhan. (2012). Penilaian pembelajaran bahasa berbasis
kompetensi. Yogyakarta: BPFE.
Nurgiyantoro, Burhan. (2013). Penilaian pembelajaran bahasa berbasis
kompetensi. Yogyakarta: BFPE.
Pane, Elistynamaria. (2018). Penerapan model treffinger untuk meningkatkan
kemampuan menulis puisi dan berpikir kreatif pada siswa kelas X SMA santo
aloysius 2 bandung. Artikel Tesis Pascasarjana UNPAS.
Rahayu, Y. E. (2016). Penerapan model sinektik berorientasi berpikir kreatif
dalam pembelajaran menulis teks deskripsi siswa SMP. Tesis Pascasarjana
UNPAS.
Ruganda. (2009). Peningkatan hasil pembelajaran menulis deskripsi melalui
model delikan di kelas V SD Kalikoa, Kecamatan Kedawung, Kabupaten
Cirebon. Metalingua: Jurnal Penelitian Bahasa, 10 (1), hlm. 159.
Safitri, Aryani. (2018). Pengaruh Strategi TPRC (Think, Predict, Read, Connect)
terhadap kemampuan memahami teks eksposisi siswak kelas VIII SMP
negeri 1 indralaya utara. Skripsi. Indralaya: FKIP UNSRI.
Simanjuntak, E. E. (2015). Penerapan model pembelajaran treffinger untuk
meningkatkan kemampuan menulis teks narasi dan berpikir kreatif (studi
kuasi eksperimen pada siswa kelas X SMA santo aloysius 2 bandung tahun
ajaran 2014/2015). Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses tanggal 16 Maret
2019
Slamet, & Saddhono, K. (2014). Pembelajaran keterampilan berbahasa indonesia
teori dan aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugiyono. (2014). Cara mudah menyusun skripsi, tesis, dan disertasi. Bandung:
Alfabeta.
Sumardjo, J. (2004). Catatan kecil tentang menulis cerpen. Yogyakarya: Pustaka
Pelajar.
Tampubolon, V. C. (2015). Penerapan model treffinger berbasis kreativitas dalam
pembelajaran menulis teks Anekdot Pada Siswa Kelas X Sma Negeri 1
Lembang Jawa Barat. Jurnal Riksa Bahasa, volume 1, nomor 1.
Tarigan, H. G. (2011). Prinsip-prinsip dasar sastra. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai