Anda di halaman 1dari 5

STRATEGI KEBIJAKAN DALAM MENANGGAPKAN MASYARAKAT DI JAWA

Abstrak:
orang jawa telah belajar dari berbagai perspektif. Namun, tidak ada yang
membahas bagaimana orang Jawa menanggapi pujian dengan sopan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi kesopanan yang diterapkan
menanggapi pujian masyarakat Jawa di Jember. Jawa Timur, Gagasan kesantunan
memainkan peran penting dalam realisasi tindak tutur (ujaran dan komunikasi verbal)
di jawa, seperti menanggapi pemenuhan. Karena ujaran dan komunikasi lisan harus
ditafsirkan berdasarkan latar belakang sosio-cultural, strategi kesantunan dalam
menanggapi pujian dalam bahasa jawa tidak lepas dari konsep budaya, seperti:
andhapasor (menurunkan diri sendiri, sekaligus meninggikan yang lain) dan tanggap inf
sasmita (memahami makna tersembunyi), Pertama sebagai orang jawa, seseorang
harus bisa menerapkan konsep andhap-asor dalam menanggapi pujian dengan cara
merendahkan. Kedua, orang Jawa yang baik juga harus memiliki rasa tanggap ing
sasmita sambil menanggapi pujian. Akibatnya, kegagalan menerapkan salah satu faktor
budaya bisa merugikan pembicara, mengurangi harmoni pembicaraan. Makalah ini
membahas bagaimana kesopanan diwujudkan dan disampaikan dalam kerangka utama
budaya Jawa. Studi ini membahas tentang pragmatik sosio-kultural di mana ujaran
dibahas dalam kaitannya dengan situasi mereka, dan latar belakang budaya yang
mendukungnya. Data tersebut berupa dialog antara siswa-guru, dan siswa-siswa yang
menunjukkan status sosial yang berbeda di antara lawan bicaranya. Data penelitian ini
dikumpulkan dengan cara merekam, dan dengan mencatat (untuk bagian dimana
rekaman tidak memungkinkan). Data tersebut bertujuan untuk menghasilkan strategi
yang digunakan oleh orang Jawa (di Jember, Indonesia) untuk membangun strategi
kesopanan dalam menanggapi pujian. Akhirnya, data penelitian ini diteliti baik dari
teori kesantunan umum, dan konsep budaya Jawa (andhap-asor dan tanggap ing
sasmita). Penelitian ini memberikan temuan penting yang mengungkapkan bahwa
menanggapi pujian dalam bahasa Jawa dapat dicapai dalam lima strategi: tidak setuju
dan merendahkan, (2) tidak setuju dan mengajukan pertanyaan, (3) menerima dan
kembali, (4) menerima dan memberikan penjelasan, dan (5) menerima saja, atau
menerima dan menawarkan.
Kata kunci: Tingkat ucapan, andhap asor, tanggap ing sasmita.

orang jawa adalah anggota keluarga bahasa austronesia yang menyebar dari
madagascar ke pulau timur hawaii dan dari formosa di utara Selandia Baru di selatan
(wolff, dan poedjosoedarmo, 1982: 1). pembicara jawa adalah kelompok etnis terbesar
di indonesia dan terdiri dari hampir setengah populasi indonesia yang dapat ditemukan
di hampir setiap wilayah indonesia. kebanyakan mereka menempati dua pertiga jawa
(jawa timur dan jawa tengah). Sebagai salah satu kabupaten di jawa timur, anggota juga
diduduki oleh orang jawa dan beberapa etnis lainnya (misal: orang madura, dan bali).
Banyak ahli telah mempelajari bahasa jawa dari berbagai aspek. pertama, dalam
aspek struktur gramatikal jawa, mis. segmen kalimat dan kelompok kata, dan sintaks
jawa, masing-masing dilakukan bg uhlenbeck (1975 dan 1981). Kedua, dalam aspek
kesantunan bahasa jawa telah dilakukan oleh beberapa ahli bahasa, seperti: bagaimana
menggunakan kosakata bahasa jawa dari sopan santun (gonda, 1949), bagaimana
menggunakan bentuk penghormatan di jawa (uhlenbeck, 1970), bagaimana cara
menggunakan tindakan tidak langsung dalam bahasa jawa (partana, 2006), bagaimana
membangun strategi komunikasi lisan antara atasan dan bawahan di antara orang jawa
(zaid, 1999) dan bagaimana menggunakan kode komunikatif (wolff dan
poedjosoedarmo 1982). Akhirnya, studi tentang aspek pertunjukan budaya jawa,
seperti bayangan boneka jawa, pertunjukan seni verbal di nalur kerja, dan genre
pernikahan jawa telah dilakukan oleh mrazek (1998), kadarisman (1999), dan sukarno
(2008). studi tersebut menunjukkan bahwa orang jawa sangat kaya akan keunikan
bahasa dan kesusastraannya sehingga banyak ilmuwan tertarik untuk menyelidiki
bahasa tersebut. Meskipun banyak ahli telah mempelajari bahasa jawa dari perspektif
yang berbeda, tidak ada yang menyelidiki strategi kesopanan dalam menanggapi pujian
dalam bahasa ini. Sebenarnya, orang jawa (orang) sering menyampaikan pujian kepada
lawan bicaranya agar percakapannya semakin harmonis.
menanggapi pujian termasuk salah satu prinsip pragmatik (ketidaktahuan dan
kesopanan). Gagasan tentang ketidakseimbangan dan kesantunan memainkan peran
penting dalam negosiasi wajah selama ujaran dan komunikasi (felix-brasdefer, 2005).
berikut blum-kulka (1997), dan kasper dan rose (2001) ujaran dan komunikasi pada
umumnya harus ditafsirkan berdasarkan konteks sosio-kultural. Dengan kata lain,
konteks memainkan peran penting untuk memahami bahasa (becker etnal., 1989). Oleh
karena itu, menanggapi keluhan orang jawa tidak lepas dari latar belakang sosio-
kultural masyarakat jawa. latar belakang sosio-kultural ini banyak dipengaruhi oleh
konsep budaya jawa yang berakar kuat pada masyarakat jawa, seperti: andhap-asor,
tata krama, dan tanggap ing sasmita. paparan ini mengkaji bagaimana kesopanan
diwujudkan dan disampaikan dalam kerangka utama budaya jawa. Sangat percaya
bahwa teknik yang digunakan orang Jawa untuk mengungkapkan kesopanan (terutama
bersikap sopan untuk menanggapi pujian) sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa
konsep budaya jawa. Oleh karena itu, konsep ini akan memainkan peran besar dalam
memeriksa kesopanan dalam bahasa ini, terutama dalam mgenanggapi pujian.
Teori kesantunan
Brown dan levinson (1987) membedakan strategi kesopanan berdasarkan
transparansi illokusi dimana 'face threatening act' (FTA) dilaksanakan. prinsip
pengorganisasian untuk teori sopan mereka berasal dari gagasan bahwa beberapa
tindakan secara intrinsik mempercantik wajah dan karenanya memerlukan
pelunakan ... (1987: 24). Ini berarti, untuk brown dan levinson, 'wajah' itu adalah
elemen penting dari kesopanan. bersikap sopan adalah bersikap peduli (gu: 1990).
Selain itu, teori kesopanan dapat digunakan untuk melindungi 'wajah' pendengar atau
citra diri melalui berbagai strategi (pitt et al., 2013)
Namun, kesopanan mungkin berbeda secara lintas budaya (holmes, 1988; watt et
al., 1992; chen, 1993). Dalam bahasa jawa, misalnya, perlu bagi rekan pidato
(pendengar) untuk bisa menafsirkan makna tersembunyi yang akan disampaikan oleh
pembicara. Seperti yang disarankan oleh geice (1981), apa yang dimaksudkan oleh
pembicara, atau tersirat dalam ucapan tersembunyi dapat berbeda dari apa yang
sebenarnya dia katakan. Artinya, ketidakseimbangan memainkan peran penting untuk
bersikap sopan di jawa, seperti yang disyaratkan oleh konsep tanggap ing sasmita.
konsep budaya jawa
Dalam kehidupan sehari-hari, orang jawa sangat dipengaruhi oleh beberapa
konsep yang berakar kuat dalam budaya Jawa, yaitu: tata krama, andhap-asor, dan
tanggap ing sasmita. tata krama berarti susunan bahasa atau tingkat bicara. Sedangkan
untuk tingkat tutur, poedjosoedarmo (1979) dan errington (1988) mengklaim bahwa
ada tiga tingkatan: tingkat terendah, ngoko (ng), tingkat menengah, krama madya (km),
dan tingkat tertinggi, krama inggil (ki) . Dalam tingkat bertutur, setiap tingkat
mengekspresikan tingkat kesopanan. yaitu, tingkat terendah (ng) mengungkapkan
tingkat paling sopan dan tingkat tertinggi (ki) menunjukkan yang paling sopan. Selain
itu, setiap tingkat berbeda satu sama lain dalam item leksikal mereka yang dapat
ditunjukkan oleh contoh berikut.
(1) KI : Menopo panjenengan sampun dahar?
(2) KM : Noo sampeyab sampun nedho?
(3) ng : opo kowe wis mangan?
(apakah kamu sudah sarapan / makan siang / makan malam?)
Kalimat (1) dan (2) diklasifikasikan sebagai bahasa atau krama (KI dan KM
masing-masing) karena mengandung item leksikon non-ngomo, seperti: panjenengan
dan sampeyan yang berasal dari ngoko lexicon kowe 'you'. Karena tingkat Ng adalah
tingkat dasar, setiap konsep yang dapat diekspresikan dalam bahasa jawa akan
dinyatakan dalam sebuah kata atau frase dari leksikon Ng. Sebaliknya, tidak setiap kata
Ng akan memiliki rekanan di antara kata-kata KM dan KI. dalam kasus di mana tingkat
KM atau KI tidak dimiliki setara dengan kata Ng, kata-kata Ng digunakan. nomor
kardinal, seperti: nem 'enam’, pitu 'tujuh’, wolu 'delapan’, songo 'sembilan’, yang milik
Ng juga bisa digunakan baik di KI maupun di KM.
Mengetahui gaya bicara memerlukan penguasaan faktor utama untuk menentukan
pilihan gaya. Jika tidak, kita dapat memilih gaya yang salah yang dapat memiliki efek
yang tidak menyenangkan pada pendengar. Misalnya, seorang siswa menggunakan gaya
Ng atau KM saat berbicara dengan gurunya (karena yang sesuai adalah gaya KI).
Namun, tidak mudah untuk memilih tingkat praktik yang sesuai karena tidak ada aturan
yang jelas. yang bisa membimbing kita untuk menggunakan level yang tepat. Beberapa
ahli bahasa jawa (Horn, 1992; Poedjosoedarmo, 2979) mengemukakan faktor utama -
tingkat formalitas dan status sosial pembicara dan pendengar - yang dapat membantu
kita untuk memilih tingkat. hubungan antara penutur bahasa jawa juga direfleksikan
dengan tujuan, situasi pembicaraan, dan profesinya (Susanto, 2014: 141)
Dalam hubungan dengan formalitas, pemilihan gaya mungkin berkaitan dengan
situasi di mana mereka melakukan percakapan. Sebagai contoh, beberapa orang yang
telah mengenal satu sama lain dengan baik (dan karena itu biasanya menggunakan Ng
dari KM) akan mengubah tingkat bahasa menjadi KI segera setelah mereka memasuki
situasi formal seperti: dalam sebuah pertemuan, dalam pidato pernikahan pesta, atau
dalam menyampaikan khotbah. Mengenai faktor ini, KI sebagai ucapan saling
menghormati yang digunakan antara orang asing atau orang asing komparatif akan
digunakan. Sebaliknya, orang yang berbicara satu sama lain di KI, secara bertahap bisa
mulai menggunakan KM bahkan Ng, jika mereka menjadi teman dekat atau menjadi
lebih intim.
Prinsip memilih gaya bicara juga dapat ditentukan oleh status sosial dari
pembicara (S) dan pendengar (H). Status ini bisa didapat dari berbagai cara seperti:
usia, pendidikan, posisi (rank), dan kekayaan. Dalam kaitannya dengan usia, norma-
norma jawa mendikte yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Hal ini
ditunjukkan dengan penggunaan tingkat bicara yang tepat, mis. yang lebih muda
(seperti anak laki-laki / anak perempuan) memilih tingkat KM atau KI saat dia berbicara
dengan orang tua (orang tua, paman / bibinya). Faktor usia, bagaimanapun, mungkin
dilanggar oleh faktor lain, seperti posisi. Misalnya, S yang lebih tua dari H memilih
tingkat KI hanya karena dia menyadari bahwa ststus sosial H lebih tinggi daripada dia,
mis. seorang majikan pelayan yang berbicara kepada majikannya yang jauh lebih muda
darinya.

Anda mungkin juga menyukai