Anda di halaman 1dari 9

TUGAS METODOLOGI PENELITIAN

“TEORI KRITIK DALAM PENELITIAN KUALITATIF”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Metodologi Penelitian


Dosen Pengampu : Dandung Adityo A.P., M.Hum

Disusun Oleh :
Fatchur Rahman Dwi D (53010220008)
Fina Hidayah (53010220016)
Atika Fitri (53010220018)
Raihan Ali (53010220116)
Nur Muhammad Husain Musthafa (53010220133)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN HUMANIORA
SEJARAH ERADABAN ISLAM
2023
Teori Kitis dalam Penelitian Kualitatif

A. Asal-usul Teori Kritis


Teori Kritis adalah sebuah terma yang sering dimunculkan dan disalahartikan. Terma ini
biasanya mengacu pada tradisi teoritis yang dikembangkan oleh mahdzab Frankfurt, yakni
sekelompok penulis yang dihubungkan dengan institute penelitian sosial di University Frankfurt.
Namun sebenarnya tak seorangpun dari ahli-ahli dari teori mahdzab Frakfurt yang pernah
mengklaim telah mengembangkan pendekatan terpadu bagi kritik budaya. Pada awalnya, Max
Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Mercuse memulai sebuah perbincangan dengan
tradisi pemikiran dalam bidang filsafat dan sosial jerman terutama Marx, Kant, hegel dan Weber.
Dari sudut pandang ahli-ahli teori kritis ini yang sensibilitas politiknya dipengaruhi oleh
kebinasaan akibat perang Dunia I, keadaan Jerman pasca perang dengan depresi ekonomi yang
ditandai oleh inflansi dan pengangguran, serta berbagai pemogokan dan protes yang berlangsung
di Jerman dan Eropa Tengah pada periode yang sama, dunia sangat membutuhkan Interpretasi
ulang. Dari perspektif ini mereka menentang Ortodoksi Marxis sambil memperdalam keyakinan
mereka bahwa ketidakadilan dan penaklukan telah membentuk dunia nyata (Botomore, 1984;
Gibson, 1968; Held, 1980; Jay, 1973). Dengan memfokuskan perhatian mereka pada sifat
kapitalisme yang terus berubah, ahli-ahli teori kritis awal ini menganalisis berbagai bentuk
dominasi yang berubah yang menyertai perubahan tersebut (Giroux, 1983; McLaren,1989).
Baru satu dawarsa setelah mahdzab Frakfurt didirikan, Nazi pun menguasai Jerman. Bahaya
yang dimunculkan oleh keanggotaan eksklusif Yahudi bagi mahdzab Frankfurt, dan
persekutuannya dengan Marxisme, memperkuat tekad Horkheimer, Adorno, dan Marcuse untuk
meninggalkan Jerman. Akhirnya mereka memilih tinggal di California. Di sana para ahli Teori
kritis ini dikagetkan oleh kebudayaan Amerika. Merasa terusik oleh praktik-praktik empiris, para
peneliti ilmu social Amerika, maka Hokheimer, Ardone dan Mercuse tertantang untuk menjawab
keyakinan mapan ilmu social yang menyatakan bahwa penelitian mereka dapat menguraikan dan
mengukur secara akurat dari dimensi apapun dari perilaku manusia. Dipicu oleh kontradisksi
antara retorika egalitarianisme Amerika yang progresif dengan realitas rasial serta dengan
diskriminasi kelas. Ahli-ahli teori ini menghasilkan karya utama mereka pada saat menetap di
Amerika Serikat. Pada 1953, Horkheimer dan Adorno pulang ke Jerman dan mendirikan kembali
Institut penelitian social. Sementara Herbert Marcuse dengan mantap tetap tinggal di Amerika
Serikat, tempat dia menemukan audiens baru bagi karyanya dalam ilmu social. Sungguh
mengagetkan dirinya, Marcuse dengan cepat dikenal luas sebagai filsuf pergerakan mahasiswa
tahun 1960-an. Teori kritis terutama pembebasan Marcuse secara emosional dan seksual,
mendukung suara kefilsafatan kiri baru. Dengan memfokuskan perhatian pada kritis revolusi
psikologis dan budaya, Kiri baru mengkhotbahkan pesan-pesan emansipasi politik Marcusian.
(Gibson, 1968; Wexler, 1991).
Banyak akademisi yang telah dewasa dalam atmosfer yang sarat politis dalam kurun waktu
1960-an memfokuskan perhatian keilmuan mereka pada Teori kritis. Karena dibuat frustasi oleh
bentuk-bentuk dominasi yang muncul dari kebudayaan yang muncul pasca pencerahan yang
dipelihara oleh Kapitalisme, para ilmuan ini melihat bahwa dalam teori kritis terdapat metode
yang secara temporer membebaskan karya akademmik dari bentuk-bentuk kekuasaan ini.
Terkesan oleh perhatian dialektisnya teori kritis dalam konstruksi social pengalaman, mereka
mulai memandang disiplin keilmuan mereka sebagai manifestasi diskursus dan relasi kekuasaan
dari konteks social dan historis yang menghasilkannya. “Diskurus Kemungkinan” yang tersirat
dalam pengalaman sosial yang bersifat buatan memberi penegasan kepada para sarjana ini bahwa
rekonstruksi ilmu-ilmu social ini secara cepat bisa mengarah ke tatanan social yang lebih
egaliter dan demokratis. Konseptualisasi dan post-strukturalis baru tentang agensi manusia dan
janjinya bahwa kaum pria dan perempuan sekurang-kurangnya sebagian dapat menentukan
eksistensi mereka sendiri menawarkan harapan baru bagi bentuk-bentuk emansi patoris
penelitian social ketika diperbandingkan dengan keyakinan Marxisme Ortodox tentang hukum-
hukum besi Sejarah, kejahatan kapitalisme yang tak dapat dipulihkan lagi dan ploretariat sebagai
pelaku yang diistimewakan dan agen transformasi social yang diharap-harapkan. Misalnya ketika
Henry Giroux dan para pendidik kritis lainnya mengkritik argumentasi yang dibuat oleh sarjana-
sarjana Marxis, seperti Samuel Bowles dan Gintis dengan gagasan yang menyatakan bahwa
sekolah sebagai tempat menanam benih harapan, bisa menjadi tempat munculnya resistensi dan
peluang demokratis melalui usaha-usaha serempak anntara para guru dan para siswa untuk
bekerja dalam rangka pembebasan pedagogis. Giroux(1988), khususnya menegaskan bahwa
sekolah bisa menjadi institusi diajarkannya bentuk-bentuk ilmu pengetahuan, nilai, dan relasi
sosial guna memperoleh pemberdayaan yang kritis, bukannya penaklukan.

B. Penelitian Partisan dalam Budaya Akademik


Para pembaca yang terbiasa dengan tradisi kaum kritikalis secara esensial akan mengenali
empat mazhab "baru" penelitian sosial yang berbeda dalam bab ini: tradisi teori kritis neo-Marxis
yang dihubungkan paling dekat dengan karya Horkheimer, Adorno, dan Marcuse; tulisan-tulisan
genealogis Michel Foucault; praktik-praktik dekonstruksi post- strukturalis yang dikaitkan
dengan Derrida; dan aliran aliran kaum post-modernis yang dihubungkan dengan Derrida,
Foucault, Lyotard, Ebert, dan yang lainnya. Dalam pandangan kami, etnografi kritis telah
dipengaruhi oleh seluruh perspektif ini dengan cara- cara yang berbeda dan tingkatan-tingkatan
yang berbeda pula. Dari teori kritis, para peneliti mewarisi kritik yang kuat terhadap konsepsi
positivis ilmu pengetahuan dan rasionalitas instrumental, terutama dalam bentuk gagasan Adorno
tentang dialektika negatif, yang memunculkan hubungan kontradiksi labil antara konsep dengan
benda. Dari Derrida, para peneliti memperoleh alat untuk mendekonstruksi kebenaran objektif
atau apa yang disebut dengan "metafisika kehadiran." Menurut pendapat Derrida, makna sebuah
kata secara konstan ditunda karena kata hanya bisa memiliki makna dalam relasi per- bedaannya
dengan kata-kata yang lain dalam suatu sistem bahasa tertentu. Foucault mengundang para
peneliti untuk menjelajah cara-cara yang melibatkan berbagai diskursus ke dalam relasi-relasi
kekuasaan dan bagaimana kekuasaan serta pengetahuan secara dialektis bertindak selaku
memicu ulang praktik- praktik yang mengatur apa yang dipandang logis dan benar. Kami telah
menandai banyak karya yang dipengaruhi oleh para penulis ini sebagai perspektif teoretis post-
modernis "yang menggelikan" dan "resisten".
Penelitian kritis dapat dipahami sebaik-baiknya dalam konteks pemberdayaan individu-
individu. Penelitian yang berkeinginan untuk menyandang gelar kritis harus dikaitkan dengan
sebuah usaha untuk menentang ketidakadilan dalam suatu masyarakat tertentu atau kungkungan
kekuasaan di dalam masyarakat. Dengan demikian, penelitian menjadi sebuah usaha
transformatif yang tidak dipersulit oleh label "politik" dan tidak khawatir untuk
menyempurnakan hubungan dengan ke8sadaran emansipatoris. Para peneliti tradisional
berpegang teguh alur aman netralitas, sedangkan para peneliti kritis justru sering kali
memperlihatkan sikap memihak mereka demi memperjuangkan sebuah dunia yang lebih baik.
Para peneliti tradisional melihat tugas mereka sebagai pendeskripsian, interpretasi, atau usaha
menghidupkan kembali sepenggal realitas, sedangkan para peneliti kritis sering kali memandang
penelitian mereka sebagai langkah awal menuju bentuk-bentuk tindakan politik yang dapat
memulihkan ketidakadilan yang ditemukan dalam bidang tersebut, atau yang terkonstruksikan
dalam tindakan penelitian itu sendiri. Horkheimer (1972) menyatakannya secara jelas ketika ia
menunjukkan bahwa teori kritis dan penelitian tidak pernah puas bila hasilnya hanya untuk
menambah pengetahuan (lihat juga Giroux, 1983, 1988; Quantz, 1992).
Penelitian dalam tradisi kritis mengambil bentuk kritik kesadaran diri- kesadaran diri dalam
pengertian bahwa para peneliti berusaha untuk menjadi sadar akan berbagai tuntutan ideologis
dan pra anggapan epistemologis yang menjiwai penelitian mereka sekaligus klaim-klaim acuan
mereka yang berciri subjektif, intersubjektif, dan normatif. Dengan demikian, para peneliti kritis
masuk ke dalam suatu penelitian tanpa direpotkan oleh asumsi-asumsi mereka, sehingga tak
seorang peneliti pun dibingungkan terkait dengan beban epistemologis dan politis yang mereka
bawa ke tempat penelitian. Dengan analisis yang detail asumsi-asumsi tersebut bisa berubah.
Dorongan untuk berubah bisa saja datang dari kesadaran para peneliti kritis bahwa asumsi
asumsi semacam itu tidak membawa menuju tindakan-tindakan yang membebaskan. Sumber
tindakan yang membebaskan ini mencakup ke mampuan peneliti untuk mengungkap berbagai
kontradiksi dunia kasat mata yang diterima oleh budaya dominan sebagai sesuatu yang alami dan
tak bisa diganggu gugat (Giroux, 1983; McLaren, 1989, 1992a). Para peneliti kritis beranggapan
bahwa berbagai tampilan yang demikian itu bisa menyembunyikan hubungan sosial yang tak
seimbang dan tak adil. Misalnya, jika kita memandang kekerasan yang kita temukan dalam ruang
kelas bukan sebagai insiden acak atau berdiri sendiri yang dimunculkan oleh individu-individu
yang menyimpang yang dengan sengaja mendobrak norma hingga bersesuaian dengan bentuk
patologi sosial tertentu, namun dipandang sebagai narasi tentang pelanggaran dan perlawanan,
maka hal ini dapat mengindikasikan bahwa "ketaksadaran politik" yang bersembunyi di bawah
permukaan kehidupan ruang kelas sehari-hari terkait erat dengan isu-isu penindasan ras, kelas,
dan gender.
Di kalangan peneliti kritis ada keyakinan kuat bahwa ideologi bukan sekadar relasi mental
yang imajiner dan menipu yang dijalani oleh individu dan kelompok terkait dengan kondisi
material eksistensi mereka, namun juga tertanam kuat dalam materiali- tas praktik-praktik sosial
dan institusional (Kincheloe, 1993; McLaren, 1989). Misalnya, orang bertindak seolah-olah
relasi sosial dan budaya tertentu adalah benar, bahkan ketika mereka tahu bahwa relasi sosial
budaya tersebut sesungguhnya salah. Dengan kata lain, mereka secara sengaja memilih untuk
menyalah- artikan relasi-relasi kekuasaan ini (misalnya, ke- kuasaan negara ada hanya karena
kita patuh pada aturan-aturannya). Secara umum, orang tidak serta- merta ingin meninggalkan
sikap salah mengenal yang demikian itu (Zizek, 1990), karena kekuasaannya memungkinkan
mereka berperilaku sebagai ke lompok yang dominan. Atau dalam kasus kelompok-kelompok
subordinat/tertindas, karena "yang diperintah menerima posisi subordinat mereka demi kadar
kebebasan yang memanjakan dorongan libidinal tertentu, menutup luka-luka ego, memenuhi
fantasi, dan seterusnya (San Juan, 1992, hlm. 114). Sikap salah mengenal yang dilakukan secara
sengaja baik oleh sebagian kelompok dominan maupun kelompok subordinat ini menciptakan
sebuah tempat terlindung yang dimensi politis kehidupan sehari- harinya bisa tertutupi oleh ilmu
pengetahuan umum, dan sebagai akibatnya, terlepas secara retoris. Hal ini juga menjelaskan
bagaimana kenaikan sebuah blok kekuatan historis ke puncak mampu menghasilkan kembali
pengaturan kekuasaan dan hak-hak istimewa- nya secara hegemonis (Gramsci, 1971). Hegemoni
pasti muncul ketika penindasan yang ganas, dalam banyak samarannya (seperti ras, gender,
kelas, orientasi seksual), diterima sebagai konsensus.

C. Etnografi Kritis: Memulihkan Warisan Marxis Pada Masa Kemunduran Sosialisme


Pemikiran Karl Marx telah menggugah selera pemikir dunia untuk merenung, berpikir dan
ditantang memahami gagasangagasan yang telah digulirkan oleh Marx. Setelah kematian Marx
(1883) ada jeda masa kevakuman yang cukup lama untuk mengkritik, menjelaskan dan
mengembalikan ide-ide Marx semula. Friedrich Engels dan Karl Kautsky sepeninggal Marx
(1883-1938) lebih banyak mejelaskan ajaran Marx yang sulit dimengerti menjadi mudah dan
disedehanakan2 . Ke dua tokoh tersebut banyak berjasa dalam membumikan gagasan-gagasan
Marx terhadap kaum buruh waktu itu. “Marxisme” dianggap sebagai ideologi perjuangan kaum
buruh dan sebutan tersebut diberikan oleh Friedrich Engels dan Karl Kautsky sebagai
pembakuan ajaran Marx. Marxisme yang dikembangkan oleh Friedrich Engels dan Karl Kautsky
dianggap sebagai ajaran-ajaran Marx yang sudah dikolaborasikan dengan pemikiran mereka
sendiri dan sudah tidak murni sebagai ajaran Marx.
Masih dalam masa awal kemunculannya sebagai suatu pendekatan penelitian yang telah
berkembang dalam tradisi kualitatif sepanjang 20 tahun yang lalu, dan kurangnya kejelasan
makna yang dapat menjamin status disiplinernya, etnografi kritis melanjutkan usahanya untuk
mendefinisikan ulang dirinya melalui persekutuannya dengan berbagai aliran teoretis terbaru.
Sebagai sebuah proyek lintas disiplin yang baru muncul, etnografi kritis lebih mudah di-
identikkan dengan eksponen-eksponen dan para pendukungnya yang terkenal (seperti Paul
Willis, George Marcus, Christine Griffin, James Clifford, dan Michael Taussig) daripada dengan
cara yang ditempuhnya untuk menjalin hubungan yang tak terhitung jumlahnya dengan agenda-
agenda politik yang berhaluan radikal pada umumnya dan neo-marxian pada khususnya yang ada
di Inggris dan Amerika Serikat. Dengan demikian, tentunya tidak mengagetkan apabila polanya
yang khas dalam memasuki diskursus arus utama antropologis dan sosiologis telah terhenti
akibat persoalan berat dan mendadak yang disebabkan oleh kematian Marxisme baru-baru ini
seiring dengan runtuhnya komunisme Soviet.
Lenyapnya minat yang diberikan pada teori Marxis tentu saja merupakan penjelasan parsial
bagi gairah baru -dan kadang-kadang narsistis- etnografi kritis pada kecenderungan tertentu dan
kombinasi berubah-ubah teori sosial post-modern yang telah banyak menghiasi tulisan-tulisan
para ahli etnografi kritis. Kami tidak berpendapat bahwa kecondongan pada post-modernisme
yang sangat populer dan pengesampingan dekonstruksi modern yang umum terjadi di kalangan
ahli etnografi kritis semata-mata merupakan pengganti bagi melemahnya kredibilitas Marxisme.
Sebaliknya, pada dasarnya kami sangat sependapat dengan Cornel West (1991) yang
berpandangan bahwa "pencampakan umum pemikiran Marxis dalam akademi liberal" pada
dasarnya merupakan akibat dari kesalahpahaman bahwa pemikiran Marxis yang vulgar (analisis
sejarah yang bersifat satu-sebab, konsep-konsep esensialis tentang masyarakat, atau penjelasan
sejarah yang berciri reduksionis) agaknya menggerogoti tradisi Marxis. West berpandangan
bahwa skeptisisme epistemik yang ditemukan dalam beberapa aliran kritisisme dekonstruktif dan
agnotisisme eksplanatoris, atau nihilisme, yang dihubungkan dengan karya-karya para ahli
antropologi dan sejarah kaum deskriptivis telah melakukan "kekeliruan kategori" berupa
pembelokan persoalan justifikasi epistemologis dalam filsafat menuju persoalan penjelasan
metodologis dalam teori sosial. Inilah yang telah menyebabkan para penyangsi ironis
menghindari teori apa pun yang mendorong menuju tindakan sosial penuh arti demi transformasi
sosial dan ekonomi. Kekeliruan kategori ini juga telah menyebabkan kaum sejarawan estetis
menjabarkan kemungkinan dan ketidak-pastian kehidupan sosial dengan "sedikit perhatian pada
cara dan alasan bagi kemungkinan terjadinya perubahan dan konflik" (hlm. xxii).
Kami mengikuti pendapat yang diajukan West bahwa meskipun nasionalisme, rasisme,
penindasan gender, homofobia, perusakan ekologis, belum benar- benar dipahami oleh
kebanyakan ahli teori Marxis, akan tetapi teori Marxis "bergerak di dalam batas-batas klaim
yang dijamin meyakinkan dan kesimpulan yang dapat diterima secara rasional," dan bahwa teori
tersebut telah membantu menjelaskan bagaimana "proses dinamis akumulasi kapital dan
perjualbelian tenaga kerja mengondisikan praktik-praktik sosial dan budaya secara tak
terhindarkan" (hlm. xxiii).
Douglas Kellner (1993) baru-baru ini telah menunjukkan bahwa menyalahkan kegagalan
komunisme Soviet akibat karya Marx merupakan sikap yang sangat tidak beralasan, curang,
menyesatkan, dan yang paling penting tak dapat dipertahankan secara kefilsafatan. Inilah
terutama yang menjadi inti persoalannya ketika orang mengakui bahwa tulisan-tulisan Marx
mendukung klaim bahwa ia sebenarnya adalah seorang demokrat yang konsisten, yang
mendukung aktivitas diri para pekerja sebagai fokus kedaulatan rakyat, dan tidak mendukung
sebuah negara partai atau birokrasi komunis. Sebagai gantinya, Marx mendukung secara
menggebu dan masuk akal sebuah masyarakat yang bebas dan warga yang teberdayakan secara
demokratis. Pada kenyataannya Kellner bersikukuh, cukup meyakinkan dalam pandangan kami,
bahwa gagasan Rousseau dan gagasan Hegelian Kanan benar-benar bergerak lebih lanjut dalam
melegitimasi bentuk-bentuk penindasan kemasyarakatan dan negara totalitarian modern daripada
karya teoretis Marx. Selanjutnya, Kellner menegaskan bahwa adalah inti persoalannya apabila
ahli-ahli teori Marxian sendiri telah menghasilkan sejumlah kritik yang sangat tajam dan kukuh
terhadap jelmaan-jelmaan represif sosialisme di Uni Soviet, misalnya karya para pakar teori
mazhab Frankfurt. Namun, tak dapat disangkal bahwa salah satu kelemahan diskursus Marxis
yang cukup serius adalah kegagalannya secara terus-menerus memasukkan karya tradisi-tradisi
revolusioner borjuis (seperti tradisi borjuis tentang hak-hak dan kebebasan individu) dan warisan
sosialis revolusioner Marxian ke dalam sistemnya.
Kami menegaskan bahwa tidak ada yang tidak konsisten perihal dorongan kritis dan historis
pemikiran Marxian yang dapat mencegah pembentukan persekutuan teoretis dengan sejumlah
aliran teori sosial post-modern yang lebih berciri politis. Sesungguhnya, teori sosial post-modern
dapat membantu memperdalam dan memperluas jelmaan modern pemikiran kritikalis Marxian
secara signifikan dengan membantu mempersoalkan apa yang disebut oleh Stuart Hall (1990)
sebagai "lenyapnya lembaga tunggal, seperti 'kelas yang berkuasa atau 'negara, sebagai
instrumentalitas penindasan. Dalam pandangan kami, kritik post-modern bukanlah
memperlemah tradisi Marxian justru membantu ke arah perluasan kritik Marxian terhadap relasi-
relasi sosial kapitalis dengan memecahkan ambiguitas yang sekarang ini melingkupi penetapan
kembali sifat kelas dan kesadaran kelas dan dengan mengkaji "logika budaya kapitalisme yang
telah mati" (mengutip ungkapan terkenal saat ini yang diciptakan oleh Frederic Jameson guna
menggambarkan kondisi post-modern). Menurut Jameson (1990), yang diyakini kritikus literer
Marxian yang paling penting di Amerika Serikat, "Demokrasi harus terlibat lebih dari sekadar
konsultasi politik. Harus ada bentuk-bentuk demokrasi ekonomi dan kontrol rakyat dalam cara-
cara yang lain, yang sebagiannya problematis, seperti manajemen para pekerja" (him. 31).
Kedaulatan rakyat yang dipraktik kan oleh Paris Commune dan dipuji oleh Marx dan Engels
sebagai model demokratis manajemen diri pekerja merupakan contoh yang baik dari apa yang
dimaksudkan oleh Jameson sebagai "demokrasi ekonomi."
DAFTAR PUSTAKA

Denzin,Norman K. dan Yvonna S. Lincoln.2009.HANDBOOK OF QUALITATIVE RESEARC.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Franz Magnis-Suseno. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 2010).

Anda mungkin juga menyukai