Nim : 2164170006
Mata Kuliah : MEDIA MASSA DAN ISSUE KONTEMPORER
Waktu Kuliah : 10.20 – 12.50 WIB
Dosen Pengampu : VELANTIN VALIANT., S.SOS., M.I.KOM
Jawaban:
1. Teori kritis merupakan teori yang berjuang untuk pembebasan dan perubahan dalam susunan
sosial yang dominan.
Dalam Teori Sosial
Teori Kritis pertama kali didefinisikan oleh Max Horkheimer dari sosiologi Frankfurt
School dalam esainya tahun 1937 Tradisional dan Teori Kritis: Teori Kritis adalah teori
sosial berorientasi pada mengkritisi dan mengubah masyarakat secara keseluruhan,
berbeda dengan teori tradisional yang berorientasi hanya untuk memahami atau
menjelaskan suatu hal. Horkheimer ingin membedakan teori kritis sebagai bentuk
emansipatoris radikal teori Marxis, mengkritisi kedua model ilmu pengetahuan yang
diajukan oleh positivisme logis dan apa yang ia dan rekan-rekannya lihat sebagai
positivisme rahasia dan otoritarianisme dari Marxisme ortodoks dan Komunisme.
Versi teori "kritis" berasal dari Kant (abad ke-18) dan Marx (abad ke-19) dengan
penggunaan istilah "kritik", seperti dalam Critique of Pure Reason dan konsep Marx
lewat karyanya Das Kapital yang berwujud "kritik ekonomi politik." Untuk idealisme
transendental Kant, "kritik" berarti memeriksa dan menetapkan batas-batas validitas
kemampuan, jenis, atau tubuh pengetahuan, khususnya melalui akuntansi untuk
keterbatasan yang dibebankan oleh fundamental, konsep tereduksi digunakan dalam
sistem pengetahuan.
Gagasan kritik Kant telah dikaitkan dengan pembangunan palsu, tidak terbukti, atau
filosofis dogmatis, sosial, dan keyakinan politik, karena alasan kritik Kant melibatkan
kritik terhadap ide teologis dan metafisik dogmatis, dan terkait dengan peningkatan
otonomi etika serta kritik pencerahan terhadap takhayul dan otoritas rasional. Diabaikan
oleh banyak orang di lingkaran "realis kritis", bagaimanapun, bahwa dorongan langsung
Kant untuk menulis "Critique of Pure Reason"-nya adalah untuk mengatasi masalah
yang diangkat oleh empirisme skeptis David Hume dalam menyerang metafisika, alasan
yang digunakan dan logika untuk membantah bisa dipahami dunia termasuk pengertian
umum sebab-akibat. Kant, sebaliknya, mendorong kerja klaim metafisik apriori sebagai
syarat, karena jika ada sesuatu yang harus dikatakan diketahui, itu harus dibentuk pada
abstraksi yang berbeda dari fenomena yang dipahami.
Marx secara eksplisit mengembangkan gagasan kritik ke dalam kritik ideologi dan
terkait dengan praktik revolusi sosial, seperti dalam Thesis Feuerbach, "Para filsuf hanya
menafsirkan dunia dengan cara tertentu, intinya adalah untuk mengubahnya." Salah satu
karakteristik yang membedakan dari teori kritis, seperti Adorno dan Horkheimer
diuraikan dalam Dialektika Pencerahan (1947), adalah ambivalensi tertentu tentang
sumber utama atau dasar dari dominasi sosial, ambivalensi yang memunculkan
"pesimisme" teori kritis baru atas kemungkinan emansipasi manusia dan kebebasan.
Ambivalensi ini berakar, tentu saja, dalam situasi historis di mana pekerjaan itu awalnya
diproduksi, khususnya, munculnya Sosialisme Nasional, negara kapitalisme, dan budaya
massa sebagai bentuk yang sama sekali baru dari dominasi sosial yang tidak bisa
dijelaskan secara memadai dalam hal sosiologi Marxis tradisional.
Ide-idenya tentang hubungan antara modernitas dan rasionalisasi dalam hal ini sangat
dipengaruhi oleh Max Weber. Habermas lebih lanjut larut dalam unsur-unsur dari teori
kritis yang berasal dari Hegelian Idealisme Jerman, meskipun pikirannya tetap meluas
ke Marxis dalam pendekatan epistemologis tersebut. Mungkin dua ide yang paling
berpengaruh adalah konsep ruang publik dan aksi komunikatif; yang terakhir tiba
sebagian sebagai reaksi terhadap post-struktural atau disebut "post-modern" sebagai
tantangan baru untuk wacana modernitas. Habermas terlibat dalam korespondensi rutin
dengan Richard Rorty dan rasa yang kuat terhadap pragmatisme filosofis dapat
dirasakan dalam teorinya tentang pemikiran yang sering melintasi batas-batas antara
sosiologi dan filsafat.
2. Straubhaar dan Larose dalam Straubhaar dan Larose dalam bukunya Media Now:
Understanding Media, Culture and Technology (2006:20) memaparkan tentang perubahan
konsepsi tentang komunikasi pada masa analog dan digital, era media konvensional dan
media baru. Perubahan ini ditandai dengan penggunaan media yang jauh berbeda, dimana
pada era sekarang hampir semua komunikasi berlangsung menggunakan teknologi.
Digital natives sebagai generasi kreatif akan teknologi, dalam penelitian ini mengalami
perubahan cara atau pola berkomunikasi baik komunikasi antarpribadi, komunikasi
kelompok maupun komunikasi organisasi. Pada saat era konvensional untuk melakukan
interaksi dengan seseorang harus bertatap muka atau bertemu langsung, namun dengan
seiring perkembangan teknologi komunikasi dapat membantu mereka untuk dapat
berkomunikasi dengan bantuan telepon genggam melalui panggilan dan SMS. Pada era
media baru saat ini telepon genggam kini telah menjadi telepon pintar/smartphone yang
dapat menyalurkan informasi secara cepat melalui fasilitas internet.
Menurut Budiargo (2015:50) dalam bukunya Berkomunikasi Ala Net Generation,
bahwa perkembangan teknologi khususnya computer mediated communication, dalam hal
ini penggunaan internet telah mengubah sifat manusia secara evolutif, yang dulunya
memerlukan pertemuan secara fisik dan psikis, menjadi pertemuan secara tidak nyata atau
virtual. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini bahwasanya digital natives melakukan
komunikasi tatap muka hanya jika diperlukan saja. Adapun kegiatan komunikasi yang
dilakukan melalui computer mediated communication seperti email, instant messaging,
social media, dan yang paling penting adalah terhubungnya fasilitas internet melalui
smartphone.
WhatsApp adalah aplikasi media sosial yang dapat melakukan text/voice chat, photo sending,
video sending, document sending dan location sending. Sehingga dengan media
sosial WhatsApp ini dapat mengkontruksi sebuah budaya pada generasi melek teknologi
juga lebih tepat digunakan sebagai komunikasi yang bersifat personal maupun group yang
dapat menjadi sarana untuk menjaga hubungan dengan orang lain serta sebagai sebuah
sumber informasi.
Pola komunikasi yang dibangun oleh digital natives pada penggunaan WhatsApp yaitu
kedekatan bagi mereka yang dekat secara emosional, digital natives cenderung memilih
media yang paling mendekati komunikasi tatap muka, dan itu bisa dilakukan dengan
menggunakan aplikasi smartphone berupa WhatsApp. Sehingga para digital natives
meyakini bahwa WhatsApp merupakan media komunikasi kekinian yang tepat untuk
berkomunikasi secara personal maupun group, seperti keluarga, kerabat dan teman dekat.
Gasser dan Palfrey (2008:2) dalam buku berjudul Born Digital: Understanding The First
Generation of Digital natives menyatakan hasil risetnya tentang digital natives bahwasanya
mereka hidup dan berkomunikasi di dunia online dari pada dunia offline. Mayoritas aspek
kehidupan mereka seperti interaksi sosial dan pertemanan dimediasi oleh teknologi digital.
Hal ini menyebabkan akses informasi tersebar dengan cepat dan mudah. Pada penelitian ini,
nilai kemudahan dalam menyebarkan informasi dianut oleh digital natives, mereka
memanfaatkan media WhatsApp untuk menyebarkan berbagai informasi.
Begitupun menurut Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital (2009:105) mengemukakan
bahwa salah satu norma yang dianut oleh generasi internet yaitu kebebasan. Mereka
menginginkan kebebasan dalam segala hal yang mereka perbuat, dari kebebasan memilih
hingga kebebasan berekspresi. Digital natives memanfaatkan teknologi untuk
mengekpresikan diri dan memilih media komunikasi mana yang sesuai denga kebutuhan
mereka.
Tafscott juga menyebutkan bahwa generasi internet juga senang membuat sesuatu
sesuai selera yang biasa disebut dengan kustomisasi. Mereka membuat atau mengubah
tampilan media sosial miliknya sesuai selera yang mereka inginkan. Dalam penelitia ini
mereka berekspresi mengubah foto profil dan tema yang berjalan di latar WhatsApp
miliknya.
Norma lainnya yang dianut oleh generasi internet adalah hiburan. Mereka
membutuhkan suatu hiburan dan kegiatan bermain baik dalam kegiatan pekerjaan,
pendidikan dan kehidupan sosial mereka. Digital natives pada penelitian ini membutuhkan
WhatsApp untuk mengetahui perkembangan tentang status teman-temannya. Setiap orang
cenderung terbuka akan informasi tentang dirinya di dalam aplikasi WhatsApp dengan
mengupdate kegiatan atau perasaan yang dialami akan dirinya pada timeline. Mereka
menganggap WhatsApp sebagai sebuah sarana hiburan karena mereka merasa terhibur
dengan membaca update yang muncul pada menu timelinnya.
Dan norma lainnya yang dianut generasi internet adalah kecepatan. Digital natives
mengharapkan komunikasi yang sama cepat dari pihak-pihak lain, setiap pesan instan harus
menghasilkan tanggapan yang juga instant.
Interaksi yang terjadi di dunia cyber pada kenyataannnya terjadi melalui medium
teks. Nasrullah (2014:83) dalam bukunya Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia)
menuliskan bahwa ada dua term yang bisa digunakan untuk mendekati bahasa di media
cyber “Neatspeak” pembicaraan yang seolah-olah penulisan, dan “Netlingo” merupakan
bahasa teks baku menjadi bahasa teks yang seolah-olah mewakili ungkapan ketika
berbicara. Dalam penelitian ini, Neatspeak dapat berupa penggunaan emoticon “” yang
berarti senyum, “” yang berarti sedih atau kecewa. Selain itu juga dapat berupa tulisan
seperti “hehehe”, “hahaha”, “wkwkwk” yakni pembicaraan yang seolah-olah penulisan. Hal
ini menyebabkan munculnya budaya penulisan texting yaitu terbiasa menulis dan
berkomunikasi dalam bentuk teks-teks singkat.
Berdasarkan yang di atas, telah diuraikan bahwa: Pertama, dengan bergabungnya teknologi
komunikasi berupa smartphone dapat menjadikan teknologi komunikasi yang lebih unggul
dibandingkan dengan teknologi komunikasi terdahulu. Media WhatsApp merupakan salah
satu aplikasi smartphone yang sangat popular di era media baru. Media WhatsApp digunakan
digital natives sebagai media komunikasi utama yang memberikan banyak kemudahan untuk
berinteraksi. Dalam penelitian ini digital natives mengalami beberapa perubahan cara dan
pola berkomunikasi dari era konvensional ke era sekarang yakni era media baru. Dalam
konteks komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi yang
dilakukan oleh digital natives, sebelum memasuki era media baru mereka berkomunikasi
dilakukan secara langsung atau face to face. Setelah munculnya smartphone semakin
memudahkan seseorang untuk tetap berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lainnya yang
cukup hanya dengan menggunakan media sosial WhatsApp. Dalam komunikasi organisasi
yang dijalaninya, secara konvensional mereka mengutus seseorang untuk menyebar luaskan
informasi berupa surat dan pesan singkat melalui pesan teks yang dikirim langsung kepada
anggota organisasinya dan kemudian bertemu secara langsung untuk membahas hal-hal
tertentu. Namun pada era media baru saat ini dengan memanfaatkan smartphone dan hanya
menggunakan media sosial WhatsApp sudah dapat saling terhubung secara langsung melalui
jaringan internet. Digital natives memanfaatkan media komunikasi tersebut untuk proses
interaksi sosialnya, cara berkomunikasi melalui smartphone yang didukung dengan jaringan
internet ini disebut computer mediated communication. Digital natives menggunakan media
sosial WhatsApp untuk menjalin hubungan sosial dan berbagi informasi baik dalam
komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi. Kedua,
Kebiasaan baru dalam budaya berkomunikasi itu terjadi akibat penggunaan teknologi
smartphone yang terus menerus dijadikan sebagai media komunikasi yang paling efektif.
Digital natives mengadopsi nilai kedekatan dan kepraktisan dalam menyebarkan berbagai
informasi melalui media sosial WhatsApp. Sehingga pada era media baru saat ini generasi
internet menganut norma kebebasan, kustomisasi, hiburan dan kecepatan.
3. Menurut teori ekonomi politik kepemilikan media yang ada di Indonesia: Hal fundamental
bagi pemahaman struktur media adalah persoalan kepemilikan dan bagaimana kekuasaan
kepemilikan dijalankan. Kepercayaan bahwa kepemilikan sangat menetukan sifat media
tidak sekedar teori Marxis (Marxist theory), tetapi merupakan aksioma logis yang dirangkum
ke dalam hukum kedua jurnalisme milik Altschull (1984): “Konten media selalu
mencerminkan kepentingan mereka yang membiayainya”. Tidak mengherankan
bila terdapat beberpa bentuk kepemilikan media yang berbeda, dan kekuatan kepemilikan
dapat dijalankan dengan berbagai cara. Sebagian besar media termasuk kedlam satu dari
tiga kategori kepemilikan: perusahaan komersial, badan swasta nirlaba, dan sektor publik.
Kebebasan Pers mendukung hak pemilik untuk memutuskan konten
Bentuk Kepemilikan tidak dapat menghindar dari pengaruh terhadap konten
Keragaman kepemilikan dan kompetisi bebas adalah perlawanan yang tangguh melawan
penyalahgunaan kekuasaan dan kepemilikan
Biasanya terdapat mekanisme Check and Balance di dalam sistem untuk membatasi
pengaruh dari pemilik yang tidak diinginkan
6. Salah satu perkembangan broadcasting model jaman now adalah model Podcast yang akhir-
akhir ini menjadi booming dan cukup diminati oleh pengguna Youtube maupun platform
media sosial seperti Facebook. Podcast yang begitu ngetrend itu dirasa mudah dan efisien
untuk didengarkan kapan pun dan di mana pun. Maka tidak sedikit sekarang ini youtuber-
youtuber Indonesia sudah beralih dan membuat konten dalam bentuk podcast yang subscriber
dan viewernya tidak kalah dengan konten kreatif lainnya.
Nic Newman dalam hasil studi Journalism, Media, and Technology Trends and Predictions
2018 publikasi Reuters Institute for the Study of Journalism dan University of Oxford
menguatkan itu dari hasil survei pada 194 editor, pemimpin dan pejabat media digital yang
menunjukkan bahwa media digital mengalami peningkatan pada media dengan format audio.
Sebanyak 58% media akan berfokus pada Podcast dengan proporsi yang sama menilik pada
konten untuk speaker (pembicara) yang diaktivasi menggunakan suara. Dalam laporan
kuartal-II 2019, layanan streaming musik Spotify menyebutkan bahwa jumlah pendengar
podcast tumbuh lebih dari 50 persen dari kuartal sebelumnya. Ada beberapa kelebihan pada
broadcasting model podcast baik oleh penyiar maupun klien sebagai penikmatnya. Kelebihan
itu antara lain investasi perangkatnya yang tidak terlalu mahal karena teknisnya menekankan
pada perangkat audio dan jika podcast disiarkan secara visual pun teknik take kameranya
tidak perlu sulit karena sebatas studio podcast yang umumnya sederhana. Salah satu
kelebihan Podcast adalah saat mendengarkan Podcast pendengar juga dapat melakukan
aktifitas lain.