Anda di halaman 1dari 15

BAHASA YANG BAIK DAN BENAR SERTA

KESANTUNAN BERBAHASA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Ulfah Mey Lida, M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 2-CIPSR
1. Uliya Rosyida (2250410083)
2. Wahyuning Kusumawati (2250410095)
3. Rizka Zahra Amalia (2250410100)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
TAHUN 2022

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kepada Allah SWT. Yang telah
memberikan kemudahan dan kelancaran kepada kami dalam menyelesaikan tugas
makalah ini dengan baik.
Makalah dengan judul “Bahasa yang Baik dan Benar serta Kesantunan
Berbahasa“ disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia yang
diampu oleh Ibu Ulfah Mey Lida, M.Pd. Selain itu, dari penyusunan makalah ini
kami berharap dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi teman-teman
tentang pentingnya menggunakan bahasa yang baik dan benar serta kesantunan
berbahasa.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun dari teman-teman. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk teman-teman sekalian.

Kudus, 22 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Bahasa Yang Baik Dan Benar

B. Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

C. Definisi Kesantunan Berbahasa

D. Prinsip Kesantunan berbahasa

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk
menyampaikan gagasan, pikiran, maksud dan tujuan pada manusia
lainnya. Sehingga, bahasa menjadi salah satu komponen penting dalam
kehidupan manusia. Manusia merupakan makhluk sosial. Melalui bahasa,
manusia dapat berinteraksi, bekerja sama dan menjalin kontak sosial dalam
bermasyarakat.
Pentingnya penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam
masyarakat diperlukan sebagai penyetaraan dalam bersosialisasi dengan
sesama manusia. Apabila bahasa yang digunakan baik dan benar maka
bagi pendengar tentunya lebih mudah dipahami. Untuk itu keseragaman
berbahasa sangatlah penting, supaya komunikasi dapat berjalan lancar.
Penutur dan lawan tutur tidak hanya dituntut mampu berbahasa
secara baik dan benar tetapi juga mampu bertutur secara santun.
Kesantunan berbahasa merupakan tata cara berperilaku yang disepakati
oleh suatu masyarakat sebagai aturan sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari bahasa yang baik dan benar?
2. Bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar?
3. Apa definisi dari kesantunan berbahasa?
4. Apa saja prinsip kesantunan berbahasa?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsi apa yang dimaksud bahasa yang baik dan benar
2. Untuk mendeskripsi bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia yang
baik dan benar
3. Untuk mendeskripsi apa yang dimaksud kesantunan berbahasa
4. Untuk mendeskripsi prinsip kesantunan berbahasa
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bahasa yang Baik dan Benar


Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan
norma kemasyarakatan yang berlaku misalnya, dalam situasi santai dan akrab,
seperti di warung kopi, pasar, di tempat arisan, dan di lapangan sepak bola
hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang tidak terlalu terikat pada patokan.
Dalam situasi formal seperti kuliah, seminar, dan pidato kenegaraan hendaklah
digunkan Bahasa Indonesia yang resmi dan formal yang selalu memperhatikan
norma bahasa.
Sedangkan Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa yang digunakan
sesuai dengan aturan atau kaidah Bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa
itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusun kalimat,
kaidah penyusun paragraf, dan kaidah pembentukan kata ditaati secara konsisten,
pemakaian bahasa dikatakan benar. Sebaliknya jika kaidah-kaidah bahasa kurang
ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar atau tidak baku. 1
Bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang sesuai dengan situasi
komunikasi dan sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia baik dari segi
pembentukan kata, pengkalimatan maupun penulisan ejaan.

B. Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang sesuai
dengan situasi. Sebagai alat komunikasi bahasa harus dapat efektif menyampaikan
maksud kepada lawan bicara, karena kita harus menggunakan Bahasa Indonesia
yang sesuai dengan konteks bahasa yang selaras dengan nilai sosial masyarakat.
Ada lima laras bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi, sebagai
berikut:
1. Ragam beku (frozen)
1
Arum Putri Rahayu, Menumbuhkan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dalam
Pendidikan dan Pengajaran, Jurnal Paradigma, Vol. 2 No. 1 (November 2015).
Digunakan pada situasi hikmat, seperti putusan pengadilan dan
upacara pernikahan.
2. Ragam resmi
Digunakan dalam situasi resmi, seperti pidato, rapat resmi, dan
jurnal ilmiah.
3. Ragam konsultatif
Digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau
pertukaran informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan
pasar.
4. Ragam santai
Digunakan dalam situasi tidak resmi.
5. Ragam akrab
Digunakan di antara orang yang memiliki hubungan akrab.
Penggunaan Bahasa Indonesia yang benar adalah penggunaan bahasa yang
menaati kaidah tata bahasa dalam menggunakan Bahasa Indonesia, terdapat
aturan-aturan dalam memakai bahasa secara baik dan benar. Penggunaan bahasa
yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
yang berlaku meliputi:
1. Tata bunyi (fonologi)
 Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-
bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur serta bagaimana
menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.
 Fonemik adalah ilmu yang mempelajari ujaran dalam
fungsinya sebagai pembeda arti.
2. Tata bahasa (kalimat)
Mempelajari tentang struktur dan kaidah dalam suatu bahasa.
Kalimat yang dihasilkan dapat memenuhi syarat sebagai kalimat yang
benar (gramatikal).
3. Kosakata
Dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, harus
menggunakan kosakata bahasa yang benar, serta dapat membedakan antara
ragam bahasa baku dan ragam bahasa tidak baku, baik tulis maupun lisan.
4. Ejaan
Ejaan yang berlaku dalam Bahasa Indonesia adalah ejaan yang
sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
5. Makna
Pemakaian bahasa yang benar berkaitan dengan ketepatan
menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya, dalam
bahasa ilmu tidak tepat digunakan kata-kata yang bermakna konotatif (kata
kiasan).2
C. Definisi Kesantunan Berbahasa
Kesantunan merupakan aturan pelaku yang ditetapkan dan disepakati
bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi
prasyarat yang disepakati oleh pelaku sosial. Kesantunan tidak hanya dapat dilihat
dari sisi penutur saja, tetapi juga harus memperhatikan kesan lawan tutur yang
mendengarkan hal yang disampaikan penutur. Oleh karena itu, kesantunan ini bisa
disebut “tatakrama”.
Berdasarkan pengertian tersebut kesantunan dapat dilihat dari berbagai
segi dalam pergaulan sehari-hari :
1. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun
atau etika dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun
maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etika
yang berlaku baik di masyarakat. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat
memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika
(mendadak) maupun secara konvesional (panjang, memakan waktu lama).
2. Kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat,
atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat,
atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja

2
S. Effendi, Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar,
(Jakarta:Pustaka Jaya, 1995).
menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak
santun apabila ditunjukkan kepada orang yang lebih tua, tamu, atau
seseorang yang baru dikenal.
3. Kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki dua hubungan dua kutub, seperti
anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang masih
tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan pria, antara guru dan
murid, dan sebagainya.
4. Kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat
(bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

D. Prinsip Kesantunan Berbahasa


Menurut Leech prinsip kesantunan memiliki enam maksim, yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim
kesederhanaan, maksim pemufakatan, dan maksim kesimpatian. Maksim
merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual, kaidah-kaidah yang
mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya
terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut
sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Maksim maksim tersebut menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-
keyakinan dengan sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan.
1. Maksim Kebijaksanaan
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan
adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip
untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang
berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan dapat dikatakan
sebagai orang santun. Leech (1993: 206) mengatakan bahwa semakin
panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang
diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan
dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Contoh:
Tuan rumah: "Silakan makan saja dulu, nak! Tadi kami semua sudah
mendahului."
Tamu: "Wah, saya jadi tidak enak, Bu."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang
sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di
rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak
segera reda. Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang
dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang
tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada
masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik
tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah
direncanakan terlebih dahulu kedatangannya.

2. Maksim Kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksim kedermawanan berarti buatlah
keuntungan diri sendiri sebesar mungkin. Dengan adanya maksim
kedermawanan atau maksim kemurahan hati, penutur diharapkan dapat
menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi
apabila orang dapat memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan
meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Penjelasan lain mengenai maksim kedermawanan dijelaskan oleh
Chaer (2010: 57) yang mengatakan bahwa maksim kedermawanan
menghendaki setiap penutur untuk lebih memaksimalkan kerugian diri
sendiri dan lebih meminimalkan keuntungan diri sendiri. Contoh:
Anak kos A: "Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak,
kok, yang kotor."
Anak kos B: "Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga,
kok!"
Informasi Indeksial:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada
sebuah rumah kos di Kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan
demikian erat dengan anak yang satunya. Dari tuturan yang disampaikan si
A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan
keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya
sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah
bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan
biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan
keseharian hidupnya.

3. Maksim Penghargaan
Menurut Leech (1993: 211-212) maksim pujian dapat dikatakan
seperti ini “Kecamlah orang lain sesedikit mungkin, pujilah orang lain
sebanyak mungkin”. Maksim pujian ini bisa juga disebut maksim rayuan.
Pada maksim ini aspek negatif yang lebih dipentingkan, yakni ‘jangan
mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain,
terutama mengenai penutur. Kalimat “masakanmu enak sekali” sangat
dihargai, sedangkan kalimat “masakanmu sama sekali tidak enak!” tidak
akan dihargai.
Leech dalam Chaer (2010:57-58) mengatakan maksim pujian ini
menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang
lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Maksim
penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain.
Dengan maksim ini, diharapkan agar para penutur tidak saling mengejek,
saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Contoh:
Dosen A: "Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Bussines English."
Dosen B: "Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari
sini."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang
dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B
pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian
atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun.

4. Maksim Kesederhanaan
Leech (1993: 214) menyatakan maksim kerendahan hati dengan
kata seperti ini “Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, kecamlah diri
sendiri sebanyak mungkin”. Maksim kesederhanaan atau kerendahan hati
menuntut penutur untuk bersikap rendah hati dengan cara mengurangi
pujian terhadap diri sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak
hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan
diri sendiri. Kesederhanaan dan kerendahan hati dalam masyarakat bahasa
dan budaya Indonesia banyak digunakan sebagai parameter penilaian
kesantunan seseorang. Contoh:
Sekretaris A: "Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!"
Sekretaris B: "Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang
masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja
mereka. Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap
rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan
demikian, tuturan tersebut terasa santun.

5. Maksim Pemufakatan
Maksim pemufakatan menekankan agar para penutur dapat saling
membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Hal
tersebut dijelaskan oleh (Chaer, 2010: 59), yakni maksim kecocokan
menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan
kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara
mereka. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara penutur dan
lawan tutur dalam kegiatan bertutur, maka mereka dikatakan santun.
Dalam kegiatan bertutur terdapat kecenderungan untuk membesar-
besarkan pemufakatan dengan orang lain dan memperkecil
ketidaksesuaian dengan cara menyatakan penyesalan, memihak pada
pemufakatan dan sebagainya. Contoh:
Noni: "Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!"
Yuyun: "Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga
mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas.
Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun mampu membina kecocokan
dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan
akan menjadi santun.

6. Maksim Kesimpatian
Leech (1993: 207) menyatakan bahwa maksim kesimpatian
menuntut penutur memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu
dengan pihak lain. Sikap antipati terhadap seseorang pada kegiatan
bertutur dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur
Indonesia sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatian terhadap orang lain
di dalam berkomunikasi. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain,
terutama bersikap sinis dianggap sebagai orang yang tidak santun.
Chaer (2010: 61) menyatakan bahwa maksim kesimpatian
mengharuskan semua penutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan
meminimalkan rasa antipati kepada lawan tutur. Ketika lawan tutur
memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan
ucapan selamat. Adapun jika lawan tutur mendapat kesulitan atau
musibah, penutur seyogyanya menyampaikan rasa duka atau
belasungkawa sebagai tanda kesimpatian. Contoh:
Ani: "Tut, nenekku meninggal."
Tuti: "Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita."
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang
sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.
Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada
Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang
lain akan dianggap orang yang santun.3

3
Kunjana Rahardi, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2005), 61-66.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan masalah di atas dapat disimpulkan bahasa yang baik
dan benar adalah bahasa yang sesuai dengan situasi komunikasi dan sesuai
dengan kaidah Bahasa Indonesia baik dari segi pembentukan kata,
pengkalimatan maupun penulisan ejaan. Penggunaan Bahasa Indonesia yang
baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi. Sedangkan penggunaan bahasa
yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa yang berlaku meliputi, tata bunyi (fonologi), tata bahasa (kalimat),
kosakata, ejaan, dan makna.
Kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosialisasi di
masyarakat, atau di mana kita berada, dengan penggunaan bahasa dan
pemilihan kata yang baik, serta memperhatikan di mana, kapan, dan kepada
siapa kita berbicara, karena sesungguhnya bahasa adalah kebudayaan, untuk
memahami suatu bahasa kita harus memahami kebudayaan itu sendiri. Prinsip
kesantunan memiliki enam maksim, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim
kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim
pemufakatan, dan maksim kesimpatian.
B. Saran
Dalam penulisan ini penulis menyarankan untuk mengembangkan
Bahasa Indonesia dalam tata komunikasi dengan baik dan benar agar
Bahasa Indonesia benar-benar dipahami dan dimengerti khususnya oleh
orang indonesia. Dari penulisan ini penulis juga masih mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca guna dalam penulisan makalah yang
berikutnya. Agar penulisan berikutnya jauh lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. Jakarta:
Pustaka Jaya
Rahayu, Arum Putri. 2015. Menumbuhkan Bahasa Indonesia yang Baik dan
Benar dalam Pendidikan dan Pengajaran. Jurnal Paradigma, 2(1)
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga
https://www.academia.edu/resource/work/5578937
https://lms.syam-ok.unm.ac.id

Anda mungkin juga menyukai