Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah Bahasa Indonesia Pengaplikasian Teori
Kesantunan Di Sekitar Kita ini dengan lancar dan tepat waktu.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Moh.Fatoni sebagai dosen mata
kuliah Bahasa Indonesia, yang telah membimbing dan menasehati penyusun dalam
penyusunan makalah ini. Pada dasarnya, makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
akhir Bahasa Indonesia.Semoga makalah ini dapat bermanfat bagi pembaca dan mulai
menerapkan kesantunan dalam berbahasa di kehidupan sehari-hari.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh
karena itu, penyusun menerima kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaan
dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.. 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN.. 3
1.1
Latar Belakang. 3
1.2
Rumusan Masalah. 3
1.3.Tujuan. 4
BAB II PEMBAHASAN.. 4
2.1 Definisi Kesantunan. 5
2.2 Defenisi Kesantunan Berbahasa. 6
2.3 Teori-teori Kesantunan Berbahasa. 7
A. Teori Lakoff Lakoff (1972) 7
B. Teori Gu (1990) 8
C.Teori Pranowo. 10
D.Teori Grice. 11
BAB III PENUTUP. 18
3.1 Kesimpulan. 18
3.2 Saran. 18
DAFTAR PUSTAKA.. 19
BAB I PENDAHULUAN
kesantunan yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Lakoff, Yuego Gu,
Grice dan Pranowo.
1.3 Tujuan
Mahasiswa dapat membandingkan dan mengkaji penggunaan bahasa Indonesia
dengan beberapa teori kesantunan
BAB II PEMBAHASAN
berpakaian
(berbusana),
cara
yang tidak santun. Tuturan yang memaksa dan angkuh sepertiBodoh, percuma kau
belajar, dapat melahirkan reaksi frontal pada kejiwaan anak, yang eksesnya
melahirkan bentuk perilaku yang menjengkelkan. Perilaku semacam itu, sering
menjadi sebab terjadinya KDRT.
2.Ketidaktegasan
Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian
rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. TuturanJika masih
bersemangat dan ingin nilaimu baik, rajin-rajinlah belajar,sebenarnya merupakan
tekanan dari si penutur (dalam konteks itu orang tua)terhadap mitra tutur (anak).
Namun, tekanan itu disampaikan dengan santunkarena memberikan pilihan kepada
anak, sehingga tidak tersinggung dan bersikap menjengkelkan..
3.Persamaan/kesekawanan
Kaidah persamaan/kesekawanan, menyarankan kepada penutur untuk bertindak
seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain membuatmitra tutur merasa
senang. Ujaran Nilai rapormu lumayan baik, sebaik semangat belajarmu, selain
sebenarnya mengkritik juga mengajarkankesantunan kepada anak.
Kesantunan dalam berbahasa menurut Lakoff meliputi :
1.Cara mengungkapkan
dalamkomunikasi.
jarak
sosial
dan
hubungan
peran
yang
berbeda
orangtersebut juga akan mendapat sanksi dari masyarakat. Sanksi yang biasa
diterapkan adalah digunjingkan atau dikucilkan oleh masyarakat. Norma yang harus
dipenuhi tidak hanya terbatas pada perilaku tetapi juga pada tutur kata.Apabila ada
seseorang tidak santun dalam penggunaan bahasa maka orangtersebut akan dianggap
tidak sopan dan akan dicap sebagai orang yang kasar dantidak baik. .Hal tersebut
masih sangat terasa di kota-kota kecil dan pinggiran. Karena orangtua dan lingkungan
mengajari untuk menggunakan bahasa yangsantun. Berbeda dengan lingkungan di
kota besar yang masyarakatnya cenderung tak acuh dan banyak orang tua yang
kurang memperhatikan tingkah laku anak-anaknya. Sehingga banyak anak dan remaja
yang tidak mengetahui cara berbahasa Indonesia yang santun
Berdasarkan kesantunan orang Cina, yaitu mengaitkan kesantunan dengan normanorma kemasyarakatan yang bermoral. Bersifat preskriptif dalam konsep Cina limao
(politeness) dan terikat pada ancaman sangsi moral dari masyarakat.
1. Nosi muka (face) di dalam konteks cina tidak dianggap sebagai keinginan
(want) psikologis, tetapi sebagai norma-norma kemasyarakatan.
2.Kesantunan tidak bersifat instrumental tetapi bersifat normatif.
3.Muka tidak terancam jika keinginan individu tidak terpenuhi, namun terancam jika
individu gagal memenuhi standar yang ditentukan masyarakat.
Perilaku individu harus disesuaikan dengan harapan masyarakat mengenaisikap
hormat (respectfulness), sikap rendah hati (modesty), sikap hangat dan tulus(warmth
and refinment).
kesantunan
atau
C.Teori Pranowo
Pranowo mengungkapkan teori mengenai tanda-tanda komunikasi yang tidak santun.
Karena komunikasi tidak santun sering kali terjadi meskipun ada banyak cara agar
dapat berbahasa dan berkomunikasi dengan santun. Tanda -tanda tersebut antara lain
sebagai berikut (Sukmawan, 2009 : 7 ) :
1.Penutur menyatakan kritik secara langsung dan dengan kata -kata kasar.Dalam
budaya Indonesia, terutama budaya jawa selalu menekankan pada unggah- ungguh.
Sehingga dalam bertutur kata dengan orang lain harusdiberi penjelasan terlebih
dahulu baru kemudian mengungkapkan intinya.Sehingga mitra tutur bisa mengerti
dan tidak tersinggung dengan apa yangdituturkan. Apalagi jika hal itu berisi kritikan.
Meskipun demikian, adaorang yang tidak menyukai hal yang tidak disampaikan
secara langsung.Karena terkesan berputar putar. Jadi lebih baik jika kritik atau tutur
katadisampaikan dengan penjelasan seperlunya dan tidak bertele tele sehinggamitra
tutur tidak merasa sakit hati dan tidak merasa bosan. Akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa banyak masyarakat yang lebih sering secaralangsung
mengungkapkan apa yang dipikirannya.
2.Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Seringkali terjadi perselisihan dalam
berkomunikasi yang menimbulkan timbulnya emosi. Orang yangtidak dapat
mengendalikan emosinya maka dapat dipastikan pembicaraanakan berujung pada
pertengkaran mulut. Jika demikian maka tutur kata yangdikeluarkan oleh masing
masing penutur adalah tutur kata yang tidak sopan dan cenderung kasar. Contoh
paling umum yang terjadi adalah padaorang tua dan anak yang memiliki perbedaan
pendapat dan pada pasangan.Untuk itu diperlukan pengendalian emosi yang baik
supaya dapatmengendalikan tutur kata yang akan diucapkan. Sehingga tidak saling
menyakiti.
3.Penutur protektif terhadap pendapatnya. Dalam mengeluarkan pendapat , baik
dalam forum formal maupun informal, ada beberapa orang yang terlalungotot dengan
pendapatnya pribadi dan tidak bisa menerima saran, kritik atau sanggahan dari orang
lain. Orang yang demikian apabila pendapatnyadisanggah maka akan menunjukkan
raut muka yang tidak senang dan berujung pada penggunaan tutur kata yang
cenderung kasar dan tidak sopan.Meskipun banyak juga orang yang masih mampu
mengendalikan emosi jika pendapatnya disanggah.
4.Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dalam bertuturu. Hal ini kadangterjadi jika
seseorang ingin memenangkan pendapatnya dan ingin dianggap benar mengenai
pendapatnya tersebut. Kasus yang lain terjadi pada saatinterogasi atau pada saat
D.Teori Grice
Grice (1978) mengidentifikasi bahwa komunikasi secara santun harus memperhatikan
prinsip kerja sama. Ketika berkomunikasi, seorang penutur harus memperhatikan :
1.Prinsip kualitas
Jika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain, informasiyang diberikan
harus di dukung dengan data. Dengan dukungan data yangada maka informasi
tersebut akan lebih sah dan memang benar adanya.Sehingga lawan bicara tidak
merasa tertipu. Prinsip ini sulit diterapkan dandilanggar karena memiliki kesan sedikit
kaku. Dan mungkin akanmembatasi komunikasi antara satu orang dengan yang
lainnya.
2.Prinsip kuantitas
Artinya kerika berkomunikasi dengan orang lain, yang dikomunikasikan harus sesuai
dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip ini menuntut agar
seseorang memberi sesuatu sesuai yang diminta oleh lawan bicara. Misalnya jika
lawan bicara menginginkan diberi 1 Kg gula maka gula yang diberikan juga harus 1
Kg dan tidak dikurangi.Saat ini banyak pedagang yang melanggar prinsip kuantitas
dan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan pelanggan. Hal
inidimaksudkan agar pedagang tersebut memperoleh lebih banyak keuntungan.
Saat ini cukup sulit untuk bisa menerapkan prinsip ini. Karena gayahidup saat ini
yang cukup sulit sehingga banyak orang yang bertutur katadan member informasi yag
terkadang kurang dan bahkan dilebih lebihkan.Hal ini hanya dimaksudkan agar
orang tersebut dipandang sebagai orangyang pintar dan untuk memperoleh keinginan
pribadi.
3.Prinsip relevansi (hubungan)
Prinsip ini bermakna ketika berkomunikasi dengan orang lain maka harus relevan dan
berkaitan dengan apa yang dibicarakan oleh lawan bicara.Apabila dipikir dengan
logika, hal ini memang benar adanya. Karena percakapan yang tidak relevan dan
tidak nyambung tidak akan menghasilkan apa-apa. Dan malah akan menimbulkan
perasaan tidak nyaman pada lawan bicara.Contoh kasus yang kadang terjadi adalah
apabila ada dua orang yangsedang berbicara dan ada orang lain yang hanya
mendengarkan sebagiandan tiba-tiba menanggapi hal tersebut dan tanggapannya
ternyata tidak relevan dengan yang dibicarakan. Kasus yang lain terjadi karena
pembicarakurang jelas dalam menyampaikan apa yang ingin dibicarakan. Sehingga
terkadang lawan bicara menanggapi dengan berbeda
4. Prinsip cara
Prinsip ini berarti ketika berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain harus lah
memperhatikan cara penyampaian. Tidak semua orang dapat menerima cara berbicara
yang sama. Orang yang sensitif tidak bisa diajak bicara dengan kasar. Tutur kata
yang digunakan juga harus dipilih agar orang tersebut tidak merasa tersinggung. Cara
penyampaian informasi kepada orang yang lebih tua dan kepada orang yang sebaya
atau yang lebihmuda juga harus berbeda. Kepada orang yang lebih tua, cara bicara
yangdigunakan haruslah penuh dengan rasa hormat dan halus. Meskipun saat
ini banyak anak, remaja dan kaum muda yang kurang memperhatikan cara bertutur
dengan orang yang lebih tua.Contoh kasusnya adalah mahasiswa yang ingin bertemu
dengan dosen pembimbingnya. Seringkali mereka kurang sopan dalam
menyampaikan keinginannya tersebut karena mereka menyamakan berkomunikasi
dengan dosen dan berkomunikasi dengan teman. Hal ini menyebabkan banyak dosen
yang merasa tersinggung dan mungkin tidak menanggapi mahasiswatersebut. Kasus
seperti ini dapat terjadi antara lain karena dengan orangtuanya sendiri mahasiswa
tersebut kurang benar cara berbicara dan menganggap seperti berbicara dengan
teman.
Selain keempat prinsip diatas, Grice juga memberikan beberapa pedoman untuk
memperlakukan mitra tutur yaitu sebagai berikut (Sukmawan,2009 : 3 ) :
1. Jangan memperlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur
2. Jangan mengatakan hal -hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau
orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur
kemalangan
mitra
tutur
4. Jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihandiri
sendiri
5. Maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur
6. Minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan maksimalkan rasasenang
Prinsip-prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice sering kali dilanggar dan
diabaikan. Hal ini dikarenakan kondisi yang memungkinkan untuk memenuhi
keempat prinsip tersebut tidak selalu ada. Bahkan saat ini semakin sulit untuk
ditemui. Penyebabnya karena ada keadaan tertentu yang secara sengaja dilakukan
oleh penutur untuk tidak memenuhi prinsip tersebut
Contoh Fenomena Kesantunan Berbahasa Menurut Teori Pranowo
Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal
Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak
asing lagi di telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa
menjajakan dagangannya di sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu
berupaya untuk menarik pembeli agar membeli dagangannya, yang kadang juga suka
terlihat agak memaksa. Supir adalah para pengemudi bus atau angkot yang selalu
terlihat di lingkungan terminal. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk
menarik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo adalah perantara atau
reseller. Kata calo kadang bersifat negatif karena apa yang calo lakukan adalah
menggunakan kesempitan orang menjadi suatu kesempatan. Calo juga identik dengan
preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya.
Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang
diucapkan oleh pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering
mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir
angkot atau bus dengan wajah terpaksa memberi sejumlah persenan kepada calo.
Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para calo itu biasa saja, sehingga
mereka pantas menerima sejumlah uang.
Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan
uang yang tidak sesuai dengan keinginan para calo. Yang terjadi selanjutnya adalah
teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo
tersebut kepada supir dan kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu
biasanya adalah nama-nama binatang seperti anjing, monyet, babi dan
sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang dilontarkan calo kadangkadang mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering
terjadi adu mulut antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti
oleh pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.
Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang
diucapkan oleh salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :
Supir : Yeuh duitna, dua rebu nya?
Calo : Anjing maneh mah ngan sakieu!
Supir : Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!
Calo : Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!
Supir : Lebok tah duitna, blegug maneh mah!
Calo : Ehdasar supir monyet.
Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan
berbahasa yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di terminal Cicaheum. Penulis
akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu bahasa
Sunda, bahasa Jawa (Cirebon), dan bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat
kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing
kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah
menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.
Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (Halliday
1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya,
si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan
hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu
sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat
menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif,
yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973
menyebutkan fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal).
Disini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi
melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat
dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan
perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini
berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan
Halliday 1973 menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan,
memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.Dalam
masyarakat, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sangat beragam.
Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para
penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka
lakukan beragam.
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi,
dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai
pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan
buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau
buruk (Burhanudin Salam, 2001:102). Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik
dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila,
budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).
Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan bahwa
sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara
sengaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa
di lingkungan terminal banyak yang tidak mengandung etika. Dalam berkomunikasi,
tidak akan pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang diucapkan kasar, baik
berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti tuturan yang
diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung
unsur kesantunan berbahasa. Misal, mudah marah, kata-katanya kasar, dan bersifat
memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat tersebut.
Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini
menjadi hal yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban
tanpa sekat strata, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat
menikmatinya dengan senang dan bangga hati.
Dengan adanya makalah ini, diharapkan agar para pembaca dapat menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dimana pun mereka berada.
Dalam penulisan makalah ini, banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca khususnya dari Bapak Moh. Fatoni
selaku dosen Bahasa Indonesia saya. Mohon maaf Pak jika isi makalah saya tanpa
sengaja terdapat beberapa kesamaan dengan beberapa teman yang lain. Itu merupakan
unsur ketidaksengajaan kami, karena kata kunci yang digunakan di internet
kemungkinan sama dan buku yang kami pinjam dari perpustakaan sama
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, A. S. 1993.Kajian Tindak Tutur.Surabaya: Usaha Nasional
Jasmine.
2010. Prinsip
Kerja
Sama
dan
Kesantunan,
(http://jasminealmaghribi.blogspot.com/2010/02/prinsip-kerja-sama-nkesantunan.html, diakses 10 Juni 2012)
(online),
(Macam
macam
/2010/03/prinsip-sopan-santun-
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Bahasa Indonesia ini tepat pada waktunya.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini. Kami pun menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga dengan makalah ini dapat menambah wawasan bagi penulis dan bermanfaat
bagi para pembaca. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
3
1.1
Latar
.3
Belakang
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN..6
2.1. Teori Wajah oleh Goffman, Brown dan Levinson 6
2.2. Penerapan Teori Wajah Negatife (Negative Face) .. 8
BAB III PENUTUP
11
3.1 Kesimpulan ..11
35.2 Saran 11
Daftar
.12
BAB I
PENDAHULUAN
Pustaka
Konsep kesantunan dalam berbahasa tradisional itu sudah saatnya dibaca kembali
secara teoritis, agar terjadi penyegaran ideologi mengenai bagaimana seharusnya
bahasa itu digunakan, agar santun. Tulisan ini akan memberikan pandangan teoretis
mengenai ihwal kesantunan berbahasa, yang mana dapat dijadikan acuan untuk
Dasar teori kesantunan berbahasa apa yang dipakai dalam penelitian ini ?
Bagaimana penerapan teori kesantunan berbahasa tersebut dalam kehidupan
sehari-hari ?
1.2 Tujuan
Dengan pembuatan makalah kesantunan berbahasa ini, diharapkan kepada mahasiswa
dan pembaca khususnya dapat memahami dan mengetahui tentang kesantunan
berbahasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep atau prinsip kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli. Dasar pendapat ahli
tentang konsep kesantunan itu berbeda-beda. Ada konsep kesantunan yang
dirumuskan dalam bentuk kaidah, ada pula yang diformulasi dalam bentuk strategi.
Konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk kaidah membentuk prinsip
kesantunan, sedangkan konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk strategi
membentuk teori kesantunan (Rustono, 1999:67-68). Dari banyak teori kesantunan,
salah satunya adalah teori wajah yang dikemukakan oleh Goffman, Brown, dan
Levinson. Dasar teori yang digunakan oleh mereka adalah sebagai berikut :
2.1. Teori Wajah oleh Goffman, Brown dan Levinson
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967),
bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada wajah atau muka,
baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah, dalam hal, ini bukan dalam
arti rupa fisik, namun wajah dalam artian public image, atau mungkin padanan kata
yang tepat adalah harga diri dalam pandangan masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh
Konfusius terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam
tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan
yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan
pinjaman masyarakat, sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh
sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh
karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku, termasuk
dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown
dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang
dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian
dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah
dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai
solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah
negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan
pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz,
2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka
nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa
yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan
memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun
memiliki arti berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara
penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan
kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa
mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah jika
penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan
mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam
berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur
tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya).
Untuk lebih memahami konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan contoh-contoh,
baik wajah positif maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.
Macam-macam teori wajah menurut Goffman, Brown dan Levinson:
1. 1.
1. 2.
Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan
terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini
dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Hal ini mengacu
pada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur
membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari
keharusan mengerjakan sesuatu.
1. 3.
Pelajar
: Waduh, iyo mas. Salah panggon iki, sepurane mas, suwun wes ti
elengno mas. (Haduh, iya mas. Salah tempat ini, maaf mas, terima kasih sudah
diingatkan mas)
Tukang parkir : Iyo, podo-podo. (Iya, sama-sama)
Dari percakapan diatas terlihat jelas bahwa kedua orang tersebut tidak menunjukkan
hubungan keakraban, atau menggunakan situasi yang formal saat berbicara. Hal ini
bisa dilihat dari penggunaan kata maaf yang di gunakan oleh pelajar. Penggunaan
kata maaf oleh pelajar ini untuk menjaga wajah negatif dari tukang parkir. Dapat
dikatakan bahwa pelajar tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati selain itu dia juga
tidak ingin menggunakan tempat parkir mobil tersebut. Demikian pula dengan
penggunaan kata mas yang digunakan oleh kedua partisipan diatas merupakan
sapaan sopan untuk pelajar yang dicurigai sebagai pendatang, bukan masyarakat asli
daerah tersebut. Dengan menggunakan dan mengulang kata mas, pelajar berusaha
untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri tukamg parkir sebagai individu
yang dihargai atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang, tamu dan bukan
masyarakat asli sehingga belum terbiasa pada tempat tersebut.
Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa
dalam berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita
dan mitra tutur ( orang yang diajak berbicara). Kesantunan berbahasa bukan terletak
pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban atau jarak sosial, termasuk
usia, gender, strata sosial, dan strata akademik. Sehingga dengan demikian kita harus
menghormati dan menghargai orang lain yang kita ajak bicara tanpa harus melihat
dari mana dia berasal.
BAB III
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Melalui pembahasan dalam kesantunan berbahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam kegiatan berbahasa yang kita lakukan sehari-hari merupakan bentuk dari
tingkah laku kita kepada orang lain. Dengan penggunaan bahasa yang santun kkita
akan mengetahui sifat dari seseorang. Tapi disisi lain, teori kesantunan berbahasa
yang ada saat ini banyak juga yang menekankan pada kita agar kita melakukan suatu
tindakan pada lawan bicara kita sehingga akan menimbulkan suatu interaksi bersama.
Kesantunan dari berbahasa dapat dilihat dari letak jarak sosial, yang mana sekaligus
mengatur tata krama berbahasa kita sehari-hari. Kata santun berarti tidak mengancam
wajah, tidak menyatakan hal-hal yang bermuatan ancaman terhadap harga diri
seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang yang kita ajak berbahasa atau
wajah diri kita sendiri. Dengan demikian dengan penggunaan bahasa yang santun
akan menambah keakraban kita terhadap orang lain.
5.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca khususnya.
Kritik dan saran dari pembaca sangat membantu kami dalam penulisan makalah
selanjutnya.
Daftar Pustaka
Aziz, E. A. (2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications.
Disertasi, Australia: Monash University.
Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang
Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.
Brown, P & S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness
Phenomena. In E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in social
interaction, 56-289. Cambridge: Cambridge University Press.
Goffman, E. (1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London:
Longman.
Yule, G. (2008). Pragmatik. Indonesia: Pustaka Pelajar.