Dalam budaya Melayu, kesantunan berkaitan dengan persoalan aib/ malu, adab, dan adat.
Ketidaksantunan sama dengan membuka aib, tidak beradab, dan melanggar adat. Oleh karena itu,
kesantunan dianggab sebagai salah satu pertaruhan hidup orang Melayu sejati.
Fungsi penanda jatidiri dan cermin budi, menegaskan kaitan erat antara behasa dan etika dalam
adat dan budaya Melayu, dari bagaimana bahasanya, orang dapat menentukan dimana posisi
penutur bahasa tersebut dalam ranah etika dan beradab. Tindakan berbahasa yang santun itu
sekurang-kurangnya mencakup kemampuan memilih kata (ketetapan bahasa dengan pikiran dan
juga perasaan yang hendak dikemukakan) dan kearifan dalam merangkai kata.
Sebagaimana dikemukakan oleh pujangga Tenas Effendy (2010):
- Tanda orang yang bijaksana > tahu memilih merangkai kata
- Tanda orang yang terpuji > bahasanya tepat pahamnya tinggi
- Tanda orang yang terbilang > bahasanya elok maknanya terang
- Tanda orang berpikiran luas > bahasanya teratur maknanya jelas
- Apa tanda orang bertuah > budinya halus bahasanya indah
Adat dan adab melayu membedakan pemakaian bahasa dalam tiga kelompok yaitu:
a. Bahasa mendaki, digunakan oleh orang muda terhadap orang yang lebih tua.
b. Bahasa mendatar, digunakan antar sama sebaya atau berkedudukan setara.
c. Bahasa merendah, digunakan orang yang lebih tua terhadap yang lebih muda atau lebih
rendah kedudukannya.
Ketiga kelompok pemakaian bahasa tersebut sejajar dengan tiga sikap efektif Melayu terhadap
sesamanya, sebagaimana digambarkan dalam ungkapan; yang tua dihormati, yang sebaya
dikasihi, dan yang muda disayangi. Tindakan kebahasaan yang santun dan bermarwah ialah
berbahasa yang mengedepankan adab sesuai dengan nilai-nilai asas adat dan budaya Melayu,
serta norma-norma social. Begitulah dalam budaya Melayu, bahasa dan etika merupakan dua hal
yang tak dapat dipisahkan.