Anda di halaman 1dari 28

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam

Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme Max Weber


(Analisis Oksidentalisme Hassan Hanafi)

Satrio Dwi Haryono


Universitas Islam Negeri Raden Mas Said, Surakarta
satriodwi5757@gmail.com

This work is licensed under creative a Commons Attribution 4.0 International license

Abstract: Sociology is a science that studies human-human relations. Sociology


emerged later than other disciplines. Max Weber, a western sociologist who studies the
eastern world as the object of his study, is considered to have a lot of ethnocentric
content, namely Eurocentric. This has implications for the creation of a reflection of
Europe, namely the east, which Weber describes eloquently. Although at first Weber
tried to explain the process of change in Western Europe, but oddly enough, he studied
the east as the other or the other of Europe. As a methodological tool, the author uses
library research. In this study, the author uses Hassan Hanafi's Occidentalism approach
to challenge the Eurocentrism narrative offered by Max Weber. The results of this study
indicate that Eurocentrism is attributed to Europe which in the course of history will
lead to major humanitarian problems that Weber did not calculate such as colonialism
and imperialism and requires a full lawsuit against the discourse through
Occidentalism.

Keywords: Ethnocentrism, Hassan Hanafi, Max Weber, Occidentalism, Racialism

Abstrak: Sosiologi merupakan ilmu yang melakukan kajian pada relasi manusia
dengan manusia. Sosiologi muncul lebih akhir ketimbang displin ilmu lain. Max Weber
sebagai sosiolog barat yang banyak meneliti dunia timur sebagai obyek kajiannya
dinilai banyak bermuatan etnosentris, yakni Eurosentris. Hal itu berimplikasi pada
terciptanya cerminan atas eropa yakni timur yang digambarkan secara fasih oleh
Weber. Walaupun pada mulanya Weber berusaha menjelaskan proses perubahan Eropa
Barat saja namun anehnya malah mengkaji timur sebagai the other atau liyan atas
Eropa. Sebagai alat metodologi, penulis menggunakan library research. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Oksidentalisme Hassan Hanafi guna
menggugat narasi yang Eurosentrisme yang ditawarkan Max Weber. Hasil penelitian ini

37
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

menunjukan bahwa Eurosentrisme yang dinisbatkan pada Eropa yang dalam perjalanan
sejarah akan mengakibatkan problema-problema besar kemanusiaan yang tidak
dikalkulasikan oleh Weber seperti kolonialisme dan imperalisme serta diperlukan
gugatan secara penuh terhadap wacana tersebut melalui Oksidentalisme.
Kata Kunci: Eurosentrisme, Hassan Hanafi, Max Weber, Oksidentalisme, Rasialisme

Pendahuluan
Suatu ilmu lahir dan berkembang bukan tanpa sebab. Taruh kata lahirnya
rasionalisme yang menjadi pendobrak kelahiran filsafat modern di eropa tersebut lahir
dari carut marut abad kegelapan. Perseteruan tersebut mengenai masalah keselarasan
iman dan rasio. Begitu pula sosiologi yang lahir 3 abad setelahnya juga lahir dengan
sebab suatu fenomena tertentu. Epistemologi sebagai sebuah cara mengetahui dan
memproduksi pengetahuan ternyata tidak bisa dipandang secara netral karena akan
menciptakan diskriminasi bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu.1 Para
pemikir (sosiolog) merasa prihatin dengan munculnya chaos atau kekacauan yang
ditimbulkan revolusi, terutama di Perancis.2 Tidak hanya ilmu tertentu melainkan
seluruh ilmu niscaya akan mengalami hal demikian.

Selain lahir dan berkembang pada ruang dan waktu yang implisit dengan
berbagai variabel. Secara tidak langsung berpengaruh atas ilmu lainnya juga, ilmu tidak
hanya memiliki relasi atau reaksi sebab akibat, dialektika, namun juga bersifat perluasan
atas ilmu sebelumnya. Point ketiga itulah yang implisit dalam relasi keterpautan Weber
dengan pemikir sebelumnya yakni Marx. Dengan demikian dapat diketahui teori yang
dikembangkan Weber sangat bernuansa Marxian.

1
Milda Longgeita Pinem, “Kritik Terhadap Epistemologi Barat,” Jurnal Filsafat Indonesia 3, no. 3
(2020): 123, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/view/27984.
2
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, ed. Triwibowo B.S (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015),
6.

38
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

Pada hakikatnya manusia adalah zoon politicon, mahluk sosial yang tidak dapat
berdiri sendiri.3 Maka dari itu manusia lekat dengan masyarakat. Masyarakat menjadi
objek dari berbagai kehidupan, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. 4 Di sisi yang
lain, ilmu dalam perkembangannya yang mengarah pada kemajuan juga memiliki
dampak atau mengorbankan golongan masyarakat tertentu. Dalam bahasa yang
sederhana, kemajuan ilmu akan meminggirkan suatu variabel tertentu. Misalnya,
perkembangan teknologi komunikasi, bidang ekonomi seperti mendapatkan berkah atas
kehadirannya, yang mana jual-beli online telah menjadi trend baru. Pada sisi kutub yang
lain, keberkahan teknologi atas jual beli online menumbalkan banyak dari lapisan
masyarakat yang cenderung kurang adaptif dalam menghadai perubahan zaman.
Berbagai penurunan dan kerugian usaha mengancam dan mematikan usahanya. Menurut
penulis, golongan tua lebih beresiko menjadi tumbal ketimbang golongan muda. Sebab,
golongan muda lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi.

Hal itu juga dialami oleh sosiologi yang dikembangkan oleh Max Weber. Dalam
gagasannya tentang tindakan sosial, secara implisit terkandung wacana-wacana
rasialisme. Bahkan dalam pandangan beberapa peneliti gagasan yang dikembangkan
para sosiolog eropa awal secara implisit sangat mengandung nilai Eurosentris. Jika
dilihat kedepannya, rasialisme ini sangat menimbulkan problema-problema global
seperti pada perang dunia I dan II. Representasi Rasialisme pada perang dunia II
dicitrakan oleh Adolf Hitler yang menguasai hampir seluruh daratan eropa serta
fanatisme terhadap suku Arya menyebabkan holocaust terhadap ras lain. Nazi dibawah
komando Adolf Hitler berusaha memaksakan cara hidup yang sama atas nama kejayaan
identitas.5

3
Raha Bistara, “Virtue Ethics Aristoteles Dalam Kebijaksanaan Praktis Dan Politis Bagi
Kepemimpinan Islam,” Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam 11, no. 2 (2020): 186–187.
4
Khoirul Umam, “Masyarakat Dalam Perspektif Ibnu Khaldun,” Aqlania:Jurnal Filsafat dan
Teologi Islam 9 (2018): 264.
5
Thiyas Tono Taufiq, “Kontribusi Filsafat Perdamaian Eric Weil Bagi Resolusi Konflik Dalam
Bingkai Masyarakat Majemuk,” Journal of Islamic Discourses 4 (2021): 81.

39
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

Dalam hal serupa, rasialisme juga memicu laju gerakan imperalisme dan
kolonialisme yang diarahkan pada bangsa-bangsa selain eropa dengan berbagai proyek-
proyek pendukung seperti kapitalisme, orientalisme, dan lain-lain. Pada tulisan ini akan
mengidentifikasi gagasan Max Weber yang implisit dengan wacana rasialisme yang
lebih tepatnya pada Eurosentrisme dan juga berbagai dampak atas praktik Rasialisme.

Praktik rasialisme yang melihat realitas hanya sebagian saja dan dengan
pengunggulan atas ras nya sendiri dan mengesampingkan ras lainnya. Dengan hal
tersebut membuat Barat seakan menjadi penguasa dunia dan berhak bicara terhadap
bangsa lainnya. Islam yang tergolong bangsa Timur pun turut jatuh dalam kekuasaan
Barat. Sehingga dirasakan secara mendalam bahwa kebudayaan bangsa Barat berada di
tubuh Islam.

Menurut Turner dalam Orientalism, Globalism & Postmodernism (1994) yang


berlandaskan pada analisa Edward Said yang menjadikan nilai kemanusiaan serta analisa
Foucault dengan analisa politik pengetahuannya berhasil memberedel orientalisme
dalam kontruksi Sosiolog Barat termasuk Werber. Tetapi, Turner hanya memberedel dan
menyeimbangkannya. Sehingga hanya menghasilkan suatu kritik yang tajam terhadap
para tokoh tersebut tanpa membuat agenda lanjut untuk para ilmuwan Timur. Berbeda
dengan Hassan Hanafi yang tidak hanya mengkritik, namun juga membuat agenda besar
untuk Timur berbicara atas ketimurannya sendiri.

Relasi dialektik antar Barat dan Timur seringkali disebut sebagai relasi antara
Ego dan the other. Ego dalam terminologi Hassan Hanafi berarti `aku` atau dalam
lingkup luas yakni, umat islam. Sedangkan the Other ialah bangsa Barat. Dalam kaca
mata Hanafi, yang membuat Islam itu mundur yaitu, ketertundukan Ego dalam
menghadapi The Other dalam segala bidang. Sebagai alternatif, Hanafi memberikan
sikap yang berbeda, yakni meletakkan ego pada posisi yang berhadapan dengan the

40
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

other kontemporer, terutama kebudayaan Barat yang notabene sebagai pendatang.6


Sehingga dalam penelitian ini tidak hanya dimaksud untuk memaparkan Eurosentrisme
dalam sosiologi Max Weber namun juga menampilkan identitas timur-islamnya
sekaligus melawan Eurosentrisme itu sendiri

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan studi literatur. Dimulai dengan memaparkan


literatur Sosiologi Max Weber, lantas dilanjutkan dengan menganalisis Sosiologi Max
Weber tersebut dengan menggunakan metode “oksidentalisme” Hassan Hanafi. Metode
analisis oksidentalisme dilakukan dengan tiga tahapan yaitu, pertama, melakukan
analisis terhadap Sosiologi Max Weber. Kedua, melakukan analisis terhadap sosiologi
Max Weber yang mengandung Eurosentrisme. Terakhir, melakukan perumusan nilai-
nilai yang lebih obyektif dan menyuarakan indentitasnya.

Sosiologi Agama Max Weber

Berdasarkan rentetan perjalanan sejarah dan perkembangan ilmu pengetahuan,


diskursus agama merupakan diskursus sosial, karena menyangkut kehidupan masyarakat
yang tidak lepas dari kajian ilmu sosial.7 Obyek dari Sosiologi agama bukan untuk
melacak keberadaan Tuhan. Sosiologi agama juga tidak bertujuan untuk mencari
kecocokan antara agama dan ilmu pengetahuan. Ringkasnya, sosiologi agama memilih
masyarakat beragama sebagai cakupan kajiannya, agama dijadikan sebagai objek kajian
bukanlah ajaran agamanya melainkan fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat
yang beragama. Maka dari itu, yang membedakan antara disiplin ilmu sosiologi dengan
sosiologi agama adalah objek kajiannya, jika sosiologi mengkaji hubungan masyarakat
secara umum maka sosiologi agama hanya mengkaji masyarakat beragama.

6
Dulhadi, “TAWARAN PEMIKIRAN ‘ KIRI ISLAM ’ HASSAN HANAFI DAN
RELEVANSINYA DALAM PENDEKATAN METODE DAKWAH DI SAMBAS,” JURNAL ILMIAH
FALSAFAH Jurnal Kajian Filsafat, Teologi dan Humaniora 6, no. 2 (2021): 112.
7
Umam, “Masyarakat Dalam Perspektif Ibnu Khaldun,” 284.

41
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

Selain Weber terdapat pula sosiolog yang mengkaji agama seperti, Karl Marx,
Emile Durkheim, Niklas Luhmann, Talcott Parsons, Peter Berger, George Simmel.
Sosiologi agama berkembang pesat sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Tentu
hal itu menjadi wajar ketika bersamaan dengan ekspansi-ekspansi negara Barat ke dunia
Timur. Para kolonialis dan imperialis mengekspansi dunia Timur tidak hanya
mempraktekkan 3G (gold, glory, gospel) namun juga membawa suatu karya tulis dari
dunia Timur dan menuliskan catatan-catatan perjalanan pada saat mengekspansi dunia
Timur.

Dalam hal keagamaan, Weber melihat timbulnya ‘stratifikasi-hierarki’ dalam


hubungan manusia dengan tuhan, dan antara para agamawan dengan orang awam. Hal
itu berimplikasi pada hierarkis keagamaan umat beragama. Sehingga Weber
mengklasifikasikan religiusitas menjadi dua yaitu: “religiusitas elit” dan “religiusitas
massa”. Relijius elit adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan agama yang luas
dan memiliki suatu kharisma yang tinggi. Religius elit merupakan suatu pengamalan
agama secara mendalam, maka membutuhkan pengetahuan lebih mendalam ketimbang
para pengamal keagamaan yang tergolong pada relijiusitas massa. Religius elit banyak
dipraktikkan oleh para kaum agamawan, para rahib, para santo, para ulama, sedangkan
religius massa banyak dipraktikkan oleh masyarakat umum.

Weberian berpandangan bahwa “semakin sibuk seseorang dengan aktivitas yang


sifatnya sakral, maka semakin sedikit waktu lowong untuk beraktivitas yang profan”. 8
Misalnya untuk religiusitas elit dipraktikkan oleh para wali, ulama, santo, biksu, rahib,
dan lain-lain, sedangkan religiusitas massa dipraktikkan oleh orang biasa yang dalam
aktivitas kesehariannya tidak terlalu berpijak pada argumen-argumen teologis.Pemikiran
Max Weber yang berkutat pada sosiologi agama ada pada bukunya, The Sociology of
Religion. Karya Weber ini memaparkan ihwal agama-agama timur khususnya di India
dan China serta teori-teori fundamen tentang peran agama.

8
Gunawan Adnan, Sosiologi Agama: Memahami Teori Dan Pendekatan (Banda Aceh: Ar-raniry
Press, 2020), 39.

42
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

Rasialisme

Secara historis, kategori etnis, nasional atau ras telah dibentuk dengan berbagai
cara, melalui penaklukan, kolonisasi dan imigrasi, dan tentu saja varian modern dari
kategori-kategori ini di bawah kekuasaan kapitalisme dan imperialisme serta sebagian
besar mereka bentuk politik yang menonjol, yaitu negara demokrasi liberal.9 Istilah
Rasisme dan Rasialisme pun berbeda, jika rasisme adalah gagasan yang menyatakan
bahwa ada hubungan langsung antara nilai-nilai, perilaku dan sikap kelompok tertentu,
sesuai dengan garis keturunan dan ciri fisik-fisiknya.10 Sedangkan Rasialisme adalah
suatu doktrin yang menganggap ras yang dianutnya adalah superior. Jika rasialisme
dipraktekkan secara rasisme maka akan menghasilkan gerakan yang luar biasa
dampaknya. Jika dalam sejarah, kengerian Nazi Hitler menjadi representasi paling
konkret atas perkawinan rasisme dengan rasialisme.

Posisi ini berlawanan dengan sejumlah penjelasan kausal lain tentang asal-usul
rasisme. Mereka termasuk pandangannya bahwa rasisme adalah produk dari kontak
antara orang Eropa,yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai ras dari non-Eropa.
Pada dasarnya, kapitalisme tidak pernah telah—lebih dari Eropa—sebuah "sistem
tertutup"'. Atau dalam Bahasa yang lebih sederhana Eropa adalah sistem kapitalisme,
sedang non-Eropa bukan kapitalisme dan tidak akan sampai tahap kapitalisme.

Penguasaan ilmu pengetahuan, sains dan teknlogi oleh Barat menjadi pembuka
gerbang bagi Barat untuk melakukan kapitalisasi secara meluas dan secara massif. Barat
selanjutnya akan melakukan ekspansi, menguasai dan mengeksploitasi sumber-sumber
ekonomi di berbagai belahan dunia, khususnya di berbagai negara dunia ketiga.
Didorong oleh semangat kapitalisme, barat berbondong-bondong melakukan

9
Floya Anthias, Nira Yuval-Davis, and Harriet Cain, Racialized Boundaries: Race, Nation,
Gender, Colour and Class and the Anti-Racist Struggle, Racialized Boundaries: Race, Nation, Gender,
Colour and Class and the Anti-Racist Struggle (London: Taylor & Francis e-Library, 2005), 2.
10
Ahmad Mukhlishin and Aan Suhendri, “Aplikasi Teori Sosiologi Dalam Pengembangan
Masyarakat Islam,” INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication) 2, no. 2 (2017): 215.

43
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

kolonialisasi dan mengeruk sumber daya alam yang ada di negara-negara berkembang
sampai saat ini.11 Menurut Lenin, kapitalisme jenis ini adalah Kapitalisme jilid dua.

Dunia keilmuan pun demikian, Barat seakan menjadi locus atau sumber rujukan
atas berbagai wacana yang berkembang di dunia. Segala lini keilmuan seakan-akan
berkiblat pada Barat. Walaupun jika dilihat secara tidak kritis akan mencitrakan
keilmuan yang global. Padahal dibalik semua itu adalah suatu upaya hegemoni yang
dilakukan oleh Barat atas peradaban lain. Dekade terakhir abad kedua puluh juga
menjadi saksi penetrasi dan interaksi dengan filsafat Barat dengan tradisi Filsafat
Islam.12

Dari abad ke 18 hingga 19-an awal, kekuatan Eropa memperluas dan


mengembang untuk langsung menguasai sebagian besar dunia. Kekuatan kolonial
mengambil hak untuk mengeksploitasi bangsa-bangsa "inferior" yang ditaklukkan dan
memutuskan apa yang "terbaik" untuk bangsa yang terjajah. Upaya Barat abad
kesembilan belas dan kedua puluh untuk memahami didominasi atau ditaklukkan juga
mencerminkan intelektual dan budaya proses imperialisme. Apa yang dikenal sebagai
"Orientalisme" dimulai dengan asumsi bahwa tidak hanya Asia, Afrika, dan bangsa
terjajah lainnya yang berbeda, tetapi mereka juga lebih rendah dihadapan Eropa. Dengan
begitu dapat diketahui bahwa rasialisme itu lahir dan untuk orang eropa. Sebagai suatu
ras, suku, warna kulit, pemikiran yang maju, dan lain sebagainya, Eropa menganggap
bangsa selain eropa sebagai The Other atau liyan yang orientasinya bertentangan dengan
Superioritas Eropa.

Tindakan Sosial, Otoritas dan Implikasinya Terhadap Rasialisme

Pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah
tekanannya pada verstehen (pemahaman) sebagai metode memperoleh pemahaman yang

11
Munafaroh and Masyhuri, “Analisis Kritis Terhadap Pemikiran Max Weber (Perspektif Islam),”
Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman JPIK Vol 2, no. September 2019 (2019): 392.
12
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present : Philosophy in the Land
of Prophecy (New York: State University of New York Press, 2006), 20.

44
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

valid mengenai arti-arti tindakan sosial secara partikular. Tindakan sosial atau perilaku
sosial adalah tindakan atau perilaku, arti dari subjektif yang terlibat berkaitan dengan
pribadi orang lain atau dengan golongan lain. Di sini Weber melihat tindakan sosial
memiliki relasi dengan interaksi sosial. Individu melakukan suatu tindakan berdasarkan
atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek atau situasi tertentu.

Weber menyatakan bahwa pusat masalah sosiologi tidak hanya tindakan dan inti
tindakan adalah orientasi terhadap makna di pihak aktor, tetapi juga bahwa orientasi
makna merupakan konstitutif dari kognisi dan penting untuk pembentukan identitas13.
Dalam hal ini budaya juga menjadi faktor atas terbentuknya indentitas. Budaya "tinggi"
umum yang diterima secara umum (dalam kontras dengan peradaban) tersebar, sebagai
kesatuan agama dan pandangan metafisik kehidupan dan sejarah pecah menjadi apa
yang Max Weber sebut dengan "proses rasionalisasi".

Jika karya Marx mengemukakan teori kapitalisme, maka karya Webber


mengemukakan teori tentang proses rasionalisasi. Max Weber mengungkapkan bahwa
kata kunci dari tindakan sosial adalah rasionalitas, juga melihat sosiologi sebagai studi
tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Weber menggunakan konsep rasionalitas
dalam klasifikasinya dalam hal tipe-tipe tindakan sosial.

Tindakan sosial dalam pandangan Weber ialah tindakan individu yang memiliki
tujuan dan maka yang akan berdampak pada individu lain. Sedangkan menurut Karl
Marx, tindakan sosial adalah sebuah tindakan atau perilaku yang tujuannya ialah untuk
menghasilkan sebuah barang dan mengejar sebuah tujuan tertentu.14 Weber menekankan
pada aspek tujuan dan makna pada tindakan, Makna dan tujuan suatu tindakan secara
tidak langsung akan memiliki dampak terhadap individu lain. Keberhasilan dan dampak
pembangunan (baik ekonomi, sosial, budaya, hukum dan spiritual), dapat terwujud

13
Sebastian Raza, “Max Weber and Charles Taylor: On Normative Aspects of a Theory of Human
Action,” Journal of Classical Sociology (2022): 3.
14
Ahmad Putra and Sartika Suryadinata, “Menelaah Fenomena Klitih Di Yogyakarta Dalam
Perspektif Tindakan Sosial Dan Perubahan Sosial Max Weber,” Asketik 4, no. 1 (2020): 7.

45
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

dengan adanya partisipasi, dan partisipasi masyarakat akan terwujud dengan adanya
“makna” yang ditemukan oleh suatu kelompok masyarakat sasaran pembangunan.15
Sedangkan Marx lebih cenderung menekankan aspek ekonomi ketimbang sosial.

Weber membagi tindakan sosial menjadi empat, yakni tindakan rasionalitas


instrumental (Zwerk Rational), Tindakan rasionalitas nilai (Werk Rational), Tindakan
Afektif (Affectif action), Tindakan Tradisional (Traditional Action). Keempat tersebut
juga masih diklasifikasikan menjadi dua, dua pertama dikatakan Weber sebagai tindakan
rasional, sedangkan dua terakhir bukanlah tindakan rasional. Walaupun terdapat benih-
benih rasional tetap saja tindakan tersebut digiring oleh sumber-sumber yang bukan
rasional.

Pertama tindakan rasionalitas instrumental (Zwerk Rational), yakni suatu


tindakan yang berorientasi pada nilai dan tujuan yang rasional. 16 Bila individu tersebut
bertindak rasional maka tindakannya pun dapat dipahami. Individu dilihat sebagai
memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu
kriteria menentukan satu pilihan diantara berbagai tujuan-tujuan yang saling bersaingan
ini. Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan guna mencapai tujuan
yang dipilih tadi.

Hal tersebut mungkin mencakup pengumpulan informasi, mencatat probabilitas-


probabilitas serta hambatan-hambatan yang terdapat dalam lingkungan, dan mencoba
untuk mengkalkulasi konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif
tindakan tersebut. Akhirnya suatu pilihan dibuat atas alat yang digunakan yang
sekiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektifitasnya.
Sesudah tindakan itu dilaksanakan, orang itu dapat menentukan secara obyektif sesuatu
yang berhubungan dengan tujuan yang nantinya akan dicapai.

15
Marde Christian Stenly Mawikere and Sudiria Hura, “Merambah Etika Protestan Dan Sosiologi
Nilai Max Weber ‘Korelasi Antara Calvinisme Dengan Spirit Kapitalisme,’” Jurnal Ilmiah Wahana
Pendidikan 8, no. 1 (2022): 81.
16
Max Weber, Economy And Society, ed. Keith Tribe (Cambridge: Harvard University Press,
2019), 120, https://lccn.loc.gov/2018030731.

46
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

Kedua rasionalitas nilai (Werk Rational), yaitu tindakan yang didasari oleh
kesadaran keyakinan mengenai nilai-nilai penting seperti, etika, estetika, agama, dan
berbagai nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya.
Menurut teori ini tindakan yang dilakukan didasarkan pada nilai yang bisa diambil oleh
para pelaku.17 Tindakan ini dinilai masih rasional meski tidak serasional tindakan
pertama, sehingga tindakannya masih dapat dipahami. Jika dibandingkan dengan
rasionalitas instrumental, maka sifat rasionalitas yang beorientasi pada nilai yang
terpenting adalah bahwa alat-alat yang hanya merupakan objek pertimbangan dan
perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-
nilai individu yang sifantnya absolut atau merupakan suatu nilai akhir.

Ketiga tindakan afektif (affectual Action), yaitu tindakan yang ditentukan oleh
kondisi kejiwaan dan perasaan individu pelaku. Tindakan ini menyadarkan pada suatu
pertimbangan manusia ketika menanggapi sesuatu di luar dirinya dan menanggapi
orang-orang lain disekitarnya untuk sekedar melakukan tindakan. Tindakan ini
merupakan tipe rasional yang sangat berujung pada relasi emosi atau perasaan yang
sangat mendalam, sehingga ditemukan ada hubungan khusus yang tidak dapat
diterangkan. Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan pada perasaan yang
dimilikinya, lazimnya timbul secara spontan begitu saja mengalami suatu kejadian.
Tindakan ini sangat sukar dipahami sebab kurang rasional. Tindakan itu sesungguhnya
tidak rasional dengan berbagai kekurangan dalam pertimbangan logis, ideologi, atau
kriteria rasionalitas lainnya.

Keempat tindakan tradisional (Traditional Action), yaitu tindakan yang


didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Tindakan ini biasanya
dilakukan oleh individu maupun masyarakat atas dasar tradisi atau adat istiadat yang
diwarisi secara turun-temurun. Tindakan ini pun sulit dipahami sebab kurang rasional
bahkan tidak rasional. Jika seorang individu melakukan tindakan karena kebiasaan,

17
Khusniati Rofi’ah and Moh Munir, “Jihad Harta Dan Kesejahteraan Ekonomi Pada Keluarga
Jamaah Tabligh: Perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber,” Justicia Islamica 16, no. 1 (2019): 212.

47
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

tanpa penalaran secara sadar atau perencanaan, tindakan seperti itu digolongkan menjadi
tindakan tradisional.

Dalam relasinya dengan rasionalitas maka Weber memerhatikan bahwa terdapat


birokrasi yang dilingkupi oleh otoritas. Weber menganggap bahwa gerak dari otoritas
memengaruhi pada rasionalitas. Bagaimanapun, Weber bersikeras bahwa perilaku
“irrasional” terus memainkan peran penting, yang mana (Verstehende Soziologie)
berusaha menjelaskan hal tersebut. Weber kemudian membedakan antara tiga jenis
sistem otoritas, tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Menurut Weber, otoritas
rasional-legal yaitu seperengkat aturan yang diberlakukan secara umum-resmi dan
rasional. Pada otoritas rasional-legal akan memacu pertumbuhan birokrasi yang
berkembang maju serta rasional. Otoritas ini juga akan menciptakan suatu stabilitas
sosial jangka lama.

Otoritas rasional-legal merupakan kepemimpinan yang diperoleh dengan cara


seleksi menurut aturan-aturan yang sah oleh sebuah organisasi birokrasi.18 Otoritas
rasional-legal menggunakan suatu piranti hukum atau aturan-aturan yang berdasarkan
rasionalitas dan telah disahkan secara formal. Kekuatan negara berusaha menciptakan
kepatuhan terhadap masyarakatnya melalui ketakukan. Rasa takut ini disengaja
diciptakan oleh penguasa guna mendapatkan kontrol atas masyarakat. Kontrol ini
bersifat memaksa dan menindas. Pada otoritas inilah kekuasaan dapat bertahan lama.

Lalu, otoritas karismatik merupakan suatu aturan yang berdasarkan pada mutu
dari seseorang tokoh atau pemimpin yang menunjukkan sifat istimewa atau biasa disebut
dengan “karisma”. Sedangkan otoritas tradisional adalah suatu otoritas yang berdasar
pada tradisi. Pada tataran otoritas ini terdapat berbagai aturan yang tidak formal seperti
halnya pemimpin boleh memerintah secara bebas. Pada umumnya, pemimpin karismatik
mempunyai penampilan sifat-sifat kejiwaan seperti ekspresi emosional yang luar biasa,

18
MAYANA RATIH PERMATASARI and SUBAIDI, “KEPEMIMPINAN MASYARAKAT
JAWA (ANALISIS PEMIKIRAN MAX WEBER: MASYARAKAT ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI
DI SURAKARTA, INDONESIA) JAVANESE” 1, no. 4 (2021): 240.

48
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

rasa percaya diri yang tinggi, keteguhan hati, dan terbebas dari adanya pertentangan
jiwa. Otoritas seperti ini biasanya dimiliki oleh seseorang yang seakan memiliki
kekuatan lebih ketimbang manusia biasa. Singkatnya, seperti manusia yang memiliki
kekuatan super.

Dua otoritas inilah yakni Otoritas karismatik dan tradisional yang seringkali
menghambat tumbuh kembangnya birokrasi. Akan tetapi seorang kharismatik belum
dapat dipastikan merupakan seorang pemegang otoritas legal-rasional. Karena kharisma
bertolak belakang dengan segala bentuk organisasi birokratis.19 Dalam keadaan seperti
itu, administrasi secara hierarkis teratur, dibedakan secara fungsional, dan memenuhi
syarat untuk kontrol politik.20

Otoritas tradisional merupakan otoritas yang memiliki pola hubungan relasi


dengan para pendahulunya. Sistem kepemimpinan yang biasanya ditemukan pada
masyarakat feodal. Penghormatan kepada para pemimpin dalam otoritas ini sangatlah
tinggi. Walaupun pemimpin telah berganti baru dan berbagai kebijakan tidak sesuai
dengan harapan tidak mengurangi rasa hormat rakyat kepada pemimpin yang telah
dilegitimasi. Kebijakan yang dikemukakan pun biasanya sesuka pemimpin dan belum
diterapkannya atau baru sedikit diterapkan aturan formal. Sistem otoritas seperti ini
dapat dikatakan untuk melanggengkan kekuasaan yang diperoleh secara turun-temurun
yang ditanamkan pada sebuah system yang konservatif.

Kondisi seperti itu memberikan kontras dasar dengan formulasi terkenal Max
Weber tentang aturan birokrasi modern.21 Terlihat cukup kentara oposisi biner yang
dikonsepsikan Weber melalui Otoritas-otoritas. Begitu pula dalam mendefiniskan
oposisi dari barat, Weber dinilai sangat timpang, sebab Weber mendefiniskan atau

19
Effendi Chairi, “Ketiadaan Otoritas Terpusat Dalam Fenomena Kontemporer Di Indonesia,”
SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 2, no. 2 (2019): 203.
20
Markus Lederer and Chris Höhne, “Max Weber in the Tropics: How Global Climate Politics
Facilitates the Bureaucratization of Forestry in Indonesia,” Regulation and Governance 15, no. 1 (2021):
135.
21
Larry Neal and Jeffrey Williamson G., eds., The Cambridge History of Capitalism, I The Rise.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 150.

49
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

mengkaji timur tanpa melakukan dialog terhadap timur, bahkan belum ada catatan
bahwa Weber pernah menjejakkan kakinya ke tanah bangsa-bangsa timur.

Berdasarkan studi perbandingan yang dibuatnya di Eropah, India, dan Cina dia
menemukan bahwa otoritas tradisional dan karismatik sangat dominan di India dan Cina
sedangkan otoritas rasional-legal sangat dominan di Eropah sehingga birokrasi
bertumbuh dengan subur di Eropah.22 Menurut Weber penguatan melalui rasionalitasi
dan teoritisasi ini akan sampai pada batas rasialisme.23 Meskipun hal itu tidak eksplisit
dinyatakan demikian namun para pengkaji postmodernisme, khususnya post-
kolonialisme menyakini ihwal demikian.

Diskursus tentang rasionalitas-rasionalitas primitif, Afrika ataupun Asia pada


hakikatnya merupakan derivasi dari rasionalitas Eropa terhadap yang lain. 24
Westernsentrisme atau eurosentrisme juga kentara pada konsep “perkembangan
peradaban” Weber. Tingkat perkembangan di mana kerangka teoretis ini berlaku dapat
diberi label "peradaban primitif", "peradaban kuno dan historis", dan "peradaban
modern”.25 Konsep tersebut mirip dengan law of three stages nya Auguste Comte.
Menurut Comte, perkembangan masyarakat diawali dengan tahap teologis, tahap
metafisis, tahap positivis. Tahap terakhir dari Comte maupun Weber sama-sama
mengilustrasikan peradaban eropa. Maka dari itu, Weber dan Comte sama-sama
mendukung rasialisme yakni Eurosentrisme.

Rasialisme tersebut berkonotasi pada barat khususnya eropa sehingga dapat


disebut Barat atau Eropa yang berjiwa rasional, beradab, maju dan sebagainya yang
condong pada makna heroik dan berkemajuan. Sebaliknya Timur dianggap tidak
beradab-biadab dengan otoritas yang dinilai irrasional (misalnya pemerintahan

22
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, ed. Moya Zam Zam, Revision. (Flores: Ledalero, 2021),
43.
23
Hassan Hanafi, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, ed. M. Najib Buchori
(Jakarta: Paramadina, 1999), 169.
24
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1, ed. Najib Kailani (Yogyakarta: LKiS, 2015), 12.
25
Wolfgang Schluchter, The Rise of Western Rationalism Max Weber’s Developmental History, ed.
Guenther Roth (London: University of California Press, 1985), 133.

50
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

despotisme, tidak ada aturan hukum, pola anarki dalam domestic, kolektivisme, agama
takhayul).26

Selama abad kedua belas dan ketiga belas, berlanjut ke abad keempat belas dan
kelima belas (dan seterusnya), orang Eropa mengembangkan apa yang sebenarnya
merupakan dasar struktur modernitas yang masih berlaku, dan telah melakukan
perjalanan, dengan modifikasi, di sekitar Dunia.27 Mereka sangat tertarik dengan
peradaban serta budaya Islam yang jauh lebih maju.28 Kekalahan Barat atas Perang Salib
membuat Barat dengan gencar melakukan penyerangan kembali dan berusaha
melakukan counter atas pencapaian Islam pada abad keemasan. Gerakan tersebut
bermula hanya pada dimensi keagamaan. Gerakan Kristenisasi menjadi langkah yang
nantinya akan melebar dan meluas pada bidang-bidang lainnya.

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalis, Weber telah
mengidentifikasi munculnya Protestantisme sebagai momen yang menentukan dalam
pembentukan modernitas eropa barat 29. Pencapaian kemajuan tersebut dikhususkan pula
pada ekonomi Eropa yang memiliki seperangkat nilai dan sikap yang terkandung dalam
Etika Protestan (khususnya Calvinisme), yakni kerja keras, hemat, jujur, rasionalitas,
dan sederhana. Sebaliknya Weber memandang aspek irasionalitas yang terkandung
dalam agama-agama Timur (Hindu, Budha, Islam dan lain-lain) sebagai faktor
peghambat kemajuan. Tidak hanya aspek iirasionalitas yang ada pada agama-agama
timur, namun juga otoritas tradisional yang konservatif masih banyak dipertahankan di
bangsa-bangsa Timur. Weber menjadikan faktor nalar sebagai penyebab langsung dalam
superioritas genus Eropa dan pada kelahiran Protestantisme sebagai ide rasionalisme

26
Richard Ned Lebow, Max Weber and International Relations, Max Weber and International
Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), 145.
27
Toby Huff, “Max Weber, Islam, and Rationalization: A Comparative View*,” Historicka
Sociologie 2019, no. 1 (2019): 126.
28
Aniroh, “Perang Salib Serta Dampaknya Bagi Dunia Islam Dan Eropa,” At-Thariq: Jurnal Studi
Islam dan Budaya P3M-STAI Sufyan Tsauri Majenang 1, no. 1 (2021): 67.
29
Robert Launay, “Defining Religion: Durkheim and Weber Compared,” Religions 13, no. 2
(2022): 8.

51
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

bebas yang melahirkan kapitalisme dari kuku-kuku Katolik Roma yang merupakan pusat
feodal.30

Menurut Weber, keliru jika dikatakan bahwa kapitalisme bisa berkembang


dengan pesat dengan menyingkirkan nilai-nilai agama dan moralitas. Justru sebaliknya,
agama menjadi sumbu utama dalam menyulut api semangat kapitalisme. Keberhasilan
kapitalisme tak lain dipengaruhi oleh semangat dari nilai-nilai agama yang dapat
mendorong seseorang menjadi kapitalis. Secara lebih rinci, nilai-nilai agama yang
puritan yang dapat menjadikan seseorang bersemangat untuk menjadi kapitalis. Tentu
gagasan Weber ini tidak datang dari ruang hampa namun berbagai variabel menyertai
munculnya gagasan tersebut. Artinya, sebuah ide, gagasan, atau ilmu pengetahuan tidak
bisa lepas dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau
pengetahuan tersebut.31

Perlu diketahui, bahwa tidak semua Calvinisme itu dapat menyulut api lahirnya
Kapitalisme. Begitu pula, tidak semua Kapitalisme lahir atas spirit-spirit Calvinisme.
Jika dilacak dalam sejarah, Kapitalisme telah ada sejak zaman renaissance di Italia.
Bahkan di Skotlandia pada abad 16-17 M yang didominasi oleh penganut Calvinisme
tidak mengindikasikan tumbuhnya Kapitalisme. Apabila semangat kapitalisme tidak lain
dari etika protestan yang dipraktikkan dalam kegitan bisnis, hal ini pun tetap
merangsang perkembangan kapitalisme rational sebagai suatu sistem tindakan.32
Artinya, Calvinisme bukan variabel absolut yang dapat melahirkan Kapitalisme tetapi
hanya bagian kecil dari bagian besar yang dapat melahirkan dan mengembangkan
Kapitalisme.

Proyek kapitalisme yang mulai kehabisan lahan di tanahnya sendiri membuat


kapitalisme berkembang ke berbagai negara lain dengan proyek baru yakni kolonialisme

30
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 2, ed. Najib Kailani (Yogyakarta: LKiS, 2015), 313.
31
A. Khudori Soleh, EPISTEMOLOGI ISLAM Integrasi Agama, Filsafat, Dan Sains Daiam
Perspektif Al-Farabi Dan Ibnu Rusyd (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017), 41.
32
Raho, Teori Sosiologi Modern, 169–170.

52
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

dan imperialisme. Weber menganggap pertumbuhan ekonomi dan ekspansi kekaisaran


penting untuk kelangsungan hidup nasional. Jerman adalah negara industri dan
membutuhkan perdagangan luar negeri. Itu terlibat dalam perjuangan untuk pasar
dengan negara-negara industri lainnya, dan kolonialisme menjamin akses ke pasar dan
bahan mentah.33

Sehingga kolonialisme perdagangan yang dilakukan Jerman memainkan peranan


kunci dalam produksi masyarakat antar bangsa eropa. Juga dalam politik yang
digencarkan Jerman melalui reformasi politik liberal domestik mengafirmasi jerman
menjadi “ras unggul” (Herrenvolk).34 Dengan itu secara tidak langsung Weber turut
menyumbang dalam praktek genosida dan peperangan yang dilakukan oleh Nazi pada
perang dunia II.

Rasionalisasi Weber yang terdapat melekat pada birokrasi rasional legal-formal


serta kapitalisme yang dijalankan oleh Protestan terutama Calvin, sebaliknya irrasional
yang terdapat pada bangsa timur dinilai menghambat kemajuan. Dengan demikian
Weber berkomitmen bahwa rasionalisasi adalah proses teleologis dan ireversibel jangka
panjang budaya barat. Artinya, Weber menyatakan “wacana orientalisme” tentang
keunikan barat, yang menciptakan dikotomi tak terjembatani antara peradaban timur dan
barat.35

Weber juga melakukan penelitian terhadap agama-agama China yang


dioposisikan dengan Protestan. Sering dicatat bahwa The Religion of China, dalam
menyatakan bahwa semangat kapitalisme tidak dapat muncul dari kondisi Cina,
berusaha untuk mengkonfirmasi argumen yang pertama kali dikembangkan dalam karya
Weber yang lebih masyhur yakni The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme. Hal

33
Lebow, Max Weber and International Relations, 25.
34
Ibid., 61.
35
Sam Whimster and Scott Lash, Max Weber, Rationality and Modernity (Oxon: Routledge, 2006),
234.

53
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

demikian tidak hanya dilontarkan pada Cina melainkan beberapa bangsa timur yang
berhasil ditulis oleh Weber termasuk Hindu di India dan Islam di Arab.

Pandangan ilmuwan-ilmuwan barat terhadap timur mengenai segala


karakteristiknya yang berkonotasi negatif, seperti irrasional, takhayul, tidak beradab,
biadab dan lain sebagainya sangatlah politis. Sebab dalam tradisi sosiologi dan
antropologi para ilmuwan tersebut tidaklah melakukan penelitian dengan terjun langsung
dan berhadapan langsung dengan obyek yang diteliti. Penulis juga meragukan
bahwasanya Weber secara fasih dalam mendefinisikan agama-agama timur itu langsung
berhadapan langsung dengan agama yang ditelitinya.

Oksidentalisme Hassan Hanafi dan Sikap Terhadap Eurosentrisme dalam


Sosiologi Max Weber

Seperti yang telah dibahas di muka, wacana sosiologi Max Weber sangatlah
bercorak eurosentrisme yang sangat subjektif dan menghasilkan dampak yang luar biasa
pada kolonialisasi. Seiring berjalannya sejarah, hampir semua tokoh sosiologi barat pada
kurun abad 19 M bernada sama. Dapat dikatakan, keobjektifan dalam mengkaji sesuatu
telah direduksi oleh para tokoh tersebut untuk mengunggulkan ras dan bangsanya
sendiri. Seakan akan bangsa Timur didektekan untuk merepresentasikan dirinya.

Dengan demikian diperlukan counter untuk dapat menjadikan Timur untuk


berbicara atas bangsanya sendiri. Oksidentalisme sebagai wacana yang lahir dari Timur
mengupayakan demikian. Menurut Xiaomei Chen dalam karyanya Occidentalism : a
theory of counter-discourse in post-Mao China menyebutkan Oksidentalisme sebagai
cara untuk membatasi rasa superioritas Barat terhadap Timur dan metode untuk
melawan ‘orientalisme’ yang berujung pada imperialisme Barat terhadap dunia Timur. Ia
muncul sebagai ilmu yang melihat peradaban barat dari kaca mata Timur. 36

36
Xiaomei Chen, Occidentalism : A Theory of Counter-Discourse in Post-Mao China (New York:
Oxford University Press, 1995).

54
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

Meskipun dengan nada yang keras dan kritis, Oksidentalisme Hanafi tidak
bermaksud melakukan counter secara total dalam artian menaruh posisi yang pernah
diduduki Orientalisme.37 Hanafi melakukan kajian Oksidentalisme secara netral,
mengingat ketidaknetralan dalam kajian Orientalisme. Dalam Islam terdapat pengkaji
sekaligus penggagas Oksidentalisme, yakni Hassan Hanafi. Hadirnya oksidentalisme
sebagai suatu konsep berpikir dan bertindak dalam menyikapi relasi Islam dengan Barat
tidak trelepas dari berbagai tujuan yang ditegaskan oleh Hasan Hanafi sebagai berikut:

Pertama, membendung atas kesadaran Eropa dari awal hingga akhir, sejak
kelahiran hingga keterbentukannya. Seperti yang termaktub dalam poposisi Max Weber
yang implisit dalam Sosiologinya tentang interioritas Eropa yang sangat subjektifan.
Implikasinyanya adalah imajinasi rasialis eropa. Ketidakobjektifan sangat sarat dalam
hal tersebut, sehingga diperlukan pemutusan atas kesadaran Eropa dan kembali pada
tradisi lama atau dalam nomenklatur Hanafi disebut dengan “shilah al-ittishal”.

Kedua, mengkaji kesadaran Eropa yang menempatkan sebagai sejarah bukan


sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah. Dimensi sejarah bagi Hanafi bersifat an
sich. Sehingga tidak melibatkan sifat-sifat yang lainnya, termasuk dimensi politis yang
terlibat dalam kekuatan atas pengetahuan pada bangsa lain. Artinya, diperlukan
pembacaan yang cermat atas tradisi yang dikembangkan sejarah sosiologi, termasuk
pada sosiologi yang dibangun oleh Max Weber.

Ketiga, memposisikan Barat ke batas alamiahnya, mengakhiri perang


kebudayaan, menghentikan ekspansi tanpa batas, mengembalikan filsafat Eropa ke
lingkungan di mana ia dilahirkan, sehingga batas-batas Barat akan terlihat. Pada poin ini
pula, yang juga menjadi tindak lanjut atas kedua poin di atas, menjadikan “shillah al-
ittishal” atas tradisi lama (Islam). Pasalnya, filsafat eropa telah memuat implikasi bagi
bangsa non-eropa secara negatif. Lebih dari itu, ekspansi tanpa batas yang berangkat

37
Muh. Syamsuddin, “Orientalisme, Oksidentalisme Dan Filsafat Islam Modern Dan Kontemporer
(Suatu Agenda Masalah),” Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 18, no. 1 (2018): 54,
http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/ref/article/view/1856/1415.

55
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

dari ranah pemikiran menghasilkan dampak besar pada kolonialisasi dan imperialisasi
yang didera bangsa non-eropa.

Keempat, menghapus mitos “kebudayaan kosmopolit” dengan menemukan


karakteristik bangsa di seluruh dunia, dan bahwa setiap bangsa memiliki tipe peradaban
serta kesadaran sendiri serta ilmu-ilmu tersendiri seperti yang terjadi di India, Cina,
Afrika dan Amerika Latin, dan menerapkan metode sosiologi ilmu pengetahuan dan
antropologi peradaban pada kesadaran Eropa yang selama ini diterapkan produsennya
pada kesadaran non Eropa.

Kelima, membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan
membebaskannya dari “akal” Eropa yang menghalangi nuraninya, sehingga bangsa non
Eropa dapat berpikir dengan “akal” dan kerangka lokalnya sendiri. Seperti yang digagas
Weber, bahwa otoritas tradisional dan karismatik banyak ditemukan di India dan Cina
berbeda dengan Eropa yang masuk dalam kategori otoritas rasional-legal.38

Keenam, menghapus rasa rendah diri yang diderita pada bangsa non Eropa ketika
berhadapan dengan bangsa Eropa dan menumbuhkan spirit mereka menuju tahap
inovator setelah sebelumnya hanya berperan sebagai konsumen kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan kesenian. Kenyataan atas konsumsi terhadap ilmu pengetahuan eropa
seakan menjadi keniscayaan. Banyak para sarjanawan dan teoritisi non-eropa yang
secara sadar maupun tidak sadar menjadi subjek aktif dalam konsumsi budaya eropa.
Dengan itu, Hanafi mengemukakan hal di atas. Berusaha melepaskan ketundukan dan
sikap konsumtif atas kebudayaan, ilmu pengetahuan dan kesenian eropa.

Ketujuh, menuliskan ulang sejarah agar semaksimal mungkin dapat


mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa di dunia yang sebelumnya menjadi
subordinasi kebudayaan bangsa Eropa. Sebab, Sejarah dunia adalah sejarah Barat,
sejarah kemanusiaan adalah sejarah Barat, sejarah sosiologi adalah sejarah sosiologi

38
Raho, Teori Sosiologi Modern, 43.

56
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

Barat.39 Bagi Hanafi, tindak lanjut atas sikap konsumtif tersebut dengan mereformasi
ulang sejarah khususnya sosiologi yang telah dipatenkan oleh eropa. Dengan kontruksi
baru yang lebih objektif dan independen.

Kedelapan, Permulaan filsafat baru yang dimulai dari Timur. Hal ini sesuai
dengan kalkulasi siklus peradaban dan hukum evolusinya yang lebih komprehensif dan
universal dibanding yang ada di lingkungan Eropa. Walaupun cukup berat, bagi Hanafi,
hal ini sangat perlu untuk direalisasikan. Pasalnya, proyek masa depan ini tidak hanya
mengakhiri dan menuliskan ulang sejarah berdasarkan sikap nasionalisme terhadap
bangsa sendiri. Namun terdapat nilai penting yang mendasari keilmuan, yakni nilai
keobjektifan. Sekaligus menjadikan tradisi tersebut sebagai starting point.40

Kesembilan, mengakhiri orientalisme dengan mengembalikan Timur dari obyek


menjadi subyek dan meluruskan hukum-hukum yang diterapkan dan disuntikkan Barat
ketika berada di mercusuar kegemilangannya kepada peradaban Timur yang sedang
berada dalam keterlelapan tidur. Kesepuluh, menciptakan oksidentalisme sebagai ilmu
pengetahuan yang akurat karena fondasi dan gejala oksidentalisme pada hakikatnya
telah ada dalam generasi kita tapi belum mampu menghasilkan sebuah disiplin ilmu.

Kesebelas, membentuk peneliti-peneliti tanah air yang mempelajari


peradabannya dari kacamata sendiri dan mengkaji peradaban lain secara objektif.
Keduabelas, diperkenalkan kembali generasi pemikir baru yang dapat disebut sebagai
filosof, pasca generasi pelopor di era kebangkitan. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab
pertanyaan yang sering meluncur seputar stereotip Barat yang menganggap Timur tidak
memiliki filosof. Padahal jika dilihat dalam sejarah sangat banyak pengaruh gerakan
pemikir Islam yang berkontribusi positif bagi eropa, namun eropa menafikan hal
demikian.

39
Hanafi, Studi Filsafat 1, 39.
40
Hanafi, Studi Filsafat 2, xii.

57
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

Ketigabelas, Membebaskan ego dari kekuasaan the other pada tingkat peradaban
agar ego dapat memposisikan diri sebagai dirinya sendiri. Keempatbelas, Tujuan
terakhir, adalah dengan Oksidentalisme manusia akan mengalami era baru di mana tidak
ada lagi penyakit rasialisme terpendam seperti yang terjadi selama pembentukan
kesadaran Eropa yang akhirnya menjadi bagian dari strukturnya.41

Dalam aplikasinya, oksidentalisme Hasan Hanafi merupakan agenda kedua dari


proyek “Tradisi dan Pembaharuan” yang digagasnya dimana dipahami bahwa ketiga
agenda tersebut meliputi, 1) sikap kita terhadap tradisi lama, 2) sikap kita terhadap
tradisi Barat, 3) serta sikap kita terhadap realitas.42 Ketiga sikap tersebut berusaha
mendudukan kembali Timur atau khususnya Islam sebagai subjek yang berbicara atas
dirinya sendiri. Mengingat masyarakat Timur seringkali tertidur lelap atas definisi-
defisini atau teori-teori Barat yang mendominasi. Dalam proses tersebut, apa yang
datang dari Barat selalu dianggap sebagai hal yang mutlak benar karena dalam
kepercayaan mereka yang di Timur yang terdiri dari umat Islam. Barat dengan segala
perkembangannya merupakan standar kebenaran itu sendiri.43

Hal tersebut berakibat pada konsumsi penuh atas segala hal yang berasal dari
Barat. Menurut Hanafi Barat harus diletakkan atau di lokalisasi pada batasan-batasan
alamiahnya, serta menepis mitos-mitos yang mendewakan atau menjadikan Barat
sebagai pusat peradaban. Dalam kontruk Eurosentrisme Weber yang berat sebelah,
dalam artian banyak meneliti sampel di daratan selain Eropa harus disingkirkan.

Sebagaimana konstruksi kemajuan bangsa-bangsa lain. Walaupun harus diakui


bahwa umat Islam jauh tertinggal jika berkaca pada kemajuan Barat, kendatipun
demikian umat Islam masih dapat bertahan dengan parameternya sendiri. Imperialisme
kebudayaan Barat jauh lebih berbahaya dengan bidang lainya seperti ekonomi, politik

41
Hanafi, Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, 52–58.
42
Ibid., 5.
43
Kamaruddin Mustamin, “Oksidentalisme Hasan Hanafi,” Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu
Ushuluddin dan Filsafat 17, no. 1 (June 30, 2021): 65,
https://jurnal.iainpalu.ac.id/index.php/rsy/article/view/714.

58
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

dan lainnya. Imperealisme yang dilakukan oleh Barat mencoba untuk menyerang umat
Islam dari dalam (internal) kebudayaannya, sehingga Islam jauh atau tercabut dari akar
kebudyaannya sendiri.44 Kemudian mengikis sedikit demi sedikit berbagai pujian yang
dialamatkan kepada barat bahwa peradaban dan kebudayaan merekalah yang menjadi
sentris

Pembahasan Penelitian

Weber dalam penelitiannya di belahan dunia timur secara tidak langsung


merupakan hegemoni atas perkembangan ilmu pengetahuan yang berporos pada
peradaban dan kebudayaan Barat. Barat yang dimaksud Weber ialah dimana ia hidup
yakni Eropa Barat. Hegemoni tersebut mengakibatkan atas ketundukan daerah selain
Eropa menjadi kelas kedua.

Ketertundukan terhadap daerah selain Eropa tidak hanya terjadi pada bidang
ilmu pengetahuan, namun melebar ke berbagai aspek termasuk etnis. Eropa seakan
menjadi panutan bangsa lain atas pencapaian yang telah diupayakan Weber melalui
pendefinisian terhadap bangsa selain Eropa. Menurut Hanafi, perlunya metode
fenomenologi agar dapat menganalisis, memahami, dan memetakan realitas-relitas
sosial, politik, ekonomi, khazanah keislaman, dan tantangan, serta serangan Barat.
Dengan metode ini, Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri bahwa
Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam, bukan dari Barat 45.

Dalam berbagai karya Max Weber seperti The Spirit Of Protestan Ethics
menyiratkan rasialisme diindahkan oleh Max Weber. Pisau analisis Oksidentalisme ala
Hassan Hanafi menyatakan bahwa nalar yang menjadi basis atas kemajuan barat niscaya
akan menghasilkan rasialisme atas etnisnya sendiri. Hal tersebut dipadukan konsep
rasialisme yang menyatakan bahwa ras yang dianutnya adalah superior akan
44
Muhammad Yuslih, “TEOLOGI HASAN HANAFI DAN RELEVANSINYA DENGAN
REVOLUSI INDUSTRI 4.0,” Jurnal Keislaman 5, no. 1 (March 1, 2022): 116,
http://ejournal.kopertais4.or.id/susi/index.php/JK/article/view/3411.
45
A. Khudori Soleh, FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), 58, https://drive.google.com/file/d/1NIfV8QKM4Z1aR2JtMTBrZMQCixVbb25J/view.

59
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

menghasilkan keunggulan ras tunggal yakni Eropa, secara khusus Eropa Barat. Terlebih
dalam oposisi biner, jikalau terdapat Barat yang berkemajuan maka harus ada lawan dari
Barat yang berkemajuan tersebut, tidak lain ialah peradaban selain Barat.

Dengan counter yang dilakukan Hassan Hanafi dengan mengambil sikap


terhadap Barat itu dapat mengambil kembali peran Timur sebagai bangsa yang berbicara
atas bangsanya sendiri. Sehingga terbentuk pada paradigma kemandirian yang tidak
hanya taqlid pada paradigma lian.

Kesimpulan

Secara historis, Sosiologi Max Weber banyak memberikan berkat atas kemajuan
barat. Akan tetapi, kemajuan tersebut didasarkan pada pola oposisi biner atas kinerja
ilmu. Eropa dengan kemajuannya membuat cermin besar atas kemajuannya, yakni
kemunduran yang direpresentasikan oleh bangsa Timur. Oposisi tersebut tersebut
cenderung membawa pada rasialisme yakni Eurosentrisme.

Dengan menganggap eropa sebagai interior sedangkan luar eropa sebagai


inferior. Kecenderungan tersebut mengakibatkan dekadensi intelektual non-eropa yang
terus menerus menjiplak, bahkan menggunakan teori yang lahir dari eropa. Padahal
suatu teori tertentu yang memiliki banyak variabel yang belum tentu sesuai dengan
kondisi lapangan yang berbeda.

Hassan Hanafi muncul untuk meluruskan hal tersebut. Terlebih mengukuhkan


identitas ketimuran-keislamannya. Menjadikan Ilmu berdiri atas bangsanya sendiri dan
mengembalikan ilmu pengetahuan barat kepada batas-batasnya. Lebih dari itu, dalam
pemikiran Hanafi juga ingin menjadikan Oksidentalisme sebagai ilmu. Penulisan sejarah
dan pengenalan filosof-filosof baru juga menjadi proyek besar Hanafi.

60
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Gunawan. Sosiologi Agama: Memahami Teori Dan Pendekatan. Banda Aceh:
Ar-raniry Press, 2020.
Aniroh. “Perang Salib Serta Dampaknya Bagi Dunia Islam Dan Eropa.” At-Thariq:
Jurnal Studi Islam dan Budaya P3M-STAI Sufyan Tsauri Majenang 1, no. 1 (2021):
55–70.
Anthias, Floya, Nira Yuval-Davis, and Harriet Cain. Racialized Boundaries: Race,
Nation, Gender, Colour and Class and the Anti-Racist Struggle. Racialized
Boundaries: Race, Nation, Gender, Colour and Class and the Anti-Racist Struggle.
London: Taylor & Francis e-Library, 2005.
Bistara, Raha. “Virtue Ethics Aristoteles Dalam Kebijaksanaan Praktis Dan Politis Bagi
Kepemimpinan Islam.” Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam 11, no. 2
(2020): 179–196.
Chairi, Effendi. “Ketiadaan Otoritas Terpusat Dalam Fenomena Kontemporer Di
Indonesia.” SANGKéP: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 2, no. 2 (2019): 197–215.
Chen, Xiaomei. Occidentalism : A Theory of Counter-Discourse in Post-Mao China.
New York: Oxford University Press, 1995.
Dulhadi. “TAWARAN PEMIKIRAN ‘ KIRI ISLAM ’ HASSAN HANAFI DAN
RELEVANSINYA DALAM PENDEKATAN METODE DAKWAH DI
SAMBAS.” JURNAL ILMIAH FALSAFAH Jurnal Kajian Filsafat, Teologi dan
Humaniora 6, no. 2 (2021): 107–117.
Hanafi, Hassan. Oksidentalisme : Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Edited by M.
Najib Buchori. Jakarta: Paramadina, 1999.
———. Studi Filsafat 1. Edited by Najib Kailani. Yogyakarta: LKiS, 2015.

61
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

———. Studi Filsafat 2. Edited by Najib Kailani. Yogyakarta: LKiS, 2015.


Huff, Toby. “Max Weber, Islam, and Rationalization: A Comparative View*.”
Historicka Sociologie 2019, no. 1 (2019): 117–128.
Launay, Robert. “Defining Religion: Durkheim and Weber Compared.” Religions 13,
no. 2 (2022): 1–13.
Lebow, Richard Ned. Max Weber and International Relations. Max Weber and
International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2017.
Lederer, Markus, and Chris Höhne. “Max Weber in the Tropics: How Global Climate
Politics Facilitates the Bureaucratization of Forestry in Indonesia.” Regulation and
Governance 15, no. 1 (2021): 133–151.
Mawikere, Marde Christian Stenly, and Sudiria Hura. “Merambah Etika Protestan Dan
Sosiologi Nilai Max Weber ‘Korelasi Antara Calvinisme Dengan Spirit
Kapitalisme.’” Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan 8, no. 1 (2022): 76–83.
Muhammad Yuslih. “TEOLOGI HASAN HANAFI DAN RELEVANSINYA DENGAN
REVOLUSI INDUSTRI 4.0.” Jurnal Keislaman 5, no. 1 (March 1, 2022): 112–
123. http://ejournal.kopertais4.or.id/susi/index.php/JK/article/view/3411.
Mukhlishin, Ahmad, and Aan Suhendri. “Aplikasi Teori Sosiologi Dalam
Pengembangan Masyarakat Islam.” INJECT (Interdisciplinary Journal of
Communication) 2, no. 2 (2017): 211.
Munafaroh, and Masyhuri. “Analisis Kritis Terhadap Pemikiran Max Weber (Perspektif
Islam).” Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman JPIK Vol 2, no. September 2019
(2019).
Mustamin, Kamaruddin. “Oksidentalisme Hasan Hanafi.” Rausyan Fikr: Jurnal Studi
Ilmu Ushuluddin dan Filsafat 17, no. 1 (June 30, 2021): 51–73.
https://jurnal.iainpalu.ac.id/index.php/rsy/article/view/714.
Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present : Philosophy in
the Land of Prophecy. New York: State University of New York Press, 2006.
Neal, Larry, and Jeffrey Williamson G., eds. The Cambridge History of Capitalism. I
The Rise. Cambridge: Cambridge University Press, 2014.

62
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 1 (Januari-Juni) 2022, p. 37-64.

PERMATASARI, MAYANA RATIH, and SUBAIDI. “KEPEMIMPINAN


MASYARAKAT JAWA (ANALISIS PEMIKIRAN MAX WEBER:
MASYARAKAT ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI DI SURAKARTA,
INDONESIA) JAVANESE” 1, no. 4 (2021): 232–245.
Pinem, Milda Longgeita. “Kritik Terhadap Epistemologi Barat.” Jurnal Filsafat
Indonesia 3, no. 3 (2020): 122–129.
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/view/27984.
Putra, Ahmad, and Sartika Suryadinata. “Menelaah Fenomena Klitih Di Yogyakarta
Dalam Perspektif Tindakan Sosial Dan Perubahan Sosial Max Weber.” Asketik 4,
no. 1 (2020): 1–21.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Edited by Moya Zam Zam. Revision. Flores:
Ledalero, 2021.
Raza, Sebastian. “Max Weber and Charles Taylor: On Normative Aspects of a Theory of
Human Action.” Journal of Classical Sociology (2022): 1–40.
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Edited by Triwibowo B.S. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Rofi’ah, Khusniati, and Moh Munir. “Jihad Harta Dan Kesejahteraan Ekonomi Pada
Keluarga Jamaah Tabligh: Perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber.” Justicia
Islamica 16, no. 1 (2019): 193–218.
Schluchter, Wolfgang. The Rise of Western Rationalism Max Weber’s Developmental
History. Edited by Guenther Roth. London: University of California Press, 1985.
Soleh, A. Khudori. EPISTEMOLOGI ISLAM Integrasi Agama, Filsafat, Dan Sains
Daiam Perspektif Al-Farabi Dan Ibnu Rusyd. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2017.
———. FILSAFAT ISLAM Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016.
https://drive.google.com/file/d/1NIfV8QKM4Z1aR2JtMTBrZMQCixVbb25J/view.
Syamsuddin, Muh. “Orientalisme, Oksidentalisme Dan Filsafat Islam Modern Dan
Kontemporer (Suatu Agenda Masalah).” Refleksi: Jurnal Filsafat dan Pemikiran
Islam 18, no. 1 (2018): 47–60. http://ejournal.uin-

63
Satrio Dwi Haryono: Sikap Terhadap Tradisi Barat: Telaah Eurosentrisme dalam Sosiologi
Max Weber

suka.ac.id/ushuluddin/ref/article/view/1856/1415.
Taufiq, Thiyas Tono. “Kontribusi Filsafat Perdamaian Eric Weil Bagi Resolusi Konflik
Dalam Bingkai Masyarakat Majemuk.” Journal of Islamic Discourses 4 (2021):
77–93.
Umam, Khoirul. “Masyarakat Dalam Perspektif Ibnu Khaldun.” Aqlania:Jurnal Filsafat
dan Teologi Islam 9 (2018): 255–288.
Weber, Max. Economy And Society. Edited by Keith Tribe. Cambridge: Harvard
University Press, 2019. https://lccn.loc.gov/2018030731.
Whimster, Sam, and Scott Lash. Max Weber, Rationality and Modernity. Oxon:
Routledge, 2006.

64

Anda mungkin juga menyukai