A. Judul
B. Pendahuluan
oleh penggunaan metode ceramah), pembelajaran dengan sistem klasikal yang mengarah
pada komunikasi satu arah (guru siswa), dan lebih berorientasi penghapalan materi
pembelajaran.
Masalah yang timbul dalam proses pembelajaran menulis serta kemampuan siswa
dalam menulis/mengarang yang belum memadai (masih rendah) sebagaimana uraian
tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: faktor siswa dan faktor strategi
pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Adapun faktor yang berasal dari siswa, antara
lain: (1) motivasi siswa dalam menulis sangat minim; (2) konsep atau bahan yang dimiliki
siswa untuk dikembangkan jadi tulisan sangat terbatas; (3) kemampuan siswa menafsiran
fakta untuk ditulis sangat rendah; (4) kemampuan siswa menuangkan gagasan atau pikiran
ke dalam bentuk kalimat-kalimat yang mempunyai kesatuan yang logis dan padu serta
diikat oleh struktur bahasa. Adapun faktor yang berasal dari luar diri siswa, antara lain: (1)
pokok bahasan menulis tidak memperoleh perhatian serius dari guru; (2) sarana dan metode
atau strategi pembelajaran menulis belum efektif; (3) kurangnya hubungan komunikatif
antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa lainnya sehingga proses interaksi menjadi
vakum.. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dibutuhkan pembenahan dalam pembelajaran
menulis.
Kompetensi siswa dalam menulis karangan naratif dapat ditingkatkan dengan
membenahi segala hal yang menjadi titik kelemahan siswa dalam menulis. Secara umum,
menulis merupakan suatu proses sekaligus suatu produk/hasil. Menulis sebagai suatu proses
berupa pengelolaan ide atau gagasan dari tema atau topik yang dipilih untuk
dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan situasi
dan konteksnya. Kemampuan menulis yang menuntut kemampuan untuk dapat melahirkan
dan menyatakan kepada orang lain tentang hal yang dirasakan, dikehendaki, dan dapat
dipikirkan dengan bahasa tulisan.
Keterampilan menulis bukanlah kemampuan yang diwarisi secara turun-temurun dan
tidak datang dengan sendirinya. Keterampilan ini menuntut pelatihan yang cukup dan
teratur serta pembelajaran yang terprogram. Program-program tersebut disusun dan
direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu.
3
Dalam proses belajar menulis (mengarang), berbagai kemampuan itu tidak mungkin
dikuasai siswa secara serentak. Semua kemampuan itu dapat dikuasai siswa melalui suatu
proses, setahap demi setahap. Karena kemampuan itu tidak bisa dikuasai secara serentak,
untuk mempermudah mempelajarinya perlu dibuat skala prioritas. Penentuan prioritas ini
diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dasar untuk memulai belajar menulis. Sebagai
strategi dasar, perioritas yang dimaksud tentu saja tidak hanya berupa suatu rangkaian
kemampuan yang mengarah pada terbentuknya sebuah tulisan..
Karangan merupakan pernyataan gagasan atau ide yang bersumber dari pengalaman,
pengamatan, imajinasi, pendapat, dan keyakinan dengan menggunakan media tulis sebagai
alatnya. Menyusun sebuah karangan bukanlah hal yang mudah. Adakalanya siswa memiliki
pengetahuan, gagasan, dan ide yang luas, namun sangat susah menuangkannya dalam
bentuk tertulis. Siswa kadang tidak mampu merangkai kata-kata untuk membentuk sebuah
paragraf, apalagi wacana. Siswa kadang kurang menyadari hubungan antara kalimat yang
satu dengan kalimat yang lain. Akhirnya, sering ditemukan beberapa kalimat sumbang.
Kalimat sumbang dalam sebuah paragraf dapat menimbulkan kekaburan makna atau isi
sebuah karangan. Sebaliknya, sebuah karangan akan lebih mudah dipahami jika kalimat-
kalimatnya tersusun rapi, jelas kohesi dan koherensi antara kalimatnya.
Sebuah tulisan pada dasarnya merupakan perwujudan hasil penalaran siswa. Penalaran
ini merupakan proses pemikiran untuk memperoleh ide yang logis berdasarkan avidensi
yang relevan. Penalaran ini terutama terkait dengan proses penafsiran fakta sebagai ide
dasar untuk dikembangkan menjadi tulisan. Setiap penulis harus dapat menuangkan pikiran
atau gagasannya secara cermat ke dalam tulisannya. Salah satu cara yang dapat digunakan
untuk memunculkan ide adalah dengan curah gagasan. Curah gagasan digunakan untuk
menuntun siswa mengembangkan idenya berdasarkan fakta yang ada di sekitar siswa atau
peristiwa yang pernah dialami siswa.
Selain itu, untuk memperoleh bahan informasi atau bahan yang akan ditulis oleh siswa,
salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menuntun siswa mencermati suatu bentuk teks
dan menyajikannnya kembali dalam bentuk teks yang berbeda, misalnya dari teks
wawancara menjadi karangan naratif. Hal itu merupakan salah satu kompetensi dasar
menulis yang diharapkan dimiliki oleh siswa kelas VII SMP sebagai hasil dari
4
pembelajaran menulis, yaitu kemampuan mengubah jenis tulisan (wacana) yang satu ke
jenis tulisan (wacana) yang lain, termasuk pengubahan teks wawancara yang berbentuk
dialog ke dalam bentuk wacana yang berbentuk monolog, seperti karangan naratif.
Wawancara dengan narasumber merupakan salah satu sumber informasi yang aktual.
Mewawancarai seseorang merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi
sebagai bahan tulisan. Hasil wawancara dapat diubah dan disajikan dalam bentuk paragraf-
paragraf. Paragraf-paragraf tersebut selanjutnya disusun menjadi sebuah tulisan yang utuh.
Keberhasilan pembelajaran menulis karangan naratif juga ditentukan oleh faktor
lingkungan dan iklim pembelajaran. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembelajaran
faktor lingkungan dan iklim pembelajaran pun haruslah menarik dan menyenangkan dari
segi psikologis peserta didik. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran
bahwa anak akan belajar lebih baik jika diciptakan belajar alamiah. Belajar akan lebih
bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya.
Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam
kompetensi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan
persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menciptakan suasana
belajar yang kooperatif interaktif, menyenangkan, dan bermakna, guru harus cermat
memilih dan menerapkan strategi pembelajaran, seperti pembelajaran kooperatif pola Dua-
Dua-Empat.
Pendekatan kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi
pada masyarakat belajar (learning community) yang menganggap bahwa siswa lebih mudah
menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan
masalah tesebut dengan temannya. Hal ini dapat membantu para siswa meningkatkan sikap
positif siswa terhadap pembelajaran keterampilan menulis, khususnya menulis karangan
naratif. Hasil pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif diharapkan mampu
memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan oleh siswa. Melalui
pembelajaran ini, siswa akan terlatih berpikir dan menghubungkan hal yang mereka pelajari
dengan situasi dunia nyata sehingga menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
Salah satu strategi belajar kooperatif yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan minat
dan iklim belajar yang kondusif bagi siswa, khususnya dalam pembelajaran menulis
5
karangan naratif dari hasil wawancar adalah pola kooperatif Dua-Dua-Empat. Strategi
belajar kooperatif pola Dua-Dua-Empat menekankan pada penggunaan struktur tertentu
yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Hal ini merupakan cara yang
efektif untuk mengubah pola diskursus siswa dalam kelas. Strategi ini menimbang asumsi
bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan dalam setting seluruh kelompok yang
memancing siswa untuk belajar karena muncul sifat saling membantu. Strategi belajar pola
kooperatif Dua-Dua-Empat memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk
memberi siswa waktu yang lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu
satu sama lain.
Strategi belajar kooperatif pola Dua-Dua-Empat adalah suatu strategi yang melibatkan
siswa lebih banyak menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran. Strategi ini menghendaki siswa saling bekerja
sama dalam sebuah kelompok kecil, yang diawali dengan pasangan satu-satu (dua), lalu
bertukar pasangan (dua), dan berujung pada penyatuan kedua pasangan tersebut dalam
sebuah kelompok (empat). Jadi, pembelajaran kooperatif pola Dua-Dua-Empat pada
dasarnya adalah strategi belajar yang mengutamakan kerja sama antara individu dalam
kelompok. Dengan demikian, tidak ada siswa yang belajar sendiri-sendiri. Siswa
bermasyarakat dengan siswa lain sehingga ketika siswa tidak mengetahui suatu masalah, ia
dapat dibantu oleh siswa yang sudah tahu.
Dengan penerapan pembelajaran kooperatif pola Dua-Dua-Empat diharapkan segala
problematika yang selama ini menghambat peningkatan kompetensi menulis siswa,
khususnya menulis karangan naratif dari hasil wawancara dapat diatasi. Berdasarkan uraian
tersebut, penelitian ini dilakukan dengan judul “Peningkatan Kompetensi Mengubah Hasil
Wawancara Menjadi Karangan Naratif Siswa Kelas VII 5 SMPN .... Melalui Curah Gagasan
dengan Pola Kooperatif Dua-Dua-Empat”.
1. Perumusan Masalah
6
1. Tujuan Penelitian
8
E. Kajian Pustaka
Tinjauan pustaka yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya dijadikan acuan
untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini. Sehubungan dengan masalah yang akan
diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini diuraikan sebagai
berikut ini.
1. Wawancara
a. Pengertian Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:
135).
Maksud pengadaan wawancara, seperti di tegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985: 266),
antara lain: mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan,
9
motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain; merekonstruksi peristiwa yang dialami pada
masa lalu; memproyeksi peristiwa sebagai hal yang diharapkan dialami pada masa yang
akan datang; memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari
orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi,
mengubah, dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai
pengecekan anggota.
b. Jenis-jenis Wawancara
Ada bermacam-macam cara pembagian jenis wawancara yang di kemukakan dalam
kepustakaan. Dua di antaranya dikemukakan di sini, yaitu menurut Patton (1980: 197) dan
Guba dan Lincoln (1981: 160-170).
Cara pembagian pertama dikemukakan oleh Patton (1980: 197) sebagai berikut: 1)
wawancara pembicaraan informal, 2) pendekatan menggunakan petunjuk umum
wawancara, dan 3) wawancara baku terbuka. Pembagian wawancara yang dilakukan oleh
Patton didasarkan atas perencanaan pertanyaannya. Pembagian lain dikemukakan oleh
Guba dan Lincoln (1981: 160-170). Pembagian mereka adalah 1) wawancara oleh tim atau
panel, 2) wawancara tertutup dan wawancara terbuka, 3) wawancara riwayat secara lisan,
dan 4) wawancara terstruktur dan tak terstruktur.
c. Bentuk-bentuk Pertanyaan Wawancara
Jika pewawancara hendak mempersiapkan suatu wawancara, ia perlu membuat
beberapa keputusan. Keputusan itu berkenaan dengan pertanyaan apa yang perlu
ditanyakan, bagaimana mengurutkannya, sejauh mana kekhususan pertanyaan itu, berapa
lama wawancara itu, dan bagaimana memformulasikan pertanyaan. Patton (1980: 207-211)
mengemukakan enam jenis pertanyaan dan setiap pertanyaan yang diajukan oleh
pewawancara akan terkait dengan salah satu pertanyaan lainnya, yaitu: (1) pertanyaan yang
berkaitan dengan pengalaman atau perilaku; (2) pertanyaan yang berkaitan dengan
pendapat atau nilai; (3) pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan; (4) pertanyaan tentang
pengetahuan; (5) pertanyaan yang berkaitan dengan indera; (6) pertanyaan yang berkaitan
dengan latar belakang atau demografi.
d. Penataurutan (sequencing) Pertanyaan
10
Tiga cara penataurutan pertanyaan, menurut Guba dan Lincoln (1981: 180-183), adalah:
1) tata urutan bentuk cerobong, 2) kebalikan bentuk cerobong, dan 3) rencana
kuintamensional. Pada tata urutan bentuk cerobong pertanyaan-pertanyaannya dimulai dan
segi yang umum mengarah kepada yang khusus. Setiap pertanyaan berikutnya berkaitan
dengan yang sebelumnya dengan bentuk yang makin menyempit dan makin mengkhusus.
Tata urutan bentuk kebalikan dan cerobong adalah yang cara penyusunan
pertanyaannya terbalik jika dibandingkan dengan bentuk cerobong. Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dimulai dengan pertanyaan yang khusus terlebih dahulu, kemudian makin
mengkhusus dengan catatan bahwa pertanyaan sesudah setiap pertanyaan makin
mengkhusus. Tata urutan bentuk ini terutama bermanfaat dalam memotivasi responden
yang enggan menjawab atau untuk membuat responden yang pada mulanya malu-malu
makin menjadi berani dan akhirnya terbiasa. Hal ini dapat pula diterapkan sewaktu yang
diwawancarai merasa seperti terancam oleh pertanyaan-pertanyaan yang cukup sensitif.
Mulailah bertanya dengan pertanyaan yang mendiskusikan perilaku yang konkret atau
contoh-contoh khusus yang nantinya membuat responden merasa lebih terbiasa untuk
menjawab pertanyaan umum, yang bersifat pribadi, atau pertanyaan- pertanyaan afektif.
Cara penataurutan kuintamensional adalah cara memfokuskan pertanyaan dan dimensi
kesadaran deskriptif menuju dimensi-dimensi afektif, perilaku, perasaan, atau sikap.
Penataurutan seperti ini adalah berbentuk “bergulir” dan “jatuh”. Jika hal itu dilakukan
dengan tepat, responden akan “jatuh” dan yang lebih deskriptif dan kurang mempribadi ke
dalam yang lebih afektif, emosional, atau yang mempribadi.
Selain penataurutan pertanyaan, cara memformulasikan pertanyaan merupakan segi lain
yang tidak kalah pentingnya dalam wawancara. Gatz dan Hoagland (1978 dalam Guba dan
Lincoln, 1981: 177) menyajikan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimanfaatkan oleh
pewawancara dalam memformulasikan pertanyaan sebagai berikut:
1) Apakah pertanyaan ini perlu? Bagaimana caranya agar jawaban itu dapat
digunakan? Bagaimana analisisnya?
2) Apakah pertanyaan ini mencakup topik? Apakah diperlukan pertanyaan tambahan
lainnya?
3) Bagaimana pertanyaan ini ditafsirkan?; Apakah pewawancara memerlukan fakta
lainnya sehubungan dengan yang dipersoalkan sebelum jawabannya memberi
makna? Apakah pewawancara memerlukan atau menginginkan pengetahuan
11
mengatur taktik, yaitu unsur kelamin, usia, dan kedudukan sosial. Segi lain yang perlu
diperhatikan sebagai perencanaan taktik pewawancara ialah faktor yang diwawancarai itu
sendiri.
Dari uraian di atas, dari segi pewawancara diperlukan sejumlah pengetahuan dasar,
keterampilan, persiapan, sikap, pribadi, serta persiapan psikis dan mental. Dari segi yang
diwawancarai ada sejumlah ciri yang harus dipertimbangkan. Pewawancara perlu
mempersiapkan diri, senantiasa siap mental menghadapi suasana apa pun selama
wawancara berlangsung. Akhirnya, strategi dan taktik akan makin dipertajam melalui
pengalaman yang banyak diperoleh pewawancara.
h. Pencatatan Data Wawancara
Pencatatan data selama wawancara penting sekali karena data dasar yang akan
dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oieh karena itu, pencatatan data itu
perlu dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Ada pencatatan data yang
dilakukan melalui tape recorder dan ada pula yang dilakukan melalui pencatatan
pewawancara sendiri. (Moleong, 2002: 151).
2. Keterampilan Menulis
a. Hakikat Keterampilan Menulis
Menulis atau mengarang pada hakikatnya adalah suatu proses yang menggunakan
lambang-lambang (huruf) untuk menyusun, mencatat, dan mengkomunikasikan serta dapat
13
menampung aspirasi atau makna yang ingin disalurkan kepada orang lain. Pesan yang ingin
disampaikan itu dapat berupa tulisan yang dapat menghibur, memberi informasi,
mempengaruhi, dan menambah pengetahuan. Hasil kegiatan mengarang seperti ini disebut
karangan yang dapat berwujud sebuah wacana argumentasi, eksposisi, deskripsi, dan
narasi.
Keterampilan seseorang menggunakan bahasa tulis sebagai alat, baik wadah maupun
media untuk memaparkan isi jiwanya, penghayatan, dan pengalamannya secara teratur
disebut kemampuan menulis/mengarang. Kemampuan menulis sangat penting dimiliki
untuk menunjang tugas-tugas keseharian yang terkait dengan kegiatan tulis-menulis.
b. Penilaian Tulisan
Selanjutnya, Tolla dan Hartini (1991: 31-32) mengemukakan kriteria penilaian holistik
dalam ranah kemampuan menulis yang umum dikenal dalam pembelajaran menulis bahasa
Indonesia yang sekaligus dijadikan sebagai indikator penilaian dalam penelitian ini adalah:
(1) isi karangan, (2) organisasi karangan, (3) penggunaan bahasa (kalimat efektif), (4)
pilihan kata, (5) ejaan dan tanda baca.
Kriteria penilaian holistik yang dikemukakan berikut ini didasarkan pada kriteria yang
dikemukakan oleh Omaggio (dalam Tolla dan Hartini, 1991: 31-32), yaitu:
1) Isi karangan dengan alternatif penilaian:
a. bermakna, menarik, tetap, jalan pikiran baik;
b. pada umumnya baik, tetapi faktanya tidak dikembangkan sehingga terjadi
banyak pengulangan;
c. pengembangan kurang relevan dengan isi yang diminta;
d. isi karangan tidak relevan dengan isi yang diminta;
e. tidak tampak usaha membuat karangan yang bermakna.
2) Organisasi karangan dengan alternatif penilaian:
a) paragraf tersusun rapi, pemakaian kalimat topik baik, organisasi meyakinkan,
alur karangan mudah dimengerti;
b) ada usaha menyusun paragraf yang baik, tetapi batas ide paragraf tidak jelas;
c) fakta tersusun dalam paragraf dengan baik, tetapi berbelit-belit;
d) urutan paragraf sulit diikuti, sulit dipahami;
e) paragraf tidak terencana dengan baik.
3) penggunaan bahasa dengan alternatif penilaian:
a) kalimat lancar, cermat, meskipun ada sedikit kesalahan tata bahasa;
b) kalimat lancar, cermat, tetapi ada beberapa kesalahan tata bahasa;
14
permulaan menuju kepada suatu akhir dengan cara membangkitkan kesan atau kenyataan
yang hidup.
Selanjutnya, Arifin & Tasai (1987: 130) mengatakan bahwa karangan narasi biasanya
dihubung-hubungkan dengan cerita. Oleh karena itu, sebuah karangan narasi atau paragraf
narasi hanya terdapat dalam novel, cerpen, atau hikayat. Sejalan dengan itu, Syamsuddin,
dkk. (1998: 15) menyatakan bahwa karangan naratif adalah rangkaian tuturan yang
menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh pelaku
(orang I atau III) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca.
Kekuatan karangan ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara
bercerita yang diatur melalui alur (plot).
Narasi adalah jenis wacana berupa cerita yang menyajikan suatu peristiwa atau kejadian
berdasarkan urutan waktu sehingga peristiwa itu tampak seolah-olah dialami sendiri oleh
pembaca. Dengan kata lain, narasi adalah bentuk wacana yang berusaha menggambarkan
sesuatu sejelas-jelasnya kepada pembaca tentang peristiwa yang terjadi (Tarigan, 1986: 56).
Junus (2002: 63) mengemukakan ciri-ciri karangan narasi, antara lain:
1) menggambarkan dengan sejelas-jelasnya suatu peristiwa yang terjadi;
2) produksi masa lampau merupakan bidang utamanya;
3) terikat pada waktu (jadi bersifat dinamis)
4) menambah pengetahuan melalui jalan cerita;
5) berusaha menjawab “apa yang telah terjadi?”;
6) narasi berbentuk kisah.
b. Unsur-Unsur Struktur Narasi (Pengisahan)
Ambo Enre (1994: 156-161) mengemukakan bahwa unsur-unsur struktur narasi adalah
1) urutan waktu yakni seperangkat kejadian dalam rentang waktu, 2) motif yakni semua
pengisahan yang berhubungan dengan tindakan manusia atau ide/tujuan yang ada pada
benak pelaku yang mendorongnya melakukan suatu tindakan, 3) pertikaian (konflik) yaitu
perbenturan dua kepentingan yang berbeda, 4) titik kisah (sudut pandang) yang paling
umum digunakan adalah yang bersifat analitik, 5) pusat perhatian, yaitu cara menyelesaikan
masalah yang diciptakan dalam cerita tersebut.
c. Bentuk Narasi
16
Keraf (1989: 136) mengemukakan narasi mempunyai dua bentuk, yaitu: narasi
ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspostoris bertujuan menggugah pikiran para
pembaca untuk mengetahui hal yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu
berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut. Narasi
ekspositoris menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu peristiwa. Narasi
ekspositoris ini dapat bersifat khas (khusus) dan dapat bersifat generalisasi. Narasi yang
bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang
hanya terjadi satu kali, peristiwa yang tidak dapat diulang kembali. Narasi generalisasi
menyampaikan suatu prose yang umum yang dapat dilakukan secara berulang-ulang.
Narasi sugestif mempunyai tujuan atau sasaran utama untuk memberi makna atas peristiwa
atau kejadian sebagai suatu pengalaman sehingga selalu melibatkan daya khayal/imajinasi.
(Keraf, 1989: 137).
4. Curah Gagasan (Brainstorming)
a. Pengertian Curah Gagasan (Brainstorming)
Menulis dapat dipandang sebagai suatu proses dan suatu produk atau hasil menulis
sebagai suatu proses berupa pengolahan ide atau gagasan dari tema atau topik yang dipilih
untuk dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan
situasi dan konteksnya. Salah satu teknik untuk memunculkan ide adalah teknik
brainstorming.
Brainstorming menurut Webster (1996) bararti inspirasi yang muncul secara tiba-tiba,
ide yang gemerlang, memberikan pemecahan untuk masalah tertentu dengan memberikan
semua ide secara spontan. Brainstorming adalah suatu inspirasi spontan dan ide cerdas. Jika
dihubungkan dengan kegiatan menulis, brainstorming berarti memberi lebih banyak
perhatian pada topik yang dipilih, kemudian berpikir tentang kemungkinan berupa kata,
frasa, dan kalimat yang berhubungan dengan topik untuk ditulis. Hal ini menjadi sumber
pertama untuk mengembangkan kalimat menjadi paragraf dengan berbagai ide pendukung.
Menurut Keh (Imelda, 2001), braistorming adalah suatu metode untuk melahirkan ide
dengan cara siswa diminta untuk memunculkan ide sebanyak mungkin yang berhubungan
17
dengan topik yang menjadi sumber untuk dijadikan petunjuk ketika mengembangkan
kalimat atau paragraf.
Brainstorming adalah suatu teknik asosiasi bebas untuk membangkitkan energi
intelektual. Brainstorming dimulai dengan satu kata atau satu ide tertentu. Tahap
selanjutnya adalah menulis segala sesuatu yang berkaitan dengan ide itu dalam suatu waktu
tertentu. Biasanya hal itu dapat dilakukan dalam waktu 15 sampai dengan 25 menit. Dalam
tahap ini, penulis mencatat segala hal yang muncul dalam pikirannya. Brainstorming
umumnya dilakukan sebelum aktivitas menulis. Mayer (Imelda, 2001) mengemukakan
bahwa braistorming dapat dilakukan secara individu atau kelompok. Jika secara individu,
ide yang muncul umumnya sedikit, jadi sebaiknya secara berkelompok.
Cullen (1998) mengemukakan bahwa brainstorming sangat bermanfaat bagi siswa
dalam membantu mengembangkan pengetahuannya di dalam kelas pada proses
pembelajaran. Lebih lanjut, Cullen (1998) menambahkan bahwa brainstorming dapat
digunakan dalam berbicara untuk kegiatan menulis di kelas. Teknik ini lebih dinamis dan
menyenangkan digunakan karena setiap siswa diberikan kesempatan untuk berbicara atau
menuliskan idenya, pendapat, atau komentator.
b. Rangkaian Proses Brainstorming
Berdasarkan uraian terdahulu bahwa brainstorming merupakan suatu metode yang
digunakan untuk menyusun ide dengan cara siswa mengungkapkan kemungkinan
banyaknya ide dari topik yang diberikan. Itu juga dilakukan sebelum menulis. Pada
dasarnya brainstorming memiliki ruang lingkup seperti diungkapkan oleh Goldman (1986)
berikut ini.
1) Memilih topik
Siswa diberikan kesempatan untuk memilih topik yang mereka ingin tulis.
2) Menulis beberapa kemungkinan ide yang berhubungan dengan topik tersebut
Pada tahap ini, siswa hanya menuliskan beberapa ide dari topik yang dipilih. Mereka
hanya menulis ide-ide dalam bentuk pernyataan berupa kata, frase, atau sebagai
informasi.
3) Mengualifikasikan ide
18
Siswa diberikan kesempatan untuk mengkualifikasikan ide yang ditulis pada saat yang
sama. Mereka meletakkan ide di luar yang tidak cocok dengan topik. Kemudian mereka
juga menyusun ide itu menjadi urutan yang jelas ke dalam kertas. Urutan ide-ide ini,
sangat jelas untuk membantu penulis atau siswa untuk menulis pengertian ide pada saat
memulai menulis.
Brainstorming dapat dilakukan secara kelompok atau secara individual. Apabila
dikerjakan secara kelompok, seseorang harus bertindak sebagai pencatat dan bertugas
menuliskan ide-ide yang muncul. Dalam hal ini tidak perlu ada kekhawatiran terhadap
persoalan tata bahasa, ejaan, dan sebagainya, bahkan tentang kebenaran penjelasan yang
dinyatakan oleh anggota kelompok. Hal yang penting di sini adalah mendapatkan
sebanyak-banyaknya penjelasan mengenai ide sentral yang telah ditentukan sebelumnya
dalam waktu secepat-cepatnya. Apabila dikerjakan secara individual, pada prinsipnya
seseorang mengerjakan hal yang sama. Ia juga harus mencatat ide-ide yang ditemukannya
selama proses itu berlangsung.
Ada dua prinsip penting yang harus diingat dalam melakukan brainstorming.
Pertama, belum dipikirkan ide-ide yang dihasilkan itu benar atau salah, penting tidak
penting, dapat dipraktikkan atau tidak, dan sebagainya. Yang penting di dalam proses ini
adalah pengumpulan ide-ide yang berkaitan dengan topik itu sebanyak-banyaknya. Kedua,
terjadinya tumpang tindih ide dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena memang belum
dievaluasi. Nanti akan dipikirkan kembali sekaligus ide-ide yang terkumpul itu akan
dievaluasi dalam kesempatan berikutnya (Darmadi, 1996: 43).
c. Keuntungan Penggunaan Teknik Brainstorming
Keuntungan pokok yang diperoleh dari proses brainstorming ini adalah bahwa
secara sadar atau tidak seorang penulis telah memulai proses berpikir. Rangkaian proses
berpikir seperti ini jelas akan membangkitkan energi intelektual yang dimiliki seseorang.
Jika proses berpikir itu dilakukan secara berkesinambungan, rangkaian proses berpikir
seperti itu akan menghasilkan ide-ide yang lebih menarik daripada ide-ide pada awalnya.
Sebuah penemuan yang mengejutkan akan menjadi bagian yang wajar dari kelanjutan
proses seperti itu (Darmadi, 1996: 44).
5. Strategi Pembelajaran Kooperatif
19
anggota diperhitungkan, (4) menekankan pencapaian tujuan bersama, dan (5) jumlah
anggota kelompok dibatasi antara empat sampai dengan enam orang.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar kooperatif merupakan
strategi yang diterapkan dalam pembelajaran dengan menitikberatkan pada penampatan
siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen ditinjau dari segi kemampuan, jenis
kelamin, dan etnisnya. Selama proses pembelajaran, kelompok-kelompok itu bekerja sama
melaksanakan tugas-tugas yang diberikan. Dalam strategi belajar kooperatif, kelompok-
kelompok kecil seperti itu menjadi wadah bagi siswa dalam memecahkan masalah
pembelajaran.
b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif memiliki tujuan seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim, dkk.
(2000: 7-9) sebagai berikut.
1) Hasil Belajar Akademik
Pembelajaran kooperatif bertujuan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas
akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul untuk membantu siswa
memahami konsep-konsep yang sulit. Pembelajaran kooperatif meliputi berbagai tujuan
sosial. Namun, menurut Ibrahim, dkk. (2000), dalam pembelajaran kooperatif terstruktur,
penghargaan dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan
norma yang berhubungan dengan hasil belajar.
2) Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu
Pembelajaran kooperatif memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar
belakang dan kondisi untuk bekerja sama, saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas
bersama dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk
menghargai satu sama lain (Allport dalam Ibrahim, dkk., 2000: 8).
3) Pengembangan Keterampilan Sosial
Pengembangan keterampilan sosial bertujuan mengajarkan kepada siswa tentang
keterampilan kerja sama dan berkolaborasi, membantu siswa memahami konsep yang sulit.
Model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kerja sama. Pada
kelompok kooperatif, siswa dibagi untuk berbagi tugas, tidak ada siswa yang mendominasi.
Scaffolding adalah bimbingan yang di berikan secara ketat pada awal, kemudian beransur-
21
ansur dikurangi dan tanggung jawab diserahkan kepada siswa yang belajar. Dengan
demikian, kemandirian secara beransur-ansur dapat dicapai.
c. Keterampilan Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya mempelajari meteri, tetapi juga
harus mempelajari keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif.
Keterampilan ini berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja
dapat dibangun dengan membangun tugas anggota kelompok selama kegiatan.
1) Karakteristik
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang
diasumsikan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang
dimaksud adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif. Beberapa pendekatan
tersebut diintegrasikan dimaksudkan untuk menghasilkan suatu model pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Belajar aktif
ditunjukkan dengan adanya keterlibatan intelektual dan emosional yang tinggi dalam proses
belajar, tidak sekedar aktivitas fisik semata. Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi,
mengemukakan pendapat dan idenya, melakukan eksplorasi terhadap materi yang sedang
dipelajari serta menafsirkan hasilnya secara bersama-sama di dalam kelompok. Siswa
dibebaskan untuk mencari berbagai sumber belajar yang relevan. Kegiatan demikian
memungkinkan siswa berinteraksi aktif dengan lingkungan dan kelompoknya, sebagai
media untuk mengembangkan pengetahuannya (Eggen, Kemp, 1997: 56).
Pendekatan konstruktivistik dalam model pembelajaran kooperatif dapat mendorong
siswa untuk mampu membangun pengetahuannya secara bersama-sama di dalam
kelompok. Mereka didorong untuk menemukan dan mengkonstruksi materi yang sedang
dipelajari melalui diskusi, observasi atau percobaan. Siswa menafsirkan bersama-sama apa
yang mereka temukan atau mereka bahas. Dengan cara demikian, materi pelajaran dapat
dibangun bersama dan bukan sebagai transfer dari guru. Pengetahuan dibentuk bersama
berdasarkan pengalaman serta interaksinya dengan lingkungan di dalam kelompok belajar
sehingga terjadi saling memperkaya di antara anggota kelompok.
22
kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, merupakan contoh
aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran berlangsung. Prosedur evaluasi
yang dilakukan adalah:
a) Penilaian individu adalah evaluasi terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap
materi yang dikaji, meliputi ranah kognitif, afektif, dan ketrampilan.
b) Penilaian kelompok meliputi berbagai indikator keberhasilan kelompok seperti:
kekohesifan, pengambilan keputusan, kerja sama, dsb.
Kriteria penilaian dapat disepakati bersama pada waktu orientasi. Kriteria ini diperlukan
sebagai pedoman guru dan siswa dalam upaya mencapai keberhasilam belajar, apakah
sudah sesuai dengan kompetensi yang telah ditentukan.
6) Penutup
Model pembelajaran kooperatif tidak terlepas dari kelemahan di samping kekuatan
yang ada padanya. Kelemahan tersebut antara lain terkait dengan kesiapan guru dan siswa
untuk terlibat dalam suatu strategi pembelajaran yang memang berbeda dengan
pembelajaran yang selama ini diterapkan. Guru yang terbiasa memberikan semua materi
kepada para siswa nya, mungkin memerlukan waktu untuk dapat secara berangsur-angsur
mengubah kebiasaan tersebut. Ketidaksiapan guru untuk mengelola pembelajaran demikian
dapat diatasi dengan cara pemberian pelatihan yang kemudian disertai dengan kemauan
yang kuat untuk mencobakannya. Sementara itu, ketidaksiapan siswa dapat diatasi dengan
cara menyediakan panduan yang antara lain memuat cara kerja yang jelas, petunjuk tentang
sumber yang dapat dieksplorasi, serta deskripsi tentang hasil akhir yang diharapkan, sistem
evaluasi, dan sebagainya. Kendala lain adalah waktu. Strategi pembelajaran kooperatif
memerlukan waktu yang cukup panjang dan fleksibel, meskipun untuk topik-topik tertentu
waktu yang diperlukan mungkin cukup dua kali tatap muka ditambah dengan kegiatan-
kegiatan di luar jam pelajaran.
24
F. Metode Penelitian
1. Indikator Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian, ada dua strategi yang akan ditetapkan untuk
memecahkan masalah, yaitu:
a. Curah gagasan dengan indikator:
Siswa sudah dapat memunculkan ide sebanyak mungkin yang berhubungan dengan
topik “Pengalaman ketika mendaftarkan diri sebagai siswa SMPN ....” sehingga
dapat dijadikan petunjuk untuk mengembangkan dan menyusun pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara secara sistematis dan lengkap.
b. Pola kooperatif dua-dua-empat:
Semua siswa sudah dapat terlibat secara aktif, terbuka mengungkapkan pikiran,
teratur, terarah, dan bersemangat mengikuti kegiatan pembelajaran sehingga mereka
dapat menghasilkan teks wawancara dan karangan naratif yang sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan.
2. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah dan prosedur kerja seperti yang
diuraikan dalam tabel berikut ini.
mpurnakan.
setelah disempurnakan, semua karangan siswa
dalam satu kelompok ditempel dalam karton
manila, lalu dipajang di dinding. (kelompok
yang berada pada baris bangku I dan II
memajang karya mereka di dinding sebelah
kanan, dan kelompok yang berada pada baris
bangku III dan IV memajang di sebelah kiri).
setiap kelompok mengunjungi, menilai, dan
memilih karya yang dianggap terbaik dengan
aturan:
kelompok pada baris bangku I
mengunjungi kelompok pada baris III;
kelompok pada baris bangku II
mengunjungi kelompok pada baris IV;
kelompok pada baris bangku III
mengunjungi kelompok pada baris II;
kelompok pada baris bangku IV
27
3. Instrumen Penelitian
28
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipakai dalam pelaksanaan penelitian.
Instrumen penelitian disesuaikan dengan metode pengumpulan data yang digunakan. Alat
bantu yang digunakan, antara lain:
a. Catatan observasi, yaitu penulis mengamati, mencatat, atau mengumpulkan data yang
terkait dengan pelaksanaan pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi karangan
naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat.
b. Karya siswa berupa panduan wawancara, hasil wawancara, dan karangan naratif.
c. Video rekaman pelaksanaan pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi
karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
obsevasi, dokumentasi, dan penugasan.
a. Teknik Observasi
Observasi dilakukan terhadap aktivitas observer sebagai peneliti, guru, dan siswa
selama proses tindakan berlangsung. Tujuan penggunaan teknik ini adalah untuk
memperoleh data berupa tindakan observer dan guru dalam mengarahkan dan mengontrol
siswa serta tindakan siswa dalam pembelajaran mengubah hasil wawancara menjadi
karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-empat dengan
konteks yang melatarinya.
b. Teknik Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk pendokumentasian gambar aktivitas pembelajaran
mengubah hasil wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola
kooperatif dua-dua-empat serta pendokumentasian hasil kerja siswa.
c. Teknik Tes
Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data hasil kerja siswa. Tes yang
digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini di bagi dalam dua bagian, yaitu (1) tes
yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa membuat catatan hasil wawancara dan
(2) tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa mengubah hasil wawancara
menjadi karangan naratif. Indikator penilaian hasil kerja siswa diuraikan berikut ini.
Tabel 2 Indikator Wawancara
29
Catatan:
A: Sangat baik B: Baik
2
C: cukup
D: kurang
3
Proses dan hasil belajar menulis karangan naratif siswa melalui curah gagasan dengan
pola kooperatif dua-dua-empat dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif model mengalir yang dikemukakan oleh Milles dan Huberman (1992: 18). Model
analisis data ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi.
Tahap-tahap analisis data secara garis besar dapat dijabarkan dalam langkah-langkah
berikut.
a. Menelaah data yang telah dikumpulkan melalui pengamatan, dan pencatatan. Setelah itu,
dilakukan proses transkripsi hasil pengamatan, penyeleksian, dan pemilihan data. Hal ini
dilakukan sejak siklus I sampai pada siklus II. Kegiatan menelaah data semacam ini
dilakukan sejak awal pengumpulan data.
b. Reduksi data mencakup pengategorian dan pengklasifikasian data. Semua data yang telah
dikumpulkan diseleksi dan dikelompokkan sesuai dengan fokusnya. Data yang telah dipilah-
pilah tersebut kemudian diseleksi antara yang relevan dan tidak relevan. Data yang relevan
dianalisis dan yang tidak relevan dibuang.
c. Penyajian data dilakukan dengan cara mengorganisasikan data yang telah direduksi. Data
tersebut pada awalnya disajikan secara terpisah. Namun, setelah data tindakan terakhir
direduksi, akhirnya seluruh data tindakan dirangkum dan disajikan secara terpadu. Dengan
demikian, diperoleh sajian tunggal berdasarkan fokus pembelajaran mengubah hasil
wawancara menjadi karangan naratif melalui curah gagasan dengan pola kooperatif dua-dua-
empat.
d. Menyimpulkan hasil penelitian dan triangulasi. Kegiatan ini merupakan kegiatan
penyimpulan akhir temuan penelitian dan pengujian keabsahan temuan penelitian
(triangulasi). Kegiatan triangulasi dilakukan dengan cara: a) peninjauan kembali catatan
lapangan dan b) bertukar pikiran dengan ahli, teman, dan praktisi. Pengujian keabsahan data
dilakukan dengan trianggulasi sumber yang dilakukan dengan cara (1) membandingkan hasil
pengamatan dengan data rekaman kegiatan (video) dan catatan/hasil kerja siswa.
Penelitian ini dilaksanakan pada September 2009 sampai dengan April 2010. Jadwal
pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 5 Jadwal Kegiatan Penelitian
Bulan
No. Kegiatan Sept Okt Nop Des Jan Feb Mar April
1 Persiapan v
2 Pengumpulan Data v v v
3 Tabulasi Data v
4 Analisis Data v
5 Penyusunan Laporan v
6 Publikasi V
H. Daftar Pustaka
Alwi, Hasan., dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ambo Enre, Fachruddin. 1994. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Ujung Pandang: IKIP
Ujung Pandang.
Arifin, E & Amran Tasai. 1987. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Mediatama Sarana
Perkasa.
Cullen, Brain. 1998. “Brainstorming before Speaking Tasks”. Online (Itelsj. Or. Id/tels/pdf).
Diakses 15 September 2003.
Darmadi, Kaswan. 1996. Meningkatkan Kemampuan Menulis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Depdiknas. 2006.Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta.
Eggen, Paul D dan Kouchak, Donald P. 1996. Strategi For Teacher, Teaching Conten and
Thinking Skill. Boston: Allyn dan Bocon.
Eggen, Kemp. 1997. Instruction Design.Pearon Publisher. nIc.California.
Goldman, Shephen H. and Hirs, Bernard A. 1986. The Essay Reading for the Writting Process.
Boston: Hougton Miffin Company.
Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln, 1981. Effective Evaluation. San Fransico: Jossey-Bass
Publisher.
Ibrahim, Muslimi, dkk, 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESE.
Junus, Andi Muhammad. 2002. keterampilan Menulis. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Jakarta: PT Grasindo.
Keraf, Gorys. 2001. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia.
Lie, Anita, 2002. Cooperative Learning: Memperaktekkan Cooperative Learning di Ruang-
ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
5
Lincoln, Yvonna S., dan Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverliy Hills: Sage
Publication.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Patton, Michael Quinn. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills: Sage Publication.
Pratiwi,Yuni. 2002. Strategi Belajar Kooperatif.( Materi TOT CTL SLTP). Malang: fakultas
Sastra UM.
Syamsuddin, A. R., dkk. 1998. Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Tolla, Achmad dan Hartini Marlan. 1991. “Retorika Menulis Siswa Kelas II SMAN di
Kotamadya Ujung Pandang”. Laporan Penelitian. Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang.
Webster’s. 1996. Third New International Dictionary of the English Language. Cambridged: G.
& C. Menraiam Company Publisher, Springfield, Massachusets, U.S.A.
Www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/kooperatif.pdf