Anda di halaman 1dari 7

SEMAKIN MIRIP LATAR BELAKANG BUDAYA,

SEMAKIN EFEKTIFLAH KOMUNIKASI

Disusun Oleh :

1. Siti Jenab 3112201025


2. IvanFirmansyah 3112201113
3. Indra novian syah 3112201180
SEMAKIN MIRIP LATAR BELAKANG BUDAYA,

SEMAKIN EFEKTIFLAH KOMUNIKASI

Apakah benar judul diatas dengan realitas sekarang ini ? untuk menciptakan

komunikasi yang efektif, apa harus memiliki budaya yang sama ? Terdapat dua sisi yang

saling bertolak belakang untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu disisi yang satu jika seorang

individu dengan inividu lain memiliki latar belakang bahasa yang sama, komunikasi mereka

akan berjalan dengan efektif. Kemudian disisi lainnya yaitu judul diatas dapat menimbulkan

rasa diskriminasi seseorang karena merasa bahwa berkomunikasi dengan budaya lainnya

adalah komunikasi yang kurang efektif. Dalam kenyataannya, tidak ada manusia didunia ini

yang dilahirkan sama. Meskipun mereka berada didalam Negara, Agama, Ras, Suku, Etnis

yang sama, pasti terdapat suatu perbedaan dari setiap individu. Dalam keluarga pasti terdapat

perbedaan, orangtua yang memiliki anak kembar, meskipun dominan, memiliki sikap yang

berbeda dalam pergaulan dan lingkungannya. Komunikasi dapat dikatakan efektif bila pesan

dalam komunikasi tersebut, yang disampaikan oleh komunikator, hasilnya sesuai dengan

harapan komunikator tersebut. Misalnya, seorang penjual yang datang kerumah seseorang

dan mempromosikan barang yang dijualnya, dapat dikatakan sebagai komunikasi efektif bila

ahkirnya tuan rumah membeli barang yang ditawarkan oleh penjual tersebut dan merasa puas

dengan pelayanannya.

Tanpa disadari oleh manusia, apa yang kita lakukan sehari-hari merupakan budaya.

Bagaimana kita berpakaian, berjalan, berbicara, semuanya merupakan budaya kita. Seperti

yang dikatakan bahwa ‘In other words, how we relate verbally and nonverbally to others is

learned from the culture in which we grow up‘ (Defleur et al, 2005, p. ). Bagaimana kita

bergaul dengan orang lain khususnya pada budaya yang berbeda, semua itu didasari oleh
orang terdekat kita atau significant others seperti orangtua. Kebudayaan yang kita miliki saat

ini dan lakukan saat ini merupakan warisan dari orang tua kita. Peran orangtua sebagai

pembentukan pribadi anak memang sangat menentukan. Linton dalam Lane dan Svante

Ersson (2002, p.24) berpendapat bahawa ‘the culture of a society is the way of life of its

members, the collection of ideas and habits which they learn, share, and transmit from

generation to generation’. Budaya yang kita miliki merupakan warisan turun menurun oleh

nenek moyang kita. Setiap kelompok memiliki budaya yang berbeda-beda, misalnya orang

jawa dengan orang madura tentu memiliki sikap dan gaya bahasa yang berbeda meskipun

mereka dapat tinggal di satu kawasan yang sama.

Secara umum, setiap negara tentunya memiliki budaya nya masing-masing. Hal-hal

kecil yang biasa mereka lakukan sehari-hari, terkadang mereka tidak sadar akan perbuatannya

itu merupakan budaya yang diwariskan di negara tersebut. Kita ambil contoh yaitu antara

Amerika dengan Perancis. Heusinkveld (1997) mengatakan bahwa meminum segelas susu

saat makan siang merupakan hal yang biasa bagi orang-orang Amerika, berbeda dengan

orang Perancis yang meminum susu hanya untuk keperluan kesehatan saja. Dari contoh

tersebut dapat kita lihat bahwa hal-hal kecil yang tidak sadari manusia ternyata merupakan

warisan dari kebudayaan dan akan menjadi kebiasaan. Contoh lain yaitu seperti orang-orang

di dunia barat yang sehari-harinya lebih sering memakan kentang ketimbang orang-orang

yang berada di dunia timur yang terbiasa dengan nasi. Pertanyaan nya adalah bagaimana jika

orang-orang dari dunia barat berlibur ke dunia timur ? apa komunikasi diantara mereka akan

berjalan secara efektif ? karena secara otomatis budaya mereka akan sedikit tergoyah atau

culture shock. Maka dari itu, sangat diperlukan adaptasi dan penyesuaian agar komunikasi

diantara mereka akan berjalan secara efektif.

Porter dan Samovar (1993:26) menyatakan bahwa hubungan reciprocal (timbal balik)

antara budaya dan komunikasi penting untuk dipahami bila ingin mempelajari komunikasi
antarbudaya secara mendalam. Hal ini terjadi karena melalui budayalah orang-orang dapat

belajar berkomunikasi.

Selanjutnya Porter dan Samovar kembali menegaskan, kemiripan budaya dalam

persepsi akan memungkinkan pemberian makna yang cenderung mirip pula terhadap suatu

realitas sosial atau peristiwa tertentu. Sebagaimana kita memiliki latar belakang budaya yang

berbeda-beda maka dengan sendirinya akan mempengaruhi cara dan praktek berkomunikasi

kita. Banyak aspek/unsur dari budaya yang dapat mempengaruhi perilaku komunikasi

seseorang. Pengaruh tersebut muncul melalui suatu proses persepsi dan pemaknaan suatu

realitas. Beberapa unsur sosial budaya sebagai bagian dari komunikasi antarbudaya, yang

dapat berpengaruh secara langsung terhadap makna-makna yang kita bangun dalam persepsi

kita sehingga mempengaruhi perilaku komunikasi kita Sistem kepercayaan (belief), nilai

(values), dan sikap (attitude).

Kepercayaan dalam pandangan Mulyana (2004) adalah suatu persepsi pribadi.

Kepercayaan merujuk pada pandangan dimana sesuatu memiliki ciri-ciri atau kualitas

tertentu, tidak peduli apakah sesuatu itu dapat dibuktikan secara empiris (logis) atau tidak.

Berikut dicontohkan:

 Berdoa membantu menyembuhkan penyakit.

 Bersiul di malam hari mengundang setan, terutama di tempat ibadah.

 Menabrak kucing hitam akan membawa kemalangan.

 Angka 9 adalah angka keberuntungan, dll.

Hal senada juga disampaikan Porter dan Samovar, kepercayaan merupakan

kemungkinan-kemungkinan subyektif yang diyakini individu bahwa suatu obyek atau

peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu.


Tidak ada negara didunia ini yang memiliki dua muka. Tetapi ada satu negara yang

ternyata bisa memiliki dua muka atau dua etnis yang sangat dominan di negara tersebut yaitu

negara Amerika. Harrison dan Huntington (2000, p.178) berpendapat bahwa ‘No country in

history has voluntarily changed its etnhic profile in such a short time as the United States

has’. Negara Amerika yang dulunya didominasi oleh etnis yang berkulit putih, bisa saja

berubah. Satu tokoh yang dapat mewujudkan semua hal itu terjadi adalah Martin Luther

King. JR. Ia adalah seorang kulit hitam dari Amerika, ia merasa bahwa orang-orang kulit

hitam di Amerika dipandangan rendah oleh orang-orang kulit putih. Seperti contohnya dalam

mengendarai bis umum, orang-orang kulit hitam selalu duduk diposisi belakang, seakan-akan

mereka terbelakangi. Hal-hal sepele seperti itu kemudian menggerakkan hati Martin Luther

King untuk bertindak melawan tetapi dengan kecerdasannya bukan dengan kekerasan.

Harrison dan Huntington (2000) mengatakan bahwa penduduk negara Amerika memiliki dua

muka yang besar atau mayoritas yaitu European dan African, yang memiliki budaya yang

sama meskipun warna kulit mereka berbeda. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa, warna kulit

seseorang tidak mendasari seorang individu dalam bagaimana ia berkomunikasi dengan orang

lain, warna kulit hanyalah simbol, tapi simbol itu bukan berarti harus bersifat negatif. Yang

mendasari adalah kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam bergaul dan

berkomunikasi dengan orang lain.

Negara Indonesia dipisahkan karena terdapat banyak sekali pulau-pulau yang dihuni

ataupun yang tidak dihuni. Kemudian disatukan dengan Pancasila yang menjadi Ideologi

bangsa dan negara. Di Indonesia, ada enam agama yang diakui yaitu Islam, Katolik,

Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi agama yang mayoritas dianut oleh

penduduk negara Indonesia adalah Islam. Lalu akan dibahas lebih dalam mengenai budaya

politik yang ada di Indonesia. Dengan faktor politik nya, mayoritas yang menjadi Presiden,

menteri ataupun DPR beragama Islam dan beretnis pribumi. Hal tersebut sudah menjadi
budaya Indonesia dalam berpolitik dan memerintah. Hal tersebut sudah turun menurun

diwariskan. Tetapi bukan berarti tidak ada penganut agama non-islam atau non-pribumi yang

tidak bisa bekerja didalam pemerintahan. Hal-hal tersebut hanyalah mindset yang salah, tetapi

memang perlu dipertimbangkan hal-hal seperti itu. Lane dan Ersson (2002) berpendapat

bahwa budaya perlu diingat terus menerus, dan budaya merupakan faktor yang dapat

menjelaskan berbagai fenomena dalam berpolitik. Terus terang, akan langka sekali jika ada

presiden Indonesia yang beragama non-islam dan beretnis non-pribumi, apa yang akan

dikatakan oleh orang-orang Indonesia ? padahal orang-orang di Indonesia mayoritas Islam

dan beretnis pribumi. Maka dari itu perlu adanya pertimbangan dalam mendasari Suku,

Agama, Ras, Etnis kedalam dunia politik.

Kita tidak bisa meninggalkan budaya kita begitu saja, karena faktor budaya sangat

mempengaruhi hidup kita. Bagaimana kita berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda

budaya bukan lah hal yang haram. Ketidak efektifan suatu komunikasi antar budaya sudah

terbiasa terjadi, maka dari itu perlu ada penyesuaian. Budaya terjadi dan terbentuk secara

tiba-tiba, otomatis, tidak bisa diprediksi, dan dapat menentukan kepribadian kita (Fantini

1997). Kita semua, yang ada didunia ini, perlu tergerak untuk berubah dan menumbuhkan

sikap toleran kita terhadap sesama. Apa perlu seseorang terlebih dahulu yang tergerak untuk

berubah dan kita hanya menjadi pengikut saja ? bayangkan semua orang yang ada didunia ini

memiliki sikap toleran dan pengertian, akan sangat tenteram dunia ini. Secara kesimpulan,

untuk menciptakan sebuah komunikasi yang efektif, tidak perlu harus memiliki latar belakang

budaya yang sama. Berkomunikasi dengan budaya lain akan berjalan dengan efektif apabila

keduanya memiliki persepsi yang baik terhadap sesama dan adanya sikap toleran terhadap

sesama.
DAFTAR PUSTAKA

Defleur, Kearney, Plax, ML 2005, Fundamentals of Human Communication (3rd edition),

Quebecor World Fairfield Incorperated, United States.

Fantini, A (ed.) 1997, New Ways in Teaching Culture, TESOL, United states.

Lane and Svante Ersson 2002, Culture and Politics : A Comparative approach, Ashgate

Publishing Company, England.

Harrison and Samuel P. Huntington (ed.) 2002, Culture Matters, Basic Books, New york.

Heusinkveld, P (ed.) 1997, Pathways to Culture, Intercultural Press, United States.

Anda mungkin juga menyukai