Anda di halaman 1dari 2

Ujian Akhir Semester

Dasar-dasar Kesusastraan Cina


Kamis, 8 Desember 2022
Santi Marcella Agustina
2106741883

1. Gagasan kesusastraan modern mulai dicetuskan pada 1911 saat terjadi Xinhai Revolution.
Revolusi ini dianggap sebagai revolusi politik yang sekaligus memicu terjadinya Gerakan
Budaya Baru pada 1919. Periode ini membuat para intelektual merasa bahwa terjadi krisis
nasional Cina sehingga dicetuskan lah Gerakan Budaya Baru yang dianggap sebagai solusi.
Akibatnya timbul pertentangan terhadap budaya lama dengan mengedepankan budaya baru dan
dengan berdasar kepada standar Barat, yaitu Demokrasi (民主), Ilmu Pengetahuan (科学), dan
Egaliter.
Perbedaan antara kesusastraan modern dengan kesusastraan klasik terletak pada fungsi,
pragmatik dan didaktiknya. Kesusastraan klasik berfungsi untuk mencapai tujuan moral, sosial
dan politik dan juga masih berhubungan erat dengan Taoisme, Konfusianisme dan Budhisme.
Sedangkan kesusastraan modern sudah mulai berfungsi sebagai media penyampaian kritik yang
mencerminkan realitas kontemporer dan sudah mengadopsi juga memasukkan mode naratif
Barat.
Pencetus Pembaruan Sastra 文学改良议 dan Revolusi Sastra 文学革命论 ini adalah
HuShi 胡适 dan Chen Duxiu 陈独秀. Mereka mendukung munculnya sastra vernakular (白话)
menggantikan karya sastra berbahasa Klasik (文言). Tentu keduanya juga didukung oleh tokoh
intelektual lainnya. Karya yang menurut saya sangat mewakili era ini adalah cerpen yang
berjudul Catatan Harian Orang Gila karya Lu Xun. Didalamnya Lu Xun mengelaborasi gaya
penceritaan yang digunakan pada karya sastra Barat. Gaya penulisan cerpen ini vernakular yang
berisi kritik sosial dan juga terdapat karakteristik trinitas Lu Xun, yaitu Sejarah, Realisme dan
Futurisme.

2. Pidato Mao di Yan’an menjadi cetak biru garis partai dalam bidang sastra Cina modern
yang menunjukkan secara eksplisit pemikiran Mao. Dalam pidatonya Mao menyampaikan
pemikirannya bahwa sastra dan seni yang ideal haruslah mengabdi untuk kepentingan rakyat dan
diperuntukkan bagi buruh, petani, tentara dan massa pekerja lainnya. Kegunaan sastra juga
dijadikan sebagai alat pendidikan dan perjuangan politik. Pemikiran Mao ini pada dasarnya
adalah pemikiran Marxisme-Leninisme yang mendoktrin rakyat agar menjadikan kekuatan
petani sebagai kekuatan utama.
Pemikiran Mao sangat berdampak pada perkembangan Sastra dan Seni di Cina masa itu.
Munculnya pengarang amatir dan berkembangnya gaya sastra realisme yang kental dengan unsur
nasionalisme-patriotisme merupakan salah satunya. Sastra juga menjadi cerminan kampanye
politik dan pertempuran ideologis. Tema-tema karya sastra masa itu seputar problematika hidup
di pedesaan, perlawanan feodalisme dan tahayul, penolakan terhadap kawin paksa, lend reform,
masalah pertanian dan industri dan pembalasan terhadap kekejaman tuan tanah.

3. Berangkat dari pemikiran Mao yang yang seolah memassakan sastra, sastra di era 50-an
hingga 60-an Cina mulai menganut model sastra realisme-sosialis yang mengadaptasi model
sastra sosialis Soviet yang bertema utama Patriotik. Para kritikus realisme sosialis mengusulkan
pendekatan baru yang menggabungkan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner
agar mendukung gerakan lompatan jauh kedepan di akhir 50-an. Pedoman ini mendikte para
seniman dan sastrawan untuk menyajikan gambaran ideal tentang realitas dengan cara distorsi
atau pemalsuan torta. Hal ini dapat disimpulkan bahwa inti dari realisme revolusioner ini
merupakan persyaratan bahwa penulis dan seniman mengidentifikasi dengan sudut pandang
partai. Karya seni dan sastra hanya berisi pujian untuk partai dan tidak ada kritik tentang
kehidupan Cina di bawah PKC.
Pada masa ini karya seni yang ingin diterbitkan haruslah mematuhi pedoman baru yang
disebut prinsip ‘Tiga Keunggulan’ (三突出). Pemerintah cina memegang kendali penuh bidang
sastra dan seni dengan membentuk badan administrasi publikasi nasional yang tugasnya
meninjau seluruh rencana terbitan dan tulisan, juga membentuk dewan editorial yang
menentukan arah tulisan secara politis.

4. Selama Revolusi Kebudayaan Mao, karya sastra yang terbit pada masa itu adalah yang
pro atau sejalan dengan pemikiran Mao. Naiknya Deng Xiao Ping menjadi pemimpin di Cina, ia
menyatakan bahwa para sastrawan dan seniman dalam menciptakan karya haruslah diberikan
kebebasan penuh dengan berdasar kepada pertimbangan estetis. Tidak boleh ada lagi terjadi
campur tangan birokrasi yang bersifat administratif pada sastrawan dan seniman.
Dengan adanya kebebasan yang diberikan itu, banyak dari sastrawan mulai menuliskan
penderitaan yang mereka alami selama Revolusi Kebudayaan. Pelopornya adalah karya Lu Xin
Hua yang berjudul Shang Hen (The Wounded), membuat kesusastraan dengan tema serupa
disebut Shang Hen Wenxue “Sastra Luka”.
Cerpen utama yang mewakili tren masa ini menurut saya adalah cerpen karya Zhang
Xian Lian yang berjudul Kisah Lelaki Tua dan Seekor Anjing. Cerpen ini mampu menunjukkan
keadaan kebijakan politik di Cina masa itu dengan sangat jelas, pengaruhnya pun terhadap
kehidupan pribadi individu masyarakat sangat besar. Terlihat sekali penulis ingin mencerminkan
pesimisme dan kritik sosial.

Anda mungkin juga menyukai